Text
Memberedel Pers Mahasiswa itu Baik
By Prima Sulistya Posted on 23 October 2015
Bapak Profesor Pendeta John A. Titaley, Th.D, yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, adalah orang baik. Buktinya, ia memberedel majalah Lentera yang dibuat oleh mahasiswanya sendiri.
Bukan saja baik kepada mahasiswanya, dalam hal ini pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, ia juga memberi sumbangsih besar bagi pers mahasiswa (persma) se-Indonesia dengan membantu memecahkan masalah terbesar persma dua dekade terakhir: masalah sirkulasi.
Persma pernah mengalami masa jaya. Semasa Orde Baru, ketika kebebasan pers arus utama dikunci lewat SIUPP dan kontrol Departemen Penerangan, persma adalah media alternatif yang bersedia menaikkan berita-berita kritis. Dalam kasus penggusuran ketika Waduk Kedungombo dibangun, misalnya, sementara pers arus utama bungkam, persma justru terlibat dalam advokasi.
Reformasi membuat persma disorientasi. Dengan situasi negara yang semakin demokratis, dan pers arus utama tidak lagi dikontrol negara, apa peran yang mau persma mainkan? Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga hari ini.
Disorientasi tersebut sangat terasa sampai ke proses sirkulasi produk. Siapa kini yang mau membaca terbitan persma? Mereka bukan lagi alternatif. Bahkan angin berbalik. Kini mereka yang mengekor pers arus utama. Lihat saja edisi Lentera yang diberedel, plek dengan edisi khusus Tempo tahun lalu tentang tragedi 65—dari segi tema dan pilihan sampulnya.
Akibatnya, kerja sirkulasi majalah persma menjadi kerja berdarah-darah. Terlebih, mereka tak punya nama. Untuk terbit saja kembang-kempis. Kalau rutin, paling banter setahun sekali dua kali. Itu sudah pakai berantem dan ngambek-ngambekan.
Kualitas persma jelas bukan rujukan. Wong masih amatiran. Penulisnya baru belajar, karena ini tempat menempa diri. Mereka cuma punya stok penulis jelek, bagusnya baru setelah keluar. Eka kurniawan, misalnya, pernah dengar namanya sewaktu dia masih di Balairung UGM? Zen RS juga tidak mungkin punya follower puluhan ribu di Twitter kalau dia masih nyangkruk di sekre EKSPRESI UNY.
Karena persma adalah tempat belajar dan eksperimentasi, tidak hanya isi yang acak-adul. Kalau sedang kena sial punya layouter dan desainer buruk, sampulnya juga enggak karu-karuan. Atau, jangan coba-coba baca majalah persma yang agenda diskusi filsafatnya banyak. Saya hakulyakin, ketika membuka majalahnya, mulai dari headline sampai iklan, satu kata pun kita enggak akan mengerti. Beratnya ngalah-ngalahi filsuf posmo. Contohnya majalah Tegalboto yang menghasilkan manusia kayak Arman Dhani.
Sebagai barisan penjaga idealisme, pers mahasiswa juga kukuh mempertahankan majalah, salah satu produk cetak yang sedang dilindas zaman. Satu upaya menyiksa diri sekaligus menguji ketangguhan. Membuat produk cetak repotnya tiga kali lipat online. Ongkosnya juga besar. Kalau bukan divisi iklan dan event organizer yang harus pontang-panting cari uang, dana dari rektoratlah yang diharapkan. Jumlahnya pun masih harus tawar-menawar.
Itulah mengapa harga yang dipatok buat satu majalah mahasiswa suka tidak masuk akal: produk yang digarap berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, mentok di angka belasan hingga dua puluh ribuan. Lentera malah hanya dibanderol lima ribu rupiah.
Dengan kerepotan sebegitu berat, bayangkanlah bagaimana perasaannya Bapak Pendeta John. Bukankah kita diajarkan bahwa dosen adalah bapak dan ibu kita di kampus?
Memberedel Lentera adalah keputusan paling tepat yang diambil Bapak Pendeta John untuk membantu sirkulasi Lentera. Mungkin Bapak Pendeta sebelumnya terinspirasi dengan kisah pelarangan buku-buku Pram. Alangkah mulianya peringai Bapak yang mengikuti anjuran Bung Karno: jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Segera setelah kabar Lentera ditarik, saya dapat info satu tautan untuk mengunduh versi digitalnya. Sehari kemudian, server tautan itu down. Situs-situs lainnya langsung merespons dengan mengunggah sendiri di laman mereka. Bukankah ini bentuk paling konkret dari slogan “Kami ada dan terus berlipat ganda”? Lentera akhirnya berlipat ganda beneran. Sukses besar.
Tentu saja sukses itu hanya pantas dipersembahkan kepada Bapak Pendeta John seorang. Terima kasih kami haturkan kepada Bapak atas segala yang telah Bapak lakukan. Terutama tiga hal berikut ini:
Pertama, kesediaan Bapak mencontohkan aplikasi streisand effect dalam menggenjot sirkulasi dan pemasaran produk cetak pers mahasiswa. (P.S: bisa dijadikan judul skripsi). Memang, Bapak bukanlah yang pertama. Kampus memberedel produk persmanya sendiri sudah seperti rutinitas. Setiap tahun terjadi. Tapi Bapak yang juara.
Kedua, kepedulian Bapak untuk membantu persma menyebarkan gagasan dan laporan. Karena jika Lentera tidak dibredel, meski sudah dikerjakan dengan darah dan doa, pastilah hanya akan teronggok di sudut gudang sebagai barang returan. Apa yang Bapak lalukan tentunya juga inspirasi bagi rektor-rektor lain.
Terakhir, karena membuat kami semua teringat sebuah puisi dari Taufiq Ismail, seorang penganjur teori Komunis Gaya Baru (KGB) yang beberapa hari lalu berpesan, di sebuah diskusi tentang kasus 65 di Frankfurt Book Fair, “semuanya harus dilupakan dan dikubur dalam-dalam”. Judul puisi itu, Takut 66, Takut 98.
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
Bapak John dan Dokter Hewan Taufiq, sekali lagi terima kasih.
0 notes
Text
Kisah-kisah Mohammad Hatta yang Membuat Kita Tertawa
By Prima Sulistya Posted on 4 October 2015
Kita punya pasangan dwitunggal abadi yang kelakuannya macam langit dan bumi. Pertama, Sukarno yang selalu tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak dan flamboyan minta ampun. Kedua, Mohammad Hatta yang jarang senyum, sekalinya senyum tidak kelihatan gigi (sunah nabi), serta fobia perempuan.
Soal fobia perempuan ini, Sukarno sampai khusus membuatkan parodi tentang Hatta yang bisa kita temui dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia.
Alkisah, suatu hari Hatta lagi naik mobil dengan seorang sopir dan cewek cantik. Di jalan yang sepi, tahu-tahu ban mobil pecah. Si sopir lalu pergi cari bantuan. Tinggallah Hatta berduaan sama cewek cantik itu.
Jika posisi Hatta ditukar dengan Sukarno, ketika si sopir kembali, keduanya pasti sudah menikah. Tapi kali ini tokoh kita adalah Sang Bapak Koperasi. Maka yang terjadi adalah: saat si sopir kembali, dua-duanya tengah tidur di jok. Satu di paling ujung sana, satu di paling ujung sini. Pokoknya sejauh-jauhnya.
Parodi Sukarno adalah kisah fiktif, namun bukan berarti Hatta tak lucu lagi. Cobalah buka buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, yang berisi kumpulan kenangan sahabat, rekan, dan keluarga Hatta. Saya menobatkan kisah-kisah tentang Hatta di dalamnya sebagai kisah tokoh bangsa paling kocak yang pernah saya baca. Musababnya, bapak satu ini tak pernah berpretensi lucu maupun melucu, dan karena itulah ia lucu.
Kelucuan itu saya temukan dalam, salah satunya, kisah Des Alwi, anak angkat Hatta. Ketika Des masuk ke sekolah menengah, ia dipanggil dari Banda Neira untuk bersekolah di Jakarta. Des mengenang, Hatta adalah bapak yang sangat ketat memantau prestasi belajar anaknya di sekolah. Ia paling tidak toleran dengan nilai buruk.
Suatu kali Des mendapat nilai merah di raport. Apa respons Hatta? Saking kesalnya, dia menyuruh Des pulang saja ke Banda Neira… dengan berenang.
Hatta memang dikenal sebagai orang yang zakelijk, luar biasa disiplin, dan pecinta buku kelas berat. Soal buku-buku itu pula yang sering menjadi cerita parodi tentang Hatta yang paling kerap diulang. Apa lagi kalau bukan soal 16 peti buku koleksinya yang ia bawa dari Belanda, lalu ke Jakarta, diangkut lagi ke Boven Digul ketika dibuang ke sana, masih tak luput dibawa ketika dipindah-buangkan ke Banda Neira, kembali lagi ke Jakarta, dan kemudian ke Bangka. 16 peti! Jangan berani ceramahi Hatta soal travel light alias berpergian enteng, wahai para backpacker!
Saking banyaknya, ketika baru tiba di Digul, teman sesama buangan, Moh. Bondan namanya, sampai tak tahan berseru: Anda ke sini dibuang apa mau buka toko buku?
Buku-buku itu pula yang bikin Hatta sampai bertengkar dengan Sjahrir, cs-nya sejak di Belanda sampai ke Neira.
Ceritanya, sewaktu akan kembali ke Jakarta, Sjahrir ingin mereka membawa serta anak-anak angkat mereka, adik-beradik Des Alwi yang jumahnya enam orang. Tapi pesawat mereka rupanya tidak kuat membawa setengah lusin anak dan 16 peti buku. Harus pilih salah satu untuk ditinggalkan. Sjahrir kekeuh bawa anak, Hatta sendiri bisa ditebak: tentu saja pilih buku yang sudah melanglang 2/3 luas dunia itu. Walau akhirnya Hatta mengalah, syaratnya sialan juga: Des Alwi tidak jadi diajak agar bisa menjaga buku-buku itu sampai semuanya tuntas dikirim ke Jakarta.
Masih soal buku. Ketika Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, ia sekeluarga boyongan dari rumah dinas ke rumah pribadi. Di rumah baru, Munthalib, si sopir keluarga, yang kebagian tugas menyusun buku ke rak-rak baru. Setelah selesai, Hatta memeriksa dan menemukan ada buku yang diletakkan berdiri tapi terbalik. Segera saja ia menyindir Munthalib: Lib, orang berjalan itu tidak dengan kepala di bawah.
Di lain kesempatan, seorang keponakan Hatta mengaku pernah melipat halaman buku yang ia pinjam dari Hatta. Begitu tahu, apa yang Hatta lakukan? Meminta dibelikan buku baru yang sama.
Beralih ke kisah selain buku. Kala masih di Neira, pulau dengan pantainya yang indah, suatu hari Sjahrir dan Hatta mengajak anak-anak angkat mereka berenang ke pantai. Keduanya memang tinggal serumah. Sjahrir yang enerjik dan suka bersenang-senang segera saja mencebur dengan hanya bercelana ketika sampai di pantai. Sementara, kenang Des Alwi, Oom Hatta masuk ke air dengan berbaju lengkap dan bersepatu. Mengutip Cinta, orang tua satu ini memang “sakit jiwak!”.
Mungkin dua kata itu juga yang ada di benak ibunda Hatta ketika tahu apa mas kawin yang disiapkan anak lelaki semata wayangnya itu menjelang menikah. Sebuah momen yang mungkin ibunya kira bakal tak pernah terjadi. Hatta memang menikah tua, di usia 43 tahun, setelah dicomblangkan Sukarno dengan Rahmi (perempuan yang menurut Muhidin M. Dahlan, tipenya Sukarno banget). Mas kawinnya adalah sebuah buku pengantar filsafat barat yang ia susun sendiri, berjudul Alam Pikiran Yunani. (Wahai para jomblo sedunia, tetap tabah, terus mencari, dan mulailah mencari mas kawin.)
Begitu tahu mas kawinnya sebuah buku, ibunda Hatta langsung meledak amarahnya. Tapi kemudian tak bisa berbuat apa-apa.
Hal-hal lucu tentang Hatta bukanlah sesuatu yang disengaja, melainkan datang dari kekikukannya ketika menghadapi hal-hal yang tidak biasa ia hadapi. Sheldon Cooper di serial Big Bang Theory mungkin adalah Hatta versi modern. Serba salah tingkah karena sifat dasarnya yang begitu lurus dan teratur.
Dua kisah berikut akan menjadi pamungkas tulisan ini. Pertama, ketika Rahmi melahirkan putri pertama mereka, Si Bapak Baru yang kikuk itu datang ke rumah sakit menjenguk istrinya. Mari menebak, apa yang ia bawakan?
Baju? Selendang? Pakaian bayi? Bunga? Cokelat?
Oh, bukan, Saudara-saudara. Dia bawa sandwich!
Kedua, suatu kali, sebagai wakil presiden, Hatta akan berpergian dengan pesawat. Bersama rombongan, datanglah ia ke Bandara Halim Perdanakusuma untuk menunggu pesawat yang dijadwalkan datang pukul, katakanlah, sembilan tepat. Malangnya, pesawat itu datang lebih cepat 15 menit. Iya, malang. Malang bagi pilotnya. Sebab, Hatta yang dikenal sangat tepat waktu (yang ternyata berarti “jangan terlalu awal, jangan terlalu telat”), begitu dilapori bahwa pesawat sudah datang mendului jadwal, segera memberi instruksi: silakan putar-putar dulu di udara sampai pukul sembilan tepat, baru kemudian turun.
