Tumgik
a-bunch-of-myrtle · 7 months
Text
‘save ten percent of yourself’
Satu detik setelah Anne resmi menjadi seorang junior corporate lawyer, Anne langsung ditugaskan untuk mengumpulkan berita-berita, video-video, serta informasi apapun yang berhubungan dengan kasus yang sedang ditanganinya bersama para senior associates yang tergabung dalam tim.
Pekerjaan yang ditangani Anne waktu itu adalah sebuah Perusahaan yang hampir pailit. Berdasarkan putusan pengadilan, akhirnya tercapai Homologasi[1] antara kreditur dan debitur yang salah satu butir perjanjiannya menyatakan bahwa piutang para kreditur akan dibayarkan melalui lembar saham perusahaan.
Informasi-informasi yang Anne dapatkan kemudian dituangkannya dalam internal memo dalam folder khusus bernama ‘Informasi Penting’. Setiap tiga jam sekali pada sela-sela pekerjaannya, Anne akan mengecek berita-berita, video-video, serta informasi lain yang berhubungan dengan perusahaan tersebut. Bahkan, obrolan remeh temeh sopir pegawai di perusahaan dianggap sebagai informasi penting. Semuanya tidak boleh terlewat.
Pada mulanya, Anne tidak memahami apa tujuan terkait tugas itu. Anne pikir, “Kerjaan yang ini sebenarnya bisa dikerjakan oleh orang lain, tapi kenapa harus dikerjakan oleh lawyer?”
Beberapa hari kemudian, barulah Anne menemukan jawaban tersebut dan menyadari betapa sombong pemikirannya saat itu.
Ternyata, detail-detail kecil yang dianggap hal sepele oleh orang-orang adalah penentu besar kejadian selanjutnya.
Misalnya, bagaimana informasi-informasi itu akan menjadi data-data dan narasi terkait kondisi dan penilaian perusahaan yang tertulis di salah satu bagian prospektus dan akan dibaca oleh calon pemegang saham. Data-data itu kemudian bisa menjadi salah satu faktor penentu dibeli atau tidak dibelinya saham sebuah perusahaan oleh para pemegang saham terdaftar atau calon pemegang saham lainnya.
Sepertinya, hal demikian juga berlaku untuk hal-hal lain di dunia nyata.
Detail-detail kecil yang seringnya dianggap tidak penting oleh orang-orang, seringkali merupakan potongan puzzle penentu untuk kejadian yang lebih besar.
Setelah pamit lebih awal dari acara makan nasi goreng bersama Adam beberapa minggu lalu, Anne meyakinkan dirinya bahwa dirinya tidak merasakan perasaan apapun kepada Adam. Anne meyakini bahwa dirinya tidak berdebar ketika bersama Adam.
Seingat Anne, ketika mereka akan bertemu untuk makan nasi goreng beberapa minggu lalu, Anne tidak melakukan persiapan-persiapan khusus seperti orang jatuh hati yang akan bertemu dengan pujaan hatinya. Misalnya, bingung memilih busana yang akan dikenakan olehnya.
Anne bahkan bisa menjamin bahwa dadanya tidak akan terasa sakit apabila tidak sengaja berpapasan dengan Adam ketika laki-laki itu sedang bersama dengan kekasihnya.
Hanya saja, sore ini, ketika Anne mengambil alih pekerjaan juniornya di kantor untuk mengumpulkan informasi seperti apa yang dilakukannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di dunia lawyering, Anne terdiam beberapa saat
Rasanya seperti ada sentilan es yang tiba-tiba menghantam otaknya.
Lalu, Anne tiba-tiba teringat pada Adam.
**
Sekitar pukul sembilan malam, Anne memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya di apartemennya. Setelah seharian melakukan meeting tatap muka di kantor dengan para clients dan associates lain, Anne berpikirr bahwa menghadiahi dirinya segelas hot tea beraroma mawar adalah keputusan yang tepat.
Maka, sebelum pulang, Anne mampir ke salah satu café dan memesan dua gelas hot tea beraroma mawar dan vanilla. Satu gelas minuman itu akan dinikmati Anne di café dan di sepanjang jalan menuju apartemennya. Sedangkan, satunya lagi akan dinikmatinya di apartemennya.
Café ini letaknya di lantai dasar Pacific Place Mall, sebuah mall yang ada di kompleks gedung kantor Anne.
Anne suka mall ini. Dalam hidup Anne, dirinya melakukan banyak hal pertama di dunia kerja di sini; lunch pertama dengan para lawyers di tengah-tengah deadline, meeting pertama bersama clients, dinner pertama dalam rangka perayaan keberhasilan proyek, farewell pertama dengan kolega, dan banyak pertama-pertama yang lain.
Dulu, ketika dirinya baru menginjakkan kakinya di dunia lawyering, Anne pasti membeli segelas hot tea beraroma mawar setiap kali menyelesaikan pekerjaan harian yang baru baginya. Atau, apabila dirinya merasa tidak bisa bernapas saking stressnya.
Anne baru sadar bahwa ternyata masa-masa itu terjadi beberapa tahun lalu. Itu adalah masa-masa awal di mana Adam tidak pernah singgah lagi di ingatan Anne. Lalu, ingatan Anne perihal Adam berangsur-angsur menguap dan menghilang.
Seorang teman Anne menelepon ketika dirinya menikmati segelas hot teanya.
“Anne!” ujarnya di seberang telepon, “Gue putus! Ahahah!”
Anne meneguk tehnya sebelum berkata, “Bukannya lo baru jadian bulan lalu, ya?” tanyanya.
Temannya di seberang telepon itu mengiyakan, “Tapi, gue merasa enggak disayang! Masa dia lebih perhatian waktu masih jadi teman biasa? Kan gue emosi jadinya. Hahaha…, ya sudah, gue putusin.”
**
Beberapa tahun belakangan, Adam pergi berkencan dengan beberapa perempuan.
Perempuan-perempuan itu bisa membuat Adam menjaga ingatannya tentang Anne dengan baik.
Adam selalu mengenalkan perempuan-perempuan barunya pada keluarganya.
Pun mengajak perempuan-perempuannya untuk menghadiri pernikahan orang-orang di lingkar hidupnya. Lalu, pada pernikahan-pernikahan itu, Adam akan mengenalkan perempuan yang dilabelinya sebagai kekasihnya pada teman-temannya di sana. Pada tiap-tiap acara pernikahan itu, Adam dan perempuan-perempuannya tidak pernah lupa merapalkan kata ‘aamiin’ ketika ada yang mendoakan agar merekalah yang bersanding selanjutnya.
Hubungan Adam dan perempuan-perempuan barunya seringkali menjadi pembicaraan teman-temannya. Katanya, hubungan mereka adalah hubungan yang diidam-idamkan. Couple goals.
“Romantis sekali!” itulah yang biasanya dikatakan oleh orang-orang yang mengenal Adam dan perempuan-perempuannya.
Hanya saja, sebenarnya Adam masih belum bisa menghilangkan perasaannya pada Anne. Anne seperti sebuah paku yang menancap di jiwanya.
Anne seperti mengalir pada darah yang mengitari tubuh Adam sehingga Adam tidak bisa melakukan apa-apa selain melanjutkan hidupnya meski Anne ada di mana-mana. Segala hal tentang Anne masih menjadi penghuni tetap ingatannya setelah bertahun-tahun meskipun mereka berdua tidak pernah berinteraksi lagi untuk waktu yang lama.
Barangkali, itulah sebab Adam merasakan debaran menyenangkan dari jantungnya ketika mereka berdua tidak sengaja bertemu di sebuah hotel beberapa bulan lalu. Atau, ketika mereka pergi menyantap nasi goreng beberapa minggu lalu.
Setiap kali mengingat Anne, Adam masih membayangkan perempuan itu sebagai sebuah tebing besar menakjubkan yang berdiri kokoh di tengah laut. Steady and firm.
Bahkan, seumur hidupnya, Adam tidak pernah mengingat dan memandang seseorang seperti caranya mengingat dan memandang Anne.
Pada suatu Senin beberapa tahun lalu, setelah Adam dan Anne membicarakan tentang sebuah film berjudul Eternal Sunshine of the Spotless Mind, mereka berdua pergi ke sebuah gerai es krim yang terletak di jantung kota. Anne suka interior tempat itu. Dan mereka berdua suka es krim. Maka, Adam dan Anne sepakat untuk pergi bersama.
Adam bisa mengingat dengan jelas bagaimana hari itu berlangsung.
Adam ingat bagaimana nada suara Anne yang menggebu-gebu ketika mengemukakan pendapatnya tentang film-film atau serial TV yang ditontonnya.
Adam ingat bagaimana Anne menceritakan tentang serial TV berjudul Game of Thrones dan bagaimana serial TV itu menjadi tugas mata kuliah seorang kenalannya.
“Tahu nggak, sih, Game of Thrones, tuh, jadi tugas salah satu kenalan aku yang ada di jurusan Hubungan Internasional, lho! Kata dosennya, mereka bisa belajar cara diplomasi dari Game of Thrones!” Begitulah apa yang dikatakan Anne hari itu. Es krim di mangkuk Anne sudah hampir mencair seluruhnya karena dirinya berbicara sejak tadi tanpa menyentuh es krimnya.
Adam mengangguk-angguk. Dirinya senang mendengarkan Anne berbicara.
Seandainya perkataan Anne adalah sebuah podcast dengan ribuan episode, maka Adam akan mendownload semua episodenya dan memutarnya berulang-ulang kali.
“Menurut kamu, gimana kalau Joel enggak melupakan Clementine?” Anne bertanya. Pembahasan mereka kembali kepada film berjudul Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tangan Anne mulai menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya, “Katanya, ending filmnya, tuh, di skrip awalnya nggak kayak gitu. Pada akhirnya mereka tetap ingat sama satu sama lain.”
Adam ingat bagaimana Anne dan dirinya memotret satu sama lain hari itu. Lalu, menertawakan pose tidak siap mereka yang diabadikan oleh kamera smartphone masing-masing.
Adam bahkan masih menyimpan foto-foto hari itu. Adam masih mengunjungi foto-foto itu sesekali.
Adam pikir, setelah apa yang terjadi selama ini, Anne akan menyadari bahwa Adam menyukai dirinya. Adam yakin bahwa Anne juga punya perasaan yang sama terhadapnya.
Hanya saja, setelah kegiatan makan es krim mereka dan vinyl The White Albums dari The Beatles yang diberikannya kepada Anne, ternyata tidak terjadi apa-apa.
Adam mengharapkan sebuah pesan dari Anne perihal vinyl yang diberikannya di kedai es krim hari itu.
Adam tahu bahwa Anne menyukai The Beatles. Maka Adam menghadiahi Anne vinyl The Beatles yang khusus dibelinya jauh-jauh dari kota lain untuk Anne.
Adam dan Anne sering membicarakan The Beatles bersama. Mereka bahkan punya lagu-lagu favourite yang sama.
“Oh my God! Legit definition of ‘Here Comes the Sun’ for me!” Adam ingat bagaimana mata Anne berbinar ketika menerima vinyl The Beatles yang diberikannya.
Atau, bagaimana Anne langsung memeluk bungkus segi empat yang membungkus vinyl itu erat-erat.
Little darlin', it seems like years since it's been here…
Adam ingat senyum lebar Anne hari itu. Bertahun-tahun lalu.
Adam pikir, dirinya mengenal Anne dengan baik.
Dalam bayangan Adam hari itu, Anne akan mengiriminya pesan. Kemudian, obrolan mereka berlanjut dan Adam akan mengirimkan sebuah kalimat yang menyiratkan bahwa dirinya menyukai Anne.
Hanya saja, bayangan Adam perihal momen-momen itu tidak pernah terjadi.
Obrolan mereka berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Adam tidak mengutarakan perasaannya. Pun tidak ada tanda-tanda bahwa Anne menyukainya.
Sejak hari itu, Adam meyakini bahwa seharusnya dirinya tidak mempunyai keyakinan yang demikian perihal dirinya dan Anne.
Mungkin, Anne tidak menyukai dirinya seperti dirinya menyukai Anne.
Maka, beberapa bulan setelah itu, Adam memutuskan untuk membenahi hatinya. Lalu, berkencan dengan seorang perempuan yang dikenalkan teman-temannya kepadanya.
Sesekali, Adam mengintip kehidupan Anne melalui sosial media perempuan itu. Atau, menanyakan kabar Anne melalui kenalannya.
Di dalam hati Adam, Adam berharap bahwa Anne akan menunjukkan sedikit rasa sedih atau patah hati karena Adam telah bersama dengan seseorang lain.
Hanya saja, hal itu tidak pernah terjadi.
Sebaliknya, Anne seakan-akan menjadi tebing yang semakin tidak akan pernah bisa digapai oleh Adam. Anne menjadi semakin kokoh dan tidak tergoyahkan.
Studi Anne menakjubkan, karier Anne melesat dengan cepat, senyuman Anne selalu bersinar pada tiap-tiap foto yang Adam temukan.
Selain itu, Anne terlihat semakin bahagia.
Maka, Adam mencoba untuk memfokuskan dirinya pada perempuan-perempuannya.
Kekasih pertama Adam adalah seorang perempuan dengan belasan ribu followers di sosial medianya. Binatang kesukaan perempuan itu adalah jaguar, sama seperti binatang kesukaan Anne.
Kekasih Adam berikutnya merupakan seorang perempuan yang bekerja sebagai seorang pegawai negeri di tahun ke empat setelah kelulusannya. Kekasih keduanya itu menjaga ingatan Adam tentang Anne dengan baik. Kekasih keduanya dan Anne memiliki hobi yang sama.
Satu tahun lalu setelah Adam putus dengan kekasih keduanya, Adam memulai hubungan dengan seorang junior di klub debat Anne. Ketika kekasih ketiganya itu mengetahui bahwa Adam mengenal Anne, kekasih ketiganya memekik girang. Katanya, “Kok kamu bisa kenal Kak Anne?!”
Sebenarnya, Adam sudah mulai melupakan Anne semenjak dirinya bersama dengan kekasih keduanya. Meskipun kadang-kadang ingatan tentang Anne tiba-tiba muncul di benaknya. Namun, ingatan-ingatan itu hanya sekelebat saja.
Kemudian, ketika memulai hubungannya dengan kekasihnya yang ketiga, Adam mengira bahwa dirinya sudah melupakan Anne sepenuhnya.
Hanya saja, pada suatu Minggu ketika pertama kali Adam mengajak kekasih ketiganya untuk menghadiri sebuah pernikahan di luar kota, Adam menemukan Anne yang berdiri di ambang pintu gedung dengan tatapan menerawang.
Anne mengenakan gaun dan heels berwarna putih tulang. Tangan kiri Anne memegang sebuah clutch.
Waktu itu, Adam sedang berjalan menuju pintu keluar dengan kekasihnya. Kemudian, ketika dirinya akan melangkah menuju pintu, Adam mendapati Anne di sana.
Adam terdiam cukup lama ketika itu.
Untungnya, Adam rasa Anne tidak melihatnya hari itu.
Hanya saja, sejak detik itu, Adam mengetahui bahwa perasaannya terhadap Anne ternyata belum hilang. Selama ini, perasaannya itu hanya mengendap sebelum kemudian muncul secara tiba-tiba dan membuncah.
Selain pertemuan hari itu, hal lain yang tidak diketahui oleh Anne selama bertahun-tahun pada saat mereka tidak berinteraksi adalah bahwa Adam selalu mengingat ulang tahunnya.
Setiap tahun, beberapa hari sebelum hari ulang tahun Anne, Adam akan membayangkan dengan siapa Anne meniup lilin ulang tahunnya. Siapa yang pergi dengan Anne hari ulang tahun Anne? Siapa yang memberikan Anne kejutan? Apa hari itu Anne bahagia?
Adam tahu bahwa Anne menyukai ulang tahun.
**
Di hari ulang tahunnya kali ini, Anne harus mampir ke kantor karena ada agenda meeting dengan sebuah Kementerian.
Ketika tiba di depan gedung kantor, seorang staff yang bertugas untuk menjemput Anne langsung menyapa dan mengatakan bahwa ada kiriman kue ulang tahun untuk Anne, “Katanya dari Pak Adam, Bu.” ujar staff itu.
Anne mengernyitkan kening.
Kemudian, sambil melangkah menuju lift, Anne menyadari bahwa Adam mengetahui di mana kantornya.
