mahfudpati
mahfudpati
M.h.f.d
9 posts
biar bagaimana gua punya tuhan!
Don't wanna be here? Send us removal request.
mahfudpati · 4 years ago
Text
Halu
"cuk! udah bukan telat lagi kamu ini, tapi telat banget Sam!" sambutku pada Ijal. temenku satu itu sukses menjadi ajudan orang bernomor di negeri ini, sepulang dari ibu kota dia langsung menuju kesini, tempat yang semula memang sudah sepakat kita untuk bertamu.
"mau istirahat dulu atau mau langsung cus Sam?" sahut Ipin kemudian. wajahnya datar menikmati bakaran tembakau di tangan kirinya,
"Sabarlah lah Sam, santai saja dulu masih juga jam segini kasian kan Ijal baru wae nyampe, biar sebats dulu, iya kan Sam?" Dika menimpali. dia menyulut sebatang rokok pula.
"enggak-enggak ayo langsung lanjut saja, kita rehat diatas saja" Ijal menjawab sambil menyahut kunci kendaraan. dia berjalan agak buru buru.
***
Kita berempat adalah kawan sejak SMA, dulu kita akrab sekali dengan penuh konyol dan kenakalan khas anak remaja tentunya. selulusnya sekolah kita mulai berpisah, Ijal lulus Akpol lalu ditempatkan di Jakarta, Dika kini hampir menyelesaikan tesisnya di kota budaya, Ipin setahun yang lalu boyong dari pondok pesantren di Jombang lalu menikah dengan seorang ning dan kini ia disibukkan dengan aktifitas pondok pesantren sang mertua, aku lumayan akrab dengan keluarga mertua Ipin karena memang di yayasan punya mereka aku mengabdi pada madrasah tsanawiyah juga melatih beberapa kegiatan ekstrakurikuler pada sore harinya.
Hari ini adalah titik jenuh dari rindu yang berkepanjangan, entah berapa purnama sudah kita hanya bertukar kabar virtual. ya memang menjadi dewasa dipenuhi kesibukan, mempersiapkan apa yang orang-orang sebut masa depan. kita pacu mobil jeep tua punya mertua Ipin menuju ke tempat yang semula memang kita inginkan. Lereng Muria.
Tujuan kita adalah di puncak Argo Piloso via Rejenu, namun mobil kita titipkan di desa terakhir di sekitaran wisata air terjun Monthel. sebelum memulai pendakian kita inventarisir perbekalan kita, semua bekal yang tadinya empat tas kita satukan kemudian kita bagi lagi menjadi dua, satu tas carrier berisi logistik dan obat-obatan, satu lagi berisi dump dan peralatan lainnya, namun ada yang janggal pada carrier logistik yang dibawa Ijal, sekelebat Aku melihat ia menyembunyikan sesuatu
"eh, apa itu Sam? kamu bawa apa?" tanyaku terkaget.
"nggakpapa, cuma buat anget-angetan aja, ngga bakal buat mabuk juga wong ya cuma sebotol, udah tenang aja kita!" wajahnya senyum, namun aku membalasnya dengan kecut. Ipin memeriksa
"apaan nih! tinggal aja deh, ngga usah bawa-bawa ginian! ini di gunung lho!"
"udah-udah nggakpapa, sebelumnya aku juga pernah kok kaya gitu, asal jangan bicara yang aneh-aneh ya kamu Sam!" Dika nampak menengahi.
***
Firasatku mulai tidak karuan selepas kita meninggalkan pos satu, seiring nafas mulai terengah aku tak bisa berhenti untuk terus mengamati sekitar. meski malam hari diawal pendakian langit semula cerai namun berubah menjadi pekat tak ada setitik pun gemintang, angin pun berhembus tak lagi pelan, meski bukan yang kenceng banget namun lumayan untuk buat kita menggigil.
"Pin!" teriakku. kupastikan semuanya baik baik saja. Ipin mengisyaratkan bahwa semua masih aman. Dia di barisan paling belakang, sementara aku sebagai leader. Dika membaur dengan banyak bercerita pengalamannya naik gunung-gunung besar, diantara kita memang dia yang paling banyak tahu tentang gunung, aku dan Ipin hanya menimpali dengan iya iya saja, sesekali bertanya yang kita tak banyak tahu.
