acehentertainment-blog
acehentertainment-blog
Aceh Entertainment
20 posts
Angkot Jurusan Dunia Hiburan di Aceh Berbasis Media Sosial. Infotainment, Arts & Culture, Event Line-Up, Tourism, Etc. Aceh, Sumatera Island, Indonesia Follow @AcehEntertain
Don't wanna be here? Send us removal request.
acehentertainment-blog · 11 years ago
Photo
Tumblr media
Follow bus @acehentertain di jurusan #instagram
0 notes
acehentertainment-blog · 11 years ago
Text
DKB Gelar Diskusi “Aceh di Antara Sastra dan Politik”
BANDA ACEH Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) menggelar diskusi soal sastra dan politik pada Rabu (30/04) di Rumoh Budaya, Simpang Lima, Banda Aceh. Kegiatan tersebut merupakan program pengurus DKB dalam Komite Sastra. Diskusi yang akan berlangsung mulai pukul 16.15 WA itu menghadirkan dua pemantik, dari kalangan sastrawan dan mahasiswa pecinta buku. “Ada dua orang pemantik diskusi interaktif ini. Azhari, sastrawan Aceh yang mendapat award dari Belanda dan Mifta Sugesty, mahasiswa penggagas klub diskusi kutubuku,” ujar Herman RN dari Komite Sastra DKB. Ia berharap dari diskusi yang dilaksanakan secara lesehan itu akan muncul gagasan-gagasan cemerlang untuk Aceh di masa datang. “Aceh adalah sebuah laboratorium politik bagi Indonesia. Indonesia belajar banyak tentang politik dalam berbagai kasus di Aceh. Partai lokal dan Pilkadasung merupakan contoh sederhana uji labor politik Indonesia di Aceh,” tuturnya. Selain itu, tambah Herman, Aceh juga laboratorium sastra bagi Asia Tenggara. “Karya-karya Hamzah Fansuri dibicarakan terus sepanjang jaman di negara-negara Asia Tenggara. Hamzah Fansuri dianggap sebagai pelopor sastra tulis dalam bahasa Melayu. Beberapa pendapat mengatakan prasasti Minye Tujoh yang ditemukan di Aceh merupakan awal mula bahasa Melayu tulis ditemukan. Artinya, Aceh adalah laboratorium sastra Asia Tenggara. Ini sebab pentingnya diskusi Aceh di Antara Sastra dan Politik,” paparnya. Ketua DKB, Mahrisal Rubi, berharap diskusi-diskusi seperti ini dapat terus berlanjut ke depan. “Dari berbagai diskusilah akan muncul hasil pemikiran untuk membangun Aceh di masa depan. Kami imbau semua kalangan hadir dalam diskusi ini,” tuturnya.
0 notes
acehentertainment-blog · 12 years ago
Text
Sejarah Kota Bireuen - Aceh
Menulis tentang Bireuen adalah merekam jejak perubahan. Sebut saja Kerajaan Jeumpa sebagai akar yang kemudian melahirkan Kabupaten Bireuen. Ada riwayat panjang terekam fragmentaria sejarah.
Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.
Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).
Kewedanan dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh Utara).
Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling diganti dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan gampong disebut Kumi.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom setingkap kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.
Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953.
Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara.
Baru pada tahun 2000 Bireuen menjadi Kabupaten tersendiri setelah lepas dari Aceh Utara selaku Kabupaten induk, pada 12 Oktober 1999, melalui Undang Undang Nomor 48.
Dari Kampia/champa ke Jeumpa Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Di atas bukit kecil di dusun Tgk Keujreuen di desa itu menurut Ibrahim, makam Raja Jeumpa ditemukan. Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Dahulu kala desa-desa Paloh Seulimeng, Abeuk Usong, Bintanghu, Blang Seupeung, Blang Gandai, Cot Iboeh, Cot Meugo, Blang Seunoeng, Blang Rheum, Cot Leusong, Glumpang Payong, Lipah Rayeuk, Batee Timoh dan Lhaksana, berada di daerah yang terletak di tepi pantai.
Daerah persawahan sekarang merupakan daerah genangan air laut dan rawa-rawa yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan. Di antara tumbuhan dan hutan-hutan itu ada undukan tanah yang lebih tinggi dari permukaaan laut, yang merupakan pulau-pulau kecil.
Saat itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong.
