Tumgik
abdirafi-blog · 5 years
Text
Presentasi Kelompok di Kelas, Tepatkah?
Tumblr media
Entah ini terjadi di semua kampus atau tidak, tetapi aku berasumsi ini terjadi hampir di semua kampus di Indonesia. Hal yang aku soroti adalah metode presentasi kelompok di kelas dengan cara membagi mahasiswa ke dalam beberapa kelompok lalu mengerjakan materi yang menjadi tanggung jawab kelompoknya.
Sekilas, tidak ada yang salah dengan cara pengajaran yang seperti ini. Hanya saja, pembiaran terhadap penerapan metode tersebut akan menciptakan implikasi yang tidak diinginkan terhadap peserta didik. Aku akan menjelaskannya karena aku merasakan ada hal yang tidak nyaman dari metode ini.
***
Metode dengan presentasi sudah umum digunakan pada tingkat SMA dan PTN. Pengajar hanya perlu mempersiapkan materi dan meringkasnya di dalam powerpoint untuk kemudian dijelaskan kepada anak didiknya. Cara seperti ini memudahkan pengajar memberikan materi secara runtut dan to the point.
Tak ayal cara seperti ini menuntun peserta didik pada kebiasaan mencatat apa yang ada di setiap slide powerpoint. Mungkin juga mereka tidak akan mencatat, jika pengajar berjanji akan memberikan file powerpoint itu ke anak didiknya. Pola pemikiran peserta didik pun akhirnya terbatas pada apa yang tampak di slide. Peserta didik seperti jadi malas untuk melakukan improvisasi terhadap wawasannya dengan mencari informasi tambahan.
Hal tersebut semata-mata dilakukan karena pengajar pada umumnya punya kebiasaan untuk memberikan kuis atau ujian sesuai dengan apa yang disampaikan saat kelas. Akan menjadi mimpi buruk bagi peserta didik, jika ternyata saat kuis atau ujian yang keluar tidak dari slide power point.
Untuk menciptakan kondisi di mana peserta didik turut aktif mencari informasi seputar pelajaran/mata kuliah, maka metode presentasi ini dikembangkan lebih lanjut. Pengajar akan dengan senang hati membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok untuk mempelajari satu materi. Selanjutnya, setiap kelompok disuruh presentasi atas apa yang telah kelompok mereka kerjakan.
Menurut hematku, metode seperti ini tidak sekadar menuntut peserta didik menjadi aktif di dalam kelas. Malahan aku berpikir metode tersebut bisa jadi merupakan strategi pengajar agar peserta didiknya “belajar satu, tapi paham”, bukan “belajar banyak, tapi tidak paham”.
Tuntutan kurikulum yang harus dikuasai mahasiswa membuat materi kian banyak. Katakanlah di Jurusan Ilmu Komunikasi, jurusanku saat ini, ada banyak sekali teori pada mata kuliah yang menekankan pada teori. Supaya tercapai tujuan peserta didik paham dengan teori-teori tersebut, maka dosen membagi mereka ke dalam beberapa kelompok. Dengan begitu, beberapa mahasiswa dalam satu kelompok ‘dipastikan’ paham dengan teori yang harus mereka pahami. Begitu juga dengan mahasiswa lain di kelompok lain.
Tugas berat pengajar untuk mencapai pemahaman peserta didik sedikit banyak terbantu dengan metode presentasi kelompok. Setidaknya ia bisa memetakan bahwa anak didiknya di kelompok ini paham dengan teori A, anak didiknya di kelompok satunya paham dengan materi B, dan seterusnya.
Tapi bukankah metode tersebut hanya membuat peserta didik paham dengan segelintir materi saja, padahal banyak yang harus dipahami?
Di sini lah menurutku, pengajar ‘berharap’ agar presentasi kelompok lain mampu menjelaskan dengan baik sehingga kelompok lain paham dengan materi atau teori di luar kelompoknya. Syukur-syukur jika presentasi kelompok semuanya bagus, sehingga beban pengajar berkurang. Di lain sisi, tugasnya untuk memastikan peserta didik memahami materi sedikit-sedikit tercapai. Kalaupun tidak, setidaknya ia sudah paham dengan materi atau teori yang didapatkan kelompoknya.
Sayangnya, metode ini tidak dikawal secara baik oleh pengajar. Seringkali yang terjadi adalah pembiaran terhadap presentasi kelompok. Padahal, sebagai manusia awam yang mempelajari hal baru, tidak serta merta kelompok tersebut paham dengan materi yang dibawakannya. Pun dengan cara presentasinya kepada kelompok lain yang jika tidak bagus. Malah jatuhnya membingungkan kelompok lain.
Pengajar seolah-olah merasa presentasi kelompok jadi tanggung jawab sepenuhnya peserta didik secara aktif untuk memahami dan memberi pemahaman kepada yang lain. Pengajar seolah tidak peduli sejauh mana mereka paham. Aku sendiri lumayan nyaman dan paham jika diberi tugas kelompok karena aku bisa menjamin diriku paham dengan satu teori/materi tertentu. Sayangnya, harapanku untuk paham teori/materi lainnya dari kelompok lain umumnya tak tercapai. Kurangnya penguasaan materi membuat presentasi mereka kadangkala malah membingungkan. Bukannya ada tindak lanjut dari dosen untuk menjelaskan kembali, materi mereka selesai begitu saja ketika sesi tanya jawab berakhir. Tiba-tiba dua minggu lagi UTS. Dan materi yang tidak aku pahami tadi menjadi pertanyaan maut di lembar ujian. 
Memang tidak semua pengajar seperti ini. Pun tidak selalu aku merasakan hal seperti di atas. Tetapi alangkah baiknya jika metode presentasi kelompok dikawal oleh sang pengajar dengan tetap mengedepankan prinsip keaktifan peserta didik mencari informasi dan memahami materinya.
|| Malang, 25 Februari 2019
3 notes · View notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Perbandingan yang Adil
Tumblr media
Ada satu kesalahan yang berulang kali dilakukan oleh orang-orang. Kesalahan ini tak kunjung disadari hingga menapaki usia renta. Padahal, kesalahan ini yang acapkali beresiko menjatuhkan hingga menghilangkan semangat seseorang.
Kesalahan tersebut adalah membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Adalah hal lumrah ketika kita mendengar orang tua membandingkan anaknya dengan anak lainnya. Mungkin pula kita sering membandingkan kemampuan adik sendiri dengan teman seusianya.
