When you sit all alone with your piece of story. Tumblr Hit Counter Visitor Map Widget Visitor Tracker
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bosan Shalat
Review Buku Bosan Shalat By Quranreview
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku" - QS. Thaha : 14
Coba bayangkan, saat kamu ingin bertemu dengan idolamu, pejabat, dosen, atau mungkin orang yang sedang kamu sukai. Namun saat bertemu denganya, responya begitu datar, seakan memberi pesan bahwa pertemuan itu hanya formalitas. Tidak begitu penting.
Apa yang kamu rasakan? Sedih dan mungkin tidak bersemangat membangun percakapan lebih lanjut.
Sama halnya dengan sholat. Saat Allah ingin bertemu dengan hamba yang Ia sayangi, dengan segala nikmat yang telah diberikan, apa jadinya kalau saat bertemu dengan hambanya, kita menemuinya dengan energi sisa dan mungkin sekadar menjalankan formalitas.
Shalat seharusnya menjadi momen intim pertemuan antara hamba dan Sang Pencipta. Allah memanggil kita setiap 5 waktu dalam sehari. Dia tahu hati kita penuh beban, pikiran yang kacau, dan kehidupan yang tidak tenang.
Namun inilah keindahan kasih sayang Allah. Dia tidak pernah meninggalkan kita, bahkan saat hati melayang jauh di tengah shalat. Allah tetap menilai kita dan Dia tidak menuntut kesempurnaan. Yang Dia inginkan adalah upaya untuk kembali untuk hadir sepenuhnya, meskipun itu sulit.
Bahkan dalam surat Ar-Rahman Allah mengulangnya berkali-kali
Maka, nikmat mana yang engkau dustakan?
Secara normatif, manusia memang tak bisa berbuat banyak untuk mengatur segala urusan dunia dan isinya. Kita hamba yang lemah. Dan Allah di dalam Al-Quran sudah berkali-kali memberikan pentunjuk dan peringatan.
Maka memperbaiki komunikasi adalah keniscayaan dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini, memaknai kembali kekhusyukan Shalat sebagai langkah awal untuk menjemput pertolongan dan keberkahan hidup.
Surakarta, 24 Juli 2025. Belajar lagi.
25 notes
·
View notes
Text
yang paling paling
kamu sering dengar kan, bukti cinta (kepada seseorang) yang paling tinggi, paling dalam, paling besar—karena paling sulit—adalah melepaskan. “jika benar cinta, lepaskanlah.”
sebelum menikah, hati kita mungkin pernah terpaut kepada seseorang. ternyata, kita belum berjodoh dengan seseorang itu. maka, melepaskan menjadi bukti cinta kita—katanya.
setelah menikah, urusan melepaskan juga masih ada. kehilangan bisa terjadi kapan saja dan karena apa saja. karena perceraian, karena kematian, bahkan karena kebersamaan yang tidak benar-benar bersama. siap tidak siap, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melepaskan.
melepaskan tidak hanya perihal pasangan. para ayah melepaskan anak perempuannya kepada laki-laki yang menggantikan peran dan tanggung jawabnya mendidik. para ibu melepaskan anak laki-lakinya untuk mengutamakan perempuan yang dimintanya. para anak melepaskan orang tuanya ke kehidupan yang berikutnya.
melepaskan juga tidak hanya perihal status. dalam beberapa kondisi, justru status perlu tetap dipertahankan. melepaskan yang lebih hakiki adalah melepaskan kepemilikan.
...
kamu dulu juga mengira, melepaskan adalah bukti cinta yang paling paling. tapi kamu mengerti sekarang, melepaskan itu bahkan bukan bukti cinta. melepaskan itu bukti keimanan. yah, kalau konsep keimanan terlalu melangit, sebut saja bahwa melepaskan itu bukti kesadaran.
pertama, kesadaran bahwa semua hal di dunia ini adalah titipan. kedua, kesadaran bahwa kita tidak pernah benar-benar memiliki. ketiga, kesadaran bahwa hati manusia mudah sekali terbolak-balik.
begitu kan? melepaskan adalah bukti keimanan, khususnya keimanan pada takdir. keimanan pada qodo dan qodar. melepaskan seseorang yang kamu cintai adalah bukti cintamu kepada yang menciptakan seseorang itu. bukti cintamu kepada dirimu sendiri, sebab kamu tidak terpenjara oleh perasaan mengingini, memiliki. tetapi, bukan bukti cinta kepada seseorang itu.
jadi apa? bukti cinta yang paling tinggi, paling dalam, dan paling besar itu? jawabannya adalah menjaga. termasuk, menjaga seseorang itu—seperti kata Sore—dari diri kita sendiri. saat kita sangat mencintai seseorang, kita tidak takut kehilangan. alih-alih, kita tidak mau seseorang itu tersakiti, apalagi karena diri kita sendiri. saat kita sangat mencintai seseorang, kita ingin tetap hadir untuknya, menjaganya, bahkan saat dirinya sedang menjadi versi diri yang paling tidak menyenangkan.
