#asrpg
Explore tagged Tumblr posts
predutoons209 · 8 months ago
Text
Tumblr media
[🐺🦗Conselheiros🦉🐍]
34 notes · View notes
b4ubau · 6 months ago
Text
Devo fazer desenhos de ship??
Assimilação ou ordem amo os dois
4 notes · View notes
anonhers · 2 years ago
Text
Tumblr media
RPG do Rakin nem terminou o primeiro episódio e eu já fiz o Carlão ✨🙏🏻 Amo um mineiro bem da roça
6 notes · View notes
cubelogic · 2 years ago
Text
mano só otario acha personagem de rpg bonitokkkkkkkkkkkkkkkoi holly td bem
5 notes · View notes
scioccorvo-blog · 13 years ago
Text
Remember
Haninozuka Shiruba punya saya. Hibari Minagi punya Aya. Abstract School bukan punya saya. Alice Academy juga bukan.
Merah.
  “Astaga. Orang ini—”
  “Hati-hati! Jangan dekati dia!”
  “AAAAARGH—!”
  Merah.
Seperti warna sirup stroberi itu. Topping es krim.
Kamu—masih ingat rasa es krim kesukaanku?
Ah, aku juga selalu ingat. Kamu suka rasa vanilla.
Dengan biskuit cokelat.
    Malam ini, ketika matahari sudah selesai menyinari bumi, beranjak pula ke peraduan. Digantikan purnama. Menggantung anggun. Sekelilingnya bertabur bintang. Gemerlap kecil, di atas tirai hitam. Ah, malam. Pekat dan sunyi. Seharusnya demikian. Mereka yang berdiri di bawah langit, antara mulai melangkah malas menuju ranjang hangat atau malah telah terbuai mimpi. Selalu—malam selalu menjadi waktu yang paling tenang. Waktu yang juga disukai oleh pemuda itu. Pemuda yang berdiri dan menengadah. Gemerisik dedaunan, temaramnya sinar bulan. Pucat. Perak yang dibelai angin. Biru yang menerawang.
  Lalu merah.
  Semua di sekelilingnya merah.
  “Ara—kalian juga sedang apa?” Suaranya tak seberapa dalam. Ringan, malah. Kesan polos yang rasanya tak cocok berada di sana. “Keluar saja.”
  “White Fox, jadi memang semua ini perbuatanmu?”
  Ia berjengit mendengar nama itu. Hei, hei—sudah berapa tahun berlalu. Orang-orang tua yang tidak memiliki selera. Satu, dua—sekarang jumlahnya lebih dari sepuluh. Ada berapa yang akhirnya dikirimkan untuk mendekati?
  “Namaku bukan White Fox. Kalian ini—informasinya sudah ketinggalan jaman.”
  Kekeh.
  Orang-orang itu berdiri mengelilinginya. Pakaian itu—aah, sou. Kaki tangan, bidak terendah yang disiapkan sewaktu-waktu mereka hendak membersihkan sesuatu. Sistem yang terlalu lama, terlalu akrab. Bahkan dengan separuh ingatan yang main terkikis, ia masih ingat betul bagaimana rasanya menjadi pion itu. Untungnya bukan bocah-bocah seperti waktunya dulu. Rezim berganti? Seandainya memang, maka sudah waktunya ia mengganti kembali. Merah ini mungkin belum cukup menjadi peringatan. Atau mereka terlalu congkak dan tak mengindahkan semuanya?
  “Hei. Kalian suka warna merah tidak?” Menerawang lagi. Wajah pucat itu kembali disirami sinar sang perlambang malam. “Coba, aku mau lihat.”
  Kosong. Pandangan mata mereka—takut, murka—berganti. Kosong. Tangan-tangan bergerak. Suara senapan yang dikokang.
  Desing peluru menembus.
  “Saa—sudah kubilang. Warna merah itu mirip sekali dengan sirup stroberi.”
  Aku pernah bilang, aku suka sekali stroberi.
Karena?
Tentu saja karena mengingatkanku akan pipimu yang bersemu.
Merah. Manis.
A-ahaha. Bercanda. Kalau aku bilang begitu pasti akan dipukul.
Iya, kan?
    Aroma itu membuatnya berjengit. Kontras sekali dengan manisnya roti hangat yang baru matang. Jauh, dan ia tidak suka. Aroma itu terlalu akrab untuknya, bahkan dahulu membuatnya mengukir senyuman. Sejarah. Lupakan saja. Tahun yang berganti itu sudah cukup mengubur banyak hal. Jangan lupakan seberapa banyak juga yang sudah terlupa. Dia tidak ingat kapan aroma ini selalu memenuhi rongga di dadanya. Samar-samar hanya ada bisik yang mengatakan aroma ini dan warna merah selalu membuatnya tersenyum. Selalu. Tak peduli waktu dan tempat. Malam-malam sebelum ini kah? Karena apa? Alisnya bertaut. Bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang membuatnya ingin terseyum? Aroma ini mengerikan. Pekat, mengikat erat.
