"Sesungguhnya dunia telah kelebihan kata-kata, sehingga tidak semuanya memiliki makna"
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Malang Nasibmu, Nadjib

Meskipun beberapa hari ini dipenuhi dengan banyak motivasi tentang menulis (saya sangat bersyukur soal ini), tetapi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan semangat menulis, ambisi untuk menjadi penulis fenomenal, atau untuk menjadi semacam robin hood yang menganggap bahwa tulisan adalah busur panah untuk melaksanakan tugas mulia. Tidak. Setidaknya untuk kali ini. Tulisan ini hanya merupakan sebuah ‘perangkap’ bagi cerita-cerita lucu yang pating berlewatan; sayang kalau saja terlupakan.
Yang pertama adalah soal Nadjib. Begini ceritanya:
Babak 1. Malang Nasibmu, Nadjib!
Di saat manusia begitu mempersoalkan keindahan badani untuk berbagai persoalan—Untuk mencari perhatian dari calon gebetan, untuk menjadi copet yang tidak mencurigakan, hingga untuk menjadi bahan jualan maju jadi calon ketua BEM—Nadjib sangat menyesalkan keadaan fisik dan penampilan dari dirinya.
Nadjib sangat menyadari bahwa tidak ada aturan yang saklek yang menyatakan bahwa kalau mau kuliah itu haus berbaju rapih. “Orang yang kuliah otaknya, kok!” kira-kira pasti begitu bantahannya. Atau bahkan aturan yang saklek seperti aturan soal pakaian ketika hendak melakukan audiensi dengan Presiden RI—yang tidak dipakainya celana jeans--dianggapnya salah satu aturan yang paling tidak masuk akal yang pernah dibuat oleh manusia. Soal yang belakangan ini dia pasti akan menjawab: “Ya kalo matanya Pak Jokowi sakit saat melilihat mahasiswa pake jeans, ya pinjemin celana kain dong!”
Meskipun gerundelan-gerundelannya soal konstruksi sosial terkait penghargaan penampilan ini begitu kental dan mengakar, sebenarnya tidak berarti bahwa ada yang salah dengan penampilan Nadjib. Secara badaniah dia sangat eksotis. Dibanding yang lain—tentu saja yang sejenisnya—sudah pasti dia yang paling menarik. Badannya hitam berkilat-kilat. Warna kuning mengelilingi siripnya yang bundar. Dan yang terpenting dia tidak berbadan terlalu panjang; sangat bantet dan imut. Sempurna! Mungkin yang paling sempurna dari keseluruhan ikan cupang yang dipajang di jendela akuarium nan besar di toko penjual ikan itu.
Untuk Nadjib, di situlah letak permasalahan yang se-sreius-seriusnya masalah.
“Eksotisme diri ini membunuhku. Andai saja badan ini bisa memanjang sedikit, dan dapat kuraih sisi-sisi siripku untuk kuhilangkan bagian kuningnya, pasti aku tidak akan jadi cupang imut lagi” Nadjib memulai lagi; untuk kesekian kalinya.
Salah satu cupang yang berwarna kusam memprotes, “Kalau ada cupang yang paling pertama akan dilaknat sama Tuhan, itu pasti adalah kamu Djib! Coba lihat sekelilingmu, di sini hanya tinggal kau seorang yang berbadan indah dan menawan. Kalau kata manusia, kamu itu eksotis!”
“Justru itu masalahnya, Tro” jawab Nadjib kepada Patrokeloo—cupang berwarna putih kekusaman. “Sesungguhnya pola pikirmu sudah ditekan oleh hegemoni wacana dari kekolotan manusia.” Nadjib semakin kesal dan apabila ia seperti itu, insangnya akan berkibar-kibar dan warnanya jadi semakin hitam. “Yang harus berbangga kalau berpenampilan eksotis itu harusnya manusia; bukan ikan cupang!”