Selang beberapa jam kita sampai di pos dua, itu artinya setengah perjalanan sudah kita lewati, "Istirahat saja dulu Sam" teriak Ipin kepadaku.
Disana kita mulai membuka perbekalan, beberapa potong roti dan botol air mineral keluarlah dari carrier, angin berhembus lebih kencang saat Ijal mengeluarkan bekal khususnya, sebotol minuman yang katanya sebagai penghangat.
"ada yang doyan ngga nih?" ia menawarkan
Sepakat kita menolak, jujur ini juga kali pertama kita melihat Ijal minum mungkin atsmosfer Jakarta telah merubah perilakunya. Angin semakin kencang dan rintik hujan mulai turun aku mempunyai kepekaan khusus bahwa alam menjamu kita dengan tidak baik.
"ayo Sam lanjut! keburu hujan" ajak Dika, semua bergegas.
Dika kemudian memimpin, di belakangnya ada Ijal, Ipin, kemudian terakhir aku sebagai sweeper. Dika sedikit ambisius - berjalan agak cepat, selain memang sudah terlatih mungkin juga karena cuaca yang mulai tidak bersahabat, Ijal dengan sedikit terengah membisu mengekornya, sementara agak tertinggal beberapa meter aku dan Ipin berjalan santai.
"kamu merasa ada yang aneh nggak sih Sam?" tanyaku pada Ipin, dia adalah yang paling bersih jiwanya dibandingkan kita semua.
"udah, aku tau kok kebiasaan lamamu itu, sampaikan saja pada mereka kita cuma bertamu, cari senang habis itu pulang. kamu cerita nanti saja ya kalau sudah turun" Benar dugaan ku, dialah yang paling banyak tahu tentang aku.
"Ah..." Ijal berteriak sambil memegang kakinya. Aku dan Ipin mempercepat langkah menyusulnya, samar tertempel di papan kawak melekat pada pohon, Pos 3 (Tiga) - Ini Alam, Bersikaplah Dengan Sopan - Jangan Meninggalkan Apapun Kecuali Kenangan.
Aku menyalakan hio disekitar, sebenarnya aku tau kaki Ijan bukan karena keram, namun ada sejulur tangan yang mencekram erat di mata kaki kirinya, dalam hati aku sapa semua mahluk tak kasat mata yang mengkerumuni kami, sorot mereka mengancam kita bak tamu yang tak diundang, aku terus saja merapal - memohon maaf dan ijin untuk tidak mengganggu datang sampai nanti pulang. Dika mengurut pelan dengan balsem, dan menenangkan dengan memberi minuman. tak begitu lama dia merasa lebih baik. Ipin mengkodekan isyarat padaku.
"Niatkan saja malam ini kita sedang melepas kangen Sam, jika memang alam menghendaki kita sampai puncak itu adalah bonus. Sam, jika memang sakit kita kembali turun saja, aku khawatir terjadi apa apa!" petuah Ipin.
"Apa-apaan sih kamu Sam, udah di pos tiga ini lho bentaran juga dah sampai puncak udah slow aja, kalau capek istirahat nanti lanjut. nanggung lah dah sampai sini mosok balik turun?" tukas Dika.
"Tapi Sam!" Aku mengurungkan ucapan, sebenarnya sang penghuni gunung telah mengisyaratkan kepada ku untuk tidak membawa teman-temanku ini ke puncak. kedatangan kita dianggap tidak sopan, mungkin karena Ijal membawa apa yang seharusnya tidak boleh dibawa ketika naik gunung.
