soedagoeng
soedagoeng
Aku Dalam Tulisanku
1K posts
Kalau pena ini mampu menulis, maka aku akan menulis. Jika hati ini berujar, kan ku lukis dengan pena ku. Penaku bergerak sejalan getaran hatiku. - D. Sudagung
Don't wanna be here? Send us removal request.
soedagoeng · 11 days ago
Text
Kemarin Mas Ba ikut Mama @dearahmatika nonton berita rumah subsidi 14 meter tuh. Kata Mamanya, "Die tertarik, die bilang bagus. Pengen nginap di situ. Apelah komentar lanjutan die? "Ini kayak kost jak kan? Rumah sementara jak tapi kayaknya?""
Wien, 16.6.2025
1 note · View note
soedagoeng · 19 days ago
Text
Kisah Mas Ba dan Kebijakan Sekolah
Mas Ba sudah mulai mengkritisi kebijakan sekolah. Ini bukan yang pertama. Kalau ndak salah sebelumnya juga pernah soal jam masuk yang menurutnya terlalu awal, jam 7. Ndak kayak di Wina masuk jam 8.
Oiya, dulu juga pernah dia komplain kenapa di kelas ndak disediakan mainan? Padahal kalau jam istirahat, mereka ndak boleh lari-lari di kelas. Dia membandingkan dengan SD sebelumnya di Wina yang menyediakan beragam mainan di ruang kelas.
Kali ini Mas Ba memprotes perihal 'ketidakadilan' dalam belanja di kantin.
"Fulan (nama diganti) tu kena hukum gara-gara beli popmie di kantin sekolah. Katenye yang boleh beli popmie cuma kelas tinggi dan guru-guru. Kan aneh bikin aturan kayak gitu. Kalo memang ndak boleh, kenapa dijual di kantin?"
***
Berikut ini contoh analisis kualitatif dari petikan pernyataan di atas. Saya sedang latihan menulis analisis grounded theory, sehingga pernyataan Mas Ba di atas menarik untuk menjadi ajang melatih diri. Saya sangat terbuka atas kritik dan masukan serta diskusi lebih lanjut atas analisis berikut.
***
Dari sudut pandang Mas Ba, pembedaan perlakuan ini memberi kesan sekolah tidak adil. Hanya kelas sosial tertentu yang berhak atas sumber daya bernama "popmie". Kesan itu mendorong aksi protes secara verbal dan bentuk solidaritas sebagai sesama kelas sosial bawah (anak baru atau kecil) di lingkungan sekolah.
Berdasarkan pernyataan di atas juga dapat diinterpretasikan terjadi pengelompokan kelas sosial dari akses memperoleh barang tertentu. Jika alasannya adalah kepemilikan uang, bukankan siswa yang datang ke kantin dan mau membeli punya uang? Sehingga isu kepemilikan modal bukanlah alasan pembatasan hak berbelanja, yang berujung aksi represif (kena omel).
Sehingga terdapat lapis analisa kedua selain mengenai pola transaksi dari sudut pandang ekonomi, yaitu pemisahan kelas sebab dampak kesehatan dari jenis barang yang dikonsumsi. Namun, hal ini juga menimbulkan bias karena seolah-olah kelas umur tertentu lebih kuat atau sebaliknya rentan dalam mengkonsumsi barang tersebut. Jika alasannya makanan itu mengancam kesehatan, bukan kah semua orang juga harusnya bisa sakit tanpa pandang usia? Bahkan tiap orang akan punya faktor resikonya sendiri-sendiri yang mungkin saja bisa menyebabkan sakit dari konsumsi mie instan, mulai dari kandungan zat dalam bumbu, tepung di mie, jumlah serta intensitas, air yang digunakan untuk menyeduh atau tidak cuci tangan setelah memegang barang yang kotor dan membawa bibit penyakit.