“Iya-iya... nggakusah nyolot begitu. Tapi, emang kenapa kok bisa gitu?” Patrokeloo mencoba meredam emosi dan kegelisahan Nadjib
“Semakin manusia tampan, elektabilitas pencalonan dirinya akan semakin tinggi! Peluangnya diterima oleh calon gebetannya akan semakin besar! Sementara ikan cupang menarik perhatian pasangan kita dengan cara buang angin dari dubur; itu saja sudah cukup. Eksotisme dan penampilan menarik itu tidak diperlukan cupang. Dan yang paling berbahaya dari eksotisme adalah: kita bisa lebih cepat dipindahkan ke akuarium yang lebih sempit, Tro!”
Patrokelo kemudian menyadari mengapa Nadjib beigitu gelisah selama ini. Ikan cupang lainnya pun menyadari bahwa selama ini: yang diangkat dengan jaring dan dipindahkan ke plastik kiloan adalah cupang-cupang yang berwarna eksotis. Sialnya, saat ini tinggal Nadjib saja yang tersisa di akuarium besar. Nadjib, betapa malang nasibmu.
“Karena keindahan tubuhmu, engkau akan segera dibeli oleh peminat-peminat cupang di luar sana”
Bersambung...
2 notes
·
View notes
Photo

[Cahya(ku)]
Oleh: Awang
Saat aksara di kertas kehilangan maknanya,
Buku yang memuatnya berceramah sesukanya,
Cahya memancar tiba dengan aura merah jambu
Dan diselimutkannya aku dengan harapan baru
Oh Cahya,
Biar buku-buku itu mengeram di raknya
Engkau, Cahya, ternyata lebih menantang untuk dibaca
Dan lebih pemaham dibanding buku harian yang tak jelas suratannya
Oh Cahya, Cahaya
Biar matahari istirahat dari rodinya
Engkau, Cahya, memancarkan aura merah muda
Yang lebih indah dari surya
Dan menebar cinta pada sekelilingnya
Oh Cahya,
Apakah Pergantian waktu yang mengusirmu?
Atau kau menemukan penikmatmu yang baru?
Tuhan, apabila suwarga benar adanya,
Adakah Cahya dapat kupinta untuk selamanya?
Mojokerto, 21-01-2016
1 note
·
View note
Text
DAR DUR DOR
Sejauh ini Mamat adalah orang yang paling betah berada di lingkaran dalam atau inner circle pertemanan Awang. Ya, meskipun dengan begitu banyak sifat-sifat Awang yang bikin mbelenek[1]: keras kepala seperti Plato dan curigaan macam Socrates. Sebagai orang terdekat Awang, Mamat memiliki berbagai catatan mengenai keanehan temannya itu. Dan dari begitu banyak catatan Mamat tentang Awang, berikut adalah salah satu yang paling menyebalkan:
Dalam beberapa hal Awang memang tidak menaruh simpati pada Budi Waseso atau yang akrab dipanggil Buwas—Komisaris Jenderal Polisi yang dikenal sangat berwibawa dan berani—tapi, dia terus mengikuti perkembangan beritanya sejak Buwas ditempatkan sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional. Lalu, apakah itu berarti minatnya pada Pak Buwas sekarang sudah berubah? Entahlah. Buat Mamat yang seperti itu perlu dicurigai. Jangan-jangan, sekarang Awang sudah menjadi seorang Buwas Lover. Atau akan segera menggagas Buwas Fans Club (BFC). Bukan maksud mamat untuk melarang namun, perlu ditelusuri apa yang membuat Awang Berubah; kalau memang dia berubah.
Kecurigaan mamat semakin menjadi-jadi ketika dia melihat Awang sedang berada di kamar kosnya sambil menonton Televisi (TV)—sesuatu yang sangat jarang dilakukannya. Telapak tangannya terlipat, telunjuk dan jari tengahnya diluruskan menyerupai pistol-pistolan yang siap menembak siapapun. Matanya meneropong ke kedalaman TV yang memberitakan tentang Budi Waseso.
