Text

Jangan dikira saya menulis tulisan ini dengan spontanitas saja. Ada hal yang perlu saya renungi terlebih dahulu sebelum menulis. Pantaskah? Perlukah saya menulis itu? Bagaimana bagusnya caraku menyampaikannya dan seterusnya…
Akhirnya saya mantapkan diri dengan tulisan ini, bukan maksud meningkatkan literasi bangsa, literasi biarkan saja ‘terjun payung’ dengan sendirinya, yang mau baca sampai habis silahkan, yang langsung meninggalkan jejak pun dipersilahkan. Tulisan ini biar dikata bisa dibaca banyak orang, apa salahnya, jika saya berniat menulis ini untuk diri saya sendiri? Sah saja bukan?
Jujur, saya menyadari ada kecamuk dalam pikiran saya. Ada hal-hal yang ingin saya suarakan tapi saya simpan saja, saya hanya berceloteh bak riak-riak kecil yang tidak mungkin menghasilkan ombak besar. Namun apa daya, hal-hal konkret terserap dalam mata, telinga dan hati, yang terolah dan yang tersimpulkan kembali menjadi abstraksi. Seperti tulisan ini, hanyalah abstraksi dari pengalaman-pengalaman kongkret yang saya alami.
Saya akui, saya berada dalam realitas. Ini konkret. Kalian pun sama. yang anda semua termasuk saya dikelilingi realitas demi realitas yang sudi tidak sudi kita semua harus menjalaninya. Misalnya, bagi yang belum bekerja realitasnya adalah realita sinisme kehidupan. Bagi yang sudah bekerja realitas anda adalah realita profesionalisme.
Mimpi saya adalah wilayah fiksi. Jika saya tidak paham perihal realitas di sekeliling saya, itu akan jadi ilusi. Dan percuma saja bagi saya bila tidak mempelajari realitas yang saya alami. Seperti kutipan yang pernah saya ingat, mengenal diri sendiri adalah pencerahan, mengenal sekitar adalah kearifan.
Itulah kenapa memaksa kehendak bahwa yang sempurna adalah sesuai timbangannya, sesuai perhitungan dan pasti terjamin konsekuensinya adalah tidak cukup bijak sama sekali. Rapor yang diberikan manusia bisa salah, sangat mungkin terjerumus kesalahan, menjadi tempat salah dan akan terus dapat disalahkan. Namun tidak dengan rapor yang diberikan oleh Tuhan. Saya perlu ungkapkan ini, karena seperti yang saya sudah bilang, saya mengalaminya secara konkret. Saya merasa apa yang saya sudah nilai adalah benar dan mutlak. Dan ketika saya lihat berseberangan dengan yang saya nilai dari awal, saya kecewa, namun saya berusaha mempercayai dengan yang saya nilai sebelumnya.
Di detik ini, saya mewaraskan kembali,…
Demi yang diajarkan saat pertama kali Adam diciptakan, Saya mempercayai Nama, tapi tidak dengan apa yang melekat dibatang bentuk dan tubuh manapun.
0 notes
Text

Balinang aia mato ambo mandapek kaba baiak dari seseorang yang lah ambo anggap abang, mentor, guru, senior, yang sebentar lagi akan berbahtera rumah tanggo. Apo nan jadi bekal dalam mengarungi Samudra pernikahan?
Teriring kado untuak baraleknyo nanti, alah pasti. Apolai doa untuak keberangkatan mereka supayo sampai pado Sakinah mawaddah wa Rahmah. Tapi abang ko jawek yaitu, “agiah den ilmu”, tumpahlah aia mato tadi nan alah talinang.
(dikarenakan penulis capek juga mikir diksi dalam Bahasa Minang, jadinya diubah ke Bahasa Indonesia)
Sungguh, air mata yang jatuh saat itu adalah air mata bahagia, air mata harapan, air mata terima kasih. Sekelebat banyak sekali memori perjalanan yang mendasar pada awal pertemuan kami saat aku menjadi mahasiswa di Universitas Andalas. Kebetulan abang ini mahasiswa Hukum dan aku mahasiswa Psikologi. Titik temunya adalah ruang sekretariat Seni (Unit Kegiatan Seni) kampus Unand.
