#halfpuzzle
Explore tagged Tumblr posts
halfpuzzle · 5 years ago
Text
Keping #3
Tumblr media
Gaia menatap barang-barang di kasurnya. Buku catatan, tempat pensil, GPS, power bank, botol minum, tisu, mukena, dompet. Payung iya nggak ya. Lalu memasukkan kembali barang-barang tersebut ke dalam ransel coklat Threerey untuk yang ketiga kalinya. Gaia mengambil buku catatan biru, kemudian membaca form survei yang sudah ia buat. Lagi, sebelum akhirnya buku itu diselipkan di sebelah mukena.
Tok tok.
Ayah Gaia bersandar di pintu.
“Jadi ke Gunungkidul?”
“Jadi dong, Yah. Kan udah di-acc proposalnya Gaia.”
“Deket nggak sama rumah Eyang?”
“Mmm… nggak deh kayaknya.”
“Oh.”
“Padahal kan enak ya kalau deket rumah Eyang, bisa nginep sana kalau ambil data.” Celetuknya.
“Bisa.”
Ayah Gaia berbalik dan pergi.
Ting. Ada pesan baru di grup WhatsApp.
“Aku otw.”
“Selesai prepare, bentar lagi otw,” balas Gaia.
“Aku juga”
“Udah di deket kampus. Laper!” Foto semangkuk Soto Bu Win terlampir.
Mereka akhirnya berangkat dari rektorat ke Guningkidul jam enam lebih, bersamaan dengan anak-anak berseragam identitas berangkat sekolah. Jalanan baru mulai lengang saat mereka masuk daerah Patuk, Jalan Wonosari, hanya sinar matahari menyapa dan menyilaukan.
Ada yang sesuatu yang meninggi di diri Gaia, tapi bukan karena raganya sudah melalui gerbang Jogja Lantai Dua. Exited mungkin.
“Jangan tidur, Ge. Liat maps-nya dong!”
“Siapa yang tidur sih, masih lurus terus kok!”
Gaia melirik ke smartphone yang hanya digenggamnya sedari tadi, memastikan kalau jawabannya pada Doni tak asal-asalan. Keteduhan dan angin perjalanan sepertinya sudah membius Gaia, ia lupa kalau ini bukan liburan.
***
Titik pertama di peta survei. Lokasi yang ternyata sudah dikerubungi wisatawan.
“Jadi pingin ikut nyebur aku.” Celetuk Aryo.
Ha. Sepertinya bukan hanya Gaia yang tergoda dengan liburan.
“Hus. Fokus. Ayo cari petugasnya dulu.” Balas Lia.
“Tiket berapa orang dek?”
“Eh mboten, Pak. Mau bertemu dengan pemiliknya saget?”
“Ada apa ya?”
“Mmm, mau tahu izin buat ambil data di sini.”
“Ambil data?”
“Nggih pak, tentang aliran sungai di sini.”
“Di sungainya?”
“Iya.”
“Wah, gimana ya. Kayaknya nggak bisa, dik. Di sini kan wisata buka terus.”
Benar juga. Bukan hari libur saja, wisatawan ramai mampir ke sini.
“Kecuali adik-adik ini mau ambil datanya malem, ning yo lowo-lowone do nggragas.”
“Lha surat tugasnya mana?” tanya bapak yang lain.  
“Belum ada, Pak. Ini baru tanya-tanya dulu, kalau sudah fix, baru buat surat tugasnya dari kampus.” Upaya meyakinkan.
 ***
Titik kedua di peta survei.
“Yakin nih, lokasinya?”
“Di maps udah bener bener kok.”
“Sinyalmu ilang kali.”
“Weladalah, glo 4G.”
“Ge, di maps-mu gimana?”
“Bener kok, udah sampai sini.”
Ia menatap hamparan pohon jati dan daun-daun kering yang menyelimuti lahan tandus. Bola matanya hanya bergerak ke kanan dan ke kiri.
“Ge, lesu amat? Laper?”
Gaia terbius lagi. Fokus, Ge.
“Ehehe, lupa sarapan.”
“Ini dulu nih.” Doni menyodorkan susu kotak dari saku tasnya.
“Trims.”
“Enten nopo dik?” Seorang simbah menghampiri dari balik gubug.
“Wonten mriki leres enten goa, mbah?”
“Leres. Monggo dipun pirsani”
Mereka mengikuti simbah, memotong hamparan dedaunan kering. Keraguan sempat terbesit. Hingga…
“Niku.” Simbah tadi menunjuk sebuah goa.