lalu bagaimana, jika kata takdir, seseorang itu sudah habis jodohnya untuk bersama kita? atau, jika memang tidak pernah berjodoh, bagaimana jika kata takdir, rezeki kita untuk mengenalnya sudah habis? kamu tetap bisa menjaganya, yaitu dalam doa.
lepaskan kepemilikanmu atasnya. bukan karena kamu mencintai melainkan karena kamu sadar dan beriman.
lalu jagalah dia. jaga dari api neraka. jaga dari orang lain yang hasad kepadanya. jaga dari situasi yang membuatnya sulit. jaga dari godaan setan yang terkutuk. jaga dari perbuatan, perkataan, bahkan pandangan yang tidak menghormatinya. jaga dari dirimu sendiri. jaga dalam doa. dan jagalah dia pada segala musim. saat dia indah, saat dia rengkah.
212 notes
·
View notes
Text
Stay calm. Stay steadfast. He is with you.
Whenever you’re feeling overwhelmed or tired of waiting, remember: patience isn’t weakness — it’s strength rewarded by Allah Himself.
🤍 Sabr always leads to something better.
19 notes
·
View notes
Text
Ada daya yang tak bersumber dari gemerlap atau tepuk tangan—melainkan dari niat yang hening, dari laku baik yang ditujukan pada jiwa yang tepat. Tak selalu karena kedekatan, tak perlu alasan besar. Cukup karena pernah tahu getirnya sakit yang tak terurus, sepi yang tak terjamah.
Merawat yang lemah, menemani yang genting, kadang bukan bentuk kedermawanan, tapi gema dari luka lama yang belum benar-benar padam. Dan anehnya, tak ada letih yang tinggal. Justru ada lapang yang pelan-pelan meneduhkan. Seolah tubuh dan batin menemukan kembali nadanya—ritme hidup yang tak sekadar sibuk, tapi juga berbelas kasih.
Kebaikan yang seperti ini tak menggelegar. Ia hadir seperti gerimis yang menyusup tanah—tak kentara, tapi menyuburkan. Ada sejenis lega yang lahir bukan dari balasan, tapi dari rasa cukup karena telah melakukan sesuatu yang tak sia-sia. Karena sejatinya, manusia tak selalu butuh dikenal atau dipuji—cukup bisa merasa bahwa keberadaannya tak sia-sia.
Mungkin, di titik-titik sunyi itulah hidup menemukan maknanya:
Saat memberi menjadi jalan pulang bagi jiwa sendiri, dan kehadiran menjadi penawar, meski tak disadari siapa pun. Sebab hidup yang bernilai bukan dihitung dari seberapa tinggi berhasil dicapai, tapi seberapa dalam bisa memahami sesama.
Dan barangkali, itulah bentuk paling hening dari kematangan: ketika kebaikan tak lagi dilakukan untuk terlihat benar, tapi karena hati memang tak sanggup membiarkan sesama terus terluka sendirian.
Jalan Kaliurang KM 6, YK | 2025
66 notes
·
View notes
Text
Menemukan (Lagi) Titik Awal Perjalanan
Semakin dewasa, saat mimpi-mimpi ini dibenturkan dengan berbagai macam realita. Ada masanya kita diberikan pilihan untuk terus memaksakan mimpi-mimpi itu, atau memberinya jeda. Ada jarak yang dengan sadar kita buat, untuk memulai lagi nanti memperjuangkan impian kita.
Jarak itu mungkin berupa satuan waktu, entah setahun, bahkan sepuluh tahun. Tapi kita sadar betul bahwa mimpi-mimpi kita itu, tetap akan kita wujudkan, meski nanti.
Meski setahun lagi.
Meski sepuluh tahun lagi.
Saat ini, kita sedang ada urusan lain yang lebih penting untuk menyelamatkan diri dan kehidupan. Alih-alih kekeuh dengan impian, kita memilih berdamai dengan diri dan pikiran sendiri. Tetap memiliki impian itu, saat ini kita memiliki alasan yang sangat kuat untuk menundanya.
Entah karena keluarga.
Entah karena anak.
Entah karena keadaan ekonomi.
Entah karena kita memang merasa belum waktunya.
Sembari menegaskan sekali lagi, kita tidak menghapus impian itu. Kita tetap menggenggamkan, dan menjadi dewasa menyadarkan kita untuk tidak hanya berpikir tentang diri sendiri sekaligus bertanggungjawab pada hal-hal yang berdampak kepada lebih banyak hal.
Dan kita masih percaya, bahwa suatu hari nanti, kita bisa mencapai itu. Saat kita akhirnya tiba di titik untuk memulainya lagi. Nanti. (c) kuniawangunadi
183 notes
·
View notes
Text
"Kamu tidak tertinggal, kamu sedang mengambil nafas. Kamu tidak terlambat, kamu sedang dipersiapkan."