Siapa sangka kalau abang ini membaca teori lawasnya Sigmund Freud? Sebagai mahasiswa Psikologi, aku tidak boleh ketinggalan paham daripadanya. Ternyata, memang beririslah pengetahuan dalam bermain seni teater jika tidak dilandasi ilmu-ilmu yang menunjang pementasan. Termasuk Psikologi itu sendiri, sangat dibutuhkan untuk berdrama bahkan menjalani permainan yang dinamakan kehidupan. Tapi pengaruh abang ini ke kehidupanku tidak sampai disitu…
Tidak hanya itu saja, dengan keberadaannya, beliau mengizinkan saya untuk belajar bermain teater. Dibukalah relasi, sehingga kiprahan beliau tidak mengenalkan saya pada rekan-rekan yang ada di UKS, namun juga yang ada di Unit Kesenian Fakultas Hukum Studio Merah. Sepanjang banyak interaksi tak sedikit yang mengira bahwa saya anak Hukum bukan Psikologi. Padahal Psikologi Unand merupakan prodi dibawah Fakultas Kedokteran.
Apakah saya menyesal? Tidak.
Justru saya bersyukur.
Atas ilmu yang aku dapat dari beliau. Juga sekaligus gerbang ilmu itu sendiri.
Selamat berlayar ‘Bang Pi’ di arungan pernikahan dan rumah tanggamu. Salam hangat dan ukhuwah untuk keluarga di sana juga rekan-rekan yang berkat dirimulah aku belajar mengenal banyak kepribadian dan manusia.
0 notes
Text
Susahnya minta ampun saat memposisikan diri sbg atau dituntut sebagai. Terutama dalam konteks mahligai rumah tangga. Dalam pribadi masih banyak kurang sana sini. Namun selalu ada saja ucapan yg dilontarkan untuk meng-embrace diri dari insekuritas plus dengan immaturitasnya.
Belum lagi dgn polemik daya harap yg digantungkan kepada sosok. Mestinya sudah beginilah, sudah harus begitulah, tapi ujungnya ampas. Lagi dan lagi selalu terpampang apakah sebagai pribadi, kita layak menjalani sebagai yg pribadi ini ingin jalani?
Oiya kamu punya potensi, tapi aku tak ingin kamu menjadi. Begitu mungkin yg tersimpulkan.
0 notes
Text
Chapter 1 - Hari pernikahan
Lalu tiba saatnya hari yang disebut-sebut orang sebagai hari yang sakral, hari pernikahan. Dengan ketentuan adat di kampung, aku pun semacam boneka yang hanya bisa menunggu komando sambil duduk di dalam kamar. Hanya diam dan menunggu hingga sepanjang sore didandani tetua kampung untuk siap diantar duduk bersanding di pelaminan dengan Ibumu. Orang-orang yang turut hadir dalam prosesi ini terlihat sibuk untuk kepentingannya masing-masing dalam urusan satu momentum berharga kami.
Hanya dalam lubuk hati kecilku yang mengganggap momen ini sebagai hal yang lain. Aku akan bebas. Ini adalah pelarian terbesar dalam hidupku. Meski ku tahu jarak pelarianku hanya sekitar beberapa ratus meter radiusnya. Tapi setidaknya, secara de facto, aku bisa lepas dari lingkungan yang beracun.
Namun tidak dalam darah di tubuhku, Nak. Dan setelahnya akan jadi pertimbangan bila engkau terlahir, darah beracun ini akan mengalir juga di tubuhmu. Bila racun ini adalah karunia dari Tuhan, maka singkatnya saja Tuhan adalah Yang Maha Beracun dengan segala dosis-Nya. Sisanya tergantung bagaimana kamu menyikapinya Nak, apakah engkau senang atau sedih mendengarnya bahwa aku sendiri masih tidak sudi dengan kandungan darah yang tersimpan dan akan terwarisi ke batang tubuhmu kelak, Nak.
1 note
·
View note
Text
Chapter 0 - Sebelum pernikahan
Barangkali menikah kemudian memiliki keturunan adalah hal yang dicitakan oleh semua orang. Namun tidak bagiku. Dalam pikirku, menikah dan memiliki keturunan adalah hal yang menakutkan dan aku tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk itu. Aku tidak percaya diri untuk menjadi pasangan yang baik nan ideal dan dapat mewarisi sifat yang baik untuk disemayamkan dalam jasadmu, penerus generasiku. Sedang aku tumbuh dari lingkungan yang beracun serta mematikan. Aku khawatir nantinya aku meneruskan zat-zat pembunuh yang jauh lebih berbahaya ketimbang itu.