Kita tepat sampai puncak pukul 01.00 dini hari, dump cepat berdiri dan kompor siap mendidih kan air untuk bikin mie dan kopi. Hujan bukannya berhenti justru malah semakin deras, angin pun begitu hembusannya sangat tidak ramah, malam itu lewat dengan mencekam. Semua saling mengunci mulut, tak sepatah katapun keluar, hanya saling tatap penuh ketakutan. Ipin merapal doa, aku menyalakan lagi hio di sudut tenda, Dika nampak bodoh meski sudah pulahan kali ia naik gunung, ia memaksa pejam matanya.sementara Ijal membuang dengan serampangan botol minumannya, dari matanya nampak kegeisahan mungkin ia sadar ia salah namun hendak memohon maaf tapi pada siapa? Alam.
Waktu berlalu begitu saja tanpa kesan yang membekas, sampai harusnya sunrise muncul pun hari masih gelap, semalaman semuanya terjaga. Tanpa kata - tidak bercerita. Aku keluar berusaha menikmati sekitar, benar saja mentari belum bersinar dan gerimis masih saja membumi. Ku keluarkan ponsel dari saku, dengan sisa baterai yang ada aku berusaha ceria mengambil gambarnya sekenanya.
"Oi Sam! sedemikian pengecut kah kalian? sampai dengan airpun kalian takut? ayo keluar, ini kan yang kalian cari? kita sudah di puncak, Puncak Argo Piloso! tempat yang sama dua belas tahun lalu! Ayo keluar!" teriakku dari sudut puncak, tiga empat meteran berjarak dari tenda.
Puas bersua foto kita kemasi semua barang bersiap turun, seperti biasanya semua sampah pun kita bawa kembali turun. Perjalanan turun memang tak selama dan sesusah ketika naik, nafas lebih teratur dan penerangan lebih memadai, mungkin. kendati siang hari namun suasana mistis masih saja menyelimuti, basah bekas hujan justru menyisakan bau amis yang entah pertanda apa. jalan kita bukan seperti ketika mendaki, dua atau tiga kali lebih cepat terang saja sekitar dua - tiga jam kita sudah sampai di pos dua. di tandai dengan plakat bertuliskan "Ini Gunung - Bawa Turun Kembali Sampah Mu!"
Aku teringat, ada yang tertinggal,
" Sam, coba cek sampah mu!" aku sedikit berteriak pada Ijal. ia menyerahkan bungkusan plastik sampah.
"Modyar kue!" dugaan ku benar botol bekas minuman Ijal tertinggal, semalam ia membuangnya sembarangan.
"Apa sih kamu Sam, Alay! wes biasa wae tho, ada yang lebih aneh ini! semalam kan ngga ada jalur bercabang ini tho? ini yang kiri atau yang kanan Sam?" Dika memeriksa jalur kiri Ijal membisu mengikuti. Tanpa komando aku memeriksa jalur kanan.
Berjalan belasan meter, aku yakin dengan jalur kanan, Ipin sedari tadi tak beranjak dari tempat istirahat di pos dua.
"Sam, Jalur ini yang benar. mereka belum balik?" tanyaku. Kita pun akhirnya sepakat menunggu Ijal dan Dika kembali, sebatang-dua batang rokok habis merekapun belum juga muncul. batinku, apa mereka sudah turun ya?
"Sam, sepertinya jalur ini juga sampai bawah deh!" ujar Ipin ketika sempat memeriksa, memang ada bekas jalur namun sudah di tutupi rimang dan ilalang. tak ingin kesulitan kami kembali dan turun via jalur kanan, sekitar empat puluh limaan menit kita sampai pada pos satu. tidak seperti pas dari atas sampai pos dua, tanpa Ijal dan Dika perjalanan terasa mudah dan cepat. Di pemberhentian itu berdua kita masih menunggu Dika dan Ijal, sambil menghabiskan logistik yang tersisa.
Hampir dua jam menunggu, tidak juga mereka muncul. lanjutlah perjalanan ke basecamp, betapa terkejutnya aku ketika tau mereka belum juga sampai di basecamp. Firasat buruk mulai melintas, namun bersaha tenang. Ipain mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah sholat dhuhur, aku harap cemas sendirian.
Hari menjelang petang, namun kabar tak kunjung datang, dengan sangat takut kami melapor ke petugas jaga bahwa dua kawan kami hilang. belum selesai kita melapor daru kejauhan nampak seorang berlarian, itulah teman kami. Dika.
