Text
skateboard
hari Selasa kali ini diawali dengan matahari yang bersembunyi. Astaka pergi ke kantor seperti biasa. berkutat dengan alat musik dan menemani Fian makan gorengan di warung tenda depan.
pukul dua, sebuah pesan dari Kaluna menyapa handphone Astaka. Kaluna memberi kabar bahwa dirinya ingin bertemu. Astaka mengiyakan tanpa ragu, sudah hampir dua minggu komunikasi yang terjalin antara mereka hanya sebatas berbalas pesan dan melakukan panggilan video sebelum tidur. Astaka sedikit mengutuk jadwal mereka yang tidak pernah cocok.
jam pulang kantor disepakati keduanya untuk menjadi waktu bertemu. Astaka mengatakan bahwa ia akan menjemput Kaluna di klinik menggunakan motor. ia mengatakannya sebagai bentuk informasi dan antisipasi kalau saja Kaluna sedang tidak ingin rambutnya lepek dan bau asap kendaraan. namun ternyata, Kaluna mengiyakan dengan cepat. dirinya juga tidak bisa menyembunyikan perasaan senang untuk segera bertemu Astaka dan memeluknya dari bagian belakang motor.
ketika seluruh pekerjaan hari itu sudah selesai, meeting dengan klien sudah diakhiri, kelistrikan di studio sudah dipastikan mati, Astaka melangkah menuju basement kantor, bersiap untuk menjemput Kaluna. Astaka tersenyum karena ia ingat bahwa helm yang ia beli khusus untuk Kaluna, ia simpan di loker miliknya sehingga ia tidak perlu terlebih dulu kembali ke kosan atau meminjam helm milik satpam kantor.
"Asta! oi!", saat hendak menyalakan motor, sebuah suara menginterupsi Astaka. ia menoleh. ternyata yang memanggilnya adalah Ronald, seorang rekan dari divisi marketing.
Astaka hanya mengangkat dagunya, seolah berkata 'apaan?'
"lo lagi selo kan ya?" tanya Ronald.
Astaka memperhatikan dirinya sendiri. benar, dirinya tidak sedang berada dalam kondisi terburu-buru, toh jam praktik Kaluna baru berakhir satu jam lagi.
"ya gini aja." jawab Astaka.
Ronald menjentikkan jarinya, "nah. pas banget."
Astaka menautkan kedua alisnya saat tangan Ronald memberikan sebuah skateboard ke arahnya.
"gue titip papan dong, besok gue ambil ke apartemen lo." ujar Ronald.
Astaka masih heran, "kenapa ngga lo simpen sendiri?"
Ronald mengganti tumpuan pada kakinya, "ngga bisa. ini tiba-tiba aja nyokap ngajak ke gereja. masa iya gue nenteng-nenteng papan begini sambil ibadah."
"kan lo punya loker?" tembak Astaka.
"yaelah. loker gue ngga bisa dikunci. takut kalo ada yang ambil juga. kesayangan nih." ujar Ronald sambil menunjuk ke arah skateboard yang saat ini sudah berada di pangkuan Astaka.
Astaka melirik ke arah jam tangannya. 50 menit lagi Kaluna selesai bekerja. ia tidak mungkin mengulur waktu hanya untuk berdebat dengan Ronald mengenai sebuah papan.
"yaudah, tapi besok beneran ambil ke kosan gue ya. gue males bawa-bawa ginian ke kantor." jawab Astaka yang direspon dengan anggukan semangat dari Ronald.
"siap. thank you, bro. gue jalan dulu ya." Ronald meninggalkan Astaka setelah menepuk pundaknya.
setelahnya, Astaka memandangi skateboard itu dan tanpa ia sadari, senyumnya tercetak di wajah.
"jadi kangen punya gue." gumam Astaka sembari meletakkan papan tersebut di antara punggung dan ranselnya. akhirnya, motor Astaka melaju membelah jalanan dengan langit yang menampakkan sedikit semburat jingga.
Astaka tiba di klinik tempat Kaluna bekerja bersamaan dengan Kaluna yang selesai mengobrol dengan salah satu perawat mengenai jadwal praktiknya esok hari.
Kaluna berjalan ke arah motor Astaka yang terparkir di bawah pohon mangga. atensinya langsung terarah ke sebuah skateboard di bagian belakang Astaka.
"hari ini kamu ngga ngantor?" tembak Kaluna.
"ngantor dong. masih butuh duit ini. kamu heran karena aku bawa-bawa papan gini? ini mah punya Ronald, temen kantorku. dia nitip karena beres kerja tadi langsung diajak mamanya ke gereja." Astaka seolah menjawab seluruh pertanyaan yang ada di kepala Kaluna.
"yuk naik." ujar Astaka setelah berhasil mengaitkan tali pengaman di helm Kaluna dan memastikannya terpasang dengan baik.
beruntung hari itu Kaluna menggunakan bawahan kulot panjang berwarna gelap, jadi dirinya tidak perlu membonceng miring dengan kondisi mereka yang terhalang ransel dan skateboard di punggung Astaka.
namun, baru lima menit perjalanan, Kaluna berkata pada Astaka dengan sedikit berteriak karena suaranya beradu dengan angin dan klakson kendaraan.
"kayanya ini ranselmu aku aja yang bawa." ujar Kaluna.
"hah? apa, Kal?" jawab Astaka tak kalah kencang.
Kaluna menepuk pundak Astaka dan memberi isyarat dengan tangannya, memerintahkan Astaka untuk menepi.
setelah motor berhenti di pinggir jalan, Astaka kembali bertanya.
"ada apa, Kal? kamu ngga apa-apa kan?" Astaka memindai Kaluna yang sudah berdiri di samping motor, kalau-kalau Kaluna terluka dan sebagainya.
"ini ranselmu aku aja deh yang bawa." ujar Kaluna sambil menunjuk belakang punggung Astaka.
Astaka mengangkat satu alisnya, "emang kenapa?"
"duduk kita kehalang sama ranselmu, apalagi itu ada papannya. aku susah buat peluk kamu." jelas Kaluna.
Astaka tertawa, "kangen banget ya, Kak, sampe pengen peluk-peluk." kalimat itu dihadiahi dengan pukulan Kaluna di bahu Astaka.
"lagian, emang kamu ngga masalah? ini ada papannya loh, Kal." Astaka berusaha meyakinkan.
"ya emang kenapa? itu kan cuma ransel yang ketambahan papan kayu doang di tengahnya?" jawab Kaluna.
Astaka berpikir sejenak sebelum akhirnya memberikan ransel dan membantu Kaluna untuk mengenakannya di punggung. sedangkan tas kerja Kaluna sudah sedari tadi tersimpan manis di gantungan depan motor.
tanpa waktu lama, Kaluna sudah kembali ke atas motor. kali ini duduknya bisa lebih dekat dengan Astaka. lebih mudah jika ingin memeluknya.
"kamu mau langsung pulang atau ke mana dulu?" tanya Astaka ketika mereka berhenti di salah satu lampu merah.
"kalo aku minta ke GOR Bulungan dulu, kamu mau ngga?" tanya Kaluna.
Astaka sedikit menoleh, "GOR Bulungan? Blok M?"
Kaluna menjawab dengan anggukan.
Astaka masih belum medapat jawaban atas rasa ingin taunya, "suddenly?"
"iya. aku tiba-tiba kepikiran aja karena kamu tiba-tiba dateng bawa skateboard gini. di sekitar sana banyak kan ya anak muda nongkrong main skateboard? aku juga lagi pengen jajan tahu bulat." jelas Kaluna.
Astaka tersenyum ketika mereka kembali melaju. oh, Kaluna benar-benar susah terprediksi.
"oke. as you wish, Princess." jawab Astaka dan mengarahkan motornya menuju tujuan yang diinginkan Kaluna.
perlu waktu 20 menit untuk Astaka dan Kaluna tiba di Kawasan GOR Bulungan yang dimaksud oleh Kaluna. mereka memarkirkan motor dan perhatian Kaluna langsung tersita oleh para penjual jajanan kaki lima.
pemandangan mereka cukup lucu, Kaluna mengenakan celana kulot, kemeja semi formal, dan loafers berwarna coklat tua, tapi membawa ransel berwarna hitam dengan pin dan gantungan kunci di bagian kanan-kiri sekaligus skateboard yang masih tersimpan di sana. sedangkan Astaka mengenakan blue jeans, kaos oblong yang ditimpa dengan flannel berwarna abu-abu, dan Converse hitam andalan, tapi menenteng tas kerja wanita.
namun, Astaka dan Kaluna tidak menghiraukan hal tersebut. mereka fokus berburu jajanan yang seolah memanggil mereka untuk dicicipi. sekitar 10 menit berlalu, Astaka dan Kaluna sudah duduk di salah satu bangku yang ada. Astaka dengan batagor dan telur gulung, sedangkan Kaluna dengan tahu bulat dan cilung.
tidak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat beberapa anak muda sedang bermain skateboard. Astaka tebak mereka satu komunitas, Kaluna menyetujuinya.
"jadi, kok bisa dititipin skateboard?" tanya Kaluna sembari mengunyah tahu bulat ke-limanya.
Astaka menjawab dengan menceritakan kejadian di basement kantor bersama Ronald sebelumnya.
"kok diambil ke kosan?" Kaluna masih memiliki pertanyaan.
"rumah Ronald ngga jauh dari tempatku. 10 menit naik motor kalo ngga salah." Astaka menjawab sambil mengunyah telur gulung ke-tujuhnya.
"aku kira kamu tiba-tiba nambah hobi." ujar Kaluna.
Astaka mengangguk-angguk, "i was."
Kaluna menoleh. alisnya tertaut seolah menuntut penjelasan atas perkataan Astaka barusan.
"ya, i was playing skateboard back when i was a kid. waktu kelas 3 SD kalo ngga salah." jelas Astaka.
"terus, kok sekarang udah ngga?" Kaluna mulai tertarik dengan kisah masa kecil yang Astaka lontarkan.
"aku berhenti." ucap Astaka.
"kamu jatuh? cedera?" cecar Kaluna.
Astaka tertawa, "bukan, Kal. aku berhenti karena waktu itu papanku rusak. bagian truck hanger nya, eummm bagian penghubung roda nya, itu patah pas dipinjem sama temenku." Astaka menyederhanakan penjelasannya agar Kaluna paham.
Kaluna menganggukan kepalanya, "kan bisa beli baru?"
Astaka mulai membuka bungkus batagornya, "iya ya? kenapa ya? oh! waktu itu aku sadar kalo ternyata aku lebih tertarik main bola dan sepedaan daripada main skateboard." jawab Astaka.
Kaluna ber-oh-ria, "padahal keren kalo sekarang masih main."
Astaka melirik Kaluna, "ah, aku mah keren mau ngapain juga."
"dih, pede gila!" cibir Kaluna. Astaka hanya tertawa karena ia paham bahwa ucapan Kaluna hanya untuk menggodanya.
Astaka pun membalas godaan Kaluna, "iya dong. kalo aku ngga keren, mana mau kamu sama aku."
tangan Kaluna bergerak cepat untuk mencubit pipi Astaka gemas, "iya deh si paling keren."
Astaka tertawa, "kamu yang paling keren karena kamu mau sama orang keren kaya aku."
"apasih jadi muter-muter. kita sama-sama keren karena aku sayang kamuuu." ujar Kaluna sedikit berteriak.
"yey! seluruh dunia harus tau kalo Kaluna sayang sama aku!" pekik Astaka.
Kaluna menyaksikan Astaka yang tertawa dengan tatapan penuh kekaguman. Kaluna berpikir bahwa Astaka berbeda dari yang lain. Astaka lah yang tidak menolak (bahkan menawarkan diri) untuk membantunya berkutat di dapur saat Astaka dan mantan Kaluna masih berada di satu band yang sama. Astaka yang tidak malu untuk menemani Kaluna berbelanja make up dan bersedia tangannya menjadi pallette dadakan karena tangan Kaluna sudah penuh dengan coretan shade lip product. Astaka yang selalu menawarkan diri untuk menjemput Kaluna dan memastikannya sampai di rumah dengan selamat. dan Astaka yang bisa membuat Kaluna bahagia, bahkan dengan sekadar duduk bersama sambil ditemani tahu bulat dan telur gulung.
tapi di sisi lain, Astaka juga menyimpan kekaguman yang sama terhadap Kaluna. Astaka menyukai Kaluna yang menyukainya.
0 notes
Text
i'll deal with it
setelah momen di ruang tamu Astaka dua minggu yang lalu, tidak ada yang berubah. Astaka dan Kaluna sibuk dengan tanggung jawab mereka masing-masing, Astaka bertemu klien dan berkutat dengan alat musik serta diskografi, sedangkan Kaluna menangani pasien dengan keluhan yang beragam tiap hari.
meski demikian, baik Astaka maupun Kaluna tetap menyempatkan diri untuk sekadar bertukar selamat pagi dan bertanya mengenai bagaimana hari mereka berjalan ketika sebelum tidur.
"ya mau gimana, Bro. namanya juga udah gede, punya kesibukan masing-masing. gue sama cewek gue juga gitu kok. intinya komunikasi nomer satu dah." wejangan itu dilontarkan oleh Fian saat istirahat makan siang.
Astaka mengela napas ketika meletakkan sepatunya di rak. ia pulang lebih cepat hari ini. semua karena meeting terakhir yang diadakan di sebuah coffee shop dekat tempat tinggalnya. waktu untuk bekerja masih tersisa satu jam, tapi Si Bos mengatakan bahwa Astaka tidak perlu kembali ke kantor.
Astaka mendudukkan diri di kursi kerjanya, menyalakan komputer, lalu mengirim beberapa Email.
handphone nya menunjukkan baterai masih tersisa 52 persen ketika nama Kaluna tertera di layar. Astaka tersenyum melihatnya.
halooo, aku pulang cepett.
long weekend kemarin bikin pasien hari ini beludakkk.
aku capekkk.
tiga bubble chat yang membuat Astaka dapat membayangkan bagaimana wajah Kaluna yang terlihat lelah, tapi tetap menggemaskan.
ihhh, parah diread doang.
jual mahal ya sekarang. mentang-mentang kalo kerja sering ketemu artiss. 😾
Astaka tertawa.
halo, Bu Dokterrr.
wkwkwk. bukan jual mahal, aku lagi senyum-senyum sendiri gara-gara di-chat sama dokter cantik., balas Astaka.
senyum-senyum sendiri?! kamu orang gila yaa 🫵🏼🙀
Astaka masih tertawa.
iyanih. gila gara-gara Kaluna cantik banget sampe bikin pusing., jawab Astaka dengan percaya diri.
tiba-tiba panggilan masuk, Kaluna menelepon.
"halo?" sapa Astaka.
"halo, orang gilaaa." suara Kaluna terdengar ringan. mungkin inilah efek dari beban pekerjaan yang selesai lebih cepat.
Astaka merespon dengan tawa.
"ada apa, Kal?" tanya Astaka.
"makan taichan yukkk." Kaluna mengajak.
"sekarang?"
"emang kamu udah beres kerja?" giliran Kaluna yang bertanya.
"udah nih."
"kok bisa? kamu iri sama aku karena hari ini aku selesai cepet, jadi kamu ikut-ikutan selesai cepet ya?!" tuduh Kaluna yang Astaka pahami bahwa lawan bicaranya itu sedang bergurau.
Astaka memutuskan untuk mengikuti alur yang Kaluna ciptakan, "iya nih. aku kangen sama Kaluna soalnya, udah hampir dua minggu ngga ketemu."
Astaka dapat mendengar Kaluna tertawa di ujung sana, "ooo gituuu. yaudah, kata Kaluna kalo kamu kangen sama dia, dia ngajakin ketemu."
"kamu kenal sama Kaluna ya?" tanya Astaka iseng.
"iya. aku kenal sama dia." jawab Kaluna.
"yaudah, tolong tanyain ke Kaluna dong, mau dijemput di mana dan jam berapa gitu."
"oke, sebentar ya."
ada sedikit jeda. Astaka menahan tawanya karena saat ini jelas-jelas yang sedang berbicara dengan dirinya adalah Kaluna, tapi Kaluna berlagak seolah-olah Kaluna adalah orang lain yang bukan dirinya.
"halo, gimana?" ujar Astaka memecah keheningan.
"eummm, kata Kaluna jemput sekarang juga boleh. jemput di klinik aja."
"oke. aku siap-siap bentar ya. nanti kalo otw aku kabarin."
"kabarin siapa?" tanya Kaluna.
"kabarin Kaluna dong." jawab Astaka.
"hehehe. oke, ditunggu kabarnya." ujar Kaluna yang kemudian telepon ditutup.
Astaka segera bersiap. berlari ke kamar untuk berganti pakaian. pilihannya kali ini jatuh kepada jorts berwarna biru tua, kaos hitam polos, dan sepatu Converse Chuck Taylor hitam andalan.
waktu tempuh dari tempat tinggal Astaka sampai klinik tempat Kaluna bekerja biasanya hanya memakan waktu dua puluh menit, tapi kemacetan menyebabkan Astaka memerlukan waktu 40 menit hingga benar-benar tiba.
Kaluna langsung masuk ke mobil Astaka setelah berpamitan dengan beberapa perawat yang Astaka tebak mendapat shift malam. langit masih cerah tatkala mobil melewati jalan layang yang menyajikan potret matahari tenggelam yang melukiskan warna jingga.
Astaka menoleh ke kursi penumpang dan mendapati Kaluna menatap lurus ke depan. Astaka mengarahkan mobil ke jalur kiri dan mengurangi kecepatan.
hal tersebut disadari oleh Kaluna yang membuatnya menoleh ke arah kemudi.
"kok melambat?" tanya Kaluna.
Astaka tersenyum, "kamu jarang bisa liat pemandangan sunset secara langsung kan?" tebak Astaka. "kamu biasanya jam segini masih ketemu pasien at least sampai jam tujuh malem." lanjutnya.
Kaluna tersenyum. kepalanya dipenuhi pikiran bahwa bagaimana bisa Astaka memperhatikan dan memberikan apresiasi pada detail kecil tentang dirinya.
tangan Astaka bergerak untuk mengelus lengan kanan Kaluna, "enjoy it, Kal. enjoy the sunset."
sebelum tangan Astaka beranjak, Kaluna lebih dulu menahan pergerakannya, "stay still."
butuh waktu setengah jam hingga pada akhirnya Astaka dan Kaluna duduk di kedai sate taichan yang tidak terlalu besar.
Astaka mengedarkan pandangan. beberapa meja dengan kursi plastik, kipas angin menempel di tembok, dan udara yang panas.
"aku kira kamu ngga suka makan di tempat kaya gini." ujar Astaka.
"kata siapa?" mata Kaluna mendelik.
"aku kira."
Kaluna mengangkat bahunya, "aku udah pernah bilang deh kayanya, as long tempatnya bersih, aku fine-fine aja."
Astaka mengangguk ketika pelayan mengantarkan satu porsi sate taichan, satu gelas jeruk hangat, dan satu gelas es teh manis.
"loh? kok cuma satu?" tanya Kaluna ketika pelayan sudah beranjak dari meja mereka.
"kan kamu mau taichan." jawab Astaka sembari mengelap sendok dan garpu dengan tisu sebelum meletakkannya di piring Kaluna.
"kamu ngga makan?"
"aku kurang suka taichan, Kal." ujar Astaka yang dihadiahi dengan wajah Kaluna yang ditekuk.
"kalo kamu ngga suka taichan, kita bisa makan yang lain." ucap Kaluna sembari mengaduk jeruk hangatnya.
"tapi kan kamu mau?"
"ya aku jadi makan sendiri." jawab Kaluna dengan ketus.
Astaka tertawa sambil menyingkirkan beberapa potongan cabai yang ada di piring Kaluna. ia paham bahwa Kaluna tidak terlalu bisa makan pedas.
"udah, makan aja." titah Astaka, "lagian poin pentingnya sekarang kan aku bisa ketemu sama kamu." lanjutnya.
nampaknya sate taichan berhasil mengalihkan perasaan kesal Kaluna. ia makan dengan lahap, sedangkan Astaka beberapa kali mengasongkan tisu untuk membersihkan sudut bibir Kaluna yang terkena bumbu sate.
setelah membayar, Astaka dan Kaluna berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir 100 meter dari kedai taichan. lengan mereka saling bertautan.
tidak ada percakapan yang berarti selama perjalanan pulang. Astaka menyalakan radio yang memainkan lagu Hari Bersamanya dari Sheila on 7. sedangkan Kaluna menyandarkan kepalanya di head rest dengan mata yang hampir menutup karena kantuk yang menyerang.
"Kal, udah sampai." ujar Astaka sambil mengelus sisi kepala Kaluna.
"oh?" Kaluna sedikit terkejut.
"udah sampai depan rumahmu." Astaka mengulang perkataan.