Hingga di suatu titik, kusimpulkan begini, “Aku tidak percaya dengan pernikahan”. Mungkin itu adalah kalimat sentimentil yang sudah terakumulasi dalam benakku. Membangun rumah tangga kemudian hidup bahagia membesarkan anak-anak adalah utopia. Sepanjang aku menjadi anak, hal bahagia itu justru kandas, dan aku dijejali opsi lain dalam menjalani perkembangan fisik dan mentalku: kehidupan rumah tangga yang tak utuh alias broken home.
Memang, bukan diriku seorang yang berada di posisi anak yang broken home, masih ada saudara dan saudariku yang menjadikan kami harus bertindak lebih mandiri tanpa figur dan peran yang semestinya kami dapatkan. Mendapatkan kasih sayang dan tunjuk-ajar yang berbudi adalah asing bagi kami. Kasih sayang yang kami dapatkan adalah kasih sayang yang berbalut ambisi, amarah, dan dendam atas Ibu kami dalam kehidupan yang Ia jalani: sebagai Ibu tunggal.
Sudah berkali-kali pernikahan dicecap oleh Ibu. Namun hasilnya nihil. Bahteranya kembali roboh dan karam. Dan kami lagi-lagi mesti mengayuh di atas pecahan kayu yang terombang ambing agar kami tetap bernafas dan selamat melanjutkan hidup. Dari situ mengapa ku katakan, aku tak percaya bila bahtera rumah tangga akan sampai pada tujuannya. Selain berlayar, bahtera rumah tangga ada hanya untuk karam. Aku tidak percaya dengan pernikahan. Mengenai pembentukan karakter dan didikan, Ibuku akhirnya mempercayakan lembaga balai pendidikan pesantren agar aku dapat terarahkan sesuai dugaan Ibu. Ibu akhirnya memilih itu karena ia telah gagal jadi madrasah bagiku. Pernikahan Ibu tidak menjamin pengasuhanku untuk tumbuh besar seperti normalnya anak-anak yang lain. Dan bagaimana bisa aku berani bertemu denganmu, Nak?
Rantai lingkaran setan ini harus kuputus. Itu apabila aku bertemu dengan sosok pasangan yang dapat membantuku untuk itu. Sosok siapa yang tepat untuk itu, aku pun tak tahu, Nak.
Kemudian suatu ketika, di bulan tiga tahun 21, aku berkenalan dengan Ibumu.
Belum cukup kepercayaan diriku terhadap pernikahan yang masih mengganjal di pikiranku hilang, hal lain yang menjadi momok dan beban menyusul menghampiri. Kala aku awal mengenalnya, aku masih menjalani proses studi magisterku di perguruan tinggi. Beruntung pemain-pemain kehidupan yang terlibat dalam status broken home-ku turut serta mendukung studiku. Sebab secara mandiri, aku tidak meminta kepada mereka untuk mencabut status broken home-ku. Biarkan status ini kugenggam asal aku dapat melanjutkan kehidupan seperti apa yang aku inginkan. Namun, imbasnya, dalam posisiku yang masih dalam menjalani studi, secara finansial, aku sangat jauh dari kata mapan untuk berumah tangga. Makin besarlah gundukkan rasa minderku untuk menikah.
Dengan ‘status’ yang membayangi bagaikan kutukan, aku jera melihat kisah-kisah pernikahan yang baru saja berlayar kemudian usai tanpa gejala. Seperti yang kulihat dari pengalaman Ibu. Dia sudah beberapa kali membangun rumah tangga kemudian roboh, tetapi masih saja mempercayai dan menginginkan sebuah pernikahan sekali lagi. Dalam memaknai kehidupan, tiap dari kita memang berbeda. Itu mengapa, dia masih ingin percaya dengan pernikahan, sedang diriku yang saat itu belum menikah saja tak ingin percaya dengan pernikahan.