Sebaiknya, kebiasaan itu dihilangkan. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain merupakan perbandingan yang sangat tidak adil. Melakukan hal tersebut hanya akan menciptakan kondisi "kita tak pernah menjadi baik".
Perlu diingat bahwa pada hakikatnya setiap orang itu unik. Saking uniknya, jalan hidup yang ditempuh berbeda-beda. Tantangan, rintangan, kejutan, dan penghargaan merupakan ekslusifitas bagi diri kita. Sulit bagi kita meniru jalan hidup orang lain, pun begitu dengan orang lain yang hampir mustahil meniru jalan hidup kita. Nikmati saja.
Lantas, jika membandingkan diri sendiri dengan orang lain merupakan perbandingan yang tidak adil, kepada siapakah perbandingan tersebut layak disebut adil?
Tidak ada perbandingan yang paling adil selain kepada diri kita sendiri. Sebab proses yang telah ditempuh diri kita di masa lampau sama sekali sama dengan yang telah dialami diri kita di masa sekarang.
Diri sendiri.
Intinya adalah progresivitas diri. Apabila dulu tidak suka membaca, sedangkan sekarang telah menyelesaikan dua bacaan dalam setahun, itu sebuah kebaikan. Apabila dulu tidak ikut lomba, sedangkan sekarang berhasil menjadi finalis lomba, itu juga sebuah kebaikan.
Jika dua kondisi di atas dibandingkan dengan orang yang capaian orang lain yang lebih baik, maka kita tidak akan pernah menyadari bahwa kita semakin baik. Akan ada rasa iri atau sia-sia ketika teman sekelas ternyata sudah menyelesaikan lima bacaan dalam setengah tahun. Perasaan "tidak ada apa-apanya" juga bisa timbul bila membandingkan capaian teman sebangku yang bisa menyabet juara lomba.
Meski begitu, bukan berarti kita secara oportunis fokus pada diri sendiri. Kita juga perlu mengetahui pengalaman, pencapaian, dan pelajaran orang lain. Hal itu bukan untuk ditiru, melainkan dijadikan inspirasi dan motivasi. Bahwa jika mereka bisa, kita juga pasti bisa.
Hargai diri sendiri. Diri kita. Dirimu. Entah dalam kondisi apapun itu, kita layak memberikan self-assessment (penghargaan diri) kepada diri sendiri. Apalagi jika itu sifatnya kebaikan, hargai dirimu yang telah menciptakan kebaikan. Kita perlu menyadari bahwa diri kita ini semakin baik. Walau memang belum sebaik capaian orang lain. Akui saja. Yang penting, hargai dirimu.
Dan ingat, jangan terlalu fokus pada hasilnya, fokus saja pada prosesnya. Biarkan kita tahu bahwa ada upaya progresif dari diri kita untuk menjadi lebih baik. Seperti yang telah kusinggung di atas, setiap orang itu unik, begitupula cerita dan jalan hidupnya.
"Seadil-adilnya pembanding untuk diri kita adalah diri kita yang dahulu. Kebaikan diri tidak semata-mata muncul jika membandingkannya dengan orang lain, tapi akan disadari dengan menilai progresivitas diri sendiri selama ini," -Bu Fariza
|| Malang, 12 Februari 2019
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
truth untold
manusia itu ‘kelar’ kalo ditunjukkin sama Allah satu aja kekurangan/aib dirinya yang selama ini gak orang-orang tahu. sebetulnya gampang banget buat Allah bikin kita ilfeel sama seseorang dengan ditunjukkan at least satu aja kekurangannya yang selama ini gak pernah ’go public’. dan sebaliknya, gampang banget juga buat Allah bikin orang lain ilfeel sama kita dengan ditunjukkan satu aja kekurangan kita yang selama ini berusaha kita sembunyikan rapat-rapat.
tapi apa? lihatlah betapa Maha Baik-nya Allah masih bersedia nutupin semua itu sampai detik ini padahal kita udah kayak apa nabung dosanya. Allah membiarkan orang lain memiliki ekspektasi yang baik tentang diri kita padahal kita belum tentu sampai pada ekspektasi itu. syukur-syukur kalau kenyataannya seperti yang diekspektasikan, barangkali on the way, atau yang paling menyedihkan tidak sama sekali.
beberapa orang merasa terbebani dengan anggapan baik yang tinggi tentang dirinya. namun di saat yang sama mereka juga tidak ingin dianggap sebaliknya. beberapa orang ingin dianggap biasa saja layaknya manusia biasa yang tidak luput dari cela namun di lain waktu ingin diakui juga. beberapa yang lain memilih meng-aamiin-kan saja anggapan-anggapan itu dengan harapan bahwa suatu hari akan menjadi yang sebenarnya. semua itu bukan berarti mereka buruk, bukan. mereka hanya ingin dihargai sebagai makhluk yang masih berproses dan berprogres sebagaimana mestinya, seutuhnya, kurang dan lebihnya.
2019.02.07
857 notes · View notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Aneh, Bisa-Bisanya Suka dengan Mata Kuliah
Jemarinya dengan gesit memindahkan slide persentasi hingga bagian terakhir. Materi yang katanya tidak ada di buku manapun. Ia mendapatkannya dari kursus.
Materi tersebut berisi tentang empat tipe kepribadian diri menurut John Robert Powell. Menurut dosenku itu, menganalisis tipe kepribadian orang dan diri sendiri dapat memudahkan ketika berkomunikasi. Anehnya, dari empat kepribadian tersebut, aku langsung menemukan yang cocok denganku. Beda dengan ramalan zodiak, tipe kepribadian ini tentunya ilmiah.
Tumblr media
***
Hari itu, merupakan pertemuan ke tiga kelas Komunikasi Antarpribadi yang diampu oleh Bu Fariza. Kalau menurutku, kelas yang sayang sekali untuk dilewatkan. Dosennya kebetulan tidak killer, enak dalam menjelaskan, serta materinya yang relatable dan dapat dipraktikan langsung di dunia nyata.
Pada awalnya, aku tidak terlalu begitu berharap dengan kelas ini. Mata kuliah yang jelas sekali full of theory. Konsep dan teori yang akan dijelaskan secara bosan oleh dosennya. Intinya, aku cuma berharap tidak harus mengulang mata kuliah ini di semester depan. Tidak ada yang aku tunggu-tunggu.
Lalu semuanya perlahan berubah ketika Bu Fariza yang mengampu. Caranya menjelaskan serta pemahaman atas mahasiswanya membuat kami sekelas cukup betah diajarnya.
