beurkey
beurkey
Key 🗝
2 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
beurkey · 2 months ago
Text
Tumblr media
Dunia Kita Berbeda
Words total : 1672
Ship : Fillo
Genre : teenlit, romance, angst
Universe : -
Story about : Flavia & Mahesa
Remake credit : Nishfia Adriyanti
Ringggg ringgggg
Terdengar nyaringnya bunyi bel sekolah yang menandakan waktu istirahat sudah habis, mengharuskan para siswa-siswi untuk kembali masuk ke dalam kelasnya masing-masing.
Sekolah ini lumayan besar, salah satu dari sekolah menengah atas negeri terbaik di Surabaya. Letaknya yang di tengah pusat kota, suasana sekolah yang nyaman, dan sistem pembelajaran yang modern, membuat banyak murid tertarik untuk mendaftarkan diri mereka di sana.
Bangku paling depan, menghadap jelas ke papan tulis, bangku yang banyak orang bilang adalah bangku milik siswa atau siswi yang rajin, bahkan tergolong pintar. Bangku itu milik seorang gadis, Flavia namanya.
Setahun sudah berlalu sejak Flavia pertama kali masuk ke dalam sekolah itu sebagai tahun pertama. Saat ini, Flavia sudah berada di tahun keduanya. Dan ... disinilah kisah Flavia dimulai.
Flavia itu ... bisa dibilang sulit. Karena Ia adalah tipikal murid rajin yang bahkan hampir tidak perduli dengan percintaan. Hidupnya mungkin sudah sibuk. Tak hanya menjadi seorang siswi rajin, Ia juga aktif sebagai pengurus OSIS di sekolah itu.
Sifat Flavia yang tak mudah meletakkan hati, membuatnya menjadi sosok yang ... "ANTI PACARAN". Mungkin dalam kamus Flavia, pacaran itu hanya buang buang waktu?
Namun, sepertinya itu dulu. Hari itu, matahari menyengat, ratapan kaki bergemuruh di tengah lapangan setelah guru waka kesiswaan mengumumkan agar seluruh ketua kelas berkumpul di halaman untuk melakukan pertemuan ketua kelas, guna menyampaikan informasi penting.
Dan kala itulah. Pertemuan pertama Flavia dengan sosok laki-laki jakung yang berdiri di seberang sana, menatapnya dengan tatapan ... aneh. Laki-laki itu tersenyum ramah pada Flavia sebelum mereka mendengarkan informasi yang diberikan oleh guru waka kesiswaan.
Setelah guru waka selesai menyampaikan informasi, ia menyuruh para murid untuk kembali ke kelas mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan ke kelasnya, Flavia merasa aneh, seperti ... ada sesuatu yang berbeda.
"Tapi kenapa? Apa karena lelaki itu? Kenapa? Dia kan hanya tersenyum? Kenapa?" Pertanyaan itu terus menerus berulang di kepalanya.
Flavia tahu dari temannya, laki-laki bermata sipit tadi itu adalah Mahesa. Ketua kelas sebelah. Tentu saja. Tadi kan, Mahesa ikut pertemuan ketua kelas.
Ternyata, semenjak hari itu, Mahesa mengajaknya berbicara. Mereka mulai mengenal satu sama lain. Namun, sepertinya hanya sekedar 'kenal'. Mereka belum sedekat itu hingga bisa berbicara hampir setiap hari.
Seiring berjalannya waktu, tak terasa semester satu telah usai. Kini mereka beralih ke semester dua. Dan sepertinya, ini adalah awal dari kisah percintaan mereka. Yang dulu hanya sekedar kenal, kini mereka kian menjadi dekat. Semua ini, salahkan pada teman-teman mereka yang mulai meledek. Ah, apa harus berterima kasih?
"Eh, Flavia. Baru pulang? Itu noh, ditungguin Mahes di parkiran, hahaha." Siapa? Tentu saja teman-teman Mahesa yang meledeknya dengan nada tengil ala mereka.