Menurut Ibrahim dalam tulisannya itu, bukti yang menunjukkan bahwa daerah tersebut dilingkari oleh air laut terdapat di Cot Cut, antara Abeuk Usong dengan Paloh Seulimeng, yaitu berupa lobang yang konon tak pernah tersumbat. Setahun sekali bila air pasang, maka air di lubang tersebut akan terasa asin. Bukti lainnya adalah sumur-sumur di desa-desa tersebut airnya asin.
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Pada awal tahun 1989 dua pemuda Cina, laki – laki dan perempuan mengunjungi makan Raja Jeumpa. Kepada sesepuh desa mereka mengatakan berasal dari Indo Cina, Kamboja. Mereka sengaja datang ke lokasi kerajaan Jeumpa untuk mencari tongkat nenek moyangnya zaman dahulu. Konon tongkat emas Raja Cina tersebut jatuh dan hilang saat menyerbu kerajaan Jeumpa, yang kemudian ditemukan oleh Raja Jeumpa.
Kerajaan Jeumpa pernah diperangi oleh pasukan Cina, Thailand dan Kamboja. Mereka pernah menduduki benteng Blang Seupeung. Disebutkan, peperangan tersebut terjadi karena Raja Cina menculik permaisuri Raja Jeumpa yang cantik jelita, Meureudom Ratna.
Permaisuri Raja Jeumpa itu berhasil mereka bawa kabur sampai ke Pahang (Malaysia). Namun kemudian Meureudoem Ratna berhasil dibawa kembali ke Blang Seupeueng. Setelah Panglima Prang Raja Kera yang berasal dari Ulee Kareung , Samalanga, berhasil mengalahkan Raja Cina.
Tidak diketahui persis riwayat berakhirnya masa kejayaan kerajaan Jeumpa. Begitu juga dengan penyebab mangkatnya raja Jeumpa. Namun dari cerita turun-temurun, masyarakat di sana meyakini pusara Raja Jeumpa terdapat di atas sebuah bukit kecil setinggi 40 meter, yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun.
Makam raja itu hanya ditandai dengan batu-batu besar, yang berlokasi di dusun Tgk Keujruen, Desa Blang Seupeueng. Sedangkan makam isterinya, Maureudom Ratna, berada di Desa Kuala Jeumpa.
Raja Jeumpa adalah putra dari Abdullah dan Ratna Kumala. Abdullah memasuki kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa.
Dia kemudian diterima oleh penduduk pribumi dan disediakan tempat tinggal. Kesempatan itu digunakan oleh Abdullah untuk memulai menjalankan misinya sebagai Da’i Muslim. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima agama Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.
Abdullah akhirnya dinobatkan sebagai menjadi raja dan Ratna Keumala sebagai permaisuri di negeri Blang Seupeung tersebut. Raja Abdullah kemudian menamakan negeri yang dipimpinnya itu dengan nama “Jeumpa”. Sesuai dengan nama negeri asalnya yang bernama “Kampia”, yang artinya harum.
Raja Abdullah mengatur strategi keamanan kerajaan dengan mengadakan latihan perang bagi angkatan darat dan laut. Saat itu angkatan laut merupakan angkatan perang yang cukup diandalkan, yang dipimpin oleh seorang Laksamana Muda.
Raja Abdullah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, yaitu Siti Geulima dan Raja Jeumpa. Setelah Raja Jeumpa dewasa dia membangun benteng pertahanan di tepi Pantai, yaitu di Laksamana (sekarang Desa Lhakmana-red). Raja Jeumpa kemudian memperistri seorang putri anak Raja Muda yang cantik jelita, bernama Meureundom Ratna, dari Negeri Indra ( kira-kira daerah Gayo). Menurut rentetan sejarah, Meureudom Ratna masih ada hubungan keluarga dengan putri Bungsu.
Kakak Raja Jeumpa, Siti Geulima dipinang oleh seorang Raja di Darul Aman yang bernama Raja Bujang. Maka atas dasar perkawinan itu antara Kerajaan Jeumpa dengan Darul Aman ( sekarang Peusangan Selatan ) terjalin hubungan lebih erat. Sesuai dengan namanya “Darul Aman” yakni negeri yang aman sentosa.