Double standard ini sering terjadi di masyarakat yang kemudian menimbulkan kebingungan atas penegakan hukum atau norma sosial. Bahkan tidak sedikit berdampak pada normalisasi pelanggaran aturan tersebut karena dianggap tidak mengikat dan bisa dinegosiasikan. Dampak terburuk adalah hilangnya kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum. Kondisi ini tercermin dari bagian akhir petikan di atas yang mempertanyakan alasan "popmie" tetap dijual kalau ada orang yang dilarang membeli. Kesadaran atas ketimpangan kelas ini menunjukkan bahwa dalam praktik keseharian masyarakat, masih terdapat kesenjangan sosial yang disebabkan subjektifitas atau penafsiran yang bias atas aturan, nilai atau norma sosial. Sering kali ini terjadi dalam hubungan relasi kuasa yang tidak seimbang, seperti yang juga terlihat dari kasus pelarangan pembelian "popmie" di atas.
Namun, kisah-kisah di atas juga bisa dimaknai sebagai kepeduliannya terhadap sekolah. Yaitu, melalui aspirasi untuk perbaikan sistem sekolah di masa akan datang. Misalnya jam masuk sekolah pukul 8 supaya siswa masih punya cukup waktu mempersiapkan diri. Tentu dengan catatan transportasi publik terjangkau dan zonasi yang didukung dengan jumlah serta kualitas sekolah yang merata, ini faktor penentu lain di Kota Wina.
Begitu juga dengan fasilitas pendukung mainan di ruang kelas, siswa jadi mengisi waktu istirahat dengan memilih mainan yang disukai. Sehingga ndak berlarian terus menerus. Walau juga perlu diimbangi dengan aktifitas fisik di sela-sela waktu istirahat. Dukungan anggaran pendidikan yang besar di Wina masih perlu dikejar.
Kemudian soal jajanan di kantin. Ini bisa dimaknai kesadaran sekolah atas pentingya menyediakan makanan-makanan sehat dan bergizi. Sekolah bisa berfungsi sebagai wadah edukasi untuk pola makan dan jenis makanan yang sehat dikonsumsi, misalnya menyediakan buah-buahan, sayur, yoghurt, salad buah, jus, kacang-kacang tanpa MSG atau cemilan yang dikukus. Jika berhasil, sekolah akan menjadi role model bagi pola konsumsi anak di luar sana. Walau tidak menutup kemungkinan pola konsumsi di rumah akan sangat menentukan, tapi paling tidak sekolah bisa membantu menawarkan sudut pandang lain soal makanan.
Wien, 9.6.2025
1 note · View note
soedagoeng · 21 days ago
Text
Silaturahmi dan Sholat Berjamaah
Sore ini atas izin Allah saya mengalamo reunian singkat dengan muadzin Masjid El-Bukhari distrik 12. Kami berpapasan di pinggir jalan depan Atib dan Merkez. Awalnya beliau tampak terperangah mungkin tak menyangka kami bisa berjumpa lagi. Begitu pun saya, bahagia bisa berjumpa kembali dengan beliau, salah satu jamaah Masjid El-Bukhari yang dekat rumah lama.
Kami saling bertukar senyum dan kemudian berjabat tangan serta berpelukan. Kami saling bertanya kabar. Beliau juga tanya kabar anak-anak dan tanya sampai kapan saya di Wina.
Pertemuan singkat kami iakhiri dengan saling mendoakan dan undangan berkunjung ke sana lagi. Benarlah dulu sebuah nasihat yang bilang, "Hikmah salat berjamaah di masjid salah satunya adalah meningkatkan tali silaturahmi. Kita saling mengamati sesama, saling bertanya-tanya kalau ada yang ndak hadir."
Perjumpaan yang sebentar, tapi sangat berbahagia. Allah punya cara menghibur hati hamba-Nya.
Setelah kemarin juga saya dipertemukan kembali dengan Pak Arya dan Ibu Nia yang sudah saya anggap seperti orang tua sendiri. Kami juga berkenalan sebab sama-sama jadi jamaah Masjid As-Salam Warga Pengajian Indonesia di Austria. Mereka sudah terlebih dahulu pulang ke Indonesia awal tahun ini, dan saya tidak pernah menyangka kami masih berjumpa lagi di Wina.