Materinya pun bisa dibilang dapat diterapkan secara langsung. yang setiap kali mendengarkan penjelasan materinya, pasti akan selalu mencocokannya dengan realita. Mulai dari materi komunikasi dan komunikasi antarpribadi, lalu nature of interpersonal communcation, konsep impersonal dan interpersonal, hingga yang terakhir mengenai konsep diri.
Mata kuliah ini membuka mataku terhadap cara berkomunikasi yang selama belasan tahun dipraktikkan. Cara mengenali diri dan lawan bicara, merespon orang lain, serta faktor lainnya yang ternyata luput dari pengetahuanku dalam berkomunikasi dengan orang.
Pada akhirnya, aku mulai menyukai mata kuliah ini. Setiap penjelasan pentingnya dengan semangat aku catat hingga detil-detilnya. Sayang sekali kalau dilewatkan begitu saja. Sebab bisa menjadi pembelajaran bagiku ke depannya yang lumayan “bermasalah” kalau dalam komunikasi interpersonal.
|| Malang, 7 Februari 2019
1 note · View note
abdirafi-blog · 5 years
Text
Survei Perdana
Tumblr media
Laju motor Dina dan Amel mendadak pelan, mereka berdua segera menepi ke bahu jalan. Aku yang tak paham maksudnya juga ikutan menepi. “Kita kelewatan. Itu jalannya,” celetuk Dina sambil menunjuk cabang jalan yang harusnya kita lalui.
Berbekal google maps dan “permisi, pak/bu”, kami bertiga beranikan diri masuk ke desa orang. Tempat yang belum pernah kami jamah sama sekali. Semua ini dilakukan demi sruvei yang harus dituntaskan paling lama hari Jum’at.
Aku, Dina, dan Amel baru pertama kalinya mengikuti survei dari salah satu lembaga survei ternama di Indonesia. Kami semua mengiyakan pada kesempatan pertama begitu senior menawarkan kegiatan ini. Padahal, tidak satupun dari kami bisa membayangkan apa dan bagaimana itu survei.
Untung saja, ketika pembagian desa, kami bertiga mendapat desa yang berada dalam lingkup kecamatan yang sama, yaitu di Kecamatan Bantur. Aku di Desa Bantur, Amel di Desa Bandungrejo, dan Amel di Desa Rejoyoso. Jika dilihat dari maps, jarak antara ketiga desa tersebut letaknya berjauhan, masing-masing 30 menit. Meski begitu, kita tidak berencana menukar desa yang telah dibagi supaya bisa berangkat sama-sama.
***
Sekarang kami masih berada di Desa Rejoyoso. Menemani Amel untuk bertemu Kepala Desa. Seharusnya kami semua segera berpencar agar tugas kami bisa cepat selesai. Tapi apa daya, Amel tidak punya motor, sehingga dia mesti menumpang dengan Dina. Sedangkan aku belum berani untuk mengunjungi desa yang dimaksud. 
Berhubung Desa Rejoyoso adalah yang paling dekat dari arah Kota Malang, jadi kami menuju tempat tersebut terlebih dahulu. Selama mengikuti mereka, aku berusaha untuk memahami dan mempelajari cara mencari rumah Kades. Ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Paling-paling faktor bahasa dan keberuntungan saja yang dapat menghambat.
Jam 10 pagi, kita berpisah. Aku memacu kendaraan menuju Desa Bantur. Dina dan Amel masih berkutat di desa tersebut, sedang mencoba cara lain agar bisa memenuhi target.
Sasaran pertamaku adalah kantor desa. Walaupun aku tahu saat itu sedang tanggal merah. Setidaknya, titik penyisiran mencari Kepala Desa bisa dimulai dari sana. Tidak perlu waktu lama, kebetulan pula aku sedang beruntung karena memilih jalan yang benar, rumah Kades bisa aku temukan dengan mudah. Berawal dari informasi RW dan RT di desa tersebut, akhirnya meneruskan kembali perjalanan. Kini harus mencari 5 RT yang telah dipilih secara acak.
Dalam bayangan awal ku, mencari 10 orang sebagai sampel penelitian tidaklah sulit. Hanya sepuluh, pikirku. Meski ternyata, segalanya tidak sesuai ekspektasi. Menemui RT dan meminta izinnya saja sudah sangat susah. Belum lagi menyusuri jalan menuju rumah warga --sebagai responden terpilih-- untuk wawancara. Hal itu belum lagi ditambah apabila warga tidak ada di rumah. Makin molor!
Setelah berusaha cukup keras, aku akhirnya bisa bertemu dengan responden pertama. Dan lagi, tidak pernah terbayang sebelumnya jika akan ada banyak sekali noise dalam wawancara. Noise yang pertama, pemahaman responden terhadap pertanyaan. Noise yang kedua, kendala fisiknya, seperti sulit merespon, penglihatannya rabun, atau penyakit stroke yang sedang mereka alami.
Kendalanya tidak berhenti di sana. Selama ini aku pikir, lingkungan setiap RT itu sama seperti yang ada di kota. Ternyata, dua RT yang aku tangani memiliki medan yang tidak biasa. Jalannya naik turun. Dan itu sangat curam. Beberapa sampai harus masuk ke jalan setapak yang super sempit, licin, dan bertanah.
Parah sekali. Survei yang menurutku bisa selesai dalam sehari ternyata memakan lebih dari satu hari. Bahkan, selama 7 jam pertama semenjak mendapat izin dan informasi dari Kades, aku baru bisa mewawancarai 2 orang!
Beruntung ada sedikit progress di satu jam ke depan. Aku berhasil mewawancarai dua orang lainnya. Hingga totalnya sudah ada 4 orang, tinggal 6 lagi. Waktu sudah terlalu larut malam untuk bertamu dan melanjutkan survei. Lagipula, medan yang belum aku ketahui tentu akan sangat membahayakan ketika di malam hari.
Aku, Dina, dan Amel akhirnya memutuskan untuk bertemu kembali. Kami bertiga sepakat untuk tidak pulang ke Malang. Sementara kami memikirkan tempat yang pas untuk bisa didiami selama semalam. Target pertama kami adalah masjid, tapi ternyata pengurusnya tidak membolehkan. Lalu kami diarahkan menuju balai desa.
Tumblr media
Dan di sinilah kami bertiga. Ngemper di balai desa Wonokerto. Peluh keringat mungkin masih menempel di bagian tubuh kami yang tidak tersentuh air wudhu. Badan dan otak juga sudah sangat lelah. Terpaksa rehat di tempat terbuka dengan hanya beralas tikar.