Nak, pertemuan aku dengan Ibumu bermula dari perjodohan melalui warga dari kampung halamanmu. Hal itu memang sudah biasa dan jadi sesuatu yang lumrah, karena mungkin dapat sama sama kita pahami, bahwa mengenali seseorang yang terdekat dari wilayah kita saja membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit, apalagi bila ingin mengenal seseorang dari wilayah yang kontras berbeda jauh dari kita. Di sini, dengan adat tradisi nan mengental di budaya ini, aku dengan Ibumu merupakan tipikal yang lebih memilih untuk tidak beririsan dengan hal-hal konvensional. Ironinya, kami dipertemukan oleh hal-hal yang konvensif. Apabila tidak menuruti, kehidupan serasa bukan milik kita yang menjalani, seolah banyak sekali pantauan, cibiran, dan gunjingan yang akan siap dilontarkan ke kita apabila tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Sekali saja tersandung, akan banyak yang menyalahi kita. Lalu dapat dibayangkan selanjutnya, kita akan cari objek lain untuk bisa kita salahkan bahkan saling menyalahi, dan seterusnya begitu hingga rantai ‘penyalahan’ akan kian memanjang di sepanjang peradaban manusia.
Urusan apakah yang aku ceritakan ini benar atau salah, bukanlah fokus utamanya. Selagi pengalaman adalah hal yang subjektif maka kebenaran akan terasa relatif. Katanya, dibutuhkan barang berupa ‘empati’ agar kita mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Naasnya, virus egoisme dalam tiap diri kita menjadikan kita manusia yang tuna-empati.
Aku mencoba menyeimbangkan rasionalitas dengan perasaaan dalam bercerita kepadamu, Nak. Selanjutnya, aku bercerita tentang masa-masa aku menikahi Ibumu.
2 notes
·
View notes
Text
Bagaimana aku bisa siap untuk melihat kehadiranmu, Nak?
Jauh selama aku hidup belakangan ini, banyak hal yang akan aku ceritakan kepadamu. Tapi, sebelum kuceritakan, bilamana kamu hadir terlahir, aku tak mau kalau cerita yang akan kusampaikan kepadamu akan mengubah pandanganmu terhadap hidupmu sendiri. Tetaplah maknai hidupmu dari apa yang kamu alami, Nak. Bukan dari apa yang kualami.
0 notes
Text
Kumpulan fiksi mini
• Akibat pulang pagi
perhelatan malam mencari pagi namun mentari enggan menyapa kedurjanaan dan dosa dalam perutnya.
• Zodiak
perbincangan ini tak akan habis mengupasnya satu-satu tentang dirimu dan mengkait-kaitkannya denganku, dan itu semua tak berujung kau untukku.
• Hati-hati beli obat
mau yang mimpi sementara atau mimpi selamanya? Tanya apoteker muda bertato setengah wajah.
• Tangisan ibuku
kau tahu? kau naik kelas bukan karena kau pintar! Bentak kepala sekolah sembari membetulkan resletingnya.
• Cinta mati
aku ingin bangun dari memimpikanmu. tapi mengapa ku lihat tubuhku terbujur di pembaringan? Inikah akhir dari memperjuangkanmu?.
• Derita berujung tragedi
Nak, kemarilah! Makanan sudah siap. Ayah mana bu?. Sudahlah makan saja dulu. Dia sudah bersama kita sedari tadi.
• Kepulangan
ku menunduk di depan batu bertuliskan namamu. ku antar kau pulang secepat itu. Ku taruh bekalmu dan ku tancapkan disini untuk dapat kau minum di kala haus atau merasa sepi.
• Ruang dan waktu
kita melakukan gerak yang sama, aktifitas yang sama, suasana yang sama, dan di tempat yang kelihatannya sama. - 23.05 , 1532015
• Paradox of choice
lebih dari peliknya kebingungan rakyat menghadapi kekrisisannya. Sebab keputusan tak boleh buru-buru.