Kejadian soal hikmah salat jamaah juga terjadi petang ini. Sebelum Magrib, saat duduk di shaf dalam Masjid Atib. Bapak-bapak yang biasa di sisi kiri shaf untuk pertama kali menyapa dan mengajak salaman. Dalam bahasa Turki tentunya. Saya senyum. Beliau mencoba mengajak berbincang lagi, sepertinya tanya, "Kamu asalnya dari mana?" Saya jawab, "Indonesia." Beliau terkesima dan tersenyum.
Kami sebenarnya sudah saling bertemu sebulan terakhir. Sering di posisi yang sama dan berdekatan. Karena saya baru di masjid ini dan ndak bisa bahasa Turki, jadi ndak benar-benar berkomunikasi dengan jamaah. Hari ini, salah satu jamaah yang menyapa.
Allah Maha Baik.
Wien, 7.6.2025
1 note · View note
soedagoeng · 1 month ago
Text
Kavi Mau Jadi Dosen
Kavi bilang Tante Yas kalau udah besar ndak mau jadi dokter hewan lagi.
"Kenapa pulak, emang Kavi mau jadi ape jak?"
"Mau jadi dosen kayak Papa biar ndak banyak kerjanya," jawab Kavi.
** Padahal Bapaknye jak aktif mengkampanyekan #janganjadidosen buat kritik soal pengelolaan dosen di Indonesia. Anaknye malah nak ngikut. 😂 Belum jak Kavi bace hasil riset Harian Kompas soal jam kerja dosen. Belajar yang rajin dan tekun ya, Kavi?
24.5.2025
0 notes
soedagoeng · 1 month ago
Text
Ndak usah harap pengakuan makhluk. Ndak penting mau apa kata orang. Yang penting penilaian Allah aja. Udah. - Mas Arfi, 22.5.2025
0 notes
soedagoeng · 1 month ago
Text
Khay bilang, "Papa, ada teka-teki makanan yang dimakan di rumah Yangkong. Pake tusuk gigi. Dibungkus kayak ketupat. Isinya pisang. Bentuknya kayak batako. Apa hayo?" - 21.5.2025
0 notes
soedagoeng · 7 months ago
Text
Setelah bulan lalu Kavi mengeluarkan celetukan, "Ich bin kejepit." Barusan dia menyebutkan, "Kann Ich goyangkan?" Waktu mau izin goyangkan gigi Mas Ba. 😅
Wina, 2.12.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
"Dek, dingin ya? Papa lupa bawa kupluk."
"Ini jak, Pa. Pakai kupluk ini boleh kok, muat kok. Dedek ndak dingin."
Si baek hati yang langsung nyerahkan kupluknya sendiri.
Wien, 14.11.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
Nama Nabi di TK
"Pa, di TK Dedek ada teman baru lagi namanya Isa."
"Makin banyaklah nama nabi di sekolah Dedek?"
"Adam juga ada."
Di TK Kavi jadinya sekarang ada Adam, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Sebelumnya ada Yusuf yang sudah masuk SD.
1 note · View note
soedagoeng · 8 months ago
Text
Kavi saat duduk di kursi kereta yang bisa dilipat dan tiba-tiba menyeletuk, "Ich bin terjepit."
Znojmo, 30.10.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
Khay waktu lagi makan dan berargumen dengan Kavi, "Mane ade. Kavi ndak liet. Kavi kan di kamer."
Znojmo, 30.10.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
Di sela debat pilkada Kalbar 2024
B: Dulu pas debat calon presiden katanya makan gratis kan, Ma?
M: Iya, waktu itu calon presidennya bilang gitu. Pak Prabowo. Sekarang beliau presidennya.
B: Hore, makan gratis! Di Indonesia udah makan gratis kah?
Wien, 23.10.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
Khay lupa kata dalam Bahasa Indonesia
Percakapan Mama dan Khay pagi ini.