Aku disuruh untuk berjaga terlebih dahulu. Sekitar jam 12 mereka minta dibangunkan. Katanya buat gantian berjaga. Syukurlah, karena aku sendiri sudah sangat mengantuk. Ingin segera tidur ketika selesai merekap kuesioner tadi. Tapi, kisah hari ini nampaknya terlalu berharga untuk dilupakan. Pengalaman survei perdana. Sebuah momen ketika ekspektasi dan realitas bertolakbelakang.
Besok pagi, Amel dan Dina berencana balik duluan. Usaha mereka nampaknya lebih mudah dibanding aku. Aku sendiri berencana baru pulang ke Malang sore harinya. Rasanya ingin segera menyelesaikan survei ini. Supaya tidak terbebani apapun.
Di balai desa, kami juga tidak mendapat ruangan untuk menginap. Kuncinya sedang tidak dibawa oleh Kadesnya. Namun, beliau mengizinkan kami untuk menginap di balai desa, di terasnya.. Beliau turut meminjamkan tikar sebagai tempat rebahan kami nantinya.
Ah, waktu berjagaku tinggal 15 menit lagi. Aku sudah sangat mengantuk. Rebahan dan memejamkan mata pasti cara terbaik untuk relaksasi di waktu yang terbatas.
|| Wonokerto, Kab. Malang, 5 Februari 2019
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Asal
Tumblr media
Jadi pernah ya, malah sering, udah niat buat tulisan. Udah jelas nih mau nulis apa. Udah diketik. Pokoknya sesuai sama apa yang dipikirkan. Terus pas udah agak panjang, bingung mau mengakhirinya gimana. 
Selanjutnya bakal terjadi dua hal ini, kalau gak disimpan di draft, ya dihapus. Iya bener, dihapus gitu aja. Gak peduli udah seberapa panjang tulisannya. Gila emang.
Nah, barusan aja terjadi. Udah nulis panjang. Ide tulisan udah sesuai dengan apa yang dipikirin pas lagi di kamar mandi. Semuanya lancar, sejam-an nulis. Udah panjang, deh. Begitu merasa udah ‘dicurahin’ semua, terus mikir, “Lah, ini ending tulisannya gimana?”
15 menit. 20 menit. Baca-baca ulang, revisi dan review tulisan tadi supaya endingnya mantep. Tetap gak bisa. Coba lagi. 40 menit. Hasilnya sama, nihil. Entah ini salah siapa. Akhirnya nyerah. Gak lama kemudian, ctrl+a, backspace.
Lenyap.
Jadi tulisan ini umpanya sebagai pelampiasan. Namanya pelampiasan, ya asal aja. Buat jadi pengganti kegagalan menyelesaikan tulisan yang tadi.
Tolong dong otak, mood, dan jiwa raga, kalian sesekali harmonis kek. Bantu aku ini dalam hal menulis.
|| Malang,2 Februari 2019
1 note · View note
abdirafi-blog · 5 years
Text
Kualitas atau Kuantitas?
Tumblr media
Foto: unsplash.com/thought catalog
Judul semacam itu nampaknya sudah terlalu biasa. Lumrah ditemukan pada banyak kasus. Fokus utamanya adalah dilema antara kedalaman atau jumlah.
Dan gagasan itu semacam membelenggu pikiranku belakangan ini. Aku berjanji pada diriku untuk rajin membaca, bahkan di kala waktu sibuk. Ambisiku bisa dikatakan terlalu besar, yaitu menyantap habis buku-buku dengan kategori ilmiah.
Sementara ini progress membaca buku masih berjalan --tersendat-sendat. Biasanya aku sisihkan waktu setengah jam sampai satu jam sebelum tidur untuk membaca. Kemudian menyempatkan diri menulis apa yang aku pahami.
Kondisi yang semakin larut dan badan yang semakin lelah jadi faktor pertama yang membuatku tidak terlalu fokus. Faktor lainnya yang aku anggap cukup berpengaruh adalah upaya ‘buru-buru’ mengejar target.
Aku pernah menuliskan rencanaku terhadap buku di tahun ini. Aku sadar, ambisi itu terlalu besar, sampai-sampai bernafsu menyatap habis sejumlah buku kategori ilmiah. Jelas saja buku yang tidak mudah dibaca dalam kondisi penat dan tidak fokus.
Biasanya, aku paksakan diriku membaca antara 20-30 halaman. Berhenti pada satu tempat di mana sebuah sub-bab biasanya berakhir. Aku melakukan ini demi mengejar target yang pernah kutulis sebelumnya. Gila memang.
Dampaknya adalah aku kesulitan memahami bacaan yang baru saja aku baca. Setiap kali menuliskan kembali materi tersebut (meringkas atau mereview), ternyata lebih dari setengah materi tidak aku pahami. Membuatku harus membaca lagi agar ringkasanku jelas.
Pada titik ini, aku cemas kalau ternyata upaya mengejar target beberapa buku ini ternyata tidak sepadan dengan hasil yang aku peroleh nantinya. Untuk apalah membaca banyak buku, tetapi tidak ada satupun yang nyangkut di otak? Hal apa yang bisa aku tunjukkan kepada orang atas setumpuk buku yang nantinya bisa aku selesaikan?
Namun, seandainya aku memaksa pada pemahaman materi, aku malah khawatir juga jika hal ini malah membuatku mentoleransi waktu senggang. Takutnya, aku tidak bisa membaca setiap hari karena bisa saja aku berasalan harus fokus seutuhnya untuk memahami materi.
“Ah, tinggal kendalikan saja dirimu”.
Aku juga tahu itu. Hanya saja, terkadang ucapan tidak memahami keadaan seseorang secara penuh. Lalu tujuanku menulis ini? Hanya sekedar bercerita. Meluapkan pikiran yang hampir tidak pernah aku omongkan ke orang lain, selain diriku. Plato menyebutnya sebagai Dianoia, dialog dengan jiwa. Walaupun besar harapanku agar ada yang sharing --tidak harus di sini-- mengenai masalah yang kuhadapi.
|| Malang, 29 Januari 2019
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Dilema Meliput
Baru-baru ini, EM (sebutan untuk BEM Universitas di tempatku) kembali jadi bahan perbincangan kampus. Dari yang aku amati, ada dua keputusan yang menyebabkan EM jadi sorotan mahasiswa Brawijaya. Pertama, ada nama seseorang yang tidak muncul dalam daftar Badan Pengurus Harian (BPH) tapi tiba-tiba muncul dalam rilis kabinet terbaru. Kedua, ada Dirjen dengan 'nama' baru, yaitu Dirjen Kebahagiaan Mahasiswa di dalam Kementerian Advokesma.