- repost seseorang yang semoga Allaah menjaganya
221 notes
·
View notes
Text
"Ya Allah, tenangkan hatiku atas segala sesuatu yang sudah kau jamin bahkan sejak sebelum aku terlahir di dunia ini"
269 notes
·
View notes
Text
Aku rasa, memohon agar hati kita selalu utuh dan dipenuhi cinta adalah doa yang perlu di langitkan setiap hari.
Tidak ada manusia yang benar-benar bisa diandalkan untuk mengisi tangki cinta hati kita. Sunatullahnya adalah kita akan terluka jika mengandalkan makhluk. Maka, mari mengandalkan Allah agar hati ini selalu dipenuhi cinta.
Agar hati yang penuh cinta ini bisa menjadi cermin permata yang memantulkan kebaikan, memancarkan sifat Rahman dan Rahim selayaknya Allah yang menanamkan fitrah itu pada diri manusia.
Karena landasan dakwah adalah cinta. Maka, mari menjadi manusia yang pandai mencintai terlebih dahulu.
Jakarta, 16 Juni 2025
0 notes
Text
Berhati-hatilah dengan pertemanan yang membuat lidah kita kelu untuk menyampaikan kebenaran dan menolak kemungkaran. Sungguh salah satu penyesalan terbesar manusia di hari pembalasan adalah salah memilih teman.
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). (QS. Al-Furqan: 27-28)
©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
112 notes
·
View notes
Text
Hidup Seperti Apa yang Kamu Inginkan Allah Kehendaki
Pagi ini, papan nama list project dan PIC di ruangan kantor kami di-update. Sebelumnya, ada 3 nama tertera di sana : Pak Leo, Anggit, Mba Fiska. Sebersit kesedihan muncul ketika Bu Sinta menginstruksikan agar namaku dihapus dan list project di bawah namaku didistribusikan kepada yang lainnya. Ulil yang duduk di belakangku, Yang bertanggungjawab untuk administrasi dan mengupdate semua pengumuman, membuat sheet baru di excel karena ngga tega menghapus namaku secara permanen :"))))))
Meski ada kalanya banyak mengeluh, banyak lelah dan jenuhnya, ini adalah kantor paling nyaman sependek pengalamanku bekerja :") lingkungannya yang kekeluargaan, kepemimpinan Bu Sinta yang mengayomi dan layaknya ibu sendiri, membuat pekerjaan di sini tidak terasa sesulit itu. Aku tidak kesepian, karena ada orang-orang baik di sini.
Long weekend Idul Adha 4 hari kemarin, aku benar-benar tidak ngapa-ngapain. Hanya keluar di hari Jumat untuk shalat dan jalan-jalan seharian bersama Husna dan Warda, kemudian halaqah hari Sabtu di kontrakan Mba Weni, dan jalan-jalan mampir ke cuci gudang dan kafe Makarya di Gramedia Matraman.
4 hari kemarin banyak sekali rasa kesepian mendominasi, apalagi sehabis ditinggal Husna dan Warda ke Bandung. Libur panjang tanpa kegiatan, akhirnya malah berakhir rebahan di kosan sambil agak overdosis nonton YouTube. Aku berpikir, jika nanti aku pengangguran, akankah waktuku terbuang sia-sia seperti itu? Apakah lebih besar rasa malasku daripada ghirah untuk memanfaatkan waktu luang demi cita-cita yang tertunda?
Maka, pagi ini sebersit kesedihan itu kembali menyergap ketika melihat Ulil menghapus namaku. Sedih apabila waktu luangku larut dalam ketidakbermanfaatan, larut dalam kemalasan. Sedih jika nantinya aku kembali merasakan kesepian, karena tidak memiliki rutinitas yang membuatku bertemu orang-orang.
Padahal, sudah ada sederet list hal-hal yang bisa dilakukan jika aku menganggur nantinya: belajar membuat ilustrasi, membuka jasa peminjaman buku (perpustakaan mini), adalah 2 hal terbesar yang ingin kulakukan. Namun kadang ragu-ragu muncul, akankah aku mampu konsisten ketika tak ada lagi tuntutan deadline, atau produktivitas yang terpaksa muncul ketika datang ke kantor dari pagi hingga sore?
Tetapi di momen-momen inilah seharusnya hamba ini kembali untuk tidak mengandalkan dirinya sendiri. Jika menuruti keinginan, aku masih ingin bekerja. Namun jika Allah memintaku untuk berhenti, maka itu adalah kebaikan yang pengetahuanku belum mampu menjangkaunya saat ini. Itu adalah kebaikan dari Allah yang belum mampu kuindra, sesuatu yang seharusnya kulaksanakan saat ini secara sami'na wa'atho'na. "Kami dengar dan kami patuh."
Maka kuharap, menjalani ini dengan keyakinan utuh seorang hamba, akan membuatku memenangkan sesuatu di depan sana. Entah apapun itu. Hadiah kemenangan paling agung, tentu saja, adalah ridho Allah.