• Birokrasi mati suri
Syarat dan ketentuan surat-surat harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika tidak, anda tidak diperkenankan untuk masuk. Pulanglah! Bentak malaikat. - 09.05 1632015
• Riasan jabatan
Setelan kemeja dan jas yang dipakai serta celana juga sepatu pantopel yang dikenakannya menggambarkan dirinya sebagai orang penting. Seakan kerepotan mengurusi perkara tentang rakyatnya. Dia pun bekerja tanpa mengurangi tingkat kelicinan dari setelan yang dipakainya. - 23.09 26092017
• Gawai
Kami pun berkumpul dalam sebuah ruangan dan meja dengan jiwa dan pikiran yang berkelana masing-masing di antara kami. - 23.36 26092017
• Ideologi
Dan mereka semua saling berdebat perkara sejarah. Tentang nasib bangsa. Juga tentang sebuah negara. Hingga “perang”-lah solusi dari sebuah kebuntuan masalah. – 00.12 27092017
• Memutilasi dalam pikiran
Dasar brengsek! Bangsat! Mati kau! – 00.17 27092017
0 notes
Text
Tuhan dalam Peradaban
Tuhan dalam Peradaban
Di dalam sebuah masa, setiap manusia yang hidup di zaman itu memiliki keinginan untuk menjadi Tuhan. Mereka beranggap menjadi hal yang sempurna adalah sebuah trend. Layaknya Tuhan. Sempurna tanpa cacat. Akhirnya mereka berlomba-lomba untuk bisa menjadi Tuhan. Mereka yang di dalam golongan penulis berusaha menulis sebaik mungkin hingga dapat setara dengan tulisan Kitab Suci, dan mampu dijadikan pedoman yang sempurna kemudian diikuti oleh banyak umat. Adapun mereka dari golongan medis berkutat meneliti menciptakan obat-obat hingga dapat menyembuhkan kematian dan juga menemukan virus yang dapat menciptakan ancaman bencana untuk umat manusia sehingganya mampu mengontrol nafsu bebas manusia.
Demikian juga dari golongan seniman berusaha mengintegrasikan isi khayalnya yang fiktif menjadi nyata dan memberikan gambaran senyata-nyatanya hingga dapat merasuki jiwa dan pikiran manusia. Lebih hebatnya dari golongan politikus yang berusaha mati-matian agar hidup kembali menjadi Tuhan yang berkuasa di tanahnya, di negaranya, di muka bumi yang dianggapnya adalah miliknya dan segala isinya atas kuasanya. Lucunya, ada dari golongan anak-anak yang berkemauan kuat menjadi dewasa agar dapat memberikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak terbantahkan kepada calon generasi di golongannya. Banyak golongan-golongan yang berusaha memacu dirinya menjadi sempurna persis Tuhan dengan segala kemampuannya yang sempurna. Singkatnya, mereka ingin menjadi Tuhan.
Kemudian, datang segolongan komedian yang menjelma sebagai Iblis. Menyebar ke dalam semua golongan untuk menyerukan sebuah gerakan bahwa tidak perlu menjadi Tuhan. Menjadi Tuhan adalah pekerjaan yang melelahkan. Kita semua bukan Tuhan yang seutuhnya. Kita hanya dibekali sebagaian dari Dirinya-Nya berupa Nafas (Ruh) sisanya kita semua terkomposisikan sebagai Tanah. Tenang mengendap lalu dengan diam-diam menumbuhkan sesuatu dari benih yang telah ditanam-Nya. Begitulah pemikiran mereka yang mereka kemaskan lalu dihantarkan menjadi lelucon yang siap dihidangkan kepada golongan-golongan yang berambisi menjadi Tuhan.
Selalu ada konflik dimana-mana saat kumpulan golongan Iblis menyebar ke tiap-tiap golongan Tuhan. Di saat salah satu calon Tuhan berupaya sedangkan salah satu utusan kaum Iblis mengatakan, “Udahlah, jangan terlalu dipaksakan. Nanti hasilnya nggak bagus. Lemesin aja. Biar lemes, ngopi apa ngopi. Udah ngopi belum?”. ada juga yang lain mengatakan, “gimana sih kalian ini, masa semua ingin jadi Tuhan? Kalau nanti ada yang berselisih paham bakalan perang antar calon Tuhan dong?”. Beragam macam daya dan upaya kaum Iblis untuk melunturkan semangat dan ambisi mereka yang dari golongan Tuhan. Kaum Iblis mencemooh tindakan mereka, meledek, bahkan ada juga yang menghasut mereka hingga timbul perselisihan yang nyata antar calon Tuhan untuk membenarkan apa yang dikatakan para Iblis bahwa menjadi Tuhan memanglah melelahkan. Tidak ada guna. Bagi mereka, Tuhan itu satu. Tidak menyerupai apapun, tidak diperanakkan, dan tidak pula beranak. Demikian pendapat salah satu dari mereka yang bergolongan Iblis seraya mengatakan, “Jangan menjadi Tuhan. Menjadi Tuhan itu berat. Biar Dia saja yang pantas menjadi Tuhan. Aku khawatir kamu menjadi berdosa akibat menyaingi-Nya”.