"Tolong ambilkan itu, Ma"
"Itu apa? Yang mana?"
"Yang pink, Ma.."
"Yang gambar apa?"
Diam dulu. Terus jawab "Nyui ndak tau itu apa.. mmmm... Erdbeeren."
"Terus kenapa tadi kamu lupa? Kamu lupa bahasa Indonesianya kah?"
"Iyaaaaaa," kate die sambil ketawa.
Wien, 21.10.2024
0 notes
soedagoeng · 8 months ago
Text
Sebuah Perjalanan Penuh Harap dan Pelajaran di Vienna *)
Kisah ini menjadi refleksi selama enam bulan saya melangkahkan kaki keluar rumah untuk bertualang dan menetap di luar negeri hingga kurang lebih 3 tahun ke depan. Saya memulai perjalanan ini dari sebuah mimpi untuk melanjutkan sekolah doktoral di luar negeri. Sudah itu saja. Ada seorang guru yang terus memotivasi saya. Beliau yang selalu menyalakan bara api semangat untuk terus bersiap menempuh pendidikan lebih tinggi ke tempat terbaik. “Saya yang ndak pandai Bahasa Inggris jak bise S3 di Spanyol, masa’ Danu yang pintar ndak bise,” kata beliau. 
Ini selalu jadi kalimat andalan Pak Dodi Irawan setiap kali bertemu atau berdiskusi tentang pengalaman S3 beliau. Beliau dulunya guru SMP saya, tapi saat ini perjalanan karir dan takdir Tuhan menjadikannya Rektor Universitas Muhammadiyah Pontianak. Tidak ada yang berubah dari sosoknya yang saya kenal sejak 18 tahun lalu. Ramah dan bersahaja. 
Sejujurnya tidak pernah ada mimpi akan ke Austria. Kalau pun saya pernah terpikir untuk bermimpi, maka tujuannya adalah ke Spanyol, tepatnya Barcelona. Karena ada klub sepakbola favorit saya di sana. Saya tahu tentang Austria hanya dari seorang kolega di Universitas Tanjungpura yang merupakan alumni dari salah satu kampus di sini. Pak Zairin Zain, beliaulah sosok selanjutnya yang menjadi salah satu pembuka jalan untuk sampai di luar negeri. Pada sebuah diskusi, beliau menjelaskan bahwa Austria memang bukan di Eropa Barat, cenderung di tengah. Tidak terlalu besar dan semegah negara-negara favorit, seperti Jerman, Perancis, Italia, atau Inggris, tapi kalau sudah di Eropa standar pendidikan tingginya sama saja. Toh, jalan-jalan keliling Eropa juga bisa asal sudah sampai di sana. Beliau juga yang akhirnya memperkenalkan saya dengan skema beasiswa Indonesia-Austria Scholarship Programme dan ASEA-UNINET. Kalimat beliau sederhana sekali: “Bang Adit, coba nia ada beasiswa ke Austria. Berkas-berkasnye ade kan?”
Itu kalimat yang mengawali perjalanan saya. Sejak itulah harapan untuk ke Austria dimulai. Petualangan dimulai dengan mengumpulkan berkas-berkas hingga berkomunikasi dengan calon pembimbing doktoral di University of Vienna. Akhirnya pada 29 September 2020 menjadi tanggal bersejarah karena seorang anak dari Kota Pontianak dinyatakan menerima beasiswa untuk studi lanjut di Austria tepatnya kota Vienna. Perjalanan itu dimulai tepat pada 30 September 2021 setelah setahun persiapan keberangkatan. 
Vienna adalah sebuah kota yang indah dan nyaman untuk ditinggali. Setidaknya itu kesan saya dari sejak pertama menginjakkan kaki pada tanggal 1 Oktober 2021. Kota ini adalah perpaduan cuaca cerah dan mendung dengan sesekali angin bertiup menghembuskan udara dingin. Sarana transportasi sangat mudah. Berbelanja bahan makanan atau menemukan restoran halal bukan perkarasa susah, banyak pilihan. 