"Gawat nih! Celaka!" dia asal rebut air putih milik petugas jaga. mukanya pucat dan penuh luka.
"Ijal jatuh ke jurang!" terbata-bata ia asal bicara.
Ipin berlari kembali keatas gunung bercucuran air mata, aku pun sama tak mampu ke sembunyikan duka. Aku tak mampu mengejar, ponselku bergetar dilayar tertulis "mama Ijal" tanda telepon masuk.
"Hallo, Assalamualaikum Le! Apa kalian berencana naik gunung hari ini? apa Ijal sama kalian? Mama pesen ya le, mending tidak usaha ya, musim hujan begini bolehlah kalian bertemu tapi mbok jangan di gunung, mama khawatir ada apa-apa sama kalian"
Aku semakin kaku. tak mampu aku menjawab pertanyaan mama Ijal di seberang sana, karena kenyataannya Ijal sendiri tidak diketahui keberadaannya, hidup atau mati ia sedang dicari. Dyar modyar aku, bagaimana nanti aku menyampaikan pada keluarga seandainya Ijal benar tiada?
***
"Ah!" aku berteriak, sontak aku terbangun. ku kucek bola mataku, kutatap ponsel yang masih tercolok pada charger disebelahku. Sebuah pesan singkat terbaca lewat notifikasi
"Assalamualaikum Le! Apa kalian berencana naik gunung hari ini? apa Ijal sama kalian? Mama pesen ya le, mending tidak usaha ya, musim hujan begini bolehlah kalian bertemu tapi mbok jangan di gunung, mama khawatir ada apa-apa sama kalian" dari kontak pengirim jelas tertulis "Mama Ijal".
tanpa pikir panjang, ku forward pesan itu pada group WhatsApp kita berempat, dibawahnya kububuhkan,
"Agenda muncak aku batalkan, kita ketemu di tempat biasa saja!"
**end**
m.h.f.d
Sukolilo, 22 Januari 2021
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
mahfudpati · 5 years ago
Text
#DiRumahSaja
Baiklah mari kita mulai kembali setelah berkali-kali gagal, mimpi itu nyata harusnya semua orang bisa melewatinya, tapi dengan jalan yang mana? Dan langkah mana kita memulai semuanya?. Pikiran ku melambung kembali, hendak pasrah tapi tak seharusnya usiaku teramat muda jika harus mengakhiri semuanya, yakin ini hanyalah jeda dan aku harus melanjutkannya.
Media masih hilir mudik mengerjakan headline terbaik, tak ubahnya pasar mereka hanya menjajakan beritanya, menawar-tawarkan di beragam iklan. Bagiku mereka monster yang mengerikan, memang dulu ayahku sempat cerita tak enak hidup tanpa media, jiwanya seakan katak dalam tempurung atau serupa sapi yang setiap harinya harus mengenyam jerami. Hidupnya itu-itu saja, namun di tengah paceklik semacam ini apa iya kita butuh banyak berita? Orang-orang menyerukan dirumah saja, berkali kali mereka berkata, tentu saja mereka itu sudah punya lumbung untuk di makan beberapa hari kedepan, setidaknya mereka tetap bisa ngupaya upa Meski tidak kemana-mana. Lha aku? Modyarlah!
Bibirku asam sudah sedari kemarin, semenjak dirumahkan aku sudah tidak nafsu lagi membakar tembakau, meski dengan harga termurah sekalipun. Duduk diteras sambil kuminum parutan jahe merah yang katanya baik untuk badan. Dasarnya gula mahal, dan aku tidak terlalu suka manis, jadi ya agak pedes gimana gitu, hampir sama dengan ocehan tetangga, haha.
