Aku tidak sedang bersastra, aku hanya mengobrol tentang hidup...
Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo

Saat berjalan ke arah utara karena hendak pulang dari Malioboro, tiba-tiba saya bertemu salah satu teman SMP yang dalam beberapa tahun terakhir jarang sekali saya temui. Tetap dalam gayanya seperti biasa tanpa peduli kalau sekarang masih masuk bulan Syawal, ia menyapa saya tanpa terlebih dahulu mengajak maaf-maafan, “Eh, joh…”. Saya sontak langsung kaget dan memberi respon sebagaimana yang patut dilakukan oleh dua sahabat karib yang lama tak berjumpa, “Wah, asu kowe…” Hidupnya tergolong mapan. Ia pulang-pergi kesana-kemari menggunakan pesawat, mengalokasikan cukup banyak uangnya untuk membeli rokok, dan sering mengajak pacarnya jalan-jalan. Tetapi, kehidupan urban di Jakarta dan pekerjaan yang menjadikannya berkecupukan di sisi lain justru membuatnya menurunkan arti lain soal kebahagiaan. Ia bercerita betapa bahagianya ia ketika bisa bercanda dengan teman-temannya di desa, merokok sambil melihat orang-orang yang sedang berlalu-lalang di 0 Kilometer, atau minum wedang ronde di depan Tugu Jogja. “Wong rantau iso udud karo mlaku-mlaku neng Malioboro ngene iki bahagia banget, joh…”, katanya. Ia lalu menghampiri kelompok musik angklung dan agak tanpa punya malu merequest lagu Yogyakarta-nya Kla Project hanya dengan memberi uang 2000 rupiah Tanpa harus merantau ke Jakarta dan jauh dari kampung halaman, saya bisa paham betapa Jogja adalah kota yang begitu aneh dan janggal bagi semua orang: setiap sudutnya selalu membuat hati bahagia, tetapi menyisakan kerinduan yang menusuk hati pada saat yang sama. Saya lalu membayangkan masa depan yang mungkin akan habis untuk bermacet-macetan di Jakarta dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup, bertemu dengan orang-orang bermuka berak karena sama-sama pusing mencari uang, bangun pagi buta dengan wajah murung karena tidak lagi bisa kembali tidur selepas salat subuh, serta meninggalkan orang tua, adik saya yang masih kecil, lengkap dengan kehidupan di Jogja yang sejak dari awal sudah membuat saya bahagia dan jatuh cinta Dengan berpikir seperti itu, saya lantas bisa berburuk sangka dan menggeneralisir bahwa sebagian besar mahasiswa—seideal dan seefektif apapun ia menghabiskan masa perkuliahannya—hanya akan berakhir dengan penentengan ijazah untuk mengemis pekerjaan kesana-kemari, menikah dan beranak-pinak, serta akan tiba saatnya hanya bisa semakin membuat macet dan sumpek jalanan Jakarta karena mengajak keluarganya tamasya ke Puncak Bogor atau shopping di Grand Indonesia pada akhir pekan. Lantas, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari kehidupan selain kesemrawutan, penderitaan, kesempitan, dan ambisi manusia yang kian hari kian membesar Entah mampu atau tidak, saya lalu menanam cita-cita untuk menjadi orang yang hidup dengan standar kebahagiaan serendah mungkin seperti teman saya; rokokan menggunakan sarung sambil minum kopi di depan rumah, mengajak istri belanja batik di Pasar Beringharjo, dan memandang matahari tenggelam di Bukit Bintang yang tak sempat dilihat oleh orang-orang Jakarta karena masih belum selesai dengan kehidupan.
