Text
Jogja. Pantai. Buku. Kita.
[PART 1]
Jogjakarta
Kata orang, kota ini dibuat ketika Tuhan sedang jatuh cinta. Makanya, setiap sudut kota Jogja punya keromantisannya sendiri. Siapapun yang mengunjungi kota ini, suatu saat memiliki perasaan untuk berkesempatan kembali kesini. Kembali mengenang segala ingatan yang berkaitan dengan Yogyakarta. Sejauh apapun pergi, hatinya tetap terikat di kota Jogja. Kalau kata adhitia sofyan, “entah mantra apa yang istimewa” sehingga ada keinginan untuk kembali ke kota ini.
Begitu pula Angkasa.
Malam itu, Angkasa berkata bahwa ia merindukan Jogja. Entah benar merindukan kota dengan segala keromantisannya atau merindukan hal lain yang memiliki kaitan dengan kota tersebut. Bagi Angkasa, ada yang tertinggal disana. Entah apa. Mungkin hanya Angkasa dan Sang Pemilik semesta yang tahu.
Namun bagiku,
Jogjakarta punya cerita sendiri bagi aku dan Angkasa.
Tidak, aku tidak menyebutnya sebagai kami atau kita. Karena sampai saat aku menulis tulisan ini, Angkasa dan aku belum menjadi satu kesatuan. Masih menjadi partikel berbeda yang belum bergabung. Bagiku, Angkasa memiliki ciri khas yang lekat dengan kota Jogja, pantai, dan buku. Tiga hal yang sama-sama kami sukai. Tiga hal yang selalu menjadi topik pembahasan menarik bagi kami.
Angkasa tahu, Jogja adalah kota kelahiranku. Dia pun tahu bahwa aku sering mengunjungi kota ini, entah untuk alasan apapun. Angkasa pun tahu, betapa aku dan dia menyukai kota ini. Bahkan, kami berjanji untuk bertemu ketika ia kembali ketanah Jawa. Dan berjanji untuk mengunjungi setiap sudut pantai gunungkidul yang Angkasa kagumi dari visual yang ia lihat di foto kirimanku.
Saat itu ia bertanya, dimanakah lokasinya? Dan aku pun berjanji untuk mengajaknya jalan-jalan ke setiap sudut pantai kota Jogja ketika ia kembali. Jawaban yang ia berikan bukan nanti, bukan kapan-kapan, tapi “selesaiin skripsi dulu”, katanya. Ada janji yang harus Angkasa penuhi kepadaku, untuk bertemu ketika ia berhasil mengunjungi pulau ini lagi. Katanya begini, “nanti kalo aku pulang ke Jawa lagi, aku kabarin ya?”. Dan hingga saat ini, aku masih menganggap kalimat yang ia kirimkan di pesan singkat itu adalah sebuah janji.
Tapi hari itu..
Angkasa berkesempatan ke Jogja. Tanpa mengirim pesan kepadaku untuk sekedar memberi kabar bahwa dia telah kembali. Yang Angkasa lakukan hanya mengunggah foto di bandara internasional kota Jogja, dengan caption tertera didalamnya “mendarat tepat dipikiranmu”, tulisnya,
Kadang, aku tidak mengerti bahasa Angkasa. Bagiku, diksi yang ia gunakan terlalu tinggi untukku, meski kami sama-sama penulis yang menyukai kata-kata baru. Tapi Angkasa berbeda, banyak makna yang ia tulis dalam setiap kata yang digunakan ketika mengunggah sebuah foto.
Tapi malam itu, aku berusaha memberanikan diri untuk memberi respon atas foto yang ia unggah disana.
“Loh? di Jogja?”, tulisku.
Tak lama ia membalas,
“Iya, ada acara kelembagaan. Kamu dimana?”
Saat itu, ada yang bergetar dalam hatiku. Haruskah aku menyusulnya? Meski saat ini aku sedang tidak berada di Jogja. Memang sebenarnya dua hari setelah Angkasa mendarat di Jogja, ada urusan yang harus kuselesaikan di kampus. Tapi tidka hari itu, nanti. Masih nanti.