Demikianlah kelakuan Mohammad Hatta, sang proklamator yang saking dicintainya, ketika wafat pemakamannya dihadiri ribuan orang, dan dibuatkan lagu khusus yang sendu sekali oleh Iwan Fals. Sila putuskan masing-masing, kelakuan Hatta pantas ditiru atau tidak.
0 notes
Text
NU dan Muhammadiyah Itu Apa?
By Prima Sulistya Posted on 7 March 2017
Kalau tidak karena Yogya, mungkin saya hari ini masih mengira Muhammadiyah itu aliran sesat.
Pikiran itu datang dari rumah dan lingkungan tetangga kami yang letaknya di satu kota di Jawa Tengah. Kala Lebaran, setiap ada perbedaan antara hisab dan hilal, warga yang ada di sisi utara jalan selalu ikut pemerintah. Rumah saya ada di bagian ini.
Di sisi selatan jalan, ada masjid Muhammadiyah dan takbir mereka yang acapkali duluan itu. Kepada mereka, sering saya dengar komentar yang meski tidak eksplisit, nadanya seakan menuduh ketidakpatuhan mereka itu. Saya kadang dengar obrolan Bapak dan Ibu, “Itu yang Lebaran duluan kan Muhammadiyah.” Nadanya seperti cara orang didikan Orba membicarakan kuminis: penuh prasangka dan curiga. Tambah lagi dengan bombardir kabar terorisme di Indonesia yang dipelopori Jamaah Islamiyah, atau setidaknya yang kami ingat hanya JI. Dalam pikiran saya yang masih remaja, jangan-jangan yang pakai -yah, -yah begitu aliran nggak bener.
Mohon jangan disalahkan. Kami ini hanya awam kebanyakan, silent majority sisa pengurangan dari 207 juta pemeluk Islam di Indonesia (Sensus Penduduk 2010) dikurangi 85 juta warga NU, 50 juta warga Muhammadiyah, dan sekian juta lainnya pengikut organisasi atau aliran lain. Rerata dari kami tidak akrab dengan tradisi Muhammadiyah atau mengerti latar historis organisasi ini.
Anak-anak kecil di sekitar rumah memang sekolah di TK ABA, termasuk adik saya yang putih dan sipit dan sering dikira Kristen itu. Alasannya sih pragmatis, karena itulah TK terdekat. Soal TK ABA alias Aisyiyah Bustanul Athfal, ini sempat jadi guyonan di rumah. Saya dan adik nomor tiga masuk TK Pertiwi yang notabene TK negeri, sedangkan adik nomor dua sekolah di TK Bhayangkari punya tentara. Jadi sempat absurd juga lihat adik satu ini sekolah di TK yang mengharuskan dia yang pakai peci dan baca doa keras-keras setiap mau mulai pelajaran.
Kalau Muhammadiyah disalahartikan, bukan berarti NU punya nama yang bersih di kepala kami. NU itu identik dengan pesantren. Dan apa itu pesantren? Kalau tanya pada diri saya yang berusia 15 tahun, pesantren adalah sekolahnya anak nakal. Kalau nilai kami jelek atau melawan orang tua, ancamannya selalu saja dimasukkan ke pesantren. Saya berani taruhan, nggak sedikit orang tua yang suka mengancam begitu. Saya ngakak kalau ingat itu, sebab ketika kuliah di Yogya dan bertemu banyak teman santri, saya sempat pikir, masyaallah, mereka ini dulu pasti nakal sekali sampai-sampai dari SMP sampai SMA di pesantren terus.
Akan tetapi, dan ini belakangan saya sadari, sama absurdnya (dan pragmatis) dengan kisah Ibu yang illfeel dengan masjid Muhammadiyah di selatan jalan tetapi memasukkan anaknya di TK ABA (atau mungkin karena Ibu tidak tahu ABA milik Persyarikatan Muhammadiyah), saya belajar salat justru dari buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap karya Drs. Moh Rifa’i yang taraf legendarisnya setara dengan Buku Iqro’: Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an. Kalau direnungkan sekarang, saya rasa ini tuntunan salat yang NU sekali karena ada bacaan qunut dan niat salat memakai ushalli. Buku itulah yang membuat saya sekarang, meski tak pernah merasa apalagi berani-beraninya mendaku NU (organisasional maupun kultural), kalau lagi pengin salat Subuh, ya, tetap baca qunut.
Kalau semesta pikiran kami yang awam itu mau digambarkan secara singkat, kira-kira begini: Islam itu cuma ada dua, Islam Pemerintah dan Islam Bukan Pemerintah.
Dengan (((prakondisi))) seperti demikian, tiba di Yogya untuk kuliah, saya gegar agama/aliran betul. Terutama ini karena dua teman saya seorganisasi dan sealma mater, sebut saja namanya Dafi dan Habib. Dafi ini NU, bahkan “gus” alias anak kiai, sedangkan Habib Muhammadiyah. Tiap ketemu, guyonan mereka pasti ujung-ujungnya ejek-mengejek soal mana yang lebih bagus, hijau atau biru, yang merambah ke soal yang lebih spesifik saat Ramadan: rakaat salat Tarawih. Dari mereka guyonan saling ejek mereka inilah saya pelan-pelan tahu mengenai perbedaaan-perbedaan dua organisasi tersebut.
Mereka baru bersatu kalau muncul teman lain, nama samarannya Kresna, yang notabene Protestan. Kalau orang tiga ini sudah ketemu, guyonnya geser ke perkara bagusan mana, masjid atau gereja. Contoh guyonannya, “Rumah ibadah apa itu, pintunya pakek ditutup segala dan ada kursi-kursinya.” Dan terutama, karena gereja nggak bisa dipakai menginap.
(Saya mau melantur sebentar soal Protestan dan Katolik. Jika di satu sisi teman-teman ini fasih sekali ngomong Muhammadiyah dan NU, saya kadang ketawa kalau mereka nggak bisa membedakan Katolik dan Protestan. Semua-muanya disebut Kristen. Inilah akibat kalau dari lahir cuma ketemu sama orang Islam. :p)
Belakangan, saya makin banyak ketemu orang NU dan MU ini, dan masih tidak mengerti kenapa mereka sengit sekali satu sama lain. Sama seperti ketidakmengertian saya pada idolisasi Kalis Mardiasih pada kiai dan pengajian. Sama seperti ketidakmengertian saya kenapa ada orang yang mau cium tangan Gus Dafi padahal dia “pekok”-nya minta ampun. Sama seperti ketidakmengertian saya kenapa ada teman yang nggak pernah salat tapi semangat membela NU dan kepatuhan pada kiainya lwar byasa.
Dan di titik tertentu ketidakmengertian itu, ketika menyimak Kak Iqy, Cak Mahfud, dan Mas Irfan berdebat organisasi mana yang lebih lucu, saya ikut terpingkal tapi karena hal lain. Mereka nggak tahu apa ya, tanpa bikin garis lucu-garis lucu masing-masing, ketika orang NU dan Muhammadiyah sudah saling ejek dan sindir, itu sudah lucu banget buat saya yang tidak bisa mengidentifikasi diri pada organisasi apa pun ini. Lucu karena bikin teringat pada salah satu jawaban Cak Nun yang pernah saya baca, tentang apakah dia NU atau Muhammadiyah.
“Sampean ini sebenarnya ikut NU atau Muhammadiyah, sih, Cak?”
“Emang kenapa?”
“Ya harus konsisten dong. Pilih yang benar. Yang mana?”
“Begini. Semalem saya bermimpi ketemu Rasulullah. Saat itu, saya sempat tanyakan kepada beliau, ‘Kanjeng Nabi, saya didesak untuk menentukan dua pilihan, NU atau Muhammadiyah. Tolong jenengan beri petunjuk, kelompok mana yang benar?’”
“Terus, dijawab apa?”
“Boro-boro dijawab. Nabi malah balik nanya, ‘Lho, Cak, NU sama Muhammadiyah itu apa?’.”
Hwehehe.
0 notes
Text
Bahagia Bersama Tweet-Tweet SBY
By Prima Sulistya Posted on 15 February 2017
Betul-betul tidak ada panggung untuk Valentine tahun ini. Cinta dan kasih sayang telah dirampas oleh pilkada. Apa ini pertanda bahwa di tahun ini, politik akan mengalahkan kasih sayang sebagaimana ia telah mengalahkan persahabatan di 2014 dan 2016? Daripada memilih tafsir seperti itu, lebih baik bergembira dengan menganggap bahwa semua keriuhan di awal 2017 adalah pertanda bahwa tahun ini akan penuh tawa dan … SBY.
Aa Gym dan jari-jarinya, bersih dari tinta tentu saja, boleh mencoba mencuri perhatian dengan terus-terusan menyebar hoax. Ridwan Kamil boleh ikut-ikutan Jamrud dengan mengacungkan jari tengah. Kalis Mardiasih boleh menganggap perkelahian Dewi Perssik dan Nasar di Dangdut Academy lebih penting. Warga net pun hanya samar-samar membicarakan Adele yang mematahkan piala Grammy-nya untuk Beyoncé. Sebab, nyatanya, tweet-tweet SBY tetap yang jadi juara. Bahkan, di tengah malam buta, mungkin sembari begadang menunggu siaran Liga Champions, beliau masih sempat posting status di FB. Kata teman saya, kini kita tahu rahasia misteri kantung matanya.
Awal dari tweet-tweet SBY sebenarnya kasus serius yang tidak layak sama sekali ditertawakan. Kemarin siang, Antasari Azhar baru saja melapor ke Bareskrim Polri untuk membuat laporan terkait bukti yang membuatnya menjadi terdakwa pembunuhan pengusaha Nasrudin Zulkarnaen, 2009 lalu. Pernyataan-pernyataan Antasari dalam konferensi pers di Bareskrim usai pelaporan itulah yang menjadi awal mula tweet-tweet SBY di sore harinya, yang disusul dengan konferensi pers di kediamannya semalam.
Pernyataan Antasari memang berbahaya bagi SBY sehingga SBY harus buru-buru membalas dengan menyebut bahwa pengungkapan oleh Antasari adalah fitnah yang bermotif politik pada dirinya. Yang lebih berbahaya, Antasari turut menyebut-nyebut nama Ibas, di samping Hatta Radjasa dan Harry Tanoe. Jadi, wajar saja jika SBY segera merespons tuduhan-tuduhan Antasari itu.
Tapi, dasar warga Internet Indonesia, apa belum puas terus-terusan mengganggu SBY. Bukannya berfokus pada substansi klarifikasi SBY, justru redaksional tweet yang jadi pembicaraan. Dan … saya sendiri termasuk di dalamnya sih. Ya, mau gimana lagi, siapa yang bisa tahan kalau baca kalimat “Jangan berdusta. Kami semua tahu”, atau “Saya bertanya” (ini pengulangan memang, tapi tetap saja lucu. Apa bapak ini tidak belajar dari bullying nasional “Saya bertanya kpd Bapak Presiden dan Kapolri” tempo hari?). Apalagi selain memohon pertolongan Tuhan Swt. (bukan YME lagi) dan berjanji akan meneruskan tuduhan Antasari ke jalur hukum, SBY yang mantan presiden dan punya partai besar mengklaim sebagai orang lemah dengan nge-tweet “Kita terus dibeginikan. Apakah yang kuat memang harus terus menginjak-injak yg lemah?”. Sebagai jomblo yang masih harus menghadapi 14 Februari alih-alih 13B Februari, kzl bats bacanya.
Di satu sisi, saya gembira bahwa tampaknya akan ada usaha pembuktian, lewat jalur hukum maupun perdebatan publik, mengenai kasus Antasari Azhar yang memang sejak permulaannya sudah misterius. Di sisi lain, saya jauh lebih gembira dengan kemunculan SBY yang membuat timeline dan konten Mojok jadi lebih humoris. Ya Tuhan YME, saya sudah lelah dengan kafir-kafiran atau marah-marah yang terlalu serius ala Habib Rizieq atau Taufiq Ismail atau pilkada atau apalah. Lebih baik kasus Antasari atau ketawa-ketawa kita sajalah yang serius.
Ngomong soal yang serius, ada dua perkara yang layak dibahas. Pertama, kayaknya kemunculan SBY sebagai selebtweet baru papan atas di jagat Twitter Indonesia bikin para pakar komunikasi perlu merumuskan ulang definisi generasi milenial. Kalau patokannya tahun lahir, saya yang lahir di kategori periode milenial merasa jauh lebih nggak milenial ketimbang SBY yang September besok merayakan ultahnya yang ke-68.
Kedua—saya nggak bisa nahan diri untuk nyebut ini—kayaknya kita bakal dapat satu selebtweet baru lain sebagai imbas dari SBY effect. Dia tak lain dan tak bukan adalah iBas Yudhoyono (tolong jangan sampai salah tulis). Sejak tweet fenomenalnya kemarin, saya buru-buru memutuskan untuk jadi “rakyatnya”. Ini #BukanHoax. #IniBeritaPenting. Bahkan walau ini masih Februari, saya nggak ragu untuk menyebut keduanya sebagai selebtweet terbaik Indonesia tahun ini.
Nah, yang ketiga ini agak spekulatif-konspiratif, jadi daripada saya rumuskan dalam pernyataan, sebaiknya dibuat dalam pertanyaan saja. Tahun lalu sempat muncul rumor, Twitter akan tutup di 2017 karena penurunan pengguna yang siginifikan. Nah, kira-kira menurut kalian wahai rakyatku, mungkinkah SBY dan Antasari Azhar itu sebenarnya cuma buzzer-nya Twitter untuk memanggil kita kembali menggunakan media sosial ini?