"Wes tho mas! Ndak usah terlalu disesali begitu, setidaknya kita ambil hikmahnya, kamu bisa nungkuli anakmu setiap harinya, nungkuli istrimu, lagian aku juga terlalu khawatir jika kamu tetep kerja diluar musim beboyo seperti ini, mbok ya yakin makan nggak makan asal kumpul, gusti Allah terlalu sugih jika harus ngeramut umat model dapuranmu, sholawat e di kencengi, mohon sama Gusti supaya badai cepat berlalu"
tiba-tiba istriku nyeloroh begitu saja dari balik pintu, di tangannya sudah ada beberapa potong pisang coklat hangat. Dia memang jagonya masak. Aku masih tak bergeming, kuseruput kembali jahe yang mulai mendingin. Sementara ia duduk di kursi sebelah ku, dipangkunya pula anak semata wayang kami.
"Lihat ayah dek! Jelek ya!"
_______________________ *** _______________________
Senja hampir temaram, seharian aku seperti orang linglung. Pendengaran ku mungkin sedikit terganggu atau saraf otak mungkin ada yang sedikit konslet, biasa aku juga libur dihari-hari besar atau mungkin akhir pekan, namun rasanya tidak seperti ini, seharian ini aku lebih banyak mendengkur, merabahkan diri di kasur sekalinya bangun paling juga melototi henpon memperbaharui berita atau menengok info lowongan kerja di beberapa sosial media. Di luar ku dengar anak dan istri ku asyik bermain, berbeda dengan ku jiwa mereka tampak ayem melihat ku dirumah saja.
Sepintas, aku sedikit menyesal mengapa dulu kuputuskan untuk buru-buru mencari kerja setamat SMA, mengapa dulu aku tak mendirikan usaha saja? Namun pikiran diingatkan kalau keadaan dulu memang berbeda, mau buka usaha apa seusia anak SMA? Bisa langsung dapat kerja juga udah syukur Alhamdulillah. Ah jingan tenan kok!
"Mas!"
Istriku memanggil dan pikiran ku ambyar. Aku keluar kamar kedekap erat anakku yang belum genab berusia dua tahun, ia terkaget sampai tawanya pecah, kusembunyikan keresahanku di balik canda bersama mereka. Istriku memberi ruang agar aku tampak tegar di hadapan anakku, kuyakin ia pun sama namun lebih lihai menyembunyikan semuanya, kita nyaris tak punya tabungan. Namun hidup harus tetap berjalan, bersyukurlah aku kini bersama mereka meski hidup di gubuk tinggalan mertua namun ini cukup untuk kami berteduh, dan jauh kita dari ladang dan sawah aku yakin Aksara akan tetap tumbuh, dayung kehidupan harus tetap kukayuh!
Tersenyum.
"Kamu nggak usah berfikir kemana-mana mas, jika memang mendesak kita jual saja perhiasan ini, kabar nya harga emas lagi tinggi. Insyaallah pesangon yang kamu bawa kemarin akan ku bawa sampai pandemi ini selesai, atau kalau Mas mau ambil buat beli rokok juga tak apa, tapi jangan yang mahal-mahal seperti biasanya itu ya?"
Ia memang pintar menggoda yang benar saja perhiasan yang hanya beberapa puing itu aku jual? untuk mendapatkan saja kurela tidak jajan menahun kenapa mosok ya arep tak jual begitu saja dan lagi bagi bukan pegawai negeri apakah cukup pesangon itu buat menaklukkan badai pandemi sambil terus berpangku tangan, jelas kata-katanya hanyalah bualan semata ini, bikin gedhe ati thok! tapi kalau di njar-njarke ya ndak bener juga ini, aku lho hidup di kota Pati yang jargonnya Bumi Mina Tani, mosok lho arep urip nyagerke mburuh, apalagi kita sudah dikuatkan oleh leluhur yang mewanti-wanti dengan nasehat setiap ada air, pasti ada ikan kenapa harus takut?
sudah cukup ini kerasahan hati, cukup alasan itu untuk jadi bekal di kehidupan selanjutnya, corona bisa saja mewabah, namun awak harus tetep obah.