“Ibu mau saya ambilkan kopi dari lantai dua lima atau air mineral saja dari pantry?” Staff itu mempersilakan Anne untuk melangkah keluar lebih dulu dari lift. Hanya saja, Anne, dengan segala pikirannya yang berkecamuk, mengatakan terima kasih dan berkata bahwa dirinya akan minum air mineral yang ada di ruang meeting saja.
Ketika Anne berhenti di mejanya, matanya memandang sebuah kue yang masih berada di dalam kotak bening. Di atas kotak itu ada sebuah lilin kecil berwarna gold yang direkatkan dengan plester pada bagian tengahnya.
Kue yang diberikan Adam untuk Anne berbentuk lingkaran dengan warna putih gading. Ada ornamen renda berwarna gold di sekelilingnya. Lalu, di atasnya terdapat ucapan ‘Selamat Ulang Tahun ke-25 Anne’ yang juga berwarna gold. Tulisan itu terlihat menonjol di permukaan kue ulang tahun berwarna putih gading.
Itu adalah kue ulang tahun kesukaan Anne.
Mendapati hal yang disukainya di hari ulang tahunnya seharusnya membuat Anne bahagia. Hanya saja, kenyataan bahwa hal itu diberikan oleh Adam membuat Anne kesal.
Anne kesal kepada dirinya karena memberikan Adam kuasa untuk mengendalikan emosinya.
Selama bertahun-tahun ini, Anne meyakinkan dirinya bahwa Adam bukan apa-apa. Bahwa dirinya tidak mempunyai perasaan istimewa terhadap Adam.
Pemikiran perihal Adam tidak pernah mengganggunya lagi hingga pertemuannya dengan Adam ketika breakfast di hotel beberapa bulan lalu. Setelah itu, frekuensi pertemuan Anne dan Adam menjadi lebih sering.
Biasanya Anne dan Adam bertemu atas dasar pekerjaan—tuntutan pekerjaan, meeting onsite, visit lapangan. Tentu beberapa kali Anne dan Adam bertemu karena ketidaksengajaan.
Seorang kolega Anne pernah berkata kepada Anne bahwa Adam menyukai Anne.
Ketika mendengar apa yang dikatakan koleganya, Anne hanya berkata, “Oh, ya? Kayaknya enggak.” Kemudian, tertawa kecil.
Bagi Anne, apabila Adam memang benar menyukainya, seharusnya dirinya sudah mengetahui hal itu sejak lama. Tetapi, semua yang Anne temui sama sekali berbeda dengan pernyataan koleganya.
Dalam keyakinan Anne, apabila Adam menyukainya maka Adam akan mengatakan hal tersebut kepada Anne.
Anne yakin bahwa Adam mengenalnya dengan baik. Maka, Adam pasti tahu seperti apa seorang Anne.
Bagi sebagian orang, menjalani sebuah hubungan tanpa statement awal yang jelas merupakan hal yang boleh-boleh saja. Bagi Anne, harus ada pernyataan awal yang tidak membuat ambigu akan hal itu. Seseorang harus mengatakan niatannya dengan jelas kepadanya agar tidak membuatnya kebingungan.
Hal itu adalah bare minimum untuk awal sebuah hubungan bagi Anne. Anne tidak akan menerjemahkan segala pemberian-pemberian atau perhatian-perhatian sebagai bentuk ajakan yang lebih.
Anne tidak mau mengizinkan dirinya bersama dengan seorang pengecut.
Bertahun-tahun ini Anne hanya mendapati Adam yang menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan lain.
Anne juga secara tidak sengaja mengetahui bahwa Adam mengenalkan perempuan-perempuannya kepada keluarganya. Adam bisa berkunjung ke rumah perempuan-perempuannya, berbincang dengan orang tua mereka, saling berhubungan dengan sepupu-sepupunya di sosial media.
Adam tidak pernah melakukan itu kepada Anne.
Maka, jelas bagi Anne bahwa Adam tidak menyukainya.
Anne bahkan bisa menyebutkan satu per satu kekasih Adam jika diminta. Anne ingat dengan jelas siapa saja perempuan-perempuan itu.
Seorang selebgram, seorang pegawai negeri, dan seorang junior yang bercita-cita menjadi konsultan di klub debatnya.
Di awal-awal usia dua puluh tahunnya, Anne berpikir untuk segera menikah.
Bertahun-tahun kemudian, Anne menyadari bahwa keinginan itu muncul dari ketakutannya mendapati Adam yang bisa jadi akan menghabiskan hidupnya dengan orang selain dirinya.
Selama bertahun-tahun, Anne jarang sekali menghadiri undangan dari teman-temannya. Atau, kolega-koleganya. Atau, kenalan-kenalannya.
Anne takut dirinya akan menemui Adam yang datang bersama kekasihnya.
Ketakutan itu besar. Hanya tuntutan pekerjaannya sebagai seorang lawyer yang bisa menaklukan ketakutan akan hal itu. Anne akan lupa dengan ketakutan-ketakutan itu ketika dirinya tidak tidur berhari-hari di depan laptopnya, melakukan meeting dan mengerjakan dokumen-dokumen untuk clientsnya.
Selama hidupnya, Anne tidak punya banyak orang-orang spesial.
Tetapi, Adam adalah salah satu orang itu.
Anne bahagia sekali ketika berbicara dengan Adam. Rasanya semua masalahnya menguap hanya dengan mendengar suara Adam.
Lalu, tiba-tiba Adam meninggalkannya dan pergi berkencan.
Beberapa waktu sebelum itu, Anne ingat bahwa Adam memberikannya sebuah vinyl The Beatles.
Vinyl pemberian Adam tidak pernah dibuka oleh Anne karena dirinya takut akan merusak vinyl itu. Anne bahagia seribu kuadrat ketika menerima vinyl dari Adam. Di kamar Anne, vinyl itu diletakan Anne di atas meja samping tempat tidurnya. Kemudian, setiap pagi dan sebelum tidur Anne akan memandangi vinyl itu.
Dulu, sebelum vinyl itu pada akhirnya diletakannya di dalam kardus tebal yang ada di gudang di rumah orang tuanya, di masa-masa sulit Anne, Anne sering memandangi vinyl itu sambil berpikir. Rasanya seperti sedang mendengarkan Adam yang menenangkannya.
Setelah hari di mana Adam memberikannya vinyl, pada setiap percakapan mereka Anne sempat berandai-andai perihal bagaimana jika ternyata Adam mempunyai perasaan yang sama sepertinya. Hanya saja, setelah berhari-hari itu, ternyata tidak ada yang terjadi.
Anne berpikir, mungkin itu hanya perasaannya saja. Mungkin Adam tidak mempunyai perasaan yang sama kepadanya.
“Bu, izin mengingatkan kalau meetingnya dimulai sepuluh menit lagi. Di lantai 24.” Seorang staff yang menghampiri Anne membuat Anne segera mengambil laptopnya. Kue ulang tahun pemberian Adam dibiarkannya di atas mejanya.
Hidup Anne setelah Adam dipenuhi dengan kesibukan-kesibukan yang terus dicarinya.
Tetapi, satu hal yang Anne tahu bahwa sebesar apapun perasaannya kepada Adam, Adam tidak pantas mendapatkannya.
“Pak, ini kuenya dimakan sama-sama aja ya. Tolong dipotongin aja dan dibagiin ke semua yang ada di kantor hari ini.” Lalu, Anne melangkahkan kaki meninggalkan mejanya.
Sepanjang langkahnya menuju lift untuk turun menuju lantai dua puluh empat, Anne mengingat sebuah lagu dari Snow Patrol yang berjudul You Could Be Happy.
I hope you happy… you’ve made me happier that I’d been far…
Thank you for remembering my birthday, Anne bergumam dalam hati.
**
Pada Senin pagi yang dingin karena hujan, kantor Anne dan Adam mengadakan meeting untuk membahas salah satu proyek vital negara.
Apabila tidak mengetahui keadaan Adam yang sebenarnya, orang-orang pasti berpikir bahwa Adam adalah seorang yang sangat professional dalam pekerjaannya.
“Demam aja pasti diusahain datang untuk meeting, padahal bisa izin sakit!” Kira-kira itulah yang diucapkan oleh kolega kantor Adam.
Padahal, alasan sebenarnya bukan itu.
Adam datang untuk bertemu Anne.
Waktu lalu ketika Anne ulang tahun, sebenarnya kekasih Adam yang namanya June juga sedang berulang tahun.
Hanya saja, Adam merasa bahwa ulang tahun Annelah yang tidak boleh terlewat.
Maka, apabila dalam hal ulang tahun saja Anne tidak bisa dinomor duakan, apalagi dalam hal pekerjaan.
Sedemam-demamnya Adam, terserang malaria sekalipun, Adam bisa memastikan bahwa dirinya akan datang pada meeting hari ini.
Adam tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk bertemu dengan Anne.
Adam dan Anne duduk berhadapan, masing-masing duduk dengan laptop di depannya. Adam bisa melihat Anne yang sangat passionate dalam pekerjaannya. Pekerjaan Anne menakjubkan, perempuan itu bisa menghandle segala tuntutan dan masalah yang ada di hadapannya.
Anne sangat bersinar.
Tidak heran kalau karier Anne mulus sekali.
Setelah meeting di pagi itu, Adam segera bertanya pada Anne apakah Anne punya jadwal makan malam hari itu.
“Ya, ada acara kantor.” Anne menjawab sambil bersalamam dengan peserta rapat lain. Lalu, berpamitan karena sopirnya sudah menunggu di lobby.
“Anne, karier kamu bagus sekali.” ujar Adam.
 Anne menoleh sebentar. Kemudian, tersenyum. “Thanks.” ujar Anne.
Tidak ada percakapan terkait kue ulang tahun yang Adam kirimkan untuk Anne hari itu. Anne tidak menginginkan kehidupan yang masih terlibat dengan Adam.
Anne ingin dirinya tidak menemukan Adam pada laci-laci hari bahagianya. Laci-laci yang dipenuhi oleh Adam sudah penuh dan sesak. Tidak muat. Tempatnya segera hancur dimakani rayap dan dengan senang hati akan Anne biarkan seperti itu agar memoarnya berceceran.
Hanya saja, yang tidak Adam tahu adalah bahwa selama bertahun-tahun, setiap kali mendengar kabar bahwa Adam bersama dengan seseorang baru, Anne akan bekerja lebih giat agar pekerjaannya semakin banyak. Semua itu agar ketakutannya bisa tergeserkan oleh dokumen-dokumen dan meeting-meetingnya.
Dulu, ketika pertama kali Adam memiliki kekasih setelah memberinya vinyl The Beatles, Anne pernah bertanya-tanya apakah semua yang terjadi adalah salahnya.
Anne bertanya-tanya, apakah seharusnya hari itu setelah mereka pergi menikmati es krim, Anne menghubungi Adam untuk mengucapkan terima kasih? Tetapi, bagaimana jika dengan itu Anne terlihat seperti sangat menyukai Adam sedangkan Adam tidak demikian? Bagaimana jika ternyata Adam juga menyukainya? Tetapi, bukankah jika memang benar Adam menyukainya, Adam tidak akan punya kekasih? Bukankah jika Adam menyukainya maka Adam akan memberitahunya tanpa membuatnya menerka-nerka?
Setelah pertemuannya dengan Adam di hotel beberapa bulan lalu, Anne memikirkan detail-detail kecil yang terjadi kemudian. Atau, detail-detail apa yang bisa jadi terlewat olehnya.
Sebenarnya Anne tidak terlalu memperhatikan meeting mereka hari itu. Pikiran Anne dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya dan apa yang salah padanya.
Sepanjang karirnya, Anne tidak pernah setidak professional ini.
“Kajian kebijakan fiskal untuk green taxonomy dan sustainable financing sudah saya e-mailkan ke e-mail Bapak dan Ibu. Selanjutnya, kita bisa koordinasi by MsTeams dan ketemu onsite beberapa kali, ya, jika memang mengharuskan untuk onsite,” ujar Anne ketika seorang peserta rapat mendatanginya, “Untuk selanjutnya, Bapak dan Ibu bisa bersurat kepada saya.”
Bertemu dengan Adam ternyata punya efek besar yang membuat Anne agak kewalahan.
Katanya, dua orang akan tetap bertemu jika masih ada suatu urusan yang belum selesai di antara mereka. Meskipun pertemuan itu mustahil, semesta pasti selalu memiliki cara untuk membuat pertemuan itu menjadi mungkin.
Dalam hati Anne bertanya-tanya, apa urusan antara dirinya dan Adam yang sekiranya belum selesai?
Tahun lalu, Anne membaca sebuah buku. Dalam salah satu obrolan tokohnya, ada satu kalimat yang selalu Anne ingat baik-baik. Kalimat itu berbunyi, “Save ten percent of youself.”[2]
Setelah bertahun-tahun ini, Anne meyakini bahwa dirinya semakin piawai dalam hal menaikkan persenan cinta kasih yang tersimpan untuk dirinya.
**
[1] Perjanjian perdamaian.
[2] Salah satu obrolan tokoh utama bersama ibunya dalam novel berjudul Crying in H Mart yang ditulis oleh Michelle Zauner. Dalam salah satu halamannya tertulis, “… What she meant was that, no matter how much you thought you love someone, or thought they loved you, you never gave all of yourself. Save 10 percent, always, so there was something to fall back on.”
25.11.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 7 months
Text
sepotong cerita tentang nanas
Moetiara Anjani secara tidak sadar membiarkan nanas memakannya hidup-hidup.
Kejadiannya sudah berlangsung selama hampir empat tahun. Di tahun kedua, Moetiara Anjani sudah memanggil Tukang Buah dan memintanya untuk menghentikan kejadian yang perlahan-lahan membunuh dirinya itu.
Pada awalnya, Tukang Buah melumuri nanas itu dengan garam sehingga taring-taringnya berhenti mengoyak tubuh Moetira Anjani. Hanya saja, setelah garam itu mencair, nanas itu kembali memakannya hidup-hidup.
Moetiara Anjani duduk di salah satu kursi restoran yang terbuat dari kayu jati. Di atas meja oval marmernya, ada sepiring crab raviolli, lengkap dengan alat makan dan sapu tangan bermotif kotak-kotak berwarna merah, merah muda, dan putih.
Awal kemunculan monster nanas ini adalah ketika Putih, seorang laki-laki yang memiliki kunci liver kepunyaan Moetiara Anjani, berubah menjadi Abu-Abu. Lalu, kedua tangan Abu-Abu menjadi empat. Selama berhari-hari, Moetiara Anjani pergi ke Tempat Pemujaan dan berdoa agar Abu-Abu menjadi Putih lagi. Tetapi, itu tidak pernah terjadi. Abu-Abu bahkan menjadi Hitam. Kali ini, dua tangannya putung tetapi lekas kembali tumbuh dua tangan baru yang lain, yang lebih pendek dari tangannya yang lalu.
Saat ini, Hitam berada di salah satu sel jeruji tahanan. Kantornya terkena kasus korupsi dan beritanya menggemparkan Jagad Raya. Seluruh media komunikasi dan berita dipenuhi kabar terbaru dari kantor Hitam yang menaranya hancur lebur serta para petinggi yang berhamburan membawa papan nama jabatan mereka.
Sebelum itu terjadi, Moetiara Anjani ditawari dua pilihan: menjadi seorang dengan jas putih dan berdiri di atas mimbar-mimbar tetapi suatu hari akan terjadi sesuatu hal buruk di kantor Hitam dan dirinya tidak dapat membantu, atau menjadi seseorang yang hanya bangun dan tidur di kamar putihnya.
Di tengah-tengah dirinya yang hampir mati tercekik, Moetiara Anjani menimbang-nimbang. Hitam tidak pernah datang menyelamatkannya. Dengan sedikit sisa serpihan otaknya, Moetiara Anjani akhirnya memilih pilihan pertama. Hitam terlalu sibuk dengan keempat tangannya yang saling menggenggam.
Sekitar dua tahun sebelum itu, Moetiara Anjani memanen matahari dan mengikatnya bersama percikan bintang yang bersinaran. Moetiara Anjani meletakkan semuanya di kantong bajunya. Lalu, dirinya bersiap untuk pergi dan tidak sabar memberikannya kepada Hitam—yang waktu itu masih berupa Putih—di balik meja.