0 notes
Text
Pendidikan Seks dan Cermin Kelakuan Kita
By Diana Nurwidiastuti Posted on 24 February 2017
Jagat maya yang agak tenang pasca putaran pertama Pilkada Jakarta, kini dihebohkan dengan beberapa foto cuplikan isi sebuah buku anak yang diduga mengandung unsur pornografi. Buku berjudul “Aku Berani Tidur Sendiri, Aku Belajar Mengendalikan Diri” yang ditulis oleh Fita Chakra ini sukses menuai caci-maki di media sosial karena menggambarkan adegan seorang anak laki-laki yang memainkan kemaluannya. Tudingan bahwa buku ini menyesatkan, mengajarkan anak untuk masturbasi, hinggga cacian bahwa penulis tak tahu diri juga sudah banyak mengisi dinding media sosial. Namun, seberapa banyak netizen yang sudah pernah membaca keseluruhan isi bukunya?
Tiga Serangkai, selaku penerbit, akhirnya meminta maaf melalui akun resmi Facebook-nya dan menarik buku ini dari peredaran. Mereka menyatakan bahwa sebenarnya buku ini ditujukan untuk membantu orang tua menjelaskan pada anak-anak tentang pentingnya melindungi diri. Kalau kita lihat isi bukunya secara keseluruhan, memang akan digambarkan tentang bahayanya memainkan kelamin, serta hal-hal apa yang bisa dilakukan saat anak merasa bosan. Tips bagi orang tua juga disertakan. Namun, publik kadung marah, dan penerbit tentu tak mau ambil risiko sehingga tetap menarik peredaran buku ini.
Penarikan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak Desember 2016, tapi memang isunya baru heboh belakangan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi, dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Ni’am, menilai langkah tersebut belum cukup, dan memastikan akan memberi sanksi pada penerbit. Alasannya, ada konten yang dianggap akan mendorong penyimpangan seksual pada anak.
Pertanyaan usil saya, apakah anak laki-laki yang masturbasi merupakan ciri penyimpangan seksual?
Saya rasa, fitrah seksual pada anak justru harus dibicarakan secara terbuka. Terlepas dari masalah buku tersebut yang dirasa belum cocok untuk anak usia tertentu, pendidikan seksual bagi anak harusnya jadi perhatian kita bersama.
“Pendidikan seksual harusnya bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dengan anak.”
Entah sudah berapa banyak orang yang bilang begitu, tapi rasanya juga masih banyak sekali orang yang keliru. Pendidikan seksual itu bukan tentang bagaimana cara berhubungan seks, cara masturbasi, atau bagaimana cara agar tidak hamil. Ada banyak sekali literatur yang bisa kita baca terkait hal ini, dan bagaimana cara menyampaikannya sesuai dengan usia anak. Sifat dasar anak-anak yang serba penasaran dengan berbagai hal, memang menguji para orang tua (dan dewasa) untuk bisa selangkah lebih maju. Kita harus siap menjawab setiap pertanyaan dengan bijak, dan menyediakan stok sabar yang lebih banyak. Tanggung jawab kita sebagai orang tua adalah memberikan pemahaman pada anak tentang bagian tubuh mereka, dan bagaimana seharusnya mereka memperlakukannya.
Kita harus berani menyatakan: anakku, tanggung jawabku. Jangan cuma bilang “Jaman sayaSD dulu, saya cuma bisa main layangan, nggak kayak anak jaman sekarang, SD kok udah pacaran!”.
Helloooow… Jaman kita SD dulu, listrik aja masih byar pet. Mainan layangan karena lahan masih luas, lapangan masih ada. Boro-boro handphone, gimbot aja masih nyewa. Intinya, udah beda jaman.
Jaman dulu, lihat foto cewek berbikini aja sudah panas-dingin. Gimana kalau dulu kita dilempar ke jaman sekarang yang tinggal klik bisa langsung lihat video porno gratisan? Pasti kita sudah mimisan berkali-kali.
Kita murka ketika kasus pencabulan anak terkuak. Yang bisa kita lakukan hanyalah menghujat para pelakunya dan meminta pelaku agar dihukum mati. Hanya sedikit sekali yang kemudian menyoal pengetahuan anak tentang pencabulan itu sendiri. Apakah anak tahu bagian tubuh mana saja yang boleh dipegang orang lain? Apakah anak tahu caranya melindungi dirinya sendiri? Bagaimana dengan anak-anak berkebutuhan khusus? Atau kemudian, apa yang harus dilakukan untuk memulihkan trauma anak korban pencabulan?
Kita ramai-ramai marah saat ada kasus pemerkosaan, apalagi pelakunya keroyokan. Berapa banyak dari kita yang kemudian memberikan dukungan nyata pada korban, bukan hanya dengan menyumbang tanda tangan? Berapa banyak kasus yang tidak diungkap dengan alasan malu? Berapa banyak yang kemudian diselesaikan dengan cara “kekeluargaan”? Pernahkah kita membayangkan harus hidup bersama orang yang memperkosa kita?
Kita sibuk menyinyiri anak-anak yang pacaran dan memanggil papa-mama, kemudian berlagak jadi Tuhan dengan bilang masa depan mereka pasti akan suram. Tapi, berapa banyak dari kita yang acuh pada kondisi anak tersebut? Apakah ayah dan ibunya ada di rumah? Apakah keluarganya rukun? Apa mereka mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarga sehingga tak perlu lagi mencarinya dari orang lain? Apakah orang-orang di sekitarnya menunjukkan ungkapan kasih sayang dengan tepat? Apakah kita, ya, kita, tidak pernah menunjukkan asyiknya pacaran sehingga mereka merasa itu keren dan kekinian?
Ketidakacuhan kita terhadap lingkungan sekitar juga patut dipersalahkan. Alih-alih mengomel bahwa anak jaman sekarang nggak bisa lepas dari gadget, kita bisa mulai meletakkan gadget kita dan mengajak anak-anak untuk bermain.
Lho, jangankan anak, pacar saja aku tak punya…
Nggak usah banyak alasan. Kamu bisa ajak keponakan, tetangga, adik gebetan, atau siapapun. Kenalkan mereka pada indahnya alam, asyiknya membaca buku, serunya nyuci motor, masak telur dadar paling enak sedunia, dan hal-hal seru lainnya. Ajak teman-temanmu bikin taman baca kecil, sesekali bantu mereka mengerjakan PR. Tumbuhkan kepercayaan diri mereka untuk menceritakan hal-hal yang mereka alami, dan selipkan pengetahuan tentang cara melindungi diri.
Kita sering merutuki dunia yang rasanya makin liar tak terkendali, padahal kendali itu ada di tangan kita. Kita sering merasa kelakuan anak sekarang makin tak karuan, padahal sebagai orang dewasa, kita juga sama tak karuannya. Anak-anak adalah peniru yang ulung. Jadi, kalau kita gerah lihat kelakuan mereka, mungkin kita perlu mengambil kaca.
0 notes
Text
Tuhan yang Jadi Lelucon
By Arman Dhani Posted on 27 August 2015
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur meminta Tuhan ganti nama. Barangkali jika teks ini berdiri sendiri, tanpa ada penjelasan, bahkan umat yang paling sabar pun akan muntab marah. Tapi kita tahu, MUI Jatim tidak meminta kita mengganti nama Tuhan sebagai entitas akbar, namun Tuhan yang manusia.
Menarik bagaimana seseorang bisa bersikap bijak ketika ia memahami sebuah perkara dengan utuh, lain persoalan ketika seseorang atau bahkan media menuliskan sesuatu yang ia tidak ketahui. Kerap kali kita menjadi acuh, marah, atau membenci hal yang susah kita pahami.
Ketua Umum MUI Jawa Timur KH Abdusshomad Bukhori mengatakan, Tuhan sejatinya terjemahan dari “Illah” dalam bahasa Arab. “Memang bersifat umum, tapi kalau dita’rifkan di dalam Islam itu menjadi Allah,” katanya. Ia memahami bahwa kita perlu membedakan antara Tuhan sebagai nama manusia dan Tuhan sebagai entitas yang dimuliakan dan disembah. Kerancuan pemahaman dan ketidaktahuan bisa jadi berbahaya, selain menjadi fitnah, ia berpotensi membikin malu.
Anda mau contoh? Mojok.co pernah membuat respons reaktif ketika MUI membahas BPJS, respons yang abai fakta dan minim pemahaman membuat media ini mesti menanggung malu. Tapi kita bersama tahu, Mojok dengan besar hati mengakui kesalahannya. Jangan dibandingkan dengan situs sebelah yang gemar menyebar dusta dan menghapus postingan blog setelah ketahuan salah. Tapi cukup tentang Mojok.
Apa kabar Tuhan? Ia kini jadi perhatian. Kita dengan gembira, dan sedikit kekanak-kanakan, menyebarkan foto KTP Tuhan di media sosial. Dalam foto tersebut terpampang jelas alamat, agama, nomor induk kependudukan dan juga hari kelahiran Tuhan. Beruntung Tuhan adalah mahluk yang sabar.
Jika Tuhan mau, ia bisa menuntut tiap manusia, juga media, yang menyebarkan foto dan data pribadinya tanpa izin. Undang–undang kita memungkinkan itu—yang sayangnya, jarang dipedulikan banyak orang.
Beberapa dari kita, dengan semangat ingin menjadi lucu dan menjadi yang petama, menyebarkan data pribadi yang tertera di KTP Tuhan. Tanpa sedikitpun punya pikiran, bagaimana jika kelompok intoleran menilai itu sebagai penghinaan? Bagaimana jika data pribadi itu digunakan untuk kejahatan? Keinginan untuk jadi yang utama dan yang jenaka kerap mengabaikan akal sehat. Beberapa media malah dengan gencar mengeksploitasi kehidupan pribadi Tuhan, seolah ia penting diketahui publik.
Tuhan memang sabar, ia rela jadi lelucon. Tapi baiknya kita sepakati dulu: kita sedang membahas Tuhan yang manusia, bukan Tuhan yang Maha Esa—yang namanya kita gunakan untuk menyerang kelompok minorias atau bahkan melarang umat beragama lain beribadah. Kita sedang bicara tentang Tuhan, seorang manusia yang menggenapi nubuat “15 menit ketenaran” Andy Warhol.
Ketika kabar bahwa Tuhan sedang di Jakarta, beberapa kawan saya di media sosial menjadi bersemangat. Keberadaan Tuhan membuat kita bisa menertawakan diri sendiri dan ide tentangnya dengan bebas tanpa takut dianggap menodai agama (blasfemi). “Kalau ketemu Tuhan, tolong lihat di tangannya ada siapa. Siapa tahu jodoh saya di tangan dia,” kata seorang kawan.
Kemunculan sosok Tuhan disambut beragam, kebanyakan tentu saja dengan humor. Bayangkan jika anda hendak bertandang ke rumah Tuhan, seseorang di jalan bertanya mau kemana. Dengan mantap anda menjawab, “Saya mau pergi ke rumah Tuhan,” atau “Saya dipanggil Tuhan.” Anda boleh jadi sangat marah apabila lelucon inidiperuntukkan kepada Tuhan yang Maha Esa, namun ketika ia disematkan kepada sesosok manusia, ah akui sajalah, ini lumayan lucu, kan?
Lelucon menghadirkan kesan berbeda mengenai sosok Tuhan. Ada yang cair: yang sakral menjadi profan, dan yang transenden menjadi imanen. Lebih dari itu, sosok Tuhan yang selama ini dianggap tak terjangkau dan misterius menjadi terang benderang. Kita mendekap konsep Tuhan yang manusia sebagai kesempatan untuk menjadi bebas—terlepas keyakinan apapun yang kita miliki. Tuhan yang manusia adalah sosok yang dekat dan hadir. Sementara Tuhan yang serba maha masih berada di singgasana-Nya.
Tuhan memiliki banyak nama, jika kita sepakat bahwa segala yang maha berhak dilabeli sebagai Tuhan. Ia bisa saja bernama Wisnu, Indra, Siwa, atau Yesus. Maka beberapa agama yang telah dewasa tidak mempersoalkan penamaan, Yesus bisa jadi seorang pemain sepak bola, sementara Wisnu bisa jadi peneliti kajian media. Tapi jangan sekali-sekali bermain dengan nama Allah. Ia adalah sesuatu yang suci.
Tahun 2007 silam, Kementerian Dalam Negeri Malaysia melarang surat kabar Katolik berbahasa Melayu, The Herald, menggunakan kata ‘Allah’ yang merujuk kepada Tuhan. Pemerintah berdalih, jika surat kabar The Herald menggunakan kata ‘Allah’, itu bisa membingungkan mayoritas Muslim dan membahayakan keamanan nasional. Bayangkan, betapa lemah iman seseorang sehingga Tuhan saja bisa tertukar karena memiliki nama yang salah.
Umat Islam Malaysia mengatakan bahwa Allah hanya milik muslim. Saya ragu bagaimana jika mereka mampir ke Syiria, Mesir, Lebanon, atau tempat-tempat lain di mana kata Allah biasa dikumandangkan di gereja, dan bukan hal yang mengagetkan jika banyak pemeluk Katolik memiliki nama Abdullah (yang artinya hamba Allah). Kita tentu bisa membedakan, mana yang tertinggal dan siapa yang beradab.
