Text
baiknya dibaca saat sunyi dimana hanya ada kau dan detak jarum jam dinding yang berpacu dalam hening
Di suatu sore bersamaan dengan kedatangan hujan yang menahanku dan menahanmu dalam ruang kita masing-masing. Sesekali aku menengadah pada langit dan menyela tangisnya yang tak kunjung reda dengan pernyataan dungu, “Mungkin tak perlu khawatir, yang kali ini pun pasti akan lewat saja”. Begitulah hakikat hidup yang kupercaya. Ada yang datang, ada yang pergi.
Dan kau dengan wujud yang masih penuh teka-teki, kau bisa datang padaku kapan saja kau mau. Singgahlah sementara untuk beberapa waktu sambil melukis karya-karya beraliran romantisisme, andainya kau berkenan. Setelahnya, kau akan berkelana lagi kemana pun kaki membawamu melangkah.
Pada akhirnya, perlu kita sadari, manusia bertemu atas banyak kemungkinan yang bukan tanpa alasan. Barangkali kau dan aku dibaurkan untuk saling menyelamatkan dari kesepian atau duka yang mulai terasa sesak setengah mati. Tidak adil sekali ‘kan? Membereskan perkara yang pelaku utamanya saja sudah kabur entah kemana.
Begitulah suara pikiranku beberapa detik sebelum perjamuan pertama kita. Semua terasa sangat mudah dan sederhana. Kau pun pasti tak pernah menduga ujungnya. Sebab bagimu, yang terpenting adalah niat dan usaha.
Percayalah, meski terdengar seperti kalimat yang sering dilontarkan bapak-bapak paruh baya dalam balutan kaus oblong dan sarung kotak-kotak, aku senang dengan bualan, omong kosong, atau apa lah istilah yang paling cocok untuk menggambarkan falsafah kuno punyamu itu. Harus ku akui, ada benarnya.
Lihat sekarang, berkat ‘niat dan usaha’ ditambah cerdiknya siasatmu memanipulasi kehendak kuasa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kita sudah meleburkan jiwa raga. Sungguh tindakan ugal-ugalan yang berisiko tinggi. Ah, tapi aku tidak masalah. Aku sedang tersenyum saja, ketika reka adegan babak pertama kembali diputar dalam ingatan.
Komplotan pelindung luar angkasa yang kita saksikan hanya elemen sinematik, sebut saja dekorasi atau properti yang menunjang pertunjukkan sesungguhnya. Pertunjukkan dimana kau dan aku, kita adalah tokoh utama.
Sementara layar putih besar terbentang dan disorotkannya cahaya terang, pada detik itulah kau tersenyum dan menarikku ke atas panggung untuk mementaskan lakon secara impromptu. Lakon dimana kau dan aku sama-sama nihil paham akan plot maupun alur ceritanya.
Dan aku, aku tiada protes sama sekali. Sebab ujung pentas ini dapat kita ciptakan sendiri. Kita akan duduk di meja panjang setiap pukul sembilan malam dan mengerjakannya bersama. Jika jenuh mulai melanda, kau sangat diperbolehkan untuk rehat dan menunaikan hal lain seperti bermain dengan benda-benda yang kau senangi. Aku pun akan melakukan hal serupa sebelum kita memulai kembali proses kreatif panjang ini.
Pesanku hanya satu, jangan sampai kau tidak kembali. Lakon ini harus berakhir dengan sempurna tak ayalnya drama romansa dari negeri-negeri seberang. Kita akan membungkukkan badan ketika lampu sorot diredupkan seraya sorak-sorai penonton yang puas dengan keseluruhan kisah.
Dan untuk mewujudkannya, kita harus berdua, kau harus tetap ada hingga akhir cerita, begitu pun denganku. Maka kudoakan kita serta mulia panjang umurnya damai sentosa. Seperti sebuah lagu yang nampak cocok untuk latar pementasan ini. Kau pernah dengar? Mau mendengarkannya bersama?
0 notes
Text
untuk militan angkutan kota dari setiap sudut jakarta raya dan sekitarnya
Aku melihat harapan. Itu datang dari pundak manusia-manusia tegar yang kerap ku dapati tengah berlari. Semasa-masa para militan ringkih, namun mereka tetap berpacu dengan segenap tenaga yang tersisa di belakang tulang keringnya. Kadang kala para militan hadir dengan megap-megap, namun mereka tetap berdiri menahan segala beban lahir batin dengan rangkaian tumit yang kian menipis.
Pada bulan-bulan tertentu seperti di Maret 2023, militan angkutan kota berperang tanpa amunisi nutrisi. Kepulan asap, abu halus yang beterbangan, hingga sengatan surya di jam-jam kritis tengah hari. Para militan tiada menyerah dan sudi memasrahkan jiwa raga untuk segala yang dibebankan pada pundak-pundak payahnya.