Bagi mereka (mahasiswa) yang tidak suka dengan kepengurusan EM tahun ini jelas berpikir yang macam-macam. Mulai dari tarik-ulur politik lah, mencari orang yang "segolongan" lah, sampai permainan untuk kepentingan golongannya sendiri. Barusan hanya asumsiku, walaupun aku berani bertaruh anggapan itu sudah menjangkiti sebagian besar mahasiswa.
Sebagai anggota LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), jelas aku dan teman-temanku punya kewajiban untuk jadi kontrol sosial atas apa yang terjadi di kampus. Selain kebijakan dari rektorat, tentunya juga kebijakan 'nyeleneh' seperti yang dilakukan badan eksekutif tertinggi di universitas ini. Sayangnya, tim redaksi selalu berpikir tidak cukup dua kali untuk memutuskan meliput hal tersebut atau tidak. Kami tidak ingin upaya mengontrol dan mengkritik kebijakan tersebut malah membuat LPM kami disangkutpautkan dengan golongan tertentu.
Aku sendiri memiliki kencenderungan untuk meliput hal tersebut, apapun framingnya. Mau itu akan bias atau humas, aku rasa ada nilai berita yang besar di sana. Mahasiswa berhak tahu yang sebenarnya dan pihak EM memiliki wadah untuk mengklarifikasi kejadian itu. Lagipula, media mana sih (nasional atau kampus) yang dianggap netral 100%? Intinya kita menuliskan dan mengabarkan, itu saja.
Kebetulan, sebagian anggota LPM merupakan anak organisasi ekstra kampus, mulai dari yang warna Hijau, Merah, Kuning, Biru, dll. Warna-warna yang menjadi golongan oposisi terhadap golongan yang berkuasa saat ini, atau bisa dikategorikan sebagai warna 'Putih'. Sialnya lagi, anggota kami tidak ada yang berasal dari Putih, sehingga potensi sentimen terhadap LPM semakin terbuka lebar apabila kami meliput hal tersebut.
Walaupun secara tradisi, LPM kami memang sangat jarang memberitakan yang 'aneh-aneh' terhadap EM, kecuali soal demonstrasi mahasiswa. Kata senior, kita tidak usah campur tangan terhadap politik kampus. Akan ada kemungkinan tulisannya akan bias ke golongan tertentu. Betul juga sih, pikirku.
Meski begitu, seharian ini aku terus memutar otak agar tulisan yang mengkritik dan mengontrol EM tidak bias. Aku mencari framing peristiwa yang tepat supaya terkesan netral dan tidak 'humas'. Lumayan sulit. Aku belum berhasil menemukannya.
Kini waktu kami tinggal besok untuk memutuskan akan meliput atau tidak. Jika dirasa akan bias dan humas, aku yakin kami tidak akan mengangkat berita tersebut. Meskipun aku terus berusaha menghubungi pihak-pihak terkait untuk mendapat informasi yang sebenarnya. Berharap aku menemukan sesuatu yang menarik untuk dijadikan tulisan.
|| Malang, 27 Januari 2019
Tumblr media
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Kuliah (lagi)
Sebulan terakhir, setiap kali bangun pagi pasti aku mengingat-ingat ada janji apa dan dengan siapa di hari itu. Sesimpel itu. Tidak memikirkan hal lain yang, menurutku, tidak perlu bertanggungjawab kepada siapapun, selain ke diriku sendiri. Misalnya, mau mandi atau tidak, mau masak nasi atau tidak, dan lain-lain.
Sedangkan pagi tadi berbeda. Kala itu aku masih bersantai mengamati perbincangan di twitter sambil memasak nasi. Lalu entah dipicu oleh apa, yang tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiran: LIBURAN KAN UDAH SELESAI, LALU HARI INI AKU ADA KELAS PULA JAM 09.40!
Langsung saat itu juga, aku menyegerakan mandi, memakai baju, menyiapkan buku, membeli lauk, lalu sarapan, kemudian berangkat. Waktunya sudah sangat mepet sekali. Beruntung Jembatan Soekarno-Hatta yang biasanya macet itu, tidak sedang ‘berulah’, kondisinya ramai lancar. 
Begitu sampai di tempat parkir, aku membuka HP sebentar, memastikan kelasku di ruangan mana...sekaligus memastikan jam berapa; ternyata sudah pukul 09.45!
Antrean di depan lift cukup panjang. Kira-kira tidak akan bisa sekali ‘angkut’, pasti perlu dua kali. Kalau aku ikut antre, jelas akan memakan waktu lama. Langsung saja aku putuskan untuk menaiki tangga.
Dari jauh, pintu kelas tertutup. Dalam hatiku, dosennya pasti sudah ada. Dan benar, Bu Nia sudah ada di dalam, dia sedang menerangkan sesuatu. Aku izin masuk, dia membolehkan. “Untunglah”, batinku.
Entah hanya perasaanku saja atau bukan, dalam sekilas pandang aku menangkap ada raut wajah-wajah kaget begitu melihatku masuk. Aku baru memahaminya ketika aku duduk di kursi barisan depan. Tidak butuh waktu yang lama bagitu untuk menyadari bahwa mereka sudah lama tidak melihatku di kelas. Begitupun aku yang sudah lama tidak berjumpa dengan mereka di kelas. Kira-kira selama enam bulan terakhir.
***
Aku sudah merasakan momen-momen itu tiga kali selama aku berkuliah. Mulai dari semester satu, dua, dan sekarang...tiga. Namun, kali ini permasalahannya cukup pelik. “Orang-orang berkepentingan” itu terlalu lama menjelaskannya kepadaku. Lalu semuanya menjadi sangat terlambat untuk disadari. Ada tunggakan yang harus dilunasi. Padahal di semester dua aku tetap bisa kuliah dengan tunggakan yang ada.
Orang tua ku tidak mampu menyanggupi nominal yang tiba-tiba membengkak yang harus segera dibayar dalam waktu dekat. Mereka, bahkan aku, tidak tahu bahwa tunggakan harus dibayar terlebih dahulu. Padahal tahun lalu, prosedurnya sama, kondisiku juga kurang lebih sama, tetapi keputusannya beda. Bingung harus menyalahkan siapa.