Sosok Tuhan yang hadir di Indonesia sebagai manusia menjadikan kita umat yang tidak lagi kagetan. Setidaknya, Tuhan tidak terlalu sial sebab tidak tinggal di Malaysia. Semoga keberadaan Tuhan ini mengajarkan kita bagaimana bersikap adil–terutama kepada yang tidak kita ketahui dan tidak kita pahami.
Lha, kok ya serius amat ini tulisan?
0 notes
Text
Mojok dan Para Monyet
By Arman Dhani Posted on 13 August 2015
Betapa susahnya verifikasi sehingga beberapa penulis kerap mengabaikan. Termasuk saya. Setidaknya, seingat saya, tiga kali saya menyebarkan berita yang tidak tepat karena belum diverifikasi. Akibatnya sangat fatal, pembaca tertipu, orang yang ditulis namanya tercemar, dan yang paling buruk: integritas dan kredibilitas saya rusak—kalau saya masih punya.
Oryza Ardyansyah, jurnalis Berita Jatim yang juga senior saya, pernah mengatakan bahwa jurnalis adalah pedagang kejujuran. Ia harus selalu jujur. Karena sekali ia berbohong, pembaca tidak akan pernah mempercayainya lagi. Ajaran ini saya pegang teguh seperti saya menjaga tali nyawa. Meski demikian, toh saya juga beberapa kali kedapatan kurang awas verifikasi. Hasilnya, malu luar biasa.
Gegabah dalam verifikasi bisa membawa kepada fitnah, kebencian, dan kerusakan yang tak mungkin diperbaiki. Menarik bagaimana Mohammad Sohibul Iman, Presiden baru PKS, berpendapat tentang media sosial dan verifikasi. Melalui akun twitternya ia berkata—boleh jadi ini paradoks paling heboh di era medsos: makin melimpah informasi bukan makin bijak dan penuh hikmah, tapi makin ceroboh dan tebar fitnah. Lebih lanjut ia mengatakan, fitnah bisa menimbulkan irreversible damage.
Mojok, sebagai media opini, kali ini kena getahnya. Dalam kasus BPJS dan MUI, mereka menurunkan dua artikel yang kurang tepat. Premis yang diserang bahwa BPJS dinyatakan Haram, padahal tidak demikian adanya. Ini jadi menarik, mengingat Arlian Buana, pimred Mojok adalah sosok yang cukup galak dalam verifikasi. Satu tulisan saya pernah ia bantai dan koreksi habis karena menggunakan sumber yang tidak bertanggungjawab.
Kesalahan Mojok ini menjadi polemik, tidak besar, namun fatal. Polemik ini diawali dari kabar bahwa MUI mengharamkan BPJS, semua media besar pun memberitakan begitu. Setelah beberapa lama bola panas itu bergulir di publik, baru MUI melakukan klarifikasi.
Fauzan Mukrim, jurnalis CNN, dalam artikelnya Fatwa (Monyet) Pujangga, mengkritik media-media yang kerap memanjakan para clicking monkey. Apa clicking monkey itu? Fauzan merujuk pada kolom Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co, tanggal 15 November 2013, yang berjudul The Clicking Monkeys. Menurut Daru, clicking monkeys adalah “orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk mem-broadcast hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial.”
Para clicking monkey ini memang susah ditertibkan. Menjadi celaka apabila pekerja media menjadi satu barisan dengan mereka.
Para clicking monkey ini secara tidak langsung membuat itikad baik MUI menjadi buruk sebelum dipahami. Saya pribadi sebagai umat muslim tidak selalu setuju dengan MUI, namun ketidakadilan kepada mereka bukan berarti mesti kita terima sebagai sesuatu yang wajar.
Mojok dalam hal ini sudah melakukan klarifikasi, memberi penjelasan dan meminta maaf secara terbuka. Ini sebenarnya hal biasa yang dilakukan media ketika mereka berbuat salah. Namun hal yang biasa ini jadi luar biasa karena jarang dilakukan oleh media di Indonesia.
Hanya media yang memiliki integritas moral, tanggung jawab, dan yang lebih penting nurani, yang sanggup meminta maaf secara terbuka. Berapa kali anda menemukan media atau media abal-abal yang tak jelas redaksinya menyebar berita bohong dan kebencian? Setelah ketahuan bohong, mereka lebih suka lepas tangan tanpa permintaan maaf.
Indonesia sebenarnya punya tradisi minta maaf. Ketika ada berita yang salah, maka media bersangkutan akan memberikan hak jawab kepada orang/organisasi yang merasa dirugikan. Dewan Pers akan menjadi pihak yang menengahi. Bahkan beberapa media akan melakukan permintaan maaf secara terbuka dan koreksi jika berita yang ada memang terbukti salah, bohong, atau dibuat dengan tendensi tertentu.
Mojok perlu berbenah. Selama ini, Mojok kerap menjadi media kagetan. Tiap ada keramaian, seperti barisan monyet yang lapar Mojok langsung merespons. Saya juga termasuk. Semestinya, Mojok memberikan kesempatan para penulisnya untuk memahami sebuah masalah sebelum menuliskan. Lapisan pembaca awal dan editor Mojok mesti ditambah. Beban mesti dibagi sehingga kualitas bisa terjaga. Jika tidak, seperti monyet-monyet yang hanya bisa berteriak ketika ada keributan, Mojok akan jalan di tempat dan turun derajat jadi media sampah yang hanya bisa menyebarkan kebohongan.
Mojok sejauh ini menjadi angin segar ketika bacaan berisi kebencian dan kemarahan seperti air baih. Ketika media-media abal-abal yang berlabel agama menyerukan penyesatan dan pengkafiran, Mojok dengan santai membahas makanan. Ketika media lain sibuk bicara politik, Mojok bisa dengan lihai memberikan penulisnya kesempatan untuk curhat. Namun perasaan menjadi yang terbaik memang melenakan. Akibatnya kualitas tidak terjaga dan mutu menjadi rendah.
Saya pribadi tidak ingin Mojok jatuh menjadi hina seperti media-yang-sukanya-menghapus-postingan-ketika-ketahuan-bohong. Atau menjadi media medioker-partisan-tapi-malu-malu yang mendukung salah satu partai. Mojok mesti berpihak, berpihak pada kenakalan dan wisdom of the crowd. Para penulis Mojok sebaiknya adalah orang-orang bijak yang lebih memilih menahan diri dalam berkomentar dan jernih dalam berpikir.
Intinya menahan diri. Seperti menahan diri untuk balikan ketika tahu mantan sudah bahagia bersama yang lain.
0 notes
Text
Fanatik Buta atau Mendukung dengan Waras
By Arman Dhani Posted on 2 August 2015
Melihat perilaku Ahok, beberapa dari kita barangkali antipati. Atau mungkin, kita merasa berkaca—keberaniannya berkata apa adanya, tanpa filter dan kontrol, sebenarnya adalah cerminan keinginan kita untuk menjadi jujur. Namun permasalahannya, sejauh mana anda dan saya bisa menolelir perilaku Ahok?
Baru-baru ini, Ahok kembali membuka perdebatan dengan mempermalukan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jakarta yang dianggapnya tidak jujur. Di depan khalayak, Ahok mengatakan bahwa harga-gara alat tulis yang ada di Jakarta Book Fair itu dijual lebih mahal dari harga normal. Ahok marah, lantas menolak membuka pameran buku tersebut. Lebih dari itu, ia meminta warga Jakarta untuk tidak lagi datang ke acara itu.
Beberapa orang memuji tindakan Ahok, menganggapnya sebagai pejabat yang peduli dengan warganya. Tapi bagi saya, Ahok tidak lebih daripada seseorang pemarah yang tidak bijak bersikap. Jika memang IKAPI melakukan kecurangan, semestinya ada cara yang lebih bijak untuk menyikapi hal itu. Kemarahan demi kemarahan yang dilakukan Ahok, saya kira minim esensi. Ia hanya memberi khalayak ramai Imaji tentang sikap tegas dari pemimpin, tapi implementasi lapangannya menyedihkan.
Mari kita hitung. Berapa kali Transjakarta terbakar? Siapa yang Ahok salahkan? Berapa kali ia mengumpat? Berapa kali ia mengucapkan “tai”? Berapa masalah yang selesai dari kemarahan itu? Lantas kita bandingkan dengan sikapnya terhadap polemik Teluk Jakarta. Apakah Ahok segalak itu terhadap para investor yang memiliki investasi dengan nilai triliunan rupiah?
Ahok mungkin tetap dan akan terus dipuji. Saya menolak menjadi penjilat, menjadi pendukung semestinya memberikan kita hak lebih untuk melakukan kritik. Menjadi pendukung membuat kita selayaknya bersikap dua kali lebih keras daripada pembenci. Jika Ahok terus dan terus-menerus dibela, dicarikan pembenaran setiap kali ia membuat kontroversi, maka apa bedanya kita dengan kelompok sapi yang memuja para pimpinannya?
Hal menarik yang baru-baru ini terjadi adalah bagaimana pendukung Ahok merespons kicauan lama dari Ikhsan Modjo.
Ikhsan pernah membuat peyorasi kata Ahok, dengan mencuit begini: “Selamat pagi. Mandi pagi tadi apakah sudah mengeluarkan Ahok semua?” Pendukung Ahok berang dan marah. Kini ketika Ikhsan maju menjadi calon walikota, para pendukung Ahok menyerang sosok pribadi Ikhsan sebagai seseorang yang rasis.
Kita terlalu sering terjebak pada fanatisme buta sehingga susah menanggalkan kebencian dan sikap kritis.
Menyerang pribadi Ikhsan seperti ia menyerang pribadi Ahok saya kira sama buruknya. Keduanya tidak membawa kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tentu kita percaya bahwa kesalehan tidak diukur dari sekadar kata-kata. Sikap santun pun kerap menipu, berapa orang yang tiba-tiba menjadi relijius ketika diciduk KPK? Atau mungkin tiba-tiba menjadi sosok jujur dan amanah ketika sanak keluarganya tertangkap kasus korupsi? Moralitas itu nisbi sementara prestasi dapat diukur.
Membiarkan Ahok terus memaki tidak akan membuat ia jadi sosok yang baik. Ia hanya akan terus menjadi figur yang dicintai sosoknya ketimbang kerjanya. Akan celaka membandingkan sikap kasar Ahok dengan sikap tegas Ali Sadikin. Meski keduanya sama-sama keras, capaian dan fokus kerja keduanya berbeda satu sama lain.
Gejala pemujaan berlebih memang selalu ada pada masing-masing kelompok. Baik pendukung sepak bola maupun partai politik. Meski Pemilihan Presiden telah lewat berbulan lampau, pertikaian antar individu yang calonnya kalah dan calonnya menang masih ada. Residu dendam dan bara dalam sekam tanpa ada upaya rekonsiliasi menemukan anginnya sendiri pada tiap-tiap kebijakan yang dibuat rezim ini.
Ahok bukan malaikat yang tidak bisa membuat kesalahan. Memuja ia berlebihan tanpa bersikap adil dengan kritik yang proprosional hanya akan membuatnya terjerumus menjadi pribadi yang angkuh. Hal serupa juga semestinya diberikan kepada orang seperti Jonru, Hafidz Ary atau Felix Siauw yang saya percaya punya kebaikan. Saya gak tahu kebaikan apa yang mereka bawa, tapi saya percaya mereka adalah sosok yang memiliki perannya tersendiri untuk Indonesia.
Pada akhirnya, semua bersandar pada pilihan kita; menjadi pendukung buta atau menjadi pendukung yang waras. Ini ibarat menyadari bahwa mantan sudah bahagia bersama yang lain dan berharap balen sesungguhnya adalah kesia-siaan. Anda bisa setuju, bisa menolak, atau bahkan tetap kokoh berkata bahwa calon yang anda dukung adalah santo yang maksum, terlindung dari kesalahan.
Namun percayalah, tidak ada yang lebih absolut di jagat raya ini kecuali kebahagiaan mantan. Ciye serius amat baca tulisan ini.
0 notes
Text
Panduan Agar Tidak Jadi Tolol di Internet
By Arman Dhani Posted on 24 July 2015
Insiden Tolikara mengajarkan kita banyak hal untuk dipikirkan: bagaimana merespons hal-hal yang belum jelas kebenarannya, bagaimana bersikap terhadap berita-berita provokatif.
Di abad media sosial ini, tautan berita atau tulisan yang diberikan seseorang bisa menjadi tolok ukur kecerdasan orang itu. Misalnya, jika sekali waktu seseorang memberikan tautan status facebook Jonru atau berita dari PKS piyungan, maka alhamdulillah, kita bisa tahu kualitas kecerdasan orang itu. Tentu saja dengan sedikit perkecualian.
Jika orang itu bukan saudara bukan teman, cukup di-unfriend saja, jika ia kakak kandung anda yang kebetulan juga seorang fundamentalis garis keras, cukup di-mute atau di-unfollow. Anda tidak harus menanggapi tautan itu. Dengan mendiamkan anda bisa jadi lebih bahagia. Hubungan keluarga tidak rusak, akal sehat terjaga, dan yang paling penting anda tidak terpapar polusi kedunguan.
Namun pasti suatu saat, akan tiba masa di mana anda mesti berjihad melawan kedunguan. Saat-saat di mana kebodohan sudah paripurna, dan mendiamkan bukanlah pilihan. Yaitu ketika orang-orang yang anda sayang, orang-orang yang anda cintai, atau bahkan mantan orang-orang pernah anda kasihi, menjadi korban berita dusta. Itu adalah saat yang paling tepat bagi anda untuk balen bersuara. Bertindak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Berikut ada beberapa cara agar Anda bisa menyelamatkan orang-orang yang anda kasihi. Mengajak mereka untuk tidak jadi tolol di Internet. Agar tidak menyebarkan berita provokatif yang belum terverifikasi kebenarannya, supaya tidak ikut menyebarkan status-status kebencian yang tidak bisa dibuktikan fakta-faktanya.