Ada hutan belantara yang begitu luas di depan. Terkadang cahaya masuk menerangi jalan setapak, membantu kita menghindar dari jebakan dan marabahaya. Terkadang pun gelap gulita, bergerak hanya bermodal tangan dan kaki yang meraba-raba. Yang manapun itu, apabila telah memiliki peta di tangan, tak sulit untuk keluar dari belantara itu.
Maka ini bukan soal hidup seperti apa yang aku inginkan di masa depan. Tetapi soal hidup seperti apa yang Allah kehendaki. Hidup yang manapun itu, asal Allah ridha.
Asal Allah ridha.
Jakarta, 10 Juni 2025
4 notes
·
View notes
Text
Mangatt kackk
Makna Kurban di Antara Rencana yang Patah
Aku masih teringat bagaimana kisah keluarga Ibrahim yang pernah guruku ceritakan padaku dulu. Ketika Ibrahim menerima perintah dari Allah, untuk mengasingkan Hajar dan Ismail jauh di Makkah. Hal yang terasa berat bagi Ibrahim dan Hajar saat itu. Dan selang beberapa saat ketika mereka sudah berkumul bersama lagi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail. Ga kebayang rasanya bagaimana ketika memposisikan diri di posisi Ibrahim dan Ismail, baru berkumpul beberapa saat dan Allah memerintahkan untuk menyembelih putranya sendiri dan bagaimana lapang hatinya Ismail dalam menerima perintah Allah.
Beberapa malam ini di Jakarta untuk memulai pekerjaan baruku, aku terus menangis di kamar. Sewaktu awal mendaftar CPNS, aku memilih penempatan di Surabaya. The most valuable things untukku adalah keluarga, pendidikan/karir dan uang. Rasanya Surabaya menjadi kota yang tepat untukku saat itu: pendapatan Kementerian Pusat dengan biaya hidup yang murah - ya harapanku, aku bisa saving money lebih banyak, akomodasi yang mudah untuk pulang ke Ponorogo untuk tetap dekat dengan keluarga, bagaimana rencana berkeluarga ke depan juga sudah tergambar dengan kondisi di Jawa Timur dan jenjang karir dan pendidikan yang relatif terlihat untuk pegawai kementerian. Win-win solution begitu pikirku dan itu cukup.
Allah ternyata mengujiku dari tiga dari empat hal yang aku rencanakan. 75% rencanaku terancam akan mandek.
Pendapatan untuk CPNS hanya 80% dari tukin satu grade dibawah grade PNS yang dilamar dengan nominal yang harus bertarung keperluan di Ibu Kota, Ponorogo yang susah dijangkau dari Jakarta, dan rencana kehidupan pasca menikah yang tentu sudah tidak bisa related dengan kondisi ke depan. Bahkan rencana seperti keinginan melahirkan dimana, kehidupan pasca melahirkan akan dijalani seperti apa dan menyekolahkan anak sudah sedikit tergambar. Nyatanya aku hanya mendapatkan satu hal: penempatan di Ditjen Perumahan Perkotaan adalah hal yang dulu sempat aku tulis di beberapa pengajuan essay beasiswa, yang Allah gagalkan berkali-kali. Hal dulu sangat aku inginkan untuk bisa aku lakukan secara totalitas dan berkontribusi disana, Allah sudah berikan kesempatan itu dalam wujud yang lain. Yang lainnya? Terancam hancur. Jujur, aku ngga tau harus berencana seperti apa ke depan.
Mungkin momen Idul Adha ini adalah momen yang tepat untuk mempelajari makna kurban itu sendiri. Kadang hal-hal yang kita sayang ngga hanya tentang uang, tetapi juga momen kebersamaan bersama keluarga, rencana pendidikan dan karir juga rencana-rencana lain yang sudah kita tulis dengan rapi. Memaknai bahwa kebaikan Allah bisa dalam berbagai wujud, di masa kini dan mendatang. Mungkin Allah mengingatkanku untuk tidak bersandar pada hal-hal yang kutemui di dunia, termasuk keluarga. Mungkin Allah melihat bahwa keperluanku untuk pulang ke keluarga lebih besar daripada pulang ke Allah bahkan di waktu-waktu krusial seperti shalat Tahajud. Dan Allah baik, ditengah ujian yang Dia beri masih ada Anggit dan Warda yang menemaniku di Jakarta saat fase kritis seperti sekarang. Thanks untuk remindernya, @ribrid
Mungkin dgn hal2 dikasih sekarang ini, semuanya kayak sapaan dari Allah buat bergantung ke Allah aja :") bukan ortu, bukan teman, bukan kerjaan














Allah, aku nggak memungkiri bahwa aku sangat sedih dan belum ikhlas. Tapi lagi-lagi aku harus yakin, bahwa Kau selalu memberikan jalan terbaik dari sisiMu untuk memenangkan aku hanya aku saja yang belum tahu untuk saat ini, tentang takdir yang akan Kau beri. Ga nyangka, sekarang untuk bisa mendapatkan vibes punya keluarga-nya ke Bandung buat nemuin adik :')

Bandung, 7 Juni 2025.
