adontno
adontno
Hakuna Matata
128 posts
  you can call me ray | i love pink | here my little stories  
Don't wanna be here? Send us removal request.
adontno · 1 year ago
Text
🄱🄸🄻🄰🄽🄶🄰🄽 🅆🄰🄺🅃🅄
@manusiafajar x @calonmanusia
Satu, dua, tiga, empat. Jauh mata memandang dan menatap lekat. Padanya, ruang kenangan lama dengan perhitungan yang tersekat.
Hitungan itu melahap semuanya dengan sangat cepat. Tunggu sebentar, aku hanya ingin memelukmu erat, mendekapmu hangat dan mengucap selamat. Selamat atas keberhasilanmu melewati batas yang selama ini tak terlihat.
Wahai berani pada baik buruk hidup yang merenggut ragu, Jangan lepaskan genggamanmu, Sebab waktu mengutusmu untuk mengkuatkan tiap langkahku. Jangan tinggalkan aku, Sebab kamu diutus waktu untuk jadi nyawa pada seluruh gerakku.
Alangkah bahagianya sang berani itu, bertemu denganmu dan membuatku menjadi kelu. Mana mungkin aku melepaskan genggamanmu, jika bayanganku saja sudah menyatu denganmu. Mana sanggup aku meninggalkanmu, yang nyatanya waktupun menuntunku kepadamu. Waktu mempertemukan kita lebih cepat dari yang kita kira.
Lantas kepada derasnya waktu yang mempertemukan aku, kamu dan juga berani, Apalagi selain terima kasih yang mampu kita beri? Apalagi selain senyum terbaik mampu kita suguhi? Pun menjalani tiap detik bersama tanpa takut, tanpa tapi. Mengarunginya sepenuh hati.
Kepada waktu yang tak terbatas, bolehkah kita bersama-sama untuk selamanya? Kepada waktu yang baiknya tak terbilang, izinkan kita tuk bersahabat denganmu. Terima kasih dan senyum terbaik takkan mampu setara dengan semua yang ia berikan selama ini, jagalah ia dan ingatlah ia, jangan sampai kita lupa barang sedetik saja.
29 notes · View notes
adontno · 1 year ago
Text
Tumblr media
Pict by @uroko
Ada luka di hati ibu yang tidak kita pahami. Ada luka di hati ayah yang tidak kita ketahui. Lalu, luka-luka itu diturunkan kepada kita tanpa mereka sadari.
Lalu kita pun menerima luka-luka itu sebagai bentuk perjalanan bertumbuh menjadi dewasa yang tidak mudah. Luka yang tumbuh dalam diri kita mungkin telah membentuk beberapa persepsi yang keliru akan beberapa hal sehingga kita menjadi takut mencoba banyak hal baru, tidak percaya diri untuk menjadi diri sendiri dan berbagai ragam bentuk kerapuhan diri yang selama ini susah payah kita sembunyikan.
Luka itu pun bisa jadi ikut andil mempengaruhi cara kita dalam mengambil keputusan dan juga menyikapi banyak kejadian dalam hidup. Luka yang mungkin menanamkan ketakutan di alam bawah sadar kita dan menjadikan diri kita hari ini, membawa luka pengasuhan.
Tetapi dilain sisi, seiring tumbuh besar dan menyaksikan berbagai dinamika kehidupan sebagai orang dewasa, kita mulai menyadari; menjadi orang tua itu sulit dan tak mudah, mengasuh itu penuh lelah, membesarkan itu penuh pengorbanan dan mendidik itu penuh tantangan. Menjadi yang sempurna tanpa cela bagi anak rasanya mustahil.
Ruang hati kita pun, mulai melapang menyakiskan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam dunia orang dewasa. Pemakluman dan rasa maaf menghadirkan perasaan untuk menerima dan berdamai dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu.
Seandainya orang tua kita tahu bahwa mereka membawa luka pengasuhan dan memiliki cara untuk menyembuhkan diri mereka di masa lalu agar rantai luka itu terputus dan tidak menjangkau kita, mereka pasti akan melakukan segala cara. Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari bahwa luka itu ada dalam diri mereka dan menemukan cara untuk memutus rantainya.
Ilmu pengasuhan tidak berkembang sepesat zaman sekarang. Sehingga mereka pun membawa luka itu dengan berat dan susah payah. Sehingga di masa kini, aku telah tiba pada titik kesimpulan yang selalu berusaha ku ingat dan pahami bahwa; tak ada orang tua yang sempurna tapi setiap orang tua pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Semoga tak ada satupun sikap dan perbuatan yang akan kita sesali di masa yang akan datang perihal bagaimana kita menjalani hari-hari bersama orang tua kita di masa kini. Berikan yang terbaik, selagi mereka masih ada disisi.💐
Mendung, 19 Desember 2023 13.12 wita
451 notes · View notes
adontno · 1 year ago
Text
Melihat Pernikahan dengan Lebih Nyata Barangkali, terkadang, kita perlu mengisi otak kita dengan banyak kenyataan. Kenyataan yang menyadarkan. Optimis itu perlu. Tetapi, membuka mata lebar-lebar juga sama perlunya. Supaya kita tak terlalu naif pada kehidupan ini yang berisi banyak kisah dan kenyataan Bahwa tak semua orang baik ternyata, tak semua keadaannya ideal tak semua kenyataan membahagiakan Supaya kita siap mental dan menguatkan lagi pondasi kita dan lebih siap lagi dalam melangkah kedepan Hari ini aku membaca banyak kisah di Quora, hanya dari trigger 2 pertanyaan. Pertama, bagaimana rasanya menjadi single di usia almost atau lebih dari xx tahun? Kedua, apakah kamu menyesal karena telah memutuskan menikah? Diluar ekspektasiku, ternyata lebih banyak yang menyesal dan cerita-ceritanya banyak yang bikin istighfar. Oke, terimalah itu sebagai kenyataan bahwa memang banyak yang tidak ideal Kemudian lebih dari itu, apa yang membuat mereka menyesal? tentu aku ingin tau poin atau polanya. Bisa jadi pembelajaran. Beberapa poin: - perselingkuhan (baik yang dilakukan suami maupun istri) - belum selesai dengan masa lalu, membanding-bandingkan - suami kecanduan judi online, games - suami tidak pengertian, menganggap istri terlalu manja - ternyata suaminya gay - suami tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya - suami masih menginginkan kebebasan seperti dia masih lajang (tanpa batasan) - suami suka chatan dengan lawan jenis, masih suka menggoda perempuan lain di tempat kerja, menggunakan aplikasi dating bahkan pesan, mohon maaf, PSK - suami temperamen, maen pukul dll (berkaitan juga dengan kecanduan judi, ekonomi) - salah satu pihak (suami atau istri) menganggap sebuah masalah kecil namun dibesar-besarkan - istri tidak punya sifat keibuan dan tidak menjalankan perannya sebagai istri - masalah ekonomi, tidak ada peningkatan taraf kehidupan Yang banyak membuat menyesal adalah karena mereka masih denial, belum legowo, masih berpikir "seharusnya, seharusnya, dan seharusnya". Pikiran itu yang mengungkung diri mereka sendiri. - Seharusnya aku tidak menikah terlalu muda - Seharusnya dulu aku meneruskan karirku - Seharusnya dulu aku nggak ikut apa kata suamiku untuk resign, sekarang aku diselingkuhi - Aku melihat temanku yang seusiaku masih bisa haha hihi kesana kemari, masih bisa nabung, kalo aku nggak nikah duluan dan langsung punya anak, mungkin aku kayak mereka * di poin ini aku takut dan semakin tidak ingin menunjukkan apapun di muka publik. Karena ternyata apa yang kita tak terpikirkan sebelumnya ternyata bisa menjadi potensi hasad dan iri bagi mereka yang keadaannya sebaliknya dengan kita. Mungkin bukan maksud mereka demikian, tetapi hati tidak akan bisa dibohongi. Yang menjawab tidak menyesal - di awal mereka menjelaskan bahwa di awal memang berat, masih adaptasi. Keyakinan bahwa pernikahan itu sedang menuju kebahagiaan (baik di dunia maupun di akhirat ) yang membuat bertahan Sifat dan sikap yang membuat bertahan: - Suami yang pengertian, berusaha membuat istri nyaman - Istri yang juga pengertian, berusaha juga membuat suami nyaman (dengan penataan rumah, dengan makanan, dengan pelayanan) Poin simpulan: menikah dengan orang yang tepat adalah kunci pertama, jadi, identifikasi dulu. Identifikasi kebutuhan diri, dan identifikasi calon pasangan. Menikahlah dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab dan konsekuensinya. Ada tantangan lebih, ada juga kebahagiaan lebih.