Dengan memberikan panduan ini, setidaknya, anda menyelamatkan satu manusia dari barisan kebodohan.
1. Verifikasi
M. Said Budairy, ombusman legendaris majalah Pantau itu, pernah berkata: verifikasi merupakan syarat kerja wartawan profesional. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku mereka yang berjudul 9 Elemen Jurnalisme, berkata bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Tanpa verifikasi, kerja media yang secara objektif berkejaran dengan waktu akan serampangan. Kelengkapan, otentitas, akurasi informasi dipertaruhkan. Jika ada media, atau pesohor Facebook, yang berulang kali menuliskan berita bohong, kabar dusta, pantaskah ia dipercaya?
Oh, kita bisa saja berkata bahwa blog piyungan itu bukan media jurnalistik, atau pesohor Facebook itu bukan jurnalis. Nah, kalau sudah begini, kita kembalikan saja, jika mereka bukan siapa-siapa kenapa kita mesti percaya? Dan mengapa anda membagi tautan berita/status orang itu?
Sebuah media yang kerap menulis berita bohong tidak pantas dipercaya. Seseorang yang kerap menyebarkan berita dusta, lantas menghapusnya tanpa pemberitahuan dan permintaan maaf, selayaknya tidak lagi diberikan kesempatan bicara. Lantas bagaimana jika ia tetap saja bicara? Ya tidak perlu didengarkan lagi.
2. Reputasi dan Integritas
M. Said Budairy juga berkata, landasan moral profesi mengharuskan wartawan menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Bukan untuk menebak-nebak mana yang benar mana yang salah. Verifikasi berfungsi sebagai filter, ia akan menghilangkan bias opini dari fakta, juga menyelamatkan seseorang dari penyebaran kebohongan.
Jika verifikasi ini bisa dilakukan, niscaya Anda bisa balikan menjadi seseorang yang berpendapat tanpa takut apa yang anda katakan berasal dari kebohongan. Disiplin melakukan verifikasi (jika anda tidak suka kata ini bisa diganti tabayun) bisa membuat penulis menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan tulisan yang baik dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Dan pada akhirnya, media atau individu yang biasa berpendapat dengan disiplin verifikasi yang ketat akan memiliki reputasi yang baik dan integritas yang dapat dipercaya. Jika anda masih ngotot membagikan tulisan dari situs yang berulang kali menyebarkan berita bohong, atau seseorang yang kerap berdusta, anda barangkali butuh psikolog untuk menguji kualitas kewarasan.
3. Proporsional dan Komprehensif
Andreas Harsono, jurnalis dan aktivis hak asasi manusia, mengatakan dalam resensi 9 elemen Jurnalisme, suratkabar (dalam hal ini portal berita online) seringkali menyajikan berita yang tak proporsional, dengan judul bombastis dan sensional yang kadang tidak sesuai dengan konten berita. Penekanannya pada aspek yang emosional. Sehingga bisa saja seseorang menulis judul yang aneh untuk mengejar klik dan hit dari pemberitaan yang ia tulis.
Lantas bagaimana memahami kualitas berita proporsional dan komprehensif?
Pertama, lihat bagaimana media itu bekerja, apakah mereka kerap menuliskan judul berita yang berbeda dengan isi berita? Apakah berita itu kerap menggunakan kata-kata seperti ASTAGA? BUJUBUNENG? EBUSYET? SEGAN? Atau yang lebih agamis seperti Astagfirullah, Subhanallah, dan sejenisnya. Judul yang demikian menggiring opini pembaca bahkan sebelum beritanya kelar dipahami. Dari pengalaman yang sudah-sudah, media yang menggunakan judul seperti ini bahkan tidak becus dalam masalah ejaan, apalagi masalah verifikasi.
Nah, itulah beberapa cara agar kita tidak jadi tolol di Internet. Susah memang, lebih mudah menyebarkan berita tanpa verifikasi, atau berkelit “Ah, saya cuma berbagi,” ketika ketahuan beritanya bohong. Tapi saya yakin anda, seperti sedikit orang waras di dunia, tidak ingin jadi keledai yang membuat kebodohan berulang-ulang. Cukuplah itu dipanggul oleh orang-orang yang merasa cukup masuk sorga dengan menyebarkan berita bohong.
0 notes
Text
Keyakinan Lukman Sardi Bukan Urusan Kita
By Arman Dhani Posted on 21 June 2015
Di Purwodadi, saya punya seorang bibi yang beragama Katolik. Ibu bilang, jika ada rezeki, ingin sekali diantar ke kota itu menemui adiknya.
Kakek saya menikah dua kali, dan bibi saya ini adalah anak dari istri keduanya. Tapi sejak kecil bibi diasuh dan dirawat oleh ibu. Kata ibu, ia punya ikatan emosional yang jauh lebih kuat dengan bibi ini daripada saudara-saudaranya yang lain.
Saat ramadan tiba, bibi biasanya mengirimkan paket untuk ibu. Kadang isinya mukena, kadang kain. Sesuatu yang mungkin bagi orang lain absurd. Seorang Katolik mengirimkan barang-barang yang berkaitan identik dengan ritus Islam.
Di bulan puasa inilah, bibi dan ibu paling sering berhubungan. Mungkin karena waktu kerja yang lebih lowong, atau nuansa liburan yang lebih santai, atau kenangan keduanya tentang Ramadan di masa kecil.
Saat almarhum kakek menjelang maut, bibi mengirimkan banyak sekali peralatan kesehatan. Ia seorang perawat, dan punya akses terhadap teknologi kesehatan. Semua barang itu dikirim dari Purwodadi ke Bima, tempat kakek terbaring sakit. Tentu alat-alatnya mahal dan biaya pengirimannya tidak murah. Tapi peralatan itu ditolak oleh saudara-saudara ibu. Konon karena bibi sudah jadi Katolik, semua barang yang diberikan olehnya adalah haram.
Maka ketika Lukman Sardi berganti agama lantas dicaci-maki, ya, saya tidak kaget. Biasa saja. Dulu Asmirandah pindah agama juga banyak yang bilang sebaiknya dihukum mati saja. Alasannya? Hadits Nabi yang berbunyi; man baddala dinahu faqtuluhu (barangsiapa pindah agama, maka bunuhlah!).
Selain hadits itu ternyata dla’if (lemah), apakah benar Islam ini sedemikian muram dan mengerikan—sampai-sampai yang pindah agama mesti dibunuh?
Saya bukan ahli fiqih, maka sebaiknya pertanyaan itu kita tanyakan kepada tokoh-tokoh yang punya keilmuan mumpuni. Orang-orang yang sudah membaca ribuan kitab, hafal ratusan ribu hadits dan memiliki penguasaan Bahasa Arab par excelence. Tentu saja mereka adalah orang-orang seperti Kakanda Jonru, Kyai Hafidz Ary dan Tuanku Imam Felix Siauw. Mereka adalah para pembela Islam garda depan yang keilmuannya paling tinggi, jauh melampaui Gus Mus atau bahkan Prof. Quraish Shihab sekalipun.
Saya pikir, perpindahan keyakinan tidak semestinya diakhiri dengan eksekusi. Apakah saya berlebihan? Oh tidak, kejadian semacam ini kerap terjadi. Bahkan majalah-majalah religius rajin sekali merayakan perpindahan agama—seperti sebuah kemenangan atas perang. Seseorang yang berganti agama akan dimanfaatkan tiap-tiap kelompok untuk menunjukan dominasinya, seolah kebenaran itu hanya miliknya, dan dengan adanya seseorang berganti agama, maka agama terakhir menjadi semakin terafirmasi kebenarannya.
Lho, memilih klub sepak bola pun perlu keimanan. Kadang mereka yang pindah mendukung klub lain akan diperlakukan sebagai paria. Dinista, dianggap pengkhianat, dan dihujat. Sementara bagi klub baru, si mualaf tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Ia bisa saja dituduh mata-mata, glory hunter, orang genit dan tidak punya kesetiaan. Untunglah hal demikin tidak pernah terjadi pada klub sebesar segurem Manchester United, klub yang melahirkan para pendukung yang teguh tauhidnya taklid buta.
Tapi cukup soal sepak bola. Lantas kenapa kalau seseorang pindah agama?
Dengan Lukman Sardi pindah agama, apakah angka kemiskinan dan pengangguran akan bertambah? Indonesia akan masuk jurang krisis ekonomi? Atau tiba-tiba beras hilang dari pasar? Saya kira tidak.
Perpindahan keyakinan Lukman Sardi tidak akan berpengaruh apapun bagi kemaslahatan rakyat banyak. Tapi korupsi, kekerasan terhadap minoritas, dan pengrusakan hutan, semuanya punya pengaruh besar untuk kehidupan berbangsa kita.
Lagipula saya percaya, ada hal-hal yang tak bisa kita paksakan hanya karena ia terasa benar. Dan firman Tuhan: “Tidak ada paksaan dalam agama”, lebih dari cukup bagi saya untuk tidak usil dengan kepercayaan orang lain.
Keyakinan sendiri seharusnya lebih penting daripada keyakinan orang lain. Sehingga kita tidak perlu meributkan, mengecam, atau mengglorifikasi perpindahan agama seseorang. Tidak juga dalam kasus Lukman Sardi.
Kecuali jika Anda tidak cukup percaya diri, lemah akal, dan takut bahwa keyakinan yang Anda miliki salah. Itu tentu akan melahirkan paranoia, bahwa agama Anda bisa rusak hanya karena ada orang lain yang pindah agama.
Berkeyakinan semestinya adalah pilihan masing-masing, kesunyian masing-masing. Itupun jika Anda cukup berani menghadapi perbedaan.
0 notes
Text
Angeline adalah Kita
By Arman Dhani Posted on 12 June 2015
Beberapa hari lalu seorang gadis cilik bernama Angeline ditemukan membusuk di halaman rumahnya. Sebulan terakhir ia dikabarkan menghilang.
Ini tragedi, sebuah wajah muram yang semestinya tidak terjadi. Angeline menjadi korban kekerasan orang tua angkatnya sendiri. Kematian Angeline melahirkan duka. Kita mendoakannya, berharap hal serupa tidak pernah terjadi. Tapi benarkah demikian?
Jauh sebelum kematian Angeline, kita berduka hebat ketika RI, seorang bocah perempuan berusia 11 tahun, koma karena menjadi korban perkosaan secara brutal. Setelah beberapa hari berusaha memperjuangkan hidup, RI meregang nyawa. Kasusnya diusut, lantas kita tahu pembunuh dan pemerkosa bocah malang itu adalah ayahnya sendiri. Pernahkah kita belajar dari kasus RI? Nyatanya tidak, kasus RI terlupakan, korban baru berjatuhan dan kini kita menemukan tragedi baru.
Satu hal yang mengerikan dalam kasus kematian Angeline adalah bagaimana media dan masyarakat kita melabeli tragedi ini. “Aduh padahal cantik gitu,” “Angeline manis begitu kok dibunuh,” label-label cantik dan manis seolah bisa mencegah seseorang untuk melakukan kekerasan. lalu bagaimana jika Angeline adalah anak jalanan yang buruk rupa? Apakah kepedulian kita akan berkurang?
Anak-anak masih menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan dan kejahatan seksual di negeri ini. Komnas Anak pada 2013 mencatat ada 3.023 pengaduan kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun 2012, yang hanya 1.383 kasus. Dari jumlah tersebut, 58 persennya atau 1.620 merupakan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Jadi, jika dikalkulasi, setiap hari Komnas menerima pengaduan sekitar 275 kasus. Sudahkah kita belajar? Belum, tentu saja.
Kematian Angeline membuka borok yang demikian bacin. Kebebalan manusia satu dan yang lainnya. Kita menyalahkan ibu angkat Angeline, setelah itu menyalahkan ibu kandungnya. Ibu kandungnya dihujat, dihina, seolah ia sama bertanggung jawabnya dengan si pembunuh. Adakah ibu waras yang menyerahkan anaknya dirawat orang lain jika tidak sedang dalam keterpaksaan? Kapan kita bisa menyalahkan diri sendiri yang tidak melakukan apapun ketika gejala kekerasan itu tengah dan sedang terjadi?
Ketika kekerasan domestik terjadi, banyak orang cenderung diam. Bukan urusan kita, itu urusan rumah tangga orang lain. Lantas ketika korban telah jatuh, seseorang telah meninggal, maka kita menyesal, lantas berkata “Ah sudah kuduga!”. Dugaan tidak menyelamatkan seseorang dari kematian. Tindakan yang bisa melakukan itu.
Kita lantas mulai berduka, menyatakan solidaritas, berdoa, peduli tapi kemudian berhenti. Tragedi selalu menemukan tragedi lain sehingga ia berhenti menjadi penting.
Anda punya pilihan melaporkan kekerasan dalam rumah tangga orang lain, ini bisa menyelamatkan nyawa orang lain. Tapi kadang pilihan ini terlalu berat, bukan? Kita akan dianggap rempong, kepo, sok peduli urusan orang, hingga segalanya terlambat—seseorang meninggal dan kita hanya bisa mengutuk.
Siklus ini berulang dan berulang dan berulang sampai kita kemudian percaya bahwa kekerasan itu adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang perlu dicegah dan dilawan.