Pihak BEM yang mestinya “menjembatani” informasi dari pihak fakultas ke diriku juga terlalu lama menjelaskannya. Aku dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian, padahal aku sudah mengurusnya sejak hari pertama. Baru pada hari terakhir --di mana semuanya sudah sangat terlambat untuk diurus-- mereka menjelaskan letak kesalahanku, yaitu di tunggakan. Sialan. Tapi ini bukan sepenuhnya salah mereka. Salahku juga karena tidak segera membayar tunggakan itu.
Lalu pihak fakultas (Bag. Keuangan dan Wadek I) juga terlalu keras kepala tak mau diajak negosiasi! Terkadang aku membenci birokrasi karena hal ini, tidak fleksibel untuk membantu yang tidak mampu. Semuanya bertumpu pada SOP dan kebijakan. Jawaban mereka tegas dan pasti, yakni tidak bisa membantuku karena aku telat mengurusnya. Ah, sialan. Demi apapun, aku sudah mengurus sejak hari pertama, dan aku baru tahu semuanya di hari terakhir.
Kesibukan hari itu berakhir setelah Wadek I menyampaikan ‘saran’nya, “Kamu ambil cuti saja semester ini”. 
Jleb.
Satu detik kemudian semenjak aku keluar dari ruangan Wadek I, aku pastikan zona waktuku tidak akan lagi sama dengan teman-temanku.
Waktu libur bertambah panjang; enam bulan ke depan. Tidak ada kelas sama sekali. Sementara teman-temanku terus menjalani masa studi sarjananya dengan normal.
***
Lalu di sinilah aku. Kembali pada rutinitas memilih duduk di depan, tengah, atau belakang. Menguap berkali-kali ketika dosen menjelaskan. Mencari referensi yang dianjurkan. Mengerjakan tugas-tugas. Mengecek kehadiran dosen atau tidak. Merencakan bolos di hari apa. Dan sebagainya.
Meski begitu, aku tidak mengutuk rutinitas itu, sesungguhnya aku senang bisa kembali di sini, di kelas-kelas yang sudah lama tidak aku masuki dalam enam bulan terakhir.
Aku. kuliah. lagi.
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
"Sesuatu yang tidak mungkin berubah adalah perubahan itu sendiri"
-Bu Nia, Dosen Ilmu Komunikasi UB
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Berteman Baik dengan ‘Mereka’
Tumblr media
Buku-buku itu mulai menumpuk begitu aku tiba di Malang, tepatnya pada tahun 2017. Beberapa buku tersebut sengaja aku bawa sendiri dari rumah di Pontianak untuk menemani hari-hariku di perantauan. Jumlahnya masih sangat sedikit ketika itu, sekitar empat atau enam novel. Jumlah yang cukup untuk mengisi ruang-ruang kosong di koper dan tas.
Dalam waktu yang singkat, sejumlah buku baru hadir di laci kos. Tidak sulit menemukan buku-buku di Malang. Apalagi banyak sekali bazaar buku serta tempat jualan buku-buku super murah. Belum ditambah dengan promo dari toko buku online yang menawarkan paket (beberapa buku) dengan harga yang murah pula. 
Begitulah, ‘mereka’ bertambah tanpa bisa kukendalikan. Bahkan pada akhirnya, beberapa buku yang selesai kubaca mesti aku bawa pulang ke Pontianak sewaktu libur lebaran yang lalu. Berharap meluaskan ruang kosong di laci --untuk ditambah buku baru lainnya.
Mereka yang tinggal, aku harap dapat berteman baik denganku. Sebab aku pikir, ada buku yang mewakili bidang-bidang yang aku minati. Mereka mengajarkanku banyak hal baru dan  tentunya perspektif baru.
Tumblr media
Buku-buku fiksi terus mengisi laciku dengan cerita-ceritanya yang melatih imajinasi ini berpikir liar. Sci-fi, mystery, crime, thriller adalah genre favoritku untuk buku non-fiksi. Meskipun belakangan ini sedang mencicipi karya lainnya berupa cerpen dan sastra kuno yang penuh dengan konsep filosofisnya. Sejauh ini aku sedang mengurangi ketertarikanku membeli novel, sebab aku sudah puas membaca banyak sekali novel di rumah. Jumlah bisa tiga kali lipat dari yang di foto. Lagipula, membaca banyak novel tak akan membantuku skripsi dan kehidupan yang kudambakan. Aku pikir, novel hanya sebagai cita rasa lain yang wajib dicoba di dunia literasi.
Tumblr media
Buku-buku non-fiksi yang aku cari adalah tentang agama. Entah kenapa, aku yang tidak terlalu taat ini masih berharap bisa paham ajaran agama sendiri. Beberapa aku dapatkan dari ceramah ustad yang jelas dan tentunya dari buku. Topik yang aku gemari adalah tentang keragaman.
Tumblr media
Selanjutnya ada buku-buku tentang Jurnalistik. Aku tak pernah muak membaca buku dengan tema sama berulang kali. Selalu saja ada perspektif dan pembelajaran baru, meski ada beberapa bagian yang sama saja dengan buku lainnya. Ketertarikanku pada buku jenis ini karena aku ingin berkecimpung di dunia jurnalistik. Belajar secara tidak langsung pada orang-orang profesional di bidangnya.
Tumblr media
Selain jurnalistik, buku tentang media juga menarik perhatianku. Sempat terpikir beberapa kali bahwa bidang ini wajib aku kuasai sebagai anak Ilmu Komunikasi. Sempat pula terpikir bahwa nampaknya menjadi peneliti di bidang media seperti Ross Tapsell bisa dicoba.
Tumblr media
Bidang lain yang sangat aku gemari adalah simbol dan logika. Sebenarnya ada satu hal yang ingin aku pelajari lebih lanjut, yaitu mengenai semiotika. Tetapi sampai sekarang belum kesampaian. Sementara ini masih belajar sendiri hermeneutika dan interpretasi dari buku tersebut.
Tumblr media
Catatan-catatan dari seorang yang anti-mainstream juga membuatku tergugah. Orangnya bisa siapa saja, aktivis, pemikir, jurnalis, dan yang lainnya. Selain itu, sejak aku membaca buku-buku ini, aku menemukan satu kesamaan dari mereka: senang mencatat jurnal harian. Tak heran, aku mengimitasi sifat mereka beberapa waktu terakhir.