0 notes
Photo

Belajar Agama sambil Merokok dan Minum Kopi Kemarin lusa diberi kesempatan bertemu teman lama di Jogja. Ia adalah seorang laki-laki tangguh dengan standar kebahagiaan hidup yang begitu rendah, menyukai rokok dan kopi, suka melukis, penggemar berat Festivalist, dan seorang Jamaah Maiyah sejati. Kami mengobrol kesana-kemari mulai dari kehidupan percintaan saya yang malangnya minta ampun, seberapa boros masing-masing kami dalam merokok, teman-teman dekat kami sewaktu SMP yang kini sudah terasa begitu jauh, sampai sok pandai mengobrol cukup serius tentang khilafah, Salafi-Wahabi, pergulatan Syiah-Sunni, dan tentu juga Nahdlatul Ulama. Saya paham betul bahwa ia adalah orang yang sudah kenyang dengan berbagai macam pengalaman dan asam garam kehidupan. Maka dari itu, saya rasa tidaklah berlebihan jika hendak meminta nasihat spiritual padanya. Pada saat ia saya tanya cara yang harus dilakukan seseorang supaya tidak terlalu sering bermaksiat, ia menjawab dengan sederhana dalam bahasa Jawa yang kurang lebih artinya begini, "Manusia itu diciptakan dari tanah. Tanah itu tempat tumbuhnya tanaman. Kalau sedang kering tidak ada hujan seperti ini, tanaman tidak akan dapat tumbuh tanpa kita sirami sendiri. Anggap saja tanaman adalah keimananmu, sementara air yang kau gunakan untuk menyiraminya adalah amal saleh. Maka siramilah tanamanmu itu dengan beramal". Mendengar nasihatnya, saya sontak kaget dan merasa sedang dinasihati oleh seorang salik yang telah menempuh jalan sufistik menuju Tuhan. Nasihat yang keluar dari mulutnya serasa menghujam hati saya sebagai orang yang begitu lalai dalam beragama, menghentikan saya menghisap rokok dalam sekejap, dan membuat saya kagum luar biasa. Ia juga menasihati saya untuk mencoba berdiam diri (tidak berdoa maupun mengatakan apapun) selepas salat dalam keadaan masih suci karena berwudu guna mencoba bercengkerama dengan jiwa, menemukan kesalahan-kesalahan yang mungkin sebelumnya belum sempat terlihat, dan memperoleh ketenangan batin. Kejadian seperti ini lantas membuat saya berpikir. Isi nasihat yang sama untuk berbuat baik tetapi disampaikan oleh orang yang berbeda selalu mempunyai perbedaan pula dalam kekuatannya membuka hati si penerima. Mungkin saja orang masih tetap pelit selepas menghadiri pengajian tentang keutamaan sedekah, tetapi justru terketuk hatinya ketika melihat seorang pengemis kumal menggendong anaknya (walaupun seringkali hanya berpura-pura) meminta-minta di pinggir jalan. Keterbukaan hati untuk berbuat baik ini mungkin dalam buku-buku agama bisa diganti dengan istilah "hidayah". Hidayah yang diberikan Tuhan kepada kita sangat mungkin kita terima dari siapapun; ustaz pengisi pengajian, guru agama di SMA, politisi pemberi ceramah keagaaman sambil kampanye di masjid, sampai bahkan mungkin pacar kita sendiri, pelacur, atau anjing yang menggonggong di depan rumah. Pedoman semacam itu digunakan oleh para penempuh jalan tasawwuf dalam bentuk pembersihan hati. Mereka tidak pernah meremehkan hikmah dan pelajaran yang mungkin didapat dari siapapun. Dalam bentuk ekstremnya, pedoman semacam ini kadang bisa terwakili dalam pernyataan seperti, "Ahli maksiat yang aku lihat itu adalah Waliyullah" atau "Aku tidak lebih mulia daripada seekor anjing". Dengan berpikir seperti itu, mereka mempunyai hati yang bening seperti embun dan mudah sekali menangis. Berbeda dengan kita yang masih awam, penilaian kita terhadap agama masih bergantung pada hal-hal yang sangat simbolis. Alih-alih menghargai orang lain dan tawadhu, kita selalu menilai kesalehan orang berdasarkan peci, kopyah, sarung yang ia gunakan, berapa juz hafalan Qurannya, merdu tidak suara tartilnya, dan sebagainya. Sikap gandrung terhadap simbol semacam ini mungkin saja akhirnya terwujud dalam sikap kita yang tidak bersedia menjadi makmum seorang imam yang merokok, melarang teman yang masih berpacaran menjadi ketua rohis, meledek kesana-kemari saudaranya yang masih suka musik dangdut, atau menasihati orang lain sambil memposisikan diri layaknya keponakan Tuhan dan pemilik hidayah dengan berkata "Allahu Yahdik...". Lantas teringat sepintas nasihat seorang sufi, "Lihatlah orang lain dengan kacamata hakikat supaya kau berbaik sangka. Lihat dirimu dengan kacamata syariat agar kau teliti." Pertemuan dengan minum kopi dan merokok bersama teman saya pada malam itu ternyata membuat saya belajar untuk tidak menyempitkan agama dengan hal-hal yang terlalu simbolis dan "baik" menurut kacamata pemikiran saya sendiri sebagai orang awam.