Pada bulan-bulan tertentu seperti di Maret 2023, militan akan santap ria bersama di medan perang ketika sayup-sayup senja berkumandang. Di angkutan kota, dengan posisi berdiri yang terbatas, para militan mengeluarkan perbekalan dari karungnya masing-masing.
Sungguh mereka sadar bahwa keberadaannya memiliki maksud berbeda meski disatukan pada tempat yang sama. Keberadaan ini cukuplah menjadi penggelora bagi jiwa-jiwa hidup para militan yang tak bernyawa.
Kemudian salah satu dari mereka berdoa,
"Semoga dikukuhkan tubuh kalian yang perlahan rapuh sebagaimanapun tujuan perjalanannya."
Sungguh salah satu dari mereka berdoa,
"Semoga diteguhkan batin kalian yang sewaktu-waktu dapat terusik selama bergerilya di Jakarta Raya."
0 notes
Text
prolog perang di kuartal pertama
Mungkin sudah jutaan detik, sejak terakhir aku merasakan degup jantung luar biasa akibat ulah seseorang yang tidak pernah aku harap kehadirannya.
Setelah bertatap rapat di bawah lampu kuning remang. Bersandar pada jendela penuh debu yang masih menyisakan sedikit bentang lalu lalang kendaraan. Menghening bersama yang tiba-tiba meledakkan tawa.
Manusia mana yang tak heran melihat kita saling bertaut tapak. Dengan senyum berpendaran dari celah gigi kita, bagai kemerlap bintang paling terang di tata surya. Menjauh, mendekat, menjauh, mendekat.
Aku sedang tersenyum tanpa jeda. Sebab bila diingat, redupnya malam-malam belakangan tidak lagi ku hadapi dengan resah. Rebahku pada kasur lusuh tidak lagi diiringi tangis tanpa arti. Di titik ini, aku tersadar. Aku telah lalai untuk menyiksa dan menyakiti diri sendiri.
Kamu paham, kamu bukan satu-satunya yang datang membawa penawar. Ada banyak orang-orang kasar mengundi peruntungan di ruang kosong yang selama ini cacat fungsi.
Kamu tahu, kamu mungkin tiada beda dengan mereka-mereka yang sempat hadir selepas penat sepanjang hari. Menguntai kata, menyurat, menyirat.
Tetapi itu tidak masalah, aku akan membiarkannya terperangkap lagi. Aku tidak takut apabila harus berperang yang ke sekian kali.
Jika sebelumnya otakku kosong tanpa siasat dan akal, pada kesempatan ini aku maju lebih bijaksana. Apapun taktik yang kamu gunakan. Kemarin, hari ini, esok, aku siap-siap saja menjadi komandan yang memimpin pasukan sel tubuhku di medan perang.
Perang ini akan jadi perang paling kejam. Tanpa rehat. Tanpa ampun. Kita akan terbentuk entah jadi apa dan bagaimana. Kapan ia usai, siapa yang terpukul mundur, kita tidak tahu. Kita tunggu saja. Seribu tahun lagi pun, kita tunggu saja.
1 note
·
View note
Text
semoga termanifestasi
“May you hang in there, until you find some comfort in yourself.” –
Sebuah penggalan kalimat sederhana dari series yang baru saja aku rampungkan beberapa hari lalu. Entah ada yang percaya atau tidak, aku akan tetap mendeklarasikan bahwa kalimat tersebut adalah mantra yang amat sangat berharga. Mantra yang sangat aku syukuri kehadirannya seperti es kelapa di tengah dahaga.
Lagi-lagi aku yakin, aku percaya dengan kekuatan kata-kata. Meski bukan diujarkan oleh orang yang aku harapkan, meski bukan diujarkan untuk diriku saja, meski diujarkan penulis fiksi dan sutradara, kekuatan kata-kata tidak akan berubah. Ia tidak mencair, membeku, menyublim, atau memuai. Kekuatan kata-kata tetap sama.
Kembali kepada penggalan kalimat paling atas.
Bagiku, bertahan adalah sesuatu yang mau tidak mau harus kulakukan. Seperti apa yang dikerjakan tokoh utama dalam series tersebut. Hidup yang kami jalani kurang lebih sama. Aku bangun pagi buta, aku bergerak dan bekerja, aku bersandiwara dan pura-pura bahagia, aku pulang ke rumah, aku berpikir, aku tertidur. Siklus yang sama terus berulang di tengah ketidaknyamanan dan bayang-bayang rahasia, atau mungkin aib lebih tepatnya.