“Cie-cie… Sekarang Haters jadi lovers ni yee…” Kata Mamat memancing
Responnya sedikit lambat. Dengan perlahan dia palingkan wajahnya ke hadapan Mamat. Pistol-pistolannya juga tidak ketinggalan mengikuti dan…
“DAR DUR DOR!” gertak Aawang seolah-olah sedang menembaki seorang mafia.
Mamat terperanjat kaget mendengar ucapan aneh dari mulut Awang. Bagaimana tidak kaget, suara pengucapannya sudah hampir mirip pistol sungguhan.
“DAR DUR DOR!” Awang mengulangi.
Mamat sontak terheran-heran; meskipun sebenarnya dia sendiri sudah terlalu sering dibuat bingung oleh Awang. Kemudian Mamat mengamati Awang secara lebih dalam. Matanya menjelajahi sudut-sudut kamarnya; tidak ada yang aneh! Buku, kamus, dan boneka-boneka kesayangan Awang masih berada di tempat yang wajar. Tidak, tidak ada yang berbeda. Ketika pandangan Mamat mengarah pada TV, Mamat menemukan sesuatu: saat itu salah satu stasiun TV sedang memberitakan tentang pernyataan Pak Buwas yang tertarik untuk menerapkan kebijakan pemberantasan narkoba seperti yang dilakukan oleh Filipina—pemberantasan narkoba dengan cara yang sangat represif: menghabisi para mafia narkoba dengan cara ditembak dari jarak jauh. Wacana penerapan kebijakan tersebut semakin heboh karena kabarnya Presiden Filipina, yang menggagas metode pemberantasan narkoba di negaranya tersebut, sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Yang jelas suasananya terlihat serba kebetulan dan menjadi sangat menarik.
“Oh, jadi maksudnya kamu sedang menirukan gaya Duterte dalam meberantas narkoba? Pake gaya DAR DUR DOR?” mamat mencoba menebak dan berharap kali ini dia tepat dalam menerka.
“DAR DUR DOR!” Awang mengulangi gaya koboinya. Kali ini ditambah dengan gelagat meniup ujung jarinya seolah ada asap mesiu yang keluar dari pistol khayalannya. “Fuh…”
“Sial!” kata Mamat sebal. “Yaudah terserah kamu, Wang. Dasar Wong Edan!” katanya sambil membereskan barang-barangnya hendak pamit. “Aku pergi aja lah” ucap Mamat mengakhiri
Tanpa mempedulikan Mamat yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi dari kamarnya, Awang mengulangi sekali lagi “DAR DUR DOR!”.
Mamat kemudian merasa terpancing emosinya dan menceburkan dirinya kembali ke kolam pembicaraan yang tidak jelas itu. “Jadi maksudnya kamu setuju? Kalau Pak Buwas menerapkan kebijakan yang sama dengan yang diterapkan Duterte? Menembaki para mafia narkoba tanpa di adili seperti itu? Langsung main DAR DUR DOR?”
Awang mulai tersenyum dan terlihat hendak mengakhiri kegilaannya.
“Memangnya apa yang salah dengan DAR DUR DOR?” Ucap Awang untuk pertama kalinya.
“Maksudmu kebijakan menembak para mafia narkoba itu? Ya jelas salah lah! Dalam menegakkan keadilan bukan berarti kita boleh membunuh orang seenaknya. Di Ilmu Hukum ada yang namanyapresumption of innocence atau praduga tidak bersalah. Maksudku, bagaimana kalau ternyata yang ditembak itu tidak bersalah?” Mamat duduk bersila dan memulai argumennya yang ndakik-ndakik[2] dengan nada menantang.
“Lho, siapa bilang ini soal tembak-menembak, atau hakim menghakimi? Ini soal DAR DUR DOR!” Awang menaikkan nada bicaranya
“Lha, terus apa maksudnya DAR DAR DOR, Wang?