______________________________****_____________________________
Pagi pagi sekali ku mulai ikhtiar baru, seiring dengan rona mentari yang mulai berpendar, aku yakin ini adalah jihad dalam bentuk lain. tak ada lagi yang bisa melawan Corona selaini tetap berada dirumah saja, memanfaatkan pekarangan rumah dan sedikit ladang, membenahi beberapa kandang ayam. keringat mulai mengalir saat mentari meninggi, Askara juga ibunya nampak antusias memberikan semangat dari jarak agak jauh dan teduh.
aku bisa membaca daei sorot matanya,
"Semangat ayah, jadilah merdeka! kita bukan generasi yang lahir kemudian menghamba pada kapitalisme semata, berawal dari pandemi kami harus jadi diri sendiri, tak apa menjadi petani, asal engkau mandiri"
Yakin pasti seperti itu yang mereka ucapkan, aku melempar senyuman-mereka membalasnya.
Aku merasa lebih baik, Tumpang sari yang tadinya tidak terawat karena aku sibuk dalam pekerjaan kantor kini bisa lebih hijau dan segar, aku memperhatikan betul setiap pertumbuhan nya selama dirumah ini. ayam-ayam dan beberapa bebek yang tadinya hanya kubiarkan liar pun kini nampak agak berisi dan lebih jinak. Yang lebih penting adalah aku bisa setiap pagi dan sore hari menghabiskan waktu bermain dengan Askara.
"aku bersyukur, lahir dan hidup di desa, setidaknya ketika keadaan tiba-tiba seperti ini kita tidak cepat binasa, tapi kalau terpaksa harus kemana kamu tetep harus pakai masker, sering mencuci tangan dan bahkan menjaga jarak ya dek, kita tidak pernah tahu dari mana dan siapa yang membawa virus itu, jadi lebih baiknya kita jaga diri"
"dek! Bagaimana dahsyatnya Corona ini telah merubah kita, bersyukurlah kita dengan adanya pandemi ini, bagaimana tatanan hidup, gaya hidup, pola hidup dan kehidupan berubah hanya karena mahluk kecil tak kasat mata ini, meski bukan lagi pegawai dengan gaji tetap, kamu tetap sayang aku kan dek?"
selorohku pada istri suatu sore sambil nonton teve. Ia membalas dengan kecupan hangat, sambil memindah siaran berita ihwal Corona yang tak kunjung usai masih menjadi highlight meski pemirsa nyaris muak dengan nya. aku bahkan sudah berkali memanen tumpangsari dan lupa cara bekerja kantoran namun Corona belum kunjung menghilang.
Tumblr media
0 notes
mahfudpati · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Kes(empat)an Yang paling berharga dalam hidup ini adalah papa dan mama berkesempatan untuk melihat senyum mu nak, pernah suatu waktu kami nyaris pasrah jika memang tuhan tak mempercayai untuk menimangmu pasrah sudah. Kehadiran mu memang sudah lama kita nanti tapi hadirmu tepat ditengah keputus-asaan meski tengah keras-nya perjuangan. Kesempatan ini jelas takkan tersiakan nak, kamu pantas untuk bahagia dan kami sepenuh hati untuk mengabulkan itu. Hal itu jelas dibarengi dengan besarnya harapan akan kemanfaatan mu akan hari depan. Apapun kesempatan yang engkau raih nanti pesan papa hanya satu, jadilah berguna untuk agama nak, jadilah satu dari banyak orang yang memperjuangi agama nak, karena itu lah yang selama ini papa lakukan. @ambarre_mahfud @flppati @30haribercerita #30daychallenge #30haribercerita #30hbc2004 https://www.instagram.com/p/B644AbBJkY2/?igshid=uobche0nn1by
0 notes