Hari itu, ternyata tangan Hitam sudah menjadi empat dan dirinya bukanlah lagi Putih yang punya kunci liver milik seorang Moetiara Anjani. Hari itu, Putih menjadi Abu-Abu.
Lamunan Moetiara Anjani pecah ketika seorang pengunjung restoran berbisik padanya.
“Benar kamu masih ingin menghabiskan hidupmu dengan orang itu? Setelah tubuhmu bolong-bolong karena dimakani nanas? Setelah usus dua belas jari orang itu kami gigiti hingga putus?” Salah seorang pengunjung restoran itu bertanya kepada Moetiara Anjani dengan tatapan tidak percaya. Sudah jelas pengunjung itu berpikir bahwa Moetira Anjani sudah tidak waras.
Moetiara Anjani tidak menjawab, dirinya memandangi sepiring crab raviollinya. Kemudian, berusaha menggunakan sisa empat jarinya untuk memegang alat makan dan menyuap potongan makanan itu ke mulutnya.
Jari manis Moetiara Anjani putus sekitar setahun lalu. Menyisakan empat jarinya yang lain. Badannya bolong-bolong. Untungnya, jantungnya masih berdetak.
Sekarang, indra perasa di lidahnya berhenti beroperasi total akibat panas telinganya pada saat mendengar Abu-Abu yang menjadi Hitam, ditambah keempat tangan Hitam yang sudah beregenerasi beberapa kali. Otak Moetiara Anjani hanya tertinggal bagian amigdalanya saja dan sisanya hanya bungkusan kopong yang terlihat seperti otak.
Moetiara Anjani benar-benar hampir tidak dapat dikenali sedangkan nanas masih menggerogotinya hidup-hidup.
Hitam memasuki restoran dua puluh menit setelah itu. Beberapa pengunjung restoran menatap ke arahnya dengan tatapan yang beragam.
Ketika Moetiara Anjani mendapati bahwa tangan Hitam masih berjumlah empat, jantungnya hampir meletus dan telinganya kembali membara.
“Moetiara Anjani…,” Setelah melapalkan nama Moetiara Anjani, Hitam kemudian mulai meletakkan keempat tangannya di atas meja. Genggamannya agak longgar tetapi tetap saja jumlahnya empat.
Dengan sisa daging dan tulangnya, Moetiara Anjani membuka mulut, “Aku sudah dapat kunci liver yang baru,” katanya, padahal berbohong, “Bagaimana caranya agar tangan bisa bertambah menjadi empat?”
Lima menit kemudian, Moetiara Anjani mati.
Tetapi, nampaknya, doa-doanya di Tempat Pemujaan kemudian dikabulkan oleh Para Dewa dalam bentuk lain. Ketika semua pengunjung mengelilingi mayatnya, Moetiara Anjani hidup lagi dengan tubuhnya yang sama bolong-bolongnya dan otaknya yang hanya tersisa amigdala.
Raga Moetiara Anjani yang baru berdiri di ambang pintu restoran dan menatap mayatnya yang dikelilingi para pengunjung. Lalu, menatap ke arah Hitam secara bergantian.
Dengan sisa otaknya dan jantungnya yang berdegub pelan itu, Moetiara Anjani membatin dengan percaya diri, “Bisa jadi akhirnya seperti doa-doa di Tempat Pemujaan. Lalu, tangan kami sama-sama jadi empat.”
Di Majelis Para Dewa, ada sebuah surat laporan untuk Tetinggi Dewa perihal seorang Moetiara Anjani yang hidup lagi, isinya adalah sebuah kalimat: Moetiara Anjani, tidak mau kalah bahkan dengan sesuatu yang sudah membuatnya mati berkali-kali, kali ini mohon ketersediannya untuk memberinya kesempatan lagi atas keyakinannya yang tidak goyah.
Ini adalah kematian ketiga Moetiara Anjani. Penyebabnya? Putih yang berubah menjadi Abu-Abu. Kemudian, tangan Abu-Abu yang menjadi empat. Lalu, Abu-Abu yang menjadi Hitam dan tangannya yang beregenerasi tetapi tetap berjumlah empat. []
16.11.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 8 months
Text
buku anak-anak
Seseorang pernah berkata bahwa dirinya sedang berada di bawah remang-remang lampu dengan pemikiran yang besar tentang buku anak-anak.
“I have big thoughts about children’s books.” ujarnya hari itu.
Buku anak-anak kesukaan seseorang itu berjudul The Lion and The Bird yang ditulis oleh Marianne Dubuc. Hal yang saya ingat mengenai dirinya selain buku anak-anak adalah gambar yang diambil oleh J.R. Eyerman untuk majalah LIFE di tahun 1952. Gambar itu diberi nama Life in 3-D dan tergantung di salah satu bingkai foto yang ada di kamarnya.
Sekitar sebelas tahun lalu, seseorang itu berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Waktu itu, dirinya adalah seorang dokter gigi muda di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Biasanya, kalau dapat waktu untuk libur, seseorang itu akan pergi ke Bali bersama dua atau tiga orang temannya. Seringnya, dirinya akan pergi ke Pantai Melasti dan Pantai Pandawa.
Delapan tahun yang lalu, di salah satu hari liburnya, seseorang itu menghabiskan hari-hari Balinya di Alila Resort Seminyak. Dirinya menghabiskan harinya di pinggir pantai hingga langit dipenuhi oleh semburat jingga.
“I am currently waiting for something that have lose to come back. Maybe it will come back to me in the future,” Itu adalah ucapannya sehabis menamatkan The Lion and The Bird yang menjadi buku kesukannya, “children’s books help me to deal with something in my early twenties. They help me to deal with a lot of farewells.”
Hal yang tidak saya ketahui pada tahun itu adalah, ternyata ketika saya berada di tahun-tahun awal usia dua puluhan saya, saya juga menghadapi beberapa perpisahan. Beberapa di antaranya bahkan bisa jadi adalah perpisahan yang permanen. Beberapanya lagi adalah perpisahan yang mungkin saja mempertemukan saya dengan orang-orang yang ada namun ketika bertemu kami sudah terlalu banyak beradaptasi dan menjadi seseorang yang agak asing.
Perasaan yang saya rasakan akan seseorang itu pada saat itu sungguh membuat damai. Rasanya saya mempunyai seorang kakak.[1]
Pada tahun-tahun setelah tahun itu, saya tidak pernah memikirkan perihal buku anak-anak lagi. Pun bagaimana kabar seseorang itu.
Lalu, hari ini saya teringat akan buku anak-anak dan agak penasaran perihal bagaimana kabar seseorang yang sangat menyukai buku anak-anak tersebut. Saya ingat seseorang itu pernah berkata bahwa orang-orang terlalu sibuk mendikotomikan bahwa buku anak-anak adalah buku yang dikhususkan untuk anak-anak serta bagaimana buku anak-anak menggerus intelektualitas orang dewasa, “Padahal, buku anak-anak bisa kasih perasaan mendalam tentang kehidupan. Still in disbelief how people said children books are only for kids.” katanya.
***
Seorang penyuka buku anak-anak itu punya memori-memori indah bersama grandmanya—dirinya terbiasa memanggil neneknya dengan sebutan grandma. Sewaktu kecil, mother, grandma, dan dirinya sering makan di McDonald’s. Biasanya, kulit ayam milik grandma akan diberikan padanya dan grandma hanya akan makan ayam yang kulitnya sudah dipisahkan.
Sewaktu kecil, seseorang itu bingung mengapa grandmanya suka dengan ayam goreng yang sudah tidak lezat itu. Menurutnya, bagian yang paling lezat dari ayam goreng adalah kulitnya.
Ketika grandmanya meninggal, seseorang itu menyeduh segelas kopi dan membayangkan kenangan-kenangannya bersama grandma sambil memandangi pantulan mata dan hidungnya di permukaan cairan berwarna pekat itu.
Kalau diingat-ingat, orang pertama yang mengenalkan saya pada John Mayer, Bon Iver, hingga Stevie Wonder adalah dirinya. Lagu favouritenya dari John Mayer adalah St. Patricks, katanya itu adalah lagu yang selalu diputarnya ketika hujan. Lalu, suatu hari, dirinya menonton sebuah film dan hal itu dengan serta merta mengingatkannya pada lagu berjudul My Cherie Amour yang dinyanyikan oleh Stevie Wonder.
Waktu itu, Spotify masih belum tersedia di Indonesia. Apabila ingin menggunakannya, biasanya harus menggunakan VPN terlebih dahulu.
“Just as if we listen like we are in Edinburgh,” katanya.
Pada masa itu, playlist saya berisikan lagu-lagu dari Lana Del Rey. Atau, lagu-lagu lawas Barat yang biasanya diputar ayah dan ibu ketika kami di perjalanan. Ada beberapa lagu dengan genre seperti lagu yang dinyanyikan oleh Lil Dicky atau beberapa penyanyi sejenis, yang biasanya saya dengarkan apabila saya sedang stress. Selera musik saya pada waktu itu masih belum bisa didefinisikan.
Seseorang itu punya beberapa playlist yang bisa dinikmati publik di Spotifynya. Dari salah satu playlist itu, saya kemudian menemukan Suftjan Stevens yang bertahun-tahun kemudian saya dengarkan lagi suaranya sebagai soundtrack sebuah film yang mengenalkan saya pada Timothée Chalamet.
Pada tahun yang sama, seorang pecinta buku anak-anak itu pergi ke Bandung.
Di Bandung, dirinya menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama teman dan keluarganya yang memang tinggal di sana. Sekali dua kali, mereka akan menonton film dari Studio Ghibli. Atau, membaca buku yang semuanya ditulis dalam bahasa Inggris dan mendiskusikan satu atau dua film di malam hari.
Sekitar tujuh tahun lalu, ada seorang teman yang tiba-tiba mengirimi saya pesan di sore hari. Katanya, dirinya sedang membaca sebuah buku. Dari pesannya itu, dirinya meminta saya menemukan satu benang merah di buku yang sedang dibacanya—singkatnya, dirinya meminta saya untuk membaca juga buku yang dirinya baca. Waktu itu, saya membeli buku yang dibacanya itu pada tahun yang sama. Saya membacanya tepat setelah buku itu tiba namun tidak pernah menyelesaikannya.
Saya pikir itu adalah impuls pertama saya untuk membaca buku-buku tebal dalam bahasa asing. Ternyata, impuls pertama saya berkemungkinan besar adalah seorang penyuka buku anak-anak yang saat ini sedang saya tuliskan kisahnya.
Omong-omong, buku yang teman saya baca waktu itu pada akhirnya saya selesaikan di tahun ini. Setelah sekitar tujuh tahun setelah hari di mana dirinya meminta saya menemukan benang merah dalam buku itu, sepertinya hari ini saya bisa memberikannya satu jawaban dari perspektif saya.[2]
***
Sebenarnya, saya tidak tahu ingin memenuhi tulisan kali ini dengan cerita seperti apa. Tulisan kali ini jelas tidak berbau ilmiah seperti tulisan-tulisan lainnya. Tetapi, dengan tulisan ini, rasanya saya bisa mengingat seorang kakak yang tidak pernah saya miliki tetapi juga pernah saya miliki di waktu bersamaan. Rasanya saya punya seorang saudara yang lebih tua daripada saya, yang membimbing saya dan membagikan pengalaman-pengalaman hidupnya dengan saya sehingga saya menjadi seperti seorang adik yang selalu bisa menjadikan kakaknya sebagai role model di hidupnya. Rasanya saya bisa memamerkan kakak saya yang sangat keren kepada orang-orang seperti yang biasa adik-adik lakukan terhadap kakak-kakak mereka. Rasanya saya bisa merasakan bagaimana rasanya tidak selalu menjadi yang pertama dalam hierarki keluarga; kakak pertama, anak pertama, keponakan pertama, cucu pertama, cicit pertama. Rasanya saya punya seseorang yang bisa saya ceritakan perihal segala apa yang terjadi di hidup saya; tentang teman-teman saya, tentang seseorang yang saya suka, tentang patah hati saya, tentang mimpi-mimpi saya. Kemudian, saya bisa meminta pendapatnya akan segala hal itu. Rasanya saya punya seseorang yang selalu ada untuk saya.
Saya tiba-tiba teringat dengan seorang yang menyukai buku anak-anak ini selepas panggilan telepon dengan seorang teman yang berulang tahun hari ini. Kemudian, saya bertanya-tanya, bagaimana kabar seorang pecinta buku anak-anak itu saat ini? Apa sekarang dirinya sudah menjadi dokter gigi? Apa dirinya masih tinggal di Jakarta atau pindah ke Bandung atau ke kota lainnya? Apa dirinya pergi liburan ke Yokohoma lagi? Apa dirinya masih menyukai buku anak-anak? Apa buku anak-anak yang menjadi favouritenya saat ini?
Saat ini saya sedang membayangkan, barangkali di semesta lain saya dan seorang pecinta buku anak-anak itu adalah dua saudara yang sedang mengobrol tentang buku Seno Gumira Adjidarma yang sedang kami baca.
Semesta lain itu mungkin saja nyata seandainya parallel universe memang benar dilahirkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu dalam fisika kuantum. Atau bahwa apabila NASA tidak membantah penemuan mereka perihal parallel universe tentang studi antartika mengenai cosmic rays.
Terlepas dari itu semua, satu hal yang pasti adalah bahwa pada akhirnya saya juga punya satu buku anak-anak yang menenangkan saya di usia dua puluhan. Buku itu ditulis oleh Dr. Seuss dan diberikan judul Oh, The Places You’ll Go!
“And when things start to happen, don’t worry. Don’t stew. Just go right along. You’ll start happening too. … And will you succeed? Yes! You will, indeed! (98 and ¾ per cent guaranteed.) KID, YOU’LL MOVE MOUNTAINS!” []
***
[1] Hal ini menjadi masuk akal bagi saya, perihal latar belakang mengapa saya bisa dengan mudah merasa 'klik' dengan orang-orang yang merupakan anak pertama.
[2] Hingga saat ini, saya dan seorang teman ini masih saling berkirim pesan dan mengatakan satu dua hal tentang kehidupan. Saya bersyukur kepada Tuhan atas dirinya dan pertemanan kami.
14.10.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
momen-momen di perjalanan
I.
Suatu hari, saya memutuskan untuk mencoba commuterline ketika pulang.
Biasanya saya selalu menggunakan ojek online, maka hari itu adalah pertama kalinya saya menggunakan yang lainnya. Pada akhirnya, saya turun di stasiun yang kurang tepat.
Berbekal Google Maps, saya pikir perjalanan saya akan diarahkan untuk berjalan kaki atau busway tetapi ternyata perjalanan itu juga termasuk angkot.
Saya tidak pernah naik angkot sebelumnya.
Ketika saya memasuki angkot, hanya ada tiga penumpang termasuk saya. Ada seorang perempuan yang baru pulang kerja. Lalu, seorang ibu-ibu.
Entah bagaimana, saya agak cemas waktu itu. Jam kira-kira menunjukkan pukul tujuh malam.
Pada saat seorang perempuan itu tiba di tempat tujuannya, hanya tersisa saya dan seorang ibu-ibu itu. Saya menanyakan kemana tujuan beliau. Ternyata, dari jawaban beliau, tujuan beliau sudah sangat dekat.
Saya semakin cemas.
Apabila beliau turun, hanya ada saya sebagai satu-satunya penumpang di sini. Saya heran, biasanya saya tidak pernah setakut itu ketika jalan-jalan sendirian. Tetapi, waktu itu, saya tidak bisa bohong kalau saya ketakutan.
Singkat cerita, ibu-ibu itu bilang bahwa beliau akan mengantarkan saya.
“Enggak apa-apa, Adek saya antar aja sampai tujuan,” kata beliau waktu itu, “Adek cantik, masih muda. Gawat kalau ada apa-apa. Saya, kan, sudah tua. Siapa juga mau ganggu saya? Nanti saya balik lagi ke tempat saya.”
Berdasarkan info dari ibu-ibu itu, tempat tujuan saya masih jauh.
Maka, saya memutuskan untuk turun di dekat sebuah mini market terdekat.
Saya tidak tahu letak persisnya di mana. Saya tidak tahu dan tidak pernah ke daerah itu.
Tidak ada gedung-gedung tinggi di sana.
Dari sana, saya melanjutkan perjalanan pulang menggunakan ojek online.
Ketika saya turun dan menunggu ojek online yang saya pesan tiba di titik jemput, ibu-ibu itu memastikan hingga saya benar-benar sudah berada di dalam alat transportasi baru itu; yang akan mengantarkan saya ke tujuan saya sebenarnya.