Tapi Angkasa membuatku ingin segera kesana. Setidaknya bertemu sebentar untuk memenuhi segala janji, meski hanya dianggap sebagai teman yang tak punya arti lebih bagi hidupnya.
Kamis.
Saat itu hari Kamis.
Aku berusaha keras untuk menyusul Angkasa.
Menyelesaikan segala tanggungjawabku di kota tetangga dan segera menyusul Angkasa ke Jogja dengan alasan harus mengambil berkas penting di kampus. Keretaku berangkat pagi buta, pukul 05.00 aku sudah berada di stasiun. Menjemput Angkasa, memaksa langkah berat di pagi yang terlalu pagi untuk bepergian keluar kota dengan kereta. Tapi bagiku, kemungkinan untuk bertemu Angkasa adalah suatu hal yang sulit diulang.
Tapi hari itu, Angkasa sama sekali tidak menghubungiku. Angkasa sama sekali tidak bertanya apakah kita bisa bertemu untuk sekedar bersua setelah kepergiannya selama 3 tahun meninggalkan tanah jawa.
Jalanan Malioboro hingga titik nol sudah terbayang dalam benakku.
“Aku akan membawa Angkasa berjalan kesana, bercerita banyak hal tentang buku dan pantai, atau hanya sekedar berbagi cerita tentang aktivitas masing-masing”, setidaknya ini adalah skenario yang aku buat dan idamkan ketika bertemu Angkasa.
Namun entah apa, ada suatu hal yang sebenarnya membuatku ragu jika skenario yang telah ada dalam bayanganku akan terjadi. Aku masih tidak yakin apakah kita akan benar-benar bertemu? Apakah Angkasa akan memberi inisiatif terlebih dahulu untuk agresif mengajak bersua dan setidaknya bercerita tentang suatu hal?
Dan pertanyaanku terbalas.
Angkasa sama sekali tidak berusaha memberi inisiatif untuk memberi waktu bagi kita melepas keinginan segera bertemu. Atau ternyata, mungkin hanya aku yang memiliki keinginan besar untuk bertemu Angkasa? Entahlah. Tapi hari itu, hari dimana aku sampai setelah menempuh 6 jam perjalanan kereta, Angkasa menghubungiku tepat setelah aku mengunggah video di Grha Sabha.
Katanya, “Kamu ngapain disana?”
1 note
·
View note
Text
Understanding Kesurupan (There’s Nothing to be Scared About) - Part 1
Hmm, seriously kesurupan?
Yeep! Kita akan bahas tentang kesurupan, terutama dalam dunia psikologi. Sebelumnya, yuk kenali dulu tentang kesurupan.
Kesurupan ini seringkali disebut dengan masuknya roh atau jin kedalam tubuh manusia. Pada beberapa kebudayaan, kesurupan seringkali digunakan dalam keseniannya, sebagai contoh adalah tari kuda lumping. Kesurupan seringkali dikaitkan dengan makhluk halus ataupun karena hal-hal mistis lainnya. Padahal, dalam kajian ilmu psikologi hal ini bisa dibahas secara teoritis loh!
Menurut panduan diagnosis jenis gangguan jiwa yang digunakan dalam ilmu psikologi skala internasional yaitu DSM-5 ( Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition), kesurupan termasuk dalam gangguan disosiasi yang terjadi identitas yang hilang sementara ataupun dalam jangka waktu lama yang disebut sebagai Dissociative Identity Disorder atau Gangguan Identitas Disosiatif. Gangguan ini terjadi ketika seseorang menampakkan diri sebagai pribadi yang “bukan dirinya”. Dalam gangguan ini terjadi diskontinuitas dalam perasaan, perilaku, dan kesadaran.
Perlu diingat bahwa tidak semua kesurupan yang terjadi di jagad raya ini dikarenakan ada faktor psikologis yang melatarbelakangi.
Dalam penelitian kesurupan yang dilakukan oleh Rahardanto (2011), kesurupan dibagi menjadi empat jenis yaitu kesurupan patologis, kesurupan religious, kesurupan kuratif, dan kesurupan hiburan.