Temanku pernah bertanya, “Memang apa susahnya hidup jadi diri sendiri? Memang apa masalahnya jika orang tahu kamu begini?”. Pada awalnya, aku pikir pertanyaan tersebut memang tidak akan terjawab, sebab segala cemas dan keraguan hanya datang dari imajinasiku saja. Setelah menonton series yang aku bilang, aku baru paham. Beberapa hal mungkin memang seharusnya didiamkan begitu saja. Tidak ada jawaban pun tidak apa-apa. Bahkan, beberapa hal mungkin tidak perlu dinalar dengan logika. Sehingga tidak ada jawaban masuk akal pun tidak apa-apa.
Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa semua manusia punya kecenderungan ingin diterima. Diterima siapa saja, baik itu keluarga, teman, calon pasangan, pasangan, rekan kerja, bahkan orang-orang asing yang tidak sengaja kita senggol di jalan. Dengan hasrat tersebut, sebagian manusia diberi kekuatan berupa keberanian dan mental baja. Meskipun hasrat yang dimaksud tidak tercapai, mereka tetap mampu bertahan.
Sayang, sebagian manusia lainnya tidak mendapat kekuatan yang sama. Mereka lebih banyak mewariskan rasa takut dan terancam, apalagi ketika mereka sadar bahwa mereka diliputi berbagai keburukan. Barangkali, aku adalah salah satu dari golongan manusia yang ini. Serupa dengan pemeran utama dalam series yang aku bilang. Menurutku, apa yang kurasakan cukuplah aku yang tahu. Apa yang tersembunyi tetaplah tersembunyi. Sebab tidak semua orang sanggup untuk menerima, apalagi peduli.
Kembali pada penggalan kalimat paling atas.
“May you hang in there, until you find some comfort in yourself“. –
Ya, rasa nyaman itu pun masih aku cari. Aku sempat berpikir, barangkali, segala sumber daripada permasalahan ini adalah rasa tidak nyamanku terhadap diri sendiri. Pada beberapa keadaan, aku sadar bahwa aku punya kebencian yang begitu mendalam terhadap diriku sendiri. Terhadap rupaku, perangaiku, pola pikirku. Semuanya hina di mataku sendiri. Boleh jadi nanti, ketika aku sudah berdamai dengan hal ini, masalah akan selesai lebih mudah. Sayang, aku belum tahu bagaimana cara menyudahinya.
Meski begitu, aku tetap mau berterima kasih. Series yang aku bilang, series itu sudah cukup merangkul dan meyakini diriku bahwa tidak tahu cara menyudahi pun tidak apa-apa. Perkara tersebut sebenarnya tidak perlu dikaji, tetapi cukup dijalani. Cukup bertahan, lagi-lagi bertahan, meskipun enggan, aku hanya perlu bertahan. Sampai suatu hari di mana aku berhasil menemukan rasa nyaman dalam diri sendiri.
Semoga termanifestasi.
1 note
·
View note
Text
Babak Kedua: Kalau Depok Begini, Kira-kira Bagaimana?
Memasuki babak kedua dari pengembaraanku di tanah babi ngepet, sebelumnya aku harus menyampaikan kabar duka ini. Pagi-pagi sekali aku mendapat kabar bahwa salah satu dari kaum Jonathan berpulang ke Tuhannya. Aku cukup kaget, sebab belum lama ini, beliau mengirimkan beberapa informasi melalui ruang obrolan kita.
Salah satu dari Jonathan, namanya Ferdy. Aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Pak Ferdy”. Terakhir kali aku bertemu, Pak Ferdy memang sedang sakit-sakitan. Suaranya hilang. Namun semangatnya untuk berhikayat tentang Depok tidak pernah hilang. Sedih kalau mengingat Depok telah kehilangan orang yang sangat mencintainya.
Aku sempat berpikir, di depan nisan sederhananya. Pertama, aku harus berdoa atau tidak? Kedua, kalau aku berdoa, apa doanya? Haruskah aku baca ayat kursi lagi? Apa beliau mengerti? Ketiga, perkara Depok ini, apakah ada orang yang sanggup menggantikan posisinya?
Kasihan sekali Depok. Jika dihitung-hitung, orang yang mulai sekarang akan mengurusmu hanya sedikit. Dan aku juga tidak begitu minat melakukannya. Aku hanya memanfaatkanmu sementara, untuk kepentinganku sendiri.
Tidak perlu khawatir, Depok. Hari ini aku bertemu dengan harta karun yang mungkin dapat mengisi ruang kosong setelah kepergian Pak Ferdy. Namanya Boy, salah satu dari kaum Loen. Meskipun sama-sama sudah uzur, ya kamu nikmati yang ada saja dulu lah. Nanti mungkin aku dapat yang lain lagi.
Sebenarnya, aku pun tidak kalah kagum dengan Pak Boy. Menurutku, beliau lebih paham ilmu yang sedang aku tekuni. Pemikirannya sangat kritis, disertai bukti-bukti empiris. Oh, beliau bahkan paham apa-apa saja yang aku lakukan selama berkuliah di UI.