485 notes · View notes
adontno · 1 year ago
Text
Look in.
Sebagaimana yang dikatakan Ibu Elly Rusman hafidzahullah, di unggahan sebelumnya bahwa poin penting sebagai orang tua dalam pengasuhan adalah look in (selalu melihat ke dalam diri) semisal ada tipe orang tua yang mengekang anak, ada pula yang demokratis.
Tanyakan pada dirimu sebagai orang tua (look in), mengapa selalu menuntut atau mengapa terlalu membebaskan? Apa dulu terlalu terkekang sehingga sekarang ingin membebaskan anak supaya tidak merasakan seperti dirimu? Apa itu benar? Sering-seringlah look in dan meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini sudah benar apa belum.
Dan pengasuhan pun sejatinya, hubungan ke atas atau hubungan vertikal (hablun minallah) dahulu baru setelahnya hubungan horizontal (hablun minannas). Inilah yang juga sering diremehkan.
“Jika anakku bertingkah hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku abaikan. Jika anakku sukar diatur hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku lalaikan. Jika anakku menguras emosiku hari ini, bisa jadi karena ada hak Allah yang aku akhirkan. Terkadang penyebab utama seluruh kesukaran karena kita tidak menunaikan hak Allah di atas yang lainnya. Tentang salat di akhir waktu dengan terburu-buru. Tentang lembar Quran yang tak dibuka apalagi ditadaburi. Berharap semua berjalan sempurna tapi Pencipta hanya diberi waktu sisa. Hai aku, jangan bercanda.” -  Derry Oktriana Syofiadi hafidzahullah
Lagi-lagi tentang look in sebagai bentuk evaluasi kepada diri sendiri dan mengevaluasi hubungan orang tua dengan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebuah kontemplasi agar tidak serta-merta menyalahkan anak yang akhirnya memicu luka dalam pengasuhan lalu melabelinya dengan sebutan nakal, dsb.
“Anak durhaka kepada orang tua? Ada. Orang tua durhaka kepada anak? Tidak ada. Orang tua durhaka? Ada, durhaka kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebab yang diingkari adalah perintah Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang tua untuk memenuhi hak anak.” - Mamazi hafidzahullah
Sebagaimana yang dikatakan pula oleh Ibu Elly Rusman hafidzahullah, orang tua sering lupa menempatkan bahwa anak adalah amanat Allah Subhanahu Wata’ala sehingga suka semena-mena.
Banyak kasus di mana ibu kesal dengan ayah, anak yang jadi korban. Di sinilah bentuk contoh bahwa orang tua tidak menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka yang menempatkan anak sebagai amanat dari Allah Subhanahu Wata’ala tanpa peduli apa pun kondisinya, harus mencari nafkah juga, harus mengasuh anak juga, harus mengurusi keluarga yang lain juga yang entah rasa capeknya sudah tidak tahu ada di sebelah mana tetap saja on track sebab meyakini pula ada Allah Subhanahu Wata’ala yang akan menolongnya.
Inilah dalam pengasuhan perlu meyakini bukan hanya menyoal hal tersebut saja. Mau apa pun metodenya, intinya adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Bagaimana hubungan orang tua dengan Tuhannya? Look in.
Jika anak yang bermasalah, bagaimana tauhid orang tua pun akan memengaruhi sikapnya untuk merespon. Ia akan merespon secara proporsional.
 “Jika kamu sebagai individu melakukan kesalahan inginnya disikapi seperti apa? Dibentak-bentakkah? Dipukulkah? Tentu tidak ingin kan? Lalu mengapa kamu melakukannya kepada anakmu? Anak melakukan kesalahan langsung diomelin, dibentak, dipukul. Apa kamu pun siap ketika melakukan kesalahan langsung diazab oleh Allah Subhanahu Wata’ala? Kepalanya dipecah dengan batu atau dimasukkan ke dalam tungku api. Anak (yang mungkin masih kecil) tidak bisa berbuat apa-apa tetapi bukankah Allah Subhanahu Wata’ala mampu melakukan apa yang kamu lakukan itu ke anak-anakmu dengan hal yang jauh lebih berat dan lebih besar? Allah Subhanahu Wata’ala lebih berkuasa atas kamu dibanding kekuasaanmu terhadap anak-anakmu dan Dia lebih sanggup menghukum atau menyakitimu dibanding kemampuanmu untuk menghukum atau menyakiti anak-anakmu.” – Ust. Nuzul Dzikri hafidzahullah
Lagi-lagi look in dan yang juga perlu dievaluasi adalah bagaimana suami memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya halalkah? Tayibkah? Zabiha hewan yang dikonsumsi jelaskah? Sebab apa yang dikonsumsi akan memengaruhi jiwa.
Inilah yang juga penting dan dasar namun jarang dibahas dalam kelas-kelas pengasuhan. Bisa jadi anak susah diatur sebab dampaknya berasal dari sumber nafkah yang haram. – Ummu Sajjad hafidzahullah dan Ust. Fatih Karim hafidzahullah
“Jagalah hak Allah niscaya Allah akan menjagamu.” (HR. Tirmidzi, no. 2516 dan Ahmad, 1:293)
294 notes · View notes
adontno · 1 year ago
Text
A Way of Life: What is Islam?
Perjalanan yang cukup panjang dari kantor ke rumah--maupun sebaliknya--membuatku punya waktu cukup panjang untuk berdzikir dan merenung dan berpikir dan berkontemplasi. Tentu saja yang pertama itu kalau sedang niat dan niat banget. Seringnya melamun, tentu saja, dan memikirkan kamu *astaghfirullah.
Tapi pada suatu pagi, tiba-tiba sekali aku ingat akan sesuatu yang sangat familiar dengan masa kecilku. Ya, begitulah. Seringnya tiba-tiba kepikiran hal random. 
Pagi hari itu, randomly aku teringat dengan lagu Syamil-Nadia, yang sering kuputar waktu kecil dulu, jaman-jaman SD. Judulnya "Cara Hidup". Ngebahas tentang islam. Syamil-Nadia ini lagunya asyik-asyik, ya minimal waktu itu aku seneng (banget!) tiap diputerin di rumah. Masih pake VCD yang diputer di tape gitu haha. Lagunya tentang bismillah, alhamdulillah, bersyukur, dsb. Nah, diantara lagu-lagu lainnya, lagu "Cara Hidup" ini lagu yang, menurutku waktu itu, cukup berat maknanya dan aku enggak paham maksudnya.
Sampai pada sekitar setahun yang lalu, pada suatu acara anak-anak TPA di rumah, iseng aku cari lagu Syamil-Nadia di youtube. Eh ternyata ada. Terus aku puterin lagu itu buat anak-anak. Sampai di lagu "Cara Hidup" ini, aku tiba-tiba tertegun, "Ooohh, maksudnya ternyata begini, Ya Allah deep banget maknanya."
