agusgoh
agusgoh
Ag.#gh
182 posts
repository.
Don't wanna be here? Send us removal request.
agusgoh · 6 years ago
Text
Kita adalah hiruk pikuk dunia
Mata kita sibuk dimanjakan hiruk-pikuk
Maka lahirlah kata-kata Sabarlah sedikit, biarlah ia keluar melalui kepala
Dikepala segala kata berdesak-desakan Sabarlah sedikit,
biarlah ia keluar melalui hati
Bukan ajakan amarah, teriakan dan ancaman
Dihati segala kata berdesak-desakan
Sabarlah sedikit, biarlah ia memamahnya
Agar tumbuh ketulusan dan kesederhanaan
Maka, yang diam adalah kesabaran menautkan Ia akan tertanam dalam kerendahan, baiklah;
Merendahlah.... meredalah, kuburlah: amarah hati.
Sebab, tidak akan tumbuh dahan-dahan menjulang sempurna, kecuali ditanam dalam tanah kerendahan.
(Source : kitab sarah al-Hikam, karya Ibnu At-Thailah Al-Iskandari)
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Suara Protozoa
*"Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar" (Zen RS)*
Sejak lahirnya media sosial, minat berkomentar lebih banyak ketimbang minat baca, terlebih bahwa mengomentari tidak memerlukan banyak hal yang harus diketahui. Seseorang hanya perlu mengekspresikan tanggapan spontanitasnya atas thread tertentu. Ini seperti catatan kaki pada sebuah buku ilmiah. Yang membedakannya adalah bahwa komentar-komentar itu didapat dari produk emosional yang darinya tidak memiliki ketetapan.
Sejak era informasi digital, manusia kini menemukan media sungguhan untuk berbicara, kemudian apa yang mereka tuliskan dalam halaman media sosial mereka adalah suara hati mereka. Kini, untuk membaca pemikiran dan ide seseorang, kita tidak lagi harus membaca buku bertebal-tebal, cukup membaca time line media sosial saja. Tetapi dari sanalah asal muasal kemalasan membaca buku, karena terlalu banyak disuguhi hal-hal instan, seperti junkfood. Kamu tidak perlu berlama-lama menunggu makanan, hanya perlu lima menit, ayam goreng sudah ditanganmu.
Tentu saja itu baik, barangkali minat membaca bisa juga dimulai dari sana. Tetapi nyatanya, minat berkomentar lebih banyak, sebab media sosial acap kali menyuguhkan hal-hal menarik ditengah kehidupan kita. Bukankah ketika melihat media sosial, keinginan melihat kehidupan orang lain lebih menarik daripada mempelajari pikirannya?
Meminjam kalimat dari Zen RS: "Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar". Komentar adalah merefleksikan tanggapan dari sebuah thread yang diuji-tebarkan, seperti dalam istilah test water effect (mengetahui reaksi dari sesuatu hal dengan menyebarkannya pada khalayak), hal ini menjadikan penggagas ide menemukan tempat bagi tujuan-tujuan berikutnya. Gagasan ini memungkinkan kita mengetahui reaksi dari penerimaan khalayak.
Tetapi satu-satunya yang merosot dari dunia literasi adalah, bahwa komentar dari thread, karena menemukan justifikasi akhirnya dianggap thread itu sendiri, dimana sumber intinya semakin mereduksi, karena tidak menemukan gagasan ilmiahnya. Apa yang kemudian kita lihat dewasa ini adalah lompatan-lompatan emosi seseorang yang punya sifat transeden. Apalagi, dibahas dengan hanya, misal seratus lima puluh karakter. Dan tentu saja ini berulang dan diadopsi oleh banyak kalangan.
Dewasa ini banyak komentar-komentar mengenai beberapa hal,berbagai macam. Bahkan sebagian bisa dikategorikan "diluar batas" atau "berlebihan". Acapkali pula mereka menukil sebagian kalimat yang mereka sukai, hanya yang mereka sukai. Tujuannya memanipulasi pemahaman pembaca agar sama persis seperti pemahamannya. Barangkali sebagian lainnya memiliki tujuan-tujuan ideologis. Tentu saja, suara-suara itu tak bisa dibungkam, tapi tidak juga bisa dikendalikan, begitulah seperti dalam sajak suaranya Widji Thukul. Dari sana maka tujuan-tujuan gagasan lahir, tidak saja hanya sebatas ide, tetapi menemukan sarang-gerakannya sendiri.
Karena lemahnya bobot ilmiah, akhirnya thread yang sudah terjustifikasi itu terlepas dari gagasan orisinalitasnya, ia hanya cangkang kosong yang berpendar dikepala setiap orang yang mengadopsinya. Ia bertransformasi dari cangkang satu dengan cangkang lainnya dalam bentuk yang sama persis. Mereka muncul dari hanya satu sel, berkembang biak dengan vegetatif, dan perkembangbiakan secara vegetatif biasanya hanya dilakukan oleh hewan-hewan tingkat rendah, yaitu protozoa.
Baiklah, saya ucapkan: "selamat datang rombongan protozoa!"
Cibubur, 9 September 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Citraan intelektual
Saya menemukan buku kisah sufi dari madura, karya Rusdi Mathari berjudul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Membaca judulnya saja kita seolah sudah tahu kemana maksud hal itu. Sekarang, di dunia ini, terlalu banyak orang yang ingin menonjolkan dirinya. Sebuah ekspresi hiruk-pikuk dengan warna yang lain.