Aku heran, kok Depok punya tokoh masyarakat sehebat ini? Sumpah, aku heran. Pak Boy punya segala informasi yang aku cari. Pak Boy dengan senang hati selalu menjawab segala rasa penasaran anak muda sepertiku. Pak Boy bahkan tidak protes dan mau-mau saja menjadi juru bahasa Belanda-ku selama beberapa jam.
Berbincang dengan beliau, rasanya aku telah menyelesaikan tiga SKS Bahasa Belanda klasik. Sekarang aku tahu apa artinya istilah Arts, Jur, Cand, Hulpprediker. Sekarang aku tahu siapa Misseuer dan mengapa dia bergabung dengan circle Belanda-Depok.
Ah, tiba-tiba aku berpikir. Bagaimana kalau aku menginap saja di rumah Pak Boy? Masih banyak yang mau aku tanyakan. Mungkin orang-orang bingung, informasi apa sampai-sampai aku sangat bahagia. Informasi ini memang langka, tidak tertulis di kitab manapun. Tidak ada yang membahasnya dengan saksama.
Sebenarnya jangan heran, sumber sejarah tertulis Depok memang tidak banyak. Contoh saja kompleks makam ini, aku mau teriak, aku mungkin orang pertama yang mencari dan menelusuri identitas mayat mereka satu persatu. Bukan tokoh penting saja, mayat rakyat biasa di kompleks ini juga aku ajak berkenalan.
Sebab, jika aku tidak memulai, belum tentu ada yang melakukannya. Wong Universitas Indonesia dan jurusanku sudah berdiri sejak tahun 60-an. Belum lagi lima universitas lain di luar sana. Tidak ada tuh aku cari-cari. Ah, aku baru ingat! Pak Boy bilang, Depok punya banyak catatan sejarah tertulis, tapi ditulis orang Belanda.
Ya, bukti fisiknya tentu menjadi hak milik mereka. Apa aku siap-siap berangkat ke sana saja? Dengan bekal tiga SKS Bahasa Belanda barusan, sepertinya tidak masalah. Gila juga aku. Omong-omong, usia tetap tidak bisa berbohong ya. Pak Boy kelihatannya sudah lelah. Napasnya bahkan terdengar gegabah saat menjelaskan sesuatu padaku. Ah, jadi tidak enak. Tapi aku masih kepo. Karena aku tidak tega, kutuntaskan saja pengembaraan hari ini. Sebelum aku bertanya, Pak Boy sendiri sudah menawarkan nomor teleponnya. Jika sewaktu-waktu ingin bertanya, aku mungkin bisa teror nomor tersebut. Berhubung hari ini aku sudah dapat banyak pengetahuan, sepertinya tugas akhirku akan segera selesai.
Ah, terima kasih banyak, Pak Boy! Sampai jumpa lagi ya, saat tulisan tentang Depok ini rampung aku garap. Pak Boy harus lihat, penemuanku tentang habitus dan kelas sosial dari kompleks makam ini. Pasti beliau akan antusias. Sebab apapun yang berkaitan dengan Depok-ralat-, Depok Lama, beliau tentu bersukaria.
0 notes
Text
Kalau Depok Begini, Kira-kira Bagaimana?
Kalau kuburan ini bisa bersuara, mungkin mereka tertawa sekaligus heran melihatku setiap hari bolak-balik ke sini. Bukan. Kali ini bukan kontemplasi. Kali ini aku mau kenal lebih jauh sama identitas tulang belulang di kompleks ini.
Ada yang namanya Jonathan, Jacob, Loen, Soedira, Samuel, Leander, Laurens, Isakh, Bacas, Tholense, Zadokh. Sudah ku sebut semua belum, ya? Kalau ada yang tertinggal, bisa-bisa aku didatangi tengah malam.
Omong-omong, aku mau berterima kasih sama mereka semua. Seumur-umur aku hidup, baru kali ini aku baca Alkitab. Pakai bahasa Belanda pula. Hahahaha. Kalau ditanya apa ayat yang paling aku suka, tanya saja sama Almarhum Pendeta yang bermarga Soedira. Aku sepakat sama dia.
Kalau aku harus jelaskan satu persatu-satu, mungkin aku mulai dari sini dulu, ya. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menggarap tugas agar cepat-cepat ke luar dari belenggu rekonstruksi masa lalu.
Entah mengapa, pilihan topik tugas akhirku tidak jauh-jauh dari tanah tercinta, tanah babi ngepet dan ayu ting-ting ini. Orang-orang mungkin akan heran, bisa-bisanya ada manusia yang mau meromantisasi Depok. Ya ada, aku orangnya.