Iya, aku baru paham maknanya setelah sekian tahun kemudian memutar lagunya kembali.
Lebih dari 'sekedar' agama, lewat lagu itu aku jadi sadar, kalau islam adalah juga 'cara hidup'. Semua hal tentang kehidupan ini sudah dituliskan dan diatur oleh Allah di Al-Qur'an, dan dilengkapi dengan hadits-hadits Rasulullah.
Islam adalah cara hidup manusia yang sempurna. Meskipun memang tidak ada manusia yang sempurna, tapi cara hidup dengan 'islam' sepertinya adalah cara hidup yang sempurna(?) Karena kesempurnaan adalah milik Allah, dan Islam adalah agama yang diridhoi Allah.
Islam sudah mengatur semuanya. Soal muamalah (hubungan manusia dengan manusia), tentang hubungan manusia dan alam, hubungan dengan diri sendiri, termasuk hubungan manusia dengan Tuhannya. Lengkap sekali. Beruntunglah sebagai muslim yang beragama islam. Sebab cara hidupnya sudah diatur sedemikian rupa.
Aku jadi ingat, pernah baca tulisan dimana ya, aku lupa. Tapi si penulis menceritakan pengalamannya tinggal di sebuah negara (kalau tidak salah Jepang), kemudian ada salah satu kalimatnya menuliskan begini "Disana saya menemukan islam, tapi tidak menemukan muslim."
Iya, karena di negara itu menerapkan sistem-sistem yang diajarkan islam, kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan islam, tapi orang islam jarang sekali ada di sana. Sebetulnya, kebanyakan negara-negara barat, atau negara minoritas muslim, justru lebih 'islam' dibandingkan negara mayoritas muslim, ya(?)
Dia bercerita bagaimana di Jepang (atau negara yang aku lupa mana yang diceritakan itu) lingkungannya sangat bersih sekali. Sampah sangat jarang bahkan tidak ada di trotoar jalanan. Semua orang juga tertib mengantri, menaati peraturan-peraturan jalan yang ditetapkan. Secara sosial, damai deh pokoknya. Bukankah begitu yang diajarkan islam? Keindahan, kebersihan, sosial yang baik, dan hal-hal baik lainnya.
Iya, disana ada 'islam'. Tapi tidak ada muslim. Atau setidaknya, jarang ada muslim.
Begitu juga di beberapa negara lain, yang mayoritas manusianya bukan muslim. Di Singapura, di beberapa negara Eropa, atau negara-negara minoritas muslim lainnya. Hampir kebanyakan mengaplikasikan ajaran-ajaran islam.
Lalu, aku pernah baca di buku apa ya, lupa. Kayaknya sih, Ayat-Ayat Cinta 2. Atau buku lain(?), yang pasti, sedang menceritakan soal Mesir. Ceritanya, ada orang yang berkunjung ke Mesir dan kaget dengan keadaan di sana. Dia bilang ke si tokoh utama, "Katamu, Mesir adalah negara Islam? Tapi kenapa kotor sekali? Bukankah Islam mengajarkan kebersihan? Bukankah Islam sangat mencintai keindahan?"
Aduh, aku sebagai pembaca jadi merasa tersindir sekali. Tapi, benar juga apa yang dia sampaikan, sih.
Aku jadi berkaca dan mencoba melihat negaraku. Indonesia juga kan, mayoritas islam ya. Bahkan sepertinya, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Tapiii, memang mayoritas itu tidak menjamin suasana 'islam' teraplikasikan di dalamnya.
A way of life. Islam tuh lebih dari sekedar agama. Ia adalah juga 'cara hidup', yang barangkali para muslim sendiri belum begitu banyak yang benar-benar mengamalkannya. (dan tentu saja termasuk aku)
3 notes · View notes
adontno · 1 year ago
Text
Petangguh
Kemarin aku banyak diingatkan untuk bagaimana tetap hidup dengan segala cerita dan kejadian yang harus terus dipeluk.
Aku diingatkan untuk senantiasa tetap tabah dan bertumbuh dengan segala kisah. Yang baik sudah tentu akan menumbuhkan jika itu disyukuri, yang penuh luka dan kecewa bahkan akan lebih dapat menumbuhkan jika kita tau apa makna di balik itu semua.
Lalu, pada diri sendiri akhirnya aku banyak berterimakasih.
Dengan apapun yang datang, berbentuk kekecewaan, segala yang menyakitkan, segala yang membawa luka hingga aku sempoyong dibuatnya, aku banyak pula menghaturkan harap.
Diriku ternyata tidak akan dapat sekuat ini jika kemarin tidak ada senyum dan kepercayaan yang aku kuasai lebih dalam dari biasanya. Diriku tidak akan dapat setangguh ini dalam memeluk segala kesempatan yang hadir untuk akhirnya aku dapat mencoba lagi dan lagi.
Bahkan, diriku ternyata dapat hidup untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan tidak iri terhadap pencapaian orang lain dan fokus mengembangkan bakat yang mungkin banyak terpendam dan banyak dinafikan karna lebih sering merasa ingin seperti orang lain.
Aku akan menjadi petangguh untuk hidupku yang sering tak sempurna.
Aku ingin menjadi petangguh untuk hidupku yang banyak cacat lagi kurangnya.
dan aku tetap akan menjadi seorang petangguh ketika aku banyak di dera sulit bahkan sedikit lagi binasa.
Aku petangguh, dan aku akan banyak menerima.
Sore di Bandung yang syahdu, 20 Juni 2022
42 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Ujian penantian 12 tahun lamanya..
aku baru tahu dokter yang menangani kehamilanku beberapa waktu lalu, juga seorang pejuang garis dua. Beliau seorang dokter obgyn atau istilahnya yaitu dokter kandungan. Sementara suami beliaupun demikian, seorang dokter kandungan yang prakteknya berbeda rumah sakit.
Sesaat setelah kuretase, aku berkonsultasi dengan dokter tentang apa yang harus aku lakukan selama pemulihan. Dan langkah berikutnya apa yang harus aku upayakan agar hamil kembali. Dalam konsultasi tersebut, dokter bercerita kepadaku kalau beliau juga sama-sama pejuang garis dua. Bedanya, aku pernah hamil meski mengalami keguguran. Sementara beliau, belum sama sekali merasakan hal itu.
"banyak pasien saya yang bilang kalau keguguran itu lebih sakit daripada melahirkan mba. Saya juga belum merasakan keduanya sih, tapi kesakitan apapun yang sedang mba alami Allaah ganti dengan jauh yang lebih baik." Ucap beliau kepadaku.
"maksudnya, dok?" Tanyaku tak mengerti.
"ya, saya juga pejuang garis dua mba, sama seperti mba Nisa. Tahun ini saya memasuki usia pernikahan ke 12 tahun. Apapun kondisinya memang harus disyukuri ya, mb. Setidaknya mba Nisa pernah hamil, sekalipun mengalami keguguran. Inipun harus disyukuri, artinya mba Nisa bisa hamil kembali nantinya. Insya Allaah,. Sementara saya, selama 12 tahun pernikahan saya belum pernah merasakan mual muntah dipagi hari, atau tanda-tanda kehamilan."
"Masya Allaah, dok." Mataku berbinar mendengar kisah beliau. Perempuan hebat, batinku.