“Ga ada airnya?” Doni melongo.
“Mpun dangu mboten enten toyane, dik.”
Si simbah menjelaskan kalau ada lahan yang ambrol di dekat sini. Semenjak itu, tak ada lagi aliran air yang lewat.
Sinkhole. Gaia melihat lembaran peta surveinya. Bisa jadi alirannya masuk makin dalam, atau berbelok ke titik kanan atau kirinya.
“Ge, Don. Gimana kalau kita bagi dua surveinya? Aku sama Lia ke daerah Playen, kalo sempet sama ke Paliyan. Biar cepet?”
“Boleh juga tuh.” Doni mengiyakan.
“Iya deh ngggakpapa. Puter balik dong kalian?”
“Nggakpapa. Biar pulangnya makin deket.” Sahut Lia.
“Oke.”
***
Mereka tiba di titik ketiga saat azan zuhur berkumandang. Air mengalir di sana, tapi mata air yang mereka cari tidak ada.
“Tiga titik hangus. Makan dulu yuk, Ge?”
“Ini deket sama titik empat, kesana dulu gimana?”
“Ge, kamu belom sarapan loh.”
“Nanggung nih.”
Pasrah, Doni mengiyakan.
Di titik empat, hasilnya masih nihil. Hanya aliran sungai yang melewati goa sempit.
“Survei secapek ini ya.” Gaia mengeluh.
Gaia menatap Doni yang sedang mengelap eluhnya. Ia memang tak lagi ngoceh selama jalan ke titik ini.
“Kamu kenapa?”
“Kamu kenapa sih ngga nyari penelitian di dekat rumah aja, Ge?”
“Kok gitu?”
“Ya yang gampang aja, Ge. Lebih pasti keadaannya, kan biar cepet lulus juga gitu?”
Gaia diam.
“Ini udah jauh-jauh, masih survei, tapi titik-titik rencananya belum ada yang masuk kriteria. Kamu yakin?”
“Don,” Gaia memanggilnya dengan halus. “Kita baru mulai, kok. Bisa jadi titik selanjutnya masuk kriteria kan ya kan? Gapapa ya?”
Ini buat ngeyakinin diri kamu juga Ge.
Doni mengelus kepala Gaia. “Yaudah-yaudah, istirahat dulu aja tapi ya. Laper.”
“Yaudah yuk nyari makan.”
“Tapi ga ada yang jualan sepanjang jalan ini tadi. Sekalian nyari yang enak gitu gimana?
“Aku tau sih tapi rada jauh gapapa?”
“Mana?”
“Deket rumah eyangku.”
“Di mana”?
“Sekitar 10 km dari sini. Paling 20 menitan.”
“Yaudah ayok.”
Setengah jam kemudian.
“Masih jauh, Ge?”
“Kayaknya udah sekitar sini ini deh.”
“Heh. Yakin gak? Beneran tahu ga kamu tu?”
“Tahulah. Langganan dari aku kecil ya.”
“Kalau sampe ga nemu tak turunin di jalan ya kamu!”
“Ih kok gitu sih. Tuh, depan itu belok terus udah kanan jalan.”
Doni tancap gas. Gaia berdoa supaya ia benar. Karena selama ini ia selalu bersama keluarganya, jadi ia tak begitu memperhatikan jalan.
Begitu berbelok, jalanan itu lengang sepi, tapi ada plang bakmi jawa. Gaia diam-diam menghela napas lega. Doni ngegas motornya. Gaia kaget. Sudah siap menyumpah serapahi Doni, batal, karena sadar warungnya sepi. Tutup.
Mati aku!
“Gimana sih, Ge. Turun kamu!”
“Yah gak gitu dong, Don. Kan mana kutahu kalau tutup.”
“Turun!”
“Ga mau lah.” Gaia melongo tidak mengira Doni serius mau menurunkannya.
“Turun aja.”
“Ga mau. Kamu tega banget sih. Huhu.”
“Apaan sih, Ge! Turun dulu.”
“Don pliiiis!”  Gaia mengaitkan kedua tangannya ke pinggang Doni yang  langsung tersentak.
“Ih. Turun aja dulu, itu loh liat ada tulisan apa.”
“Mau ditinggal kan?”
“Enggak bakal lah. Kamu kira aku setega itu?”
Gaia turun ke jalan dan membaca tulisan di jendela warung. Ternyata baru buka jam 3. Dia melihat ke jam tangannya, sekarang jam 2.15 WIB.
