Hogwarts' mud-blood graduate drown in the streams of muggles. Still practising witchcraft in architecture and literary.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Starting 2018 with ANXIETY :)
It’s funny when you assume about one thing, then you found out the fact is the absolute 360 degrees turn from it. But I guess that’s why we should communicate more, huh?
I mean, I’m a pretty discreet, extra-introverted person trapped in what seems to be a bubbly facade. Few years back, I was getting a lot an accusation of being “manipulative”, “antagonist”, and “intimidating”; in response to my confronting personality and my “privileged” position.
But yes, yes. I think I earned that. Because on the positive side, I could manage a very limited amount of people (if not zero) who I constantly give fucks to. Thanks to some people who I’ve encountered during my early years in college, I grew from a vulnerable, desperate romantics to a heartless, ignorant witch.
What’s the problem? You may ask. What are those rants about?
“Nothing,” I may answer.
Maybe it’s the universe telling me to revisiting my old self, again.
(now with less drama)
2 notes
·
View notes
Text
Life, as we know it.
“... Am I wasting my time?”
.
I kinda like you. Despite the fact that I’m often get annoyed by some of your habits. But I kinda like you, still. Your quirks and your fire and your genuine kindness.
Despite the fact that for me, a marriage is more complicated than choosing the right person. And it’s not that I totally resent the idea of being tied for the eternity. But... they say marriage is not only about you and me. It’s also about them: the family. And I don’t want you to be part of them... (trust me)
So this time, I don’t try as hard. Maybe, still trying, though...
.
Am I wasting your time?
Do I owe you anything?
Can love just be (I know this is nonsense)
...
0 notes
Text
2017, so far.
I believe this year I’ve upgraded myself. But ain’t we all, in every seconds?
The last time I told my personal story here was last year. And since then, many things had happened. What’s the big idea to conclude the whole year?
: that I went from both spectrum of feelings.
And now it’s none.
.
I also, don’t have anymore urgency to explain things. What people think of me is none of my shit. But I also give a lot of fucks about some values. Some said I’ve gained “attitude” and I admit I was never a nice person after all.
Some people who few years back I considered mentors, I see them differently. There’s no so called fandom anymore. Some of them become a good friends, though. But I’m no longer say amen to everything they said.
I still don’t know where life leads me. But now I am less anxious about it. The last time I checked, I was almost de-romanticised the cities that I once foolishly called second home. I think it’s safe to say that I am ready anytime to go somewhere new. But again, I’m in no rush at all.
To give a little positivity, I will recap the things I’ve done from August 2016 to August 2017 here:
Aug ‘16 - Organizing Arte-Polis ITB, Helping out friend’s booth at Keuken Bandung
Sep ‘16 - Joining international architecture competition with LAB & SHAU
Oct ‘16 - Joining Open Studios Jakarta (PIK), Roadtripping USA and attending CM Summit.
Nov ‘16 - Fell in love with people (and not liking it), also I was so broke that my colleagues treat me for my birthday. :’)
Dec ‘16 - CreativeMornings Jakarta at HiddenPark.id
Jan ‘17 - So broke and so sad but I managed to collect my mind and have some solitude moment on the hill. And made important decisions. Joining AMA rabu(n) senja project.
Feb ‘17 - Joining lingkaran, merging CMJKT officially.
Mar ‘17 - My first overseas panel discussion with Shophouse&co in SG.
Apr ‘17 - Travel SG - KL for 2 weeks, took my brother along. Coldplay concert!
May ‘17 - Jogja for Rimba’s wedding. ex-RAW reunion trip <3 KROMA farewell.
Jun ‘17 - My first Raya in Jakarta after 3 years.
Jul ‘17 - Bali, purely for vacation.
Aug ‘17 - Founders Brunch Club and Critical Context. Also finally having Aston to talk for CMJKT. My Golden’s passing.
I hope I make some sense in life. Will continue to march on!
0 notes
Photo