“DAR DUR DOR itu maksudnya: Demokrasi Dari Rakyat, Demokrasi Untuk Rakyat, dan Demokrasi Oleh Rakyat. Kalau disingkat DAR DUR DOR” Awang menjelaskan dengan gaya seorang professor yang sedang memberikan kuliah Umum
“Lha, Trus apa hubungannya dengan berita tentang Duterte dan Buwas yang kamu pantengin terus?”
“Lho justru itu, pemberantasan narkoba gaya Duterte itu adalah yang paling demokratis, Mat. Paling DAR DUR DOR!”
Sebenarnya Mamat sudah tak kuasa menahan emosinya, tapi kali ini dia harus menahan segala amarah untuk memenuhi rasa penasarannya.
“Lha kok bisa, coba jelaskan!”
“Coba perhatikan, kalau misalnya kebijakan itu diterapkan: Peluru dan pistol yang digunakan menembak berasal dari uang rakyat; tentara yang menembak itu adalah dulunya rakyat juga—dengan kata lain penembakan itu oleh rakyat, kemudian tembakan itu untuk siapa? Ya untuk rakyat! Pas kan? Dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, DAR DUR DOR!”
Tidak ada hal lain yang keluar dari raut muka Mamat selain senyuman Kecut. Dengan kediaman seribu bahasa, dia mengambil tas nya dan pergi tanpa suara.
“Bocah Edan…” Umpatnya dalam hati.
[1] Jawa: Mual
[2] Muluk-muluk
2 notes
·
View notes
Text
Panggung Kemunafikan Awang 04-08-2016
Tuhan, selamat datang di panggung kemunafikan yang satu ini Di ruang-ruang yang dicat rapih ini Di peron yang lantainya dibubuhi penanda ini, Di lorong-lorong penguk yang berjejal orang berjubah putih ini Terimalah kemunafikan dan kehinaan kami Karena hanya di sinilah kami mulai menyebut-nyebut namamu Mengembik padamu memohon kesembuhan Menjilat belas kasihanmu demi terhindarkan dari kesakitan Mengemis padamu agar biaya pengobatan tidak kemahalan Hamba ucapkan, Selamat datang di panggung kemunafikan ini Semoga engkau terima ke licikan dan kehinaan kami Amin,
1 note
·
View note
Text
Awang 02-08-2016 Kalau saja maafku ini lebih besar dari gunung di seberang sana Yang tengkurap agung penuh wibawa Yang kokoh tertanam ke dalam bumi untuk sekian lama Pasti sudah kuseruakkan perasaan ku ini sejak waktu yang lalu-lalu
2 notes
·
View notes
Text
[Rindumu dan Ketiadaanku] Awang 01-06-2016
Rindu ku tidak terlukiskan Kalau kau ingin melihatnya, Tataplah cahaya api matahari, Yang Hangat namun kadang menyakitkan Rinduku tidak tersuarakan Kalau kau ingin mendengarnya, Resapi gemuruh badai Yang begitu kencang berderu, meski dalam kegelapan Rinduku tak kau rasakan Kalau kau sudah ingin merasakannya Pastilah saat itu aku sudah tiada
0 notes
Text
Kosongnya hati, hati yang kosong
Apa yang lebih menyentuh selain berbicara tentang kejujuran hati? Apa yang lebih puitis selain berbicara tentang kekosongan? Apa yang lebih menyentuh dan puitis selain berbicara tentang hati yang kosong? Jujur, hati ini kosong.. Sekosong niat untuk kembali Sekosong kotak masuk ponselku, karena memang tidak ada (yang bisa) dihubungi, dan tiada ingin pula hati yang kosong ini terisi kembali
0 notes
Text
Pembicaraan tiga pecundang: Nadjib, Wibowo dan Soleh