Menurutku, Depok memang romantis kok. Aku merasa aku punya tanggung jawab untuk meluruskan ini ke kawan-kawan media dan influenza banyak congor di aplikasi biru. Depok itu romantis, sumpah!
Ayo, ikut aku jalan-jalan ke kawasan Depok Lama. Kalau aku jadi pemerintah, aku sulap daerah ini biar seperti Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang. Sayangnya, Pemerintah Depok itu bisanya hanya bikin lagu saja.
Coba main ke kawasan Depok Lama, Jalan Pemuda dan sekitarnya. Kamu akan tahu betapa romantisnya kota kecil ini. Buatan siapa dulu dong? Buatan Belanda…. Tapi ya mau gimana, aku tetap harus kasih fakta.
Sebenarnya bangunan kolonial di sini indah-indah, sayang banyak yang tidak terurus. Sebenarnya aku juga sempat bingung mau membahas yang mana. Setelah berpikir panjang, sepertinya aku akan lebih cocok dengan hal-hal yang suram.
Ya, makam ini contohnya. Kompleks Makam Kamboja. Lihat saja, sudah hampir setiap bulan aku melayat para mayat di balik tombe-tombe ini. Walaupun aku tidak kenal, aku sapa saja. Walaupun kita beda agama, aku doakan saja, pakai ayat kursi.
Yang aku cari di sini sebenarnya sederhana. Identitas dan kelas. Ternyata oh ternyata, aku di kasih lebih lagi. Aku di kasih cinta. Aku dikasih pelajaran berharga soal siapa warga Depok sebenarnya.
Aku tidak menduga-duga akan bertemu orang yang bangga menjadi warga Depok. Para keturunan budak Belanda ini, mereka antusias sekali menceritakan kisah turun-temurunnya. Seperti ada ikatan yang tidak boleh dilepas.
Mereka ikhlas. Mereka tidak marah dicaci maki kaum ekstrimis pembenci minoritas. Mereka tidak kecewa diacuhkan pemerintah. Mereka tetap berusaha membangun citra Depok yang tersembunyi ini. Citra Depok sebagai pusat agama Kristiani dan kota mandiri yang merdeka lebih dulu sebelum Indonesia. Iya, sebenarnya Depok itu tidak cocok jadi Dinasti PKS. Depok itu memang awalnya dipenuhi orang Kristen dan Cina.
Orang-orang ini, aku juga tidak paham mengapa mereka begini. Untuk apa mempertahankan dan melestarikan sejarah, bukankah yang penting adalah masa depan? Tidak, bagi mereka, sejarah adalah suatu entitas yang membentuk siapa mereka saat ini.
Segala kenyamanan dan kasih sayang yang terjalin di antara kaum Belanda-Depok ini, mereka dapatkan dari sejarah. Sejarah kadang kala memang mengherankan. Kekuatan magisnya dapat membentuk pola pikir seseorang.
Maka sekarang aku percaya mengapa Bung Karno mencetuskan jas merah. Bagi beberapa orang, sejarah adalah bagian dari diri mereka. Tidak, bagi Depok, sejarah adalah identitas yang akan menyelamatkan mereka dari bayang-bayang babi ngepet. Tidak, bagi Indonesia, sejarah adalah senjata untuk berbangga-bangga bahwa setidaknya kita pernah menjadi bangsa yang hebat.
Oke, kalau sudah di klimaks, biasanya akan ada kata “bersambung”. Bagaimana kalau kita lanjut lagi nanti saja? Saat aku sudah selesai berkenalan dengan semua mayat-mayat di sini. Siapa tahu aku menemukan harta karun lagi!
0 notes
Text
Durga Mahisasuramardhini, Simbol Feminisme Ekstensialis dalam Kepercayaan Hindu
Bagi para penganut agama Hindu, Durga Mahisasuramardhini atau yang lebih dikenal dengan Dewi Durga tentu bukan nama yang asing di telinga. Ya, dalam mitologi Hindu, Durga adalah salah satu dewi yang memiliki banyak pemuja.
Bicara mengenai wujud Dewi Durga dalam sebuah ilustrasi atau arca mungkin merupakan hal menarik bagi penikmat seni. Durga selalu digambarkan sebagai sosok wanita yang tangguh dan terkesan gahar. Jika ditilik lebih jauh, pencitraan tersebut bukan tanpa alasan. Durga Mahisasuramardhini memang erat dikaitkan sebagai simbol feminis dalam agama Hindu.
Nama Mahisasuramardhini milik Dewi Durga berasal dari gabungan tiga kata, Mahisa berarti “kerbau”, Asura berarti “raksasa”, Mardhini berarti “membunuh”. Sesuai namanya, Durga Mahisasuramardhini dikisahkan sebagai pemenggal kepala raksasa yang menjelma menjadi seekor lembu jantan (Santiko, 1992 : 200).