Tangan beliau melambai-lambai ketika saya pergi.
Saya ingat senyum ibu-ibu itu malam itu.
Itu adalah kenangan pertama saya naik angkot dan akan selalu saya ingat sepanjang hidup saya.
II.
Di Bogor, saya ingin menyeberang jalan tetapi tidak menemukan trotoar. Kemudian, seorang bapak-bapak melihat saya dan bertanya, “Mau nyeberang?”
Saya mengiyakan dan berkata bahwa saya tidak menemukan trotoar.
Pada akhirnya, bapak-bapak itu membantu saya menyeberang.
III.
Di Kebun Raya Bogor, saya ikut kelas menanam anggrek.
Saya datang sendirian. Sepertinya yang paling muda.
Sepanjang kelas, banyak panitia yang membantu saya selama prosesnya. Meminta izin untuk merekam. Atau, sekadar mengobrol.
Di akhir kelas, saya diminta untuk memberikan testimoni untuk kelas itu.
IV.
Ketika hati saya mulai mengeras, kadang-kadang saya akan pergi ke Stasiun Bogor dan duduk di seberang pintu keluarnya.
Saya biasanya berangkat dari Stasiun Sudirman.
Di kerta menuju Bogor, sesekali saya bertemu para orang tua yang ingin mengunjungi anaknya di Bogor.
Kemudian, setibanya di Stasiun Bogor, saya akan membeli es durian.
Setelahnya, saya memperhatikan apa yang ada di sekitar saya.
Ada satu momen yang saya ingat hingga detik ini.
Waktu itu, ada seorang bapak-bapak tanpa alas kaki dengan baju kaos putih yang sudah lumayan kotor. Sambil mengais-ngais botol dan sampah plastik untuk dimasukan dalam karung yang dibopongnya, beliau berkata, “SubhanAllah….”
V.
Di Stasiun Sudirman, saya agak kaget ketika seorang petugas yang sering membantu pengunjung ketika kesulitan menggunakan card atau melakukan scan barcode ingat dengan saya. Beliau bertanya, “Mbak yang tadi pagi, ya?” Sambil tersenyum.
VI.
Jalan Braga Bandung ternyata lumayan sepi di pagi hari.
Hari itu adalah Hari Sabtu, saya menunggu Starbucks yang ada di sana buka untuk menikmati hot caramel latte dan kukis saya.
Begitulah biasanya rutinitas pagi saya apabila sedang di Bandung.
Lalu, di sepanjang waktu menunggu itu, saya tiba-tiba berbincang dengan beberapa penjual makanan ringan. Mendengar para musisi jalanan bersenandung di depan saya. Atau, mengobrol perihal Bandung dan Lembang bersama beberapa mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas mereka.
Bahkan, ketika pulang, saya mendapatkan driver yang memberikan saya tour gratis tentang Bandung.
VII.
Saya punya waktu tiga jam sebelum kembali ke Jakarta. Maka, hari itu, saya memutuskan untuk pergi ke kedai es krim.
Letak kedai es krim itu agak tersembunyi. Ada di sebuah perumahan yang sangat asri dengan bangunan khas rumah-rumah dengan sentuhan arsitektur Belanda tempo dulu.
Kedai es krim itu agak sulit dikenali apabila belum pernah berkunjung sebelumnya. Tidak ada pertanda apa-apa di depannya.
Hari itu adalah pertama kalinya saya berkunjung.
Setibanya di sana, saya bertemu dengan beberapa ibu-ibu yang sudah lumayan berumur. Waktu itu, ibu-ibu itu sedang menyapu halaman mereka dengan menggunakan sapu ijuk yang cukup panjang.
Salah satu dari ibu-ibu itu bertanya kepada saya perihal apa yang sedang saya cari.
“Saya mau beli es krim, Bu,” ujar saya pagi itu, “tapi, sepertinya masih tutup, ya?”
Ajaibnya, ternyata ibu-ibu yang tadi bertanya pada saya adalah pemilik kedai es krim tersebut.
Beliau langsung membukakan pintu pagar rumahnya. Lalu, mempersilakan saya masuk.
Saya bahkan diberikan kesempatan untuk memilih sendiri es krim yang mau saya beli.
Meskipun masih di luar jam operasional, ibu-ibu itu mempersilakan saya untuk menikmati es krim tersebut di halamannya. Beliau berkata, “Jauh-jauh dari Jakarta. Sudah enggak apa-apa. Ayo masuk.”
Pagi itu saya menghabiskan dua jam saya di kedai es krim tersebut.
VIII.
Sore hari apabila di Bandung, saya biasanya akan pergi ke Starbucks yang ada di seberang Museum Konferensi Asia-Afrika.
Biasanya, saya akan duduk di samping jendela kaca besar yang menghadap jalan raya dan museum itu.
Ada satu kejadian yang saya ingat sewaktu pertama kali saya ke sana.
Sore itu, daya handphone saya sudah hampir habis total. Saya perlu segera mengisinya ulang agar bisa membalas pesan keluarga saya.
Maka, saya memutuskan untuk ke sana.
Seperti biasa, saya memesan segelas iced caramel latte dengan tambahan krim. Lalu, segera mencari tempat duduk yang memungkin saya untuk mengisi ulang daya handphone.
Selang beberapa pengunjung baru, saya masih belum menemukan tempat yang tempat.
Seorang barista yang ada di samping barista yang tadi mengurusi pesanan saya tiba-tiba mengarahkan saya ke suatu tempat duduk di sebelah jendela besar yang menghadap jalan raya dan Museum Konferensi Asia Afrika.
“Mbak Luqy, kursi yang itu bisa untuk charger.” katanya.
Saya takjub perihal bagaimana seorang asing yang belum pernah berinteraksi dengan saya dan tidak saya mintai bantuan dengan baiknya menolong saya.
IX.
Di Museum Konferensi Afrika, ada seseorang yang melambaikan tangannya kepada saya dan tersenyum lebar.
Saya pikir dirinya adalah seseorang yang saya kenal.
Tapi, tidak mungkin. seseorang yang saya kenal itu tidak di Bandung.
Saya ingat bagaimana seseorang itu kemudian melintas di hadapan saya masih dengan senyumnya yang merekah lebar.
Sore itu, saya pikir, bisa jadi itu adalah khayalan saya saja.
Tapi, ternyata bukan.
Memang bukan seseorang yang saya kenal. Tapi, persis seperti seseorang yang saya kenal.
X.
Setibanya di Garut pada pagi hari, saya memutuskan untuk sarapan di pinggir jalan.
Bagi saya, salah satu cara untuk mengenal lebih dekat suatu daerah adalah dengan berinteraksi dengan warga lokal.
Saya memesan seporsi soto—yang saya lupa jenisnya apa.
Ketika ingin membayar dan bertanya berapa totalnya, penjual soto itu menjawab, “Sepuluh ribu.”
“Minumannya?” tanya saya.
“Iya, enggak usah.” katanya.
“Tapi, saya minumnya teh hangat.” ujar saya. Saya pikir mungkin beliau mengira saya hanya minum air putih.
“Iya sepuluh ribu semuanya. Minumannya enggak usah, buat Teteh.”
Pada akhirnya, saya hanya membayar untuk makanan karena dipaksa seperti apapun beliau tidak mau menerima uang saya.
XI.
Di hari kepulangan saya dari sebuah villa di tengah kebun mawar di Garut, saya terancam tidak bisa pulang dan ketinggalan pesawat dari Jakarta besok harinya.
Di daerah villa tersebut ternyata masih belum ada ojek online. Hanya ada angkutan desa berbentuk mobil pick up yang diberikan atap menggunakan terpal untuk angkutan para petani.
Saya datang ke sana menggunakan ojek online—ketika menulis ini, saya takjub mengapa saya masih bisa menemukan ojek online di hari kedatangan saya, apalagi bentuknya mobil.
Semua yang berkunjung menggunakan transportasi pribadi. Tetapi, saya tidak.
Kemudian, beberapa staff membantu saya untuk mencari alat transportasi agar bisa pulang ke Garut Kota sebelum kembali ke Bandung dan berangkat ke Jakarta.
Sambil menunggu, saya mengobrol dengan Pak Satpam dan Pak Penjual Cimol yang biasanya mengantarkan para tamu ke destinasi wisata sekitar. Mereka membantu saya untuk mencari angkutan desa.
Waktu itu, ternyata, angkutan desa sudah tidak ada yang menuju Garut Pasar—dari sana, saya harus naik angkot untuk ke Garut Kota. Angkutan desa terakhir ada sepuluh menit sebelum saya yang memutuskan untuk pulang.
Maka, pada akhirnya, saya diantar oleh Pak Penjual Cimol ke Garut Pasar. Di sepanjang perjalanan, beliau menjadi tour guide dadakan.
Untungnya, saya tidak terlambat. Saya tidak ketinggalan pesawat besok harinya.
XII.
Di Garut Pasar, saya tidak punya pilihan lain selain menaiki angkot. Masih belum ada ojek online yang tersedia di sana.
Pada lebih dari setengah perjalanan, angkot yang mengantarkan saya ke pangkalannya ternyata singgah di depan sebuah universitas untuk menunggu penumpang lain, apabila ada.
Saya menunggu sekitar sepuluh menit. Waktu itu, saya tidak punya banyak waktu untuk bergegas ke titik yang akan mengantarkan saya ke Bandung. Maka, saya memutuskan untuk turun di sana.
Ketika pengemudi angkot mengatakan bahwa padahal sebentar lagi sampai di tempat pangkalan, saya beralasan bahwa saya ingin membeli camilan di depan universitas.
Setelah membayar ongkos angkot, saya langsung menuju penjual cimol. Seorang ibu-ibu dengan jilbab berwarna ungu adalah penjual cimol itu.
Saya bertanya berapa harga cimolnya sebelum memutuskan untuk membeli sebanyak lima ribu rupiah.
Ketika beliau melihat saya, beliau berkata, “Tetehnya cantik. Wangi banget, Teh. Saya bonusin buat Teteh.”
Akhirnya, saya mendapatkan dua puluh cimol.
Tidak pernah terpikir bahwa cimol itu setelahnya akan menjadi satu-satunya pengganjal perut saya selama perjalanan Garut — Bandung karena tidak ada kegiatan singgah di perjalanan.
Tuhan Maha Baik.
XIII.
Ketika saya pergi ke Nusa Penida, saya dan adik saya tidak membawa topi.
Pada saat kami mengisi bahan bakar, Ibu Pemilik Warung kemudian tiba-tiba masuk ke rumahnya dan memberikan kami topi. Kata beliau akan panas sekali di destinasi yang akan kami kunjungi.
Sesaat sebelum meninggalkan Nusa Penida untuk kembali ke Bali, kami berniat untuk mengembalikan topi itu kepada beliau.
“Tidak usah. Bawa pulang saja.” katanya.
Pada akhirnya, setelah beberapa saat mengobrol, topi itu menjadi oleh-oleh untuk kami dari Nusa Penida.
Kami bahkan diberikan beberapa minuman untuk di jalan.
Sebelum pulang, kami berfoto dengan Ibu Pemilik Warung.
Hingga saat ini, saya masih menyimpan fotonya.
XIV.
Ada sebuah warung di jalan raya menuju Broken Beach dan Angels Billabong. Saya dan adik mengisi bahan bakar dan membeli minuman di sana.
Jaringan handphone kami tidak menangkap sedikitpun sinyal. Maka, satu-satunya cara adalah bertanya dengan warga lokal perihal jalan menuju tempat yang ingin kami datangi selanjutnya.
Sebelum kami pergi, Ibu dan Nenek Pemilik Warung itu berkata, “Hati-hati di jalan.”
XV.
Karena membeli tiket Pertunjukan Tari Kecak secara online, saya kelupaan mengambil selembaran brosur tentang cerita yang dipentaskan ketika menukarkan tiket.
Ketika sudah sampai di tempat duduk, saya baru tahu bahwa ternyata ada selembaran yang dibagikan.
Lalu, seorang pengunjung di samping saya menyerahkan satu brosurnya kepada saya. Pengunjung itu datang bersama seseorang lain, ada dua brosur untuk mereka.
Katanya, satunya untuk saya saja.
Saya takjub bagaimana kebaikan bisa ditemukan bahkan melalui orang-orang yang tidak dikenal.
XVI.
Apabila ke Jogja, di waktu tertentu biasanya saya akan mengambil kereta di jam malam. Tujuan saya adalah tidur di perjalanan dan tiba besok paginya sehingga saya bisa langsung melanjutkan rencana saya.
Ketika saya pergi ke Jogja waktu lalu, saya bertemu satu keluarga yang akan pulang ke Klaten.
Saya selalu takjub bagaimana orang-orang Jogja bisa seramah itu. Bahkan, meski di Jakarta yang mayoritas orang-orangnya terkesan individualistis dan bodo amat.
Ternyata, kami menaiki kereta yang sama. Pun gerbongnya.
Ketika akan naik ke kereta, keluarga itu menawari saya untuk naik bersama-sama.
“Ayo, Mbak, bareng-bareng aja kita naiknya.” katanya.
Saya menyewa jasa porter. Hanya saja, saat itu, saya sudah memberikan tip-nya terlebih dahulu sehingga ternyata saya harus menaikkan koper saya sendirian.
Tentu badan saya yang mungil agak kesulitan untuk itu.
Untungnya, seorang pengunjung lain yang berjarak dua kursi di belakang saya kemudian menawari untuk memberikan bantuan dan membantu mengangkat koper saya itu.
Di jalan, beberapa saat sebelum kereta berhenti di Stasiun Jogja, keluarga yang tadi bertemu dengan saya di stasiun mendatangi kursi saya. Mereka mengingatkan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di Stasiun Jogja.
XVII.
Malioboro di pagi hari selalu menyenangkan; tidak terlalu sesak dan penuh. Masih agak sepi.
Suatu hari, di Malioboro, saya mengobrol dengan beberapa warga; bapak tukang becak, orang-orang yang mampir.
Interaksi-interaksi itu benar-benar melembutkan hati saya.
Ternyata masih banyak orang-orang yang ramah dan berhati hangat.
XVIII.
Dari Sudirman menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, saya memesan ojek online.
Driver ojek online hari itu ternyata pernah mengenyam pendidikan sebentar di Banjarmasin. Di sepanjang jalan, beliau kemudian menceritakan tentang hidupnya; bagaimana beliau tidak bahagia dengan gaji besarnya di masa lalu, bagaimana pekerjaannya yang dulu tidak mengizinkannya untuk beribadah, bagaimana penyelesalan terbesarnya adalah tidak sempat melihat ayahnya yang meninggal karena pekerjaannya belum selesai.
“Saya ya, Mbak, yang penting jangan ganggu ibadah saya aja kalau kerja. Enggak apa-apa kalau gaji saya enggak banyak kayak dulu, tapi berkah,” katanya, “Benar, lho, Mbak…, penyesalan terbesar saya adalah ketika ayah saya meninggal. Saya nggak sempat lihat ayah saya gara-gara kerjaan saya. Benar-benar saya merasa enggak ada gunanya gaji dua digit saya tapi saya enggak bisa lihat ayah saya lagi. Enggak ada gunanya gaji gede saya….”
Kemudian, beliau menangis.
Kisah beliau hari itu entah bagaimana mengingatkan saya pada waktu-waktu yang tidak saya sadari telah terlewat karena bekerja. Atau, panggilan-panggilan dari orang tua saya karena saya tidak mengabari mereka—padahal saya merasa bahwa saya baru mengabari mereka di hari itu tetapi ternyata hal itu sudah terjadi dua hari yang lalu.
Saya rasa, segala sesuatu yang saya temui di hari itu adalah bagaimana cara Tuhan kembali memanggil saya dengan lembut.
“Maaf, ya, Mbak…, saya jadi emosional.” kata beliau.
Saya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.
XIX.
Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Saya masih takjub dan tertegun apabila melihat jejeran-jejeran maskapai yang ada di depan mata.
Saya ingat hari-hari tidak tidur dan tidak makan saya. Lalu, hari-hari saya menangis karena stress dan tidak tahu harus apa.
Ketika menaiki salah satu maskapai yang ada di sana dan melihat bagaimana para crew serta awak kabin yang masih menggunakan seragam mereka, rasanya lega.