Why do we co-work? Last month, I was investigating the way co-working spaces work in our neighbour cities such as SG and KL, and what role they play in the creative industry. Since the past 2 years, co-working spaces in Indonesia have been growing to 75+ registered venues in 15 cities. But what kind of people work there and why? What makes them choose co-working over coffee shops or libraries (like, if there's any)? Being a Jakarta co-working dweller myself, those experience of connecting with the like-minded-s from around the world has given me valuable insights! Now I'm back to the office and got some additional surprise for the coming future. Pretty soon with write the full report on @lingkaran.co's blog! (at Impact Hub Singapore)
0 notes
Quote
I was thinking the 'S' word so much lately. But I guess, this too, shall also pass.
0 notes
Text
Mixed Feelings
The more I dig about it, the more I don’t want to give any more damn to personal characterization whatsoever... Zodiac, bloodtype, 16 personalities...
“He’s a snob. Of course. He’s an acute INTJ.”
“A clueless shit. Piscean, suppose.”
“You’re unpredictable and seem to be off the orbit. AB blood?”
I mean, it’s fun to keep it to yourself or to make it a light trivia for a small talk. But when it ends up making you judge a person bluntly without any logical explanation, I think I’m out.
Because it doesn’t feel right, hearing this kind of people talk about myself like they know me more than I do.
Right?
1 note
·
View note
Text
Semester 1.
Setengah tahun berlalu sejak saya mendeklarasikan diri terbebas dari (terlalu romantis untuk disebut zona nyaman) ...“institusi pendidikan profesi”. Barangkali sudah saya sebut-sebut sebelumnya. Saya sedang enggan menengok ke lembar-lembar belakang.
Enam bulan terlewati. Apa saja yang sudah terjadi?
Desember. Saya menyelesaikan proyek terbangun yang enggan saya bangga-banggakan. Saya bahkan lupa melewati tahun baru di mana.
Januari. Mengenal KROMAtes.
Februari. Menyelesaikan tulisan dan ilustrasi tentang Hong Kong Occupy Central. Bergabung dengan Kelas Kritik OMAH.
Maret. India. Belajar bertoleransi akan batasan batasan. Sedikit traumatis.
April. Kembali ke Hogwarts.
Mei. Official event pertama bersama Anabata.
Lalu datang bulan Juni. Bulan-bulan muda tidak pernah terlalu berkesan untuk saya. Selain catatan-catatan kecil, hari-harinya dapat terlupakan begitu saja.
Menuju paruh kedua di tahun 2016, saya kembali punya agenda untuk menghitung mundur. :)
1 note
·
View note
Photo

It was a long weekend for me. Started with hosting Nuwi, the kind-heardted caretaker of @wecare.id who spent her Friday morning as @cm_jakarta's speaker for the theme "Reality". Also, glad to be back to @cnclvco! #CreativeMornings #CMJKT #CMReality (at Conclave)
0 notes
Photo