Hanya sedikit dari golongan Tuhan yang bertaubat dan ikut dalam kesesatan yang diusung oleh para kaum Iblis. Tidak luput dari mereka yang bergolongan Tuhan memprotes seruan para kaum Iblis yang berusaha menyesatkan mereka. Mereka melawan, “kamu ini tahu apa? Justru dengan adanya keterlibatan zat-Nya ke dalam tubuh kita maka kita berhak berlaku layaknya Dia!”. “ah, dasar kamu ini para ciptaan dari api, bisanya cuma ngompori. Sory ye, kita mah nggak bakalan angus dipanas-panasi kalian”.
Singkat cerita, dua kubu tersebut saling beradu pengaruh hingga terpicunya gejolak perang fisik dan perang pemikiran untuk dapat memunculkan trend yang disepakati di peradaban tersebut. Hingga sekarang akhir dari perselisihan dua kubu yang telah diceritakan belum menuju penghabisan cerita. Tamat.
0 notes
Photo

Gue : Ma, dulu sebelum ada senapan angin gimana cara nangkep tupai ?
Nyokap : dulu pake apa itu namanya, yang ditarik2 gitu.. westafel.
Gue : KETAPEL ma, bukan westafel 😑
0 notes
Text
Nyanyian jiwa yang parau
Dikatakan kepadaku, "semua orang mengantongi aibnya, celanya, sama seperti mereka mengantongi amalannya dan jasanya". merenungi pesan itu jadi berfikir untuk tidak perlu repot-repot menghitung jumlah segala yang tersimpan di kantongnya. itu bukan tugasku. lakukan seperti apa aku dan siapa aku.
Keadaan boleh morat-marit tapi tidak harus berlaku juga padaku. memahami keadaan di sekitarku adalah suatu kearifan. dan memahami diriku sendiri adalah suatu pencerahan. masih ada terfikir bagiku soal penolakan?
Dalam Ketentuan-Nya telah diterimanya proposal dariku untuk bisa ada di dunia ini. sebagai apa aku dan juga tugasku. ibarat aku disini memang menjalani misi sampai tuntas hingga aku bisa bersyukur telah diterimanya aku di kehidupan ini.
Disini, aku bebas mengantongi apa saja. seperti yang sudah dibilang barusan. semuanya dikumpulkan dan diserahkan kembali pada Hisab yang mutlak. disana pasti diterima kembali padaku rapor yang sesuai dengan proses disini. "Rapor di akhirat lebih mutlak daripada rapor dunia", begitulah katanya.
Dan ku amini itu. setelah laporan pertanggungjawaban itu diserahkan, tinggal menunggu keputusan akan golongan mana diriku dimasukkan? apa modalnya untuk kembali? diriku menduga jawabannya tergantung pada LPJ tersebut.
Modal awal bagiku untuk ada disini hanyalah dua kalimat syahadat. syahadat pertama adalah bentuk keikhlasan untuk mengemban amanatku ada disini. dan modal kedua adalah patron yang jadikan kesepakatan tentang apa yang perlu ku galangkan untuk modal kehidupan di selanjutnya. kalau tidak salah ingat ada tawaran yang dijanjikan; berupa surga dan neraka jawabannya.
Diterima di sana itu pasti. dimasukkan ke dalam golongan tempatnya yang mana yang tidak ku ketahui. entah mungkin ini adalah sebuah imanku terhadap Kepastian? yang jelas aku disini akan terus berusaha menjalankan misi. misi sebagai apa aku ada disini, siapa aku dan siapa Diri-Nya.
Entah mengapa ku tidak tertarik pada dua jawaban itu. surga dan neraka. yang jelas dan yang pasti aku akan pulang hingga ini semua tertuntaskan. baik itu tuntas secara tugas atau tuntas secara keadaan dan kondisi.
Tapi sebelumnya ada yang sedikit mengganjal benak, apa pasti semua laporanku diterima? bagaimana jika dibalikkan lagi kepadaku? apa yang kurang? jika seperti itu jadinya bisa terasa bahwa keadaannya membuat kembali tak menentu. morat marit lagi deh pembawaannya. bikin gentayangan kemana-mana.
Mungkin saja ada kembali sebuah penolakan?
Jika iya, apa semua ini atas ingin-Nya atau inginku? apa ingin-Nya untuk bisa diterima oleh-Nya? terserahlah hasil penentuannya apa berdasarkan isi kantong. aku hanya kembali mempertanyakan soal kepastian laporan itu diterima.