Kota ini memberikan banyak pelajaran berharga. Baik secara ilmu di kampus formal maupun kampus kehidupan. Institusi tempat saya menempuh pendidikan memiliki sistem administrasi berbasis daring yang luar biasa. Fasilitas referensi dengan basis data di laman perpustakaan daring juga memadai. Saya merasa mudah sekali mengakses buku atau artikel jurnal berkualitas dengan akun yang diberikan. Banyak juga ditawarkan mata kuliah atau kuliah tamu yang begitu bermanfaat untuk menunjang perkembangan sekolah doktor. Kolega di kantor juga baik sekali. Para staf akademik dan tim program doktor di fakultas serta program studi yang sangat ramah dan membantu proses administrasi, teman-teman sesama mahasiswa dan peneliti yang juga sama baiknya mengajarkan proses adaptasi selama di kantor, serta pembimbing disertasi yang begitu peduli. Saya amat bersyukur berada di lingkungan kerja dan kampus ini.
Hidup di Vienna juga tentang belajar menyeimbangkan waktu kerja dan menikmati hidup. Sebuah tren work life balance yang tidak hanya basa-basi. Jarang sekali ada interaksi tentang pekerjaan di luar jam kerja. Akhir pekan adalah milik keluarga. Bahkan toko dan pasar tutup di hari Minggu. Kecuali restoran karena biasa digunakan masyarakat untuk bercengkrama menikmati waktu libur atau toko-toko sembako di titik tertentu yang esensial, seperti stasiun besar. Di sini kami belajar untuk menikmati akhir pekan sebagai hadiah dari lima hari kerja yang melelahkan. 
Selain itu, orang di Vienna sangat tepat waktu. Kenapa? Karena semua sarana transportasi tepat janji saat tiba dan berangkat. Kita dengan bantuan aplikasi transportasi atau peta di Google dapat dengan presisi mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di satu lokasi. Tidak ada alasan untuk telat karena alasan macet seperti di Indonesia.  
Pelajaran kehidupan lainnya yang didapat selama di perantauan adalah bertemu dan bercengkerama dengan sesama mahasiswa atau penduduk Indonesia. Sejak awal tiba di Austria, saya dan teman langsung disambut oleh Mas Jaya Addin Linando, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Austria (PPIA). Pada malamnya kami juga diundang oleh sesama mahasiswa untuk makan malam dengan menu khas Indonesia. Hari-hari selanjutnya juga diwarnai dengan berbagai pertemuan bersama orang-orang Indonesia lainnya, mulai dari sesama anggota PPIA hingga Warga Pengajian Austria (Wapena). Bahkan jika dihitung, di komplek asrama mahasiswa yang saya tempati terdapat sekitar 10 orang pelajar Indonesia. Tidak jarang kami mengobati rindu dengan obrolan santai tentang kampung halaman. Kami juga rutin berkumpul sambil memasak makanan Indonesia dan menikmati kota bersama dengan jalan santai atau berbelanja. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika dua teman terjangkit COVID-19, kami saling mengirimkan makanan dan obat selama fase karantina. 
Meski demikian, jangan tanya soal rindu. Ini yang paling berat. Rindu istri dan anak-anak, keluarga, makanan, teman, dan suasana kampung halaman. Istri dan anak-anak yang dengan penuh kerelaan melepas saya berangkat. Mereka pula yang terus memberikan semangat tanpa putus. Anak-anak yang masih usia di bawah 6 tahun, tapi begitu dewasa bersikap saat mengantar keberangkatan. Istri yang harus berjibaku dalam mengurus anak tanpa saya. Perjalanan ini akan selalu jadi pengingat betapa saya harus banyak membalas dengan lebih banyak kebaikan dan kasih sayang. 