0 notes
Text
Sajak untuk Kekasih
Kau tahu?
Jogja terasa begitu indah ketika Bulan Puasa
Ketika semburat senja mulai mendesak bumi yang begitu haus dan kosong
Sepanjang jalan kau akan menemukan berbagai macam keindahan;
Pedagang-pedagang kaki lima yang mulai menggelar lapaknya
Teriakan anak-anak yang mengaji di surau-surau kecil pinggiran kota
Kolak dan es buah di gentong-gentong kecil pinggir trotoar
Dibiarkan terbuka sehingga menarik minat orang yang berlalu-lalang di jalanan
atau aroma gorengan dan pecel lele dan petrikor yang ada di dekat setiap lampu merah sehabis hujan
Dengan keindahan semacam itu,
untuk apa aku terlalu bernafsu dan ambisius membayangkan surga
yang jika memang hanya dipenuhi dengan kebahagiaan
Pasti tampak begitu membosankan?
Bukankah hidup bahagia yang kau tahu sekarang
Tidak hanya terdiri dari senyum dan kepuasan,
tetapi juga harus ada rasa sakit, kesedihan, dan kesunyian pada saat yang bersamaan?
Toh, kalau saja aku pantas memperolehnya
Aku akan merengek pada Tuhan supaya surga seperti Jogja
Di surga, aku tetap ingin bisa melihat ibuku marah atau adikku menangis
Aku juga masih tetap ingin melihat ayahku mencuci motor di depan rumah
Aku ingin mendengarkan musik, mengisi gelasku dengan kopi,
lalu menyeruputnya sambil memandang langit yang perlahan mulai gelap
Aku masih ingin merasakan kehidupan yang sepi dan penuh dengan kesunyian
Aku juga ingin terus bisa merasakan bau petrikor dan pecel lele dan gorengan
Heh, apakah itu berarti orang-orang yang terlalu berbusa-busa membicarakan surga
adalah mereka yang tidak terlalu bahagia dengan hidupnya di dunia?
Ah, aku terlalu banyak mengomel dan berandai-andai
Oh, iya, apa menu buka puasamu hari ini?
Apakah kau doyan makan kurma?
Atau kau hanya berbuka dengan meminum indomilk rasa kesukaanmu
yang entah apa namanya seperti biasa?
Jaranan, 20 Mei 2018, 23.01
0 notes
Text
Membunuh Rindu
Aku ingin membenamkan senyummu yang setiap hari selalu datang terburu-buru sambil menggulung kerinduan yang memang sudah menyesakkan dari awal. Ia menghantam dan menyeretku hanyut dalam kesunyian sambil berteriak, "Kenapa kau selalu sedih semenjak kepergianku? Laut terlalu luas dan dalam jika tak kau gunakan untuk berenang dan tenggelam..."