"kalau ditanya, sama-sama dokter kandungan tapi kok ya belum pernah hamil, belum punya anak. Mana paham rasa sakit yang dirasakan para ibu-ibu hamil. Ucapan seperti itu sudah berulang kali saya dengar sendiri. Dulu saya buka praktek dirumah saya pribadi mba, makin kesini makin sepi karena banyak yang memutuskan pindah dokter dengan alasan demikian. Akhirnya saya kembali praktek di rumah sakit. Alhamdulillaah, disyukuri aja hehe. Saya pindah rumah juga, suami takut saya mendengar kabar yang kurang enak, dan takut hal itu membuat saya stress sendiri. Memasuki tahun ke 5 pernikahan, saya melakukan inseminasi. Qadarullaah, belum berhasil.
Tahun ke 7 saya dan suami coba untuk bayi tabung. Qadarullaah belum ada tanda-tanda kehamilan. Tahun-tahun berikutnya saya lebih lapang. Bahwasanya memiliki anak adalah sebuah takdir yang Alalah berikan kepada hambaNya yang Allaah kehendaki kan ya. Ya, mungkin saat ini masih harus menunggu tapi barangkali nanti Allaah akan beri dengan yang jauh lebih baik lagi yang entah apa itu nantinya. Kita sama-sama berjuang dengan jalan masing-masing ya mba.
Dan saya bisa paham perihal ujian dari penantian itu. Saya pernah bilang ke suami saya, "mas, kalau kita ounya anak, mungkin anak kita seksrang usianya 11 tahun kali ya. Usia 11 tahun biasanya udah masuk SD kelas 5."
Tapi kalau sudah pembahasan seperti itu, biasanya saya menangis. Suami yang selalu menguatkan untuk tetap lapang menjalani takdir. Maka, pak. Pesan saya untuk bapak sebagai suami mba Nisa. Kalian berdua adalah satu tim yang harus saling mendukung dalam keadaan apapun. Karna meskipun seluruh manusia ibaratnya mengucilkan, atau berkara hal yang tidak-tidak tentang anak. Selama anda sebagai suami terus menguatkan istrinya, Insya Allaah istri akan terus bisa baik-baik saja. Jadi, kalian berdua harus dalam nahkoda yang sama. Sebab bahtera rumah tangga setiap orang tidaklah sama dan tudaklah mudah.
Maka mba Nisa. Berkabar ya nanti kalau mba Nisa Allaah takdirkan hamil kembali dan melahirkan. Saya sangat menunggu kabar baik itu. Insya Allaah, biasanya setelah kuretase banyak pasien saya yang berhasil hamil kembali. Semoga Allaah izinkan demikian."
"Masya Alalah, dok. Aamiin. Allaahumma aamiin. Maaf,dok, saya boleh minta nomer pribadi dokter? Insya Allaah, ingin terus memperpanjang silaturahmi dengan dokter." Sambungku
"oh iya, boleh mba Nisa. Masya Allaah."
Dalam hati, banyak doa kebaikan untuk dokter tersebut. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika setiap hari harus berhadapan dengan wajah bahagia dari para pasiennya yang tengah hamil dan menanti kelahiran. Kalau bukan karena Allaah yang menguatkan, tentu beliau tidak akan setabah dan setenang ini. Sekalipun aku tahu, tak pernah mudah menata hati yang tidak baik-baik saja agar tetap terlihat baik-baik saja.
*aku sudah meminta izin kepada dokter tersebut untuk menuliskan kisahnya dalam tulisan. Nama, waktu, dan tempat tetap dirahasiakan.
Kita punya RabbNya Zakariyah 'alaihissalam yang memberikan seorang anak yang telah beliau tunggu berpuluh-puluh tahun lamanya.
Maka, tiada jalan keluar, kecuali dengan bersabar. Pahitnya ujian, lamanya menunggu, pedihnya kehilangan hanya akan sembuh dengan kesabaran yang panjang. Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Demikianlah..
Ruang tunggu || 19.50
302 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Thought on: Marriage
“Sebuah upaya mengurai segala hal yang mampir ke pikiranku tentang pernikahan. Tentu saja, bukan karena akan segera menikah dalam waktu dekat :) “-Rania Nawra-
Disclaimer: Apa yang aku tulis disini adalah apa yang aku pikirkan di saat ini, yang tentunya, masih sangat bisa berubah di masa yang akan datang. Hopefully, kalau pun ada yang berubah, kearah perspektif yang lebih wise yaa. Plus, it’s going to be long story. Anyway, selamat membaca!
 ———————————————-
Dalam beberapa waktu terakhir, aku banyak memikirkan dan mengobrolkan topik pernikahan, dengan teman maupun keluargaku. Sebagai manusia yang sudah ‘melewati milestone kuliah dan memasuki milestone bekerja, tentunya diskusi tentang hal ini tidak bisa dihindari.  Dan gabisa disebut “ngebet nikah ya lu” juga kalo sering ngobrolin ini, karena obrolan ini bukan lagi obrolan anak belasan tahun yang pandangannya tentang pernikahan masih sepolos itu.
I am 22 going on 23 this year, dan ketahuilah guys, waktu aku ada di usia ‘Sixteen going on Seventeen’ yang kaya judul lagu itu, 23 adalah usia dimana aku ingin menikah. Haha. Such a young age to get married, tapi waktu itu, aku yang berusia 16 tahunan punya alasan loh kenapa aku mau nikah di usia segitu. Dulu, kurang lebih aku mikir gini:
“Oke. Aku lulus SMA umur 17 tahun, lulus kuliah 21 tahun, terus kerja/S2, abis itu nikah di usia 23 tahun. Sabi lah nabung 2 tahun buat nikah”
This is a bit OOT, tapi sebagai anak kelahiran akhir tahun 2000, aku akui aku punya sedikit privilege usia yang lebih muda dibandingkan teman-temanku. Privilege yang muncul karena aku gamau ngulang TK B (TK 3 tahun) supaya umurku cukup buat masuk sekolah negeri dan akhirnya masuk SD swasta, ditambah karena aku ada di program akselerasi saat SMP. Jadi waktu itu, aku baru dapet KTP di semester 1 kuliah. Ga semuda itu, tapi cukup muda. Dan menurutku di level ‘maturity’ saat itu, aku ‘bisa nih’ nikah di umur 23 Tahun.
Tapi tentunya realita tidak sesuai ekspektasi. Aku memang lulus S1 di usia 21 tahun, tapi baru dapet decent job yang sesuai dengan career aspiration ku menjelang usia 22 tahun-tentunya, dan baru bisa nabung. Moreover, ternyata ada banyak hal yang terjadi di hidupku setelah usia 18 tahun, pilihan-pilihan yang aku pilih, dan tentunya, proses belajar dan maturing alias mendewasa yang bikin aku sadar kalau “Marriage is not that easy”. At least, for me. Well, everyone have their own perspective, right?.
Jadi, aku disclaimer lagi kalo tulisan ini bukanlah bentuk kampanye ‘anti nikah muda sebelum lulus kuliah’ dan lain sebagainya. This writing applies to MY LIFE. You do you, kalian punya cara sendiri buat menjalani kehidupan kalian, dengan prinsip dan nilai-nilai yang kalian pegang. So, no offense ya guys (Plus, menurutku perempuan-perempuan yang menjalani peran sebagai mahasiswa S1 dan juga S3 (re: Istri), kalian keren!).
Kembali ke bahasan tentang pernikahan.
Ngomongin pernikahan, menurutku ada banyak aspek yang menyusunnya. Tapi kalo aku boleh mengerucutkan hal-hal penting yang kudu dipelajarin dulu sebelum menikah, maka itu mencakup: ilmu agama, relationship-communication, parenting, dan juga finansial.