4 notes
·
View notes
Text
Saat Tuhan Membongkar Grand Design
Di momen qurban ini, hampir banyak bertebaran narasi tentang keluarga Ibrahim. Either "tiap diri kita adalah Ibrahim yang punya Ismail yang harus dikorbankan" or "menyembelih sifat kebinatangan", or kisah heroisme yang merangkum relasi antar anggota keluarga (suami-istri, ayah-ibu-anak).
Tapi aku ingin coba mendalamkannya lebih lanjut, bahwa serangkaian kisah menjelang qurban itu perlu di-zoom out juga. Dalam arti, kita nggak lihat ini sekedar hubungan pengorbanan ayah-anak aja.
Bayangin, narasi ayah-anak itu aja udah luar biasa kan? Gimana kalau di-zoom out dalam peran Ibrahim yang lebih besar daripada sekedar ayah?
Kisah qurban nggak cuma relasi vertikal Ibrahim-Ismail. Kalau dicermati lebih dalam, rangkaian peristiwa ini justru mengungkap proyek besar yakni Ibrahim sebagai arsitek peradaban. Beliau membawa grand design bernama baladan aminan (negeri yang aman sentosa).
Ini konsep atau konstruk yang megah, cerdas, dan visioner. Bayangin, sekian ribu tahun sebelum masehi, ada orang yang ingin membuat "surga di dunia" ketika yang lainnya masih dalam pemujaan kepada patung, bintang, dan penguasa.
Konsep "baladah" ini (sayangnya) sering direduksi jadi sekadar "negara" dalam pemahaman modern. Yah, simply keterbatasan definisi operasional aja, bahwa sekarang masih mentok di "negara". Padahal, baladah lebih dari sekadar teritorial. Baladah mencakup tatanan masyarakat berlandaskan "kalimat yang baik" beserta seluruh kelengkapan yang tidak dibatasi oleh teritorial (14 : 24-25)
Oke.. selanjutnya di pikiran seorang Ibrahim, "baladan aminan" itu tatarannya masih konseptual yang abstrak sehingga membutuhkan "operasionalisasi" konkret yang berkelanjutan.
(pembelajaran tentang konstruk, definisi konseptual, dan operasional dari matkulku sangat berguna ternyata)
Tujuan dari baladan aminan sendiri tertera jelas dalam doa Ibrahim (15 : 35-36), "agar anak cucuku tidak menyembah berhala." Intinya keselamatan peradaban. Tuh kan, apa kubilang, beliau ingin bikin "darussalam" alias surga versi di Bumi yang berkelanjutan. Kalian harus ngerti betapa megahnya misi penyelamatan ini. Oh ya, keselamatan di sini bukan cuma fisik ya, melainkan juga pembebasan dari segala bentuk "kecelakaan" akal, moral, mental, spiritual, apapun itu.
Bayangin, kita udah punya ide/konsep/konstruk, udah jelas juga tujuannya mulia. Sekarang siapa yang mengoperasikannya?
Ibrahim berdoa memohon "anak yang saleh" (Ash-Shaffat: 100). Allah mengabulkannya, tapi nggak instan. Ibrahim harus nunggu sekian tahun sampai Ismail lahir. Begitu memiliki putra, harapannya pun mengkristal: Ismail akan menjadi operator utama yang melanjutkan estafet peradaban.
Tapi ujian tak terduga menghantam. Mimpi penyembelihan meruntuhkan seluruh rencana operasional yang mungkin telah Ibrahim susun. Bayangkan: Anak satu-satunya yang diharap menjadi penerus, justru diperintahkan untuk dikorbankan. Secara langsung seperti "memotong mata rantai keselamatan dan cita-cita" kan? Logika manusia mana yang bisa menerimanya? Ekspektasi Ibrahim "berantakan". Ia seolah harus memulai lagi dari nol. (Saat itu belum ada Ishaq juga kan?)
So, pelajarannya adalah..
Bahkan tujuan mulia sekalipun jangan sampai membuat kita terjebak dalam "penyembahan rencana"
Seringnya, ketika kita udah yakin merancang masterplan terbaik untuk kebaikan, kita lupa bahwa ruang takdir lebih luas dari skema akal kita. Kita merasa berhak "dimuluskan" jalan hanya karena tujuannya benar. Padahal, bisa jadi kita sedang menjadikan blueprint dalam kepala sendiri sebagai berhala.
Respon Ismail menggenapkan hikmah ini. Sadarkah Ismail bahwa dialah calon penerus estafet? Tentu! Maka normalnya ia protes, "ayah, jika aku disembelih, siapa yang akan mengeksekusi rancangan ayah?" atau, "ayah, bukankah penyembelihanku akan membuat ayah mengulang rencana itu dari nol? Buat apa ibu dan ayah susah-susah mendidikku hanya untuk menyembelihku?"
Tapi ia memilih kata lain: "Laksanakanlah mimpi itu. Mudah-mudahan kau akan temui aku termasuk orang yang sabar" (Ash-Shaffat: 102)
MERINDING COY!