Diceritakan pada suatu hari, raksasa bernama Mahisasura menyerang para dewa di Khayangan, namun tak ada satupun yang mampu mengalahkannya. Para dewa kemudian bersepakat untuk menggabungkan kekuatannya hingga terciptalah dewi cantik yang muncul dari kekuatan para dewa dan diberi nama Dewi Durga.
Wujud Dewi Durga bertangan delapan, setiap tangannya memegang senjata pemberian para dewa, berkendaraan singa, bentuk anugerah dari para dewa untuk nantinya mengalahkan Mahisasura (raksasa dalam tubuh lembu). Dewi yang baru tercipta itu langsung menemui Mahisasura dan mengajaknya berperang.
Awalnya, Mahisasura menolak tantangan Sang Dewi karena dia tidak mungkin melawan wanita. Sebaliknya, dia malah mengajak Dewi Durga untuk berhubungan seksual. Dewi Durga merasa direndahkan, ia pun menyerang Mahisasura.
Dewi Durga langsung melompat ke punggung Mahisasura dan menyembelih leher Mahisa. Demikian juga ekor Mahisa dipegang oleh tangannya yang lain. Posisi ini membuat Mahisasura tidak dapat berkutik sehingga Durga dapat dengan mudah membunuhnya.
Dewi Durga dalam pengarcaannya digambarkan selalu berdiri di atas punggung kerbau, bertangan delapan, dengan masing-masing tangan memegang ekor mahisa, memegang rambut asura yang keluar dari leher mahisa, serta membawa berbagai macam senjata seperti cakra, sangkha, khadga, busur, anak panah, dan lain sebagainya yang diperoleh dari para dewa. (Yadhu, 2019 : 129)
Tokoh Dewi Durga memiliki nilai filosofis yang cukup menarik untuk dibahas. Seperti yang telah diceritakan, para dewa yang wujudnya digambarkan maskulin dan memiliki kekuatan, tidak ada atupun yang mampu mengalahkan Mahisasura. Sedangkan Dewi Durga, sebagai sosok feminin lebih mampu mengalahkan raksasa dibanding dewa-dewa di khayangan.
Hal ini tentu menimbulkan pemikiran bahwa sosok dewi perempuan dalam agama Hindu memiliki kedudukan yang sama dengan dewa laki-laki, bahkan boleh jadi dewi-dewi lebih dimuliakan oleh para pengikutnya.
Menonjolnya peran perempuan dalam agama Hindu sebenarnya sudah terlihat dari konsep Sakti sebagai pendamping para dewa. Ada beberapa dewi yang juga memiliki lebih banyak pemuja dibandingkan dewa-dewa, salah satunya adalah Dewi Durga ini.
Dewi Durga sebenarnya dikenal sebagai sakti dari Dewa Siwa, tetapi dalam mitologi ini, sosoknya hadir sebagai diri sendiri bukan sebagai pendamping Dewa Siwa. Dewi Durga merupakan wujud paling tepat yang dapat digunakan untuk mendefinisikan konsep feminisme, lebih tepatnya feminisme ekstensialis.
Feminisme adalah aliran pemikiran dan gerakan yang menuntut pemikiran ulang terhadap kaum perempuan. Pandangan ini menolak pembedaan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial budaya.
Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan (Wiyatmi, 2012 : 12). Sementara itu, feminisme eksistensialis adalah pemahaman feminisme yang mempercayai bahwa perempuan mampu menunjukan eksistensinya di dunia patriarki. Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir dan berkembang seperti lelaki (Faiqoh, 2018 : 20).
Feminisme eksistensialis menekan kaum perempuan untuk bereksistensi di antara dominasi lelaki. Untuk membuat perempuan bebas dari kekangan dunia patriarki dan keliyanannya, perempuan perlu mengatasi masalah di sekitar lingkungannya dan mempunyai cara pikir yang tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan dapat bekerja, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, perempuan harus dapat menolak keliyanannya.
Dewi Durga, tokoh utama dalam mitologi ini menjadi sosok yang berdiri sebagai dirinya sendiri. Terlihat dari konsep Durga Mahisasuramardhini yang terbentuk dari kumpulan kekuatan para Dewa, Dewi Durga muncul sebagai Dewi Perang tanpa bayang-bayang nama lainnya, yaitu sebagai sakti Dewa Siwa.
Dewi Durga hadir menjadi simbol pendobrak atas ketidaksanggupan para dewa dalam melawan raksasa. Dewi Durga berhasil keluar dari kekangan dunia patriarki dan menunjukkan eksistensi diri.
Salah satu bagian menonjol lainnya adalah saat Dewi Durga melawan Mahisa yang sempat menggoda dan mengajaknya berhubungan suami istri. Sebagai sosok perempuan, Dewi Durga berani untuk bertindak tegas agar dirinya tidak dirugikan dengan melawan perlakuan Mahisasura.