Pada 2014, Komnas Anak menyatakan bahwa tahun itu adalah tahun darurat kekerasan Anak. Dari tahun 2014, laporan soal kekerasan anak yang masuk dari Januari-September mencapai 2.726 kasus. Tapi apakah ini penting? Maksud saya, ini hanya statistik, sama dengan jumlah 2.856 anak pengungsi korban bencana Alam Sinabung, atau 69 anak pengungsi Syiah Sampang. Yang pertama adalah bagian dari statistik besar bernama bencana, kedua sisanya adalah korban kekerasan terhadap keyakinan.
Kita bersedih Angeline terbunuh karena kekerasan, tapi bisakah kita peduli kepada anak-anak yang lain?
Oh saya tidak sedang mengajak Anda untuk memperbandingkan tragedi. Masing-masing tragedi punya lukanya sendiri. Saya hanya ingin Anda mengerti bahwa, apa yang dialami Angeline bisa terjadi pula pada banyak anak lainnya. Ini tentu tidak adil, tidak apple to apple, tapi saya tidak sedang ingin adil. Saya sedang tidak ingin jadi dewasa. Dewasa terlalu melelahkan, kita diminta kompromi pada banyak hal yang lantas membuat kepedulian kita terbatasi pada hal-hal yang pragmatis.
Saya ingin peduli pada Angeline seperti saya peduli kepada anak-anak di Sinabung dan anak pengungsi Syiah Sampang.
Kekerasan tentu saja memiliki banyak rupa, tapi pernahkah Anda mengalami teror mental dan verbal? Dikatakan anak seorang kafir, dilempari batu, diludahi, diancam dibunuh karena darahnya halal? Segala teror ini barangkali pernah dirasakan pada usia yang demikian muda oleh anak-anak pengungsi Syiah Sampang atau bahkan pengungsi Ahmadiyah Lombok. Anda boleh tidak percaya saya dan untuk itu saya menyarankan Anda untuk turun langsung menemui anak-anak itu.
Angeline telah berpulang, saya hanya bisa berdoa dan berharap akan ada keadilan baginya. Tapi anak-anak yang lain masih hidup. Semoga kita punya tenaga untuk melindungi mereka. Semoga kematian Angeline tidak sekadar tragedi di atas statistik.
0 notes
Text
Menolak Gerakan #AyoMondok
By Arman Dhani Posted on 6 June 2015
Beberapa hari terakhir media sosial ramai dengan #AyoMondok, sebuah gerakan yang menganjurkan anak muda untuk kembali ke pondok pesantren. Konon sih, ini konon katanya, karena di era internet ini ajaran agama disampaikan secara serampangan. Dengan adanya gerakan mondok, para pembelajar agama bisa dengan langsung belajar melalui metode yang benar: membaca kitab suci dengan asbabun nuzul-nya, asbabun wurud-nya, memahami fiqih dengan teks aslinya. Tapi ya itu, mosok di zaman yang sudah canggih dengan teknologi internet ini kita mesti belajar agama dengan cara yang ketinggalan zaman? LOL banget gak sih?
Orang-orang yang mempromosikan pun adalah orang-orang liberal. Coba bayangkan, yang mempromosikan itu kalo nggak Akhmad Sahal ya Ulil Absar Abdalla. Coba bayangkan, dua orang ini kan orang JIL. Perkara 800an lain orang yang mempromosikan #AyoMondok bukan orang JIL ya gak peduli. Pokoknya #AyoMondok ini agenda JIL untuk merusak umat. Pokoknya semua yang dipromosikan dan didukung orang-orang JIL, meski orangnya cuma satu-dua, itu adalah agenda liberal, dan kita mesti melakukan jihad melawan liberalisme—menggunakan fasilitas kebebasan berpendapat yang merupakan produk demokrasi liberal. Yeah!
Untuk itu, mari kita merapatkan barisan untuk menolak #AyoMondok. Gerakan itu gerakan standar ganda. Katanya Islam Nusantara bukan Islam Arab, kok yang diajarkan malah Arab gundul? Wah, ini kan pelanggaran? Saya sepakat sekali sama akun anonim Twitter yang bilang bahwa orang-orang #AyoMondok ini standar ganda. Katanya mendukung Islam Nusantara, tapi kok pamer kemampuan bahasa Arab? Ya walaupun ada tafsir “Al Ibriz”, kitab tafsir Al Quran dalam bahasa Jawa karya Kyai Bisri Mustofa, tapi itu kan hanya satu. Eh, ada banyak selain Kyai Bisri Mustofa ding. Tapi pokoknya standar ganda lah. Pokoknya #AyoMondok ini gerakan yang standar ganda!
Pesantren itu udik dan tidak modern. Bayangkan saja, untuk satu perbedaan saja mereka mengadakan bahtsul masail; forum di mana dua orang yang berbeda pendapat terhadap satu masalah agama saling berdiskusi dengan sumber-sumber primer. Misalnya, apakah khilafah itu wajib atau tidak, maka dalam forum bahtsul masail, pendukung maupun penolak akan memberikan argumen, klaim yang berdasarkan sumber primer. Ini kan menyusahkan? Pesantren kok macak demokratis. Pesantren itu ya harusnya monolitik. Pokoknya nurut kyai. Titik!
Wong zaman udah modern, belajar agama ya tinggal pergi ke emperan masjid, cari murrabi, Google deh. Beres. Kok masih harus repot belajar bahasa Arab, belajar logika sampe harus punya pemahaman terhadap teks. Ketinggalan zaman banget gak sih?
Lho ya jelas ketinggalan. Di pesantren, setiap santri diajari Nahwu-Sharaf dari awal. Bagaimana cara membaca, memahami dan mengerti teks dengan kaidah yang njlimet. Belum lagi harus menghafal Alfiyah yang banyaknya na’udzubillah. Kitab-kitab babon kayak Akhlaqul Banin, Ta’limul Muta’allim, Risalah Mu’awanah hingga Minhajul Abidin, semua diajarkan manual tanpa bantuan Google apalagi Wikipedia. Apa ya ndak menyiksa?
Lagipula apa sih fungsinya Pondok Pesantren? Paling-paling hanya melahirkan lulusan-lulusan liberal yang bikin pernyataan kontroversial. Contohnya Ulil Abshar Abdalla, Akhmad Sahal, dan cecunguk-cecunguk JIL lainnya. Lihat, banyak sekali kan lulusan pesantren yang liberal? Anda mungkin akan segera menyebut nama-nama yang tidak liberal seperti Muhammad Al-Fayyadl penulis Teologi Negatif Ibnu ‘Arabi, Ainun Najib Kawal Pemilu, Yahya Cholil Staquf Terong Gosong, dan Hidayat Nurwahid PKS mantan Ketua MPR. Ah, itu kan pembelaan Anda saja. Lebih banyak yang liberal. Pasti.
Ada juga yang koar-koar, pesantren punya peran penting untuk perjuangan kemerdekaan republik ini. Katanya, secara historis pesantren jadi satu lembaga pendidikan paling awal di negara ini, dan secara sosial pesantren-pesantren pernah mempelopori berbagai perubahan di masyarakat. Ah, tapi itu kan katanya. Dan kalaupun bener, itu kan masa lalu.
Sekarang ini pesantren sudah tidak relevan. Kalo bisa belajar agama dari Google, kenapa harus belajar Nahwu-Sharaf? Kalo bisa ngutip Quran dari banyak blog, kenapa harus banyak belajar kitab pendamping apalah itu? Kalo bisa menghukumi sesuatu dengan fiqh yang ada di Wikipedia, kenapa kita harus belajar logika mantiq? Sudahlah, gak usah mondok.
Karena semua masalah di negeri ini sumbernya adalah JIL dan hanya khilafah solusinya.
0 notes
Text
Secarik Pledoi untuk Felix Siauw Bosku
By Arman Dhani Posted on 22 January 2015
Beberapa hari yang lalu, kakanda bos upliner saya di MLM Khilafah, Felix Siauw, dihujat karena membuat serangkaian twit mengenai mudarat selfie. Betul-betul membuat saya menjerit. Sungguh kejam sekali Khalayak Umat Twitteriyah, lebih-lebih Gilda Pemuda-Pemudi Pembela Selfie yang dengan garang mengampanyekan #Selfie4Siauw sebagai bentuk perlawanan sekaligus penghinaan untuk Tuanku Imam Felix.
Kali ini saya mau tak mau harus sepakat dengan Al Ustadz Al Mukarom Felix Siauw. Belio tentu punya alasan yang jelas mengapa membahas selfie. Mungkin belio berpandangan bahwa persoalan selfie lebih penting daripada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, pemberantasan korupsi dan mafia hukum.
Sebenarnya, bukan kapasitas saya untuk bersuara terkait apa yang dilakukan oleh Mas Bosku Felix Siauw. Sebagai seorang mualaf yang telah lama belajar agama Islam, saya yakin belio itu sudah paham dan tahu apa yang ia katakan. Lebih dari itu, Bos Felix yang agen MLM Khilafah itu paham benar bahwa asal bicara soal agama itu hukumnya luar biasa berbahaya. Jika salah maka sekelompok umat bisa tersesatkan.
Mas Syafiq Ali, seorang intelektual muda NU yang jomblo, pernah menulis artikel berjudul Aturan Fatwa dalam Islam. Ia berpendapat, hanya seorang mufti sajalah yang berhak mengeluarkan fatwa. Di kalangan ulama, memang ada sejumlah perbedaan dalam penentuan syarat seorang mufti, namun semua sependapat bahwa mereka harus menguasai Al-Quran dan Hadits.
Menurut Imam Syafi’i, mufti harus menguasai Quran dan Hadits, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya, dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya) serta asbabul wurud(kronologi)-nya. Karena Quran-Hadist berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab, demi menghindari salah tangkap terkait makna sebuah ayat atau hadits. Selain syarat tersebut, seorang mufti juga disyaratkan dewasa, sehat akalnya, dan beragama Islam.
Wah, kok berat betul? Apa-apaan syarat ini? Kalo gini kapan jualan buku dan paket pengajiannya? Kalau ingin menjadi ulama demikian berat syaratnya, kapan kayanya? Mau kaya saja kok susah?
Mz Syafiq yang jago futsal namun tidak jago cari jodoh itu juga mengutip kitab klasik dari Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi, Al-Luma fi Usulil Fiqh. Menurut Abu Ishaq, salah satu syarat utama menjadi mufti atau ulama atau ustadz adalah dapat dipercaya dan kata-katanya dijamin. Misalnya, seorang ulama mengatakan naik sepeda itu dosa, ya ulama itu harus konsisten tidak naik sepeda. Jangan tiba-tiba bilang, “Alhamdulillah, saya tak pernah bersepeda kecuali saat membuat video di Vatikan, saat tak ada kendaraan kecuali sepeda,” dengan cengengesan lalu baru bilang naik sepeda itu dosa. Jangan juga bikin acara bertajuk “sebaik-baik sepeda adalah sepeda motor.”
Saya sangat yakin Mas Bro Felix sudah membaca banyak kitab, mengaji dari banyak guru, dan memahami hukum Islam dari sumber otentiknya. Maka janganlah kita menghina dan mengkerdilkan sosok belionya.
Lagipula kenapa sih kalo Mz Felix bikin kultwit? Kultwit kan bukan fatwa. Meski belio dianggap ustadz oleh banyak orang, apa yang ia twit kan bukan otomatis fatwa. Janganlah meninggikan sosok yang rendah dengan melabeli ustadz yang bisa memberikan fatwa. Kan sebelumnya sudah dikatakan, untuk jadi mufti yang bisa mengeluarkan fatwa persyaratannya sangat berat.
Mbah Sahal Mahfudh yang sangat tinggi ilmu fiqihnya saja gak sembarangan memberi hukum terhadap sesuatu. Tentunya Koh Felix ilmunya lebih tinggi dari Mbah Sahal, sehingga enteng mengatakan bahwa pembajakan itu halal karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Wuih, gimana? Mbah sahal yang puluhan tahun mempelajari ilmu fiqih aja gak berani bilang gitu, Kak Felix yang mualaf berani. Hebat kan?
Saya kira kita mesti memaafkan Cikgu Felix. Belio kan manusia biasa, bisa khilaf. Khilaf pernah bilang ibu yang bekerja itu lebih layak disebut karyawan daripada ibu. Khilaf berkata bahwa perempuan perkasa itu menakutkan,padahal ada Zainab al Qubra, cicit Rasulullah yang menjadi tawanan karena berani melawan tiran bernama Yazid bin Muawiyah. Khilaf menyebut televisi itu buruk tapi di saat yang sama punya acara di salah satu stasiun televisi. Khilaf mengatakan bahwa nasionalisme tak ada dalilnya dalam Islam, tapi menikmati kewarganegaraan Indonesia.
Dalam sistem demokrasi liberal yang jahat ini siapa yang tidak bisa khilaf. Usaha Dagang Khilafah, misalnya, pernah menyerukan persatuan sunni-syiah, tapi belakangan malah menyudutkan syiah. Apakah usaha dagang ini salah? Ya tentu tidak, ini cuma perkara mental aja. Wong mengecam demokrasi sebagai sistem jahat saja ia lakukan sambil menikmati kebebasan berpendapat kok. Ingat ya, ingat, ini bukan munafik, tapi taktis.
Manusia itu tempatnya salah dan lupa. Maka dengan ini saya menyerukan para pembaca sekalian untuk memaafkan Agan Felix dan Usaha Dagang Khilafahnya.