Melongok Potensi Bireuen Kabupaten Bireuen dibentuk pada 12 Oktober 1999, melalui Undang Undang Nomor 48. Letak pada jalur Banda Aceh – Medan serta simpang menuju Aceh Tengah, membuat Bireuen sebagai daerah transit yang maju. Daerah tingkat dua pecahan Aceh Utara ini termasuk dalam agraris. 52,2 persen wilayahnya pertanian. Kondisi itu pula yang membuat 33,05 persen penduduknya bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa perdagangan dan industri. Dari lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar untuk pendapatan Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar.
Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pante Lhong, yang memanfaatkan air Krueng Peusangan. Padi dan kedelai merupakan komoditas utama di kabupaten ini.
Bireuen juga dikenal sebagai daerah penghasil pisang. Paling banyak terdapat di Kecamatan Jeumpa. Pisang itu diolah jadi keripik. Karena itu pula Bireuen dikenal sebagai daerah penghasil keripik pisang. Komoditas khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang Geulumpangdua.
Potensi kelautan juga sangat menjanjikan. Untuk menopang hal itu di Kecamatan Peudada dibangun Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Selain itu ada juga budi daya udang windu. Sementara untuk pengembangan industri, Pemerintah Kabupaten Bireuen menggunakan kawasan Gle Geulungku sebagai areal pengembangan. Untuk kawasan rekreasi, Bireuen menawarkan pesona Krueng Simpo dan Batee Iliek. Dua sungai yang menyajikan panorama indah.
Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.
Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka tewas pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda.
Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb.
Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan.
Penulis.  : Fikar Bireuen Di post di.  : Facebook Grup Asokaya
0 notes
acehentertainment-blog · 12 years ago
Audio
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Audio
Meuleumpah - Musik Intrumentalia
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Audio
Pantoun Nipah - Musik Instrumentalia
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Audio
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Audio
bungoeng jeumpa versi instrumental relaxing ,,,
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Photo
Tumblr media
Rita Dewi S.Sn (Alumni Sarjana Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara). Sekarang bekerja sebagai tenaga pengajar Biola & Piano di SUHA Ansamble. Tulisan diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan musik Rapai Pasee yang terdapat di desa Awe Syamtalira Aron, berbentuk sebuah Karya tulis Ilmiah (Skripsi Sarjana tahun 1995)
0 notes
acehentertainment-blog · 13 years ago
Text
Rapa’i Pasee dalam Sejarah
Tumblr media
Rapa’i merupakan salah satu bentuk Musik Tradisional Aceh, ia hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Sampai sekarang keberadaan rapa’i masih tetap disenangi dan di minati oleh masyarakat Aceh sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional baik dalam konteks adat istiadat maupun agama Islam.
Rapa’i dapat juga diartikan sebagai salah satu nama untuk instrument musik pukul
(sejenis gendang) yang terbuat dari kayu Tualang atau kayu Merbau, sedangkan membrannya terbuat dari kulit kambing yang sudah diolah sedemikian rupa.
 Pada mulanya rapa’i lahir sebagai salah satu bentuk kesenian yang di manfaatkan
untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Hal ini sejalan dengan masuknya agama Islam ke daerah Aceh, yaitu ke daerah Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama di Nusantara yang muncul pada abad ke VII Masehi. Agama Islam tersebut masuk dan berkembang ke daerah Aceh di bawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, Persia dan India (Gujarat).
Menurut sejarahnya oleh awak rapa’i di yakini bahwa rapa’i di bawa oleh Syeikh Abdul Kadir Jailani dari Bahkdat (Irak) yang kemudian di bawa oleh pengikut-pengikutnya ke Aceh sekitar tahun 900 Masehi. Pengikut-pengikut syeikh abdul kadir jailani yang menyebarkan kesenian rapa’i pada masa itu sekaligus menanamkan ajaran Islam pada masyarakat Aceh. Oleh karena berbentuk kesenian maka masyarakat Aceh dapat dengan mudah mencernanya. Hal inilah yang membuat masyarakat Aceh merasa tertarik sekaligus menjadikan rapa’i sebagai kesenian tradisional. Adapun cara yang di lakukan oleh pengikut syeikh abdul kadir jailani dalam menyiarkan dan mengembangkan ajaran agama Islam adalah dengan membunyikan rapa’i.