Kalo aku coba inget-inget, kayanya aku pertama kali belajar tentang pernikahan dan sebagian aspek di dalamnya tuh pas SMA di Pondok (Well, now I can proudly said that aku ‘SMA di Pondok’ instead of di ‘boarding school’ #characterdevelopment #kapankapankitabahas), lewat bab munakahat di Minhajul Muslim dan kajian nisaiyah rutin untuk santri putri. FYI, di kajian nisaiyah ini ada semacam modul yang disesuaikan untuk setiap jenjang dari kelas 7-12 SMA (atau kelas 1-6 Aliyah). Sejak kelas 10/11 (rada lupa), kami mulai ‘diberi tugas’ buat mengisi materi nisa’iyah untuk adik-adik kelas 7 atau 8, yang materinya dimulai dari bab thararah dan menjaga kebersihan diri dan sekitar. Meanwhile, kajian nisa’iyah untuk santri senior akan diisi oleh para asatidzah dengan topik yang lebih ‘berat’. Dan tentunya, yang dipelajari bukan bagian uwu-uwunya saja.
Di pelajaran fiqih dulu, materi-materi yang membekas di aku tentang bab munakahat justru materi tentang Talak. Iya, talak. Tentang bagaimana talak itu jatuh, apa yang terjadi setelahnya, proses ruju’, dan tentang kasus-kasus yang terjadi. Terus aku inget banget setelah dapet materi itu, aku mulai berpikir kalau “Wah, nikah tu emang ga boleh main-main” dan “Omongan kita harus dijaga agar bener-bener ngomong yang baik-baik saja”.
Di nisa’iyah, salah satu materi yang membekas buatku justru materi mengurus bayi (cara memandikan, menggendong dll). Kata para asatidzah, beliau-beliau tuh ingin mempersiapkan dan making sure kalau santriwati kelas XII ketika lulus, sudah tau (at least basic things) untuk menjadi seorang istri dan ibu. Soalnya, kita gatau jodohnya datengnya kapan. Jadi, tetap harus dipersiapkan.
Tapi belajar tentang itu di pondok tentunya ga serta merta bikin aku siap nikah setelah lulus SMA. Aku masih ngerasa ilmunya kurang dan butuh belajar, plus yaaa ga siap aja. Aku tahu aku butuh belajar, tapi di awal kuliah aku justru gamau sama sekali ikut kajian pranikah. Why? Karena suatu kali di semester 1 aku ga sengaja denger salah satu kajian pranikah (karena solat di masjid tersebut), yang isinya justru kaya semacam mendorong-dorong orang buat nikah muda (waktu itu aku nangkepnya gitu sih, but it can only be my assumption hehe).
Barulah di 2020 aku pertama kali memberanikan diri join kelas yang berhubungan dengan pernikahan, lewat salah satu kelas dari asrama RK, Kelas Cerita Menikah Batch 1. Setelah ikut kelas itu, aku beberapa kali ikut kelas sejenis, seperti FWMP Batch 1 (2021), Kelas Proposal Ta’aruf nya Teh Juan (2021), terus ikut Dialog Menuju Rumah Tangga ‘Diorama’ Career Class (2022).
Lalu, apakah setelah mengikuti kelas-kelas itu, aku jadi ngerasa lebih siap nikah? Jujurly, NGGAK. Aku justru malah jadi reconsider keinginanku untuk menikah di usia 23 tahun, dan berkesimpulan bahwa kayanya “This plan is not SMART enough”. Setelah ikut kelas-kelas itu, aku jadi kaya bikin semacam gap analysis dari ‘Aku saat ini’ dengan sosok ‘Istri dan Ibu Ideal’ yang aku bikin (Jadi, ini versiku ya), dan menyadari kalau gap ini ga akan cukup untuk dikejer dalam waktu 1 tahun (Aspek Time Bound di SMART hoho). Ada banyak PR yang harus kuselesaikan pada diriku sendiri :).
Wait, ini bukan PR-PR yang berhubungan dengan “Bisa masak apa nggak” ato “bisa ngurus anak apa nggak” dll, karena SATU, Hal-hal itu masih sangat bisa pelajari karena menurutku itu termasuk TECHNICAL SKILLS+ada insting seorang ibu pada setiap Wanita (katanya kan begitu). KEDUA, aku cukup pede untuk mengatakan bahwa aku bisa masak, sudah belajar mengurus anak (Well, at least a 9 years gap with my little brother helped me a lot on understanding how to do that, thanks to mengurus Azka sejak bocil wkwk), dan membantu mengurus rumah tangga, apalagi setelah ayah nggak ada.
PR-PR ini lebih berhubungan dengan Behavioural Skills, yang a bit more philosophical. pertanyaan-pertanyaan seperti:
“Kamu udah cukup content nggak ya sama hidupmu sekarang? Sebelum nantinya kamu melahirkan kehidupan lain yang mungkin akan sangat mengubah kehidupanmu?”
“Kamu oke ga ya, kalau kamu punya anak yang akan meniru banyak hal dari kamu, termasuk habit yang kamu punya sekarang?. Apakah kamu sudah bisa menjadi sosok yang akan diteladani oleh anakmu, dengan habit mu sekarang?”
“Apakah kamu sudah cukup stabil dalam menjaga dan melindungi diri kamu sendiri, sebelum kamu mempunyai sosok-sosok yang harus kamu lindungi?”
Dan berbagai pertanyaan lainnya yang membuat aku banyak merefleksi kembali kesiapanku untuk memasuki jenjang pernikahan. Karena jujurly, beberapa jawaban untuk pertanyaan itu, jawabannya untuk saat ini adalah : TIDAK/BELUM. Hehe :(.
Anak adalah peniru yang hebat. Sangat hebat. Dan tentunya, sosok yang akan banyak ditiru seorang anak (entah secara sadar atau tidak) adalah orang tuanya, yang seharusnya banyak menghabiskan waktu bersamanya. Contohnya, aku:
Bundaku sangat suka warna ungu dan spektrumnya. Sementara aku pas kecil lebih suka warna pink (wkwk just like a lot of bocil perempuan). Tapi lama-kelamaan, aku yang tau bahwa warna kesukaan Bunda adalah ungu, sadar ga sadar jadi suka warna ungu. Sampe sekarang.
Aku pas kecil nggak suka sayur. Tapi karena aku terus menerus ngelihat bundaku makan sayur dan katanya “enak”, aku juga pelan-pelan mau makan sayur, dan jadi suka sayur, bahkan sayur-sayur sejenis pare, jengkol dan pete WKWK.
Ya, pokonya intinya anak itu akan banyak meniru orangtuanya. Itu juga yang dimention sama Ibu nya Maudy Ayunda dalam satu satu konten mereka.
Dan jujurly sekarang, aku masih ngerasa ga rela kalo anak ku punya daily habit kaya aku yang masih banyak kurangnya ini. Misal: Aku pengen anakku kelak menyukai olahraga, tapi berapa sih persentase nya anakku akan suka olahraga kalo sehari-hari ngeliat orangtuanya mager dan sukanya rebahan?. Makanya, aku HARUS bisa memperbaiki habitku dulu. Entah itu habit yang berhubungan dengan kesehatan, ibadah yaumiyah, habit belajar, meregulasi emosi, finansial dan lain sebagainya.
Tentunya, aku gabisa 100% memastikan bahwa anakku kalo udah gede akan ‘jadi seperti yang aku mau’ karena pada akhirnya, it depends on them. But at least, aku gamau mereka mengalami kesulitan-kesulitan dalam proses bertumbuhnya karena pola asuh yang mereka peroleh dari aku sebagai orang tuanya. Makanya, yang aku lakukan sekarang sebelum memutuskan menikah adalah : memperbaiki diriku. Seenggaknya itu variabel yang bisa kuutak-atik untuk saat ini. Variabel-variabel lainnya belum ketemu soalnya. Hehe.
Aku ingin bisa menjadi seorang Ibu yang bener-bener bisa jadi madrasatul uula untuk anak-anakku, tentunya dengan ayahnya sebagai kepala sekolahnya.