Astaka berlari turun dari mobil terlebih dahulu, membukakan pintu mobil untuk Kaluna, dan dengan sigap membantu membawakan tasnya yang berukuran sedang.
mereka berjalan berdampingan dengan tangan Astaka yang menggenggam tangan Kaluna. ini bukan modus. Astaka melakukannya atas dasar agar Kaluna tidak kehilangan arah dan keseimbangan.
pintu rumah Kaluna langsung terbuka. menampilkan satu asisten rumah tangga yang seingat Astaka bernama Bi Diyah.
"oalah, akhirnya Non Kaluna pulang. eh? sama mas siapa ini? bibi lupa." ujar Bi Diyah ketika melihat anak majikannya pulang diantar oleh seorang laki-laki.
"Astaka, Bi." jawab Astaka sopan.
"ohhh, iya. Mas Astaka. eh anu, masuk dulu, Mas. sekalian bibi buatkan minum."
"hehehe. lain kali aja, Bi. ngga enak juga, udah malem." Astaka menolak.
mendengar kalimat itu, Kaluna yang masih terkantuk menoleh ke Astaka sambil mengerucutkan bibirnya. "kok gitu? mampir dulu ih."
Astaka tersenyum setelah memberikan barang bawaan Kaluna kepada Bi Diyah untuk diletakkan di kamar Kaluna.
"kapan-kapan aja, Kal. lagian matamu juga udah lima watt gitu." ejek Astaka.
Kaluna yang mengantuk luar biasa pun tidak memiliki tenaga untuk mendebat Astaka saat ini.
"yaudah, kamu langsung pulang ya, Ta." ujar Kaluna, "anyway, aku masih sedikit ngambek loh karena kamu ngga bilang kalo kamu ngga suka taichan, jadinya kamu tadi cuma liatin aku makan kan." lanjut Kaluna.
Astaka tertawa, "ya ngga apa-apa dong? kan aku yang mau temenin kamu."
"tapi kamu ngga suka taichan."
"as long as it makes you happy, i'll deal with it." ujar Astaka.
Kaluna menatap mata Astaka. tiba-tiba saja, bibir Kaluna mendarat dengan cepat di pipi kiri Astaka.
"kamu jelek."
"terus kalo jelek kok dicium?" Astaka menyunggingkan senyum jahil.
"kamu jelek soalnya why are you sooo my type ya? hhhhh." ujar Kaluna dengan nada mengeluh, tapi terdengar sangat lucu di telinga Astaka.
Astaka ber-oh-ria sebelum mencuri kesempatan untuk mencium pipi Kaluna sekilas. Kaluna terkesiap.
"biar impas. hehe." ucap Astaka. tangannya mengacak pelan rambut Kaluna yang sudah tidak serapi tadi pagi sebelum ia berangkat ke klinik, namun tetap membingkai dengan sempurna wajah cantik Kaluna.
"yaudah aku balik dulu ya, Kaluna."
Kaluna hanya mengangguk pelan sembari menahan senyum.
"hati-hati jangan?" tanya Astaka saat selangkah lagi memasuki mobil.
"hati-hati. nanti kabarin kalo udah sampai!" Kaluna harus sedikit berteriak karena jarak mobil Astaka dengan teras rumahnya cukup jauh.
"siap, Bos." jawab Astaka sambil memberi hormat layaknya seorang prajurit kepada kapten.
selanjutnya, mobil menggerus aspal yang sedikit basah karena gerimis dan membawa Astaka dengan senyum di wajahnya.
1 note
·
View note
Text
dua, lima
entah bagaimana cara bumi bekerja, tapi April benar-benar terasa panjang. setidaknya itu yang dirasakan oleh Astaka. bukan karena ingin terburu-buru, tapi dirinya juga orang biasa yang menunggu momen gajian tiba.
sekelebat, bulan perayaan zodiak Aries sudah berakhir yang berarti dilanjut dengan bulan bagi orang-orang berzodiak Taurus. Astaka tidak terlalu memikirkan rasi bintang apa yang mewakili dirinya, tapi sesuai akta kelahiran, dia hadir ke dunia pada minggu pertama bulan Mei yang terik dengan hujan yang sesekali turun di sore hari.
pagi hari pukul lima lebih lima belas menit, Ibu menelepon. bertepatan dengan beberapa puluh tahun lalu pada saat Ibu mengantarkan Astaka untuk memulai perjalanannya sebagai seorang manusia. "selamat ulang tahun.", itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan oleh Ibu. Astaka menjawab dengan berterima kasih dan dilanjutkan kalimat-kalimat berisi doa dan harapan Ibu bagi dirinya.
panggilan tidak berlangsung lama, Ibu memiliki kepentingan untuk menyiapkan sarapan dan pergi bekerja. Astaka mengucap terima kasih sekali lagi dan panggilan ditutup.
Astaka tidak kuasa untuk tetap terjaga, semalam dirinya harus menemani Fian yang hampir kehilangan kesadaran karena terlalu banyak minum. singkatnya, Astaka harus menjemput Fian ke salah satu bar dekat kantor dan mengantarnya pulang ke kontrakan. sependek pengetahuan Astaka, hubungan Fian dan pacarnya, Hanifa, memang sedang tidak baik-baik saja. hal inilah yang menyebabkan Astaka baru berangkat tidur pukul setengah tiga.
entah berapa lama Astaka terlelap di sofa studio setelah panggilan dari Ibu tadi pagi. sinar matahari sesekali menerobos masuk melalui celah-celah gorden berwarna abu muda. Astaka meraba meja di sampingnya, mencari letak handphone dan tidak menemukan adanya pesan masuk dari seseorang yang diharapkan.
Astaka mendengus pelan dan tiba-tiba tersadar bahwa tidak seharusnya ia kesal. hari ini adalah hari perayaan baginya. hari di mana seharusnya Astaka memprioritaskan dirinya tanpa harus menggantungkan ekspektasi pada orang lain.
dengan pikiran positif yang sedikit dipaksakan, Astaka berangkat menuju kamar mandi untuk membasuh diri. setelahnya, ia menyambar celana kargo berwarna beige, kaos biru dongker, kemeja flannel hijau-biru yang dibelinya sebulan lalu dengan harga diskon, dan sepatu Converse Chuck Taylor hitam andalan.
sebelum keluar dari pintu kos, Astaka mengecek kembali Email yang dikirim oleh Bos nya dua hari lalu. atasannya mengatakan bahwa hari ini orang-orang di divisinya tidak perlu pergi ke kantor label rekaman karena Si Bos juga ingin memperpanjang akhir pekan dan pergi ke Bali bersama keluarga. Astaka dan rekan kerja lainnya tentu menyetujui hal tersebut dengan kepalan tangan, seolah memenangkan tender setelah meeting alot dengan klien.
jujur saja, saat ini Astaka lebih sering menggunakan motor untuk pergi bekerja dan sesekali menggunakan mobil untuk menjemput Kaluna. namun, hari ini Astaka ingin kembali merasakan transportasi umum. ada senyum tipis yang tersemat di wajahnya saat menunggu MRT tiba. entah senang karena hari ini adalah hari ulang tahunnya, atau karena menyayangkan bahwa stasiun MRT menyimpan kisah tentang bagaimana Thea yang dulu sangat antusias jika Astaka mengajaknya naik transportasi umum.
Blok M menjadi tujuan Astaka hari ini. meskipun sering ke Blok M bersama Fian, teman-teman band, atau Kaluna, ini pertama kali Astaka pergi sendiri. entah apa yang Astaka cari hari ini, hingga langkah kakinya tiba di sebuah kedai aksesoris dengan nuansa merah jambu dan hijau toska. Astaka melangkahkan kaki masuk dan seketika merasa bahwa ruangan di mana Astaka berdiri saat ini sangat kontras dengan dirinya.
kedai itu menjual berbagai macam aksesoris lucu dengan warna-warna mencolok yang Astaka yakini bahwa Kaluna menyukainya. Astaka naik ke lantai dua kedai tersebut dan menemukan counter di mana para pelanggan dapat membuat gantungan kunci sesuai dengan kreasi mereka.
Astaka secara sadar mengambil tray dan mulai menyusun pernak-pernik yang menarik perhatiannya. awalnya, Astaka berpikir untuk membuat gantungan kunci untuk Thea karena Thea menyukai hal semacam ini, tapi dirinya langsung mengubur dalam-dalam ide konyol tersebut. tangannya bergerak dan ide lain berupa membuat gantungan kunci untuk Kaluna sempat terbesit, namun lagi-lagi ide itu ia urungkan karena Astaka sudah berniat untuk merayakan dirinya sendiri hari ini. ia bisa mengunjungi tempat ini dengan Kaluna di lain hari, pikirnya.
butuh waktu sekitar 15 menit untuk Astaka hingga pilihannya jatuh kepada strap dan karabiner berwarna hitam yang di atasnya ia hias dengan patch berbentuk kucing abu-abu dengan angka 2 dan 5.
Astaka keluar dari kedai setelah membayar. kakinya kembali melangkah menyusuri Blok M yang siang itu terasa panas dan dipenuhi berbagai macam manusia seperti biasanya. dirinya terus berjalan hingga tiba di taman literasi yang dipenuhi oleh anak muda yang sedang membaca buku, mengobrol, atau sekadar berteduh di bawah pohon rindang dari sengatan sinar matahari.
meski demikian, tidak ada yang menarik perhatiannya. sebenarnya ada, Astaka tertarik untuk duduk di salah satu pojok baca yang ditawarkan oleh taman literasi itu, tetapi tampaknya tidak ada ruang kosong yang tersisa. seluruh kursi sudah diduduki.
mau tidak mau, Astaka melangkah kembali ke stasiun MRT karena dirinya mulai merasakan gerah dan ingin segera mengisi perut dengan makanan pertamanya hari ini.
Astaka turun setelah dua stasiun dan masuk ke sebuah mall di Kawasan Senayan. setelah memutari mall tersebut setidaknya satu kali, pilihannya jatuh pada restoran mainstream yang sudah memiliki banyak cabang di seluruh negeri. Astaka memesan satu porsi nasi goreng sapi cabe ijo (seharusnya teri cabe ijo karena itu favoritnya, tapi Astaka harus mengalah karena pelayan mengatakan bahwa stok teri hari itu sedang kosong) dan segelas es teh manis. makanan dihidangkan lima belas menit kemudian dan Astaka menikmatinya dengan khidmat.
selesai mengisi perut, dirinya berjalan ke depan lobby mall, menimbang apakah ingin pulang dengan MRT atau ojek online. jujur, kakinya sedikit sakit karena empat hari yang lalu, dirinya diajak bermain futsal oleh Fian dan tanpa sengaja kakinya ditekel oleh lawan main yang menyebabkan Astaka mengaduh beberapa saat.
pilihan Astaka jatuh kepada ojek online untuk mengantarnya pulang. perlu waktu kurang dari dua puluh menit hingga akhirnya ia tiba di kos dan mendudukkan diri di bawah pendingin ruangan studio.
tangannya bergerak untuk menjawab beberapa ucapan selamat ulang tahun yang dikirimkan oleh kawan, tapi pesan dari Kaluna belum juga diterimanya. Astaka jadi berpikir apakah Kaluna tidak tahu bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya? atau kesibukan Kaluna terlalu menyita waktu sehingga ia tidak sempat untuk sekadar mengirim ucapan selamat via pesan singkat?
oh, Astaka kembali mengingat bahwa hari ini ia akan memprioritaskan diri sendiri tanpa harus menggantungkan ekspektasi pada orang lain. masih dengan celana kargo dan kemeja flannel yang dilempar ke sembarang arah pun, Astaka jatuh tertidur.
pipi kanan Astaka terasa seperti ditusuk-tusuk setelah matanya mengerjap beberapa kali karena kilatan cahaya yang menyoroti.
"selamat ulang tahun, Astaaa."
Astaka masih mencoba untuk memfokuskan pandangan ketika dirinya mendapati Kaluna duduk di karpet studio tepat di sebelah dirinya yang tertidur di sofa.
"Kal?", Astaka membenarkan postur dan mengambil posisi duduk di samping Kaluna.
"halooo."
Astaka masih berusaha mengumpulkan kesadaran. dirinya bahkan tidak tau bagaimana kondisinya saat ini, saat ia baru saja bangun tidur.
"ya ampun, orang-orang pada ngira kamu sangar, tapi ternyata kalo bobo kaya bocil ya? hihihi.", tangan Kaluna bergerak untuk merapikan rambut Astaka.
Astaka hanya tersenyum karena diam-diam ia menikmati bagaimana tangan Kaluna menyentuh kepalanya.
"kamu di sini udah lama?", ujar Astaka sambil mengucek matanya.
"baru dua puluh menitan kok.", jawab Kaluna.
"lama dong?", tanya Astaka.
"ngga juga. tadi aku mau langsung bangunin kamu, tapi ngga jadi deh. ngga tega bangunin adek lagi bobo.", ujar Kaluna dengan tertawa yang dibalas dengan dengusan ringan Astaka.
"eh, iya! aku bawain kamu ini.", tangan Kaluna bergerak untuk mengambil box yang Astaka tebak berisi kue ulang tahun.
"spiderman cake!!!", seru Kaluna. "tapi aku lupa beli lilin, kamu punya korek ngga?", lanjutnya.
Astaka meraba kantong celana kargo miliknya dan menemukan korek yang seingatnya milik teman kantor yang entah bagaimana ada padanya.
"nih.", Astaka mengasongkan korek ke arah Kaluna, tapi sebelum Kaluna mengambilnya, tangan Astaka bergerak menjauhkan korek itu dari jangkauan Kaluna.
"loh? kok ngga jadi dikasih ke aku?", Kaluna menampakkan raut bingung.
"koreknya mau dijadiin buat lilin kan? biar sama aku aja. kasian nanti tanganmu kepanasan.", jelas Astaka.
Kaluna hanya tersenyum melihat perlakuan Astaka.
"nyalain dong koreknya, terus kamu tiup.", titah Kaluna.
Astaka menurut, ia menyalakan korek dan Kaluna bernyanyi lagu Selamat Ulang Tahun dan Panjang Umurnya sembari membawa kue dengan kedua tangan.
saat tiba di penghujung lagu, Kaluna berbisik pelan, "make a wish."
Astaka tersenyum dan terdiam sejenak sebelum meniup api pada korek di tangan kanannya.
"yeyyy.", ujar Kaluna senang.
"terima kasih, Kaluna."
"sama-sama, Astakaaa.", ucap Kaluna. "sebelumnya aku minta maaf karena baru bisa ke kamu jam segini. seharian ini harus nanganin pasien cukup banyak. ngga tau deh itu orang-orang kok bisa sakit giginya pada barengan gitu."
Astaka tertawa pelan mendengar penjelasan Kaluna, "ngga apa-apa, Kal. kamu tau dan inget ulang tahunku aja, aku udah seneng banget.", jujur Astaka.
Kaluna tersenyum, "sekarang kamu bilang kamu mau apa. aku turutin maunya yang ultah hari ini."
Astaka berpikir sejenak, dirinya sudah melakukan semua hal yang ia inginkan hari ini. kehadiran Kaluna yang tidak terduga juga telah menjadi hadiah penutup yang menyempurnakan hari ulang tahunnya, "aku mau nurutin maunya yang udah nyempetin dateng buat kasih aku surprise padahal jadwalnya lagi padet deh."
Kaluna mengerutkan dahi, "ih, kok gitu? kan kamu yang ulang tahun. kok malah nurutin maunya aku?"
Astaka tertawa, "hahaha. ngga apa-apa, Kal. aku udah merasa cukup sama diri aku hari ini dan kehadiran kamu bikin semuanya kerasa lengkap."
Kaluna memberikan tatapan haru yang membuat Astaka kembali tertawa, "kok kamu baik? kamu sayang aku ya?"
"menurut kamu aja.", jawab Astaka asal.
"menurut aku iya.", Kaluna tidak mau kalah.
Astaka kembali tertawa. oh, bagaimana bisa hanya dengan hadirnya Kaluna membuat Astaka sering tertawa seperti ini?
Kaluna menatap Astaka bingung.
"apa, Kalll?", tanya Astaka.
"kenapa ketawa doang?"
"kamunya lucu.", jujur Astaka.
"itu tadi pertanyaannya ngga kamu iyain?", Kaluna masih mendesak Astaka dengan wajah sedihnya yang dibuat-buat.
"yaudah. kalo menurut kamu iya, berarti jawabannya iya.", ujar Astaka.
Kaluna mengangguk-angguk, "ooo gitu yaaa."
"iyaaa.", Astaka ikut mengangguk.
"tapi...", Kaluna menyatukan kedua alisnya, "harusnya aku yang sayang sama kamu karena tugas aku sebagai pacar adalah sayang sama kamu."
Astaka sedikit terkejut. apa Kaluna bilang? pacar?
namun, daripada berlarut dengan kebingungannya. Astaka memilih untuk mengikuti permainan Kaluna.
"ngga bisa gitu, Kal. aku juga mau sayang sama kamu karena aku juga pacar kamu."
ada semburat merah yang menghiasi pipi Kaluna, "yaudah boleh, tapi aku mau lebih sayang sama kamu. pokoknya rasa sayang aku lebih besar deh."
Astaka masih mengikuti permainan kata Kaluna yang entah bagaimana ujungnya.
"kenapa gitu? kenapa ngga sama aja? ngga perlu ada yang lebih besar atau lebih kecil. hubungan kan bukan kompetisi, Kal." jelas Astaka dan entah dorongan dari mana, Astaka menatap mata Kaluna lebih dalam daripada biasanya, "our feelings are equal. jadi, rasa sayang aku ke kamu sama-sama besar. oke?"
Kaluna tidak lagi menjawab. dirinya meletakkan kue ulang tahun yang sudah ia bawa sedari tadi ke atas meja, tubuhnya meluruh dan tangannya mendekap tubuh Astaka.
"Astaka, makasih udah hadir dan aku berharap kita bisa habisin ulang tahun kita selalu sama-sama ke depannya." suara Kaluna tidak begitu jelas karena sekarang wajahnya tersembunyi di bahu Astaka. meskipun demikian, Astaka masih bisa mendengarnya.
"terima kasih kembali, Kaluna.", jawab Astaka sambil mengusap punggung Kaluna.
selanjutnya hanya ada deru napas yang beradu, "aku sayang kamu."
0 notes
Text
jatuh suka
sudah memasuki pekan kedua bulan puasa, tapi Astaka dan Kaluna belum pernah sekalipun bertemu. sebenarnya, Astaka sudah mengatur jadwal untuk berbuka puasa bersama Kaluna di hari ke-9.
Astaka sudah membayangkan dirinya menjemput Kaluna di klinik tempatnya bekerja mengendarai motor CB 100 milik Astaka yang sebelumnya masuk bengkel karena masalah pada pipa aliran bahan bakarnya.
Astaka sudah membayangkan dirinya yang mengenakan celana jeans, kaus abu-abu yang ditutupi dengan flannel biru-hijau kotak akan sedikit kontras dengan penampilan Kaluna yang mengenakan celana bahan berwarna coklat tua, kemeja beige, dan snelli yang dilipat rapi dan tersimpan di shoulder bag berwarna hitam.
Astaka sudah membayangkan dirinya menunggu Kaluna di tempat parkir klinik dengan sabar karena waktu berbuka masih satu setengah jam lagi dan Kaluna memang layak untuk ditunggu kehadirannya dengan perasaan yang senang.
Astaka sudah membayangkan dirinya dan Kaluna berkendara ke tempat yang di dalamnya terjajar para penjaja jajanan khas buka puasa. Kaluna antusias untuk semua makanan dan minuman manis yang sudah masuk ke dalam list nya untuk dibeli, sedangkan Astaka membeli beberapa makanan yang cenderung asin dan minuman yang menurutnya menyegarkan.