Mereka tertawa terbahak-bahak dengan Mahesa yang memukuli mereka dan menutup mulut mereka paksa, merasa malu, mungkin. Mahesa menoleh pada Flavia dan tersenyum kecil sebelum mendorong seluruh temannya menjauh pergi.
Flavia terdiam mematung. Apa yang baru saja terjadi? Tunggu ... jantungnya berdetak. Oh, tentu saja. Tapi kali ini berbeda, ia merasa bulu kuduknya berdiri, jantungnya berdetak kencang. Ini janggal. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya, ia merasa seperti ini. Ia merasa semakin penasaran tentang laki-laki bernama Mahesa itu.
"Flavia ... Flavia! Fla!" Gadis yang sedari tadi dipanggil itu sedikit terkejut sebelum menoleh kepada teman yang memanggil namanya berulang kali. "Dipanggil dari tadi juga. Kenapa sih? Ga pulang? Pulang, yukk." Ucap gadis itu yang langsung menarik lengan Flavia untuk pulang bersama.
Siang berganti malam. Flavia berbaring terlentang di kasur. Gadis itu bermain dengan ponselnya, sampai muncul satu notifikasi yang membuatnya melempar ponsel itu ke kasur. Flavia terdiam terpaku melihat ponselnya yang mengahap ke atas. Di layar itu, terdapat beberapa notifikasi, namun ada satu yang membuatnya bereaksi seperti tadi.
"m.ahesa08_ started followed you."
Hari demi hari berlalu. Seringkali Flavia mendapati Mahesa dengan sengaja berdiri di samping kelasnya pada jam pulang sekolah dan menyapa Flavia sebelum ia kembali pada teman-temannya dan pergi pulang. Apa ia sengaja menunggu Flavia keluar dari kelas? Hanya untuk menyapa?
... itu akun media sosial milik Mahesa. Flavia buru-buru mengambil kembali ponselnya. Gadis itu berdecih. Laki-laki ini ... semakin lama, semakin mencurigakan. Jika Flavia bertanya pada teman-temannya. Ia yakin betul, mereka akan berkata bahwa Mahesa menyukainya. Tanpa sadar, jarinya bahkan memencet tombol itu. Tombol "follow back".
Namun, tak hanya sekadar menunggu Flavia. Hal itu juga disertai dengan ledekan tengil dari teman-teman Mahesa yang kian menyebalkan. Jika diawal Flavia masih merasa biasa saja, saat ini, tahan Flavia agar dia tidak menghantam teman-teman Mahesa setiap kali mereka meracau.
Itu memang membuatnya risih dan ingin sekali menyumpal mulut mereka satu persatu, tapi di sisi lain, Flavia merasa semakin penasaran dengan sosok Mahesa. Apa benar ia menyukai Flavia? Atau hanya bual-bualan mereka saja?
Waktu demi waktu berlalu, tidak sekali dua kali Flavia melihat instastory Mahesa berisi video-video quotes tentang seorang perempuan cantik yang sangat ingin ia miliki, tetapi semuanya mustahil karena adanya keyakinan dari kedua belah pihak yang berbeda. Ditambah lagi, perempuan itu sulit untuk didekati.
Flavia mulai berpikir, apakah yang dimaksud oleh setiap instastory yang diunggah Mahesa itu adalah tentang dirinya? Dalam satu hari, ada waktu dimana mereka akhirnya mulai berinteraksi. Semakin lama, interaksi mereka pada aplikasi bernama Instagram itu semakin dekat dan intens. Membuat mereka berakhir saling bertukar nomor dan mulai berbincang di aplikasi WhatsApp.
Berbulan-bulan sudah mereka berbincang, hari itu tiba. 14 Februari 2023, hari Valentine. Banyak orang berkata bahwa hari Valentine adalah hari cinta. Banyak pasangan yang berbagi kebahagian, merayakan hari itu dengan memberikan coklat atau bunga kepada pasangan mereka. Romantis, bukan?