mahfudpati · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Tak Tergan(Tiga)n. Ini adalah cerita seorang anak wanita yang diminta ibunya untuk memilih bunga paling indah, paling cantik untuk di persembahkan kepada ibunya, namun dengan syarat bahwa anak itu tidak boleh menoleh kebelakang. Jadilah Ia berjalan lurus ke depan memilah memilih bunga di taman yang cantik semua, beragam warna juga pilihan ia coba petik namun khawatir jika di depan nanti di jumpai yang lebih indah, singkat cerita sampailah si anak pada ujung taman dengan penuh penyesalan tak di dapat bunga terindah itu. Jadi semacam itu mungkin cerita ini berawal, kalau dalam penggalan lagu, ...tuku ketan neng Prapatan, balikan neng mantan podo karo mangan jangan nget-ngetan... Mungkin ini kategori sayur gudeg mungkin ya, hahahaha 😃 Itulah nyatanya, bahwa mungkin sosok ini adalah sosok yang tak tergantikan, meski terpisah jarak juga waktu nyatanya jika kekuatan cinta sudah bergetar, akhirnya balikan. @flppati @30haribercerita #30daychallenge #30haribercerita #30hbc2003 https://www.instagram.com/p/B62wnxUpyi6/?igshid=nwfu4dmljze
0 notes
mahfudpati · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Dua. Kamu selalu menawarkan pilihan tentang satu hal dengan hal lainnya. Sama seperti pilih aku atau Askara? Ah, yang benar saja. Selalu begitu dengan banyak hal mulai yang paling remeh temeh sampai pada yang bersifat penting sampai membuat ku pusing. Tapi tetaplah tak selalu kehidupan di perbandingan-bandingkan semacam itu, pada hal tertentu aku akan memilih keduanya atau tidak memilih keduanya. Ya karena hidup memanglah pilihan, dan pilihan tak selalu menghadapkan pada dua hal. Bisa lebih. @flppati @30haribercerita #30daychallenge #30haribercerita #30hbc2002 https://www.instagram.com/p/B6zU1W6pqBT/?igshid=prj3j93rxiky
0 notes
mahfudpati · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Pertama dan Satu-satunya. Bila ada yang lebih dulu dari angka satu ialah dia yang tak terbagi. Wujud namun tak tersentuh, ada namun tak nampak. Kemudian engkau hadir dan hendak membagi nyatanya apa? Tidak bisa. Kamu adalah satu kesatuan yang absolut, meski hadir sesuatu yang baru maka bilangan selanjutnya bukan lah dua yaitu tetap satu. #30daychallenge #30haribercerita @30haribercerita @flppati https://www.instagram.com/p/B6xg12cpaAa/?igshid=gj411lipogfy
0 notes
mahfudpati · 5 years ago
Text
Kursi Tunggu
Ini sudah lewat satu jam namun engkau belum juga datang, ada puluhan orang berlalu lalang melanjutkan kesibukannya masing-masing sementara aku tetap bodoh disini pun dengan kekosongan fikiran. Sebentar saja tiba-tiba pecah dengan ide yang ngawur, dalam kosong itu hadir bermacam ide yang alah embuh lah!
Pria disampingku sudah pergi berlalu, pun dengan orang yang ada disampingnya dan sampingnya lagi. Yang lain juga sudah beranjak dari duduknya menyambut apa yang dinanti nya, sedang aku masih disini menanti sesuatu yang belum pasti. Ku tengok lagi arloji yang entah sudah keberapa kali angka angka itu sudah banyak berubah, jarum pun beralih pada angka berikut nya.
0 notes
mahfudpati · 6 years ago
Text
Sembuh.
Ini mungkin akan sulit, tapi tak ada yang tidak mungkin. Pasti bisa! Bahkan masa-masa sulit lain sudah banyak yang terlewati, dan aku yakin ini pun akan berlalu begitu saja. Ya, seperti sulit yang lainnya yang tek tersisa jejaknya.
Desember sudah nyaris usai, rinai hujan saling menyusul menjuntai ke bumi, dari pagi hingga kembali pagi. Baru kemarin saja mentari kurasa terik sekali kini sudah rindu saja. Pagi entah kapan ia bersinar dan senja sudah sembab lagi. Di sisa sisa hujan menjelang sore genangan meluber dimana-mana persis seperti isi hati. Kenangan.
0 notes
mahfudpati · 6 years ago
Text
Kesatu.
Ini adalah awal atas semua niat baik. "Ayolah, kalian tentu punya cita cita, atau apalah mimpi mungkin, harapan, target mungkin sesuatu yang harus di capai".
1 note · View note