The hardest part of growing up is growing bigger than your body.
0 notes
Photo

Them who built the city ♡ #BandungCuala (at Nanny's Pavillon)
0 notes
Photo

One fine afternoon ♡ Haloo @edwardgautama, kapucino buatanmu tetep numero unyooo~ (at Holsteins Milk House)
0 notes
Text
Pasca-
Desember, Januari, Februari, Maret, April...
Lima bulan hampir berlalu semenjak saya tidak lagi memiliki sudut pandang yang tajam dalam melihat dunia. Bulan-bulan kemarin saya masih mengimani bahwa fenomena ini tak lebih karena saya terlalu fokus “di lapangan” yang tidak membutuhkan kemerdekaan berpikir kritis. Meski pada akhirnya, ternyata, saya mengamini bahwa posisi saya selama dua tahun kemarin bahkan cenderung opresif terhadap state tersebut.
Saya menjadi tumpul, permisif, dan kehilangan minat membaca. (Oh, what an excuse for something you drowned yourself into on purpose!)
Sejak dua bulan lalu saya mengikuti sebuah kelas kritik arsitektur. Excited and as eager as I once was into this field. Tugas-tugasnya seputar berpikir logis, mengidentifikasi dan membedah logical fallacy dalam sebuah wacana/tulisan, lalu mengkritik sebuah proyek arsitektur.
Kemarin setiap peserta/kelompok peserta mempresentasikan observasi dan kritik mereka tentang sebuah proyek yang dipilih sendiri. Di akhir presentasi, para mentor berkata bahwa tugas tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang layak dimuat di media nasional.
Seorang peserta lalu membahas tugasnya yang bukan secara kebetulan adalah proyek kantornya sendiri. Ia berada dalam posisi yang sulit jika harus mengkritik karya bosnya sendiri, menurutnya. Mendengar ceritanya, saya berkaca pada diri saya sendiri.
Perasaan oppressed karena kita sedang dalam sebuah tatanan profesi, sementara di sisi lain kita membutuhkan objektivitas dalam mebahas hal di ranah itu di sisi lain. Meski objektivitas gak melulu soal "menyerang", tapi keengganan untuk menjadi sesuatu yang berjarak dengan objek yang kita bahas sementara kita sendiri menjadi bagian di dalamnya; adalah cukup tricky, kalau bukan sangat berat....
Hari ini, setelah dua minggu berada di zona steril, saya menemukan diri saya dua (setengah) tahun yang lalu. Barangkali mungkin dalam versi 2.0 yang sudah mendengarkan-menyimak-menyaksikan-mengimani-menjalankan praktek arsitektur dan melihat sendiri “jeroan-jeroan di dapur”. Saya mengantongi bekal etika berprofesi (di ranah manapun) yang disabdakan sang mentor di dapur dua tahun kemarin, dan dengan mengucap bismillah beranjak ke pemahaman yang lebih luas, lebih tricky, dan lebih banyak jeroannya lagi.
Kakak, saya barangkali pemalu dan penakut. Tapi saya tidak pernah membangkang, hanya menjalankan nilai-nilai dengan cara yang saya berusaha temukan sendiri....
(karena bagaimanapun jalannya, kita semua pada akhirnya akan menuju Roma)
0 notes
Video
youtube
Is this where social media and political correctness is taking us?
Great video satirising the social media bred influences on modern culture.
75 notes
·
View notes
Text
Oh, Politik.
Tahukah permainan werewolf, atau “manusia serigala”? Ini bukan versi adaptasi dari serial Ganteng-ganteng Serigala, karena permainan ini tak mengharuskan manusia serigalanya adalah lelaki muda tampan dan cenderung bertelanjang dada. Permainan ini bahkan menyembunyikan pemeran manusia serigalanya sampai semua pemain “mati”, dan tidak kenal bentuk fisik maupun gender. Tetapi semua sepakat bahwa manusia serigala yang akan jadi pemenang adalah mereka yang pandai berbicara dan memanipulasi pemain lainnya untuk menyembunyikan identitas asli mereka.
Werewolf adalah salah satu role-playing game yang dapat dimainkan oleh minimal tujuh orang. Permainan ini berlatar belakang sebuah desa yang memiliki satu penyihir, satu mata-mata, dua manusia serigala, sekumpulan warga desa, dan satu Tuhan yang tugasnya memoderasi permainan. Permainan ini hanya membutuhkan kartu yang berisi identitas sejumlah pemain, yang dikocok dan dibagikan secara acak, dan di awal permainan tidak ada satupun yang tahu kartu apa yang dimainkan satu dan yang lainnya.
Tuhan akan meminta warga desa (termasuk peran-peran lainnya) untuk tidur memejamkan mata ketika hari sudah malam, sementara sepasang werewolf akan diminta membuka mata dan membunuh salah satu warga. Setelah menunjuk orang yang disepakati, werewolf akan kembali memejamkan mata dan Tuhan menunjuk mata-mata untuk menerka satu orang werewolf, yang akan dijawab dengan “ya” atau “bukan” oleh Tuhan. Mata-mata menutup mata dan giliran penyihir untuk membuka mata dan menunjuk seorang warga yang akan ia hidupkan kembali. Jika warga yang ia hidupkan kembali adalah warga yang dibunuh oleh werewolf, maka ketika mereka semua membuka mata di pagi hari, tidak ada yang “mati” di sesi tersebut.