“Buka 45 menit lagi. Mau nunggu di rumah eyangku dulu? Deket kok. Tapi ak ngga tahu ada makanan enggak disana.”
“Mmm…”
“Terus cuma ada ini warung di deket sini.”
“Yaudah ayo.” Lagi-lagi Doni mengiyakan.
300 meter dari warung bakmi tadi, rumah berhalaman luas dan dikelilingi pagar berbatu bata merah mengelilinginya, tampak lengang.
Rumah masa kecil Gaia, rumah eyang.
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
0 notes
halfpuzzle · 5 years ago
Text
Keping #2
Tumblr media
Ia merebahkan diri setelah beberapa hari terjaga. Jauh dari lega, tapi badannya membutuhkan istirahat jika ingin melanjutkan apa yang sedang ia lakukan. Tadi pagi ia otomatis menolak saat disodori nasi bungkus. Langkah yang salah karena timnya jadi memaksa ia makan dan berujung ke memuntahkan semua yang sempat masuk. Pertahanan dirinya lebur seketika. Di kamar kontrakan ini sekarang ia berada.
Sebentar lagi. 
Tidak lama lagi perjuangan ini akan menemui titik akhirnya. Entah sesuai harapan atau tidak, selesai adalah fokus Eros. Walau tentu saja sesuai harapan adalah doa terseriusnya.
Usahanya untuk menutup mata malah membuatnya makin jauh dari tidur. Terpikirkan perjalanan hidupnya sejak meninggalkan tanah lahirnya sampai berakhir di tanah perantauan ini.
“Hah! Apa-apaan sih, tidur aja dulu. Udah terlanjur sampai sini.” Umpatnya.
Demi mewujudkan rumah tinggal asri-damai untuk ia dan keluarganya menetap hingga tua, ia rela bertahun-tahun tidak pulang. Betapa rindunya ia dengan kolam ikan di depan rumahnya. Teringat ia belum mandi betulan hampir sebulan ini. Alasannya bukan karena ia kebal bau, tapi selama tinggal dengan suku pedalaman di pulau ini memang tidak pernah ada sabun untuk mandi betulan. Hanya nyemplung dan menggosok badan dengan sabut kelapa. Jadi dijamin badannya tidak bau, hanya mungkin juga tidak wangi.
Makanya begitu ia didorong masuk ke kamar dan diancam timnya jika berani keluar sebelum benar-benar tidur akan dikirim kelotok sampah balik ke kota, ia langsung terjun ke kasurnya. Bukan mandi.
Sumber Gambar : https://pin.it/6yH8tB0
0 notes
halfpuzzle · 5 years ago
Text
Keping #1
Tumblr media
“Gunungkidul lagi?”
Sebelum proposal penelitianya diserahkan, jalanan berkelok yang damai dengan jajaran pohon jati tidak lepas sedikit pun dari bayangannya. Otomatis memudar setelah mendengar pertanyaan Pak Bari. 
Beliau, calon dosen pembimbing idaman anak geo, seolah bosan karena lagi-lagi wilayah itu yang dipilih.
“Kan kata bapak harus bareng-bareng.”
Gaia ingin memperjuangkan pilihannya. Ia yakin tak mungkin satu orang mengambil satu wilayah penelitian.
“Bareng Doni juga, maksudnya.” Pak Bari tersenyum meledek.
“Enggak, Pak, beneran deh.”
“Iya juga nggakpapa, masih satu kecamatan kan ini lokasinya.”
“Ma-sih-sih, Pak. Tapi kan bareng yang lain juga.”
“Iya iya.”
Pak Bari memutar kursinya, mengambil bolpoin merah dan mulai membubuhkan garis-garis, lingkaran dan tanda tanya di proposal penelitian Gaia.
Mulai serius nih. Pikirnya.
“Kenapa harus disini?”
“Karena di sana terdapat banyak mata air. Beberapa ada yang berisiko meluap saat hujan lebat. Jadi saya ingin tahu perbedaan sensitivitas mata air di daerah itu.
“Sensitivitas?”
“Iya.”
“Kenapa nggak karakteristik aja?”
“Mmm…”
“Gini aja, coba cari tahu dulu mau pakai sensitivitas apa karakteristik.”
“Baik, Pak.”
“Latar belakang...”
Baru judul aja sudah gak bisa nyanggah. Gaia kamu serius nih ambil ini.
