Text
A short Story
Jakarta, 24 Desember 2016.
Gerimis diluar kaca sebuah pesawat sudah mulai mereda. Tetesnya sudah mulai mengurang, seiring suara kokpit yang tak lagi mengerang. Langit Jakarta begitu bersih, segala bising, ragu, dan takutku sudah tak lagi membuatku risih.
Aku berjalan, mengitari sekitaran pengambilan koper. Mengedarkan pandangan sejurus, lalu bertanya pada orang-orang sekitar. Dimana pintu keluarnya. Lalu sejenak, aku berjalan mantap menuju park area. Didepan sudah banyak orang-orang, entah menunggu dijemput, atau menunggu taksi.
Aku bergegas mengambil jalur untuk menaiki bus itu. Menuju sebuah kota, dengan segenap rindu yang telah lama kubawa.
Jogja,
Sekitar bulan Juli 2016.
Bumi yang terasa sibuk, dikota yang serba nyaman itu, menggugah sesuatu. Sekelebat kenangan mengganggu tidurku semalaman. Ah sudahlah. Kulirik jam dinding, sudah waktunya berangkat kerja. Dengan segenap kemalasan dan air mata yang masih tergenang, kuputuskan untuk meletakkanmu sementara.
“hei, Naka. Baca whatsappku”
Tiba-tiba suaramu mengejutkanku, diujung jam habis kerjaku. Terkejut. Lalu, terang. Aku tak bisa memastikan, apakah layarku, atau senyumku saat melihat pesanmu di ujung gawai.
“Ya, Pandu. Kau di Jogja?”
Lucu. Tanpa kabar, tanpa sapa, tiba-tiba dia mengirimiku sebuah foto, dengan dirinya yang sedang duduk dibangku café. Seakan tahu, bagaimana caranya menembus kelambu rindu yang Sudah kukubur dengan ketidakpedulianku-yang palsu- tentunya.
Tak lama, kami bertemu lagi. Bercakap, entah tentang diri, keluarga, pacar masing-masing, hingga saham perusahaan yang kian tidak bisa ditebak.
“Naka..” sapaan itu mendarat hangat. Telak di hatiku, setidaknya.
“Iya, bagaimana?” jawabku. Dan dengan sekelabat saja, matanya sudah menangkap kegugupanku. Ya, dia tau pasti bagaimana aku menyembunyikan luapan rindu ini.
“Naka, malam ini saja. Aku ingin bercakap lebih banyak. Tentang apapun, tentang kita”
“Kita, pan? Bukankah kau sudah berdua?”
“Naka, dia wanita. Aku bisa menemukan dia dimana saja”
Aku menyeringai.
“Serendah itu wanita dimatamu?”
Sambil memegang erat jemariku, dan tetap dengan tatapannya yang menenangkan.
“Bukan itu. Dia wanita, kau wanita. Dan dia bukan kau, Naka. Paham?” tanyanya lagi. Sekali lagi, aku jatuh cinta lagi, dengan hanya ditatap. Murahan!
“Pandu, kita nggak bisa gini terus. Kita jalan – lari – berhenti – jalan – lari-lari lagi. Nggak bisa gini.”
“Tolong.. Naka. Mungkin Tuhan akan benci dengan caraku, tapi tidak dengan aku.”
“Tapi, pandu..” dia menarik tanganku.
Langit Jogja basah, tapi senyap. Dibawah gerimis yang datangnya sangat pelan, aku kembali direngkuhnya. Bahu kuat yang sudah menjagaku, setidaknya dalam doanya juga. Membaur, entah Bersama kenangan yang mungkin tak dapat kami kubur.
Jakarta,
Desember 2016.
“Kalo aku tinggal kerja, masalah nggak Naka?” ujarnya sembari membangunkanku yang masih setengah nyawa. Dia tersenyum.
“Ngga papa, Pan. Jangan lama lama yaaah..”
“Loh kenapa?”
“Aku sendiri disini”
“As I said to you.. kamu selalu bisa menemukan aku. Disini.” Ujarnya mendekatkan tanganku ke dadanya.
“Gombal banget!” dan kami tertawa. Hari itu, hari selanjutnya, aku bahagia. Bisa menatap wajahnya, matanya, tetapi sesuatu terjadi..
“Naka! Oh no, kamu bisa ke kamar sebelah sebentar saja! Pacarku menelfon!”
Shit! Umpatku dalam hati. Lalu dengan langkah sedikit tergesa, aku naik ke loteng atas. Dan memandangi segenap penjuru kota ini. Pemandangan secantik ini, seindah ini, bahkan tak mampu mengobati sakitnya aku saat itu. Tapi akupun tertunduk, aku yang salah. Aku mencintai orang yang tepat di waktu yang salah.
Lalu suara langkah terdengar. Aku menoleh, dengan tatapan palsu penuh senyuman. Pandu mendekapku erat dan berkata maaf. Tidak, kau tak salah. Waktu yang salah.
“Sudahlah, ayo kita lihat-lihat sekitar. Kota ini hijau dan aku suka” jawabku sembari tersenyum.
Brukkk!
Aku menumburkan tasku ke atas kasur. Menatap langit-langit kamar, dengan sangat kosong. Liburan telah berakhir, waktunya kembali ke realita, kerja dan perkuliahan yang harus aku selesaikan. Waktu berjalan sangat pelan rasanya, aku mencoba melupakan. Nihil, kudapati jiwaku terendam kenangan. Sial, umpatku dalam hati.
“Naka, kamu sudah dicafe?” sebuah pesan singkat dari temanku, Nona.
“Iyaa sudah cepat kesini.”
Jogja dan tempat ngopi yang begitu banyak, membuat banyak mahasiswa yang bisa kesana-sini untuk memilih mana yang paling nyaman.
“Kenapa kau? Sedih lagi?”
“Enggak, nggak apa apa”
“Bohong aja terus, siapa? Pandu lagi?” sembari menyulut korek ke rokoknya.
Aku diam, percuma aku menjelaskan.
“Lupakan. Aku punya kenalan kalau kau mau.”
“Enggak. Nanti aja ya.”
Empat belas hari kemudian sebuah pesan datang lagi.
“Naka. Aku merindukanmu.”
Perlahan airmataku menetes. Menangisi batinku yang hari ke hari makin hancur, kutata hancur lagi.
Pandu, kau tau? Jogja masih senyap sekarang. esok, esoknya lagi, dan entah kapan. Lalu tanahnya pun basah, bukan. maksudnya pipiku.
2 notes
·
View notes
Photo