Tumblr media
Panduan praktis belajar bahasa dan penulisan sempat juga aku baca. Alasanku satu, ingin belajar sendiri tentang hal tersebut. Sejauh ini tidak begitu berpengaruh. Menurutku, janji-janji praktis sama saja bohong jika tidak dilakukan langsung. Jadi lebih baik cukup mendengar atau mengetahui beberapa, lalu langsung dikerjakan, agar kelak bisa dievaluasi.
Ke depannya, selama kondisi keuangan masih baik-baik saja, ada beberapa buku yang aku incar. Tidak seperti sebelumnya, aku mencoba untuk lebih menahan diri. Jika bisa, satu bulan ada satu buku baru. Jadi tidak sekaligus beli banyak. Tapi ada pengecualian jika ada paket super murah yang menanti di depan sana :)
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Berencana Mewujudkan Rencana
Tahun ini...
Rencananya, setiap sebulan harus bisa baca dua buku. Atau paling sedikit satu lah setiap bulannya, kira-kira tercapai gak ya?
Rencananya, setiap hari harus bisa baca sampai 50 halaman. Atau ketika lagi sibuk, paling sedikit 20 halaman lah. Berhasil gak ya?
Rencananya, tahun ini bisa menyelesaikan baca 6 karya fiksi dan 6 karya non-fiksi. Untuk yang satu ini tidak ada toleran buatku. Wajib.
Rencananya, Februari mau mulai.
Rencananya, tulisan ini sengaja aku tulis di sini jika suatu waktu aku menemukan diriku tidak sesuai rencana, aku bersiap malu, pada diriku, pada yang membaca tulisanku, pada akal sehatku.
Lalu, rencananya, rencana ini benar-benar ingin diwujudkan dan bukan sekadar 'rencana' saja.
Doakan saja, ya.
_____Malang
_____18 Januari 2019
1 note · View note
abdirafi-blog · 5 years
Text
“Jika kamu tidak baik-baik saja. Jangan pernah katakan kamu baik-baik saja”
Karena kamu akan membayar mahal atas kepura-puraan itu.
Terutama dalam hal beribadah. Jika kamu menyadari kualitas ibadahmu menurun dan ia sedang dalam kondisi yang tidak baik. Maka segeralah berbenah dan memperbaikinya.
Sebelum kamu tidak sadar bahwa itulah penyebab dari kekacauan hidupmu.
679 notes · View notes
abdirafi-blog · 5 years
Link
True Sight: The International 2018 Finals
Video True Sight Final The International 2018 (TI 8) sudah tayang 3 hari yang lalu, sepertinya. Tapi aku baru sempet nonton kemarin malam.
Jadi inget masa-masa nonton Final TI 8. Waktu itu harusnya aku ada kepanitiaan buat maba jurusan. Aku bagian kesehatan. Menurutku, pasti gak sempet nonton sama sekali karena anak kesehatan mesti standby di tempat terus.
Eh tiba-tiba anugerah itu datang. Aku disuruh jaga pos kesehatan karena ada yang sakit. Setengah jam berlalu, si anak ini udah merasa baikan dan bisa ngelanjutin acara. Terus aku anterin kan, tapi akunya balik ke pos kesehatan lagi, nonton live streaming lewat Hp hahaha.
Tiga jam aku memisahkan diri dari acara dengan dalih jaga pos kesehatan. Padahal ya, aku lagi berleha-leha sambil streaming. Marah, kecewa, ketawa, histeris, takjub, bahagia, mesti aku simpen dalam-dalam selama nonton. Sebab aku gak bisa teriak sama sekali. Begitu OG menang di game 5, wah senengnya minta ampun. Seneng karena OG juara, seneng karena bisa nonton finalnya, seneng karena gaada yang protes dan curiga kalau aku lagi berleha-leha :D
0 notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Disaat-saat kayak gini baru ngerasa kalo ternyata saya tuh nggak punya orang yang bisa jadi tempat saya untuk berbagi ketakutan atau tempat curhat tentang pikiran yang lagi kacau.
- qutelan semuanya seorang diri
12 notes · View notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Bukan Bangun Pagi Biasa
Tumblr media
Foto: unsplash-jonas weckschmied
Ketika mataku melirik ke sudut kanan bawah layar laptopku, jam menunjukkan pukul 5:02. Waktu yang masih sangat pagi untuk bangun dan beraktivitas. Padahal, aku sendiri tidak memiliki janji apapun pagi ini. Paling cepat jam 10 nanti, ada kegiatan bersih-bersih sekret.
Aku bukan tipe orang yang terbiasa curhat ke seseorang atas apa yang aku alami. Entahlah, aku juga tidak mengerti kenapa. Antara aku memang tidak memiliki teman curhat atau memang tidak ada kapabilitas di dalam diriku untuk curhat ke seseorang. Atau bisa saja keduanya.
Biasanya aku memutuskan untuk menulis. Di media sosial, atau aplikasi notebook yang terintegrasi di smartphone dan laptop, atau menuliskannya di jurnal harian. Ya, belakangan ini aku memulai kebiasaan itu.
Jadi di sinilah aku, masih dalam suasana menyambut mentari pagi. Terpaku di depan layar laptop yang sengaja kunyalakan. Tujuanku satu: bercerita. Bercerita atas rasa yang aku alami pagi ini. Sungguh aneh, namun aku bahagia.
***
Aku bukan tipe orang yang biasa tidur jam 9 atau jam 10 malam. Lebih sering di atas jam 10. Bahkan jika ada tulisan yang belum selesai, atau game yang masih terlalu asyik dimainkan, tak jarang aku tidur jam 1 atau hampir jam 2. Begitu juga dengan tadi malam. Aku masih menyempatkan diri melihat jam; jam 01:32, pasca memastikan sebuah tulisan selesai. Setelah itu aku pastikan aku terlelap.
Suasana kamar masih gelap gulita. Teman sekamarku, Adit, pasti tidur lebih lama dariku sehingga sempat mematikan lampu kamar. Suara pagar terbuka dan langkah kaki sayup-sayu terdengar dari arah luar. Suasananya masih sangat sepi kala itu, hanya terdengar raung kipas angin yang dinyalakan di kamar. Tapi tenang saja, suasananya tidak menyeramkan. Aku tahu tentangga di sekelilingku memang rajin shalat lima waktu di masjid, jadi ketika aku mendengar itu semua, aku yakin mereka akan baru saja akan berangkat Shalat Subuh.
Sebentar...Sholat Subuh? Bagaimana aku tahu saat itu sudah masuk Sholat Subuh?