Semua berjalan normal, hingga keesokan harinya, seperti biasa, Flavia duduk di halte bus untuk menunggu jemputannya. Flavia sedang fokus pada ponselnya saat seseorang memanggil namanya.
"Hi, Fla!" Flavia mendongak, ia melihat sosok Mahesa berdiri tepat di depannya. Tangan lelaki itu mengulur, memberinya sebuah paperbag kecil berisi beberapa coklat di dalamnya. Coklat matcha ... favorit Flavia.
"Ini ...." Flavia terpaku melihatnya. "Dimakan, ya." Mahesa berucap dengan senyum manisnya. Berhasil membuat kedua pipi Flavia memerah, dan jantung gadis itu berdetak kian cepat. "Terima kasih ... Mahesa." Flavia berterima kasih dengan senyuman di wajahnya.
Sesampainya ia di rumah, Flavia bercerita perihal coklat pemberian Mahesa kepada Ibunya. Sudah biasa Flavia bercerita tentang segala hal kepada ibunya.
Kali ini, Flavia bercerita tentang sosok laki-laki yang akhir-akhir ini mendekatinya. Mahesa, laki-laki yang bersekolah di sekolah yang sama dengannya, hanya berbeda kelas.
Flavia bercerita bahwa Mahesa merupakan lelaki yang baik hati, ia juga terlihat rajin dan pantang menyerah. Hanya satu permasalahannya. Mereka berbeda keyakinan. Hal ini merupakan hal baru bagi ibunya, karena belum pernah dalam hidupnya, Flavia membicarakan seorang laki-laki. Ini adalah pertama kalinya.
Ibunya menghela napas sebelum menasehati Flavia. Ia boleh saja berpacaran, namun, setidaknya jangan untuk sekarang. Masa SMA ini adalah masa dimana ia harus fokus untuk belajar. Apalagi, usianya masih tergolong muda.
Flavia itu ... merupakan sosok gadis yang patuh pada orang tuanya. Mendengar apa yang dituturkan sang ibu, Flavia hanya mengangguk dan menaati nasehat ibunya. Toh, ibunya benar, usia Flavia masih tergolong muda, dia seharusnya masih fokus pada kegiatan sekolahnya.
Setelah perbincangan dengan sang ibu, Flavia beranjak untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia menghubungi Mahesa untuk kembali mengucapkan terima kasih. Namun, balasan Mahesa sedikit membuatnya terkejut.
Dibuka ya coklatnya, di dalem situ ada kertas.
Kertas? Balas Flavia.
Iya, fla. Ada kertas. Kamu baca, yaa
Flavia kembali mengetik terima kasih sebelum ia meletakkan ponselnya dan mengecek ke dalam paperbag yang tadi diberi oleh Mahesa. Flavia membuka salah satu coklat itu, seperti kata Mahesa, ia menemukan sobekan kertas, dengan tulisan tangan diatasnya
Air mata perlahan mengalir membahasi pipi Flavia. Panggil Flavia cengeng, tetapi ia sama sekali tidak menyangka hal ini bisa terjadi padanya. Kepada seorang Flavia, yang biasanya tidak pernah sekalipun merasakan seperti ini.
Flavia membuka secarik kertas itu, tulisan di dalamnya membuat Flavia semakin terkejut.
"Aku pusing deh mikirin kamu tiap hari. Aku suka kamu, Fla. Kamu mau ga jadi pacarku?"
Semua yang ia pertanyakan seakan terjawab hari itu. Apa Mahesa menyukainya? Apa semua quotes yang Mahesa unggah di instastory Mahesa adalah untuknya? Apakah ledekan-ledekan dari teman-teman Mahesa bukan hanya bual-bualan belaka? Apa ... Flavia juga menyukai Mahesa?