Suatu hari pada bulan Januari sebelumnya, saya memakan makanan yang disediakan di dalam pesawat itu sambil menangis diam-diam saking leganya.
Entah bagaimana, makanan itu menjadi makanan paling enak yang pernah saya makan; sayur pokcoy, nasi putih, dan ikan fillet. []
03.09.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
anne, adam, dan semesta lain
Pada suatu semesta, June adalah seorang konsultan bisnis dan Adam adalah seorang dokter bedah.
Pagi itu June sedang di dapur. Menyiapkan dua mangkuk sup ayam yang dimasaknya bersama wortel, kentang, dan daun bawang.
“Aku ada operasi pukul sepuluh.” ujar Adam sambil memasang kancing pada kemeja putihnya.
June menoleh sebentar dan mengangguk. Kemudian, June membawa dua mangkuk sup ayam ke meja makan.
“Ada kemungkinan operasi mendadak?” tanya June.
Adam mengangkat bahunya, “Pasien kemarin masih dalam observasi. Kita lihat nanti siang.” katanya.
*
Pada semesta lain, June dan Adam adalah dua orang abdi negara. Keduanya bekerja di dua tempat berbeda. Adam bekerja di kementerian sedangkan June bekerja di sebuah lembaga.
Sepulangnya dari kantor, Adam menelepon June, “Aku sudah di jalan. Tunggu, ya….” katanya.
June mengiyakan. Kemudian, telepon ditutup.
Di kantornya, June membersihkan mejanya dan berpamitan dengan koleganya.
*
Pada semesta yang lain, Adam adalah seorang pegawai swasta yang bekerja sesuai minatnya. Dengan jam kerja fleksibel, Adam biasanya akan pergi bersama teman-temannya di akhir pekan.
Pada semesta itu, June adalah seorang yang baru menyelesaikan kuliahnya. Kemudian, di suatu akhir pekan, koleganya di organisasi kampus mengenalkannya pada Adam.
Lalu, keduanya bersama. Bertukar benda spesial, minum greentea dan cokelat dingin, berjalan-jalan di tengah kota.
Hal yang June tahu adalah, Adam menyenangkan. Di sisi lain, bagi Adam, June bisa mengerti apa yang diinginkannya.
*
Pada semesta yang lain, June sedang mengikuti kegiatan magang yang dipersyaratkan kampusnya untuk kelulusan. Pada saat itu, Adam bertandang ke tempatnya magang. Waktu itu, Adam sedang menemani seorang rekan kerjanya yang mengurusi Memo of Understanding antara perusahaan tempat June magang dan kantornya.
Hari itu, Adam melihat June.
Gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang tidak ada lagi di hidupnya.
Lalu, Adam menyapanya.
Perawakannya mirip. Tetapi, June terlihat lebih lembut.
*
Pada semesta yang lain, Adam sedang dipindah tugaskan ke luar daerah.
Di hari kepindahannya, Adam pergi dengan pesawat terbang dan duduk di kursi nomor 15A.
Ketika Adam hendak memejamkan matanya, ada seorang gadis yang membawa sebuah koper kabin dan kesulitan meletakkannya di kabin pesawat.
Adam hanya melirik dari ujung matanya. Kemudian memejamkan matanya lagi.
Setelah seorang pramugari membantu gadis itu untuk meletakkan kopernya, dirinya kemudian duduk tepat di kursi yang ada di sebelah Adam.
Lalu, sebelum mematikan ponselnya, gadis itu menelepon seseorang. Sepertinya ibunya.
“Mah, aku besok mau ke Bromo.” katanya, “Ketemu di Malang ya.”
Dengan mata yang tertutup, Adam berpikir, ternyata orang di sebelahnya punya tujuan yang dekat dengannya.
*
Pada semesta yang lain, Adam baru saja putus dari kekasihnya.
Di waktu yang sama, June berpikir pasti menyenangkan jika dirinya punya kekasih yang mirip dengan idolanya. Tingginya, caranya berbicara, atau gayanya.
Cerita di semesta ini agak tidak disangka-sangka. Tetapi, akhirnya Adam dan June berkenalan. Kemudian, mereka menjadi dekat.
Lalu, memutuskan untuk bersama.
*
Pada semesta yang lain, June pergi ke kondangan seorang temannya.
Itu adalah pertama kalinya June pergi dengan Adam.
Setelah menyantap hidangan yang ada, June dan Adam menyalami kedua mempelai dan berfoto bersama.
Pada setiap orang yang dikenal masing-masing dari keduanya, June dan Adam akan berkata, “Ini pacarku. Namanya June/Adam.”
*
Pada semesta yang lain, Adam sedang berada di Jakarta. Ada bimbingan teknis di kantor pusatnya.
Dengan jaket dan tas punggungnya, Adam menunggu ojek online yang akan mengantarkannya ke penginapan untuk pegawai-pegawai kantornya.
Di perjalanan, teman dekatnya menelepon.
“Namanya June,” ujar temannya itu, “lumayan. Cantik, cocoklah sama tipemu. Kalau diajak ngobrol juga bisa nyambung.”
Maka, begitulah, kemudian Adam dan June bertukar kontak.
***
Ada banyak semesta-semesta lain yang di dalamnya terdapat June dan Adam sebagai tokoh utama.
Hanya saja, semesta-semesta itu tidak ada. Semua semesta itu tidak ada.
Barangkali, itu adalah latar belakang mengapa Adam dan Anne selalu kembali bertemu di lini masing-masing hidup mereka. Meskipun keduanya memutuskan untuk menukar peta dan memilih rute yang jaraknya jauh hingga tidak mungkin bersua, bagaimanapun juga keduanya akan bertemu lagi tanpa disangka-sangka.
Barangkali, begitulah cara semesta bekerja.
Apabila membicarakan perihal takdir Tuhan, sesuatu yang tidak diinginkan bagaimanapun usaha untuk menghindarinya, pasti akan bertemu juga. Sesuatu yang sangat diaminkan, bagaimanapun diusahakan, bisa jadi akan ada di genggaman sebentar. Lalu, terlepas begitu saja.
Bagi Anne, hidupnya menjadi damai setelah tidak mengusahakan apa-apa. Bagi Adam, hidupnya lumayan tenang tetapi ada hal-hal lucu yang tidak masuk akal sehatnya, khususnya perihal Anne. Bagi June, dirinya tidak tahu apa-apa, June tidak tahu perihal segala kemungkinan semesta-semesta ini. Bagi Ken, seseorang yang bersama Anne pada semesta lain, dirinya juga tidak tahu-menahu perihal semesta-semesta ini.
Di berbagai semesta, kenyataannya adalah tidak ada June yang bersama dengan Adam. Pun Anne dengan Ken. Semua itu tidak ada.
***
Pada semesta nyata, Anne sedang duduk di kursi makan yang ada di depan pantry. Laptopnya terbuka dengan layar yang menampilkan Microsoft Teams dan daftar obrolan dari orang-orang kantor.
Sekarang pukul tiga dini hari. Anne belum tidur semalaman.
Alih-alih segera beranjak untuk tidur sebelum kembali bekerja pukul tujuh pagi, Anne malah memegang mug yang berisikan minuman cokelat hangatnya yang terasa agak pahit.
Anne berpikir ada yang salah karena pekerjaannya sudah selesai sebelum subuh.
Atau, bisa jadi, dirinya saja yang terlampau perfeksionis dan lingkungan kerjanya yang amat tidak sehat.
Dinding kaca bening apartemen Anne yang langsung menghadap Jalan Tol Cawang-Grogol tidak tertutup tirai. Kadang-kadang Anne melamun sekitar satu dua menit sambil memandangi jalan itu sebelum kembali berkutat pada dokumen-dokumen yang ada di laptopnya.
Ruangan apartemen Anne dipenuhi oleh suara Sufjan Stevens. Lagu-lagu dari penyanyi itu merambat lamat-lamat dan menjadi kawan Anne malam ini. Lagu pertama yang mengudara adalah lagu kesukaan Anne dan dipikirnya cocok untuk didengarkan pada Minggu pagi yang dingin karena hujan, Should Have Known Better. Kemudian, Fourth of July menjadi yang selanjutnya. Hingga saat ini, soundtrack dari film Call Me by Your Name, berjudul Mystery of Love, memenuhi ruangan apartemennya yang sunyi.
Pukul empat, Anne menutup laptopnya. Lalu, berjalan dan duduk bersila di depan dinding kaca transparan apartemennya.
Suara Sufjan Stevens masih terdengar lamat-lamat. Kali ini, Anne mengeraskan volumenya.
Anne memandangi pemandangan Pancoran pada dini hari; bagaimana gedung-gedung pencakar langit bisa berdiri setegak itu dan tidak merasa kedinginan, bagaimana alat-alat transportasi tidak pernah berhenti berlalu-lalang.
Di tengah-tengah waktu diamnya itu, Anne bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa ya enggak pernah ngerasa cemas lagi? Kenapa enggak pernah ngerasain sedih lagi?”
Pada beberapa waktu, ketika dirinya punya waktu luang selama dua hingga tiga jam, Anne berpikir, bisa jadi menyenangkan jika dirinya punya seseorang yang spesial. Seseorang yang bisa dihubunginya lalu didengarkannya ceritanya. Atau, mendengarnya bercerita.
Hanya saja, Anne menyadari bahwa dirinya tidak tertarik untuk mengenal orang-orang baru. Pun berinteraksi.
Seorang temannya pernah berkata, “Anne, kamu harus coba kenalan sama orang. Buka hati. Di dunia ini nggak ada yang langsung jos. Semuanya perlu proses.”
Tetapi, saat ini, Anne bahkan tidak membalas obrolan yang coba dibangun oleh seorang lawyer lain yang berasal dari firma hukum yang berbeda dengannya. Seorang lawyer itu bahkan membuat janji untuk dinner dengannya. Meski jam tidurnya kurang dari tiga jam, lawyer itu segera membalas pesan Anne ketika Anne menanyakan suatu hal.
Pada obrolan lain, Anne tidak merespons pesan-pesan dari seorang yang dikenalnya dalam proyek kerjasama ekonomi antara Swedia dan Indonesia. Anne bisa mengobrol dengan seorang yang berasal dari benua di seberang lautan itu ketika mereka bekerja. Hanya saja, Anne tidak tertarik untuk berbicara perihal hal-hal di luar pekerjaan. Anne merasa malas.
Pada lantai lain di gedung kantornya, ada sebuah tax consulting company yang salah seorang konsultannya sering berpapasan dengan Anne ketika berada di lift pada jam makan siang. Biasanya, seseorang itu kembali ke gedung mereka dengan sebuah bungkusan Bakerman. Awalnya, tidak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Hingga pada suatu siang, seorang konsultan itu memberikan Anne sebuah sedotan reusable karena kantornya sedang menggalakan aksi ramah lingkungan.
“Thanks.” ujar Anne waktu itu.
Seorang konsultan itu mengucapkan sama-sama dan menjelaskan bahwa kantornya sedang membagi-bagikan sedotan reusable untuk kantor-kantor lain yang berada di lantai bawah dan atas kantornya.
“Biasanya saya liat Mbak turun di lantai dua puluh tiga. Tapi, waktu tadi kami ngebagiin ke companies di lantai itu, saya nggak liat Mbak.”
Anne tersenyum saja.
“Alvin. Dari lantai dua enam.” ujarnya kemudian.
Anne tersenyum lagi. Tidak berniat menanggapi.
“Kayaknya kita seumuran. Kelahiran di atas sembilan lima atau di bawah sembilan lima?”
“Maksudnya?” Anne mengangkat sebelah alisnya.
“Boleh tahu namanya siapa?”
Anne melirik sebentar, sebelum pintu lift terbuka dan Anne melangkah keluar, Anne menyebutkan namanya, “Anne.” katanya.
Tetapi, Anne tetap tidak tertarik untuk bercengkrama dengan Alvin atau siapapun itu namanya. Setelah percakapan di lift itu, Alvin beberapa kali mengiriminya bungkusan Bakerman dan segelas kopi hangat dari barista di lantai 25 gedung mereka. Kadang-kadang mereka tidak sengaja bertemu di lift dan Alvin mengajaknya untuk pergi makan siang bersama.
“Sorry, saya ada deadline client siang ini.” Begitulah biasanya Anne menolak tawarannya.
Ketika suara Sufjan Stevens berhenti memenuhi ruang apartemen Anne, Anne tersadar dari lamunannya. Sebenarnya, Anne bingung apakah kehidupan yang tenang dan damai juga berarti tidak punya perasaan yang seperti ini?
Hidupnya terlalu tenang dan damai.
Pukul lima, Anne membuka Linkedin-nya. Lalu, tanpa sengaja, dirinya melihat daftar orang-orang yang mengunjungi halamannya. Thanks to fitur premium Linkedin, Anne jadi punya satu kesibukan tidak penting di waktu senggangnya.
Ada orang-orang dengan nama asing yang ada di daftar. Julian. Albert. Andrina. Josep. June. Cinthya. Lalu, semakin banyak nama asing lain yang tidak dikenal Anne ketika dirinya menggulirkan daftar ke bawah.
Anne kemudian beranjak pergi ke kamar mandi. Mengisi penuh bath upnya. Lalu, merendamkan dirinya di air yang dingin.
Anne kembali bertanya kepada dirinya. Kapan kiranya dirinya merasakan perasaan menyenangkan dan bulatan hangat di perutnya? Sepertinya sudah cukup lama. Terakhir kali, ketika melihat nama seseorang di daftar notifikasi pesan masuknya. Sebelum Covid-19 menyebabkan karantina massal dan segala sistem yang dilakukan dari rumah.
Barangkali, sekitar tiga atau empat tahun lalu.
Anne bahkan lupa perihal seseorang itu. Seseorang bernama Adam.
Yang tidak Anne tahu adalah, salah seorang yang mengunjungi halaman Linkedin-nya dini hari ini adalah seseorang yang akan bersama Adam.
June.
Karena dirinya bukan Tuhan, pada saat dirinya berendam di bath up pada dini hari ini, Anne tidak tahu bahwa beberapa bulan kemudian, seorang rekannya bertanya padanya apakah dirinya mengenal June dan membuat Anne kebingungan perihal siapa si empunya nama itu.
Dengan segala keterbatasannya sebagai manusia, Anne tidak mengetahui bahwa beberapa bulan kemudian, dirinya tidak sengaja akan bertemu dengan Adam. Ketika itu, Anne memutuskan untuk bekerja dari Malang selama beberapa hari. Di waktu yang sama, Adam sedang berlibur bersama keluarganya ke kota itu juga.
Anne tidak tahu bahwa dirinya akan bertemu dengan Adam di restoran hotel, berbulan-bulan kemudian, pada jam makan pagi.
Pada jam makan pagi berbulan-bulan kemudian itu, Adam bisa jadi sedang berada di suatu hubungan dengan June. Di waktu yang sama, Anne bisa jadi sedang dekat dengan seorang bernama Ken, seorang lawyer yang kantornya merger dengan kantor Anne.
Ketika Anne dan Adam bertemu, keduanya merasa ada bola aneh yang menggelinding di perut mereka. Rasanya aneh. Seperti ada keinginan yang meriak-riak.
Anne dan Adam berpapasan ketika keduanya menggunakan baju kaos berwarna putih dengan kedua tangan yang membawa sebuah mangkuk kecil dengan isi yang juga sama. Kuah rawon.
Adam sepertinya tidak menggunakan body wash yang disediakan pihak hotel. Anne bisa mencium aromanya. Pun Anne, dirinya juga tidak tercium seperti aroma body wash dan segala perintilan yang disediakan oleh pihak hotel. Kebetulannya adalah, mereka berdua seperti menggunakan body wash pribadi dengan merk yang sama.
Adam dan Anne bahkan punya banyak kesamaan yang kebetulan.
“Anne? Apa kabar?” Itu adalah pertanyaan pertama Adam ketika keduanya mengakhiri tatapan canggung mereka.
Anne tersenyum tipis sebentar. Kemudian berkata, “Baik.”
Anne tidak balik bertanya. Sebaliknya, dirinya kembali ke meja makannya dan menyantap rawonnya perlahan-lahan.
Tetapi, Adam dan Anne sesekali mencuri pandang akan satu sama lain.
Ketika Anne menyadari bahwa ada hal yang tidak beres pada dirinya, Anne kemudian bergegas bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
Ketika itu, Adam menghampirinya dan tiba-tiba bertanya, “Anne, kamu masih suka es krim?” tanyanya, “Hotel ini bisa sajikan waffle dengan gelatto untuk breakfast. Just like your favourite.”