Semuanya nggak masuk akal. Tapi sabar adalah trusting Allah when nothing makes sense. Maka Ismail berharap termasuk ke dalamnya. Apalagi Ismail adalah hasil didikan seorang ibu yang lebih dulu diuji "kemampuan percaya pada hal yang nggak masuk akal"-nya.
Aku pribadi, nggak bisa bayangin posisi Ibrahim. Like.. orang secerdas itu, se-masterplanner itu, harus mengulang rencana dari nol, di saat si "operator" sedang matang-matangnya! Nggak ada miss sedikitpun dari rencananya. Tujuan udah bener, konsep udah ajeg. Tinggal eksekusi ajaaa!! Semua rencana harus hancur justru di waktu yang tepat untuk dieksekusi. Kayak disuruh berhenti berjuang saat lagi semangat-semangatnya 🤯
Tapi Ibrahim berhasil. Ismail berhasil. Maka salam sejahtera untuk keduanya yang telah melewati ujian yang besar.
Bahkan Ibrahim dikasih satu lagi kabar gembira yang nggak beliau duga. Kelahiran Ishaq. Ibrahim tadinya nggak apa-apa kalau cuma Ismail aja, toh Ismail adalah anak yang sabar. Artinya, Ismail punya kemampuan "memulai dari nol" bersama ibunya untuk membangun formula peradaban di lembah Bakkah (sekarang Mekkah) sementara ayahnya hijrah ke mana-mana. Yang kemudian karakteristik tantangan Ismail juga kemungkinan besar nggak mirip dengan bapaknya dan saudaranya (Ishaq).

Tapi kelahiran Ishaq menyempurnakan grand design itu. Allah kasih "anak yang pandai" yang artinya bisa cepat memahami konteks dari peradaban yang udah dibangun Ibrahim sebelumnya. Dia tau harus ngapain dari apa yang udah dikerjakan bapaknya. Ibaratnya: Ismail itu buka lahan baru bersama ibunya (Hajar), dan Ishaq itu melanjutkan garapan Ibrahim bersama ibunya (Sarah).

Doa penutupnya indah sekali.


Sampai di sini penceritaanku, untuk hal lainnya tentang Ibrahim bisa cek ke tulisanku sebelumnya:
Ibrahim Penyempurna Janji
Trusting Allah When Nothing Makes Sense
Kepekaan Iman
— Giza, selalu ada pembelajaran baru setiap tahun tentang keluarga ini
101 notes
·
View notes
Text
Tentang Ukhuwah
Aku kira ukhuwah itu sesuatu yang pasti bisa kamu temukan pada setiap muslim. Namun, ternyata ukhuwah itu memiliki 'rasa'. Selayaknya memilih dokter yang cocok, memilih sahabat yang kita izinkan ia menjamah beragam ruang rahasia lebih dalam. Rupanya, ukhuwah juga itu. Ia memiliki rasa, dan masing-masing orang menghadirkan rasa yang berbeda.
Ini hanya pengamatan singkat dari seorang awam yang baru belajar agama. Berbekal pengalaman sempit menjumpai beberapa ragam orang, ada 'rasa' yang hilang dalam tiap perjumpaan ukhuwah pada masing-masing lingkaran. Pertama kali bagiku familier dengan yang namanya 'ukhuwah' adalah sewaktu kuliah, ketika kali pertama berhijrah. Berjumpa dengan kawan-kawan shalih nan shalihah, dikumpulkan, dipersahabatkan dengan mereka, maka itu pula kali pertama aku mengecap bagaimana rasanya 'ukhuwah'.
Rasanya begitu nikmat. Sungguh nikmat. Pertemanan yang insyaAllah tulus tanpa ada sekat dan hierarki. Kehidupan bangku sekolah sebelumnya yang penuh drama, penuh standar fana manusia, saat itu tidak ditemukan lagi. Timbul-tenggelam rasa rendah diri ini padam. Hati kecil ini mulai percaya diri untuk menjalin pertemanan.
Tetapi memang sunnatullah-nya adalah semua yang memiliki pertemuan akan mengalami perpisahan. 'Rasa' ukhuwah itu lenyap seiring bergantinya waktu karena jarak membentang dan hubungan merenggang. Berada di ibukota, aku bersyukur pernah ditemani Aliv begitu lama, begitu intens, karena ia adalah kepingan 'rasa' ukhuwah paling indah yang pernah Allah berikan untukku.
Maka sedih sekali memang rasanya ketika sunnatullah itu hadir kembali. Ketika perpisahan menghampiri lagi. Beberapa kali mencoba berbagai forum belajar dan majelis, tetapi 'rasa' ukhuwahnya berbeda. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perbedaan itu. Terkadang, kukira itu karena alasan perbedaan latar belakang budaya antara pendatang dan penduduk asli Jakarta. Atau preferensi style ngumpul-ngumpul masing-masing anak. Tapi, mungkin juga tidak.