Semuanya terasa jelas. Betul, Flavia menyukai Mahesa. Tetapi semuanya terasa sulit. Banyak rintangan yang seakan menghalagi mereka, menghalangi hubungan mereka. Mulai dari Ibunya yang melarang keras Flavia untuk berpacaran, hingga pada kenyataan bahwa Fla dan Mahesa berbeda keyakinan. Lantas, jika memang mereka berpacaran, harus dibawa kemana hubungan mereka?
Flavia membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya, ia beranjak ke dapur guna mengambil minum, berharap dengan itu, dia bisa setidaknya sedikit tenang. Setelah dirasa ia sudah tenang, Flavia kembali menuju kamarnya, ia memberanikan dirinya untuk membalas surat yang diberi oleh Mahesa.
Hi, Mahesa. Aku senang bisa mengenalmu. Aku juga sangat senang kita bisa dekat, dengan awal pertemuan yang ... kita sama-sama menjadi ketua kelas, ya. Ini harus dijawab sekarang, ya? Aku juga sebenarnya suka kamu, tapi ibuku melarangku berpacaran. Lagipula, dunia kita berbeda. Lantas, mengapa kita dipertemukan? Aku pengen kita begini saja, apa bisa? Karena untuk jadi pacarmu, aku belum bisa nerima itu. Maaf, dan terima kasih.
Setelah mengetik pesan panjang itu, Flavia masih berusaha mengatur napasnya. Ini sulit, ia sangat menyukai Mahesa. Tapi keadaan saat ini seakan sangat tidak mendukung terjalinnya hubungan mereka.
Sudah kuduga, Fla. Beberapa temanku mengatakan kalau kamu anti berpacaran. Kita begini saja tidak apa-apa, kok. Aku sudah senang. Kalau kamu ada apa-apa, kamu cerita ke aku, ya? Dan kalau suatu saat kamu suka laki-laki lain, aku juga gapapa. Aku yakin aku baik-baik aja kalau kamu beralih. Aku juga sadar, kita berbeda.
Tentu, dengan balasan Flavia di atas, apalagi yang bisa Mahesa lakukan? Atass larangan orang tua Flavia, dan keyakinan mereka yang berbeda. Kedua hal itu tidak bisa dipaksakan. Kini, Mahesa-pun mengikuti apa kata Flavia.
Semenjak hari itu, mereka berdua selalu ingat pada komitmen mereka untuk hanya jadi sebatas teman, tidak lebih dari itu.
Di sekolah, mereka selalu dekat, menghabiskan masa putih-abu mereka dengan satu sama lain. Berusaha memanfaatkan keadaan yang ada. Karena, besar kemungkinan, setelah lulus, akan sulit bagi mereka untuk sedekat sekarang ini. Pastinya mereka sibuk dengan urusan perkuliahan masing-masing, atau bahkan berada di kota yang berbeda.
Saat ini, mengenai kedekatan mereka, semua orang tahu itu, termasuk kedua orang tua mereka. Tetapi, keyakinan dan restu dari orang tua tidak bisa dipaksakan. Dapat dikatakan, bahwa cinta yang kuat dari kedua pasangan akan sulit menjadi satu dengan adanya ketidak setujuan dari pihak orang tua.
"Antara Azdan yang berkumandang, dan lonceng yang berdentang. Antara kiblat yang menentukan arahku pulang, dan salib yang membuat hatimu tenang."
Kalimat itu, kalimat yang akan selalu Flavia ingat dalam hidupnya. Sampai kapanpun.
6 notes · View notes
beurkey · 1 year ago
Text
Tumblr media
A+ and A-
Words total : 978
Ships : -
Genre : teenlit ; angst ; family
Universe : Cupid Have a Plan
Story about : Raylee Joanne Pradipta
"Mungkin memang Raylee engga bagus di bidang pelajaran, tapi apa papa gamau sekali aja lihat Raylee di bidang musik?!" Nafas gadis itu terengah-engah, intonasi suaranya meninggi, membuat keadaan sekitar menjadi semakin sunyi karena persitegang antara papa dan anak itu.