Nah, cuma ternyata proses launching sekolahnya untuk penerimaan murid baru nggak bisa secepet itu. Kurikulum nya masih perlu disusun, tenaga-tenaga pengajar dan sistem sekolahnya juga. Nyari kepala sekolah yang bener-bener bisa diandalkan untuk menjadi pemimpin sekolah yang baik juga ga mudah.
“Terus sekolahnya bisa mulai nerima murid baru kapan ya kak?. Yang jelas dong!”
“Oke tenang pemirsa. Kami jujur belum bisa memastikan secara fix kapan mulai bisa menerima murid, karena ada campur tangan yang diatas. Kami akan berusaha agar sekolahnya siap taun depan di 2024. Tapi gabisa janji, soalnya murid baru bisa diterima kalau kepala sekolahnya juga sudah ada. Mohon doanya saja ya Ayah Bunda”.
(PS: Sumpa aku gainget nulis part ini pas ngetik wkwk, lagi ngantuk banget cuy entah kenapa nulis dialog ala-ala begini. Tapi gapapa deh bagus juga soalnya wkwk)
Intinya, untuk saat ini aku sepertinya masih harus banyak menyelesaikan corrective actions untuk mengejar gap yang ada.
“Kalo gitu terus mah kapan siapnya?”
Iya memang, aku banyak bertanya ke temen-temenku yang udah nikah yang bilang, sebenernya pun ketika mereka memutuskan buat menikah, mereka ga bener-bener siap 100%. Perasaan belum siap itu selalu saja ada. Bahkan Pak Sandiaga Uno aja bilang kalo beliau tuh dulu ga siap nikah (wkwk cerita Nia pas sesi meet sama warga grup manusia kuat weekend kemaren).
Makanya, untuk berusaha ga menjadikan alasan “ga siap” yang berujung “gasiap muluuuu”, aku berusaha memberikan due date untuk setiap corrective action yang aku bikin. Supaya goalnya juga SMART ya wak, wkwk.
“Wah kapan tu due date nya”
Hooo tentu saja rhs alias rahasia. Bukan karena apa-apa, Cuma takutnya entar kalo action nya udah overdue aku dikejer-kejer lagi sama auditor T.T hehe becanda. Ya pokonya aku berusaha menyelesaikan actions yang ada sebelum due date lah. Due date di usia yang tadinya aku jadikan usia ‘target menikah’ ku, tapi setelah dipikir-pikir jadi due date corrective actions aja. Soalnya gatau realisasi ‘menikah’ nya kapan. Lagian juga doi nya belum ada, dan bersyukur juga sii belum ada disaat sekarang. Mungkin Allah mau aku lebih fokus mengejar gap yang ada karena tahu ciptaannya yang satu ini gampang oleng kalo jatuh cinta :).
Sebagai penutup, aku mau sedikit ngasi tulisan buat future partner (wkwkwk uhuk uhuk).
“Ya pokonya siapa pun kamu nanti, entah sekarang tuh kita udah pernah ketemu atau belum sebelumnya, semoga sebagaimana aku yang sedang berusaha mempersiapkan dan memantaskan diri (hah ko aku geli sendiri nulis begini, tapi tetep dilanjutin), kamu juga sedang melakukan hal yang sama. Semangat calon kepala sekolahku. Mari kita menikah dalam pernikahan yang berilmu :)
Dan buat future children:
 “Dear my future children, now I’m trying hard to love and prepare myself, so when you come to me in the future, I will embrace and love you with a full heart”
Benar-benar tulisan random semoga ga banyak yang baca T.T
Sumbawa, 9 Februari 2023
24 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Manusia, Iman, dan Tindakan
Karena kita manusia, iman dan tindakan menjadi hal yang akan terus muncul sebagai pilihan dalam hidup.
Belajar dari kisah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang berlari bolak-balik dari satu bukit ke bukit lainnya.
Bukan mengharap akan menemukan air di salah satu bukit, melainkan sebagai wujud tindakan yang didasari oleh kekuatan iman.
Secara logika, sudah barang tentu air sulit ditemukan di padang pasir yang tandus. Siti Hajar pun tahu betul fakta itu.
Jikalau ada, bukankah lebih efektif kalau mencari ke lokasi yang berbeda untuk memperbesar peluang? Dibandingkan 'hanya' berlari-lari kecil berulang kali dari titik A ke titik B saja. Tapi, Siti Hajar tetap mengambil pilihan itu.
Ditambah lagi, kondisi yang serba tidak ideal yaitu anak menangis kehausan, diri sendiri yang masih lemah pasca melahirkan, plus beban mental yang harus ditanggung seorang diri di tengah panas terik padang pasir. Namun, Siti Hajar tetap kukuh dengan iman dan tindakannya.
Alih-alih mengeluh, menangis meraung, menyalahkan dan meratapi nasib, Siti Hajar memilih berlari. Itulah bentuk usaha bumi yang dilakukannya.
Bukan mengharap akan menemukan air di salah satu bukit, tapi begitulah caranya merayu langit. Tujuan pengharapan dan keyakinannya tetap sama yaitu pada Allah Yang Maha Baik.
Kemudian air muncul dari sumber yang tidak disangka-sangka, dari hentakan kaki kecil si anak. Air muncul berlimpah ruah yang menjadi karunia hingga hari ini, yang kita pun bisa menikmatinya.
Lalu muncul pertanyaan berikutnya,
Mengapa harus berlelah-lelah berlari?
Karena masa depan adalah rahasia mutlak milik langit.
Siti Hajar tidak akan pernah tahu kalau ternyata doanya terkabul dari sumber yang paling dekat dengan dirinya. Yang dia tahu dan yakini betul adalah Allah Maha Baik yang tidak akan meninggalkan hambaNya.
Dan iman itu dia wujudkan dalam bentuk tindakan.
Karena terbatasnya pengetahuan manusia tentang masa depan itulah letak keindahan iman dan pembuktiannya.
Bahwa manusia sejatinya bisa saja ragu dan takut dengan apapun yang dihadapinya, tetapi dengan iman, tidak akan ada khawatir maupun sedih hati berlebihan.
Maka, Siti Hajar memilih untuk berlari-lari kecil dari satu bukit ke bukit lainnya.
Dan usahanya itu diabadikan Allah menjadi salah satu bagian dari rangkaian utuh ibadah haji yaitu Sa'i.
Hikmah kisahnya pun terus mengalir menjadi pelajaran bagi umat-umat berikutnya, hingga hari ini. Lintas zaman dan dimensi.
Hikmah tentang kekuatan iman serta keluhuran sikap Siti Hajar menjadi contoh nyata bahwa iman tidak hanya diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, tetapi juga dibuktikan melalui amal perbuatan.
Belajar dari kisah Siti Hajar, masih pantaskah kita memilih berdiam diri karena rasa takut maupun ragu atas ketidakpastian masa depan?
Perkara hasil bukanlah bagian kita. Bagian kita adalah berusaha, berdoa, dan berserah dengan sebaik-baiknya sebagai seorang hamba.
Karena kita manusia.
Sumber: catatan pribadi tentang hikmah kisah Siti Hajar yang disampaikan oleh seorang guru serta dilengkapi refleksi pengalaman pribadi tentang hidup dan kehidupan.
68 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Tumblr media
Yaa Rabb..
Kesabaranku jauh dari sabarnya Ayyub Alaihissalam yang diuji dengan berbagai kehilangan dan sakit yang panjang..
Keimananku jauh dari Zakaria Alaihissalam yang tak pernah patah dalam berdoa kepada Mu..
Keyakinanku jauh dari yakinnya Bilal Bin Rabah yang tetap teguh walau tertindih batu berat ditengah teriknya matahari..
Kepercayaanku jauh dari percayanya Imran Bin Husain yang tak goyah walau 30 tahun harus terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur..