Memberontak bisa menjadi sikap atas penolakan. pemberontakan jadi manifestasi atas ketidakikhlasan pengembanan tugas. kuncinya ikhlas. dan ikhlas didasari rasa jujur untuk berlaku dan berperilaku disini. detik ini sempat terfikir akan penolakan, maka di detik ini juga kembali mencari jawaban agar itu tidak terasa meresahkan.
Disinilah yang mengherankan. dimana ku menemukan kuncinya yaitu jujur, malah ada slogan yang lumayan beredar luas bahwa menjadi jujur itu miskin. jujur ke diri sendiri memiskinkan kah? sadar terhadap diri sendiri adalah kemelaratan?
Jika itu benar adanya, maka aku adalah miskin dan melarat. yang kaya hanyalah Dia. apa yang perlu dikantongi supaya menjadi kaya? maksimum serupa kayanya Dia. dan jika inginnya seperti itu, siapa aku dan siapa Dia?
Ku tak mau lagi mengintip isi kantong ada yang di sekitarku. bisa jadi slogan yang tadi disebutkan agar kita sama-sama urunan dan menyerahkan kepada-Nya. loh, memang ini semua tugas kelompok? perlu ditanyakan kepada insan yang terlahir kembar walau dengan urutan kelahiran yang berbeda tipis.
Nyanyian renungan ini menjadi penasehat diri sendiri. aku bisa jadi sama denganmu. bisa jadi beda denganmu. sama atas dasar ciptaan (manusia istilahnya) dan beda atas dasar embanan yang diterimanya (walaupun dikatakan tugasnya sebagai khalifah, yang mengganggu kita bertugas malah jadi beda capaian).
Yang ngerecoki penugasan selalu ada. siapa bilang kalau bertugas gada yang menggangu fokusku. kalau boleh menghimbau, tolong jangan jadi setan. dan untukku, jangan sampai jadi setan.
udah gitu aja.
#repostdarifb
0 notes
Text
Nggak mau keliatan takut dalam menulis.
Biasanya gue bakalan nulis puisi buat curahin perasaan gue maupun apa yg gue pikirin. Lambat laun gue merasa puisi untuk terapi gue sendiri. Sejalan dalam 'terapi' gue kala itu, gue ga berpikir gue sedang terapi. Yg gue pikir gue curahin semua apa yg rasa dalam bahasa gue dan cara gue untuk gue ketahui sendiri apa maksud dan penekanannya yg gue rasain. Dalam puisi-puisi gue ada yang kontras, ada juga yang absurd, dan ada juga yang ambigu.
Sepanjang proses seperti itu mulai berganti dasar yg tadinya ini semacam self-therapy jadi latihan untuk belajar sastra dan menulis sastra. Gegara itu mulai timbul kompetisi dgn rekan2 yg memiliki minat searah dgn hal yg berbau sastra. Gue pun sebenarnya ga peduli amat dgn sastra. Tapi gue orangnya suka membaca. Semua ragam buku gue baca asalkan gue punya bukunya.
Nah dari situ gue mulai nyadar masalah tulisan2 yg udah pernah gue sambangi itu hanya sekedar gaya berbahasa. Beberapa tulisan ada yg kaku. Ada juga yg luwes. Yang kaku dgn maksud mudah terukur penyampaiannya. Dan yang luwes biar bisa dikembalikan lagi kadarnya pada taraf di pembaca.
Gue gada tujuan untuk jadi penulis atau gimana. Gue masih bertumpu pada niatan awal untuk 'mencurahkan' semua yg bisa jadi sampah2 pikiran yg ada di kepala gue. Gue kadang ga tegaan kalau buang sampah ke telinga banyak orang yg udah gue anggap teman dekat, sahabat, atau apalah istilah lainnya. Lebih baik dgn cara menulis gue buang apa yang perlu gue buang. Halusnya, gue bagi apa yg perlu gue bagi (itu pun kalau berguna apa yg didapati)
Maka dari itu, cuma dari apa yg gue temuin bahwa tulisan itu macam2 pola dan gayanya. Disini gue ga mau khawatir dgn komentar2 tentang tulisan gue. Sering gue dapatin selama revisian skripsi. Dan itu tempat tulisan dibuat sekaku mungkin. Mau nggak mau, sudi tak sudi, gue harus mencoba kaku di dunia sana. Memang di saat itulah cobaan mulai menerpa.