  Tapi semua ini. Semua tirai merah yang meliputi. Hembusan angin dari sela-sela kaca yang sisanya berserakan di lantai, memadukan aroma malam dan aroma merah itu.
  Di luar sana, dia bisa melihat kelap-kelip kecil. Masih bisa melihat siapa yang mengintip dengan cahaya termaram. Lupakan apa yang ada di dalam sini. Anggaplah semua yang telah terlelap itu akan hilang. Seiring angin mulai menyeruak. Tak lagi sekadar bermain, akhirnya menerbangkan. Sisa-sisa kertas. Debu. Aroma mesiu juga. Ada satu-dua helai daun yang ikut masuk ke dalam. Mendarat di atas meja, atau tak sengaja menyentuh genangan merah. Safirnya mengikuti. Sekian detik kemudian terpejam sesaat. Menarik nafas dalam-dalam, berusaha memisahkan aroma yang terus menyusup ke dalam ingatan tak terjamah.
  Menyapu dalam toleh lambat. Beberapa sosok yang dikenalnya. Sosok yang sebenarnya sama sekali tidak ingin diingat. Namun malah wajah mereka yang tak henti membentuk dan menggali sisa ingatannya. Sisa rasa sakit, sisa masa lalu. Sebuah perjalanan yang memupuk sisi gelap bernama benci. Ah, sisi gelap yang membesarkannya. Mereka. Orang-orang yang menjalankan sistem, yang membuat dan melindungi. Memalsukan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka sudah membuat dirinya hanya mengenal hitam dan putih. Mengenalkan dunia yang tak lebih dari sandiwara, opera sabun. Kekehnya tertahan. Akhirnya punggung itu bersandar pada dinding terdekat. Melorot, terduduk. Sebelah kakinya terlipat.
  Kenapa ia melakukan ini, ya?
  Bukan. Bukan untuk bersenang-senang. Bukan karena bosan.
  Dia punya kakak yang cantik, dulu. Lalu kakaknya pergi. Ke tempat ini, dan tak pernah kembali. Dia punya adik laki-laki yang polos. Tapi nyaris tak saling mengenal. Lalu sekarang—entah di mana.
  Lantas?
  Dia punya seorang yang dikenalnya begitu dekat. Matanya biru seperti langit. Mahkota keemasan mencapai punggung. Suaranya melengking, ingat. Dia selalu mengingatnya. Tubuhnya kecil. Sering sekali tinjunya mendarat di sisi wajah. Gadis itu—tak seharusnya terus berada di sini. Seharusnya dia terbang bebas di luar sana. Sistem, orang-orang itu menahannya. Bukan hanya dia, tapi semua yang berada di balik dinding itu. Terutama si gadis. Gadis bermata biru.
  Es krim vanilla dan biskuit. Es krim vanilla dan sirup stroberi.
  “Uhuk—”
  Merah? Rasa di mulutnya jauh dari kata menyenangkan.
  Tapi—aku berjanji pada diriku sendiri.
Aku tidak akan membiarkan siapa pun berani membuatmu sedih.
Aku berjanji.
Kamu percaya, kan?
    Ah—rasanya mengantuk, ya? Lelah sekali. Memang sudah waktunya tidur, mungkin.
  Aku akan selalu melindungimu.
    Shiruba menghela nafas lagi. Menggeleng pelan dan tersenyum. Pernah ada yang bercerita, di saat terakhir hidupmu maka akan terlihat kenangan-kenangan yang berputar seperti lentera. Ada ibu dan ayahnya, tersenyum seperti foto di rumah mereka dulu. Kakaknya—Shigeru, melipatkan origami lagi untuknya. Nacht mendekatinya dengan senyum polos. Kazu yang menyebalkan, Nauka-sensei dengan cengiran mencurigakan. Oh—itu Haruka? Atau Haruki? Berputar-putar. Hari demi hari yang dilalui. Seharusnya sudah terlupakan. Seharusnya tidak akan pernah teringat lagi.
  Es krim lagi.
  Itu janjiku.
    “Shiru—SHIRU!”
  Ada seseorang yang datang? Ah, bahkan ia tak menyadari. Baru terdengar langkah yang semakin dekat. Ia memejamkan matanya. Enggan untuk coba memandang. Biarkan saja. Habisnya—lelah.
  Ha—ngat?
  “Shi—Shiru, Shiru bodoh. Shiru bodoh!” Ah, suara itu. Tangan yang masih terasa sama mungil. Genggaman yang erat, sekilas terasa gemetar.
  “…gomen.”
  Samar, tapi dia bisa melihat langit biru. Berkaca-kaca.
  “Minagi—jangan menangis.”
  Minagi.
Maaf, dan terima kasih.
Hei—aku lupa mengatakan satu hal lagi.
        Daisuki.
1 note · View note
predutoons209 · 8 months ago
Text
Tumblr media
[🌸Vó🩸]
18 notes · View notes