Astaka sudah membayangkan dirinya dan Kaluna berdebat kecil tentang di mana mereka akan menikmati jajajan buka puasa yang sudah mereka beli. Astaka mengusulkan untuk berbuka di rumah Kaluna yang memiliki taman dan kolam ikan yang asri (juga agar Papa dan Mama Kaluna tidak perlu mengkhawatirkan anak perempuannya yang pulang sedikit terlambat). Sedangkan Kaluna bersikeras ingin berbuka di rooftop tempat tinggal Astaka yang selama ini hanya dapat ia bayangkan melalui beberapa cerita yang pernah Astaka lontarkan.
namun, semua hanyalah bayangan.
tidak ada Astaka yang menjemput Kaluna menggunakan CB 100; tidak ada Astaka yang mengenakan kaus abu flannel biru dan Kaluna yang mengenakan celana coklat tua serta kemeja; tidak ada yang menunggu dan ditunggu bertemu di tempat parkir klinik; tidak ada yang membeli makanan manis dan minuman segar; tidak ada yang berdebat tentang berbuka di taman rumah atau rooftop kosan.
bukan, Astaka dan Kaluna bukan sedang tidak akur, tapi kesibukan yang membuat mereka tidak bisa bersua.
pukul 3.24 di sore hari ke-9 bulan puasa itu, Kaluna mengatakan bahwa dirinya tidak dapat menunaikan janji bertemu karena Papa dan Mama secara mendadak mengajaknya untuk hadir pada acara berbuka kolega Papa. helaan napas dari Astaka dapat didengar oleh Kaluna meskipun samar. Kaluna meminta maaf dan berjanji untuk menyusun kembali jadwal bertemu yang gagal terlaksana. sedangkan Astaka hanya mengatakan 'iya' dan 'tidak apa-apa' karena Astaka juga tidak ingin Kaluna menjadi anak yang tidak patuh dengan menolak ajakan orang tuanya. panggilan ditutup, menyisakan dua hati yang saling sungkan.
nama Kaluna tertera di layar handphone milik Astaka. mengingat agendanya di hari ke-11 ini, Astaka sadar bahwa dirinya tidak kecewa pada Kaluna tempo hari, ia kecewa pada realitas kesibukan orang dewasa. pasalnya Astaka seperti dapat menebak apa yang akan dikatakan oleh Kaluna melalui panggilan tersebut dan saat ini Astaka akan menjadi pihak yang merasa tidak enak.
"halo, Taaa." suara Kaluna terdengar ceria dan rasa bersalah mulai mendesak masuk ke dalam hati Astaka.
"hai, Kal."
"tebak dong, hari ini aku ngapain." nada keceriaannya masih stabil.
"mmm." Astaka berpikir sejenak, "kamu habis checkout wishlist?" jawab Astaka asal.
tawa Kaluna terdengar, "bukan ihhh. eh, tapi iya sih, tapi bukannn."
entah mantra apa yang ada pada Kaluna, tapi tawanya seolah menular, "hahaha. apa dong?" ujar Astaka.
"aku... hari... ini... libur... hehehe." jawab Kaluna.
Astaka meneguk ludahnya kasar, entah karena rasa bersalah, entah karena tenggorokannya terlampau kering.
"wih, asik dong." ucap Astaka setelahnya.
"hihihi iya, asik. aku jadi bisa bangun siang."
"selamat, selamat." ujar Astaka.
"mmm, sebenernya aku mau ngomong terkait masalah kemarin."
oh, dugaan Astaka benar, Kaluna ingin menuntaskan janji bertemu yang tertunda.
"how about i'll make it up to you hari ini?" lanjut Kaluna.
Astaka menarik napas mengumpulkan keberanian, "sorry, Kal."
Astaka tebak, alis Kaluna saat ini bertaut karena bingung dengan jawabannya barusan.
"dari kemarin siang sampai hari Jumat, aku ada acara kantor di Jogja. baru balik Sabtu pagi." Astaka mengatakan sejujurnya.
ada keheningan yang tercipta.
"Kal?" ujar Astaka.
"eh, iya. oooh, kamu di Jogja, ya?" Astaka masih bisa mendengar nada kecewa di suara Kaluna meskipun Kaluna telah berusaha menyembunyikan.
"iya, Kal."
"yaudah, nanti kita re-arrange jadwal lagi yaaa. kita re-arrange nya barengan biar saling tau kapan kita sama-sama bisa." jelas Kaluna.
oh, bahkan Kaluna masih berusaha mempertahankan nada keceriaannya.
"kamu... ngga apa-apa?" tanya Astaka berhati-hati.
"ya gapapa dong. kamu ke Jogja kan emang kewajiban." jawab Kaluna.
keheningan kembali tercipta.
"yaudah, Ta. aku mau lanjut nonton series nih."
Astaka ragu menanyakan, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat, "are you mad, Kal?"
"hah? am i mad? ya ngga dong. beneran ngga apa-apa, Astaka. i know we both have our own business. kamu ngga perlu merasa bersalah. we'll make it up later yaaa." jelas Kaluna yang seolah menjadi oasis di tengah gurun pasir bagi Astaka.
"maaf ya, Kal." Astaka masih berusaha.
"no, you dont have to. yang perlu kamu lakuin itu jaga makan selama di Jogja. jangan lupa sahur, terus kalo buka juga jangan kalap jajan, ih. nanti kamu batuk." Kaluna terdengar seperti seorang Ibu yang menasihati anaknya.
"siap, Bu Dokter. yaudah aku balik kerja ya. aku kangen kamu." Astaka merendahkan volume suaranya di tiga kata terakhir.
Kaluna tertawa geli mendengarnya, "buruan diberesin kerjaannya dan balik ke Jakarta karena aku juga kangen kamu, Astaka sibukkk."
"iya, Kal. yaudah, aku matiin ya telponnya. see you, Kal."
"see you." jawab Kaluna dan kemudian panggilan berakhir.
Astaka tersenyum memandangi potret seseorang yang ia foto dari belakang secara diam-diam saat mereka menghabiskan akhir pekan di pasar seni dan barang antik yang saat ini menghiasi widget di layar handphonenya.
menurutnya, jatuh suka itu hal biasa, tapi jatuh suka menjadi 1000 kali lipat terasa menyenangkan karena ia jatuh kepada Kaluna.
0 notes
Text
hilang
agenda macam apa yang mengisi hari kasih sayang Kaluna? jawabannya, tidak ada. Jumat itu, Kaluna bekerja di klinik seperti biasa, walaupun sebenarnya ada yang berbeda. hari itu, Kaluna mengecek handphone lebih sering daripada yang biasa ia lakukan. berharap satu pesan singkat atau sebuah panggilan masuk dari seseorang yang sudah lima bulan ini sering bertukar kabar dengannya. namun nihil, nama Astaka tidak tertera di layar handphonenya.
rasa penasaran yang semakin kuat seolah menggerogoti Kaluna. hal ini bukan tanpa alasan, sekarang sudah hari Senin yang berarti Astaka tidak menghubunginya selama empat hari. Kaluna bisa memahami hal itu jika saja hari-hari sebelumnya Astaka pamit hendak pergi ke gunung untuk mendaki seperti dua bulan yang lalu. namun kali ini tidak, Astaka benar-benar hilang ditelan bumi.
sore itu selepas pulang dari menunaikan tugasnya sebagai dokter gigi di klinik, Kaluna duduk di kursi santai yang ada di kamarnya. menatap kosong ke arah layar handphone yang hanya menunjukkan warna hitam. satu sampai dua hari, Kaluna bisa menerima kenapa tidak ada kabar sama sekali dari Astaka, mungkin Astaka sibuk di studio, pikirnya. hari ketiga, Kaluna disibukkan dengan acara keluarga di hari Minggu. hari keempat, kenyataan bahwa Astaka tidak mengabarinya sama sekali membuat perasaannya campur aduk. kesal, marah, kecewa, tapi rasa khawatir lah yang paling dominan.
Kaluna membuka handphonenya, mengetik satu nama yang ia kenal sebagai teman dekat Astaka, Fian. Kaluna memutuskan untuk menghubungi Fian dengan harapan agar mendapat info mengenai Astaka.
jam menunjukkan pukul lima kurang sepuluh. dari percakapan singkat yang Kaluna lakukan dengan Fian beberapa menit yang lalu, Kaluna baru mengetahui bahwa Astaka sempat menjadi pasien rawat inap di rumah sakit dekat tempatnya bekerja.
"Jumat pagi tuh Asta dateng ke kantor udah lemes dan pucet banget, Kal. kebetulan juga hari itu gue balik bareng Asta, tapi gue sampe harus gantiin Asta nyetir karena mobil kita hampir nabrak gerobak siomay. gue ngga mau ambil resiko dong, akhirnya gue bawa Asta ke RS." jelas Fian. "dia dirawat tiga hari. baru juga tadi siang gue jemput anaknya buat balik ke kosan. seinget gue, kata dokter sih kecapean sama dehidrasi gitu deh. gue paham sih, Si Bos kemarin tuh..." Kaluna sudah tidak memperhatikan ucapan Fian selanjutnya. pikirannya hanya dipenuhi oleh keinginan untuk cepat bertemu Astaka.
maka dari itu, setelah berpamitan dengan Mama yang sedang menyiapkan makan malam bersama asisten rumah tangga di rumahnya, Kaluna langsung menancap gas untuk pergi ke tempat Astaka. Kaluna dapat merasakan bagaimana khawatir dirinya saat ini, tapi selain khawatir, sejujurnya Kaluna juga tidak sabar untuk memarahi Astaka yang semoga saja cukup patuh untuk mendengarkan pesan dokter dan beristirahat di atas ranjang, bukan berkutat dengan alat musik di studionya.
Astaka yang sedang berusaha memejamkan mata setelah beberapa lama menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya pun mendengar ada seseorang yang membuka pintu kosannya. Astaka berpikir, hanya ada dua orang selain dirinya dan pengelola gedung tempatnya tinggal yang mengetahui password pintu depannya. hanya Kaluna dan Thea. Astaka mengerutkan dahi, 'apakah Kaluna datang?' semoga. 'atau justru Thea?' Astaka memilih untuk tidak mengaminkan.
hanya butuh waktu beberapa menit hingga sekarang Kaluna berdiri beberapa meter di depan Astaka. menatapnya dengan sorot mata marah dan plastik berisi buah-buahan yang ditentengnya dengan tangan kanan.
Astaka meraba selimut yang menutupinya sampai dada, "hai."
Kaluna masih bergeming. seolah ingin menegaskan bahwa dirinya tidak suka bagaimana bisa Astaka dirawat di rumah sakit tanpa memberitahunya sama sekali. hal ini terlihat dari dahi Kaluna yang berkerut dan alisnya yang menukik sambil memperhatikan plester yang menghiasi punggung tangan kiri Astaka. sebuah tanda bahwa ada jarum infus yang telah tertancap di sana.
"hai." Astaka mengulangi sapaannya, tapi kali ini dengan sedikit ketakutan di suaranya.
"oh, bisa ngomong?" jawab Kaluna sarkas.
"ya... bisa?"
"aku kira ngga bisa ngomong, makanya ngga ngabarin EMPAT hari." ujar Kaluna sembari mendudukkan diri di pinggir kasur Astaka dan memberikan penekanan pada kata "empat".
Astaka memutar otak, "ngga sempat, Kal."
Kaluna tidak menjawab, tapi tangannya bergerak untuk menata beberapa buah dan suplemen yang dibawanya di atas nakas samping ranjang.
Astaka berusaha mengangkat badannya untuk mengambil posisi yang lebih tegap, memainkan ujung selimut sebelum memberikan penjelasan, "pertama-tama, aku ngga ngira bakal disuruh nginep sama dokter di RS. kedua, aku takut ganggu kamu soalnya itu weekend yang mana biasanya kamu ada acara keluaga. aku mau ngabarin kamu kok hari Sabtu, tadinya."
Kaluna mengehela napas kesal. dirinya masih diam tanpa berniat untuk menanggapi penjelasan yang Astaka berikan sebelum tangannya bergerak untuk menerima panggilan yang masuk ke handphonenya.
"aku ada janji makan malam sama temen kuliah aku dulu." ujar Kaluna sekilas, sebelum dirinya menghilang dan hanya menyisakan suara pintu ditutup.
Astaka tidak tau pukul berapa dirinya terlelap setelah merutuki diri karena tidak mengabari Kaluna dan berakhir dengan Kaluna yang kesal padanya. suara keyboard laptop yang terdengar dekat mengusik tidurnya. Astaka mengerjapkan mata, sebelum terfokus kepada Kaluna yang duduk di lantai kamarnya (ranjang Astaka tidak memiliki dipan) berhadapan dengan laptop yang bertengger di atas meja kecil yang biasa digunakan Astaka untuk menaruh aksesoris yang dikoleksinya.
"kamu dateng kapan?" suara Astaka membuat Kaluna menoleh.
"satu jam yang lalu." jawab Kaluna.
"kamu mau tidur di sini?" tanya Astaka muncul ketika dirinya menyadari bahwa Kaluna mengenakan celana panjang rumahan berwarna abu muda dan kaus longgar berwarna putih.
Kaluna mengangguk.
ada keheningan yang terasa setelahnya. bukan keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang sengaja dibangun oleh Kaluna dengan harapan bahwa Astaka mengerti jika Kaluna sedang kesal.
Astaka tidak bisa membiarkan atmosfer ini bertahan terlalu lama menggantung memenuhi kamarnya, "Kal."
tidak ada jawaban dari Kaluna yang menyebabkan Astaka harus mengulangi panggilan tersebut, "Kaluna, please."
"apa?" Kaluna menoleh. Astaka dapat melihat bagaimana perasaan cemas tercetak dengan jelas di wajah indah Kaluna.
Astaka memberikan sorot mata memohon yang menyebabkan Kaluna mengalah dan membiarkan Astaka untuk memberikan penjelasan.
"maaf udah ngga kasih kabar. aku tau kalo 'takut ganggu' itu bukan alasan yang pas."
"memang." ujar Kaluna masih dengan nada kesal.
"aku bisa paham kenapa kamu marah, tapi tolong jangan cuekin aku." nada bicara Astaka semakin melunak.
Kaluna masih kesal, tapi dirinya juga tidak bisa membiarkan seseorang yang baru saja keluar rumah sakit dihantui oleh rasa bersalah terlalu lama.
Kaluna bangkit dan mendudukkan dirinya di sisi kasur Astaka yang kosong. dirinya bergerak ragu, tapi tangannya memberanikan diri untuk mengusap sisi kepala Astaka.
"aku emang sibuk di klinik, weekendku juga diisi sama acara keluarga karena nenek selalu ngajak kita untuk kumpul. tapi yang lebih menganggu kesibukanku itu bukan kabar kalo kamu sakit, yang akan ganggu kesibukanku adalah saat kamu ngga ada kabar sama sekali.” Kaluna menjelaskan dengan perlahan.
��coba aja kamu bayangin, aku lagi sibuk sama kerjaan, terus dapat kabar kamu masuk RS, aku khawatir itu pasti. tapi di saat yang bersamaan, aku tau kalo kamu ada di tangan yang tepat. aku tau kamu di mana, aku tau kamu dirawat dan dijaga baik sama dokter dan suster. di sela-sela istirahat makan siangku atau setelah acara di rumah nenek, aku bisa curi waktu satu, dua, atau tiga jam untuk jenguk kamu. tapi kalo aku ngga tau apa-apa sama sekali? kalo aku ngga dikabarin, aku bakal mikir kamu kenapa, kamu di mana, dan ketidaktahuan itu malah bikin aku ngga fokus kerja." Kaluna mengeluarkan semua yang dirasakannya selama empat hari belakangan ini.
"maaf." kepala Astaka bergerak untuk bersandar di telapak tangan Kaluna yang masih setia mengelusnya, "aku ngga akan ngulangin."
"ya janganlah. kalo ngulangin lagi ngga akan aku jenguk. aku biarin aja." ujar Kaluna sambil menyentil pelan telinga kiri Astaka.
yang disentil telinganya pun mengembangkan senyum.
"sleep here?" tanya Astaka yang lebih mirip dengan sebuah permintaan.
"hah?" Kaluna sedikit kaget.
Kaluna memang sudah dua kali menginap di tempat Astaka, tapi Kaluna selalu tidur di kamar dan Astaka selalu memilih untuk tidur di sofa studio dengan alasan pekerjaan. padahal Kaluna tau bahwa hal itu hanyalah alibi yang dibuat oleh Astaka untuk menghormati dan memberikan ruang privasi bagi Kaluna.
sebenarnya kali ini sama seperti sebelumnya, Astaka meminta Kaluna untuk tidur di kamar. namun, yang membedakannya adalah Astaka juga tidur di ruangan yang sama.
'aku bisa tidur di sofa studio, Ta.' itu adalah jawaban yang disusun oleh Kaluna di kepalanya, tapi bukannya mengatakan demikian, Kaluna malah mengangguk mengiyakan.
Astaka dan Kaluna berbaring di atas sprei abu tua yang didapatkan oleh Astaka sebagai hadiah dari salah satu kliennya sebulan yang lalu.
"masih bau pabrik dikit, padahal udah aku laundry." ujar Astaka sebelum menoleh ke arah Kaluna dan membawa Kaluna mendekat.
Kaluna tidak menolak pergerakan Astaka yang menyebabkan kepalanya dekat dengan tubuh Astaka.
"jantung kamu cepet banget detaknya." Kaluna mendengarkan dengan saksama sembari berusaha untuk tetap menjaga jarak aman.
"kamu habis sakit gini langsung minum kopi ya?" protes Kaluna.
Astaka menutup kedua mata dan menarik kedua sudut bibirnya, "ini mah gara-gara kamu, Kal."
0 notes
Text
sebegininya; sebegitunya
sudah lewat seminggu dari hari di mana Kaluna menginap di tempat Astaka. tujuh hari sudah dilalui, tapi apa yang terjadi hari itu masih terekam jelas di ingatan Astaka seperti reka adegan yang terus berulang. senyum Astaka mengembang tiap kali mengingatnya.
hari itu, Astaka berkendara ke arah rumah Kaluna yang jarak tempuhnya sekitar 9 kilometer. jaraknya lebih dekat daripada kos Astaka ke rumah Thea. Astaka mengenakan celana jeans berwarna biru, kaos putih longgar, dan sepatu Converse hitam belel andalannya. tidak perlu waktu lama, kurang dari 20 menit Astaka sudah memarkirkan mobil di depan rumah berwarna putih yang memiliki pagar hitam cukup tinggi. sangat berbeda dari rumah Thea yang pagarnya hanya setinggi pinggang Astaka.
bangunan di depannya seolah menatap intimidatif. Astaka menelan ludah kasar karena ini bertama kalinya ia berkunjung ke rumah Kaluna. tangan Astaka bergerak menuliskan pesan singkat ke nomor Kaluna, mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai.
butuh waktu 10 menit hingga Kaluna tiba di hadapan Astaka. Kaluna mengenakan high waist jeans, tank top putih, dan kemeja santai berwarna biru langit. Astaka sempat terdiam beberapa saat karena pemandangan di depannya. Kaluna yang biasanya ia temui adalah Kaluna mode bekerja, Kaluna yang mengenakan celana bahan, kemeja semi-formal, blazer, dan terkadang masih menenteng snelli di tangan kiri.
"hey." suara Kaluna membuyarkan lamunan Astaka.
"eh, halo, Kal." balas Astaka.
Kaluna tersenyum, "masuk dulu, yuk. katanya mau izin sama Papa."
Astaka menjawabnya dengan anggukan dan berjalan mengekori Kaluna.
Astaka duduk di sebuah sofa berwarna coklat kemerahan yang ada di ruang tamu setelah Kaluna mengatakan bahwa dirinya hendak memanggil Papa di ruang kerja. tidak seharusnya mata Astaka bergerak kesana-kemari seolah memindai isi rumah ini, tapi tata letak dan interior yang ada sangat sulit untuk diabaikan. Astaka kagum.
selang beberapa menit, seorang laki-laki yang Astaka tebak usianya tidak lebih tua dari Ayah pun datang. Astaka berdiri dan sedikit membungkuk untuk memberi salam. badan Papa Kaluna tegap, genggaman tangannya kokoh, sorot matanya teduh, rambut dan jenggotnya ditata rapi. Astaka berharap bahwa sikapnya sebaik penampilannya.
"jadi, kamu Astaka?" tanya Papa Kaluna setelah mereka duduk di kursi masing-masing.
"iya, Pak." jawab Astaka mantap. entah mengapa, tiba-tiba saja ia ingat perkataan Ibu, "kalau emang ngga buat salah, jangan takut atau malu." hal itu yang membuat Astaka sedikit percaya diri.
"mau ajak Kaluna jalan?" Papa Kaluna bertanya sekali lagi.
"betul, Pak." ujar Astaka. "sebenarnya ini ide Kaluna, Pak. dia yang ajak saya untuk bertemu, tapi saya tetap ingin meminta izin secara langsung kepada Bapak karena bagaimanapun, saya yang membawa Kaluna." lanjutnya.
Papa Kaluna mengangguk, senyum tipis bertengger di wajahnya yang bersahaja.
"saya liat kamu baik sama Kaluna. beberapa kali saya juga dengar Kaluna sedang asik telepon dengan orang malam-malam, saya yakin itu kamu. dia jadi sering tertawa, apalagi setelah putus dengan pacarnya yang anak band itu." ujar Papa Kaluna.
Astaka tersenyum dan sedikit membungkukkan badan sebagai gestur berterimakasih atas pujian yang dilontarkan. namun, pikiran Astaka sedikit was-was, "putus dengan pacarnya yang anak band", pasti Wintara lah yang dimaksud oleh Papa Kaluna. apakah Papa Kaluna memiliki ketidaksukaan pribadi terhadap anak band? bagaimana jika Papa Kaluna mengetahui bahwa Astaka juga bagian dari 'anak band' tersebut, terlebih Astaka pernah berada di lingkup yang sama dengan Wintara.