  Dari hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa narasumber seperti bapak Abdullah (Desa Awe Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara) mengatakan bahwa, Rapa’i Pasee yang terdapat di desa Awe sekarang ini pada awalnya berasal dari perubahan konstruksi Rapa’i Daboih yang terdapat di daerah Pasai sejak abad XII, tetapi ada juga informan (Nazaruddin) yang mengatakan bahwa rapa’i pasee sudah di kenal di Aceh sejak abad IX. Pendapat ini dapat di sangkal orang karena menurut sebagaian informan lagi (Hasanuddin) mengatakan bahwa yang membawa rapa’i ke daerah Aceh adalah Syeikh Abdul Kadir Djailani. Tokoh ini sendiri baru di kenal sejak abad XI, sedangkan menurut Horgronje (1985 : 268) di kenal pasti pada tahun 1166 (abad XII).
    Berkenaan dengan asal-usul rapa’i, pada awalnya di ambil dari nama belakang salah seorang ahli tasauf (ilmu tentang ajaran-ajaran Islam) Ahmad Rifa’i  yaitu orang yang di yakini sebagai pencipta alat musik. Pada awal nya, oleh Ahmad Rifa’i gendang rapa’i ini di beri nama dufun ,kemudian oleh Syeikh Abdul Kadir Djailani sebagai orang pertama yang memperkenalkan gendang dufun pada masyarakat Aceh ini memberinya nama rapa’i sebagai upaya untuk mengenang penciptanya yaitu Ahmad Rifa’i.
Istilah Pasee adalah sebutan terhadap daerah Pasai, salah satu desa di kecamatan Bayu Kabupaten Aceh Utara yang di berikan oleh masyarakat  desa Awe yaitu tempat di mana  gendang ini pertama sekali di perkenalkan. Dengan demikian pada saat sekarang ini gendang dufun lebih di kenal sebagai Rapa’i Pasee.
  W.C.B. Wintoen dalam bukunya Encyclopedie Van Nederlandsch Indie tahun  1919 : 351 menyebutkan tentang keberadaan pasai yang merupakan nama untuk keseluruhan kenegerian di sebelah pantai timur Aceh, yang pada abad pertengahan telah berdiri kerajaan Pasee dengan batasannya seperti yang terdapat  sampai sekarang ini yakni di sebelah timur sampai ke Jambo Aye, pada bagian barat sampai kebeberapa kenegerian di Kroeng Pasee dan sejak tahun 1883 daerah Pasee yang terdiri dari kenegerian mencakup Lhok Seumawe, Blangme, Cunda dan Bayu Blang Mangat.
  Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pada awalnya rapa’i yang pertama sekali di kenal di daerah Pasai di sebut dengan nama Rapa’i Daboih yang kemudian oleh masyarakat desa Awe di rubah namanya menjadi Rapa’i Pasee, caranya dengan menambah ukuran dari rapa’i daboih. Kemudian sekitar abad XIII rapa’i yang di bawa ke desa Awe di tambah ukurannya menjadi lebih besar, pada awalnya rapa’i daboih berukuran 30-57 cm, sesudah di tambah menjadi 63-78 cm dan nama untuk rapa’i yang berukuran besar ini menjadi rapa’i pasee.
Perubahan ukuran ini berasal dari masyarakat yang tinggal di daerah Pasai itu sendiri karena mereka mengatakan bahwa dengan ukuran rapa’i yang lebih besar akan menghasilkan bunyi yang lebih keras pula, artinya jika rapa’i yang lebih besar di pukul, suaranya akan terdengar lebih jauh.
  Dewasa ini rapa’i telah berkembang pesat dan mendapat prioritas utama dalam dunia seni di Aceh, ini terbukti dengan hadirnya kesenian rapa’i, masyarakat Aceh khususnya desa Awe benar-benar merasakan pengaruh yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya.