"Adek kamu juga bagus di bidang musik. Piano dia bisa, biola juga bisa, sekedar nyanyi pun juga dia ikut paduan suara, kan? Tapi nilainya selalu stabil, peringkat juga selalu di tiga besar."
Raylee, tampaknya gadis itu kehabisan kata-kata, ia hanya melihat sang papa dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Dan musik yang dia lantunkan itu bersih, jernih. Gak kayak musik band gak jelas kamu itu. Berisik." Lanjut sang papa berkata pada anaknya.
"Papa pilih kasih." Hanya satu kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut gadis yang bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya, belum sempat ia mengganti pakaiannya.
Langkah sang papa yang tadinya sudah berjalan menuju lift pun terhenti dan kembali menatap anak tengahnya itu, "pilih kasih gimana? Papa cuma mau yang terbaik buat kamu."
"Tapi ga dengan cara ngekang Raylee gini, pa!"
"Papa hanya beri batasan, bukan mengekang. Buktinya setelah kamu join band gak jelas itu, nilai kamu turun drastis."
"Raylee masih masuk 5 besar, pa."
"5 besar? Sebelumnya saja kamu hanya selalu di peringkat tiga disaat adik dan abang kamu jadi peringkat pertama setiap tahunnya."
Sunyi. Tidak ada balasan apapun dari Raylee, air mata mulai berjatuhan membasahi pipi mulusnya. Gadis itu merasakan sakit yang amat dalam di dalam dadanya.
Selalu saja begini. Dibandingkan dengan kakak dan adiknya. Apa memang kutukan anak tengah itu nyata? Raylee mau tidak percaya, tapi dia serasa baru saja mengalaminya.
"Syarat yang papa bilang masih berlaku dan selalu berlaku. Pokoknya semester depan nilai kamu ga membaik dan peringkat kamu ga balik ke tiga besar, papa bakar semua alat musik kamu."
"Gabisa gitu dong, pa!"
"Gaperduli. Gitar, bass, keyboard, drum. Semua papa bakar."
"Pa..." suara gadis itu semakin bergetar, musik adalah satu-satunya pelariannnya, tempatnya mencurahkan semua isi hatinya, tempatnya pulang, tempatnya kembali, tempatnya beristirahat dari hiruk pikuk kota Jakarta.
"Kalau gamau begitu, ya buktikan ke papa kalau kamu bisa mengatur itu. Stabil, kak. Stabil."
Setelah mengucapkan kalimat itu, sang papa segera memasuki lift, dibantu beberapa pelayan untuk membawakan jas dan tas kantornya, pria paruh baya itu menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Begitulah rumah ini. Biasanya selalu sepi, hanya dihuni oleh Raylee dan adiknya saja. Tetap terasa sepi walau ada puluhan pelayan yang bekerja dan tinggal di sana.
Jika bertanya, memang biasanya papa mereka ke mana? Momma mereka? Kerja. Mereka terlalu sibuk bekerja, terus menerus berpindah-pindah kota dan negara. Bahkan untuk sekedar mengambil rapot anak-anknya saja tidak bisa. Kalau abangnya, dia berkuliah di luar negeri untuk melanjutkan S2.
Gadis itu kini duduk di meja belajar miliknya, ruangan tersendiri. Sebuah ruangan dengan tiga buah meja belajar yang diberi sekat. Sebelah kiri milih Jendral, abangnya. Sebelah kanan milik Yale, adiknya. Raylee menempati meja belajar bagian tengah, mengarah langsung ke jendela menuju taman di halaman samping rumahnya.
Matahari sudah lelah, kini berganti posisi dengan bulan. Gadis bermarga Pradipta itu memang sering pulang malam. Sepertinya ... kini rutinitas barunya setelah pulang adalah terus berada di ruangan belajar anak-anak Pradipta itu.