Para dewa tidak melihat Durga sebagai lawan jenis dengan kedudukan yang jauh di bawah mereka. Justru sebagai sosok dewi, Durga memberikan esensi pada dirinya sendiri.
Ia berhasil menemukan eksistensi dan menjadikan dirinya sebagai subjek, bukan hanya liyan yang berada di bawah bayang laki-laki. Ia mampu mengalahkan raksasa di saat dewa-dewa lain yang berwujud maskulin tidak mampu melakukannya.
Dewi Durga telah menunjukkan bahwa sebagai sosok wanita, ia bisa ‘eksis’, sehingga konsep subjek yang melekat pada laki-laki dan objek yang melekat pada perempuan dapat diubah.
Mitologi Dewi Durga pada akhirnya memberi gambaran bagaimana feminisme eksistensialis bekerja. Pelabelan laki-laki sebagai dirinya sendiri dan perempuan sebagai liyan bukanlah hal yang mutlak dan dapat dipatahkan seperti apa yang dipikirkan filsuf pencetus konsep feminisme.
Sumber Referensi
Faiqoh, Ghina Elok. 2018. Kajian Feminisme Eksistensialis Terhadap Drama Higanbana: Onnatachi No Hanzai Fairu. Semarang: Universitas Diponegoro.
Santiko, Hariani. 1985. Durga-Laksmi di Jawa. PIA III Proyek Penelitian dan Sejarah Purbakala. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santiko, Hariani. 1992. Bhatari Durga. Depok : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Wiyatmi, 2012. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: IKAPI.
Yadhu, Dewa Gede. 2019. Laksana Arca Durga Mahisasuramardhini di Bali: Sebuah Tinjauan Variasi dan Makna. Bali: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
0 notes
Text
Apa yang Sebenarnya Terjadi di Ujung Jakarta?
23/05/19
ー Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara
Kalau boleh sedikit cerita, jurusan kuliahku mungkin terlihat tidak memiliki benang merah dengan isu sosial politik masa kini. Aku pun sempat berpikir seperti itu.
Tetapi, semesta berkata lain. Buktinya hari ini, lebih tepatnya bulan ramadhan ini, aku lagi-lagi diberi kesempatan untuk mendengar dan berbagi. Lewat tugas Pengantar Teori, aku diajak meneliti kehidupan warga di kampung ini.
Kampung Akuarium.
Walaupun target utama penelitian ini adalah material culture, ada satu hal yang ternyata lebih menarik untuk dibahas.
Perasaan kecewa.
Bingung? Ya sebentar, aku kan belum mulai cerita.
Teman-teman mungkin pernah dengar mengenai sengketa kepemilikan lahan Kampung Akuarium di era mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama.
Kampung Akuarium merupakan pemukiman warga yang pada tahun 2016 lalu terpaksa harus digusur oleh pemerintah daerah karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan secara resmi. Area gusuran tersebut konon akan direvitalisasi menjadi cagar budaya, katanya.
Rasanya untuk saat ini, tidak ada yang bisa dipercaya oleh warga Kampung Akuarium. Sakit hati dan trauma beberapa tahun lalu begitu membekas dalam ingatan mereka.
Senin, 11 April 2016, mereka dipaksa meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun mereka singgahi. Dalam sekejap, bangunan hunian mereka rata oleh tanah.
Warga masih ingat betul bahwa 2014 lalu, Jokowi pernah membuat kontrak politik di sini. Isinya kurang lebih menjanjikan mereka sertifikat resmi dan tidak akan melakukan penggusuran terhadap kampung ini. Warga kecewa, pada akhirnya mereka tetap tergusur akibat suatu kepentingan.
Pak Taopaz adalah salah satu dari sejumlah pendemo di depan istana negara yang berani mengutarakan kekecewaannya. Menurutnya, memang bukan Jokowi yang melakukan penggusuran, tetapi Ahok. Namun sebagai yang pernah memiliki janji dengan warga di sini, seharusnya Jokowi melakukan sesuatu, tidak diam saja. Mengingat pemerintah pusat memiliki kewenangan lebih ketimbang pemerintah daerah.
Ia juga mengeluhkan lumpuhnya perekonomian warga saat penggusuran terjadi, trauma anak-anak, serta dampak yang paling terasa saat mereka harus tinggal di bedeng/tenda selama berminggu-minggu karena tidak tahu lagi harus rehat di mana.
Setiap aksi dan protes yang warga lakukan, bukan ditanggapi, malah di kriminalisasi. Bahkan terkadang warga sering diamankan, lalu diberi jabatan dalam pemerintahan agar bungkam.
Sebagai orang yang diberi amanah memimpin Kampung Akuarium, Pak Taopaz berterus terang bahwa dirinya kerap kali ditegur orang-orang suruhan pemerintah.