Yang tidak Anne tahu adalah bahwa berbulan-bulan kemudian kantornya menangani salah satu proyek yang ada kantor Adam di dalamnya. Bahwa ternyata untuk sementara waktu Adam juga bekerja dari Jakarta dan mereka jadi lumayan sering bertemu karena pekerjaan.
Berbulan-bulan kemudian, Anne dan Adam tidak pernah menyangka bahwa mereka berdua akan makan di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih.
“Kamu pernah makan di sini?” tanya Adam pada berbulan-bulan kemudian ketika mereka menunggu masing-masing nasi goreng mereka dihidangkan.
Anne mengangguk, “Ya.” katanya.
“Kapan?” Adam bertanya lagi.
“Sudah lama.” ujar Anne.
“Waktu kita masih kayak anak kecil?”
Anne mengerutkan kening dan hidungnya.
Kemudian, mereka berdua tertawa.
“Sudah berapa tahun yang lalu ya itu?”
Pada waktu berbulan-bulan kemudian itu, Anne tidak pernah membayangkan bahwa ternyata nasi goreng yang disantapnya rasanya agak kurang nikmat ketika disantap bersama Adam. Padahal, itu adalah dinner pertama mereka setelah bertahun-tahun dan sebelum bertahun-tahun sebelumnya. Anne berpikir seharusnya rasanya semakin nikmat dan menyenangkan. Tetapi, ternyata tidak demikian.
Bagi Adam, rasanya Anne adalah seorang yang selalu dikenalnya. Adam selalu punya diri Anne yang terkonsep pada tiap ingatannya.
Ketika keduanya menyantap nasi goreng mereka, handphone Anne berbunyi. Setelahnya, Anne langsung bersiap-siap dan berkata, “Sorry, ada meeting mendadak. Makasih ya makan malamnya. Enak. Aku suka. Sorry banget aku harus buka laptop di sini,” ujarnya, “Aku balik sendiri aja, ada yang harus aku kerjain. Makasih ya sudah dijemput.” Kemudian, Anne segera menelepon seseorang untuk menjemputnya.
Di saat-saat menunggu seseorang yang tadi diteleponnya tiba, Anne sudah berkutat dengan laptop yang diletakannya di pangkuannya. Anne seperti tidak menyadari bahwa ada orang lain di sana. Anne seperti punya gelembung dunianya sendiri.
Tetapi, bagi Adam begitulah Anne.
Anne selalu membuat Adam takjub perihal bagaimana dirinya menjalani hidupnya. Terlihat seperti tidak pernah terusik dan takut akan apapun. Apabila di tengah samudra biru yang luas dan dalam ada satu batu karang besar yang kokoh di tengahnya, itulah Anne bagi Adam. Di mata Adam, Anne selalu menjadi seseorang yang menakjubkan, sekaligus seseorang tidak pernah bisa dibacanya.
Barangkali, itulah yang membuat Adam menyuap nasi gorengnya sambil tersenyum.
Meskipun Adam punya banyak topik yang ingin diobrolkannya bersama Anne, melihat Anne yang sibuk dengan laptopnya dengan tatapan serius rasanya menyenangkan juga.
Bagi Adam, Anne tidak pernah berubah.
Hanya saja, pada semesta ini, sepertinya Adam terlambat lumayan jauh. []
01.12.22
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
mutiara moetiara
Moetiara punya beberapa perhiasan mutiara yang menjadi kesukaanya.
Perhiasan itu berbentuk cincin. Masing-masing dengan sebuah mutiara berwarna putih agak kekuningan. Jumlahnya ada beberapa.
Di lain waktu, Moetiara bahkan bisa menggunakan semua cincin-cincin itu pada jari-jari tangan kanannya. Cincin-cicin itu punya ukuran beragam. Tetapi, warnanya tetap sama.
Di jari manis Moetiara, biasanya ada satu cincin dengan mutiara yang menurutnya berukuran pas. Tidak kecil tapi juga tidak besar. Cincin itu adalah cincin yang paling Moetiara sayang.
Senyum Moetiara tidak pernah luntur jika menggunakan cincin satu itu.
Ketika menggunakan cincin itu, Moetiara bisa mengingat laut dan pantai. Lalu, gunung dengan aliran-aliran sungai kecil. Juga, hamparan sawah dan bunga tulip seperti dalam film. Atau, warung sate pinggir jalan yang tidak akan pernah dirinya datangi.
Hanya saja, sekitar tiga atau empat tahun lalu, Moetiara harus menyerahkan cincin-cicin itu kepada orang lain. Penyerahan itu juga termasuk cincin kesayanganya yang tidak pernah mau dibagikannya kepada siapapun.
Dalam penulisannya, ada kata “harus” karena penyerahan itu bukan keinginan Moetiara.
Moetiara masih ingin menggunakan cincin-cincin bermata mutiaranya itu. Dulu, pada setiap malam sebelum dirinya tidur, Moetiara akan mengeceknya satu demi satu. Lalu, mengucapkan cincin-cincin itu selamat malam. Seringnya, Moetiara juga mengajaknya mengobrol.
“Apa pada seseorang baru itu kelihatannya lebih pas?” Kadang-kadang, Moetiara menggumamkan pertanyaannya.
Pada suatu waktu, Moetiara akan merasa bahwa hatinya sudah sangat ringan apabila teringat akan cincin-cincin itu. Maka, Moetiara menarik kesimpulan bahwa dirinya sudah mengikhlaskan semua cincinnya.
Lagipula, Moetiara pikir, dirinya sudah dapat cincin-cincin bermatakan berlian. Seharusnya lebih bagus.
Hanya saja, apakah sungguh perasaan ikhlas jika keikhlasan tersebut diucapkan?
“Aku bersyukur karena cincin-cincin itu bukan kepunyaanku lagi. Rasanya lega. Ruang penyimpananku jadi lebih luas. Dulu, setiap kali bersama cincin-cicin mutiara itu rasanya berat. Seperti selalu mempertanyakan pada diri sendiri, ‘kenapa rasanya seperti tidak terlihat?’ atau ‘kenapa rasanya selalu ada yang kurang?’. Harusnya menggunakannya membuat semakin bahagia, nyatanya setelahnya jadi semakin sering mempertanyakan diri sendiri.”
Pada waktu-waktu yang lain, Moetiara akan menangis tersedu-sedu.
“Kenapa harus ada pada jari-jari tangan orang lain?” tanyanya pada diri sendiri di suatu malam, “Berlian indah tapi lebih pas jika mutiara.” Lalu, Moetiara akan menangis untuk seper sekian detik.
Biasanya, setelah itu, Moetiara akan kembali baik baik saja.
Suatu hari, di sebuah tempat minum, Moetiara bertemu dengan pemilik baru dari cincin-cincinnya. Pemilik baru itu sebenarnya sudah menginginkan cincin-cincin Moetiara sejak lama. Hanya saja, Moetiara baru memutuskan untuk melepaskan cincin-cincinnya pada tahun setelah itu.
“Indah, ya,” ujar Moetiara ketika melihat cincin-cincin mutiaranya yang telah terpasang pada jari-jari seorang lain, “dijaga, ya. Jangan sampai tergores.”
Pemilik baru cincin-cincin itu tersenyum lebar. Jari-jari tangannya yang menggunakan cincin-cincin itu digerak-gerakan.
Kemudian, pemilik baru itu meminta Moetiara untuk memotret dirinya yang sedang menggunakan cincin-cincin itu.
Moetiara tersenyum. Lalu, mengiyakan.
Sesekali, mata Moetiara menatap cincin-cincin mutiaranya. Matanya selalu mencuri pandang pada cincin mutiara kesayangannya, yang dulu dipikirnya adalah cincin paling pas untuknya.
“Apa mereka juga diucapkan selamat malam dan diajak berbicara?” Moetiara bergumam setelah pemilik baru cincin-cincin mutiara itu keluar dari tempat minum.
Sambil menyesap hot chai teanya pelan, Moetiara berusaha kembali sibuk dengan pekerjaan yang terpampang pada layar laptop di depannya.
Barangkali, beberapa hal meskipun sudah tidak ada di genggaman memang perlu waktu untuk diikhlaskan. []
26.08.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
beradaptasi atau berubah?
Mengutip dari salah satu buku yang ditulis oleh Dale Carnegie, orang-orang tidak tertarik pada orang lain. Orang-orang tertarik pada diri mereka sendiri.
Hal tersebut terjadi sepanjang waktu.
Suatu kali sebuah Perusahaan Telepon New York membuat studi tentang obrolan telepon mengenai kata apa yang paling sering digunakan. Hasil dari studi itu menampilkan bahwa ternyata kata yang paling sering digunakan dalam obrolan adalah kata “saya”. Berdasarkan studi tersebut, dari lima ratus obrolan telepon, kata “saya” digunakan hampir sebanyak empat ribu kali.
Ketika membaca lagi tulisan-tulisan yang lalu, ada satu hal paling mencolok yang saya temukan. Temuan itu adalah bagaimana saya lebih banyak menuliskan sesuatu yang fokusnya bukan pada saya.
Pada tulisan-tulisan saya yang dulu, tentu saya juga menuliskan kata “saya”. Hanya saja, frekuensinya tidak lebih banyak daripada yang dapat ditemui pada tulisan-tulisan saya yang sekarang.
Dulu, selalu ada orang-orang yang selalu saya jadikan ‘superhero’ pada tiap-tiap tulisan saya. Pokoknya orang-orang itu adalah orang paling baik dan sempurna. Saya tidak peduli apabila kenyataan yang ada menunjukan hal yang berkontradiktif dengan apa yang ada di benak saya.
Barangkali, saya berubah.
Atau, barangkali, saya kembali menjadi seseorang yang memang seperti itu sejak awal, dalam artian: saya kembali memilih diri saya sendiri, saya kembali memprioritaskan diri saya sendiri, saya akhirnya berhenti melihat orang-orang dari konsepsi tentang mereka yang saya buat dan/atau yakini sendiri.
Barangkali, jika Perusahaan Telepon New York itu kembali membuat studi—namun kali ini dilihat dari tulisan tinimbang obrolan—bisa jadi saya adalah salah seorang di antara orang-orang yang lebih banyak menggunakan kata “saya” pada tulisan-tulisannya.
***
Pada tahun 2022, ada beberapa momen yang menjadi core memories saya, misalnya:
1. Tersenyum kepada seorang yang saya ketahui benar bagaimana dirinya selalu merapal nama saya di mejanya pada saat tidak sengaja bertatapan dan melihat bagaimana reaksi terkejutnya;
2. Memeriksa memo Allen & Overy;
3. Gempa yang terasa hingga Jakarta;
4. Menikmati es krim lemon di tempat duduk yang ada di trotoar Starbucks Jalan Braga, Bandung.
Ada seseorang yang tidak ada pada seluruh momen yang saya tuliskan itu. Ketika saya sibuk memutar ulang momen-momen itu, saya menyadari satu hal.
Seseorang ini baru hadir kembali di tahun berikutnya ketika saya telah melepaskan hal-hal yang sebenarnya harus saya lepaskan sejak lama.
Ternyata, memang benar, untuk menerima suatu hal yang lebih baik dan besar kita harus melepaskan apa-apa yang memenuhi tangan kita dulu. Setelah itu, ketika tangan kita sudah kosong, barulah kita dapat menggenggam suatu hal yang lebih pas karena kita mempunyai ruang.
Ketika kita bersikeras untuk menggenggam sesuatu yang ukurannya tidak pas, tentu tidak ada ruang untuk kita terhadap sesuatu yang lebih pas dari itu. Kekeraskepalaan akan pemikiran bahwa kita mengetahui apa yang paling pas untuk kita seringkali membuat kita menjadi terjebak di sebuah situasi yang membuat kita sesak dan membutakan mata kita akan obatnya.
Tiga tahun belakangan, frekuensi obrolan mendalam saya dengan orang-orang di lingkar kehidupan saya tidak sesering dulu. Bisa jadi karena sekarang prioritas masing-masing kami telah berubah; pendidikan, pekerjaan, pasangan.
Ketika kami melakukan hal itu, rasanya seperti saya tidak pernah berubah.
Pun orang-orang di kehidupan saya.
Rasanya seperti saya membeku di usia spesifik ketika kami bersama-sama. Tidak menua, tidak semakin sibuk, tidak merasa penat. Di usia itu, yang kami tahu hanya haha-hihi dan kesalahpahaman-kesalahpahaman konyol yang sekarang bisa jadi bahan tertawaan.
Hanya saja, pada suatu dini hari di awal tahun, seseorang mengatakan pada saya bahwa tidak apa-apa jika semuanya berubah. Katanya, mungkin saya juga berubah. Tapi, baginya, saya tetap menjadi saya yang selalu dirinya kenal.
Waktu itu, saya duduk di bawah jendela kamar saya. Tubuh saya bersandar pada dinding beton bercat putih gading yang dingin.
Kemudian, saya menangis.
Setelah waktu yang lama, dini hari pada hari itu adalah pertama kalinya saya menangis karena merasa lega dan sedih di waktu bersamaan.
Saya bahagia sekali pada tiap obrolan mendalam yang saya lakukan bersama orang-orang di lingkar kehidupan saya.
Tetapi, obrolan dini hari waktu itu sungguh membuat saya tertegun. Rasanya menyenangkan bahwa saya masih memiliki seseorang yang mengenal saya sebagai saya yang selalu dirinya kenal. Sebanyak apapun saya mengadaptasikan diri saya pada kehidupan saya yang sekarang.
Mungkin orang-orang memang sudah berubah. Mungkin orang-orang di lingkar kehidupan saya juga demikian.
Atau mungkin, sebenarnya tidak ada yang benar-benar berubah.
Mungkin, masing-masing dari kita hanya sibuk beradaptasi dengan kehidupan baru yang tidak pernah kita sangka bahwa kenyataannya akan menjadi demikian. Maka, mau tidak mau, kita harus mengikuti ritme yang ada. Padahal, sebenarnya, kita selalu menjadi diri kita yang sering dilabeli semua orang, termasuk diri kita sendiri, dengan “diri kita yang dulu”.
Perkataan “Si X sudah berubah.” kemudian membuat saya menyadari bahwa sebetulnya dirinya yang dikatakan berubah hanyalah dirinya yang berusaha untuk beradaptasi dengan kehidupannya yang sekarang. Apalagi yang bisa manusia lakukan agar bisa tetap bertahan jika tidak beradaptasi?[1]
Setelah obrolan dini hari itu, kami terus mengobrol hingga hampir pagi. Kami mengulang banyak momen dari laci masa lalu yang kami namai dengan “hari-hari lama yang hanya kepunyaan kita”.
Dini hari pada waktu itu adalah pertama kalinya saya merasa begitu ringan dan bahagia luar biasa selama tiga tahun belakangan.
Tentu saya bahagia akan waktu-waktu yang saya habiskan dengan diri saya serta orang-orang di lingkar kehidupan saya yang lainnya. Saya selalu antusias dan bersyukur atas obrolan-obrolan mendalam yang kami lakukan. Saya bahagia atas semuanya.
Hanya saja, obrolan dini hari waktu itu rasanya berbeda.
Bahkan, ketika saya tidak tidur dan harus kembali melanjutkan “adaptasi” dengan kehidupan saya yang sekarang, perasaan yang saya rasakan selepas obrolan itu hanyalah perasaan bahagia yang menyenangkan.
Saya tetap tersenyum dan bahagia hingga hari-hari berikutnya.
Perasaan yang saya rasakan saat itu sama seperti perasaan yang dulu saya rasakan setelah mengobrol hingga dini hari dengan orang-orang di lingkar kehidupan saya yang sekarang juga sibuk beradaptasi dengan kehidupan mereka, sama seperti saya yang sibuk beradaptasi dengan kehidupan saya.
Saya bersyukur atas semua orang yang ada di lingkar kehidupan saya serta apa-apa yang terjadi di dalamnya. Termasuk segala adaptasi-adaptasi yang menyertainya. []
***
[1] Hal ini mengingatkan saya pada satu buku yang berjudul Who Moved My Cheese? karangan Spencer Johnson yang mengisahkan perihal pentingnya kemampuan beradaptasi melalui tokoh dua ekor tikus.