Nadjib: bagaimana bisa kalian masih mempercayai hal-hal yang tidak rasional? Dunia sudah semakin maju kawan, teknologi mengajarkan kepada kita untuk menggunakan akal budi, bukan khayalan! Wibowo: Nggak rasional gimana maksudmu? Nadjib: lha yang selalu kamu cuitkan itu. Yang perpolitikan usang dari tanahmu itu. Yang Satrio Piningit lah, yang Joko Paluombo lah, yang Jokowi lah. Ini lah, itu lah!? Wibowo & Soleh : *diam sejenak Wibowo: Sejak kapan dunia jadi rasional? Soleh: Bener itu! Perasaan ora ono yang rasional, apalagi dalam politik. Wibowo: Rasional yang mana? Selama ini saat kita ingin memilih, kita hanya disuguhi pilihan-pilihan yang seperti belut. Licin, akrobatis, dan penuh kepentingan. Mana kebebasan memilihnya? Wong kita hanya diberi pilihan-pilihan yang tidak rasional. Itu-itu saja. Tidak ada yang baik, tidak ada yang tulus, tidak ada yang rasional! Yang baik-baik fotonya gak ada di kertas suara! Soleh: Iya, mana lagi yang rasional? Dulu sesosok wanita menang dalam pemilu. Namun, gagal jadi presiden karena dia perempuan. Opo ya itu yang rasional? Nadjib : ya tapi itu kan.. (Dipotong Wibowo) Wibowo: Lha sekarang aturannya gimana? Yang menang pemilu siapa waktu itu? Nadjib: Ya Bu Mega, Soleh: Trus yang jadi presiden siapa? Nadjib: Gus.. D.. Dur.. (Ragu-ragu menjawab) Soleh: coba pake rasio mu, mana bisa menang pemilu tapi gajadi presiden? Nadjib : *nyruput kopi tubruk sambil, ngernyitkan dahi Wibowo: Sudah tahu kenapa kami suka membahas yang katamu usang itu? Yang tidak rasional? Soleh : Ya justru itu Djib, kita suka membahas yang tidak rasional karena memang begitulah dunia... (Disambung Bowo) Wibowo: tidak rasional... (Disambung soleh) Soleh: Alias Jan-... Semua: coeg... (Jancoeg: kata berjuta makna) Nadjib : Ealah, mugo-mugo slamet ae...
0 notes
Text
[Kemiri Kasihku Padamu: Ibu] Awang 21-12-2015
Bukankah Ibu yang mengajarkan kita? Agar bertutur santun Misalnya ketika berhadapan dengan yang lebih tua Atau ketika berhadapan dengan sebaya Bukankah Ibu yang mengajarkan kita? Agar berpeluh ketekunan Misalnya saat diajarkannya berjalan Atau ketika pesannya tentang Doa dan usaha yang harus bersamaan Bukankah Ibu yang mengajarkan kita? Agar meniupkan nafas kebenaran Misalnya saat diminta membeli kemiri Atau saat diminta jujur tentang Siapa yang memukul kita siang tadi lalu ketika tidak terbesit di benakmu: -Berkenaan dengan keharu biruan keadilan -Berkenaan dengan carut marutnya iman -Berkenaan dengan kaburnya kasih sayang Untuk melakukan sesuatu... Bukankah kau tau ibu mu akan malu? Menyambut Hari Ibu Jangan biarkan Indonesia kehilangan kasih ibu
1 note
·
View note
Text
Dendam Burung Senayan
Rendra Awang Saputra
Dendamnya burung di senayan Hanya bisa diartikan Oleh kencing amis keresahan Bahkan ngelesnya Yang membuat gaduh Yang bertanya tidak penting Yang ngotot cari pembenaran Yang memilih yang tak kompeten Yang menolak yang tenang Hanya bisa diresapi oleh Pipis pekat bercampur nanah Milik pertiwi kelabu Yang bahkan sudah tau Segala bentuk penghinaan terhadapnya Sebelum para burung di senayan Memulai kicauan distraksi bau pesing Dan mengakhiri hinaan bau amis
1 note
·
View note
Quote
Well, time changes everything. There’s nothing is eternal. Neither relationship nor capitalism is eternal. Time is an eternal poisons and medicine, that has been made by an eternal maker named god.