Rindu kadang terobati dengan panggilan video atau mengamati lini masa media sosial, tapi tidak jarang ia begitu memuncak. Karena saya hanya bisa melihat perkembangan anak-anak dari layar kaca, mendengarkan kisah istri selama mengasuh mereka, dan mendengar kabar keluarga yang sakit atau perkembangan COVID-19 di Pontianak. Rindu itu jadi sungguh sangat berat. Akhirnya semua itu menyisakan doa-doa dan harapan agar hati kembali kuat. Sehingga saya bisa bilang perjalanan ini amat penuh harap. Harapan untuk bisa berkumpul dengan keluarga dan mengobati kerinduan.
Satu kejadian yang begitu berkesan dari kisah tentang rindu adalah ketika pembimbing saya, Prof. Petra Dannecker, menanyakan kondisi keluarga di Indonesia. Ketika beliau tahu kalau kami sedang menanti kelahiran anak ketiga. Responnya adalah menyuruh pulang karena saat musim dingin juga tidak ada aktivitas apa-apa di kampus. Kalimat setelahnya yang membuat saya begitu terenyuh dan tersentuh. “Penting untuk anakmu tahu kalau dia punya seorang ayah,” ucap beliau dalam Bahasa Inggris. 
Rindu yang dipendam pun seketika pecah, runtuh sudah pertahanan. Saya menangis di dalam hati ketika mendengar kalimat itu, begitu terharu. Beliau amat memperhatikan kondisi psikologis bimbingannya selama di sini. Perasaan seorang ayah yang menanti dengan harap cemas akan proses kelahiran anak yang hanya tinggal dua bulan, tapi harus tetap memfokuskan diri untuk memulai sekolah di perantauan.
Tuhan selalu punya jalan-jalan terbaik. Tidak pernah terbayangkan buda’ Pontianak ini akan pulang pergi ke luar negeri dalam hitungan bulan. Dalam rencana awal pun, kami sudah merelakan akan saling menatap layar kaca saat proses melahirkan tersebut. Tuhan begitu baik memberikan kesempatan kepada saya menemankan istri selama proses melahirkan dan menyambut putri kecil kami secara langsung. Hingga untuk mengenang persiapan dan perjalanan ini, kami menyematkan Vienna sebagai nama tengah untuk anak ketiga yang lahir pada bulan Desember 2021.
Kisah-kisah di Vienna pada akhirnya mengajarkan saya untuk senantiasa belajar bersyukur dengan semua yang telah diterima hingga saat ini. Lima bulan ini begitu banyak cerita yang begitu berharga untuk dijadikan bahan pendewasaan diri. Tentunya masih ada puluhan bulan penuh harap yang akan saya lalui. Pembelajaran diri pasti terus didapatkan seiring berjalannya waktu di kota yang indah. Seperti judul di atas, perjalanan di kota ini penuh harap dan pelajaran.
Adityo Darmawan Sudagung, 1 Maret 2022
*) Tulisan ini dikirimkan pada Writing Contest PPI Edufest 2022 dengan tema "Sepenggal kisah dari penjuru dunia, sejuta inspirasi untuk Indonesia" dan mendapatkan honorable mention.
2 notes · View notes
soedagoeng · 9 months ago
Text
Mas Kavi Anak Passau
Mas Kavi pagi ini menangis saat mau bangun tidur. Karena ini hari terakhir di Passau, “masih mau di sini. Ndak mau pulang. Baru sebentar tinggalnya. Papa waktu ke Fridensau bisa lama sampai 5 hari.”
Wina, 12.10.2024
0 notes
soedagoeng · 9 months ago
Text
Ibu Landak
Di kereta saat mau pulang dari Pasau ke Wina, Mas Ba tanya, “gimanalah Ibu Landak tuh kalau ada bayi di perutnya? Ndak sakit kah ada duri bayi di perutnya?”
Wina, 12.10.2024
0 notes
soedagoeng · 9 months ago
Text
Kavi Si Paling Apresiatif
Ingat kata Kavi tadi, "Mein Papa ist so cool!"
Passau, 10.10.2024
0 notes