Ragam majelis ini, terkadang terasa ada sesuatu yang 'hilang', karena aku mengikutinya seorang diri. Mendatangi tempatnya seorang diri, semata-mata untuk ilmu. Tetapi tak ada koneksi yang terjalin dengan dalam dengan teman-teman di sana.
Sore ini, aku kembali mencecap 'rasa' ukhuwah itu, ketika berjumpa dengan Mba Weni dan Mba Aida. Rasa ukhuwah yang sama seperti yang dulu pernah dijumpai. Padahal, beliau berdua adalah orang Medan dan orang asli Jakarta. Jadi, sebetulnya latar belakang suku itu bukan masalah.
Tapi di saat yang sama rasanya sedih sekalii :") aku baru berjumpa dengan orang-orang baik ini sebulan sebelum aku pergi meninggalkan Jakarta. Hanya punya sedikit waktu sebelum kembali menjumpai perpisahan dengan rasa ukhuwah yang indah ini. Pada akhirnya memang ilmu yang didapat dari ragam majelis itu bermanfaat, tetapi jalinan rasa ukhuwah ini yang membantuku untuk lebih tunduk di hadapan ilmu. Untuk mengerti kembali hakikat dakwah dan amal jama'i. Karena jalinan rasa ukhuwah ini yang menggamit hatiku pada kali pertama, tersentuh dan trenyuh untuk belajar Islam lebih dalam.
Maka ya Allah, senantiasa pertemukan aku dengan orang-orang shalih. Kumpulkan dan persahabatkan aku dengan orang-orang shalih yang ber-ishlah. Habiskan waktu-waktu hidupku untuk kebaikan. Dampingi aku untuk selalu mendirikan shalat, zakat, puasa, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Jikalau nanti aku kembali sendirian tanpa kawan yang membersamai, izinkan aku untuk tetap merindukan rasa ukhuwah itu, untuk tidak melupakannya. Karena anugerah terbesar dari-Mu adalah mampu merasakan lagi rasa ukhuwah yang indah itu sekaligus berkumpul dengan semua sahabat shalih yang sebelumnya terpisah, dan hidup bertetangga dalam surga yang abadi..
Jakarta, 31 Mei 2025
3 notes
·
View notes
Text
Setiap ujian itu ada kisi-kisinya, setiap lembar pertanyaan ada pula lembar jawabannya, mustahil Allah menciptakan ujian tanpa solusi, mustahil pula Allah berikan tangisan tanpa adanya senyum bahagia.
Kamu tahu? Cintanya Allah padamu melebihi cinta ibumu, cintanya Allah itu unik, sempurna, dan caranya tidak pernah bisa ditebak. Tapi yakinlah dengan keyakinan yang baik, bahwa setiap manusia di bumi ini akan mendapatkan masing-masing porsi bahagia dan tangisnya. Semuanya tertakar dan terukur.
Semoga, tawakkal kita pada-Nya semakin tinggi, setelah ikhtiar yang maksimal. Dan semoga, dipenghujung cerita ini Allah sajikan pada kita kebahagiaan dan senyuman.
Selepas shubuh dalam perjalanan menuju Bekasi.
Sabtu, 17 Mei 2025
— jndmmsyhd
210 notes
·
View notes
Text
Masih Tentang Wanita
Tidaklah ketika seorang wanita hadir dengan keshalihannya kecuali keberuntungan besar akan meliputi siapapun disekitarnya. Allah menyerupakan wanita dengan tanah, karena pada tanah semua kehidupan akan dimulai.
“dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-Araf : 58)
Orang tua akan beruntung, ketika seorang wanita sholihah atau anak perempuannya yang dijaminkan akan menjadi tabir baginya dari panasnya api neraka, “Barangsiapa yang menanggung nafkah dua anak perempuan sampai baligh, maka pada hari kiamat antara saya dan dia seperti ini, (beliau menggabungkan jari-jarinya)” (HR. Muslim)
Seorang suami pun akan beruntung karena memiliki partner terbaik menuju akhirat dan anaknya mendapatkan madrasah terbaik untuk mereka sebagaimana Rasulullah Saw. berkata kepada Umar, “sebaik-baik simpanan yang dimiliki olehmu wahai umar, sungguh simpanan terbaik ialah seorang wanita sholihah yang membantumu dalam urusan akhirat.”
Dari sini kita menyadari, bahwa beratnya langkah dakwah nabi Nuh. Putra nabi Nuh tidak mau taat, padahal beliau hidup bersama anaknya terus menerus. Sementara disisi lain ada nabi Ibrahim, beliau bertemu dengan nabi ismail hanya 4 kali saja, namun putra nabi Ibrahim memiliki ketaatan yang luar biasa sementara putra nabi Nuh tidak mau taat.
Para ulama lantas menjelaskan bahwa perbedaan diantara keduanya hanya ada 1. Yaitu nabi Nuh tidak memiliki support system yang baik sebagaimana nabi Ibrahim. Nabi Nuh memiliki istri yang membangkang dan tidak mau taat kepada Allah. Sementara istri nabi Ibrahim memiliki ketaatan yang luar biasa kepada Allah.