"ya sudah, saya yakin kamu bisa menjaga Kaluna dengan baik. saya harus balik ke ruang kerja, ada beberapa berkas pasien yang harus saya tinjau. kamu santai saja, anggap rumah sendiri." Papa Kaluna berkata seraya bangkit dari duduk dan berjalan menjauh.
pikiran Astaka tentang kemungkinan bahwa Papa Kaluna bisa saja tidak menyukainya pun buyar bersamaan dengan Kaluna yang berjalan turun dari lantai dua. senyumnya riang, langkahnya ringan, rambutnya yang diikat pun seolah ikut menari.
"yuk." ajak Kaluna sambil membenarkan tote bagnya.
Astaka berusaha untuk mengabaikan pikiran negatifnya. Astaka hanya perlu yakin bahwa kalaupun Papa Kaluna tau mengenai siapa diri Astaka yang sebenarnya, ia hanya perlu membuktikan bahwa dirinya lebih baik dari mantan pacar Kaluna.
waktu menunjukkan pukul lima lewat dua puluh tiga menit saat Astaka dan Kaluna duduk berhadapan di sebuah meja restoran pinggir pantai di kawasan Utara.
"aku baru tau loh kalo ada restoran pinggir pantai di daerah sini. i mean, aku tau sih kalo ada resto, cuma aku ngga ngira bakal sebagus ini." ujar Kaluna excited.
Astaka tersenyum, "dulu waktu aku masih kecil, Ayah sama Ibu sering ngajak makan di sini tiap habis gajian."
Kaluna membalas senyum dan menggenggam tangan Astaka yang diletakkan di atas meja.
mereka memesan kepiting saus padang, cumi cabe ijo, orange squash untuk Kaluna, jus apel untuk Astaka, dan dua porsi nasi putih. perlu waktu sekitar dua puluh menit hingga semua pesanan mereka datang. setelah mengambil beberapa foto (Kaluna suka memotret apa yang dimakannya dan ingin memamerkan di grup chat keluarga), Astaka dan Kaluna pun menikmati hidangan ditemani dengan obrolan hangat dan semilir angin laut.
kini Astaka dan Kaluna berjalan berdampingan di pinggir pantai setelah membayar makanan mereka. Kaluna memakai jaket bomber hitam yang telah disiapkan oleh Astaka di jok belakang mobilnya, jaket yang sama yang dipakai oleh Astaka saat menjemput Kaluna yang menangis di depan sebuah club pukul dua pagi beberapa minggu yang lalu.
Astaka beberapa kali mengangkat bahu untuk menghangatkan leher dan menyembunyikan telapak tangan di saku celana. tentu saja hal tersebut tidak lepas dari perhatian Kaluna.
"kamu kedinginan?" tanya Kaluna.
Astaka memamerkan senyum lebarnya, "aku ngga terlalu kuat kena angin malam. biasanya habis itu langsung flu."
Kaluna menghentikan langkahnya, "terus kok jaketnya malah dikasihin ke aku?" protes Kaluna.
"ya ngga apa-apa. kain kemejamu tipis, kamu pasti lebih ngerasa dingin." jelas Astaka.
"yaudah. kamu jalan di sebelah sini." ujar Kaluna sembari menukar posisinya dengan Astaka, saat ini Kaluna yang lebih dekat dengan pantai. "aku yang di sini karena aku yang pakai jaket, at least kamu ngga terlalu kena anginnya." lanjut Kaluna.
lagi-lagi Astaka tersenyum. Kaluna benar-benar berbeda, pikirnya. mereka pun lanjut berjalan dengan Kaluna yang memeluk lengan kiri Astaka.
setelah puas dengan hidangan dan suasana pinggir pantai, Astaka dan Kaluna melanjutkan agenda utama dari 'kencan' mereka, menginap. perlu waktu 45 menit hingga mobil terparkir sempurna di basement tempat tinggal Astaka. waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Kaluna juga beberapa kali kedapatan menguap selama perjalanan, tapi enggan untuk tidur padahal Astaka sudah mempersilakan.
"kamu mau mandi, Kal?" tanya Astaka saat mereka sudah berada di dalam kos.
"kamu duluan deh. aku mau bersihin muka." jawab Kaluna.
lima belas menit berlalu, Astaka sudah keluar dari kamar mandi menggunakan celana pendek berwarna hitam dan kaus bergambar Pokémon berwarna abu tua. Astaka mempersilakan Kaluna untuk mandi dan masuk ke studio setelahnya.
perlu waktu lebih dari 30 menit sampai Kaluna benar-benar selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya. Kaluna menyusul Astaka yang duduk di sofa studio.
"di sini ada colokan?" tanya Kaluna.
"ada. buat apa, Kal? mau nge-charge?" balas Astaka.
Kaluna mengangkat hair dryer di tangan kirinya, "mau keringin rambut."
Astaka ber-oh-ria, "di sini stop kontaknya." ujar Astaka sambil menggeser duduknya agar Kaluna mengambil posisi yang lebih dekat dengan colokan.
ini adalah pemandangan yang baru bagi Astaka. dulu, sebelum berpacaran dengan Chris seperti saat ini, Thea memang sering menginap di kos Astaka. Thea bahkan meninggalkan sikat gigi dan beberapa setel piyama miliknya di lemari Astaka. namun, Thea tidak pernah melakukan ini sebelumnya, Thea selalu mengeringkan rambut di kamar Astaka, tidak pernah secara langsung di hadapannya.
"sini, aku bantu." entah dorongan dari mana, Astaka berkata demikian. tangannya berusaha mengambil alih hair dryer di tangan kanan Kaluna.
"eh." Kaluna sedikit terkejut dengan perlakuan Astaka, tapi dirinya tidak menolak.
tangan Astaka bergerak, menyisir helai demi helai rambut Kaluna yang lembut. jarak mereka yang cukup dekat membuat dua jantung berdegup dengan ritme yang sulit dikendalikan.
perlu waktu 10 menit hingga Astaka bisa memastikan bahwa rambut tebal Kaluna benar-benar kering.
"thank you." ujar Kaluna singkat.
"my pleasure." jawab Astaka.
setelah hair dryer dimatikan, ada beberapa menit keheningan yang tercipta. keheningan yang seolah menuntut kejelasan tentang apa yang terjadi di antara Astaka dan Kaluna.
"kamu... kamu selalu kaya gini?" Kaluna sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya, dirinya harus memastikan.
"kaya gini gimana?" tanya Astaka.
"ya kaya gini. kamu berinisiatif, but at the same time you're soft and gentle." ujar Kaluna.
Astaka berpikir sejenak, "aku orang yang kaku, Kal. aku ngga pernah benar-benar ada di dalam hubungan yang serius sama orang lain, tapi bukan berarti aku suka main-main. aku cuma ngga punya alasan yang cukup kenapa aku harus bertahan sama seseorang."
Kaluna mengernyitkan dahinya. penjelasan Astaka barusan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkannya.
Astaka mengambil napas dalam, terlihat bersiap untuk membeberkan sebuah rahasia yang dipendamnya sejak lama, "aku emang pernah bilang ke kamu kalau aku mau kita mengenal secara perlahan, tapi di satu sisi aku sadar kalau kamu beda dari yang lain. jadi aku minta tolong sama kamu. tolong biarin aku kaya gini."
Kaluna masih menunggu Astaka untuk menyelesaikan kalimatnya dengan sabar.
"...karena aku suka buat merhatiin kamu sebegininya." ujar Astaka.
Kaluna diam tidak berkutik, tapi senyum terukir di wajahnya yang indah. dia menyetujui kalimat Astaka karena Kaluna juga senang diperhatikan sebegitunya.
0 notes
Text
bold
pekan ini adalah pekan yang sangat dinanti oleh para pekerja di Indonesia, atau setidaknya oleh mereka yang mendapat jatah libur panjang dari kantor masing-masing. hal yang sama dirasakan oleh Astaka, meskipun bisa dibilang bahwa dirinya bekerja di sektor swasta, Sang Bos memahami bahwa para staffnya memiliki hak atas cuti bersama yang telah disepakati oleh pemerintah.
Astaka menghabiskan hari Minggunya dengan kegiatan bersih-bersih. menyapu dan mengepel seluruh ruangan, mengelap permukaan pantry, menyikat kamar mandi, membereskan isi lemari, mengganti sprei, menata studio dengan segala pernak-pernik di dalamnya, dan membuang sampah.
seluruh kegiatan yang dilakukan berakhir dengan Astaka yang ketiduran di sofa studio. waktu menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit. perut Astaka terasa perih, ia baru ingat bahwa makanan terakhir yang masuk ke perutnya adalah gulai ikan kakap yang ia nikmati bersama Fian kemarin selepas pulang bermain futsal.
jarinya bergerak untuk membuka aplikasi pesan antar dan memilih nasi dan ayam goreng bumbu ala Korea untuk menjadi menu makan malamnya. setelah memastikan bahwa driver sudah tiba di restoran, Astaka bergerak malas ke arah kamar mandi, iya, dirinya belum mandi sedari pagi. Astaka berniat untuk membasuh tubuh dan mencuci rambut dengan cepat sebagai antisipasi agar makanan yang dipesannya tidak datang lebih cepat dari durasi mandi biasanya.
lima belas menit kemudian Astaka keluar dari kamar mandi menggunakan boxer bermotif tentara dan kaos tanpa lengan yang karet lehernya sudah mengendur, bersamaan dengan driver yang mengabari bahwa dirinya telah ada di resepsionis membawa pesanan Astaka. Astaka bergegas turun untuk mengambil makanan pertamanya hari ini.
Astaka kembali dengan cepat dan membawa makanannya ke arah meja studio. tanpa menunggu, Astaka langsung menyantap ayam gorengnya. setelah beberapa suapan, tangan kirinya bergerak meraih handphone yang tadi dilemparnya sembarangan. matanya menyusuri notifikasi yang terpampang di layar satu per satu.
ada beberapa notifikasi pesan dari Fian, beberapa dari grup kantor, beberapa dari grup futsal yang dihadirinya tiap kali Fian mengajak, beberapa Email dari klien (Astaka sedikit mendengus karena menurutnya Email mengenai pekerjaan tidak seharusnya dikirimkan di hari libur), beberapa notifikasi dari Instagram dan Twitter, dan yang paling menyita perhatian Astaka adalah notifikasi dari pesan yang dikirimkan oleh sebuah nomor yang dinamainya dengan "Kaluna 💙".
Astaka mengabaikan seluruh notifikasi dan bergegas membuka pesan dari Kaluna.
Selamat pagi, Astakaaa!
Akhirnya long weekend huhuhu.
Kamu ada rencana apaa???
Udah siang, tapi chatku belum dibales.
Kamu masih tidur pasti.
Dasarrr.
Aku habis jalan-jalan di mall sama kakakku.
Seru banget.
Aku belanja banyak. Hehehe.
Seharian ini ngga ada matahari tauu.
Kamu di mana??
Lagi hiking ya?
Yahh padahal aku pengen ngobrol sama kamuu.
Udah malem, Ta. Let me know kalo kamu udah pegang hp yaa.
Aku kangen.
Astaka tidak dapat menyembunyikan senyum sekaligus merutuki dirinya yang seharian ini hanya fokus bersih-bersih, tanpa menghiraukan handphonenya sama sekali.
jari Astaka bergerak untuk membalas lima belas bubble chat yang dikirimkan Kaluna.
wkwkwk. halo.
belum ada satu menit dari pesan yang dikirimkan oleh Astaka, sebuah panggilan masuk, panggilan dari Kaluna.
"hey, ke mana aja kamu???" suara Kaluna bercampur dengan suara televisi yang terdengar di kejauhan.
"di sini aja kok." jawab Astaka singkat.
"di sini di mana? yang jelas." jawab Kaluna dengan nada yang terdengar kesal.
Astaka tertawa sejenak, "di sini, Kal. di kosan."
"kalo di kos kok dari tadi pagi ngga jawab chatku?" tanya Kaluna.
"aku seharian ini bersih-bersih kosan. bersih-bersih yang beneran bersih-bersih, jadinya ngga sempat pegang hape." jelas Astaka.
terdengar napas kasar dari Kaluna, "terus sekarang lagi apa?"
"lagi ngobrol sama orang yang kangen aku." goda Astaka.
Kaluna memutar bola matanya malas seolah Astaka dapat melihatnya, "kangen tapi dicuekin. dih."
Astaka tertawa mendengar jawaban Kaluna.
"how was today? kamu ngapain aja?" tanya Astaka.
"tadi pagi aku cari sarapan setelah jogging sama Papa, habis itu Kakak ngajak jalan ke mall. kita belanja sama makan doang sih, mau nonton tapi filmnya lagi ngga ada yang bagus. sampe rumah jam tujuh malem, habis itu aku mandi deh." jawab Kaluna dengan suara riang.
Astaka mengangguk, "kalo sekarang lagi apa?"
"lagi ngobrol sama orang yang aku kangenin dan aku tunggu kabarnya seharian ini." jawab Kaluna.
kini giliran Astaka yang memutar bola matanya malas.
tawa Kaluna terdengar dari ujung panggilan, "tadi lagi nonton tv sama Papa Mama, tapi sekarang aku udah di kamar sih."
"long weekend gini agendamu apa?" lanjut Kaluna bertanya.
Astaka berpikir sejenak, mengingat janji apa saja yang telah dibuatnya untuk mengisi long weekend, "kemarin diajak Fian sparing futsal sama temen-temenya, hari ini bersih-bersih kosan, Senin seharusnya aku libur, tapi ada satu klien yang susah banget diajak meeting dan baru bisa ditemui hari Senin. Selasa sama Rabu belum ada acara sih, paling juga di kosan ngegame atau ngabisin watch list. kalo kamu?"
"kemarin ada pertemuan keluarga, hari ini jalan sama kakak, Senin diajak makan sama temen SMA ku, Selasa sama Rabu belum tau deh." jelas Kaluna.
"eh, kok bisa samaan gitu? Selasa sama Rabunya masih free." ujar Astaka.
"biasanya kalo samaan gitu berarti jodoh ngga sih?" Kaluna tersenyum, entah pada siapa.
Astaka mencubit dahinya, dirinya salah tingkah.
"berhubung Selasa sama Rabu kita sama-sama belum ada kegiatan, gimana kalo kita ketemu?" usul Kaluna.
"boleh. ada tempat yang mau kamu datengin?" tanya Astaka.
Kaluna berpikir sejenak, "to be honest, ngga ada sih." ada sedikit jeda, "tapi aku kangen kamu." lanjut Kaluna.
Astaka tersenyum, "kalo gitu, what if i take you on a date?" kalimat itu keluar dari mulut Astaka tanpa tedeng aling-aling.
"mmm, mau ngga ya?" Kaluna mengulur waktu untuk menjawabnya. "eh, tapi aku ngga menerima pertanyaan, aku menerima pernyataan."
Astaka menghela napas, lagi-lagi Kaluna mempermainkannya (in a good way), "okay, Kaluna. let me take you on a date ya."
entah kenapa, kalimat ajakan Astaka terdengar begitu manis. Kaluna merasa terjebak dalam perangkapnya sendiri, tapi Kaluna pandai untuk menutupi gugupnya, "iyaaa." jawab Kaluna.
"habis itu mau ke mana, Kal?" suara Astaka memecah lamunan singkat Kaluna.
"sebenernya aku pengen sekali-sekali nginep di tempatmu." ujar Kaluna.
Astaka sedikit terkejut, apakah Kaluna selalu se-bold ini?
"kan udah pernah waktu aku jemput kamu jam dua subuh itu." jawab Astaka.
"ih, itu kan karena urgent. sekarang aku mau nginep yang proper." jelas Kaluna.
Astaka mengangkat satu alisnya, "nginep yang proper? maksudnya gimana, Kal?"
"ya, maksudnya. nginep yang memang direncanakan. jadi aku bisa prepare baju ganti, skincare, sama bawa jajan buat di kosmu." tidak ada keraguan di suara Kaluna yang lagi-lagi membuat Astaka meneguk ludahnya kasar.
Astaka menjauhkan handphone dari kepalanya dan mengambil napas panjang, "oke, nginep. tapi gimana cara aku izin ke orang tuamu?"
Kaluna terkesiap, "yang izin aku aja."
"ngga gitu dong, Kal. aku yang ajak kamu pergi, kosanku yang kamu datengin. otomatis aku yang bertanggungjawab atas apapun yang terjadi sama kamu selama kamu bareng aku." jelas Astaka cepat.
giliran Kaluna yang terkejut. selama bertahun-tahun berpacaran dengan Sang Mantan (Kaluna tidak mau menyebut namanya), Kaluna tidak pernah diperlakukan sebegininya.
"gini aja, besok Selasa aku jemput kamu di rumah sekalian aku minta izin ke orang tuamu untuk ajak kamu jalan. gimana?" lanjut Astaka.
"eum. oke." jawab Kaluna singkat.
"yaudah. aku mau beresin bekas makanku terus mau tidur cepet. kamu tidur juga gih, mumpung dapet libur panjang." ujar Astaka.
Kaluna sudah lebih bisa mengontrol kupu-kupu yang ada di perutnya, "iya. see you hari Selasa, sayang."
Astaka segera menegakkan tubuh ketika mendengar kata terakhir yang dilontarkan oleh Kaluna.
"i.. iya. see you, Kal. selamat tidur." jawab Astaka terbata.
"hahaha. iyaaa." tawa Kaluna terdengar dan panggilan pun diakhiri.
"kalo kepala gue meledak gimana, Kal?!" ujar Astaka sambil melempar tubuhnya yang lemas ke sofa studio.
oh, Kaluna is definitely something else.
kalimat itu menggema di kepala Astaka.
0 notes
Text
mati-matian
Astaka melihat ke arah jam di tangan kanannya. dirinya datang lima menit lebih awal daripada waktu yang disepakatinya bersama Kaluna. mereka memiliki janji untuk pergi ke toko buku bersama karena Kaluna ingin membeli sebuah notebook planner dan Astaka ingin menemani.
namun, Kaluna menekuk wajahnya sedari mendudukkan diri di kursi penumpang mobil Astaka. Astaka berusaha mengabaikan, mungkin karena hawa yang panas, karena memang cuaca siang hari ini cukup terik. bahkan Astaka dapat merasakan bulir keringat di permukaan kulitnya, padahal Astaka hanya memakai sebuah kaus berwarna putih.
"bad day, ya?" suara Astaka memecah keheningan.
Kaluna bergerak untuk membuka blazernya, menyisakan kemeja berwarna biru tua, "baik, kok. cuma emang tadi ada sedikit masalah di klinik. how about you?"
Astaka tersenyum menyadari bahwa bukan dirinya yang menyebabkan mood Kaluna sedikit berantakan, "dua hari yang lalu aku sama Fian, temen kantorku, baru aja selesai ngerjain proyek salah satu klien yang cukup besar dan sebagai hadiahnya aku dikasih wfh seminggu ini. jadi hari ini ngga ngapa-ngapain sih. cuma beresin kosan, nata studio, sama bawa Temi ke pet shop buat grooming." Astaka mengambil sedikit jeda. "anyway, kalo boleh tau emang ada masalah apa di klinik?" lanjut Astaka.
ada beberapa detik keheningan yang tercipta. Astaka mulai merutuki dirinya yang bertanya demikian.
"you dont have to answer. maaf kalo bertanyaanku terlalu..." ujar Astaka.
"no, gapapa kok. cuma agak kesel aja kalo diinget-inget." jawab Kaluna.
Astaka menanggapinya dengan sebuah anggukan, "oke, jadi?"
Kaluna mulai bercerita bahwa hari ini dirinya hampir saja telat datang ke klinik. jadwal praktiknya dimulai jam delapan dan dirinya baru tiba pukul 7.56. sudah ada sekitar lima pasien yang mengantre untuk bertemu dokter gigi itu, tapi pasien di urutan ketiga mulai membuat keributan karena ia menganggap bahwa dirinya datang lebih dulu daripada pasien urutan kedua.
keributan yang disebabkan oleh seorang ibu 40 tahunan itu mengakibatkan situasi di klinik sedikit ricuh. Kaluna yang menyadari bahwa ibu tersebut adalah pasiennya, mau tidak mau harus melerai dan memberikan jalan tengah. Kaluna berkata bahwa ibu itu bisa masuk di urutan kedua dan Kaluna dengan sungkan meminta maaf kepada laki-laki berusia 20 tahunan yang seharusnya menjadi urutan kedua. Kaluna berkata bahwa pihak klinik akan memberikan kompensasi berupa snack untuk menemani laki-laki itu menunggu gilirannya dan satu kali scaling gratis. usaha Kaluna tidak sia-sia, si ibu sudah lebih tenang dan si laki-laki mengiyakan kompensasi yang ditawarkan. Kaluna pun kembali ke ruangannya sambil memijat pelipis.