Dan di sinilah inti utama permainan: ketika Tuhan berkata pagi telah datang dan semua diminta membuka mata, satu dan yang lainnya tidak tahu siapa menjadi apa, dan yang bisa mereka lakukan adalah berspekulasi dan menunjuk sembarang. Sang werewolf bisa saja pura-pura menjadi warga yang lugu dan memilih mengikuti arus, atau ia bisa jadi agresif dan menunjuk-nunjuk yang lainnya. Mata-mata bisa secara heroik langsung menjabarkan hasil temuannya malam tadi, yang dapat membuatnya menjadi sasaran pembunuhan werewolf di malam berikutnya. Penyihir yang egois dan insecure bisa terus menghidupkan kembali dirinya tiap malam, namun bisa juga ia menjadi “the game changer” ketika ia menyumbang diskusi dengan cukup, tak banyak cakap, bersikap baik dengan yang lainnya, lalu di malam hari menyelamatkan warga yang dengan tergesa-gesa menuduh werewolf (karena banyak berbicara sama dengan “mati” nanti malam). Di akhir hari, sekumpulan peran yang riuh membela diri dan menuduh ini harus memiliki satu kesepakatan: “membunuh” satu orang tertuduh.
Permainan ini akan sangat seru ketika masing-masing menjalankan peran dengan baik, ataupun berpura-pura dengan sangat baik. Tapi dalam beberapa kasus, ada-ada saja orang yang berlaku anomali: ia akan memilih orang yang salah, dan bukan orang yang bersalah; untuk “dibunuh” hari itu. Demi menggenapi jumlah vote sehingga bukan ia yang “terbunuh”. Seorang yang begitu yakin bahwa dirinya tidak bersalah, akan tetap akan “mati” karena kalah memanipulasi pemain lainnya. Dan di akhir permainan, yang “mati” tanpa arti akan sakit hati, dan yang bertahan di akhir, werewolf atau bukan, membuktikan kepada semua orang bahwa yang paling cerdiklah yang bertahan.
Dan yang memiliki suara terbanyaklah yang menang.
...
As simple as it may sound, still, sebagian dari kita masih menyangkal bahwa politik hanya milik mereka yang sedang memperebutkan kursi atau memiliki kepentingan kepada yang berwenang.
Meskipun berarsitektur bahkan juga merupakan bentuk politik. Bukan hanya apabila yang kita kerjakan adalah proyek pemerintah (yang kita hindar-hindari, kalau bisa, karena “uangnya suka susah dan potongannya banyak!”) atau proyek yang digadang-gadang sebagai alat pencitraan politik, bukan. Berpolitik, pada hakikat awalnya, adalah seni mempengaruhi orang lain. Berpolitik, dalam arsitektur, adalah seni yang dipraktekkan arsitek ketika berdiskusi kepada klien, kontraktor, investor, dan engineer; sehingga apa yang ia rancang dapat dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak tersebut.
Memahami bagaimana politik bekerja membantu kita melihat gambaran besar bagaimana dunia bekerja, karena bangunan yang kita rancang akan menaungi manusianya. Meskipun, perdebatan apakah arsitektur bisa menyelamatkan dunia, ataukah hanya sekedar profesi yang dapat membuat bangunan yang baik dari segi kekuatan, fungsi, dan keindahan, masih menjadi polemik bagi masyarakat arsitektur. Alejandro Aravena, pemenang Pritzker Prize 2016, berargumen,
“Since my time at university I've been trying to understand if there was any connection between the thoughts and the ideas that we were being taught and the reality of everyday life of people. And of course there is, but you have to pick up from the body of knowledge of architecture the things that really matter. Not everything matters. ”
“I was kind of sceptical of architects trying to deal with problems that only interested other architects. The jargon, the way we talk about our issues, nobody except an architect understands. …”
"... The building logic, the political framework, and the policies, are part of the equation and we're not well trained for that,"
"We're never taught the right thing at university."
...
Have we taught the right thing at university?
0 notes
Photo

I'm an avid believer of infinite loophole and platonic balance in life. There is no gap in your past and the future. Karma does exist. And good people will always find a way to connect. Today I reclaim my solitude. Despite anything, I am beyond grateful to have the one who had developed me in the past acknowledging what I fight for now for the future. Sincerely, from the Ivory Tower.
0 notes
Photo

How do you know you're at the right place in the right time? Universe will do the work.
0 notes