  Di lihat dari fungsinya pada masa awal masuknya ajaran Islam rapa’i di pertunjukkan pada Bandar dagang di daerah Pasai. Syeikh Abdul Kadir Djailani yang di kenal sebagai penyiar agama Islam yang juga merupakan orang pertama membawa dan memperkenalkan rapa’i bersam dengan 11 orang pendukungnya yang tidak dapat di ketahui secara pasti apakah pengikut-pengikutnya ini juga berasal dari Baghdad sebagaimana seyikh Abdul Kadir Djailani atau mungkin pengikut-pengikutnya berasal dari masyrakat Aceh setempat dengan memanfaatkan rapa’i sebagai pendukung kegiatan tersebut. Rapa’i sendiri pada masa itu di gunakan sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Melalui pola-pola ritmis yang di hasilkannya, setelah massa berkumpul, rapa’i akan tetap di mainkan dengan memasukkan unsur teks sebagai nyanyian yang berisi ayat-ayat suci yang terkandung dalam Al-Qur’an
  Sebelum media massa modern hadir di Aceh, rapa’i telah di tempatkan sebagai sarana pendukung dalam penyampaian konsepsi-konsepsi keagamaan baik melalui bunyinya yang dapat menggugah penonton, pendengar untuk ingin menyaksikan langsung permainan rapa’i tersebut, sehingga dari keadaan seperti ini akhirnya rapa’i  di jadikan sebagai media dakwah.
Di karenakan dari pengaruh perkembangan zaman rapa’i mengalami perkembangan yang pada awalnya lebih di kenal sebagai media dakwah Islamiah sedangkan pada saat sekarang ini di gunakan sebagai alat hiburan dalam upacara-upacara adat atau upacara yang berkaitan dengan perayaan hari-hari besar, seperti tahun baru Islam, perayaan Maulid Nabi Muhammad dan lain sebagainya.            
  Penulis : Rita Dewi S.Sn (Alumni Sarjana Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara). Sekarang bekerja sebagai tenaga pengajar Biola & Piano di SUHA Ansamble. Tulisan diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan musik Rapai Pasee yang terdapat di desa Awe Syamtalira Aron, berbentuk sebuah Karya tulis Ilmiah (Skripsi Sarjana tahun 1995)
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Video
youtube
Yudi Amirul in Blues.....
gitaris yang berasal dari aceh dan kini menetap di jakarta, lulusan IKJ jurusan musik...
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Text
Sejarah Kota Bireuen Aceh
Menulis tentang Bireuen adalah merekam jejak perubahan. Sebut saja Kerajaan Jeumpa sebagai akar yang kemudian melahirkan Kabupaten Bireuen. Ada riwayat panjang terekam fragmentaria sejarah. Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Text
atjehpost tutup
Pembaca, kami bangga bisa menemani pembaca Aceh yang sangat dinamis dan interaktif dengan atjehpost.com. Namun, izinkan kami beristirahat. Kami juga ingin meminta maaf jika ada pihak-pihak yang merasa tersudutkan dengan gaya pemberitaan kami. Sebagai manusia biasa, kami tentu tidak luput dari kesalahan.
baca selengkapnya disini
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Video
youtube
Video Visit Banda Aceh ini juga di tayangkan di Metro Tv
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
komunitas Musik Aceh Yang mendapat kehormatan di undang pada acara RapA - Ranah Performing Arts 2011, Music Festival & Seminar Internasional dengan tema ”Ruang Fleksibilitas : Meditasi Musikal dalam Masyarakat Multi Kultural”  di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Acara ini diikuti oleh 16 komunitas Seni yang berasal dari beberapa provinsi di Indonesia dan beberapa negara tetangga diantaranya:
Aceh, Riau, Sumatera Barat, ISI Padang Panjang, Jambi, Jakarta, ISI Jogjakarta, Malaysia, Korea, Belgia dan Irlandia
Event dimulai dari tanggal 9 s/d 11 desember 2011, dimana pada setiap malamnya menampilkan 5-6 group untuk menggelar karyanya. Komunitas Music Atjeh tampil pada malam pertama (tanggal 9 des) dengan membawakan 2 buah karya komposisi musik instrumen, Sementara pada tanggal 10 desember 2011 diadakan juga seminar yang dimulai dari jam 09.00 wib s/d 12.00 wib dengan menghadirkan pemateri dari Amerika, Jakarta dan Solo. Penampilan Komunitas Music Atjeh yang dimotori oleh Jamal Abdullah atau yang lebih dikenal dengan Jamal Taloe sanggup memukau dan mendapat apresiasi yang tinggi oleh semua peserta dan penonton, membawakan 2 karya komposisi musik instrumen nya yang berjudul saleum frontier dan bungong jeumpa, komposisi musik ini adalah penggabungan musik tradisi dan modern yang dikemas dengan apik sehingga memberikan nuansa ke-acehan yang menarik tanpa menghilangkan karakter asli dari musik tradisi itu sendiri.