17.08.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
perayaan tiga tahun
Berapa harga yang harus dibayar oleh seseorang untuk semua tulisan-tulisan saya?
Beberapa waktu lalu saya tidak sengaja membuka akun icloud saya yang lama. Akun itu sepertinya sudah hampir tiga tahun tidak saya buka.
Pada hari itu, saya perlu menemukan sebuah foto sampul dokumen dan saya kesulitan menemukannya melalui handphone. Saya pikir mungkin tersimpan otomatis di akun icloud sehingga kemudian saya mencoba untuk menemukannya melalui laptop yang terhubung dengan akun icloud tersebut. Hanya saja, ternyata akun icloud yang ada di depan mata saya hari itu bukanlah akun icloud yang saya maksud.
Untuk beberapa detik saya merenung. Sebuah ikon yang berlabelkan “Galeri” menggelitik ujung hati. Setelah memutuskan untuk menganggap bahwa keputusan untuk membuka folder itu didasari oleh kesadaran penuh akan konsekuensinya, akhirnya saya melihat hampir dua ribu foto dan video yang mengendap di sana.
Tentu saja foto sampul dokumen yang awalnya saya cari tidak ada di sana. Ini adalah icloud yang berbeda. Ini adalah kotak pandora.
Saya penasaran, apakah nama serta wajah yang terkubur dalam foto-foto serta video-video yang hari itu saya jamahi satu per satu pernah merasakan perasaan yang saya rasakan saat itu. Rasanya seperti menjadi sangat kecil; seperti ada seseorang yang mengikat tenggorokan saya. Lalu, napas saya menjadi tarikan panjang dan embusan yang sangat pelan.
Ada beberapa foto dan tangkapan layar yang saya biarkan bertahan di layar selama lebih dari satu menit. Saya amati benar-benar hingga detail paling kecilnya.
Hingga awal tahun lalu, saya selalu penasaran perihal apa yang salah. Saya merasa harus menemukan jawaban mengapa sebuah kejadian bisa terjadi. Selama dua setengah tahun, satu tahun pertamanya saya habiskan dengan doa tengah malam kepada Tuhan dengan penuh deraian air mata hingga tertidur karena kelelahan.
Saya bahkan merayu Tuhan untuk ‘menukar’ apa yang saya inginkan dengan apa yang saya punya.
Saya ingat bagaimana saya menjadi orang yang merasa jauh lebih tahu dari Tuhan tentang apa yang baik dan pas di hidup saya.
Hingga hampir dua setengah tahun setelah itu, saya mengetahui balasan apa yang Tuhan katakan pada tiap-tiap doa malam saya yang penuh dengan air mata, yang setiap hari pada tiap-tiap malam itu sukses membuat mata saya selalu terlihat seperti disengat tawon besok harinya.
***
Saya bukan seseorang yang alim—ini adalah disclaimer utama. Hanya saja, saya tidak mau berbohong bahwa apa yang hampir dua setengah tahun kemudian Tuhan tunjukan pada saya membuat saya terdiam sambil memandangi layar telepon saya cukup lama.
Ternyata, Tuhan memberikan apa yang saya minta di malam-malam itu.
Ternyata, janji Tuhan untuk mendengar apa yang hamba-Nya katakan benar adanya. Saya bukan orang yang taat sekali kepada Tuhan. Saya masih harus banyak belajar. Hanya saja, bahkan dengan keadaan saya yang seperti itu, Tuhan masih dengan luar biasa baik memberikan saya segalanya.
Omong-omong, kabar baiknya, Tuhan tidak menerima tawaran tukar-menukar saya.
Sebaliknya, meskipun saya memutus segala hal yang berkemungkinan untuk mengantarkan saya kepada bagian lebih baik dari segala tawaran barter saya pada Tuhan, entah bagaimana caranya selalu ada celah hingga saya bisa ada di posisi yang lebih baik.
Tuhan bahkan memberikan saya kesempatan cuma-cuma hanya agar saya merasa puas karena telah berusaha mencari jawabannya. Padahal Tuhan tahu yang saya cari tidak ada di sana.
Semua itu tidak pernah saya minta pada Tuhan. Sebaliknya, saya ingin menukarkan akarnya dengan sesuatu yang waktu itu saya anggap paling baik untuk saya. Padahal hal-hal yang ingin saya tukarkan itu adalah hal-hal yang membuat saya ada di tempat yang lebih baik.
Perlu waktu hampir dua setengah tahun setelah itu hingga saya baru mengetahui bahwa sebenarnya Tuhan sudah memberikan apa yang ingin saya tukarkan itu sejak hari pertama saya berderai air mata di doa-doa tengah malam saya. Bahwa ternyata, Tuhan sudah berikan yang saya minta pada malam-malam itu langsung pada saat saya memintanya, hanya saja tidak langsung Tuhan letakan di tangan saya saat itu juga.
Omong-omong, perihal pikiran berlebihan, kadang-kadang apa yang ada di pikiran kita adalah suatu hal yang kita buat sendiri. Kemudian, dengan segala kecemasan yang tidak berdasar, kita melebih-lebihkannya dengan sukarela.[1]
Di sisi lain, sebenarnya di dunia ini tidak ada yang lebih baik atau kurang baik antara satu orang dengan satu orang lainnya.[2] Ketika seseorang sedang berada di toko bunga dan membeli bunga anggrek gastrodia agnicellus tinimbang lily, bisa jadi bunga dengan wangi semerbak dan cantik bukanlah sesuatu yang disukainya sehingga dirinya tidak memilih bunga itu. Bisa jadi ada sesuatu pada anggrek gastrodia agnicellus yang membuatnya memilihnya. Meskipun begitu, pilihan seseorang tersebut tidak serta merta membuat bunga lily menjadi lebih buruk dibandingkan anggrek gastrodia agnicellus tersebut. Pun sebaliknya.
Pernah dengar mengenai legenda Jepang tentang benang merah? Menurut legenda, satu orang terhubung dengan seorang lainnya melalui seutas benang merah. Dengan adanya benang merah yang terhubung itu, maka bisa dikatakan bahwa mereka ditakdirkan untuk satu sama lain. Setiap orang punya benang merah masing-masing yang menghubungkannya pada orang-orang yang menjadi takdirnya.
Hanya saja, saya rasa itu tidak hanya berlaku untuk peristiwa ketika seseorang ditakdirkan dengan seseorang lain. Bisa jadi hal itu juga berlaku untuk suatu momen dalam hidup yang sudah ada dari waktu yang lama namun baru terjadi dan/atau disadari pada waktu yang tepat.
***
Dari hal-hal yang ada, saya rasa jawaban dari pertanyaan, “Berapa harga yang harus dibayar oleh seseorang untuk tulisan-tulisan saya?” adalah suatu hal yang tidak bisa saya konkritkan jawabannya.
Saya tidak tahu berapa harga yang harus dibayar oleh seseorang yang dimaksud oleh pertanyaan itu.
Selama tiga hingga empat tahun terakhir, saya yakin ada seseorang yang melewati banyak hal yang menyenangkan dan tentu saja yang kurang menyenangkan. Saya yakin ada seseorang yang merasakan dadanya berdebar dan perasaan tenang. Saya yakin seseorang tersebut tentu punya harga yang harus dibayar. Bisa jadi harga itu adalah waktunya. Bisa jadi adalah orang spesialnya. Bisa jadi mimpi-mimpinya. Bisa jadi perasaan yang masih mengganggunya namun belum sempat diutarakan olehnya.
Ketika saya membuka icloud saya beberapa hari lalu, saya menemukan semua percakapan yang membuat saya takjub.
Saya tidak menyangka bahwa saya terlihat ‘berbeda’ dengan saya pada masa ini. Saya yang waktu itu terlihat sangat menyenangkan dan cerdas di waktu bersamaan. Rasanya pasti mengejutkan—dalam artian tidak baik—ketika kehilangan saya yang waktu lampau. Rasanya pasti membingungkan.
Saya masih punya pesan dari orang-orang yang menanyakan kemana saya waktu itu. Saya masih punya tangkapan layar atas semua pesan-pesan yang bahkan tidak bisa saya balas hingga detik ini.
Terlepas dari itu semua, saya mendoakan segala hal baik pada kehidupan orang-orang yang ada di kisah ini. Mantra saya pada tiap-tiap tulisan yang saya tulis untuk orang-orang yang tersayang adalah, “Semoga Tuhan menjagamu dan kebahagiaanmu.” yang artinya mencakup kebahagiaan di dunia dan dunia setelah ini.
Menyadari bahwa ternyata tiga tahun bisa terjadi dalam sekejap mata, saya menemukan fakta bahwa dengan apa yang terjadi pada waktu lampau membuat saya mengetahui siapa yang benar-benar ada di dalam lingkar hidup saya. Saya masih menyimpan tiap pesan yang dikirim oleh teman-teman saya di masa-masa itu. Saya masih bisa mengingat dengan jelas segala percakapan yang kami lakukan. Saya selalu ingat siapa saja mereka. Dari semua itu, saya bersyukur kepada Tuhan karena tidak langsung menunjukkan bahwa sesungguhnya apa yang saya minta telah diberikan olehnya saat itu juga.
***
Suatu hari di Jakarta, pada akhir tahun dua ribu dua puluh dua, saya masih memandang langit-langit kamar saya sambil menangis dan berkata, “Seandainya waktu itu saya mengucapkan terima kasih”. Saya menyalahkan diri saya untuk ketidakmampuan saya mengucapkan satu kata ajaib itu karena dalam keyakinan saya, saya tahu betul bahwa waktu itu saya seharusnya mengatakannya. Padahal ternyata, bukan itu masalahnya.
Beberapa hari kemudian, pada sekitar tanggal dua puluh Januari dua ribu dua puluh tiga, saya tiba di Bandung pada tengah malam. Sepanjang perjalanan Jakarta – Bandung, bunga tidur saya adalah sebuah lego.[3] Dalam mimpi saya, mata saya mengamati lego itu dengan gerakan yang sangat lambat hingga rasanya saya kesal sekali.
Malam itu, ketika saya memutuskan untuk kembali tidur di kamar hotel, saya menggigil hingga gigi saya bergemeretak. Rasanya tulang saya menjadi seperti kutub utara. Dinginnya terpancar ke seluruh tubuh saya dari sana.
Besok harinya, saya demam.
Kejadian yang saya alami ketika di Bandung hari itu persis seperti apa yang saya rasakan sekitar tiga tahun lalu di hari suatu kejadian terjadi. Bedanya, setelah hari itu, tidak ada doa-doa tengah malam yang dipenuhi derai air mata kepada Tuhan. Saya tidak peduli dengan segala hal yang berkemungkinan terjadi—atau yang ternyata sungguh terjadi.
Setelah hari itu, hidup saya sungguh tenang dan damai.
Apabila Tuhan menawarkan kepada saya untuk mengulang semuanya dan memberikan dua pilihan yang berbeda, saya akan tetap memilih apa yang terjadi di kehidupan saya yang ini. Tetapi, saya ingin meminta kesempatan pada Tuhan untuk mengucapkan terima kasih di waktu itu terlebih dahulu.
“Sesuatu yang ditakdirkan Tuhan untuk kita, pasti tidak akan pernah melewatkan kita.” Saya baru merasakan hal nyata dari kalimat ini hampir tiga tahun setelah sebuah kejadian itu.
Selamat merayakan apa yang membuat kita menjadi lebih kuat dan hebat. Bagi saya, hal itu adalah sebuah kejadian yang terjadi di waktu lalu. Dunia ini jelas menjadikan kita dua tipe manusia: seseorang yang melembut atau mengeras.
Semoga semua orang yang membaca ini selalu dijaga Tuhan bahagianya. []
***
[1] Berdasarkan kumpulan buku, rekaman, serta konseling dengan professional, salah satu cara untuk mengatasi keadaan ini adalah dengan menanyakan dari siapa pikiran buruk itu muncul; apakah dari orang lain atau diri kita sendiri. Baik dari diri sendiri pun orang lain, bertanyalah, “Memangnya kenapa?”. Lalu, cobalah untuk mencari penyelesaiannya tanpa merendahkan diri sendiri.
[2] Ketika kita meragukan diri sendiri atau merasa bahwa cinta kita akan diri sendiri tidak memenuhi standar “seharusnya” yang kita buat, cobalah untuk menuliskan, “I LOVE MYSELF” atau hal-hal semacam itu. Tulislah dengan ukuran yang besar. Kemudian, tempelkan di tempat yang sering kita lihat. Cara lain juga bisa dilakukan dengan melakukan journaling, jangan lupa untuk menambahkan bagian untuk daftar hal-hal yang bisa disyukuri di hari itu.
[3] Pada tanggal empat atau lima Februari di tahun yang sama, saya pergi ke tempat yang saya lihat di malam itu. Saya memesan sepiring pancake dengan topping peach dan segelas minuman dingin.
16.08.23
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
dari buku pengembangan diri hingga obsesi
“Ketika kamu terobsesi pada seseorang, sebenarnya kamu menginginkan sesuatu yang ada pada orang itu, dimiliki orang itu, yang tidak bisa kamu miliki.”
Saya lupa di mana kiranya saya pernah mendengar pun membaca kalimat itu. Sejak saat itu, apabila ada sesuatu yang “mampir” di hidup saya dan merujuk pada obsesi, kalimat itu langsung muncul lagi.
***
Saya pernah dengar bahwa apabila kita membaca suatu buku dengan kategori pengembangan diri, maka kita harus mengulangnya agar intisari dari buku tersebut tidak tergerus di kehidupan kita.
Omong-omong, saya tidak pernah melakukan itu.
Setiap kali membaca berbagai buku pengembangan diri, saya selalu menyematkan sticky note pada bagian yang saya suka agar apabila suatu ketika saya ingin membacanya lagi, saya bisa memulainya dengan memilih sembarang sticky note yang saya lihat lebih dulu.
Sekitar empat tahun lalu, saya pernah melakukan kegiatan ‘melihat sembarang apa yang ditandai oleh sticky notes’ dengan beberapa orang. Tiap kali saya dan beberapa orang itu membuka halamannya, satu orang akan membacanya dan setelah itu bertanya apakah benar bahwa kedengarannya seperti apa yang kami rasakan pada saat itu. Biasanya, saya dan beberapa orang itu akan saling berpandangan dan mengangguk-angguk, mempertanyakan dengan takjub mengapa bisa selaras dengan apa yang dirasakan.
Saya dan beberapa orang itu tidak hanya melakukannya pada buku dengan kategori pengembangan diri. ‘Melihat sembarang apa yang ditandai oleh sticky notes’ juga dilakukan pada buku fiksi seperti novel. Ketika kutipannya dibacakan, akan ada komentar dan tawa perihal mengapa kutipan yang dibacakan bisa sangat akurat.
Empat tahun kemudian, saya menyadari suatu hal. Bahwa ada banyak hal-hal yang berubah dan orang-orang yang telah tiada. Memaksakan untuk tetap berada di situasi yang seperti itu dengan orang-orang yang belum tentu punya intensi yang sama adalah suatu hal yang melelahkan.
Omong-omong, setiap kali saya merasa lelah sekali atau tidak sanggup dengan beberapa hal yang saya alami dalam hidup, saya akan diam sebentar dan mengingat-ingat lagi apa yang telah saya lewati.
Waktu lalu ketika saya berbincang dengan seorang Psikolog, Psikolog tersebut berkata bahwa kita tidak harus memacu diri kita seperti keledai. Tentu ketika keledai itu dipacu, dipukul, dirinya akan berjalan. Hanya saja, suatu waktu, ketika sudah sangat lelah, dirinya akan terluka dan kakinya tentu lecet. Dalam hal memanusiakan diri sendiri, seyogyanya kita tidak memperlakukan diri kita seperti itu dan menyadari bahwa kita harus memberikan jeda diri kita untuk bernapas.
Dalam hidup, ada beberapa hal yang tidak sadari dipengaruhi oleh apa yang kita konsumsi—buku serta satu dua hal yang kita biarkan mempengaruhi kita, misalnya.
Saya pernah tidak sengaja bertemu seseorang yang membuat saya merasa tidak baik-baik saja. Hari itu, saya tersenyum lebar karena saya memang sedang tertawa. Meskipun benar bahwa saya memang punya pilihan untuk tidak tersenyum. Ketika melihatnya, saya bisa saja membuang muka. Atau, memicingkan mata saya, Namun, waktu itu, saya juga tidak tahu mengapa saya malah melebarkan senyum saya. Itu adalah senyum paling tulus yang saya berikan kepada orang itu. Saya ingat bagaimana dirinya terkejut melihat senyum saya yang begitu merekah.