Maka kasihanilah kami para hamba Mu yang penuh kekurangan, kelemahan dan kehinaan ini yaa Rabb..
اَللّهُمَّ أَستَودَعتكَ جَمِيع أُمُور حَيَاتِى، قَلبِى، صِحَّتِي مُستَقبلِي، رِزقِي تَوْفِيقِى خَاتِمتِى دِينِي، يَارَبّ وَفّقنِى لِمَا تُحِبّ وترضَاه.
"Ya Allaah aku titipkan kepada-Mu seluruh urusan hidupku, hatiku, kesehatan ku, masa depanku, rezekiku, kesuksesan ku, akhiratku, dan agamaku. Ya Allaah berikanlah kesuksesan atas apa yang Engkau cintai dan atas apa yang Engkau ridhoi.."
Sesungguhnya harapan-harapan yang jauh bisa mendekat dengan do'a..
Allaah masih menitipkan usia sampai detik ini, artinya kita masih diberikan kesempatan untuk memperjuangkan segala pelik keadaan dengan pertolongan Nya..
Semoga yang buntu menemukan jalannya.. Semoga yang tersesat kembali pulang.. Semoga yang hilang dihadirkan dengan yang lebih baik.. Semoga yang sulit kembali lapang.. Semoga yang berduka kembali bersuka cita.. Semoga segala harapan terwujudkan.. Aamiin aamiin yaa Allaah..
|| Hari ke 25 Ramadhan ~
Afwan Wa Baarakallaahufiikum,
Ummu Irhabiy Ari
292 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
i want my soul to feel like a calm blue sea
79K notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
رَمَضَان
May our hearts be beautified by the essence of Ramadan.
To learn the true meaning of discipline, resilience and forgiveness. May our efforts be accepted, and sins are forgiven‎ آمین
1K notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Kait
Iman yang yang istiqomah berawal dari hati yang istiqomah, sementara hati yang istiqomah berawal dari lisan yang lurus.
Dengan apa lisan bisa terjaga? dengan mengulang ilmu.
Tak heran jika Muadz bin Jabal pernah berkata,
" Carilah ilmu karena mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah jihad, mengulangnya adalah tasbih, dan mengajarkannya adalah sedekah."
Maka dimana titik uji pencarian ilmu? Terletak pada ujian keistiqomahan pada suatu kebaikan. Maka upayakan dengan ilmu, utuhkan dengan doa.
|| 23. 06. 2022 ||
62 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Menariknya bagi orang beriman,
Pertama tama Allah akan berikan ujian atau masalah lalu pada mulanya jiwa akan terasa berat, ia kemudian belajar memahami masalah tersebut, mencari ilmunya, bertawakal pada Allah, memupuk keyakinan dalam dirinya. Sehingga masalah tersebut mungkin bisa jadi pada hakikatnya tidak menjadi ringan, melainkan jiwa yang merasa ringan memandang masalah tersebut. Lalu..
Pada satu waktu bisa jadi Allah menghendaki masalah yang lebih besar baginya, dan jiwanya kemudian terlatih lagi, beradaptasi lagi disebabkan ilmu dan tawakal yang kembali ia tambah, ia bersihkan dirinya dari pengotor pengotor jiwa, dan melapangkan hati untuk menghadapi segala sesuatu yang pastinya berasal dan diizinkan olehNya. Dzat yang senantiasa mencintai makhlukNya, lalu bertambah lagi tahapan penerimaan jiwanya.
Sebagian mereka bahkan ada yang sampai pada derajat mukhlisin (orang orang yang ikhlas) atau muhsinin (orang orang yang ihsan) dalam prosesnya.. Sebuah titik yang tentunya takkan bisa dicapai manusia tanpa diuji setelah menyatakan keimanannya, tanpa diberi masalah setelah diberikan ilmunya..
62 notes · View notes
adontno · 2 years ago
Text
Ada perasaan seneng dan bahagia setiap bisa bantu orang lain atas perihal yang kecil sekalipun.
Emang ya...
We rise by lifting others.
Semoga senantiasa dimampukan untuk membantu orang lain.
9 Maret 2023
9 notes · View notes
adontno · 3 years ago
Text
Kalian tau gak? Kenapa ada orang yang susah banget menahan diri untuk tidak berhubungan sama lawan jenis? Bahkan sudah hijrah sekalipun. 
Ini cuma opini pribadi saya ya.
Adanya rasa secure dan terpenuhinya needs yang didapatkan oleh seseorang dari seseorang.
Saya selalu memperhatikan kenapa ada orang bertahan dengan hubungan yang sudah jelas-jelas dilarang oleh Allah, bahkan dia tau apa yang dilakukan adalah kesalahan, tapi tetap saja pelarangan Allah tidak mampu membuatnya meninggalkan aktifitas demikian, kadang walau gak pacaran misal gak mau terikat status atau dia udah tau pacaran haram maka statusnya akan berubah nama jadi temen deket, fwb, atau hal sejenis tapi isinya ya semacam pdkt, paling parah pake dalil ta’aruf tapi gak nikah-nikah, dll. dan aktifitasnya ya gak ada bedanya sama orang mendekati zina.
In my honest opinion, Itu semua karena ada perasaan secure dan needs, kedua rasa tersebut bisa dia dapatkan dari laki-laki/perempuan yang ada dihadapannya, kalau gak dapat ya dia akan mencari. 
Maka orang-orang seperti ini hanya akan mampu menahan diri kalau dia berhenti untuk menaruh rasa secure dan needs dia dari manusia kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata.
Caranya gimana? Ya saya gak tau, karena tiap orang punya permasalahan yang berbeda dan latar belakang masalah yang berbeda. Saya pernah baca tulisan Mark Manson, dia pernah bilang kita itu bukan butuh uang banyak atau ingin dicintai dsj, tapi kita cuma butuh rasa aman dalam menjalankan kehidupan apapun yang terjadi, dan saya pikir itu benar juga ya.
Sekali lagi ini opini pribadi saya aja, ketika seseorang mampu menemukan rasa aman dan terpenuhinya kebutuhan dia tidak dari manusia, maka hidupnya kalau senang tidak merusak diri bahkan kalaupun sedih dia tau harus kemana mencurahkan kesedihannya serta bersikap seperti apa. 
Awalnya saya mengira orang-orang begini kenapa susah banget dikasih tau aktifitas mendekati zina itu dilarang, lama saya mengobservasi, baru saya temukan, oh orang-orang ini punya rasa ‘ketergantungan’ sama orang yang mampu memenuhi rasa secure dan needs dia, karena orang tersebut mampu memberikan rasa aman dan memenuhi kebutuhan yang tidak mampu dia penuhi sendiri dari dalam dirinya, tapi disaat yang bersamaan juga kadang orang begini sadar dia belum mau bahkan belum mampu untuk menikah.
Persoalan kayak gini butuh keberanian diri untuk mau jujur pada diri sendiri, apa sebenarnya yang dicari dalam rasa aman itu? Dan kebutuhan seperti apa yang sebenarnya sedang dicari? Sayang kebanyakan orang-orang begini pun bingung dengan dirinya sendiri. Payahnya ketika diajak deep talk malah pada ngacir. 
Saya pernah nanya ke salah satu kenalan saya yang terkena siklus demikian, saya cuma nanya, emangnya kamu kalo gak pacaran atau deket dengan laki-laki bakal meninggal ya? Apa yang terjadi sama diri kamu kalau gak ada laki-laki yang bisa jadi temen seneng-seneng atau apalah kamu namain itu, kamu bakal kenapa? Dengan santai dia jawab hampa. 
Saya jadi bertanya-tanya kehampaan itu datang darimana? Sampe akhirnya saya tau ternyata ada rasa secure dan needs yang dia dapatkan dari terus berhubungan dengan sang gak tau apanya, karena emang kadang mereka gak pacaran cuma deket. 