Sudah jadi kodrat manusia isuk tempe sore dele. Tak ada yang abadi, kata Ariel Peterpan. Lha wong Nody Arizona yang saya kira setia saja ternyata pacarnya banyak.
0 notes
Text
Membela Kak Jonru
By Arman Dhani Posted on 2 December 2014
Melalui berbagai kecaman, saya pikir kita telah berlaku tidak adil kepada Kak Jonru. Ia dituduh tukang fitnah, pendusta, dan penyebar kebencian, padahal yang ia lakukan hanya sekadar berbagi, berbagi apa yang ia anggap benar.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat jelas dijamin di Indonesia, lalu apa salahnya jika Kak Jonru berbagi pemikirannya? Wong ada kelompok yang jelas-jelas ingin makar mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi khilafah saja dibiarkan kok. Sementara Kak Jonru, sekadar berbagi informasi. Inget, Gan, sharing is caring.
Beberapa waktu lalu, saya melihat pertikaian antara Kak Jonru dan Mas Akhmad Sahal. Wah, ini jelas tidak imbang. Bagaimana mungkin universalis macam Kak Jonru berdebat dengan santri liberal macam Mas Sahal? Dari portofolionya saja sudah dapat kita lihat, Kak Jonru mampu berpikir dan mengkritisi segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari politik, sosial budaya, ekonomi, energi sampai dengan kaidah hukum fiqih dan syariat. Sedangkan Mas Sahal? Dia ngaji dan fokus ngomongin isu toleransi umat. Jelas lebih unggul Kak Jonru dong.
Saya hanya ingin menyampaikan hal sederhana saja: kalian, orang-orang biasa, tidak akan mampu memahami kebijaksanaan dan ketinggian ilmu dari Kak Jonru. Lihat saja, Mas Sahal salah paham ketika Kak Jonru bilang bahwa Quraish Shihab itu sesat karena syiah. Yang sedang dilakukan Kak Jonru adalah memperkenalkan kaidah silogisme baru. Ya, benar, silogisme atau tata pemahaman logika yang baru.
Silogisme yang selama ini kita kenal adalah produk pemikiran filsafat Yunani kafir. Kak Jonru, sebagai seorang muslim kaffah, perlu menemukan atau membuat silogisme baru. Kita sebut saja silogisme tandingan. Lha piye? Bukankah Gubernur Jakarta saja ada tandingannya, mengapa silogisme tidak boleh ada tandingan?
Silogisme baru bikinan kak Jonru adalah ilmu logika baru yang belum pernah ada di muka bumi. Jika silogisme kebanyakan adalah semacam ini:
Premis 1: Kak Jonru adalah orang ganteng Premis 2: Semua orang ganteng pasti pintar Kesimpulan: Kak Jonru pasti pintar.
Dengan logika tandingan yang dibuat oleh Kak Jonru, maka silogismenya akan lain. Contohnya begini:
Premis 1: Quraish Shihab bukan syiah. Premis 2: Syiah tidak sesat. Kesimpulan: Kalau tidak sesat kok tidak mau jadi syiah?
Kak Jonru ingin menyampaikan bahwa kalau memang syiah tidak sesat, kenapa tidak mau disebut syiah? Dengan silogisme biasa, logika ini memang salah, namun dengan silogisme tandingan bikinan Kak Jonru, hal ini bisa dipahami. Nah, kan? Bijak, kan? Inilah logika tandingan yang sulit dipahami otak bebal kalian, wahai manusia-manusia biasa nan medioker.
Mas Sahal, yang sudah jauh-jauh kuliah S3 di luar negeri, masa silogisme kayak gini aja nggak bisa? Apa perlu Kak Jonru bikin workshop logika? Cukup dengan investasi Rp. 200.000, Mas Sahal bisa mempelajari silogisme tandingan ini dengan mudah. Harus cepat mendaftar, karena workshop jurnalistik Kak Jonru yang terakhir sampai dihadiri sepuluh ribu orang.
Dan sekali lagi, Kak Jonru bukanlah tukang fitnah. Pemfitnah adalah orang yang sadar bahwa apa yang ia katakan dusta, tapi mengatakannya sebagai kebenaran. Namun jika ia tidak tahu apa yang ia katakan, ya bukan fitnah namanya, itu artinya bodoh. Masa logika kayak gini saja tidak paham?
Ketika Kak Jonru mengatakan bahwa hanya di rezim Jokowi saja polisi masuk ke musala dengan sepatu, dia tidak sedang memfitnah Jokowi. Lho kan ada tragedi Tanjung Priok? Lha yang masuk ke musala Tanjung Priok dengan sepatu itu kan Babinsa, bukan polisi. Jadi secara teknis, Kak Jonru gak bohong dong? Babinsa dan Polisi kan beda?
Lain waktu, Kak Jonru mengunggah foto pocong yang sedang tersenyum, beliau mengatakan itu adalah foto rakyat Mesir yang berjuang, tapi ternyata bukan. Ya bukan fitnah namanya, tapi gak tahu. Masa kita nyalahin orang yang gak tahu? Atau ketika kak Jonru bilang bahwa tidak ada Kementerian Agama di pemerintahan Jokowi tapi nyatanya ada, ya ini bukan fitnah namanya. Hanya belum tahu saja, tidak usah dibesar-besarkan.
Kali lain, Kak Jonru meneruskan berita dari kawannya: Jokowi naik Garuda dengan memboyong paspampres, wartawan dan sebagainya, memakai pintu VVIP yang akibatnya membuat jadwal penerbangan terganggu. Kalau ini ternyata kabar palsu ya bukan salah Kak Jonru, tapi salah temennya Kak Jonru. Berita bohong kok ditulis, kan kasihan Kak Jonru jadi korban berita bohong. Bayangkan berapa orang yang kemudian menjadi benci Kak Jonru karena kabar bohong itu. Di sini Kak Jonru adalah korban!
Saat Kak Jonru mengklaim menang debat dengan Mas Sahal, sudah pasti saya mendukung Kak Jonru. Alasannya? Ya silogisme tandingan tadi. Kalau memang syiah tidak sesat, kenapa Mas Sahal tidak terima Pak Quraish disebut syiah? Kak Jonru seolah-olah ingin mengajari Mas Sahal, “Kalau Muhammadiyah tidak sesat, maka kalau Gus Mus yang orang NU itu saya bilang kader Muhammadiyah ya harusnya bangga. Kan Muhammadiyah tidak sesat?” Meski dalam silogisme klasik ini adalah non-sequitur alias logika yang remuk.
Butuh pemikiran bertahun-tahun dan menulis banyak buku laku untuk bisa membuat logika tandingan semacam itu. Coba bayangkan, Prof Quraish Shihab yang sudah menulis lebih dari 50 buku dan beberapa kitab tafsir Al-Quran yang diakui dunia saja tidak bisa bikin sistem logika tandingan. Berbekal kitab klasik berjudul Cara Dahsyat jadi Penulis Hebat, Sekuler Lo Gue End dan Sembuh dan Sukses dengan Terapi Menulis, Kak Jonru telah membuat pemikiran orisinal yang berbeda dari kebanyakan orang.
Tunggu apalagi? Dalam waktu dekat, saya berharap Mojok Institute akan mengadakan Workshop Berpikir Logis ala Jonru. Dengan investasi Rp. 500.000 per orang, saya kira workshop ini akan diminati puluhan ribu pendukung Kak Jonru. Ini satu-satunya kesempatan emas agar kita bisa berpikir waras kritis dan unik ala Kak Jonru.
Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Aduh, pusing pala Barbie.
0 notes
Text
Mario vs Kiswinar: Sebuah Prediksi Peta Politik
By Iqbal Aji Daryono Posted on 13 September 2016
Saya mengetik tulisan ini dengan terburu-terburu. Harus begitu. Sebab ini benar-benar fakta luar biasa yang wajib diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Begini. Pada malam sebelum saya membuka laptop dan menuliskan ini, saya mengobrol dengan seorang sista-sista juragan online shop pakaian muslimah. Ia menginfokan bahwa eskalasi konflik horizontal buah dari keributan Mario Teguh dan Ario Kiswinar Teguh sungguh telah merayap mencapai puncaknya.
Indikasinya jelas: sudah ada orang di lingkaran pergaulannya, yang memutus pertemanan medsos, hanya gara-gara berbeda keyakinan tentang siapa yang lebih benar di antara dua Teguh!
Ini berbahaya sekali, sahabat Indonesia yang baik hatinya. Ini berbahaya sekali. Kita tahu, ontran-ontran Pilpres sejak dua tahun silam masih terus berlanjut hingga hari ini, dan mungkin baru akan berhenti pada H-1 Kiamat nanti. Indonesia terbelah jadi dua keping, sedangkan setiap keping terus bertahan dalam kenyamanan masing-masing.
Meski mayoritas mereka konsisten, dua keping itu terus menciptakan varian-varian turunan yang menyenangkan. Pernah misalnya, seorang mamah-mamah anggota grup Whatsapp kesehatan membocorkan situasi di dalam kerumunan grup mereka.
“Ya ampun, Mas, ngeri banget. Sudah kelihatan nyata pengelompokannya. Mulanya sih memang cuma dua kubu saja. Tapi sekarang jadi empat: prabower-pro-vaksin, prabower-anti-vaksin, jokower-pro-vaksin, dan jokower-anti-vaksin. Mumet, Maasss…!”
Dan sekarang, Kiswinar dan Mario menciptakan polarisasi baru, dan sangat mungkin mengkreasi juga varian-varian baru dari dua keping pertama itu.
Lihat, hestek-hestek mulai bertebaran. Yang pro-Kiswinar memunculkan #JanganCariPapa, #PapaMinggat, dan entah apa lagi. Yang pro-Mario bikin #MarioTeguhOrangBaik, #TetapTeguhPakMario, dan segenap dukungan yang mungkin tak lama lagi akan terinstitusi jadi #SahabatMario.
Kalau sudah begini, dengan gampang kita bisa menebak ke mana arah bola menggelinding.
Kelompok pro-Kiswinar sudah jelas mencerna masalah ini dari perspektif yang agak-agak “subaltern”. Mereka membela Kiswinar sambil mengimajinasikan lelaki itu sebagai sosok sudra tak dikenal (meski sebenarnya ia sama sekali bukan sudra), sosok inferior yang dizalimi oleh manusia hegemonik penguasa panggung bernama Sis Maryono.
Kelompok pro-Kiswinar ini dihidupi oleh beberapa golongan.
Pertama, kaum proletar-kecil-kecilan. Proletar di sini bisa diartikan dalam konsteks proletar ekonomi, maupun proletar cinta. Mereka inilah yang selama ini mengalami tekanan struktural dalam posisi sosialnya, sekaligus merasakan himpitan dalam realitas romantisnya. Mereka menemukan bahwa nasihat-nasihat Pak Mario kerapkali gagal total diaplikasikan di dunia nyata.
Kedua, kaum kiri-paruh-waktu. Mereka dekat dengan kaum proletar. Kelompok ini memang tidak merasakan sendiri tekanan struktural, baik dalam aspek ekonomi maupun asmara. Namun kecurigaan mereka selalu tumbuh subur di hadapan kaum borjuasi.
Apalagi borjuasi dari jenis penjaja candu mimpi surgawi, yang mengutip bayaran per jam 110 juta, sementara para penontonnya masih ngos-ngosan mencicil kredit motor bebek Yamaha.
Bagi kalangan ini, Setan Desa sudah berkembang biak lebih dari tujuh. Sebagian setan itu sudah pada pindah ke kota, dan semua wajib dibabat hingga ke akun-akunnya.
Kalangan ini menitipkan darah juang mereka ke tangan kurus Ario Kiswinar, sebagaimana bangsa Yahudi menitipkan mimpi kemenangan kepada Musa saat menghadapi Mesir, kepada Daud saat menghadapi Filistin, dan kepada Ben Hur saat menghadapi Romawi.
Ketiga, kalangan feminis partikelir. Mereka umumnya terdiri atas kaum perempuan-terdidik-berkesadaran, namun sekaligus penikmat gosip. Kalangan ini biasanya langsung sensitif mendengar cerita tentang perempuan (berikut anaknya) yang disakiti dan dicampakkan oleh lelaki, tak peduli sejauh mana akurasi cerita itu.
Bagi mereka, Mario seketika maujud sebagai representasi patriarkhi, lelaki bermulut manis berkelakuan busuk, hingga ia sah disebut sebagai duta male-chauvinism.
Nah, di seberang kelompok besar pertama tersebut, kubu pro-Mario berdiri. Mayoritas pro-Mario datang dari kelas menengah mapan. Mereka mengaku membuktikan sendiri manfaat-manfaat luar biasa dari segunung nasihat dan jalan kesuksesan ala Mario Teguh.
Kelompok ini meyakini bahwa bukan Kiswinar, melainkan justru Mario sendirilah, yang sedang dizalimi. Mereka yakin sang idola difitnah dan mau dihancurkan kariernya. Lebih jauh, mereka mulai percaya bahwa Kiswinar merupakan kepanjangan tangan kompetitor Mario, atau siapa pun yang kepentingan bisnisnya terganggu oleh kejayaan Mario.
Memang, kubu pro-Mario tak bisa membantah lagi bahwa secara administratif Kiswinar adalah anak Mario. Bukti-bukti legal tertulis toh lumayan lengkap. Namun jika “anak biologis” yang dimaksud, mereka 100% lebih percaya versi Mario: bahwa Kiswinar tidak tumbuh dari benih Mario.