"ngeselin ya si ibu." ujar Astaka.
Kaluna setuju. menyebalkan dan membuat kondisi hatinya menjadi semakin buruk. untung saja si pasien laki-laki mau diajak bernegosiasi.
saat mobil berhenti di lampu merah, tangan Astaka bergerak meraih sebotol air mineral yang telah disiapkan dan membuka tutupnya.
"minum dulu, Kal." ujar Astaka sambil menyodorkan botol itu ke arah Kaluna.
"aku bawel, ya?" Kaluna sedikit tertawa sambil menerima botol dari Astaka.
Astaka menoleh ke arah Kaluna, "i dont mind, kok. i love to hear you talk." jawab Astaka jujur.
Kaluna dapat merasakan pipinya memanas. mungkin karena cuaca yang terik atau lebih dikarenakan ucapan Astaka barusan.
"cerita lagi dong." ujar Astaka, "eh, mau makan dulu ngga?" lanjutnya.
"kamu mau apa?" tanya Kaluna.
"aku mau ngikutin maunya yang lagi capek kerja aja deh. mau makan di mall? ayo. makan di luar mall? juga ayo. anywhere, asal moodmu bagus lagi." jelas Astaka.
Kaluna tersenyum. dirinya menyadari bahwa meskipun Astaka cenderung terlihat seperti orang yang kaku dan susah membangun percakapan, tapi seiring dengan frekuensi pertemuan mereka yang semakin meningkat, Kaluna sadar bahwa Astaka merupakan seorang yang manis, baik sikap maupun perkataannya. hal itu membuat Kaluna berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkannya karena Kaluna ingat bahwa Astaka menginginkan pendekatan yang terjadi antara mereka secara perlahan dan mendalam.
"makan di mall aja." jawab Kaluna.
Astaka kemudian bertanya mengenai keseharian Kaluna. sebenarnya hari Kaluna dulunya diisi dengan kegiatan seru seperti mengunjungi festival musik atau sekadar ikut dengan mantannya ke café untuk menemaninya tampil. namun, mau dikata apa? Kaluna dan Wintara sudah selesai. hal ini membuat pertanyaan Astaka barusan mendapat jawaban bahwa hari-hari Kaluna hanya diisi dengan bekerja, bekerja, dan bekerja.
Astaka mengangguk. keseharian Kaluna berbeda darinya. Astaka menghabiskan hari dengan mengurus Temi, bermain futsal dengan Fian, memainkan alat musik (bekerja), mengunjungi gigs (Astaka punya banyak teman yang mengundang untuk melihat mereka tampil), menyusun lego atau pergi hiking di waktu lengang, dan memiliki cukup waktu tidur (walaupun nantinya akan dihabiskan untuk bermain game atau menonton film).
Astaka menyadari bahwa Kaluna terlihat tidak bersemangat saat mengetahui bagaimana harinya tidak seseru hari Astaka.
"turun yuk. makan apapun yang kamu mau. habis itu kita bisa beli kopi dan kamu bisa ceritain tentang kerjaanmu di klinik atau apapun yang kamu suka. aku temenin. cheer up, ya." ujar Astaka saat mobilnya sudah terparkir sempurna di basement sebuah mall.
Kaluna mengangguk dan mereka pun berjalan bersebelahan. kulit mereka kadang bersentuhan yang mana hal itu menimbulkan sensasi mirip sengatan.
jika Kaluna berusaha mati-matian untuk tidak mengambil lengan Astaka dan memeluknya, di sisi lain Astaka berusaha mati-matian untuk tidak mengambil telapak tangan Kaluna dan menggenggamnya.
Astaka dan Kaluna sama-sama sadar bahwa mungkin mereka tidak akan bisa menyelamatkan diri untuk tidak jatuh pada satu sama lain secepat ini.
0 notes
Text
tahun baru yang baru
malam tahun baru yang bising, tapi tidak dengan studio Astaka. pendingin ruangan diatur pada suhu 22 derajat, bass dibiarkan tergeletak di sofa, notes berserakan memenuhi meja, dan monitor yang menyala dengan Astaka di hadapannya.
tidak ada yang spesial karena Astaka memang tidak menganggapnya spesial. Astaka memainkan game PC yang sudah lama tidak disentuhnya. berusaha menguapkan segala rasa lelah yang didapatnya dari bekerja delapan jam hari ini.
melihat perkembangan hubungannya dengan Kaluna menunjukkan prospek yang baik, seharusnya Astaka bisa saja menghabiskan malam pergantian tahun dengan Kaluna. sekadar menonton film dan memesan makanan cepat saji, menonton kembang api dari rooftop tempat tinggal Astaka, atau sedikit effort berkendara dan memesan satu buah meja di sebuah restoran di Utara.
namun, keluarga Kaluna sudah memiliki tradisi sendiri. mereka akan berkumpul di halaman depan rumah Nenek Kaluna untuk merayakan tahun yang baru. Kaluna menjelaskan hal ini saat mereka bercerita tentang bagaimana rutinitas tahun baru masing-masing.
pikiran Astaka melayang pada 366 hari yang lalu. menghabiskan pergantian tahun dengan Thea, mengendarai motor Astaka tanpa tujuan karena Thea ingin merayakan, tapi Papa dan Mama selalu sibuk bekerja. Thea yang masih bersamanya. memeluk Astaka dari bagian belakang motor.
saat itu Astaka merasa cukup dengan kehadiran Thea di malam tahun barunya. Astaka yang mengatakan bahwa bersama Thea, selama yang mereka bisa, merupakan hal yang sudah cukup. tiba-tiba saja Astaka tersenyum getir saat mengingat betapa angkuhnya ia yang merasa tidak perlu membuat harapan untuk tahun yang baru. senyumannya berubah menjadi helaan napas yang tertahan dengan kepala yang mulai menunduk lesu. kalimat 'selama yang mereka bisa' ternyata hanya berdurasi sembilan bulan sejak dideklarasikan.
Thea yang sekarang mungkin tidak mengingat dirinya sama sekali karena sedang menghabiskan waktu dengan Chris, menikmati makan malam romantis, bersiap melihat kembang api di pinggir pantai, mengenakan floral dress berwarna peach yang dibeli Thea dengan impulsif.
oh, Astaka benci saat mendapati dirinya masih bisa menggambarkan apa-apa saja tentang Thea. namun, kenyataan bahwa dirinya sudah mengenal Thea hampir 18 tahun lamanya membuat Astaka tidak dapat mengelak.
Astaka yang dulu bercita-cita menjadi satu-satunya yang mendampingi Thea pun sudah melewati banyak patah dan tumbuh, menemukan dan kehilangan, kenal dan asing dengan beberapa orang dan banyak hal.
pada akhirnya, takdir memang sering kali memberi kejutan dengan berbagai cara. Kaluna hadir menjadi seseorang yang selalu ditemukan Astaka saat hari-hari terburuknya, tumbuh bersama, saling mengenal tiap harinya. bahkan jika boleh hiperbola, Astaka tidak bisa membayangkan orang yang lebih baik untuknya selain Kaluna atau sebaliknya, semoga.
tahun baru ini Astaka tidak berharap untuk diizinkan bersama Kaluna menggunakan kalimat 'selama yang mereka bisa', tapi dirinya dengan sedikit lancang berharap bahwa Kaluna menjadi satu-satunya yang membersamai langkahnya hingga akhir.
Astaka yakin bersama Kaluna, ada banyak hari-hari baik yang menunggu; a thousand times better.
0 notes
Text
baru
Astaka berjalan gontai menuju pintu kos miliknya. hari ini berjalan sebagaimana biasanya. ada dua meeting yang harus dihadiri, sisanya hanya ia habiskan untuk mengerjakan proyek di studio kantor. tidak ada yang spesial hingga Astaka masuk ke kosnya dan menemukan sebuah flat shoes berwarna coklat yang nampak asing.
Astaka tersenyum, apakah ia melewatkan sebuah janji dengan Kaluna?, batinnya. senyum itu masih terukir hingga Astaka membuka pintu studio miliknya. bayangan tentang bagaimana Kaluna yang duduk di sofa studio menunggunya sambil berfokus pada handphone, berjalan mengamati koleksi action figure Astaka, atau memainkan keyboardnya pun memenuhi pikiran Astaka.
namun, bayangan itu buyar seketika. bukan Kaluna yang ia dapati, melainkan Thea. Thea duduk sambil memainkan handphone di tangannya. senyum yang tadinya mengembang hampir menyentuh mata ke mata pun sirna. Astaka meneguk ludahnya kasar.
"Ya?" Thea menoleh karena mendengar suara Astaka.
"eh? akhirnya pulang juga." ujar Thea sambil menyimpan handphone nya di atas meja.
"ada perlu apa?" tanya Astaka to the point.
ucapan Astaka barusan mengharuskan Thea untuk menahan senyumnya. Thea dapat merasakan udara di sekitar mereka menegang. suasana juga terasa canggung. apakah ini adalah efek samping karena mereka sudah lama tidak bertemu? karena jujur saja, pertemuan terakhir mereka terjadi lebih dari dua bulan lalu di restoran Italia saat Thea memberi tau Astaka bahwa sekarang dirinya sedang menjalani hubungan dengan Chris.
"mmm... duduk dulu, Ta." ujar Thea perlahan.
bukan hanya Thea, Astaka juga menyadari perubahan atmosfer di antara mereka. segalanya terasa menekan dan menyesakkan bagi Astaka, ditambah dengan fakta bahwa orang yang pernah ditaksirnya sejak dulu sudah memiliki seorang kekasih.
Astaka melangkah dan mendudukkan diri tepat di samping Thea. Astaka berusaha untuk membuat pergerakannya setenang mungkin, meskipun dadanya terasa bergemuruh. gemuruh yang tidak menyenangkan, gemuruh yang menandai akan adanya badai.
"jadi, ada apa?" Astaka mengulang pertanyaannya.
Thea duduk dengan mencondongkan tubuh ke arah Astaka, "nanti kan Christmas Eve, Mama ngajak dinner di rumah kaya biasanya."
Astaka mengerjapkan mata. memang benar, dirinya tidak merayakan Natal, tetapi Astaka hafal betul bahwa keluarga Thea selalu mengundangnya untuk makan malam pada momen tersebut. makan malam sederhana yang dirayakan di rumah itu dihadiri oleh Papa, Mama, Ryno, Axton, Thea, dan juga dirinya. terkadang Mbak Isah, ART di rumah Thea, juga ikut bergabung bersama mereka. hal itulah yang membuat Mama selalu memilih untuk memasak daging ayam atau sapi dengan tujuan agar Astaka dan Mbak Isah bisa ikut menikmati hidangan bersama.
Astaka berpikir keras (yang seharusnya tidak dilakukannya) untuk hanya sekadar menjawab ajakan Thea.
"Ta?" tanya Thea membuyarkan lamunan Astaka.
"eh, iya." Astaka gagal menyembunyikan dirinya yang tidak fokus "emang Chris kemana?" lanjut Astaka.
Astaka sadar bahwa ia tidak harus menanyakan hal tersebut. namun, berhubung saat ini Thea memang sedang berada dalam suatu hubungan spesial dengan seseorang, maka Astaka harus memastikan.
ada sedikit ragu yang tercetak di wajah Thea, "Chris ada acara dinner juga sama keluarganya." jawab Thea dengan nada seringan mungkin.
"oh." ujar Astaka singkat.
"jadi, gimana?" tanya Thea memastikan.
Astaka berpikir bahwa ini adalah suatu momen yang sudah menjadi rutinitas tahunan baik baginya maupun keluarga Thea. mau bagaimanapun hubungannya dengan Thea sekarang, Astaka tidak mau mengecewakan Mama yang sudah repot memasak dan tidak mau dianggap sebagai seseorang yang tidak sopan.
"oke, aku siap-siap dulu." ujar Astaka sambil menangguk dan berdiri untuk bersiap.
hampir 30 menit berlalu. Astaka dan Thea sudah berada di mobil milik Astaka dan membelah jalanan yang basah karena hujan. hening yang menyelimuti perjalanan mereka bukanlah suatu hal yang biasa terjadi. dulu, selalu ada banyak hal yang dapat menjadi topik obrolan antara mereka berdua. namun sekarang, hanya ada suara dari radio yang memainkan lagu-lagu penyanyi Indonesia yang sedang ramai diperbincangkan.
20 menit yang canggung di dalam mobil Astaka akhirnya selesai ketika Astaka berhasil memarkirkan mobilnya di halaman rumah Thea yang memang muat untuk dua mobil. Astaka dapat melihat dua motor yang masing-masing milik Ryno dan Axton juga sudah terparkir rapi di garasi, menandakan bahwa dua kakak Thea sudah kembali dari pekerjaan mereka.
ini adalah kali pertama Astaka menginjakkan kaki di rumah Thea setelah hampir tiga bulan. tanaman hias yang memenuhi pekarangan terlihat sehat dan terawat, vas bunga yang menghiasi setiap sudut ruang tamu terlihat segar, sofa yang di beberapa sisinya terdapat guratan bekas cakaran Chipsy juga masih sama. semua hal di rumah Thea persis seperti apa yang ada di ingatan Astaka.
Thea berjalan masuk terlebih dahulu menuju kamarnya. Astaka yang sudah hafal denah rumah ini pun berjalan tanpa perlu dituntun.
"akhirnya dateng juga kamu, Ta." itu adalah Mama. suaranya terdengar sangat senang karena kehadiran Astaka.
"hehe. iya, Ma." jawab Astaka sambil membalas pelukan yang ditujukan Mama pada dirinya.
"Mama pikir kamu ngga bakal dateng loh. soalnya terakhir ke sini kan udah lama banget. sibuk banget sih kerjaan kamu."
Astaka hanya dapat tersenyum canggung.
"ih, yaudah. langsung makan aja, yuk." Mama mengarahkan Astaka untuk menuju meja makan.
"Papa, Ryno, Axton, Thea, ayo buruan ini Astaka udah dateng loh." ujar Mama sedikit berteriak memanggil para anggota untuk berkumpul.
tanpa lama, mereka berenam sudah duduk di kursi masing-masing. Mbak Isah tidak bergabung hari ini karena dirinya sudah berjanji untuk menjemput anaknya pulang dari mengaji.
"Papa seneng akhirnya kita bisa kumpul dinner kaya gini." ujar Papa mengawali acara makan malam itu. "kita harus berterimakasih sama Tuhan karena kita diberikan kelancaran dan kecukupan karena sampai hari ini pun kita masih bisa kumpul dan menikmati masakan Mama yang ngga ada duanya." lanjut Papa yang dihadiahi dengan tepukan pelan Mama di lengannya.
Papa tersenyum ke arah Mama. siapapun yang meliat mereka pasti mengatakan bahwa mereka sangat serasi meskipun sudah menginjak usia senja.
"yaudah. daripada kelamaan dengerin Papa, mending kita sekarang mulai makannya." ujar Papa sambil terkekeh.
"setuju!" jawab Axton bersemangat.
semua orang terlihat antusias, tidak terkecuali Astaka. rendang, ayam goreng bawang putih, cah kangkung, dan beberapa macam lalapan lengkap dengan sambal pun seolah tidak sabar untuk dicicipi.
keluarga Thea merupakan keluarga yang cukup santai perihal aturan di meja makan. Papa dan Mama memperbolehkan anak-anak mereka untuk mengobrol, asalkan tidak dengan makanan yang masih di dalam mulut. mereka juga memperbolehkan untuk menambah nasi dan lauk selama itu masih ada dan semua orang sudah mendapatkan bagian. hanya ada satu hal yang dilarang, yaitu tidak boleh ada handphone di meja makan. hal itu dikarenakan Papa dan Mama menganggap bahwa handphone merupakan benda yang akan mendistraksi kebersamaan yang sedang terjadi.
di sela-sela kegiatan makan malam yang sedang berlangsung, Astaka merasakan kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya. jarak yang memisahkan Astaka dengan Ayah dan Ibu lah yang menjadi penyebabnya. daripada harus merasa bingung dan kesal sendiri dengan apa yang sedang terjadi antara dirinya dan Thea, Astaka merasa bahwa dirinya harus bersyukur karena keluarga Thea memperlakukannya seperti anak sendiri.
makan malam berlangsung hampir setengah jam. Papa kembali ke ruang kerjanya, Ryno kembali ke kamar, Mama dan Thea sibuk membersihkan dapur, sedangkan Axton dan Astaka sedang duduk di teras rumah setelah membantu Mama membawa piring dan gelas kotor ke tempat cuci piring.
"sebat?" tanya Axton sembari mengarahkan satu bungkus rokok ke arah Astaka.
"ngga, Bang. lagi males." tolak Astaka.
Axton hanya mengangguk dan mulai menyalakan rokok di tangannya.
"udah lama lo ngga ke sini." ujar Axton dengan pandangan lurus ke depan.
Astaka menoleh ke arah Axton, "hehe. iya, Bang. sibuk gawe."
Axton tertawa pelan, "sibuk gawe apa patah hati lo?"
Astaka sedikit terkejut mendengar ucapan Axton barusan.
"ma-maksudnya, Bang?" tanya Astaka terbata.
"yeuh. bukan cuma Thea yang udah kenal lo dari jaman orok ya, gue juga udah kenal sama lo dari jaman kita main bola di lapangan komplek sampe diteriakin suruh balik karena udah magrib." ujar Axton. "udah hampir tiga bulan ini lo ngga kesini karena Thea ada pacar kan?" tembak Axton.
Astaka sedikit terkejut karena tidak menyangka bahwa Axton memerhatikannya. "mmm." gumam Astaka.
"gue liat pacar baru Thea nih orangnya baik. anter jemput Thea hampir tiap hari, suka kasih bingkisan atau buah juga buat Mama, tapi satu yang gue kurang sreg." jelas Axton.
Astaka menunggu Axton untuk melanjutkan ucapannya. Astaka tidak mau terlihat terlalu ingin tau bagaimana tabiat pacar baru Thea. Astaka harus menjaga imagenya.
"pacar baru Thea tuh cuma nyampe gerbang doang. maksud gue nih, tiap nganter adek gue balik, dia tuh kaga turun dari mobil. kasih bingkisan pun yang bawa masuk Thea sendiri. gue kaga pernah diajak ngobrol atau sekadar disapa juga padahal ngepasin gue lagi duduk di teras kaya gini. kayanya ngobrol sama Papa, Mama, atau Ryno juga kaga pernah deh." lanjut Axton.
"emang iya, Bang?" oke, Astaka mengaku kalah. dirinya tidak dapat menyembunyikan rasa ingin taunya.
Axton mengangguk mantap, "hooh. gue jadi takut dah jangan-jangan pacar Thea ini om-om."
Astaka tertawa mendengar ucapan Axton barusan.
"bukan kok, Bang. bukan om-om. pacar Thea yang sekarang namanya Chris, seniornya di kantor. setahun lebih tua dari adek lo." jelas Astaka untuk menjawa keresahan Axton.
"kok lo tau?" Axton menoleh ke arah Astaka.
"yaaa. Thea sendiri yang cerita ke gue." jawab Astaka.
Axton menunjukkan raut terkejut, "kok lo bisa sih, Ta, masih bersikap biasa aja padahal gue tau kalo lo jelas-jelas naksir adek gue."
Astaka menautkan alisnya, "ya gimana ya, Bang. namanya juga temen dari kecil. lagian kita kan emang beda. ngga bisa dipaksain lah."
Axton tertawa mendengar ucapan Astaka, "andai aja kalo sama, ye. gue dukung lo sama adek gue. asli."
Astaka hanya dapat tersenyum getir.
suara tawa Axton yang cukup kencang membuat Thea keluar rumah, "ada apa nih? ketawa kok ngga ngajak-ngajak?"
Axton dan Astaka pun langsung bertukar pandang dan bertingkah seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi.
"kaga. kaga ada apa-apa. kepo lo." sewot Axton sambil berjalan masuk ke rumah, tidak lupa menepuk pundak Astaka.
Astaka kembali tersenyum. paham bahwa Axton memberikan ruang untuknya berbicara dengan Thea, "eh, udah selesai bersih-bersihnya, Ya?"
Thea menatap punggung kakaknya kesal, "udah. ngobrolin apa sih?"
"ngga ngobrolin apa-apa. sharing masalah kantor masing-masing aja." bohong Astaka. dirinya tidak mungkin berterus terang kepada Thea mengenai topik obrolannya dengan Axton tadi.
Thea masih mengernyitkan dahinya.
"yaudah. aku balik dulu, Ya." ujar Astaka memecah keheningan. "Mama mana?" lanjutnya.