Jaranan, 21 Mei 2018, 21.05
0 notes
Text
Hidup Serius dalam Kemajuan
Iseng mampir ngrokok di Bukit Bintang, saya jadi ingin sekali menertawakan kehidupan yang terlalu serius dan tergesa-gesa ini. Kita sibuk dengan teori dan pemikiran ilmiah yang membuat kita tampak sedikit pintar, tapi justru pada saat yang bersamaan mengajarkan kita punya keinginan yang tak akan pernah habis dalam hidup untuk jadi orang yang maju, sejahtera, dan modern.
.
Maju dan modern itu sebenarnya seperti apa? Bagi saya yang cenderung tolol dan tidak ilmiah seperti kalian, negara ini sudah maju luar biasa. Orang-orang tidak hanya bisa tetap hidup dalam penderitaan, bahkan dalam derajat yang lebih tinggi; menikmati dan menertawakan penderitaan itu. Sopir-sopir bisa hidup bahagia dengan ngrokok dan main gaple di warung kopi, orang-orang kaki gunung sudah merasa cukup memberi makan anaknya dengan bertani dan jadi tukang ojek, pekerja-pekerja terminal sudah bersyukur bisa menjalani hari-hari mereka dengan berjualan bakmi, jadi kenek, atau tukang parkir.
.
Dosen saya yang doktor suatu ketika bertanya, "Sebenarnya apa yang membuat negara kita tidak maju?" Kata siapa, batin saya. Istilah kemajuan dikeluarkan oleh Barat. Tapi, tidak ada salahnya jika kita memutuskan untuk tidak ikut dalam formasi kemajuan itu. Kalau Eropa hendak pergi ke arah barat naik pesawat dan kereta cepat karena tergesa-gesa, maka kita bebas kalau mau ngetan naik bus~atau malah becak~supaya perjalanan terasa lama sehingga lebih banyak waktu pula untuk menikmati hidup dalam perjalanan itu. Dengan begitu, kita tak perlu merasa tertinggal. Toh, katanya bumi juga bulat, pasti nanti juga akan bertemu (goblog banget sih ini). Yang jelas, kehidupan ini bukan perlombaan sehingga tidak perlu menjadi ceroboh dengan memusingkan diri terhadap istilah kemajuan (setidaknya begitu menurut saya yang tolol).
.
Kalau hendak pakai bahasa Cak Nun supaya saya keliatan pintar dan saleh pada saat yang bersamaan, orang Indonesia ibarat bisa hidup di tempat sampah dan comberan dengan rumah yang terbuat dari kardus bekas, tetapi masih sempat menyirami pot bunga yang ada di depan rumah-rumah itu. Sementara kita yang katanya berpendidikan masih pusing memikirkan hal-hal yang sebenarnya sangat elementer; mau kerja apa, pontang-panting cari prestasi supaya bisa diakui banyak orang, atau melakukan ini itu sambil overrated menilai apa yang kita lakukan akan bermanfaat bagi orang lain
.
Andai saja dalam hidup saya tak merasa punya kewajiban untuk membuat ibu saya bangga (walaupun saya juga belum melakukan apapun), mungkin saat ini saya akan lebih memilih untuk membantu ayah berjualan semen dan pasir di rumah. Tapi, saya merasa tidak bisa hidup dalam kesusahan dan tidak dikelilingi dengan kenyamanan-kenyamanan. Saya juga masih ambisius dan punya banyak keinginan dalam hidup; pergi bekerja, jadi akademisi, dan menjadi kaya. Lalu dengan ambisi dan keinginan itu pula, saya lalu sadar kalau ternyata saya hanyalah pribadi yang penuh dengan keterbelakangan dan ketertinggalan...
Gang Banteng 5 Jakal KM 7, 11 Mei 2018, 12.53
1 note
·
View note
Text
Dalam Senyummu
Wajahmu yang kadang menertawakanku itu membuatku ingat
Kalau ternyata aku punya hati
Dan dalam hati itu, ada lubuk yang dalam yang tak perlu lagi aku gali
Dan dalam lubuk yang dalam itu, ada keseriusan yang tak dibuat-buat
Dan dalam keseriusan yang tak dibuat-buat itu, ada keinginan untuk menghabiskan waktu tertawa bersamamu
Dan keinginan itu memang sengaja aku hidupkan dalam kerinduan yang berlebihan dan membuat hidup tampak begitu membosankan
Jaranan, 10 Mei 2018, 08.28
0 notes
Text
Nanti Lagi!