Ruangan itu terang, dengan kesan dan ornamen yang klasik tetapi tetap modern. Di bagian kanan dan kiri tembok itu tertempel rak buku yang lumayan besar, dibagi di setiap barisnya. Buku inspirasi, buku contoh soal, buku pelajaran, kamus, ensiklopedia, bahkan novel dan komik pun ada.
*kriiiet
Pintu terbuka sedikit, Raylee tidak menyadari hal itu karena pikirannya sudah tenggelam bersama banyaknya materi yang ada di depan matanya saat ini.
Langkah kaki semakin mendekat ke arah kursi gadis yang duduk dengan tegap, fokus membaca dan memahami isi buku di harapannya.
"Kak... maaf." Mendengar suara lembut menyapanya dari sebelah kanan, membuat Raylee menoleh dan mendapati adiknya sudah menunduk sambil memainkan ujung piyama yang ia kenakan dengan gelisah.
"Karena Ale, kak Ray jadi dimarahin papa terus... maafin Ale, ya, kak."
Raylee tidak menjawab, hanya menatap wajah sang adik yang terlihat kusut, seperti baru menangis. Ia memutar kursi belajarnya menghadap sang adik, menatap naik, lurus ke arah mata Ale.
"Lo denger?"
Tanpa jawaban, hanya anggukan saja.
"Engga, itu bukan salah lo kok, le. Bukan salah siapapun. Gausah mikir gitu, deh."
"Tapi kak Ray kan selalu dibandingin sama Ale terus... apa Ale stop belajar aja, ya, kak? Ale gamau kak Ray dimarahin mulu."
Lelaki berusia 13 tahun itu tetap berdiri menunduk, memelintir ujung piyama bergaris warna biru tua yang sudah melekat di tubuhnya, pertanda sudah siap untuk tidur.
Sesekali melirik wajah lelah kakak perempuannya yang bahkan sampai saat ini belum berganti pakaian masih dengan seragam sekolah yang sudah berantakan. Tatapan mata kakaknya yang diberikan kepada dirinya terasa sangat lembut.
"Bukan salah lo. Udah, mending sekarang lo tidur. Besok sekolah, kan?" Gadis itu berdiri dari duduknya dan menuntun sang adik keluar dari ruang belajar dan menuju kamar tidurnya.
Saat ini adik remajanya itu hanya setinggi telinganya saja, entah beberapa tahun kedepan, pasti akan menyalip tinggi Raylee yang bisa dibilang cukup tinggi untuk seorang perempuan, tingginya sekitar 168cm.
"Kak, kakak bahkan belom ganti baju, loh. Kotor ih udah seharian dipake dari pagi. Belum mandi juga kan pasti?" Tanya si adik segera setelah mereka sampai di depan pintu putih dengan sebuah papan kayu bertuliskan 'Yale's Room'
"Udah ah, bacot banget. Mending lo stop manggil-manggil pake 'Ale', 'Kak Ray', 'Kakak'. Aneh tau ga??"
"Dih, itu tadi namanya perhatian."
"Sana masuk. Bocil ga baik tidur malem-malem. Sleep well, ya, cil."
Raylee mengatakannya setelah mendorong pelan tubuh Yale dan menutup pintu kamar itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, ia memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajarnya, memilih kembali ke kamar dan membersihkan dirinya, berendam di dalam bathup air hangat dengan beberapa aroma terapi yang bisa membantunya agar tidur nyenyak.
Besok ia masih ada sekolah, dan akhir-akhir ini ia merasakan susah tidur, atau insomnia. Hal itu membuatnya menjadi mengantuk sepanjang pelajaran, dan menjadi tidak fokus. Maka ia mulai menggunakan wewangian yang dapat membuatnya rileks. Di samping kasurnya pun sudah ada reed diffuser dengan wangi lavender.
Mungkin dia memang akan terus menjalani hari-hari nya seperti ini, hingga mungkin dua tahun kedepan. Mempertahankan hobby bermusiknya dan juga band yang dia bangun bersama dengan temab-teman baiknya.
2 notes · View notes