Baru kemarin rasanya hatiku dipetik olehmu,
Tapi kini rindunya yang berserakan,
Bertebaran,
Orang selalu bilang, bahagia dimulai dari dirimu sendiri,
Aku tak setuju,
dan Mungkin tak akan pernah setuju.
Cuma orang yang pura pura sembuh dari lukanya sendiri yang mampu berbicara layaknya bahagia itu mudah.
aku jelas tak setuju,
sebab sudahlah, akui saja.
tidak kamu, tidak dia, tidak kenanganmu,
tidak juga masa depanmu, adalah sebagian besar sunggingan senyum di hidupmu.
sebab sudahlah, enyahlah egoku,
kau tak bisa terus menerus mendustai naluri,
melukai setiap labirin hati,
demi mengakui, bahwa sebagian hatimu hilang,
demi menyadar, bahwa ada yang kosong disela tawamu,
- Yogyakarta, 26 Februari 2018
0 notes
Photo

Pada suara laut,
pada senyapnya senja
diriuhnya rinduku,
namamu lantang kusebut dalam doaku.
0 notes
Text
perjalanan sendiri
Lama rasanya tidak mengentaskan isi pikiran
dengan terbungkam jenuh.
dengan terkungkung rusuh
Nyatanya setiap perjalananku, selalu kulalui sendiri.
Tak ada semesta yang benar - benar mengerti
sebab langit pun selalu begini,
tetap acuh dan tinggi.
0 notes
Photo

lonely planet 🏡 #jogja #explorejogja (at Taman Sari)
1 note
·
View note
Text
25 y.o

Cerita seperempat abad...
Hari masih sama seperti biasanya. Degup pagi, wangi kopi, aroma sarapan pagi, atau sekedar celotehan kawan sana sini.
Hari masih sama, dengan setumpuk tugas dan pekerjaan, seikat bunga yang entah mungkin dari rekanan, atau entah siapa. Senyum, dan ya manusia, takkan lepas dari caci dan celotehan.
Oh ya, jadi ini rasanya 25 tahun?
Menapaki seperempat abad dari 100 tahun umur -yang mungkin hanya bisa dinikmati sekitar 20 atau 25 tahun, karena standar hidup di Indonesia hanya sampai 50-65 tahun, setelah itu ya mati.
Lalu, bagaimana memaknai 25?
Sederhana saja, melakukan segalanya dengan hati dan otak yang terbuka, memperbanyak kuncup-kuncup doa, dan meletakkan keikhlasan diatas setiap usaha.
Menikah?
Entahlah,tapi saya percaya, cinta sejati setiap orang akan datang tepat pada waktunya. :)
Well, Happy Birthday myself, be better-self, okay? :)
0 notes
Photo

ask yourself, how hard your life is. (at Malioboro Jogjakarta)
0 notes
Photo

There's nothing class in God's rule. Its only the human love to modify. 🌺 . . . . . . #bali #explorebali #travel (at Kuta)
0 notes
Photo

Hai, Laut. Aku rindu. 🌊⚓ . . . . #travel #beach (at East Java)
0 notes
Photo

Hai, Laut. Aku rindu. 🌊⚓ . . . . #travel #beach (at East Java)
0 notes
Photo

_____________________ #beach #travel (at East Java)
0 notes
Photo

Solitude.
Pernah pada suatu masa, aku membaca kisah tentang kesendirian. Melihat bagaimana kaki-kaki penuh luka menyeret satu persatu perban yang mulai lepas,
Pernah, pada suatu masa, aku melihat luka kering, terbilas senyum lalu tersapu jera. Bahagia kadang sungguh sementara.
Sementara yang lain kuat, memaki yang memang tak mampu berpindah
Sementara yang lain lemah, memaki nestapa benar ada.
Sementara yang luka, menunggu disembuhkan.
Sementara beberapa, memang tak semudah itu membuka.
Dan
Pernah pada senja, aku melongok pada uapan doa,
Pernah kutapaki jalan tak berjeda, lewat seungguk airmata,
Kutapaki lamat-lamat,
Ya, matahari, kamu tidak sendiri.
Aku pun disini sendiri,
Masih ada aku.
Meski, hanya seperti ini.
0 notes
Photo

Karena barangkali setelah ini, Aku akan berjalan saja. Aku akan berjalan, mengikuti apa yang Sudah menjadi jalanNya. Aku akan percaya, bahwa baik tidaknya aku, aku berhak Dan pantas mendapatkannya, apapun itu, sesuai kehendakNya. . . Yogyakarta, 13 April 2017. (at Yogyakarta)
0 notes
Photo

Once in a time my friends said that: "The one who lost their mom will lost love. Then the one who lost her father will lack of hislife avowal" Be (so) grateful with who you have now ❤ (at Pinggir Pantai)
0 notes
Photo

A man his will but a woman has her way 👣 . . . . ____________________________________________ #jogja #explorejogja #human #streetphotography #streetphoto #bw (at Malioboro Jogjayakarta....)
0 notes