"Mama langsung masuk kamar habis bersih-bersih dapur. kata Mama pinggangnya pegel banget. pengen cepet-cepet rebahan." jelas Thea.
Astaka ber-oh-ria, "yaudah. aku balik dulu. salam ke Papa Mama. nitip bilangin juga ke Mama kalo the meal was great, as usual."
Thea mengangguk. mereka berjalan beriringan hingga Astaka sudah masuk mobil dan bersiap pergi.
"dah, Ya. see you." ujar Astaka dari balik kemudi mobilnya.
"oke. hati-hati, Ta. nanti kalo udah samp..." belum juga Thea menyelesaikan kalimatnya, Astaka sudah terlebih dulu menutup kaca mobil dan menginjak pedal gas.
Astaka merasa sangat jahat sekarang. namun, otaknya memberikan pembenaran atas apa yang dilakukannya barusan adalah sebuah bentuk perlindungan diri, perlindungan terhadap hatinya.
pikiran Astaka melayang kepada obrolannya dengan Axton tadi.
"andai aja kalo sama, ye. gue dukung lo sama adek gue. asli."
Astaka hanya bisa tertawa getir. menertawakan nasib kisah cintanya yang tidak beruntung.
tiba-tiba saja handphonenya berbunyi. Astaka pantang menjawab panggilan jika sedang mengemudi, tetapi nama Kaluna yang tertera di sana. Astaka pun langsung menepikan mobil di jalanan yang lengang.
"halo, Ta!" suara Kaluna terdengar.
"hey! ada apa, Kak?" tanya Astaka.
"ih, kok Kak sih manggilnya? kan aku udah bilang panggil nama aja." suara Kaluna terdengar sangat menggemaskan.
Astaka tertawa, "hahaha. iya, maaf. ada apa, Kal?" ujar Astaka.
"hehehe. gitu donggg." Kaluna masih tertawa di ujung sana.
"iyaaa. ada apaaa?" Astaka mengulangi pertanyaannya.
"gapapa. aku cuma kangennn." jawaban Kaluna lah yang menjadi penyebab senyuman mengembang di wajah Astaka.
"kangen siapa tu???" goda Astaka.
"kangen kamuuu." ujar Kaluna yang dilanjutkan dengan tawa keduanya.
mungkin bersama Thea, kisah merah jambu Astaka memang kurang beruntung. namun, lembaran baru sudah dibuka. meskipun nanti ada hitam dan kelabu di antara cerahnya kuning dan biru, Astaka menemukan dirinya tak sabar menanti Kaluna yang akan menemani hari ini, besok, dan seterusnya.
0 notes
Text
let us
mandat dari Sang Bos lah yang mengharuskan Astaka berada dalam hiruk-pikuk manusia yang berlalu lalang di hari sabtu ini. dua hari yang lalu, Si Bos memerintahnya untuk turun ke lapangan dalam rangka expo musik yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV yang mengambil tempat di kawasan Gelora Bung Karno untuk mewakili kantor mereka. Astaka mengiyakan karena dirinya memang tidak memiliki agenda apapun di malam minggu.
acara yang dimulai sejak pukul 10 pagi itu awalnya terasa menyenangkan. jumlah pengunjung masih aman terkendali. akses untuk berjalan pun masih lancar. namun pemandangan tersebut mulai berubah menjelang senja, jumlah pengunjung tiba-tiba membeludak. akses untuk berjalan semakin sulit. lengan beradu lengan, bahu beradu bahu, bahkan beberapa pengunjung saling berteriak karena kaki yang terinjak atau tubuh yang terhimpit. gelombang pengunjung itu bukan tanpa sebab. hal ini terjadi karena selain booth dari berbagai perusahaan dan startup, panggung berukuran cukup besar dan beberapa penyanyi yang sedang naik daun juga memeriahkan acara.
Astaka mulai mengeluh karena dirinya lelah bukan main. lelah fisik, iya. lelah psikis, apalagi. dirinya hanya dapat terduduk di depan kipas angin di dalam tenda booth kantornya. hingga sebuah nada notifikasi membuyarkan lamunannya. ada pesan masuk dari Kaluna.
'Taka di mana???' meskipun hanya terdiri dari tiga kata, kalimat itu dapat membangkitkan tubuh Astaka yang lesu.
Astaka menyunggingkan senyum ke arah handphone nya, 'lagi di GBK, kak.' tulisnya.
'Ih, lagi olahraga ya?'
'wkwk bukan. lagi jaga booth kantor di expo.'
'Ooo, lagi kerja ya?'
'iyaaa. ada apa, kak?'
'Sebenernya aku mau main ke tempatmu. Aku tbtb keinget sama sayap ayam yang kita beli tempo hari, pasti belum kamu masak kan?'
'betul. masih di kulkas tuh. kakak mau ke kosan?'
'Awalnya sih gitu, tapi kamu kan lagi ngga di kos'
'dateng aja, kak.'
'Ngga enak ngga sih?? Kan kamunya lagi ngga ada??'
'gapapa, kak. serius. aku malah seneng karena mau dimasakin(?) hehehe.'
'Serius gapapa?'
'amannn.'
'Oke, aku otw sekarang yaa. Password pintu masih sama kan??'
oh! Astaka mengingat satu hal, Kaluna sudah tau sandi pintu kosnya. senyum Astaka mengembang seketika.
'sama, kak. 🫡'
salah satu kolega kantor memanggil Astaka setelah dirinya mengirimkan bubble chat terakhir, menyeret Astaka kembali pada realita bahwa dirinya masih berada pada jam kerja.
Astaka merasa waktu berlalu dengan lambat. keringat membasahi dahi, pelipis, dan kaus yang Astaka kenakan. akhirnya tugas dinas lapangan yang melelahkan ini berakhir.
Astaka menyalami teman kantornya satu persatu sembari mengucapkan terimakasih atas kerja keras mereka seharian ini sekaligus berpamitan untuk pulang terlebih dulu. Astaka tidak sabar untuk kembali ke kosannya. entah karena Kaluna. entah karena energinya yang habis tak bersisa.
namun, rencana hanyalah rencana. pesanan ojek online Astaka tidak kunjung diterima oleh driver karena ramainya permintaan di daerah itu. hal tersebut mengharuskannya beralih ke gate lain yang jaraknya hampir 2 kilometer. Astaka berjalan dengan sedikit menggerutu.
sesampainya di gate yang dituju, nasib baik belum menghampirinya. pesanan ojek online Astaka masiih saja tidak kunjung diterima oleh driver. Astaka yang hampir habis kesabarannya pun berjalan ke arah stasiun MRT. memutuskan untuk menggunakan transportasi umum tersebut.
Astaka mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Kaluna.
'aku jadinya naik MRT ya. ojolnya susah.'
'Kamu harus jalan ke stasiunnya dong?'
'iyaaa.'
'Yaudah. Boleh share live location kamu biar aku tau kapan harus nyiapin makanannya di meja?'
'oke.'
saat MRT berhenti di stasiun kedua, Astaka pun turun dengan langkah tergesa. matanya mengedar ke arah jalanan dan gedung-gedung di hadapannya. perasaan pemandangan biasanya ngga kaya gini?, batin Astaka.
akhirnya Astaka membuka aplikasi maps di handphonenya dan benar saja, dirinya salah turun stasiun. Astaka seharusnya turun di stasiun sebelumnya. Astaka menghela napas dan mengusap wajahnya kasar.
'hufttt. aku salah turun stasiun.' ketiknya pada chat room miliknya dan Kaluna.
'Ohhh pantesan aku perhatiin GPS mu geraknya agak aneh daritadi.'
Astaka sedikit terkejut karena Kaluna benar-benar memperhatikan pergerakannya.
'ini lagi nunggu kereta arah balik 8 menit lagi. aku duduk dulu.'
'Iyaaa. Duduk dulu aja biar ngga capekkk'
rasa lelah dan kesal Astaka sudah mencapai puncak kepalanya, tetapi semua seolah padam ketika Astaka menyadari bahwa ada Kaluna yang menunggunya.
setelah turun di stasiun yang seharusnya dan berjalan kurang lebih 700 meter, Astaka akhirnya sampai di depan pintu kosnya.
matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan rak sepatu yang rapi, area kompor yang bersih, dan alat masak yang tergantung di dinding pantry yang masih meneteskan air. Astaka tebak bahwa Kaluna langsung mencuci alat masaknya itu setelah menyelesaikan masakan.
Astaka melanjutkan langkah hingga tiba di studio. matanya terpaku pada sepiring spicy honey chicken wings, dua mangkuk nasi hangat, dua gelas kaca, satu botol soda, dan beberapa bungkus rumput laut siap makan sudah tertata rapi di meja sebelum melihat ke arah Kaluna yang duduk di sofa studio sambil memainkan handphonenya.
"akhirnya dateng juga nih orang sibuk." ujar Kaluna melihat ke arah Astaka sambil menyunggingkan senyumnya.
Astaka tertawa, "kakak lama banget ya nunggunya? sampe masakannya udah jadi sama apa itu tadi beresin rak sepatu juga. aku kan jadi ngga enak, Kak." jujur Astaka.
Kaluna mengernyitkan dahi sambil tersenyum, "kaya sama siapa aja kamu, Ta. lagian kan emang aku yang pengen main."
"yaudah, kamu mandi dulu gih. kaosmu sampe basah kuyup begitu pasti lengket dan ngga nyaman." lanjut Kaluna.
Astaka hanya mengangguk dan mengikuti saran dari yang lebih tua.
sekitar 15 menit kemudian, Astaka dan Kaluna sudah bersebelahan duduk berselonjor kaki di karpet studio. tidak ada jarak kali ini. lengan bertemu lengan, paha bertemu paha, bahkan Kaluna sesekali mendaratkan kepalanya di bahu Astaka sambil menikmati masakan yang sudah disiapkan sebelumnya.
"jadi, kenapa tiba-tiba pengen main ke sini?" tanya Astaka pada jeda kegiatan mengunyahnya.
kepala Kaluna masih setia bersandar pada bahu Astaka, "kalo aku bilang aku sama Wintara putus, kamu percaya ngga?"
Astaka menegakkan tubuhnya dan bergerak menghadap ke arah Kaluna, "kok? eh, maksudku kapan, Kak?"
Kaluna mengembuskan napas cukup panjang sebelum menjawab pertanyaan Astaka, "hampir tiga minggu yang lalu. dua hari setelah aku kesini dan kamu ajakin rakit lego Spiderman itu." ada jeda di antara kalimat Kaluna, "ternyata Wintara selingkuh... sama temen kampusnya dulu." lanjut Kaluna.
ini adalah info yang cukup mengejutkan bagi Astaka, mengingat beberapa bulan lalu Wintara dan Kaluna bahkan masih saling bermanja-manjaan saat Astaka berada di studio milik Wintara.
Astaka menangkap ada sisa kesedihan di mata Kaluna meskipun perempuan itu berusaha menutupinya. Astaka meletakkan sumpit dan tangannya beralih untuk menggenggam tangan Kaluna.
"im so sorry to hear that." ujar Astaka.
Kaluna mengangguk perlahan dan memaksakan senyum di wajahnya.
"dari dulu Papa ngga setuju kalo aku sama Wintara, kata Papa Wintara itu somehow energinya negatif. aku yang dulu keras kepala, ngga gubris omongan Papa. eh, ternyata sekarang firasat Papa bener." ujar Kaluna dengan tawa yang terdengar getir.
Astaka bingung harus memberikan reaksi seperti apa. tangannya masih setia menggenggam tangan Kaluna sambil sesekali ibu jarinya bergerak mengelus punggung tangan yang lembut itu.
"maaf ya, Ta, kalo kesannya aku mau manfaatin kamu pas aku sedih doang." ujar Kaluna menunduk.
Astaka menautkan alisnya, "bukannya emang udah harusnya temen itu gitu? ada di saat temennya kesusahan."
Kaluna tersenyum dan mengangguk tanda bahwa dirinya setuju apa yang dikatakan oleh Astaka.
dua menit berlalu dalam keheningan. tangan Astaka masih setia menggenggam. kepala Kaluna masih setia bersandar.
"Ta." kepala Kaluna terangkat. kini dirinya menghadap ke arah Astaka.
"ya?" Astaka membalas tatapan mata Kaluna.
"what if i say that i see you as more than just a friend?" ujar Kaluna sedikit ragu.
Astaka yang mendengar hal tersebut tiba-tiba saja merasa bahwa jantungnya hendak melompat keluar. Astaka berusaha setengah mati untuk mengontrol raut wajah dan emosinya.
"lets take it slow. let us get to know each other better. we have all the time in the world. aku di sini kok, Kak. aku ngga akan kemana-mana." Astaka menyunggingkan senyum lebarnya yang tidak berhasil ia tahan.
Kaluna merasa itu adalah jawaban terbaik yang bisa diberikan oleh Astaka daripada kemungkinan jawaban-jawaban yang Kaluna susun sendiri di pikirannya.
tidak ada kata menjauh. tidak ada kata menjadi asing.
Astaka benar, they have all the time in the world.
0 notes
Text
pengecualian
sejak dulu, Astaka kecil sudah memiliki kebiasaan untuk melepaskan suatu hal yang disukainya jika ada orang lain yang juga menyukai hal tersebut.
katakanlah tidak mau berbagi, tapi bukan itu yang Astaka pikirkan. dia hanya tidak ingin bersaing dan berujung harus berusaha lebih hanya untuk sekadar merasa senang dengan hal yang disukainya. katakanlah malas berjuang, tapi bukan itu yang Astaka pikirkan. dia hanya memiliki opini sesederhana bahwa seharusnya hal yang membuatnya senang, tidak serta merta membuatnya susah.
hal ini berlanjut hingga Astaka SMA, di mana band yang tanpa sengaja ditemukannya di Spotify ternyata memiliki tipe musik dan lirik yang Astaka suka. hingga dua tahun kemudian, band tersebut melejit dan didengarkan bahkan hampir oleh semua orang di semua tempat. apa yang Astaka lakukan? ya, mencari band lain untuk disukai.
namun, entah kenapa Astaka tidak dapat menerapkan prinsipnya ini jika sudah terkait masalah perasaan.
Astaka tetap menyukai Thea walaupun Thea bahkan sudah gonta-ganti pacar sebanyak empat kali selama Astaka mengenalnya. Astaka berusaha keras untuk menerapkan prinsip yang dimilikinya, dan itu berhasil. bertepatan dengan momen di mana Thea mengatakan bahwa dia menjalin hubungan dengan senior kantornya. sakit yang dirasakan oleh Astaka pada awalnya, ia paham betul. Astaka hanya perlu menerapkan langkah selanjutnya, iya, mencari yang lain. langkah yang seharusnya sudah Astaka lakukan sejak Thea mengenalkan pacar pertamanya.
lalu yang selanjutnya terjadi adalah Kaluna hadir. Kaluna hadir sebagai seseorang yang sudah dimiliki oleh orang lain. jika bertindak sesuai prinsip, Astaka tidak akan melirik Kaluna. namun siapa Astaka? dia memang seolah mati rasa, tapi kompas dalam hatinya memaksa bekerja, menentukan ke mana titik koordinat selanjutnya. tidak juga salah Kaluna yang memiliki daya magis sekuat itu hingga membuat Astaka terpaku. mempertanyakan di mana prinsip yang selama ini ia pegang teguh.
Astaka memang tunaasmara, tapi dia menyadari bahwa prinsip itu tidak berlaku untuk Kaluna, atau setidaknya, Astaka melampaui prinsip yang dibuatnya sendiri. prinsip "melepas hal yang disukai jika ada orang lain yang menyukai hal itu" goyah ketika Astaka bertindak sebagai "si orang lain".
Astaka merasa konyol. namun, Kaluna yang kehadirannya tidak pernah diduga; Kaluna yang keberadaannya tanpa aba-aba; menjadi Kaluna yang tidak dapat diabaikan; menjadi Kaluna yang diinginkan
...oleh Astaka.
0 notes
Text
yes, you should
ini adalah malam Rabu yang sedikit berbeda dari malam Rabu biasanya.
Astaka sedang berada di studio miliknya, merapikan beberapa alat musik dan notes yang berserakan. Astaka melakukannya bukan tanpa alasan, toh biasanya dia membiarkan kondisi studio seperti itu sampai Thea datang berkunjung dan mengomelinya perihal pentingnya kerapihan. tapi kali ini berbeda, Thea sudah punya pacar dan Kaluna akan datang.
setelah merasa semua beres, Astaka mendudukkan diri di sofa sambil menggulirkan layar handphone nya yang menampilkan laman Instagram. beberapa video hewan menggemaskan lewat, membuat Astaka tersenyum dan tertawa kecil. beberapa saat kemudian, sebuah foto yang diunggah oleh salah satu akun yang Astaka kenal betul pemiliknya juga lewat tanpa permisi, itu adalah postingan Thea bersama pacar barunya yang sedang makan malam di restoran yang terlihat cukup mewah.
Astaka mengembuskan napasnya kasar. Astaka ingat bagaimana pertemuannya dengan Thea hampir tiga minggu yang lalu memberikan dampak yang ternyata cukup signifikan bagi dirinya. minggu pertama, Astaka hampir selalu menjadi orang pertama yang tiba di kantor, langsung berfokus kepada pekerjaannya, dan menjadi orang terakhir yang pulang. minggu kedua, Astaka bahkan memutuskan untuk menginap di studio kantor. minggu ketiga, Astaka terlihat seperti gembel yang piawai bermain musik. hal itulah yang menyebabkan Fian mau tidak mau menyeret Astaka untuk keluar dari studio kantor dan kembali ke kosnya.
"lo punya rumah ya, anjing. ngga enak banget liat pemandangan muka lo yang lebih mirip orang sakau ngejogrog di studio kantor. pulang ngga lo?!" itulah yang dilontarkan oleh Fian tiga hari lalu.
Astaka yang diam-diam setuju dengan pernyataan Fian pun menuruti perintah sahabatnya. hal itulah yang membuatnya sudah dua hari ini melanjutkan pekerjaan kantor dari kosan.
Astaka langsung tersadar dari lamunannya. senyumnya sedikit mengembang ketika tersadar bahwa dirinya sedang menunggu seorang tamu. Astaka membuka chat room dengan Kaluna, sekadar mengecek apakah perempuan itu sudah mengabari lagi atau belum.
"Taaaaa, hari ini di kos ngga?"
"iyaa, kak."
"Ih. udah lama banget kita ngga ketemu tauuu. kangen ngga sih??"
"hehehe. iya, kangen."
"Aku ke sana boleh? Sore atau maleman mungkin."
"waduh. ngga mau ketemu di luar aja, kak? studioku lagi kaya kapal pecah."
"Aku mau ketemu Temiii. Sekalian biar kamu ada alesan buat beresin kos. Hahaha."
"wkwk. yaudah. mau dijemput atau sendiri?"
"Sendiri ajaa. Oke, see you nanti, Taaaa."
tepat setelah menutup chat room tersebut, handphone Astaka berdering dan nama Kaluna tertera di sana.
"halo. gimana, Kak?" ujar Astaka.
"aku udah di lift nih. bukain pintu dong." jawab Kaluna.
"buka sendiri aja, Kak. passwordnya 1251." entah pemikiran dari mana, Astaka tiba-tiba beranggapan bahwa dia ingin Kaluna mengetahui password pintu kosnya. padahal selama ini Thea menjadi satu-satunya orang selain dirinya yang tau password tersebut.
"eh? gapapa?" suara Kaluna terdengar sedikit terkejut.
"hahaha. santai, Kak. aku juga masih beresin studio soalnya." bohong Astaka.
"okay." jawab Kaluna dan menutup panggilan tersebut.
tidak butuh waktu lama, Kaluna sudah masuk ke studio Astaka. perempuan itu membawa beberapa tentengan. termasuk jus alpukat, jus mangga, dan dua box dimsum.
"macet, Kak?" tanya Astaka memecah kesunyian.
"ngga sih. yaaa ramai lancar lah." jawab Kaluna.
Astaka hanya ber-oh-ria.
"eh, ini. aku tadi sengaja mampir beli jus sama dimsum. suka jus mangga kan?" ujar Kaluna.
Astaka menanggapi dengan anggukan sambil menata oleh-oleh yang dibawa Kaluna di atas meja studio.
selanjutnya mereka duduk di atas karpet. namun ada yang sedikit berbeda kali ini, Astaka dan Kaluna tidak duduk berhadapan, tapi bersebelahan. meskipun masih menyisakan sedikit jarak antara keduanya, tapi hal itu sukses membuat Astaka kewalahan untuk meredam degup jantungnya yang tiba-tiba tidak beraturan.
"kamu apa kabar?" tanya Kaluna sambil menikmati jus alpukat miliknya.