Di lain waktu, saya pernah tidak membalas pesan yang panjang sekali dari seseorang yang tidak saya kenal perihal prasangkaannya. Dalam sudut pandangnya, saya adalah orang yang berkontradiktif dengan apa yang saya tampilkan di dunia maya. Selepas kejadian itu, dirinya mencibir perihal saya dan korelasi saya yang membaca buku.
Pada waktu yang lain, orang-orang yang ada di ruangan meeting mempertanyakan mengapa saya berani sekali berbicara dalam meeting kepada atasan saya padahal saya adalah anak baru, satu-satunya, yang paling muda.
Setelah dipikir-pikir, ketika ingin menjabarkan alasannya, akan menjadi seperti ini kira-kira: saya tersenyum karena saya pikir tidak apa-apa lagi; bahwa semua yang terjadi meskipun disesali dan dibiarkan hingga menjadi amarah yang mengeras di dalam hati tiada gunanya. Bahwa kemudian, perihal pesan yang tidak saya balas justru salah satu faktornya adalah karena apa yang saya dapatkan dari buku-buku yang saya baca, seandainya saya tidak membaca buku-buku itu bisa jadi saya akan membalasnya dengan untaian kata yang sama panjangnya dan langsung padanya. Ketika atasan saya memandangi saya dengan tatapan tajam, yang ada di pikiran saya adalah, untuk setiap hal sebenarnya kita hanya punya satu kesempatan saja. Maka, saya menyalakan microphone saya dan mengutarakan apa yang saya tahan-tahan sejak meeting pertama. Pada akhirnya, atasan saya senang dan berterima kasih atas pencapaian yang didapat di hari itu.
***
Pemikiran saya tentang obsesi diawali dengan obrolan malam hari bersama seseorang.
"Sebenarnya terobsesi atau bagaimana?" Kira-kira itulah pertanyaan yang dilemparkan oleh seseorang di ujung telepon waktu itu.
Kami sedang membicarakan suatu hal lain. Lalu, tiba-tiba kami berada di topik perihal obsesi.
Pembicaraan kami malam itu membuat saya memikirkan perihal obsesi dan hal-hal terkait. Selama ini saya menyadari bahwa obsesi seringnya saya tafsirkan sebagai sesuatu dengan konotasi negatif. Maka, kemudian, saya mempertanyakan bagaimana sebenarnya tolak ukur seseorang sehingga dapat dikategorikan sebagai seseorang yang terobsesi?
Ada sebuah teori psikoanalitik yang menarik dari Sigmund Freud ("Freud"). Menurut Freud, manusia adalah sesuatu yang kompleks. Di dalam teori kepribadiannya, Freud kemudian membagi tiga elemen kepribadian manusia.
Ketiga elemen itu masing-masing dinamai sebagai id (bekerja berdasarkan tujuan kesenangan dan kepuasan, tidak memedulikan pemikiran realistis serta baik dan buruk), ego (bekerja berdasarkan realita, memperhatikan pemikiran realistis), dan superego (menjadi 'pemberi nilai' baik dan buruk agar manusia tidak mengabulkan idnya yang bernilai buruk dan mendorong ego untuk melakukan tindakan yang realistis). Ketiga elemen itu terikat antara satu dan yang lainnya.
Kombinasi dari tiga elemen tersebut akan melahirkan suatu kepribadian yang sehat. Sebaliknya, apabila ada salah satu elemen yang tidak berfungsi dengan semestinya—misalnya ada salah satu elemen yang terlalu mendominasi—maka akan ada implikasi pada kepribadian tersebut.
Pada diri setiap orang, pasti ada seseorang yang membuatnya kagum. Seseorang itu kemudian bisa jadi menjadi role modelnya, atau tolak ukurnya ketika melakukan sesuatu.
Tetapi, bagaimana jika pengagum itu kemudian mempunyai hasrat untuk 'turut andil' berlebih dalam hidup seseorang yang dirinya kagumi?
Ternyata, ada sebutan khusus untuk para penggemar yang terobsesi dengan idolanya. Sebutan itu sering dikenal dengan istilah celebrity worship. Kemudian, dalam suatu hubungan percintaan, perilaku yang seperti itu biasanya diidentikan dengan obsessive love. Atau, cinta yang obsesif.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Roxanne D.E., M.D. ("Roxanne") dengan judul The Difference Between Healthy and Obsessive Love menuliskan beberapa tanda dari cinta yang obsesif. Tanda-tanda itu misalnya keinginan untuk menghabiskan waktu yang berlebihan dengan objek cinta (pasangannya) secara ekstrim, kemungkinan membatasi kegiatan rekreasi atau sosial dari objek cinta, atau menggunakan 'alat kontrol' terhadap si objek cinta—baik secara psikologis ataupun cara lainnya.
Ketika membaca itu, saya kemudian teringat pada obrolan perihal hubungan yang tidak sehat dengan beberapa orang di bulan Maret.
Ada salah satu kenalan dari mereka yang terjebak di sebuah hubungan yang bisa dikategorikan tidak sehat. Pasangan dari seorang kenalan ini kerap kali melarang pasangannya untuk berteman dengan teman-temannya. Bahkan, melakukan kekerasan.
Pada saat seorang kenalan ini dicoba untuk disadarkan oleh orang-orang sekitarnya, seringkali responsnya adalah pernyataan, "Kalian nggak tahu, sih, gimana rasanya ada di suatu hubungan sama orang yang manipulatif. Susah! Pasti balik terus!"
Apabila membaca lagi tulisan Roxanne perihal cinta yang obsesif, sepertinya keadaan tersebut membenarkan pernyataannya bahwa seseorang yang posesif bisa jadi berperilaku seakan-akan dirinya kecanduan akan objek cintanya. Di saat yang bersamaan, objek cinta dari seseorang tersebut juga kesulitan untuk menetapkan batasan yang jelas terhadap perilaku obsesif tersebut.
"Pokoknya, kalau sudah berhasil lepas sama si pasangan toksik, lepas selamanya aja. Putus semua kontaknya!" ujar salah seorang di obrolan hari itu, "Soalnya kalau enggak gitu, mereka pasti balik lagi!”
***
Apa yang kerap kali saya bicarakan dengan seseorang di telepon malam itu bukanlah obsesi di ranah percintaan.
Dari segala hal yang saya pelajari, ada satu pertanyaan yang lahir dan masih belum saya temukan jawabannya.
Apabila obsesi diartikan sebagai hal yang demikian, apakah kemudian perilaku seseorang yang terindikasi memiliki keinginan kuat untuk menjadi seperti seseorang yang dikaguminya juga termasuk dalam kategori obsesi?
Pertanyaan itu, pada awalnya, saya pikir dapat dijawab dengan teori Freud perihal kepribadian. Di mana salah satu elemen dari kepribadian manusia, yaitu id yang hanya berprinsip pada keinginan pemenuhan atas rasa senang dan puas belaka. Saya berpikir kiranya elemen itu dapat menjadi penjelasan singkat terhadap sesuatu yang dikatakan sebagai obsesi—tidak peduli baik dan buruk, tidak peduli realistis atau tidak, hanya peduli pada pemenuhan perasaan bahagia dan kepuasan serta jauh dari perasaan nestapa. Kemudian, saya bertanya pada diri saya, “Apakah hipotesis penjelasan obsesi melalui id ini benar dan dapat diterima?”
Sebenarnya, saya masih punya sekeranjang pertanyaan perihal obsesi untuk didiskusikan.
Tetapi, sejauh ini, satu hal pasti yang saya temukan sebagai hal paling tragis adalah ketidakmampuan untuk membedakan rasa welas-asih dengan obsesi. Di suatu waktu, kita meyakini bahwa perasaan yang kita rasakan adalah perasaan welas-asih. Di suatu waktu yang lain, kita mempertanyakan apakah yang kita rasakan justru sebuah obsesi. []
15.04.22
0 notes
a-bunch-of-myrtle · 10 months
Text
syukur, cukup, imitasi
Seorang kenalan pernah menanyakan suatu pertanyaan perihal bersyukur pada saya. Katanya, apakah memungkinkan apabila kita bersyukur tanpa membandingkan diri kita dengan orang lain?
“Aku penasaran aja,” ujarnya menambahkan, “apa mungkin kita bisa bersyukur tanpa membandingkan diri dengan orang lain? Biasanya, kan, kita diminta untuk bersyukur setelah membandingkan diri kita dengan orang yang dianggap kurang beruntung daripada kita.”
Setelah pertanyaan dan sedikit obrolan singkat dengan seorang kenalan itu, di sepanjang jalan saya berpikir: apa selama ini kita terbiasa untuk bersyukur atas berkat dan nikmat yang Tuhan berikan dengan dasar pikiran karena ada yang lebih tidak beruntung dari kita? Bahwa kita lebih dari mereka sehingga kita bersyukur? Bagaimana kalau ada seseorang yang kadar beruntungnya adalah yang paling terakhir dari semua orang? Kalau standarnya seperti itu, bagaimana caranya agar orang itu bisa bersyukur?
“Jahat nggak sih kalau berpikir kayak gitu? Bersyukur karena membandingkan? Bagiku jahat.” kata kenalan itu lagi pada saat kami mengobrol waktu itu.
Ketika merecall semua rasa dan ucap syukur di hidup saya, saya menemukan beberapa di antaranya yang memang terlahir dari perkataan-perkataan orang sekitar setelah kegiatan membandingkan-bandingkan. Di beberapa rasa dan ucap syukur itu, saya ingat dengan jelas orang-orang yang mengatakan bahwa saya harus bersyukur karena saya punya lebih daripada orang yang dibandingkan dengan saya.
Saya pikir, ada orang-orang yang memang diajarkan untuk bersyukur dengan membandingkan apa yang dipunya dengan apa yang tidak orang lain punya.
Pada satu sisi, saya mencoba untuk memahami bahwa hal itu adalah untuk memantik agar setiap orang bisa belajar bersyukur; dengan membandingkan apa yang dipunya dengan apa yang tidak orang lain punya sehingga dirinya tidak merasa kurang, sehingga dirinya merasa cukup. Hanya saja, di sisi lain, ketika hal tersebut ditilik dari kebiasaan membandingkan sesuatu—dalam hal buruk, tentu saja—tentu bisa memicu sifat suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Yang pada awalnya terbiasa membandingkan diri untuk bersyukur, di suatu waktu dan pada keadaan tertentu bisa jadi membuat kegiatan membanding-bandingkan itu menjadi sebuah pemikiran yang membuat jiwa sesak. Lalu, muncul pemikiran-pemikiran seperti, “Kenapa dia punya sedang saya tidak?” atau, “Kenapa, ya, dia dikasih nikmat itu sedang saya tidak?”
Sebenarnya pemikiran seperti itu bisa menjadi katalis untuk berusaha menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Sayangnya, pada beberapa kasus, tidak semua orang punya kemampuan untuk bisa mentransformasikan perasaan dan pemikiran yang demikian menjadi sebuah perasaan yang bisa membuatnya lebih teduh dan damai dalam waktu singkat.
Maka, kembali lagi pada pertanyaan awal, apakah kita bisa bersyukur tanpa membandingkan diri kita dengan orang lain?
***
Suatu hari di bulan Juni pada tahun dua ribu dua puluh, saya mengobrol dengan beberapa teman. Pada obrolan itu, saya lemparkan pertanyaan yang pernah ditanyakan oleh seorang kenalan pada waktu itu.
“Kita tidak pernah merasa cukup,” Kebanyakan teman menjawab dengan jawaban seperti ini, “kalau tidak bersyukur, kalau tidak merasa cukup, semuanya tidak ada habisnya. Rasa kurang itu tidak ada habisnya.”
Setuju, saya mengangguk.
“Kalau kita mengejar rasa kurang yang tidak pernah berkesudahan, itu tidak akan pernah selesai,” ujar seorang teman lain, “misal, kita ingin buku fisik baru kemudian melihat ada yang menggunakan buku digital di smartphone, kita jadi berkeinginan untuk menggunakan buku digital itu juga karena dirasa lebih praktis. Kemudian, ada kindle yang dirasa lebih ramah terhadap mata, lebih ekonomis, lebih nyaman, dan lebih-lebih lain. Pada akhirnya ketika ada suatu hal baru yang dirasa lebih menarik, kita menginginkannya juga dan hal itu tidak akan pernah berkesudahan.”
Dari obrolan-obrolan itu, ada satu pertanyaan yang berkembang di benak saya. Apa salah satu dampak dari kurang bersyukur akibat membandingkan diri dengan orang lain adalah dengan menjadi sangat terobsesi pada orang yang dibandingkan tersebut?
Maksud saya, terobsesi yang tidak sehat. 
Misalnya, ketika seorang itu melakukan hal A maka orang yang membandingkan dirinya dengan seorang tersebut akan berusaha melakukan hal A juga karena dirinya ingin menjadi seperti orang yang ditirunya?
Atau, apa memungkinkan apabila perilaku peniruan adalah karena ketidakmampuan atas kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri sehingga menginginkan untuk menjadi orang lain?
Pertanyaan lain, tentu saja, apa ketidakmampuan atas kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri adalah akibat dari kurangnya kemampuan untuk bersyukur terhadap apa yang dipunya tanpa memandingkan dengan apa yang orang lain punya?
***
Secara komperhensif, mencoba melakukan hal yang orang lain lakukan tidak selamanya merupakan suatu hal yang buruk. Tentu dengan catatan dalam batas wajar dan “tidak aneh-aneh”.
Sebagai makhluk sosial sudah pasti bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia pasti berinteraksi. Sifat dan sikapnya kemudian bisa jadi terbentuk dari inspirasi serta motivasi yang sedikit-banyak bisa saja berasal dari orang yang dikaguminya. Misal, seseorang mengagumi seorang instruktur yoga. Dirinya menginginkan tubuh yang juga lentur seperti instruktur yoga tersebut. Tapi, hanya sebatas tubuh yang lentur saja. Bukan bagian hidupnya secara keseluruhan. Poin baiknya adalah, dirinya berusaha dengan cara yang sehat untuk mendapatkan tubuh yang seperti itu, bukannya merong-rong sang instruktur karena tubuh sang instruktur itu lentur dan dirinya menginginkan tubuh lentur yang seperti itu juga.
Lantas bagaimana jika seseorang mencoba meniru seseorang lain secara utuh?
Seandainya hari ini seorang kenalan itu bertanya lagi pada saya tentang apakah mungkin kita bersyukur tanpa membandingkan diri kita dengan orang lain, saya tentu akan tersenyum dan bertanya, “Bagaimana apabila seandainya kita mengetahui dengan sadar segala hal yang kita punya di hidup kita? Apa kita masih punya waktu untuk membandingkan apa yang kita punya terhadap ketidakpunyaan orang lain pun sebaliknya?”
Bagi saya, ketika kita mampu merasa cukup dan menyukuri apa-apa yang ada dalam hidup kita—termasuk diri kita sendiri—perbandingan diri dengan orang lain untuk merasa serta mengucap syukur bukan suatu hal yang esensial lagi. Kita memahami betul bahwa kita utuh dan cukup dengan segala hal yang ada di hidup kita sehingga kita tidak punya waktu untuk membandingkan diri dengan orang lain bahkan hanya untuk menyadari, bersyukur, atas hal-hal yang ternyata baru bisa kita sadari setelah membandingkan diri dengan orang lain.
Semoga tiada dari kita yang piawai dalam membuat diri mudah merendahkan orang yang dipikir tidak seberuntung kita maupun membuat diri sendiri merasakan hal-hal yang tidak nyaman akibat membandingkan diri dengan orang lain. Kita semua pantas dan layak untuk merasa cukup, utuh, bahagia, damai, serta perasaan-perasaan baik lainnya atas segala hal yang kita punya tanpa harus membanding-bandingkan apalagi berusaha sekuat tenaga untuk menjadi orang yang bukan kita hanya untuk suatu hal yang fana.
Dalam lirik salah satu lagu dari penyanyi yang suaranya teduh sekali, Daniela Andrade, yang berjudul Gallo Pinto, tertulis, “You are not defined by all the things that you don’t have”. Kita adalah apa-apa yang ada pada diri kita, bukan hal-hal yang tidak ada. []
16.07.22
0 notes