Kelak aku ingin membangun rumah dengan halaman yang tak terlalu luas,
Tapi cukup untuk membuatmu betah menemaniku minum kopi sambil melihat anak-anak kecil pulang dari bermain sepakbola di lapangan pinggir desa pada suatu senja yang damai di satu hari nanti
Azan lalu menggaung dari surau kecil samping rumah
Kau melemparkan sarung dan baju koko dan kopyah di atas meja yang aku gunakan untuk meletakkan asbak
Lalu aku melangkahkan kaki ke surau denganmu, sambil mengumpat di dalam hati karena merenungi puisi yang belum selesai aku tulis untukmu
"Nanti lagi!" Katamu
Jaranan, 8 Mei 2018, 21.28
0 notes
Text
Cinta yang Serius
Aku tidak mau jadi pribadi yang terlalu serius mencintaimu
Kerjaku sehari-hari ialah menertawakan keseriusan
Tapi kalau aku tak serius
Kau tuduh aku main-main dengan perasaan
Tak seharusnya kau bercanda dengan perempuan soal percintaan, katamu
Padahal, bukankah namanya juga cinta ketika aku mengajakmu mengejek dunia yang begitu serius dan tergesa-gesa?
Tapi pada akhirnya, aku lebih memilih mengalah berdebat denganmu
Lalu aku putuskan untuk mengambil gelas, mengisinya dengan kopi dan mengaduknya, lalu aku melihat bayangan senyummu di sana
Jaranan, 8 Mei 2018 02.07
0 notes
Text
Surga
Azan tak pernah bersaing dengan suara musik dari tape-recorder butut milik orang miskin dan nyanyian para pengamen di pinggir jalanan-jalanan kota walaupun terdengar dalam waktu yang bersamaan.
Tuhan pun sepertinya tak akan marah jika mereka tak ikut melangkahkan kaki ke masjid atau terlambat bersembahyang.
Nyanyian-nyanyian mereka, cara mereka menertawakan kesempitan dan penderitaan, puntung rokok yang sesekali mereka beli eceran selepas bekerja adalah hal-hal yang identik dengan kebahagiaan surga...
Jaranan, 18 April 2018, 21.43
0 notes
Text
Cinta yang Menggebu-gebu
Umurku sudah terlalu tua untuk meminta Ibu meniupi mataku yang kelilipan terkena debu~aku sudah kurang pantas untuk itu. Sementara, merindukanmu justru semakin membuatku buta, menghalangiku untuk melihat bening embun, menatap cakrawala, atau memandang bintang-bintang di langit. Apalagi, tiupan yang keluar dari bibirmu masih sebatas angan-angan dan mimpiku dalam hidup.
Ah, indahnya hidup tanpa cinta yang terlalu menggebu-gebu...
Jaranan, 18 April 2018, 21.36
0 notes
Text
Pulang di Januari
Kekasih, sedang apakah kau di kontrakanmu yang sempit itu?
Apakah sedang memikirkan uang saku bulananmu yang tinggal sedikit, sambil menghitung-hitung sudah berapa puluh ribu kau habiskan hari ini untuk mengisi perutmu?
Atau kau malah sempat mendengarkan beberapa lagu sembari makan cokelat dan merindukan ayahmu di rumah?
Kekasih, sudahkah kau memesan tiket pulang untuk Januari nanti?
Apakah kau sudah menyiapkan payung untuk meneduhkanmu jika hujan turun saat kau keluar dari kereta?
Kekasih, sudahkah ibumu membelikan gamis baru untukmu?