Menyelesaikan urusan dalam diri
Tentunya setiap wanita selazimnya menyelesaikan pekerjaan besar dirinya karena sejatinya tidak akan beres amanah apapun hingga terselesaikan masalah yang ada dalam dirinya sendiri. Jangan bicara mengenai kejayaan islam sebelum terselesaikannya keimanan pada wanita.
Karena sebelum Allah mengamanahkan nabi Isa, maka Allah menyeleksinya dengan ibadah internal yang panjang hingga siap membawa amanah kandungan Nabi Isa dalam dirinya.
Seorang wanita harus selesai terlebih dahulu dengan dirinya, karena jika ia menyelesaikan semua urusannya, maka semua amanah yang akan jatuh kepadanya akan lebih mudah untuk dijalankan.
Maka ada pekerjaan besar wanita untuk melejitkan potensinya, yang terbagi menjadi 2 pilar :
1. Komitmen hatinya untuk senantiasa terjaga menghambakan diri kepada Allah
2. Mengasah karakter pribadinya.
Hati akan mempengaruhi bagaimana kita menjalani kehidupan. Harus senantiasa memiliki harapan bahwa apapun yang kita lakukan dan apapun yang kita perbuat hanya untuk Allah semata. Hati perempuan juga akan mempengaruhi terhadap kualitas kehidupan dalam rumah tangga. Kualitas hati seorang istri, akan mempengaruhi kualitas respon yang akan diberikan suami, begitupula dengan kualitas hati seorang ibu, akan mempengaruhi kualitas respon dari bayi yang sedang dikandungnya atau sedang diasuhnya (secara tidak langsung).
Untuk melejitkan potensi wanita, ada beberapa perkara yang harus selalu diamalkan, diantaranya ialah :
· Harus senantiasa menenangkan hati
· Mendatangi majelis-majelis ilmu
· Selalu mengingat balasan Allah di akhirat
· Berkumpul dengan orang sholih
Seorang wanita pula harus senantiasa mengasah karakter dan potensi yang dimiliki. Jika dia sudah selesai dengan suatu perkara maka hendaknya ia berpindah kepada perkara yang lain agar lebih bermanfaat dan bisa mengasah potensi yang ada dalam dirinya.
Allah membagikan amal, sebagaimana Allah membagi rezeki. Sebagaimana itupula peran setiap wanita bisa bermanfaat untuk banyak orang.
69 notes
·
View notes
Text
Yang paling aku takutkan setiap kali menulis adalah...
Allah mengujiku lagi lewat tulisanku sendiri. Padahal niatku sederhana: ingin berbagi, menyimpan hikmah yang kutemukan, menyampaikan kebaikan yang semoga bisa menular, walau sedikit.
Tapi entah kenapa, setiap kata yang kutulis, seolah ditagih oleh semesta. Seolah Allah berkata, “Sudahkah kamu hidup dalam apa yang kamu tulis?”Dan aku jadi ragu...
Bukan karena tidak yakin dengan nilai-nilai yang kupegang, tapi karena aku tahu, aku manusia biasa, yang kadang kuat menyuarakan, tapi lemah dalam menjaga. Dan jujur saja, kadang aku tak sanggup. Kadang aku lebih memilih diam. Mungkin itu juga sebabnya aku menunda-nunda menulis lagi. Takut dicoba, takut kecewa lagi, takut merasa gagal di pelajaran yang sama.
Ada bisikan: “Nanti diuji lagi lho, siap?”
Dan kadang aku kalah. Diam. Tak jadi menulis. Padahal aku tahu, itu cara halus setan agar aku tak menyuarakan cahaya. Lalu aku membaca satu kalimat dari seseorang: "Kenapa untuk bertumbuh, seperti harus dihukum terlebih dahulu?" Kalimat itu menusuk.
Mungkin memang, pertumbuhan datang lewat luka. Lewat ujian yang tak selalu kita suka. Dan kadang aku lelah, benar-benar lelah. Karena yang diulang adalah ujian yang sama, pada luka yang sama, dan aku bertanya-tanya...
“Apakah aku belum juga lulus?”
Atau mungkin ini bukan tentang lulus, melainkan tentang sejauh mana aku mampu bersabar, dan tetap menulis, walau sambil menangis.
3 Mei 2025
12 notes
·
View notes
Text
kita semua pernah punya
si punggung. seseorang yang hanya bisa kita nikmati punggungnya saja.
si bapak sungai. seseorang yang menjadi sumber semangat kita, inspirasi kita.
si manusia salju. seseorang yang dingin sekali, yang dinding hatinya begitu tinggi.
si bintang di langit. seseorang yang kita kasihi, tetapi tidak bisa kita gapai.
si abi pohon. seseorang yang menjadi alasan kita berani.
kita semua pernah punya seseorang seperti itu. mungkin masih. nggak apa-apa orangnya nggak nyata. seringkali memang orangnya nggak benar-benar ada. yang penting semangatmu iya. semangatmu nyata. dan kamu masih ada.
143 notes
·
View notes