Pak Bari melanjutkan, “Kurang spesifik sih alasannya. Apa iya mata air di sana melebar begitu saja?” Garis merah. “Ada rembesan atau jebolan tidak di sekitar wilayah itu.” Tanda tanya merah. “Coba cari tambahan informasi atau jurnal bencana tentang kasus serupa. Jadi buat alasan yang lebih kuat untuk meneliti topik karakteristik mata air ini. Terlebih... kalau ada lokasi penelitian yang belum pernah atau jarang diteliti.”
Gaia menggigit bibirnya.
“Kalian sudah survei?”
“Belum, Pak.”
“Survei dulu dong.”
“Kan belum di-acc proposalnya, Pak.”
“Justru itu, survei dulu akan membuat proposal lebih matang.”
“Iya sih, Pak. Habisnya dateline dari jurusan kok di tengah sks yang masih padat gini.”
“Siapa suruh masuk geo.”
Gaia diam. Kalah sanggahan lagi.
“Jadi nggak di-acc ya, Pak?”
“Survei dulu aja.”
“Nanti kalau saya dapet pembimbingnya bukan Bapak gimana?”
“Ya, nggakpapa, to?”
“Yaaah.” Gaia pasrah.
“Yaudah,” Pak Bari kembali membuka lembar cover, kemudian mengambil bolpoin hitam dari sakunya, menuliskan tanggal hari ini, tanda tangan dan tulisan “acc”.
Gaia melongo. Pak Bari meringis.
“Tetap saya mau tahu kabar survei dari kalian. Dan ingat kalau judul, lokasi, metode bisa berubah sesuai kondisi pasca survei ya.”
“Oooh, begitu ya, Pak?”
Pak Bari mengangguk. “Jadi yang di-acc adalah rencana penelitian kamu. Dari latar belakang dan permasalahan ini, saya udah paham. Cuma kurang bumbu aja. Nanti baru rumusan masalah, tujuan, dan manfaat menyesuaikan.”
“Termasuk metodenya juga, Pak?”
“Untuk metode yang mau digunakan, lokasi, itu baru terjawab setelah beberapa kali survei. Berpotensi tidak lokasinya untuk diteliti, sesuai tidak kondisinya dengan yang ada di jurnal atau informasi bencana, memenuhi syarat tidak untuk metode A, B, C. Jadi harus seimbang antara informasi survei sama kajian pustaka.”
“Baik, Pak.” Gaia menelan ludah.
“Oiya, jangan lupa kalau survei cari tahu juga tentang izin penelitian di wilayah itu.”
Sumber Gambar : https://pin.it/5Lxgzyv
0 notes
halfpuzzle · 5 years ago
Text
Pusaran
Tumblr media
Prolog
Gaia - Seumur hidupnya dipenuhi kejutan dan tantangan. Ia tidak pernah bisa memutuskan apakah peristiwa demi peristiwa itu merupakan anugerah atau kutukan baginya. Tiada sehari pun ia mendapat jeda istirahat dari konspirasi semesta. Jika terjadi sesuatu ia sudah tidak lagi terlalu memikirkannya, karena cuma bikin capek. Walau selalu muncul pertanyaan sampai kapan?
 Eros - Ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan nyaman di kampung halaman yang asri. Tapi, ia sadar untuk mencapai mimpi itu ia perlu berusaha terlebih dahulu. Seperti mengumpulkan bekal ilmu di kota-kota asing dan mencari kawan yang bisa membantu merealisasikan tempat tinggal yang ia dambakan. Hidupnya selama ini lancar tanpa halangan berarti, ia tidak tahu juga mengapa. Walau selalu muncul pertanyaan sampai kapan?
  Pertemuan mereka yang berbeda ini secara bersamaan membangunkan sesuatu yang lama terpendam. Haruskah memutar ulang waktu agar mereka mendapatkan jawaban dari tragedi di sebuah desa yang tidak seorang pun lupa. Sampai akhirnya semua misteri itu terjawab dan mereka menyesal pernah mempertanyakan.
0 notes
halfpuzzle · 5 years ago
Text
We are who we are.
We read the same books, We watch the same movies, And we visit the same places. 
Yet,
we are so different, on our perspectives.
Same plans, Same promises, Same fights, Same hugs,
and in many levels, we are drowning all the same.
We have our own stories.
We are apart..
But, we are a part of each other.
After all this time? Always.
0 notes
halfpuzzle · 5 years ago
Quote
This is me trying. At least I am trying.
Taylor Swift luvv
0 notes