Kedua kubu pendukung ini semakin lengkap, karena masing-masing memiliki media. Trans 7, yang menayangkan kesaksian Kiswinar, akan segera mapan dalam identitas sebagai tivi pro-Kiswinar. Deddy Corbuzier, yang dengan licin bermain ekspresi wajah prihatin dalam wawancaranya dengan Kiswinar, kini sudah sah sebagai juru bicara kubu anti-Mario ini. Sementara MNCTV yang jadi panggung rutin Mario, bersama Kompas TV yang mengangkat wawancara eksklusif bantahan dari Mario, akan memantapkan citra sebagai tivi-tivi pro-Mario.
Kabar terakhir, Mario Teguh sudah menyambut tantangan tes DNA. Percayalah sama saya, tes-tes semacam itu tak berguna. Ia tak akan mengubah apa-apa.
Mari kita bayangkan sama-sama. Andai hasil tes terbukti negatif, dan Kiswinar dinyatakan bukan anak Mario, kubu pro-Mario jelas akan bertempik sorak. Namun apa kata pro-Kiswinar?
“Hahaha! Yaah, beginilah permainan orang kaya. Di negeri ini orang kaya bisa berbuat apa saja. Lha wong jaksa dan hakim di level Mahkamah Agung saja bisa bersimpuh di hadapan uang, apalagi cuma petugas laboratorium yang mengetes DNA! Kalau Mario yang penghasilannya puluhan miliar per bulan sudah memakai cara-cara begitu, Kiswinar bisa apa, coba? Ha? Sudahlaaah, lihat saja mukanya. Cara senyumnya, bibirnya, otot-otot pipinya, sudah tidak bisa menipu. Kiswinar anak Mario. Cobalah melihat pakai hati!”
Demikian pula sebaliknya. Jika hasil tes DNA berpihak kepada Kiswinar, dan laboratorium menyatakan bahwa Kiswinar positif anak Mario, maka pro-Kiswinar yang akan bersorai.
Tapi apa lantas pro-Mario percaya? Hehehe, ngimpi. Ingat, pro-Mario juga kokoh berdiri di atas iman mereka sendiri. Mereka bakal segera menemukan teori, bahwa kekuatan bisnis besar yang menggerakkan Kiswinar telah turun bertindak, lalu membuat segalanya menjadi mungkin.
Apakah kekuatan bisnis semacam itu ada? Bagi pro-Mario, jelas ada.
“Coba lihat, sebelum tayang di tivi yang sekarang, berapa tahun Pak Mario jadi tambang uang bagi stasiun tivi sebelumnya? Jelas banget, pindahnya Pak Mario bikin gerah mereka yang kehilangan duit! Kelen masih ngira kalo nggak ada orang yang kepingin menghancurkan Pak Mario? Mikir!”
Maka, alih-alih mengakui hasil lab, kaum pro-Mario akan bersama-sama memberikan dukungan moral kepada junjungannya, lengkap dengan kutipan ulang nasihat indah ala Golden Ways dan Super Show.
“Masalah datang tanpa memilih. Masalah adalah rahmat yang tidak kita sukai, agar kita meninggalkan yang kita sukai tetapi yang tidak baik bagi kita. Tak selamanya seseorang mengalamai kesusahan, dan tak selamanya seseorang mengalami kemudahan. Tetap teguh, Pak Mario. Orang baik selalu mendapatkan ujian di puncak kesuksesan. Orang-orang yang iri juga terus bermunculan. Kami #SahabatMario selalu percaya Bapak.”
Nah, kalau sudah begitu, yang paling gembira berbunga-bunga adalah industri infotainmen, beserta situs-situs web dunia seleb. Mereka kelebihan stok berita. Rating terus melesat tinggi, dan duit iklan mengucur deras. Derasss, puluhan kali lebih deras ketimbang 110 juta per jam.
Sementara itu, setiap malam para pendukung kedua kubu terpukau menatap layar televisi, menyimak perseteruan keluarga itu. Padahal esoknya mereka harus bangun pagi-pagi, berangkat sehabis subuh, berdesakan di angkot, di KRL, atau menembus kemacetan dengan motor bebek kreditan.
Beberapa pekan lagi mereka akan menerima gaji bulanan. Nilai gaji sebulan itu, buat Mario Teguh dan bos-bos televisi, belum tentu cukup buat satu kali makan malam.
0 notes
Text
Ketika Para Petani Dituduh Melanggar HAM
By Iqbal Aji Daryono Posted on 31 May 2016
Beberapa hari terakhir, di Fesbuk beredar kencang video bikinan Human Rights Watch (HRW), sebuah lembaga internasional yang berwibawa. Ada dua versi, tapi isinya lebih-kurang sama, yaitu adegan anak-anak yang bekerja di kebun tembakau. Mereka bercerita tentang batuk, mual, gatal-gatal, juga entah apa lagi yang mereka dapatkan akibat terpapar nikotin dan pestisida di ladang tembakau. Maka kesimpulan ultimate dari video itu adalah bahwa pertanian tembakau dihidupi oleh child labour alias pekerja anak, yang harus bekerja dengan kondisi yang berat dan kejam! “Your cigarette could be supporting child labour,” begitu poinnya.
Gampang ditebak, opini penonton mau digiring ke mana. Maka tanpa tuma’ninah dulu, semua pun kemropok. “Kurang ajar sekali industri rokok! Mereka mempekerjakan anak-anak dengan kezammm! Here’s more reason to stop smoking!” Jeng jeng jeeeng!
Oke, oke. Tahan emosi dulu Mas, Mbak. Stop merokok sih ya silakan stop aja, urusan-urusan sampeyan. Tapi betulkah alasannya karena child labour di pertanian tembakau? Makhluk apaan sih child labour itu?
Menurut ILO, istilah child labour dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang merampas anak dari masa kecil mereka, dari potensi dan martabat mereka, yang berbahaya bagi kehidupan sosial serta pertumbuhan fisik dan mental mereka, serta merampas kesempatan mereka untuk bersekolah, atau membuat mereka putus sekolah, atau membuat mereka terpaksa mengkombinasikan antara sekolah dengan kerja-kerja yang berat, berlebihan, dan dalam waktu yang panjang.
Sekarang silaken tonton lagi, dan simak baik-baik setiap adegan di video pendek itu, lalu sambungkan dengan definisi di atas. Ada beberapa hal yang mestinya akan membuat kita mecucu.
Pertama, di situ dengan jelas diinformasikan bahwa anak-anak tersebut tetap bisa bersekolah. “Sekarang telah musim tembakau. Anak-anak kerja semua sepulang sekolah,” kata ibu berbaju merah kotak-kotak di video itu dengan jelas. Artinya, tidak ada perampasan atas hak bersekolah. Klir.
Kedua, kalau toh memang ada kombinasi antara sekolah dan kerja berat, jelas tidak dalam waktu lama. Orang-orang yang langsung beriman kepada video itu pasti tidak paham bahwa pertanian tembakau tuh tidak berjalan sepanjang tahun, melainkan cuma di musim kemarau. Ya, hanya saat kemarau saja tembakau bisa ditanam, itu pun sekali datang hujan lebat salah mongso, bisa ambyar habis busuk semua.
Maka, di Indonesia, musim tanam tembakau cuma berlangsung di bulan Mei hingga Agustus. Kalau toh anak-anak ikut membantu bekerja, mereka cuma akan melakukannya ketika mulai menanam dan di saat panen, karena di antara dua tahap itu, bahkan ortu mereka pun tak perlu terlalu sibuk.
Di saat awal tanam, pekerjaan juga tidak terlalu banyak. Hanya butuh sekitar sepekan di awal, itu pun dibutuhkan skill-skill khusus sehingga agak sulit membayangkan anak-anak jadi pelaksana. Beda dengan di waktu panen, yang memang sibuk sesibuk-sibuknya.
Untuk jenis tembakau yang diolah dengan oven seperti di Nusa Tenggara Barat, kesibukan masa panen mereka bisa sampai 1,5 hingga dua bulan. Tapi untuk tembakau rajangan seperti di Jawa Tengah, cuma butuh waktu yang lebih pendek dari itu. Pemetikan pun pakai aturan khusus, karena petikan daun ranting lapis bawah dengan atasnya harus diberi jeda enam hingga tujuh hari untuk menanti kematangan, sementara ada rerata lima lapis daun dalam tiap pohon. Saat jeda, anak-anak tak bisa membantu karena tahapnya adalah memasukkan ikat-ikat tembakau ke oven yang membutuhkan keterampilan tinggi dan tenaga orang dewasa. Sampeyan sendiri juga pasti baru tahu soal ini, kan?
Jadi, dalam setahun taruh kata maksimal hanya 20 hari anak-anak ikut membantu bekerja. Itu pun sepulang sekolah. Lalu apa kabar child labour?
Ketiga, betulkah terjadi perampasan atas indahnya masa kecil, sesuai definisi ILO? Hahaha. Itu mirip imajinasi orang kota atas orang desa. Begini. Anak-anak itu bekerja bersama teman-teman sebaya mereka juga, sebagaimana tradisi guyub masyarakat petani. Di musim panen semua-mua bekerja, tua-muda laki-perempuan. Anak-anak membantu ortu mereka, meski ada juga yang memang bekerja di pemilik lahan lain yang kewalahan karena minimnya tenaga kerja.
Di dinding Fesbuk-nya yang suci, selebtwit Arman Dhani juga menceritakan keriangan masa kecil di Bondowoso tiap kali masa panen tembakau. Teman-teman dari daerah tembakau yang pada komen di Fesbuk saya pun bercerita bahwa musim panen tembakau adalah kesempatan sekali dalam setahun bagi anak-anak untuk mendapat tambahan uang jajan. Lah kenapa tidak menggunakan tenaga dewasa? Nehi, nehi, semua orang sibuk. Tak ada lagi orang menganggur di musim panen tembakau.
Terkait soal ini, saya berkali-kali agak bingung. Kalau membantu orangtua dalam menjalankan pekerjaan mereka disebut sebagai child labour, lantas ada berapa juta kasus demikian di Indonesia?
Orang yang bikin video itu tampak sengaja mengabaikan karakter khas dalam sosiologi masyarakat agraris. Di desa-desa yang berbasis pertanian padi sebagaimana di lingkungan saya sendiri, ada anak-anak membantu orangtua mereka tuh ya soal biasa to yaaa… Enggak cuma waktu panen, malahan. Sehari-hari, banyak anak petani yang membantu ortu dalam aspek-aspek pendukung aktivitas bertani. Menggembalakan ternak, menyabit rumput, dan semacamnya. Dan ingat, tanam padi tuh sepanjang tahun, dalam setahun bisa tiga kali panen, bukan cuma satu kali seperti tembakau.
Tak heran, dalam laporan resminya, HRW mengambil dasar, “The ILO estimates that more than 1,5 million children, ages 10 to 17, work in agriculture in Indonesia. Human Rights Watch could not find any official estimates of the number of children working in tobacco farming.” Ya jelaslah sampai 1,5 juta lebih anak-anak yang “bekerja” di sektor pertanian, bahkan saya yakin berlipat lebih besar lagi kalau cara pandangnya mirip turis begitu.
Maka saya punya saran konkret, sebaiknya Human Rights Watch segera memunculkan tagline agar lebih banyak lagi anak-anak Indonesia yang terselamatkan dari pelanggaran HAM: “Your rice could be supporting child labour. Here’s more reason to stop eating rice.” Hohoho.
Oh, ya. Bagaimana dengan gangguan kesehatan pada anak-anak? Teman-teman dari daerah tembakau mengaku heran dengan cerita-cerita itu. Tapi anggaplah itu benar terjadi, maka jelas saja saya sepakat kalau HRW ingin mengampanyekan alat-alat pengamanlah, pakai maskerlah, menetapkan ISO-lah. Bukan memakai solusi ala wisatawan yang serta-merta ingin merusak kultur paguyuban, Mas.
Poinnya, saya melihat riset dan video HRW ini ibaratnya turis bule yang panik ketakutan melihat loreng-loreng orang kerokan, lantas membuat laporan:
“Telah ditemukan bukti-bukti penyiksaan dan KDRT dalam rumah tangga di Indonesia! Secara umum KDRT meningkat pada musim penghujan.”
“Hoiiiii! Ini penulis Mojok kok nulis beginian, sama industri dibayar berapaaaa??” Saya bantu dubbing komen standar laskar antirokok, ya. Jangan capek-capek teriak, kurang baik buat kesehatan mental.
Oke, hehehe. Coba sekarang tolong sebutkan, bagian mana dari video itu yang menghujat industri. Nyaris tidak ada, kecuali poin kecil bahwa industri tidak menanyakan tentang siapa yang menanam tembakau. Selebihnya, yang disasar video itu adalah petani, berikut kultur masyarakat pertanian pada umumnya. Lahan-lahan pertanian tembakau di Indonesia adalah lahan pertanian rakyat, bukan lahan milik industri sebagaimana sawah padinya Jokowi di Merauke itu. Artinya, manajemen ketenagakerjaan di ladang-ladang tembakau itu ya dijalankan oleh petani.
Maka sudah jelas, video itu adalah serangan telanjang kepada para petani. Ya, petani. Bukan industri. Sampai di sini saya sempat curiga, bisa jadi video hebat itu sebenarnya bikinan Ki*lan Z**n, yang takut akan empowerment masyarakat petani.
Akhir kata, hari ini, Selasa 31 Mei 2016. Dik Iqbal mengucapkan selamat Hari Tanpa Tembakau bagi yang merayakan.
0 notes