Gue cemas terhadap diri gue kalau dari dunia sana dan kembali ke dunia sini gue malah takut untuk menulis. Terkadang gue sempat mikir tentang komentator2 tersebut apakah mereka pernah menulis dan mempublikasikan tulisannya?
Gue nggak terlalu khawatir soal proses skripsi. Yang gue mau gue nggak mau khawatir lagi untuk menulis.
0 notes
Text
Aku, kamu, dan Kita
Jika memilikimu itu puncak dalam memperjuangkanmu, maka kamu tak lebih dari sekedar properti
Jika menyayangimu adalah alasan untuk mendapatkanmu, maka ketahuilah bahwa sayang merupakan kata
Jika melindungimu itu ambisiku dalam bertahan hidup, maka akulah spesies langka yang butuh konservasi
Jika hidup dan mati bersamamu adalah tujuan akhirku, maka kedudukanmu sama dengan entitas Tuhan.
Aku ingin bersamamu lebih dari alasan-alasan itu
Semoga dengan mencintaimu, aku merasa layak untuk hidup.
0 notes
Text
Puisi
Aku hanya ingin bisa menulis Tak peduli seberapa banyak baris Tuk gambarkan kamu secara praktis Dan ungkapkan rasa ini dengan cara yang lebih manis
Aku mencoba menulis Di dalam ketenangan sepi dan ramainya lamunan Ditemani secangkir kopi yang hampir habis Masih tertatih penaku menggoreskan
Aku pun menulis “kamu adalah sekeping hati yang dicipta untuk melengkapi sekeping hati pada diriku”
ulakan tapakis, 02 Oktober 2016
0 notes
Text
Beribadah
Nona, kamu tahu? Puasa itu menahan Dan aku sedang puasa Puasa rindu yang dimulai dari terbenamnya punggungmu di pandangan Hingga terbitnya wajahmu di pertemuan
Perkara godaannya tentu nona juga tahu bukan? Dalam menahan, iman diperlukan sebagai kesetiaan Meminta kekuatan sekaligus penyadaran Bahwa engkaulah nona, tujuan akhir untuk kemenangan Suatu saat, di hari yang mana fitrah kita dipersatukan
Nona, tentunya aku tak lupa Sebelum kemenangan itu tiba Ada mahar yang dibayar Sebagai pelunasan atas nama kesucian Semoga rahmat dan berkat menaungi kita
0 notes
Text
Sebuah Kejutan
Aku hanya bisa menerka namun tak mampu meyakinkan Perihal pertemuan yang sebatas jarak perkenalan Tanpa nama Tanpa keintiman Cuma pertemuan dua insan ala kadarnya
Jauh sebelum itu Sebelum pertemuan singkat itu Diriku hanya terkagum dari jauh Lalu menginginkan pertemuan diam-diam harap Meminta sang kala mempertemuan jadwal temu Dengan cara yang semestinya Tanpa rencana Juga tanpa propaganda
Dan sang kala memberikan kemurahan hatinya Terhadap harapku yang ku anggap itu isapan jempol belaka Tak jemu menghadiahkan kejutan-kejutan Dengan adanya auramu yang mendekati bayangku Dan jelas, ku tak sangkakan itu
Kini, tetap ku tak tahu akan namamu Belum ingin meyakinkan Namun auramu tetap terpatri dalam ingatan
Ibnu Biat, Ulakan Tapakis, 18 September 2017
0 notes
Text
Dipandang pincang asalnya
Untukmu yang sedang menjaga wibawa Ku kabarkan dari sekarang Bahwa nilai harga dirimu hanya sekedar Barang sembako di pasar Yang bisa kau naikkan jika kau anggap posisimu sedang terdesak
Kau tak belajar arti menerima dengan ikhlas Kau tak belajar arti berjalan beriringan bersama Yang kau pelajari hanya menikmati puncak posisi kekuasaan saja
Kepemimpinanmu palsu Diplomasimu semu Kau hanya mencari nama saja Bukan ikut memajukan peradaban Otakmu hanya diimingi sikap sok kepahlawanan Padahal kau hanyalah Sampah-sampah perjuangan
25 maret 2016
0 notes
Text
Disela-sela baitku yang belum rampung, selalu kehilangan akal dan kata untuk menyempurnakannya. puisiku cacat. dirimu utuh. astaga,..aku masih juga belum sadar,.. diriku tidak cocok untuk hal yang beginian.
0 notes