Blutak, 11 November 2017, 21.26

0 notes
Text
Hmmm... Wuasu tenan, og, Cuk!
Mungkin saya memang termasuk orang yang banyak bicara, ya...
Tapi saya kok pusing memikirkan kehidupan teman-teman mahasiswa, termasuk saya sendiri akhir-akhir ini. Hari-hari kami sudah dipenuhi dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Segala macam sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidup sudah lebih dari cukup. Kontrakan kami dilengkapi dengan air panas, sajadah yang bersih, kasur yang empuk, dan wifi yang stabil jika sesekali hendak streaming konser Coldplay atau sekadar ber-videocall-ria dengan pasangan. Tapi, kami menjadi pengemis perhatian dan bersikap sok sibuk di media sosial. Kami siarkan live momen mengerjakan tugas di kafe, upload story paper yang masih kurang beberapa ratus kata, sambil nyinyir dan ngeluh-ngeluh. Kalau saja adik kecil penjual kripik singkong yang sering mampir ke Fisipol bersama ibunya itu punya Instagram, pasti mereka bakal mengolok-olok dan menertawakan kita. Mereka sudah belajar untuk saling mencarikan makan. Sementara kita paling-paling cuma bisa mengemis beasiswa, atau menjilati orang-orang kaya supaya diterima di perusahaan besar. Adik-adik kecil di Tirtomartani kalau malam menjual koran untuk alas duduk jamaah pengajian Cak Nun, dan mungkin paginya (walaupun tidak salat subuh) harus menemani ibuknya berjualan kripik di pasar.
Saya jadi berpikir, bagaimana mungkin kelak jika kita jadi akademisi itu tidak sombong dan sok jual mahal luar biasa, bagaimana bisa kalau kita mendapat kedudukan strategis di pemerintahan besuk mampu memberi kemajuan dan solusi permasalahan hidup bagi tukang becak di sepanjang Malioboro atau penjual bakmi di Tanjungtirto, kalau sekarang pun cara dan gaya hidup kita seperti ini? Ndak usah tersinggung. Aku bagian dari kalian... Hmmm...Tapi kok saya malah malu jadi mahasiswa ya. Asu og...
Jaranan, 26 Oktober 2017
0 notes
Text
Lalu Apa?
Manusia itu tidak punya malu. Jika mereka dianugerahi kepintaran, ia digunakan untuk membodohi orang lain. Kepintaran tidak dijadikan sarana untuk menemukan fakta hidup bahwa manusia adalah sumber kebodohan, akan tetapi dinaiki sedemikian rupa sehingga orang lain dapat tertipu dan terperdaya.
Manusia itu sombong. Jika mereka diberi ilmu, ia tidak dijadikan sebagai kendaraan menuju tempat peniadaan diri. Akan tetapi dijadikan bahan media kontes, panggung pertunjukan, dan perang intelektual.
Ilmu tidak dijadikan cara untuk sekadar mengingat Sang Mahailmupengetahuan, apalagi menemukan hakikat dan keindahan nilai-nilai Ketuhanan.
Jaranan, Yogyakarta, 11 Oktober 2017, 01.00
0 notes
Text
Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin aku pantas mendambakan kejernihan pikir dalam memandang berbagai fakta dan masalah hidup, sementara diriku masih dibelenggu oleh keinginan-keinginan dan kemalasan untuk bergerak? Bagaimana bisa aku tidak malu meminta Tuhan untuk memberikanku kemampuan dalam mengungkap berbagai rahasia keindahan, sementara hari-hariku tidak pernah tidak penuh dengan kenyamanan dan kemapanan?
Ayah terus mengingatkanku bahwa aku seperti pohon cemara di depan rumah, tugasnya hanya merawat dan membiarkanku tumbuh. Lalu bagaimana mungkin aku menemui tegaknya diriku di suatu saat nanti ketika kelak sepulang dari kerja, kaveling pohon cemara telah digunakan untuk pendirian bangunan dan penanaman pohon-pohon peneduh rumah lain? Ke mana dan menuju siapa aku melakukan pencarian diri sementara pada saat itu, ayah dan ibu sudah berlepas tanggungjawab hidup untuk pembiaran dan perawatan pohon diriku?