"aku? mmm baik... kayanya." jawab Astaka sedikit ragu.
Kaluna menoleh ke arah Astaka, "no, you are not. ayo jujur sama aku, ada apa selama hampir tiga minggu kita ngga ketemu?"
"Thea." ujar Astaka.
Kaluna masih menatap ke arah Astaka, menunggunya untuk melanjutkan kalimat.
"Thea punya pacar. senior kantornya." lanjut Astaka.
Kaluna kenal siapa Thea karena Thea pernah dibawa oleh Astaka untuk berkunjung ke kontrakan Wintara beberapa bulan lalu.
Kaluna menganggukkan kepala perlahan. Astaka menyadari bahwa suasana terasa sedikit canggung. ia tidak mau obrolan mengenai Thea merusak momennya bersama Kaluna.
"kalo kakak?" tanya Astaka dengan intonasi yang lebih ceria.
Kaluna tersenyum singkat, "ya biasa. sibuk kerja, sekarang jadwalku di klinik dari hari selasa sampe jumat."
bagi kalian yang belum tau, Kaluna adalah seorang dokter gigi yang bekerja di sebuah klinik yang jarak tempuhnya harus melewati empat stasiun MRT dari rumahnya.
"oh? berarti tadi habis dari klinik dong?" tanya Astaka.
Kaluna menjawabnya dengan anggukan, "tapi hari ini cuma sampe jam empat. makanya baru bisa ke sini agak malem."
Astaka menggaruk tengkuknya, "duh. aku jadi ngga enak sama kakak. harusnya kita kan bisa ketemu di cafe deket klinik kakak aja."
kalimat Astaka barusan mendapat respon kekehan dari Kaluna, "santai aja kali. kan emang aku sendiri yang pengen ke sini."
Astaka mengangguk dan memakan satu dimsum yang sudah sedari tadi dia genggam menggunakan sumpit.
"Bang Tara apa kabar, Kak? udah lama nih band nya break latihan." tanya Astaka.
mendengar pertanyaan itu, senyum di wajah Kaluna memudar. sekarang giliran Astaka yang menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi selama dia dan Kaluna tidak bertemu.
"aku udah ngga kontakan sama Wintara dua minggu ini." ujar Kaluna.
Astaka sedikit terkejut mengingat bagaimana sifat manja Bang Tara yang hanya ditunjukkan saat bersama Kaluna.
"Wintara agak beda sejak dia pergi ke Bandung nemuin temen kampusnya." lanjut Kaluna.
Astaka memiliki segudang pertanyaan yang berputar di otaknya, tetapi dirinya memilih untuk menepuk bahu Kaluna perlahan. berusaha memberikan sedikit ketenangan yang mungkin dapat membantu.
"yaudah. daripada atmosfernya jadi galau gini, mending kita rakit legoku yang baru dateng kemarin. mau ngga, Kak?" ujar Astaka bersiap untuk bangkit dari duduknya.
Kaluna yang mendengar hal tersebut langsung merasa tertarik dengan ajakan Astaka, "kamu suka lego?" tanyanya.
"suka, tapi ngga yang sampe addict banget gitu. aku beli lego ini karena ini lego topeng Spiderman!" jawab Astaka antusias.
tanpa menunggu jawaban dari Kaluna, Astaka berjalan mengambil box lego yang ukurannya tidak lebih besar dari bola basket dan meletakannya di atas meja.
"nih, Kak. ihiyyy lucu banget legonya. aku PO udah dari jaman kapan tau dan baru dateng kemarin. mana cuma segede gini harganya nyampe sejuta. yeuhhh emang semua nih salah pemerintah! apa-apa jadi mahal." ujar Astaka sambil membuka box tersebut.
"hahaha. lucu deh kamu." ujar Kaluna.
Astaka menoleh ke arah Kaluna sambil menautkan alisnya, "eh, malah dibilang lucu. ayo bantuin aku nyusun ini, Kak. ya walaupun legonya kecil, tapi empat tangan bakal bikin legonya lebih cepet selesai."
"sekalian biar Kak Kaluna ngga sedih lagi karena ngga berkabar sama Bang Tara. mending main lego sama aku. yaaa walaupun sedihnya ilang, ganti jadi puyeng dikit. hehehe." lanjut Astaka sambil menyunggingkan senyum nyelenehnya.
namun tanpa Astaka sadari, sedari tadi atensi Kaluna terpusat pada Astaka. mata Kaluna mengamati gerak-geriknya. Kaluna melihat bagaimana mata Astaka seperti memiliki kilatan kecil saat membicarakan lego barunya. Kaluna mendengar bagaimana suara Astaka seperti anak kecil yang kegirangan karena mendapat kado natal dan Kaluna merasa bahwa dirinya melihat sisi lain dari Astaka yang belum pernah ditemuinya.
di lain kepala, Astaka menyadari bahwa dirinya tidak suka melihat wajah Kaluna muram. Astaka tidak suka melihat bagaimana senyum Kaluna yang indah harus berubah menjadi bentuk bulan sabit kebawah. Astaka tidak suka mendengar suara Kaluna yang lesu karena menahan kesedihan. Astaka ingin selalu memastikan bahwa Kaluna bahagia saat sedang bersamanya.
mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuk menjawab pertanyaannya setelah kejadian kwetiaw goreng dan capcay kuah beberapa bulan lalu.
...Astaka should let Kaluna in.
0 notes
Text
oh? oh.
"halo. ada apa, Ya?" ujar Astaka setelah menekan opsi terima panggilan di layar handphone nya.
"free ngga?" tanya Thea to the point.
Astaka sedikit terkejut dengan hal tersebut, "kalo sekarang sih ada kerjaan. mungkin nanti sorean udah selo." jawab Astaka jujur.
"oke." ujar Thea singkat.
"kenapa, Ya?" tanya Astaka memastikan.
"mmm, dinner yuk." entah kenapa, suara Thea terdengar sedikit ragu di telinga Astaka.
"mau di mana?" jawab Astaka mengesampingkan rasa herannya.
"nanti aku kirim detailnya di chat, Ta. harus balik kerja nih." jawab Thea.
"oke. sampai ketemu nanti kalo gitu." ujar Astaka yang langsung disambut dengan panggilan yang diputuskan sepihak oleh Thea yang membuat rasa heran Astaka semakin kuat.
jam sudah menunjukkan pukul 18.43. Astaka duduk di salah satu meja sebuah restoran Italia yang interiornya didominasi dengan bunga berwarna kuning dan biru. Thea mengiriminya alamat resto ini sekitar setengah jam yang lalu. saat mendapatkan pesan itu, Astaka sedang duduk di angkringan depan kantor bersama Fian sambil menikmati gorengan dan es jeruk pesanannya. melihat alamat resto yang ternyata tidak terlalu jauh dari kantor, Astaka memutuskan untuk langsung menuju resto tersebut, tanpa mampir ke kosan terlebih dahulu.
sekitar 14 menit kemudian, Astaka melihat seorang perempuan memasuki resto mengenakan rok selutut berwarna coklat tua dan kemeja kerja semi formal berwarna putih tulang. rambutnya dicepol asal yang menyebabkan beberapa anak rambutnya terjatuh di leher perempuan itu. Astaka memandanginya dengan tatapan kagum. perempuan itu terlihat sangat menawan, walaupun raut lelah karena bekerja seharian menghiasi wajahnya... karena dia adalah Thea.
"udah lama nunggu?" ujar Thea sambil menepuk bahu kiri Astaka, membuyarkan lamunannya.
"baru kok." jawab Astaka singkat. "duduk, Ya." lanjutnya.
Thea mengamati meja yang ditempati mereka, "belum pesen?" tanyanya.
"nunggu kamu." jawab Astaka jujur.
selanjutnya, Thea memanggil salah satu pelayan resto. Thea memesan lychee ice tea dan penne carbonara, sedangkan Astaka memesan lemon tea dan spaghetti aglio-lio.
"jadi, ada apa tiba-tiba ngajak dinner, Ya?" tanya Astaka setelah pelayan menghidangkan pesanan mereka.
"emang ngga boleh?" tanya Thea.
Astaka sedikit gelagapan, "ya... maksudku... anu.."
Thea tertawa sekilas karena raut wajah Astaka, "ada yang mau aku omongin." ujarnya.
Astaka menaikkan satu alisnya, "tumben? biasanya ngomong lewat chat, telepon, atau dateng ke kosan langsung."
"hhh. i don't know how to admit it, but... i miss you." ujar Thea.
oh. Astaka lupa kapan terakhir kali ia bertemu dengan Thea. seingatnya dua minggu yang lalu. namun yang menambah keheranannya adalah... sejak kapan Thea menjadi se-straight forward ini?
Astaka hampir saja tersedak jika ia tidak segera meneguk lemon tea miliknya.
"apaan kangen? baru juga ngga ketemu dua minggu." ujar Astaka sambil menahan gemuruh di dadanya.
Thea hanya memutar bola matanya malas.
mereka lanjut menikmati makanan diselingi dengan obrolan-obrolan ringan terkait kesibukan masing-masing. sebulan terakhir, Thea tengah disibukkan dengan masa probationnya di sebuah perusahaan finansial. sedangkan kesibukan Astaka masih begitu-begitu saja, masih mengerjakan album baru klien yang mengharuskannya berkutat dengan alat musik, bahkan seringkali menjadi orang terakhir yang keluar studio kantor.
"Ta." panggil Thea setelah berdeham beberapa kali sebelumnya.
Astaka menoleh, "ya?"
Thea terlihat kesulitan meneguk ludahnya sendiri, "sebenernya alasan aku ngajak kamu ketemu hari ini karena aku mau ngomongin sesuatu."
Astaka meletakkan kedua tanggannya di atas meja. memberi tanda bahwa Astaka siap mendengarkan dengan saksama.
"aku... pacaran sama Chris." ujar Thea setelahnya.
oh? oh.
"temen kantormu?" Astaka berusaha bertanya setenang mungkin.
hal ini bukan tanpa alasan. Thea memang beberapa kali (atau bisa dibilang sering) pacaran semenjak Astaka mengenal Thea. bagaimana tidak? mereka sudah mengenal sejak Sekolah Dasar hingga sekarang sudah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Astaka paham betul bagaimana wajah berseri Thea tiap kali dia jatuh cinta, bagaimana mood Thea yang naik turun tidak terduga tiap kali dia cemburu dengan pacarnya, bagaimana Thea bingung memilih outfit untuk kencannya, hingga bagaimana Thea menangis dan mengurung diri di kamar selama dua hari karena putus. Astaka memahami Thea.
seingat Astaka, Thea diselingkuhi oleh pacarnya yang terakhir. meskipun hal itu terjadi sudah tujuh bulan yang lalu, tetapi tetap saja ada sedikit rasa khawatir yang tertinggal pada Astaka.
"iya. senior kantor. umurnya satu tahun di atasku." jawab Thea.
satu tahun di atas Thea, berarti satu tahun di bawah Astaka.
"dia baik. suka beliin aku kopi kalau kita ngga sengaja papasan di lift pas coffee break. suka ngajakin aku makan siang. sopan juga. dia selalu nanya gapapa atau ngga tiap kali dia ngelakuin sesuatu yang melibatkan aku." jelas Thea sebelum Astaka sempat bertanya.
"Papa sama Mama gimana?" tanya Astaka singkat.
Thea terlihat berpikir sejenak, "Chris beberapa kali nganter aku balik. pernah ketemu Papa Mama."
"Papa sama Mama gimana?" Astaka mengulangi pertanyaannya.
Thea yang mengerti maksud Astaka pun menautkan jari-jarinya, "Papa said he's a good person, jadi terserah aku mau lanjut atau ngga. kalau Mama, dia oke sama Chris." ada sedikit jeda pada ucapan Thea. "tapi Mama nyuruh aku buat kasih tau dan nanya pendapat kamu. that's why aku ajak kamu ketemu hari ini." lanjut Thea.
Astaka mengangguk paham, meski hatinya diselimuti kebingungan.
"kalo Papa bilang he's a good person, he's a good person then. terus kalo Mama bilang she's fine with Chris, menurutku itu udah cukup. insting seorang ibu ngga akan pernah salah." jelas Astaka.
tangan Thea bergerak mengelus lengan kiri Astaka yang diistirahatkannya di atas meja.
"makasih, Ta." ujar Thea disertai dengan tatapan khas miliknya.
pandangan Astaka beralih dari lengannya ke wajah Thea. mau tidak mau, Astaka memaksakan diri untuk memasang senyum di wajahnya.
"okay, aku cuma mau ngobrolin itu." suara Thea memecahkan keheningan yang sempat terjadi antara keduanya.
waktu sudah menunjukkan pukul 20.51. beberapa pelanggan mulai meninggalkan resto untuk kembali kepada kesibukan mereka masing-masing.
"it's fine. oke, ayo aku anter kamu pulang." ujar Astaka sembari berdiri dari duduknya.
namun, tangan Thea menahan pergerakannya.
"you don't have to. Chris udah di parkiran sejak 10 menit yang lalu. dia udah janji mau jemput aku."
oh? oh.
Astaka sekali lagi harus menelan ludahnya kasar. "okay, then. ayo aku anter kamu sampe parkiran." tangan Astaka tergerak untuk menggandeng tangan Thea.
Astaka beruntung karena Thea tidak menolak pergerakannya.
Astaka dan Thea berjalan dalam keheningan, tetapi isi kepala Astaka terasa sangat berisik.
Astaka melepas genggamannya saat mereka melangkahkan kaki keluar resto.
"mau ketemu Chris?" tanya Thea perlahan.
"oh, ngga dulu kayanya. aku juga harus buru-buru balik. kasian Temi udah nungguin." jawab Astaka berbohong karena sebenarnya Temi masih dia titipkan di pet care karena dua hari yang lalu, Temi sempat menunjukkan gejala flu.
Thea menatap Astaka dengan tatapan yang tidak bisa Astaka jelaskan apa maksudnya.
"yaudah. kamu hati-hati, Ta. kabarin ak..." belum juga Thea menyelesaikan kalimatnya, Astaka lebih dulu memotong ucapannya dengan menepuk bahu Thea sambil mengangguk pelan.
Astaka dan Thea berjalan ke arah yang berlawanan. Thea menuju pacarnya yang sudah menunggu di parkiran dan Astaka berjalan menuju kehampaan.
"it's just same old story, tapi kenapa tiap kali gue dihadapkan sama masalah kaya gini, gue masih aja ngerasa sakit?" tanya Astaka sambil mencengkram setir mobilnya.
Astaka kebingungan dengan perasaan macam apa yang dirasakannya. sedih? kecewa? marah? tapi kepada siapa?
0 notes
Text
sleepover
mata Astaka terasa berat sekali, bahkan handphone yang sedang dimainkannya telah beberapa kali terlepas dari genggaman.
"ngga kuat. merem dulu deh." ujar Astaka sembari merebahkan tubuhnya di atas karpet studio.
jam menunjukkan pukul 00.11 dini hari. hal ini berarti sudah sekitar 14 jam Astaka disibukkan dengan pekerjaannya. hari ini Astaka bangun setengah tujuh, dilanjutkan mengecek email dan to do list. ternyata ada satu meeting dengan klien yang harus dihadirinya pada pukul 10.30. karena merasa masih memiliki waktu yang cukup, Astaka menyalakan monitornya, membuka file desain artwork album salah satu kenalannya. iya, selain bekerja di label rekaman sebagai music arranger, Astaka juga beberapa kali menerima job sebagai desainer. 'nambah income, lumayan buat makan sama beli kopi. sekalian biar ada opsi selain main game pas gabut.' pikirnya.
Astaka sudah selesai menyicil satu desain saat waktu menunjukkan pukul 10. saat itu juga handphone nya berdering. "Bos", itulah nama si penelpon. panggilan berlangsung singkat, bos nya hanya memberi kabar kalau sebelum jam 10.30, Astaka harus sudah sampai di tempat klien label rekaman mereka untuk melakukan meeting. Astaka pun bergegas menyambar handuk dan bersiap dengan cepat.
meeting berjalan dengan lancar. kliennya memberi arahan yang jelas dan tidak kolot saat Astaka melontarkan beberapa saran dan tanggapan. namun di akhir sesi, si klien memperkenalkan salah satu anaknya, dia bilang kalau anak ini memiliki bakat menyanyi yang cukup baik, tetapi tidak memiliki bakat untuk memainkan alat musik. jadilah sekarang Astaka duduk di sebuah cafe dengan anak itu, membahas mengenai apa yang diinginkan oleh klien dadakannya ini.
pertemuan di cafe berlangsung dua jam. keduanya menyepakati bahwa minggu depan mereka akan bertemu di kantor Astaka untuk membahas proyek ini lebih serius.
setelah berpamitan, Astaka bergegas menuju motornya yang diparkir di halaman cafe. sedetik sebelum memutar kunci untuk menyalakan mesin, handphone yang ia simpan di saku kiri jeans nya bergetar. bos nya menelepon. Astaka mengembuskan napas malas saat hendak menekan opsi terima panggilan. lagi-lagi, panggilan dari bos nya tidak berlangsung lama. si bos meminta tolong kepada Astaka untuk menjemput adiknya di stasiun. Astaka hendak protes, namun dia sudah tidak memiliki cukup tenaga setelah melakukan dua meeting dalam waktu yang tidak singkat.
"i aint getting paid enough for this." ujarnya kesal.
pukul sembilan malam, akhirnya Astaka sudah berada di kos. tubuhnya lelah bukan main karena apapun yang dilakukannya hari ini, tidak biasa ia lakukan di hari-hari lain. meeting yang biasanya hanya dilakukan dengan satu klien dalam sehari, menjadi meeting dengan dua klien sekaligus, itupun dilakukan di luar kantor. ditambah dengan tugas menjemput adik bos di stasiun.
"capekkk, tapi kalo ngga kerja nanti ngga bisa beli mainan." ujar Astaka. mainan yang dimaksud Astaka adalah action figure yang berjejer rapi di meja kerjanya dan segala printilan alat musik yang ia miliki. iya, itulah arti mainan bagi seorang Astaka.
saat hendak merebahkan diri di sofa studio, otaknya langsung mengingat bahwa dia harus mengirimkan meeting report dari dua pertemuan dengan klien yang dilakukannya hari ini.
"hhhhh." Astaka mengusap wajahnya kasar sambil membuka laptop dan duduk di atas karpet.
Astaka membuka mata dengan erangan yang keluar dari mulut karena badannya terasa sakit. oh, dia baru ingat kalau dirinya memutuskan untuk tidur sebentar saat menyadari bahwa dirinya mengantuk tadi. jam di layar handphone menunjukkan pukul 02.47, tapi bukan hal itu yang mengejutkan Astaka. ada hal lain, yaitu empat panggilan tak terjawab dari Kaluna. terlihat juga panggilan itu terjadi sekitar setengah jam yang lalu.
'ngapain Kaluna nelpon gue jam dua subuh?' batin Astaka. namun, rasa khawatir mengalahkan rasa penasarannya. Astaka menekan nomor Kaluna, mencoba menghubungi balik. panggilan pertama, tidak ada jawaban. panggilan kedua, barulah Astaka dapat mendengar suara Kaluna yang sedikit... serak? sama dengan suara orang yang baru saja menangis.
"Kak..." ujar Astaka.
panggilan Astaka tidak mendapat sahutan dari lawan bicaranya.
"Kak Kaluna, you okay?" tanya Astaka. kali ini dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang terdengar jelas dari suaranya.
"Ta, can you pick me up?" suara Kaluna terdengar tersendat-sendat. Astaka tebak, Kaluna masih menangis.
"di mana?" tanya Astaka cepat.
"aku share location di chat." jawab Kaluna.
tanpa lama, Astaka bergegas mengenakan jaket jeans belel dan mengambil secara asal salah satu jaket bomber miliknya yang tersampir di belakang pintu masuk. dia langsung menuju basement dan melaju ke arah lokasi yang dikirimkan Kaluna. Astaka hanya berpikir bahwa Kaluna yang menelponnya di jam dua pagi dengan suara serak hasil dari menangis merupakan sebuah kombinasi yang mengartikan Kaluna sedang tidak baik-baik saja.
Astaka bahkan baru menyadari bahwa dia hanya mengenakan celana pendek dan sandal rumah ketika dia merasakan angin dingin menusuk kulitnya. "dingin banget anjrit." ujarnya setengah berteriak sambil menggidikkan bahunya.
alamat yang dikirimkan Kaluna ternyata mengarah ke sebuah tempat hiburan malam yang cukup fancy. Astaka dapat mengatakan hal tersebut karena melihat bangunan dan mobil-mobil yang terparkir di halaman tempat itu merupakan mobil-mobil mewah.
Astaka langsung menangkap sosok Kaluna yang berdiri mengenakan high waist jeans dengan atasan crop top lengan pendek berwarna hitam. Kaluna terlihat berdiri tidak jauh dari pintu keluar tempat itu. tanpa berpikir panjang, Astaka langsung menghampiri Kaluna.