Salah seorang ulama yaitu syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menuliskan dalam salah satu kitabnya At-Tafkir, yaitu salah satu potensi kehidupan manusia adalah naluri. Ada 3 potensi utama yang Allah ciptain bagi manusia dan sejatinya dia hidup hanya untuk memenuhi 3 hal ini, yaitu Akal, Naluri, dan kebutuhan dasar sebagai manusia yang kalau tidak dipenuhi bisa menyebabkan kematian. 
Naluri manusia menurut Syeik Taqiyuddin secara garis besar ada 3, yaitu Naluri beragama, naluri berkasih sayang, serta naluri mempertahankan harga diri. 
Naluri-naluri ini jika tidak terpenuhi akan membuat orang hidupnya galau dan uring-uringan tapi tidak menyebabkan kematian, bangkitnya naluri-naluri ini harus ada stimulus dari luar, misal naluri berkasih sayang yang merupakan hasil dari dimilikinya rasa sayang pada orangtua, pasangan, manusia lainnya, orang lebih lemah dsj, contoh konkret dari naluri nau ini adalah orang jadi pengen nikah karena ngeliat orang nikah atau melakukan aksi yang menurutnya romantis di sosmed atau dunia nyata, semakin sering dia menstimulus naluri berkasih sayangnya ini maka semakin besar rasa ingin memenuhinya, jika sudah sampai dipuncak dan tidak terpenuhi, disitulah letak kegalauannya akan dimulai.
Cara menstimulus naluri berkasih sayang ini bisa lewat kepo couple di sosmed, mendengarkan musik-musik dengan lirik yang membangkitkan keinginan untuk memiliki pasangan, nonton drama atau film romantis dsj. 
Maka kalau kamu bawaannya baperr terus maka perhatikan mata, telinga, dan lisanmu, kamu pake untuk melihat, mendengar dan membicarakan apa.
Sebenarnya naluri-naluri itu Allah ciptain sebagai bentuk agar kita mampu melestarikan jenis keturunan serta kehidupan ini berjalan makanya ada syariatnya dalam Islam bagaimana cara memenuhi naluri-naluri tersebut.
Tapi kalau udah tau jomblo dan belum sanggup menikah seharusnya kan mata, telinga, lisan itu dijaga dari hal-hal yang mampu membangkitkan rasa berkasih sayang, apalagi kalau tau diri gampang baper dan punya masalah pada persoalan perasaan, seharusnya pintu-pintunya ya jangan didekati sama sekali, kalau udah terjebak langsung dialihkan ke hal lain.
Kenapa orang-orang kayak gini susah ‘sembuh’? Karena waktu mereka dalam menaruh rasa aman dan needs pada orang lain masih lebih banyak ketimbang dipake untuk merenungi apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya. Mereka lebih sibuk mikirin orang lain yang kenapa memperlakukan mereka a b c d e f g, ketimbang melihat luka dalam dirinya, mengobservasi seperti apa dia dibesarkan, pendidikan yang dia terima, serta informasi apa yang ada didalam kepalanya. Lalu menerima semua kekurangan diri tersebut dan pelan-pelan memperbaikinya.
Saya gak tau soal teori-teori psikolog atau kejiwaan, entahlah, tapi ini opini saya, orang-orang begini mengalami banyak disfungsi keluarga atau ada banyak pendidikan yang dibentuk oleh orangtua/orang sekitar yang miss sehingga akhirnya menyebabkan penyaluran nalurinya malah tidak sesuai dengan agama yang dianutnya, taunya nanti udah gede umur 20-an tahun, ya di bayangkan aja, dari umur 0 bulan sampe 20nan tahun baru belajar cara benar memenuhi naluri yang sesuai ajaran agama yang dia anut bahkan dari dalam perut, gimana tidak tersiksa kalau begitu.
Ini yang bikin saya sekarang jadi santai banget liat anak pondok tapi pacaran, ilmu agama seabrek-abrek tapi pacaran, qori tapi suka ngedm atau modusin cewe-cewe. Dsj. 
Teman-teman yang mengalami permasalahan demikian yaitu kesulitan taat kalo udah berhubungan sama perasaan naluri berkasih sayang, ketahuilah itu ujian teman-teman, setiap orang ada ujiannya, dan sebesar apa kita mampu mempertahankan ketaatan kita pada Allah yang akan jadi penyaringnya antara 1 orang dan lainnya.
Maka saya sangat salut dengan teman-teman yang diuji dipersoalan demikian tapi mampu bertahan untuk TIDAK TERJEBAK pada HTS, FWB atau hubungan-hubungan yang serupa dengan mendekati zina. Kalian HEBAT !!
Sebenarnya masalah kayak gini bisa selesai secara tuntas, asalkan ada aturan yang mendukung, sistem yang mendukung, serta lingkungan yang mendukung. Kalau yang berjuang hanya 1 individu ke individu lainnya, percayalah, masalah-masalah kayak gini akan susah diatasi. 
194 notes · View notes
adontno · 3 years ago
Text
Memendam Dendam
I don't know if this is relate with you or not. Bagi saya, saya itu hobi memendam mungkin bisa jadi dendam juga. Mungkin juga itu bukan hobi tapi sifat yang terbentuk karena perjalanan hidup.
Jika ada orang yang dianggap bermasalah dengan saya, saya coba menghindar. Jika ia membuat saya marah, saya usahakan tidak berinteraksi dengannya lagi melalu bentuk apa pun, bahkan memblokirnya adalah jalan terbaik.
Memendam bukan berarti memelihara dendam dan ingin membalas. Dulu, ketika pemahaman Islam saya rendah, mungkin ada rasa, "Liat aja entar." saya marah, buang muka (tapi sekarang masih sih, meski yang buang mukanya di hati saja).
Sekarang, ketika saya sedikit demi sedikit paham Islam, marah itu coba saya olah, saya pahami, dan saya mengerti. Rasanya masih sama, tetapi keadaan diri saya jauh berbeda. Saya tetap marah, tetapi kali ini saya pendam hingga saya menemukan jawaban, yang saya harus sematkan pada diri saya, bahwa ia (yang saya anggap menyakiti hati saya) juga berhak masuk surga.
Kuncinya adalah tidak reaktif, tidak mudah tersulut emosi yang habis membakar diri. Lalu bagaimana? Jadilah manusia responsif, memahami masalah, bersabar, dan mengendalikan diri. Kita bisa saja puas saat kita mengungkapkan kemarahan kita, tetapi energi kita selesai di situ, tidak ada sisa kecuali luka. Mengendalikan energi marah inilah yang disebut manusia yang lebih kuat dari pegulat, ia mampu mentransfer energinya secara bertahap hingga ia bermanfaat bagi siapa saja yang ada di sekelilingnya. Seperti halnya mentari, jika mau ia mampu memecah panasnya dan menghancurkan planet di sekelilingnya, ternyata tidak. Ia mentransfer energi panasnya itu perlahan hingga panasnya mampu bermanfaat bagi makhluk hidup yang tak tampak oleh mata.
Saya masih belajar mengolah semua, masih menangis sendiri saat ada ujian menimpa, masih saja mengeluh banyak kepada Tuhan semesta alam, masih saja marah dengan hal-hal sepele.
Yang saya lekatkan pada diri saya, "Bersabarlah, karena kita tak tahu alasan dari semua ini".
Mungkin ini relate banget buat INFJ, yang marahnya gak kelihatan tapi bisa meledak kayak Gunung Tambora.
Siapa pun kamu, mengolah emosi adalah tugas kita sebagai khalifah di muka bumi yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
A little dot named Puspa
13 notes · View notes