6 Oktober 2017, 23.33

1 note
·
View note
Text
Tuhan dan RumahNya
Bagi yang menderita ruhani dan akalnya, tertindas haknya, yang kesulitan dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup, yang hanya memiliki hal-hal kecil yang bahkan orang menilainya sebagai standar terendah kebahagiaan, aku tegaskan bahwa aku pun bagian dari mereka. Tuhan telah mengajak mereka melewati lorong-lorong kegelapan yang sunyi sebagai cara efektif untuk menikmati hakikat kehidupan, sama halnya seperti bagaimana caraNya mengajakku berkeliling melihat kehidupan dari sudut pandang kesedihan dan ketidakberdayaan tanpa Tuhan. Di dunia mereka ditempa untuk menjadi pribadi yang kuat dan kebal terhadap ketertindasan, tetapi sejatinya mereka sedang dilatih Tuhan untuk “berpuasa” agar nantinya dapat menikmati kebahagiaan sejati saat sudah sampai di halaman rumahNya.
“Hidup itu hanya sebatas mempertahankan hidup, makan ketika lapar, minum supaya tidak kehausan, sesekali pergi ke konser musik atau pertunjukan wayang mencari hiburan, serta menunggu giliran, atau bahkan berlomba-lomba untuk sampai di halaman rumah Tuhan.”, kata mereka. Juara perlombaan akan mendapat hadiahnya masing-masing. Ada yang menatap Dzat-Nya, ada yang mendapat kesempatan untuk memeluk kekasihNya, ada yang dihinakan dihadapanNya, ada yang mendapat surga, ada yang neraka, atau ada yang masih membuat Tuhan bingung tentang hadiah apa yang cocok diberikan untuknya, sehingga dibiarkanNya untuk sekedar main-main di halaman rumah Tuhan sembari menunggu keputusanNya.
Sungguh Tuhan telah menjamu kita dengan jamuan yang luar biasa. Katanya, dunia itu rumahNya, dan kita adalah tamu di dalamnya. Loh, kok? Bukankah di dunia kita sedang berlomba-lomba untuk~malahan~mencapai halaman rumahNya dengan selamat? Belumkah kita sampai kesitu karena kita pun sekarang sudah berada di rumahNya yang disebut dengan dunia? Ataukah kita masuk ke rumahNya tanpa terlebih dahulu menginjakkan kaki di halamannya? Atau bagaimana? Ya, mungkin singkatnya bisa begitu. Atau kemungkinan lain, halaman rumah yang kita sedang berlomba untuk mencapainya adalah halaman di rumahNya dengan konstruksi bangunan yang lebih bagus, dinding-dinding dengan warna cat yang sama sekali berbeda dengan seluruh spektrum warna yang ada di dunia, jendela dengan material yang lebih unik, pintu yang lebih luas, dan mungkin~atau malah pasti~dengan dimensi ruang dan waktu yang sama sekali tidak sama dengan rumahNya dimana kita bertempat tinggal sekarang.
Betapa sejatinya kita lupa untuk mempunyai kerinduan dan memupuk kecintaan kepada Tuhan. Betapa kita malah sibuk untuk merasakan jamuan Tuhan yang tidak ada habisnya. Betapa Tuhan memanjakan dan ngelulu kita, sampai-sampai kita lupa kalau bahkan kita belum sampai di halaman rumahNya yang sejati. Dan pada akhirnya, tiba-tiba kita sudah sampai di sana dalam keadaan kenyang dengan jamuan di rumah sebelumnya, bahkan tanpa menyisakan sedikitpun untuk Tuhan. Padahal, sepertinya, diam-diam Tuhan mengharap oleh-oleh dari kita, bahkan hanya sisa jamuan dari rumahNya sendiri.
16 Agustus 2017, 22.11
0 notes