Kesurupan Hiburan : Jenis kesurupan ini terjadi pada saat peristiwa kesurupan sengaja dihadirkan dengan tujuan untuk menghibur suatu pihak. Jadi, tidak ada fenomena psikologis yang melatarbelakanginya.
Kesurupan Religious/Budaya : Terjadi dalam nilai-nilai kebudayaan didalamnya. Seperti tarian kuda lumping
Kesurupan Kuratif : Kesurupan yang dihadirkan sebagai media penyembuhan suatu penyakit tertentu
Kesurupan Patologis : Kesurupan ini yang masuk dalam kajian ilmu psikologi. Dalam kesurupan ini, terjadi peristiwa-peristiwa psikologis sebelum terjadi kesurupan.
Perlu diingat bahwa tidak semua kesurupan yang terjadi di jagad raya ini dikarenakan ada faktor psikologis yang melatarbelakangi.
Pada pembahasan selanjutkan akan dibahas tentang sebab-sebab individu mengalami kesurupan dalam sudut pandang psikologis. Stay tune!
0 notes
Text
Repression: When is Happiness Become a Mask?
Kehidupan manusia memiliki dua komponen penting yang sering terjadi dalam sebuah masa hidup manusia. Dua komponen tersebut adalah kebahagiaan dan kesedihan. Ketika cita-cita, harapan, kebutuhan, atau keinginan yang ada dalam diri bisa tercapai, akan muncul peristiwa kebahagiaan yang terjadi dalam hidup. Namun, ketika semua yang kita inginkan tidak bisa tercapai dan terlaksana dengan baik, akan mengalami kesedihan.
Terkadang, kita menutupi sebuah emosi negatif karena pengalaman-pengalaman kesedihan terjadi pada saat-saat kita harus menampilkan diri sebagai pribadi yang positif. Seringkali, emosi yang seharusnya diluapkan ini menjadi terpendam dalam diri. Biasanya, pemendaman emosi ini akan disimpan dalam memori bawah sadar pada otak manusia. Dalam ilmu psikologi, usaha psikologis seseorang untuk meredam keinginan, hasrat, atau instingnya sendiri disebut sebagai represi atau repression.
Represi ini seringkali secara tidak sadar kita lakukan untuk memenuhi norma sosial yang tidak memperbolehkan kita meluapkan ekspresi secara bebas. Jika terjadi secara terus-menerus, layaknya sebuah wadah yang ditambahi beban tanpa diupgrade kapasitasnya, peristiwa-peristiwa yang direpresi ini akan meledak dengan berbagai cara yang tidak kita sadari. Bisa dikatakan bahwa jika seseorang terlalu banyak melakukan represi, kesehatan mental dan kondisi psikologisnya dapat mendapatkan ancaman suatu saat nanti.
Beberapa orang melakukan represi dari peristiwa yang tidak menyenangkan dan menutupinya dengan sebuah kebahagiaan, sehingga ia tetap merasa bahwa dirinya baik-baik saja. Beberapa orang mengatakan bahwa ketika seseorang selalu terlihat bahagia didepan orang lain, ada dua kemungkinan yang terjadi dalam dirinya yaitu memang ia orang yang positif dan ada perasaan yang mengganggu namun tidak bisa ia utarakan dengan menangis atau bersedih. Kebahagiaan yang ditunjukkan pada semua orang ini seringkali digunaka sebagai “topeng” untuk menutupi segala permasalahnnya. Padahal, jauh didalam hati dan pikirannya, ia menyimpan kesedihan mendalam.
Who knows?
Bagaimana cara menanggulanginya?
Satu hal yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan manajemen emosi dengan baik. Kita tahu kapan saatnya meluapkan emosi, kepada siapa, dan bagaimana cara meluapkan emosi tersebut. Jangan takut untuk menceritakan permasalahan yang dialami kepada orang lain yang dirasa mampu untuk membantu memecahkan permasalahanmu atau bahkan seseorang yang bisa menenangkanmu, itu akan lebih baik untuk kesehatan mentalmu.
1 note
·
View note