Selama ini music aceh masih kurang sekali mendapat kesempatan dan pengakuan di tingkat nasional, sehingga melalui event ini kita berharap semoga music aceh bisa mendapat apresiasi yang mengarah pada pengakuan dan kesempatan nantinya untuk berkiprah di ajang nasional bahkan internasional. Acara tahunan kampus ISI padang panjang ini adalah yang ke tiga kalinya digelar dan setiap tahunnya selalu mendapat apresiasi dari komunitas seni dari beberapa provinsi dinusantara dan manca-negara. Acara ini diselengarakan oleh Kampus ISI Padang Panjang yang sepenuhnya dilaksanakan oleh mahasiswa ISI Padang Panjang. dan event tahun ini adalah tahun ke tiga pelaksanaannya yang sudah dimulai dari tahun 2009. KMA berada di padang panjang sejak tanggal 8-10 dan pada tanggal 11 akan kembali ke Aceh. Personil Komunitas Music Atjeh:
Rapa’i dan Geundrang ..........................Jamal, Nanang dan aldi,
Seurune kale ......................................Keteg(riyan)
biola .................................................Dewi
drum ................................................Akhyar,
bass .................................................Maywan
keyboar ............................................afdal.
Komunitas Musik Aceh melaporkan dari padang panjang.
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Text
Visit Aceh Year 2013
Kesenian dan Kuliner Aceh akan menjadi andalan di program Visit Aceh Year 2013 (VAY2013), demikian di lansir oleh beberapa media cetak dan social media dalam 2 hari belakangan dan menjadi topik hangat di kalangan penggiat seni dan kuliner di Aceh. (namun saya tidak membahas tentang Kuliner lebih jauh)
Bagi Penggiat Seni dan hiburan ini merupakan berita pencerahan dan peluang untuk survive dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari berbagai event VAY2013 yang nantinya menjadi lahan subur untuk di garap.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Aceh - Jasman J Ma’ruf, "Aceh ini dengan berbagai tradisi dan kesenian serta kuliner yang dimiliki, jika dikemas dengan baik akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan".  menyingkapi ucapan Jasman J Ma'ruf dapat disimpulkan bahwa kesenian yang ada di Aceh nantinya harus di kemas dengan apik dan layak di toton oleh para wisatawan, dan nilai-nilai estetika asli dalam kesenian aceh menurut saya juga harus lebih di kedepankan nantinya.
saya berharap statemen yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Aceh - Jasman J Ma’ruf ini bukan hanya sekedar untuk Push Pemberitaan ke media saja, karena ada banyak harapan dari Seniman Aceh khususnya Penggiat Seni Tradisi terhadap statemen andalan Visit Aceh Year 2013 tersebut. (atau nantinya malah meng-aborsi setiap harapan mereka)
Sebagai langkah keseriusan pemerintah untuk mengandalkan kesenian di program VAY2013, saran utk bersinergi dengan para seniman dan ajak mereka utk ikut merumuskan program-program kesenian di VAY2013, atau bila ini telah di lakukan....sosialisasikan terhadap para penggiat seni secara langsung dengan menciptakan pola komunikasi dan informasi 2 arah.
semoga program Visit Aceh Year 2013 sukses seperti yang di harapkan.
penulis @adex_sky  - Music Lover
0 notes
acehentertainment-blog · 14 years ago
Text
FESTIVAL FILM ARAB 2011
malam ini dimulai dengan pemutaran film "Captain Abu Raed" sebuah film yang menceritakan tentang seorang petugas kebersihan bandara di Amman, Yordania. Abu Read selalu bermimpi untuk keliling dunia tapi tak pernah sampai. Setalah tak sengaja menemukan topi kapten pilot pesawat Royal Yordania di tempat sampah, anak-anak tetangga di kampungnya menyangka Abu Raed seorang pilot. Lalu ia dipaksa menceritakan tentang perjalanan. Lewat perjalanan fiksi, Abu raed mengisahkan tentang Inggris, Perancis, dan New York. . . Setelah pemutaran, diskusi tentang “Lokal Aceh, Lokal Arab: Meneguhkan citra Islam dalam Budaya Lokal” bersama Ekky Imanjaya-full (kritiksus film) dan Saifuddin Bantasyam (pemerhati sosial). Hanya di Episentrum Ulee Kareng pukul 20.00 WIB... Gratis!!! By Akmal M Roem
0 notes