"hey." ujar Astaka sesaat setelah sampai di hadapan Kaluna.
Kaluna tidak menjawab sapaannya, melainkan langsung meluruhkan diri pada pelukan Astaka. Astaka sedikit terkejut, tetapi tubuhnya menerima pelukan itu. Astaka juga membalas dengan mengusap punggung dan rambut panjang Kaluna.
pelukan itu berlangsung sekitar dua menit lamanya. Kaluna menyudahi pelukan itu sembari memberi jarak dengan Astaka.
"kamu ngga keliatan baik-baik aja." kalimat itu keluar dari mulut Astaka saat meneliti bahwa mata Kaluna bengkak dan hidungnya merah tipikal orang habis menangis.
Kaluna mengerucutkan bibirnya. tangisnya hampir pecah sekali lagi.
"eh, jangan nangis. ayo pulang dulu. lanjut nangisnya lebih enak kalo sambil rebahan di kasur dan meluk guling." ujar Astaka panik.
Astaka pun segera meraih pergelangan tangan Kaluna dan menuntunnya menuju motor Astaka yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"ini kita ke rumah Kakak atau ke mana?" Astaka baru bertanya sekitar sepuluh menit setelah mereka berkendara.
"Papaku bisa marah besar kalo aku balik jam segini, Ta." jawab Kaluna dengan lirih. Astaka bahkan bisa jadi tidak mendengar suara itu jika ia tidak mendengarkannya dengan saksama.
Astaka berpikir sejenak, "yaudah, ke kosanku dulu aja. besok pagi aku anter pulang."
Kaluna tidak menyuarakan kalimat penolakan, tetapi Astaka dapat melihat dari kaca spion bahwa Kaluna memberikan anggukan kecil dan mengeratkan jaket bomber milik Astaka yang sekarang melekat di tubuh Kaluna.
lima belas menit berlalu dengan cepat. Kaluna dan Astaka kini sudah berdiri di samping ranjang milik Astaka. Kaluna sudah beralih memakai piyama berwarna abu-abu milik Thea yang tertinggal di kos Astaka karena kebiasaan menginap Thea. Kaluna sudah menolak, tetapi Astaka sedikit memaksa karena Astaka berpikir bahwa Kaluna tidak akan nyaman jika harus tidur mengenakan celana jeans dan kaos sedikit ketat.
"Kak Kaluna bisa tidur di sini." ujar Astaka sambil menunjuk kasur miliknya. "spreinya baru aku ganti tiga hari yang lalu kok. dua hari ini aku juga ketiduran di sofa studio, jadi basically aku baru pake kasur ini sekali setelah sprei nya diganti." entah kenapa Astaka merasa harus menjelaskan hal tersebut agar Kaluna merasa nyaman.
"Ta, aku bisa tidur di studio kok." ujar Kaluna lirih.
"big no. lagian aku juga masih ada beberapa hal yang harus dikerjain di studio, kak." bohong Astaka karena sebenarnya meeting report yang dikerjakaannya tadi sudah ia kirimkan ke email bosnya.
"aku ngga enak sama kamu." kali ini Kaluna berdiri di hadapan Astaka.
"well, you actually owe me an explanation karena udah bikin aku panik karena kamu ngehubungin aku jam dua subuh sambil nangis, Kak." Astaka menggaruk belakang kepalanya. "tapi untuk sekarang, kakak istirahat dulu. kepala kakak pasti agak pusing karena nangis ditambah kena angin malam. we can talk about this later." lanjut Astaka.
Kaluna hanya menanggapi dengan menundukkan kepala dan memainkan jarinya. Astaka menyadari hal itu dan ingin rasanya meraih tangan Kaluna untuk sekadar menggenggamnya, tetapi tidak ia lakukan.
"yaudah, kak. anggep kamar sendiri, ya. kalo butuh apa-apa, aku di studio." ujar Astaka sambil membalikkan badan, bersiap untuk pergi.
sebelum Astaka berbalik dengan sempurna, tangan Kaluna meraih lengan kanan Astaka. Astaka kembali menatap wajah Kaluna.
"makasih ya, Ta." ujar Kaluna perlahan.
Astaka membalas dengan mengusap punggung tangan Kaluna, "you always have me, Kak."
pandangan Astaka dan Kaluna bertemu cukup lama sebelum akhirnya Astaka memutusnya lebih dulu.
"oke, aku ke bawah." ujar Astaka sedikit terbata yang dijawab dengan anggukan oleh Kaluna.
setalah sampai di studio dan menghempaskan diri ke sofa, Astaka baru merutuki apa yang keluar dari mulutnya tadi.
"si gelo, bisa-bisanya bilang 'you always have me' ke Kaluna. mabok gue kayanya." ujar Astaka kepada diri sendiri.
0 notes
Text
groceries
setelah kejadian 'tidak-sengaja-mampir-karena-capcay-kuah' beberapa minggu yang lalu, intensitas pertemuan antara Astaka dan Kaluna entah bagaimana juga ikut meningkat. dari yang awalnya bertemu hanya di kontrakan Wintara saat band Me(a)sure memiliki jadwal latihan, berlanjut dengan pertemuan-pertemuan yang mereka sengaja rencanakan.
dua minggu yang lalu, Astaka dan Kaluna mengunjungi cat cafe yang letaknya ternyata tidak jauh dari tempat kerja Kaluna. seminggu yang lalu, Astaka dan Kaluna pergi untuk menonton film animasi Shinchan di bioskop yang selanjutnya pergi makan di Pepper Lunch. tidak terkecuali saat ini, Astaka dan Kaluna sedang berada di groceries store karena Kaluna merasa prihatin tiap kali Astaka menceritakan tentang bagaimana dia harus menunggu makanan yang dipesannya melalui delivery order yang waktu antarnya manjadi lebih lama karena akhir-akhir ini memang sering turun hujan. Kaluna menawarkan diri (lebih tepatnya memaksa) untuk menemani Astaka membeli bahanan masakan dan keperluan lainnya.
"mau ke section apa dulu?" suara Kaluna membuat Astaka yang mendorong troli pun terhenti.
Astaka menggaruk pelipisnya, "to be honest, i have no clue."
Kaluna menghela napasnya kasar. tidak, Kaluna tidak kesal karena dia sadar betul bahwa kegiatan belanja bahan makanan seperti ini memang tidak biasa dilakukan oleh Astaka karena biasanya Thea yang melakukannya dan Astaka hanya 'terima jadi'.
"yaudah, ayo ke bumbu dapur dulu. habis itu ke buah sama sayur. yang terakhir baru ke section daging." ujar Kaluna.
"what about snacks?" tanya Astaka dengan mata yang berbinar.
Kaluna menatap Astaka gemas, "just take anything you want. toh, kamu kan yang bayar? hahaha."
Astaka memutar bola matanya malas.
"Kak, bedanya ketumbar, kemiri, sama merica apa?" tanya Astaka sambil menimbang ketiga benda yang menurutnya terlihat sama di matanya.
"jangan males baca, please. itu yang kamu pegang satu kemiri, terus yang dua lagi ketumbar." ujar Kaluna sambil menyingkirkan satu dari dua ketumbar kemasan yang ada di tangan Astaka.
"nah, merica yang ini." lanjut Kaluna sambil mengarahkan satu merica bubuk botolan ke depan Astaka.
"hhhhh. bodo amat, di mataku semua mirip." ujar Astaka malas.
Astaka dan Kaluna sampai pada section terakhir, yaitu section daging. troli yang didorong oleh Astaka juga sudah 3/4 penuh walaupun mayoritasnya diisi oleh snack.
"kamu mau daging apa?" tanya Kaluna.
Astaka mengedarkan pandangannya, "Thea biasanya beliin slice beef sama paling dada ayam."
Kaluna mengangguk lalu mengambil dua slice beef dalam kemasan yang masing-masing berbobot 500gr serta satu dada ayam kemasan 1000gr. tidak hanya itu, tangan Kaluna juga bergerak untuk mengambil sayap ayam kemasan 500gr dan memasukannya ke troli.
"kok? aku ngga pernah masak sayap loh, Kak." protes Astaka.
"tapi bisa makan?" tanya Kaluna sambil mengarahkan jari telunjuknya ke Astaka.
"ya... bisa." jawab Astaka kaku.
"yaudah. kebetulan kemarin temen aku baru share resep spicy honey chicken wings. nanti aku masakin." jelas Kaluna.
"so, aku bakal jadi kelinci percobaan nih?" tanya Astaka dengan nada menggoda Kaluna.
"sialan. aku bisa masak ya!" protes Kaluna sambil memukul lengan Astaka. baik Astaka maupun Kaluna tidak marah karena mereka sama-sama tahu bahwa mereka hanya bercanda.
"oh iya, Kak. di sini ada es krim rasa taro yang aku suka banget. well, i dont usually into ice cream, but this one is the only exception." ujar Astaka yang tanpa sadar tangan kirinya menggandeng tangan Kaluna, sedangkan tangan kanannya mendorong troli.
Kaluna sedikit terkejut dengan perlakuan Astaka, tapi dia tidak menolak, "is that so? ada rasa mint choco juga ngga?"
"waduh, ngga tau tuh. but, lets just check it first! semoga ada ya." jawab Astaka.
Astaka dan Kaluna berjalan beriringan menuju section es krim, tanpa melepaskan genggaman tangan satu sama lain.
"yaelahhh. mint choco ada, yang out of stock malah yang taro. malas." ujar Astaka setelah mengetahui bahwa es krim taro yang diincarnya sedang tidak tersedia.
"yah. terus gimana dong?" ujar Kaluna. dia menatap ada sedikit raut kecewa di wajah Astaka.
Astaka diam sejenak, lalu tangannya meraih dua bungkus es krim rasa mint choco yang diinginkan Kaluna, "okay, buat sekarang kita makan mint choco dulu."
Kaluna menatap heran, "eh, kalo rasa taro nya ngga ada, aku ngga usah beli juga ngga apa-apa, loh. daripada kamu makan es krim yang bukan kesukaanmu." nada suaranya terdengar sungkan.
Astaka tertawa pelan, "no problem, Kak. kali ini kita cobain es krim mint choco kesukaanmu dulu. next time kita coba es krim taro kesukaanku." jawab Astaka enteng.
Kaluna tersenyum mendengar jawaban Astaka barusan. Kaluna suka bagaimana Astaka menunjukkan antusiasme terhadap apa-apa yang Kaluna sukai, tanpa harus membanding-bandingkan dengan seleranya.
Astaka dan Kaluna pun berjalan menuju kasir untuk membayar barang belanjaan. namun tanpa Astaka dan Kaluna sadari, ada sepasang mata yang sudah mengikuti gerak-gerik mereka sejak Astaka dan Kaluna mengobrol tentang rencana memasak Kaluna.
iya, itu adalah Aletheia.
hari itu, entah kenapa, hati Thea merasa seperti ditusuk oleh kenyataan bahwa Astaka terlihat dapat bersenang-senang bersama orang lain, yang bukan dirinya.
0 notes
Text
should i?
"lo pada kenapa sih, anjing?!" itu adalah kalimat yang dilontarkan oleh Zen.
aku, Bang Tara, dan Bang Galang hanya bisa menghela napas dan mengusap wajah secara kasar.
"udah! kita break dulu. lanjut nanti kalo semua udah pada waras." lanjut Zen.
semua perkataan dengan nada yang lebih mirip dengan bentakan yang keluar dari Zen itu bukan tanpa alasan. semua berawal dari kita berempat yang sedang berlatih di kontrakan Bang Tara. sepuluh menit pertama, tidak ada masalah. namun, di menit berikutnya, Bang Galang mulai kehilangan tempo saat memukul drum. tidak lama setelahnya, suara Bang Tara juga mulai terdengar sumbang, padahal biasanya dia tidak memiliki masalah dengan hal tersebut. aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini. dan tiba-tiba saja, salah satu senar yang ada pada gitarku juga putus. tidak heran jika setelahnya, Zen berkata demikian.
Zen menjadi yang pertama meninggalkan studio, entah kemana.
"gue pamit juga ya, Bang." ujarku kepada Bang Tara dan Bang Galang yang masih duduk di sofa ruang tamu kontrakan Bang Tara yang tengah sibuk dengan handphone mereka masing-masing.
Bang Tara hanya mengacungkan jempol tanpa menatapku, sedangkan Bang Galang melihat kearahku sambil mengangguk.
setelah berpamitan, aku segera melajukan motorku. saat itu pukul dua siang. biasanya matahari bersinar terik, membuat siapapun yang berada di bawahnya akan emosi kepanasan. namun hari itu sedikit berbeda, langit menampilkan warna abu-abu seolah siap untuk memuntahkan air kapan saja.
aku sampai di kosan sekitar setengah jam kemudian, bertepatan dengan hujan yang mulai turun. kakiku secara otomatis menuju ke studio milikku. aku duduk di kursi depan monitor, tempat di mana aku biasa 'bekerja'.
"there are something off here." ucapku pada diri sendiri.
"bisa-bisanya Galang out of tempo, Tara fals, dan senar gue mendadak putus padahal baru diganti. gue kalo jadi Zen juga ngamuk sih." lanjutku.
aku menyandarkan kepala pada head rest kursi. kemudian tanganku bergerak untuk menyalakan komputer. niat awal ingin mengecek file rekaman, tapi mataku tergoda saat melihat ikon game yang sudah lama tidak aku mainkan.
"Overwatch dulu kali ya." gumamku entah pada siapa.
hampir tiga setengah jam berlalu. aku memasuki match ke-8 yang aku mainkan. saat hendak melakukan aim, tiba-tiba saja aku mendengar pintu kosanku yang diketuk. aku reflek melihat jam pada dinding studio yang menunjukkan pukul tujuh lewat dua belas.
"bukannya Thea bilang mau ke sininya besok?" batinku.
tapi tanpa berpikir lama, aku mem-pause game yang sedang aku mainkan dan berjalan sedikit gontai ke arah pintu.
"oh, hai, Ta!" ujar orang tersebut. aku sedikit terkejut dengan kehadirannya. dia adalah Kak Kaluna.
"oh! hai, Kak." jawabku singkat. aku yang masih bertanya kenapa tiba-tiba Kak Kaluna yang notabene adalah pacar dari Bang Tara berdiri di depan pintu kosku. meskipun begitu, aku tetap mempersilakannya masuk.
"duduk, Kak." ujarku sambil membereskan selimut dan bantal kecil yang ada di atas sofa studio.
"eh, iya." jawab Kak Kaluna sambil mengedarkan pandangannya seolah sedang melakukan screening terhadap studioku.
"eh, anu... ini... aku bawain kamu capcay kuah." ujar Kak Kaluna seraya mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik yang dibawanya.
aku mengerjapkan mata dan mengerutkan dahi.
"kemarin pas kalian latihan di kontrakan Wintara, aku ngga sengaja denger kalo kamu suka capcay kuah." lanjut Kak Kaluna.
aku berusaha mengingat hal tersebut. benar saja, sekitar empat atau lima hari yang lalu, aku sempat berkata kepada Zen bahwa aku suka makan capcay kuah ketika kurang enak badan atau sekadar ketika hujan turun.
"loh? padahal ngga usah repot-repot, Kak. kan aku bisa beli sendiri." ujarku.
"ngga repot kok, Ta. ini tadi sekalian aku pengen kwetiaw goreng dan kebetulan juga lewat daerah deket tempat kamu." balas Kak Kaluna, entah betulan atau hanya mengarang jawaban.
aku menyunggingkan senyum seraya berdiri, "yaudah, aku ambilin piring sama sendok garpu dulu, Kak."
"eum!" jawab Kak Kaluna.
sekarang di sinilah kita. aku dan Kak Kaluna duduk berhadapan di atas karpet studio sambil menikmati makanan masing-masing. Kak Kaluna dengan kwetiaw gorengnya dan aku dengan capcay kuahku.
"Kak Kaluna ngga ke Bang Tara? ini kan malem Sabtu?", tanyaku berusaha memecah keheningan.
"Wintara lagi ke Bandung. main sama temen kampusnya dulu." jawab Kak Kaluna.
aku hanya ber-oh-ria. namun jauh dalam pikiranku, aku bertanya "Kak Kaluna mampir ke tempat gue gini pamitan ngga ya sama Bang Tara?"
"kamu emang tinggal sendiri, Ta?" kali ini giliran Kak Kaluna yang bertanya kepadaku.
"iya, Kak. udah dari SMP." jawabku.
wajah Kak Kaluna menunjukkan ekspresi kaget, "oh, sorry. aku ngga tau kalo ortumu..."
aku tertawa sebelum Kak Kaluna menyelesaikan kalimatnya, "hahaha. bukan, Kak. ortuku masih ada, lengkap. tapi emang mereka tinggal di luar kota. Ayah dinas di sana soalnya, jadi Ibu nemenin." jelasku.
kali ini Kak Kaluna yang ber-oh-ria sambil menutup wajahnya karena malu.
"terus, kamu kalo makan gimana, Ta?" tanya Kak Kaluna setelah selesai dengan 'rasa malunya' barusan.
"ya kaya anak kos pada umumnya. kadang masak, tapi lebih sering jajan. kadang juga Thea ke sini buat masakin aku atau sekadar kasih makanan titipan dari Mamanya." jelasku.
"oh. Thea sering ke sini?"
"mmm. bisa dibilang iya, bisa dibilang ngga. tergantung sama kesibukan Thea juga, tapi seenggaknya dia ke sini sebulan sekali, bawain aku bahan makanan." ujarku sambil mengunyah sawi dan kol yang ada pada capcay kuah milikku. "Thea tuh suka marah kalo makanku ngga bener, jadi kalo liat pantryku isinya cuma mi instan sama minuman sachet, dia selalu ngomel. maka dari itu, dia selalu 'beliin' aku bahan makanan sebulan sekali. ya habis itu uangnya pasti aku ganti." lanjutku.
"eh, maaf, Kak. kayanya aku oversharing ya?" ujarku sambil menggaruk belakang telinga yang sebenarnya tidak gatal.
Kak Kaluna tertawa ringan, "hahaha. ngga apa-apa kok, Ta. aku tuh suka dengerin orang cerita tau. kamu beda sama Wintara. Wintara tuh apa-apa dipendem sendiri. baru mau cerita kalo udah aku paksa atau aku ambekin, sedangkan kamu ceritanya seru dan ngalir aja gitu."
kali ini giliran aku yang tertawa, "sebenernya aku hampir 11 12 sama Bang Tara kok, Kak. bahkan kata temenku, namanya Fian, aku itu cuma mau berteman sama tiga individu, yang pertama Fian, yang kedua Thea, dan yang ketiga Temi." jelasku.
"Temi?" Kak Kaluna mengangkat satu alisnya.
"kucingku, tapi sekarang lagi ada di pet shop. habis di-grooming." jawabku.
"ihhh. mau ketemu Temiii." ujar Kak Kaluna.
"hahaha. iya, kapan-kapan aku bawa ke studio deh atau... kakak main ke sini lagi?" kataku hati-hati.
"yeyyy!" Kak Kaluna menyunggingkan senyum dan mengengepalkan tangan mirip seperti anak kecil yang diberi hadiah.
sekitar dua puluh menit kemudian, Kak Kaluna pamit karena tidak ingin pulang terlalu malam.
"beneran ngga mau aku anter, Kak?" ujarku tepat di samping Kak Kaluna yang sudah duduk di belakang kemudi mobilnya.
"kalo kamu anter, mobilku gimana dong?" tanya Kak Kaluna.
"ya aku anter kakak naik mobil kakak. nanti aku baliknya naik ojek online." jawabku.
"ah, ngga deh. kasian kamu malah jadi bolak-balik. next time aja aku ke sini, tapi kamu yang jemput ke rumah." balas Kak Kaluna.
"yaudah. drive safe, Kak. kabarin aku kalo udah sampe rumah." kataku.
"iyaaa, Ta. makasih ya udah disambut walaupun aku ke sininya ngga ngabarin dulu." ujar Kak Kaluna sambil menepuk bahuku.
"anytime, Kak."
selanjutnya, mobil Kak Kaluna melaju meninggalkan basement dan perlahan terlihat menjauh lalu menghilang karena berbelok menuju jalan raya.
"should i let her in? apakah gue perlu menjadikan dia 'individu' ke-4 yang tau sisi menyenangkan gue?" dua pertanyaan ini terus berputar di kepalaku sejak memasuki lift hingga tiba di depan pintu kosku.
"eh, Asta! Kaluna kan pacar Tara, goblok! mikir apa lu?!" ujarku sambil menampar pipiku sendiri saat menyadari apa yang aku pikirkan barusan.
"but, being with her... it feels like home." said the devil inside me.
0 notes