Awang 07-12-2015
0 notes
Text
Dan kerinduan ini selalu jadi milikmu, Ndut Selama masih kupercaya kemudahan setelah kesulitan Selama masih kupercaya munculnya pelangi setelah gemuruh badai Selama itu selalu kerinduanku milikmu Pertemuan itu akan datang, Ndut
0 notes
Photo

"Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat dan teluk" Di laut, Justru kita jaya -JALESVEVA JAYAMAHE-
0 notes
Text
Sang Ia
Beberapa waktu lalu sang Ia menghilang sementara Menyabut diri dari ladang gersang peradaban dunia Ada suka dukanya, Terpusarkan angin kebingungan Terbiaskan kilau hijau tanaman orang Merasakan nikmat fantasi kesunyian. Tak jarang, inspirasi tertemu dinpenghujung persimpangan pertanyaan Beberapa waktu lalu, Ia kehilangan legendanya, pelipur laranya. Merasa ditinggal, sang pengembara cerita2 legenda yang didamba untuk ditemukannya ......... Pertemuan soekarno dan inggit sudah direncanakan, setidaknya oleh yang kuasa. Tapi secanggih apapun rencana tuhan, subjek percanaan tetap akan memaknainya sebagai sebuah kejutan, atau yang mengejutkan Begitu pula halnya dengan sang Ia. Sudah lama ia tak bergelut dengan cerita, legenda, baju berwarna rupa, dan suara2 biasnya. Tapi sejak kepergian sang legenda, ditambah komunitas barunya, ia seakan sadar bahwa dia ada untuk bercerita Tuhan itu sang penjawab segala pertanyaan. Pelipur segala kegundahan. Sang Ia digugah hatinya oleh seorang wanita, yang seolah2 bersuara Sang Ia harus tetap berjuang di jalan yang baru kembali padanya. Berjuang walau sang legenda telah hilang. Sekarang anak gembala telah kembali, Pendidik, penghibur, pelipurlara, tonggak peradaban baru telah mengangkat penanya. Diangkat penuh keyakinan, tanpa keraguan. Sang Ia
0 notes
Text
Sang Ia
Beberapa waktu lalu sang Ia menghilang sementara Menyabut diri dari ladang gersang peradaban dunia Ada suka dukanya, Terpusarkan angin kebingungan Terbiaskan kilau hijau tanaman orang Merasakan nikmat fantasi kesunyian. Tak jarang, inspirasi tertemu dinpenghujung persimpangan pertanyaan
Beberapa waktu lalu, Ia kehilangan legendanya, pelipur laranya. Merasa ditinggal, sang pengembara cerita2 legenda yang didamba untuk ditemukannya ……… Pertemuan soekarno dan inggit sudah direncanakan, setidaknya oleh yang kuasa. Tapi secanggih apapun rencana tuhan, subjek percanaan tetap akan memaknainya sebagai sebuah kejutan, atau yang mengejutkan
Begitu pula halnya dengan sang Ia. Sudah lama ia tak bergelut dengan cerita, legenda, baju berwarna rupa, dan suara2 biasnya. Tapi sejak kepergian sang legenda, ditambah komunitas barunya, ia seakan sadar bahwa dia ada untuk bercerita
Tuhan itu sang penjawab segala pertanyaan. Pelipur segala kegundahan. Sang Ia digugah hatinya oleh seorang wanita, yang seolah-olah mengingatkan Sang Ia tuk tetap berjuang di jalan yang baru kembali padanya. Berjuang walau sang legenda telah hilang.
Sekarang anak gembala telah kembali, Pendidik, penghibur, pelipurlara, tonggak peradaban baru telah mengangkat penanya. Diangkat penuh keyakinan, tanpa keraguan. Sang Ia
0 notes