Dari situ aku sedikti merasa aneh. Aku menunggu sejenak dalam kondisi antara tidur dan sadar, masih terbaring di kasur. Betul saja, beberapa menit kemudian suara adzan bersahut-sahutan dari beberapa masjid terdekat. Akhirnya bisa aku pastikan, aku barusan bangun subuh.
Tidak seperti bangun pagi sebelum-sebelumnya, bangun pagi kali ini terasa tidak biasa --nanti aku jelaskan. Tidak ada rasa ngantuk ketika mata ini terbuka. Aku bahkan dengan sigap segera mematikan alarm begitu dering pertamanya terdengar. Tidak memilih tidur lagi seperti biasanya, meski aku yakin aku tadi terlelap di atas jam 1 malam.
Beberapa waktu terakhir --dalam waktu yang cukup lama-- aku memang tidak bisa bangun pagi sebelum jam 6. Pasti di atas jam 7. Rentetan alarm tak kuasa menggubris badan ini untuk bangun dan segera menunaikan kewajibannya. Baru ketika bangun dan kondisi sudah terang benderang, aku laksanakan kewajiban itu. Dan tentu saja, dengan perasaan yang amat bersalah serta malu pada diriku dan Dia yang sedang kuhadapi.
Berkali-kali, entah itu di waktu pagi atau ketika tengah hari, aku menyiapkan satu segmen khusus di dalam doaku untuk meminta ampun kepadaNya. Aku mengaku bersalah dan berdosa. Aku juga mohon ampun atas kelalainku. Bagian itu terus terucap dalam doaku selama beberapa waktu terakhir. Aku berpikir hal ini jadi semacam tobat sambal, bagai khilaf yang tak kunjung usai.
Namun aku cukup keras kepala. Terkadang aku lalai dalam kewajibanku sebagai seorang Muslim, tapi dengan pedenya terus meminta ampun. Berulang-ulang. Aku pikir, “Biarlah, aku hanya tahu Dia adalah zat yang Maha Mengampuni”. 
Dalam segmen doaku itu, aku pun selalu berharap ‘bantuan’ dariNya. Bantuan supaya diriku mampu bangun tepat pada waktu masuk menunaikan kewajiban di pagi buta. Sebab alarm tak mengerjakan tugasnya dengan baik. Tak tahu diri memang. Berdosa, berulang-ulang, minta ampun, berulang-berulang, namun tetap mengulanginya sehari setelah aku berdoa, lalu minta bantuan pula.
Lalu pagi tadi, dalam kondisi yang tidak ngantuk sedikit pun, aku beranjak dari kasur. Menyucikan diri sebagaimana mestinya. Melaksanakan kewajiban. Kali itu, dalam doaku aku memanjatkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Aku tahu, Dia barusan menjawab doa dan permintaan dari hambaNya yang bebal ini. Dia bangunkan aku. Entah bagaimana caranya, yang jelas aku terbangun. Berbeda dari biasanya. Rasanya saja aneh, tapi aku senang karena akhirnya aku bisa bangun untuk melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
***
Kemudian di sinilah aku. Masih terpaku di depan sebuah benda mati. Menuliskan ulang cerita yang baru saja aku alami. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 5:37. Aku sudah hampir selesai menuliskan pengalaman berhargaku ini. Dan tentunya, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, aku punya waktu luang yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas lain.
Kalimat penutup ini aku ingin sampaikan rasa hormat dan cintaku kepada Dia, yang --mungkin-- dengan senang hati menjawab segala doa dan permintaanku untuk dibangunkan pagi-pagi.
3 notes · View notes
abdirafi-blog · 5 years
Text
Kemenangan Kecil
Ketika menonton berita tentang seorang atlet yang mendapat emas di kejuaraan bergengsi, lalu namanya dielu-elukan di seluruh pelosok negeri, kita kagum bukan main. Ketika melihat seorang musisi asal Indonesia namanya bersinar di kancah dunia, menjadi artis yang Go International, kita turut bangga dan terus membicarakannya. Ketika mendengar cerita soal penulis yang karyanya laku ratusan ribu eksemplar dan menginspirasi banyak pembaca, lalu difilmkan dan juga ditonton oleh banyak orang, kita merasa inilah waktu yang tepat untuk bilang ‘WOW!’. Diam-diam, kita mengkhayal bisa menjadi mereka. Barangkali tidak di bidang yang sama, tetapi, pada intinya kita ingin merasakan pencapaian itu. Kita ingin hidup sebagai pemenang. Konyolnya, ambisi itu dengan mudah pudar ketika di berita lain kita membaca kisah para pemenang itu untuk sampai ke titik pencapaiannya. Kita tak sampai hati saat mengetahui aneka pengorbanan yang mereka lakukan. Di sana, keringat dan air mata bercucuran. Juga di sana, ego dan rasa malas dibunuh atas nama kedisiplinan. Kemenangan besar seringkali tampak seperti puncak gunung es di atas permukaan laut. Seolah-olah ia hanya mengapung begitu saja. Padahal, jika kita menyelam ke bawah, kita akan sadar bahwa puncak gunung es itu hanyalah bagian kecil dari satu bongkahan gunung es yang begitu besar. Sebagian besar dari bongkahan yang tak terlihat secara langsung adalah beragam pengorbanan itu: tidur lebih sedikit, bekerja lebih keras, susah payah memulihkan diri dari kekalahan dan kegagalan, menutup telinga dari rayuan-rayuan untuk menyerah, dan sebagainya. Bagian-bagian yang jarang tersorot kamera.
Tumblr media
Pepatah mengatakan, perjalanan panjang selalu diawali oleh satu langkah kecil. Sementara itu, hasil penelitian Malcolm Gladwell menyebutkan bahwa seseorang bisa menjadi sangat ahli di suatu bidang (Mastery in A Field) jika dia melakukan praktik selama 10,000 jam di bidang tersebut. Cerita tentang kemenangan besar, sebenarnya adalah cerita tentang kemenangan kecil yang terjadi berkali-kali. Kabar baiknya, yang namanya 'kemenangan’, sekalipun ia kecil, punya sifat adiktif. Jadi, ketika kita mendapatkan satu kemenangan kecil, kita akan terdorong untuk menggapai kemenangan kecil lain. Jadilah ia kebiasaan. Hingga, suatu hari, kemenangan besar mendekatimu sambil tersenyum dan menyapa, “Hai, kamu ke mana saja? Sudah lama aku menunggumu. Mari, peluk aku. Meskipun tubuhmu penuh keringat, bodo amat! Aku sudah begitu merindukanmu.”
Depok, 3 Januari 2019
310 notes · View notes