“Pergerakan massa 21-22 Mei, saya nggak melakukan apa-apa. Saya nggak melakukan pengerahan masa. Tapi kenapa ada telfon ini, itu, polisi, polsek, polres, segala macem. Dia bilang ada pengerahan massa. 4 bus bapak mengerahkan massa, bapak jangan kemana-mana,” keluh Pak Taopaz, ketua RT Kampung Akuarium di kediamannya sore ini. (23/05/18)
Warga Kampung Akuarium sudah sulit untuk percaya dengan pemerintah. Bagi mereka, tidak ada yang bisa dipercaya.
Saat ini, warga Kampung Akuarium tidak punya apa-apa. Usaha yang selama ini mereka lakukan tinggal kenangan. Bentuk Kampung Akuarium yang kita lihat saat ini merupakan hasil dari perjuangan para warga menuntut keadilan.
Pemerintah daerah yang baru memang sudah membangunkan shelter dari triplek yang cukup layak sebagai tempat tinggal sementara mereka. Namun mereka tetap menuntut penuh harap agar dibangunkan hunian permanen seperti dulu sebelum penggusuran terjadi.
Terus terang, mendengar segala keluhan rakyat seperti ini membuatku sedih. Rasanya ingin sekali ikut memperjuangkan hak mereka. Dengan ini, aku berharap aku tidak sendiri. Turun ke jalan mungkin sudah bukan tren lagi. Satu-satunya cara untuk merubah suatu sistem adalah dengan terjun langsung ke dalamnya.
Sangat menyenangkan jika teman-teman, khususnya mahasiswa yang menjadi harapan bangsa mau bersinergi. Atau setidaknya belajar untuk memahami, mencoba untuk peduli, dengan polemik di negeri sendiri.
N :
Sebenarnya warga tidak serta merta menolak penggusuran. Mereka mengajukan permohonan kelonggaran waktu selama kurang lebih 2 bulan. Namun pemerintah tidak memberikannya. Pemerintah malah menggusur paksa tanpa mengikuti standar operasional prosedur. Mereka tambah marah ketika mengetahui bahwa pemda tidak memiliki sertifikat resmi atas tanah ini. Setahun setelah penggusuran tidak juga ada pembangunan, tidak ada masterplan apapun yang pemerintah tunjukkan ke warga. Tetapi sebelum penggusuran, pemerintah daerah sudah memberi bantuan alternatif berupa rumah susun yang dapat warga tempati sebagai ganti.
Jadi sebenarnya, siapa yang harus disalahkan?
0 notes
Text
Niat Mau Mengajar, Malah Banyak Belajar

18/10/18
ー Desa Buni Baru, Babelan, Kabupaten Bekasi
Boleh tidak kalau aku bilang bahwa aku adalah salah satu orang paling beruntung di dunia ini? Seminggu yang lalu, aku diberi kesempatan untuk merefleksi diri lewat sebuah kegiatan yang sarat makna, bakti sosial IKM UI.
Awalnya, aku tidak pernah menyangka akan tidur selama kurang lebih 3 hari di sekolah kecil penuh nyamuk ini. Aku juga tidak menyangka, akan sulit mendapat akses air bersih, sinyal 4G dan tempat mandi yang mumpuni.
Tetapi di kampung ini, aku belajar memahami. Bahwa kekayaan diukur ketika kita selalu rindu untuk bersyukur.
Anak-anak yang bersekolah di desa ini contohnya. Di tengah ketertinggalan pembangunan, antusias mereka untuk menuntut ilmu begitu tinggi. Mereka tetap punya semangat untuk mengejar cita-cita.
Tidak ada gadget. Mainan mereka masih petak jongkok, lari-lari di lapangan, panjat pohon kelapa saat sore. Sebuah pemandangan yang sudah tidak pernah aku temukan di lingkungan rumah sendiri.
Buni Baru dan beberapa desa di sekitarnya begitu tertinggal. Hasil door to door ke rumah warga membuatku semakin malu dengan diri sendiri. Mereka tidak pernah mengeluh walau air di sini susah, akses untuk ke kota juga susah karena tidak ada angkutan umum sama sekali.
Mungkin kalau aku yang tinggal di sini, aku tidak betah.
Desa Buni Baru melukis banyak kenangan membekas bagiku. Niat awal mau memberi edukasi, malah jadi aku yang banyak belajar di sini. Belajar bersyukur terutama.
“Kak, nanti kalau udah gede aku mau ke Jakarta, kuliah di UI, jadi orang sukses. Tunggu ya, Kak!” Kalimat terakhir yang diucapkan Indra ー12 tahun, jokester di kelasnyaー sebelum aku dan teman-teman FIB balik ke Jakarta.
1 note
·
View note