Sebelum era media sosial, para intelektual berhasil menanamkan gagasan-gagasan mereka melalui buku-buku kuno, artefak, karya-karya mereka memenuhi ruang kehidupan dengan makna yang tersembunyi. Bahkan menjadi filsafat bagi kehidupan. Mereka bukan saja menguasai disiplin ilmunya, tetapi juga menginspirasi banyak pihak dan mendorong kehidupan lebih baik. Kecenderungan para intelektual ini terhadap disiplin keilmuannya berakibat pada kesederhanaan dalam pola hidup mereka. Barangkali saking ketatnya pemikiran, seolah hingar-bingar dunia dilipat dalam pikirannya hingga tak lagi dianggap menarik. Kezuhudan mereka adalah sebuah pilihan, bukan karena keadaan.
Media sosial memungkinkan seorang pendiam sekalipun, bahkan, tak lagi diam. Ia akan berkata-kata dalam kesendiriannya, ditengah banyak orang yang sedang berdiam, mereka akan berpikir dan berkata-kata dalam hati, lalu menuliskannya di time line dengan rima mereka sendiri. Maka dunia yang tadinya sepi, seolah-olah menjadi hingar-bingar, hiruk-pikuk dan gaduh. Baiklah, kini mereka tak lagi sendiri.
Paradok lainnya dalam kehidupan dewasa ini adalah mereka merasa punya banyak teman, tetapi tak punya sahabat karib, hingga di kawasan urban, akhirnya mereka berteman dengan binatang peliharaan. Kebutuhan-kebutuhan mereka mengenai interaksi sosial secara substantif tergantikan dengan hewan-hewan peliharaan mereka sendiri. Padahal follower mereka ribuan, bahkan jutaan. Alih-alih memiliki banyak teman, padahal sesungguhnya jiwa mereka terlalu sepi.
Pemenuhan ruang ekspresi mereka pada akhirnya menjadi semacam kebutuhan primer. Ruangan itu menjadi sedemikian sempit, tak berjarak dan tak memiliki waktu untuk istirahat. Kamu bisa membuka media sosial kapanpun kamu mau, dan disana sangat sibuk. Pikiran manusia melompat dan berlarian. Mereka menggunakannya untuk hal-hal yang bahkan bukan esensi, anehnya itu jadi penting. Semacam hiburan bagi kepenatan.
Disana setiap orang menghibur diri mereka sendiri menjadi seorang yang pintar. Mereka berubah menjadi nyaris intelek. Dari kebanyakan gagasan yang dikelolanya adalah melemparkan pengetahuan yang mungkin hanya sepuluh persen dari keseluruhan. Sisanya agresifitas belaka. Maka yang terjadi adalah citraan intelektual yang memenuhi ruangan-ruangan sempit nyaris ditiap tempat. Bahkan hal itu mengelabui pandangan kita, intelektualitas semacam kabut sehingga gagasan original yang membawa perubahan hidup, nyaris tidak ditemukan, kecuali mereka mengadopsi filsafat-filsafat klasik yang diulang-ulang dan tak juga mereka pahami.
Tidak saja gagasan originalitas intelektual yang berubah jadi semacam citraan intelektual, tetapi hal ini nyaris menjadi degradasi intelektual.
Kalimat "merasa pintar, bodoh saja tak punya" bukanlah citraan, tetapi bentuk kezuhudan. Bukankah para intelektual itu kadang tidak mau terlihat pandai berdebat dan menonjolkan banyak kata-kata, yang keluar darinya adalah karya membangun bagi hidup yang lebih baik secara dzahir maupun spiritual. Sebab intelektualitas bukanlah kata-kata yang diperdebatkan, tetapi disamping itu yaitu nilai guna bagi kehidupan nyata. Tentu yang benar-benar intelek adalah mereka yang merunduk seperti padi.
Cibubur, 9 September 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Agar lebih berbudaya milenial, panggil orang yang lebih tua "kakak".
Saya masuk kesebuah toko sepatu, sama sekali tidak berniat belanja. Hanya lihat-lihat saja agar tidak merasa bosan. Apalagi jika ekonomi sedang gonjang-ganjing, sekalipun dompet terasa ringan dan melekpek, tapi ekonomi berasa berat.jalan-jalan keluar masuk toko adalah salah satu cara menghibur agar tidak merasa sedang miskin.
Seorang pelayan wanita menghampiri saya dengan senyum yang memikat. "Silahkan kak, hari ini sedang diskon 20% untuk semua item yang bertanda biru." Katanya. Saya melihat beberapa sepatu terpasang label diskon warna biru. Yah, sesuai yang dikatakan pelayan itu.
"Sebenarnya saya anak bungsu." Kataku.
"Maaf kak?." Tanyanya, pelayan itu sedang meminta saya mengulangi kalimat atau setidaknya ia meminta saya menjelaskan kalimat yang saya ucapkan barusan.
"Oh, tidak, terimakasih..." Saya berlalu dengan sedikit perasaan tidak enak, bukan karena ucapan tadi, tapi karena saya tidak ingin menjelaskan apa maksudnya, disamping itu saya tidak mau memperpanjang pembicaraan karena saya tidak ingin dia kecewa karena tidak akan belanja.
Ditiap tempat yang saya kunjungi bahkan, nyaris semua pelayan memanggil saya kakak. Tren baru milenial ketika memanggil seseorang yang lebih tua. Jika zaman Soekarno memanggil orang yang dihormati dengan sebutan 'bung', zaman sekarang sama artinya dengan 'kakak'. Masuk akal bukan?.
Saya mengira sebutan kakak itu terinspirasi dari lagunya burung kakak tua karya R.C Hardjosubroto. Segala yang disebut kakak adalah tua. Yang saya heran, tegakah kita memanggil bayi burung kakak tua dengan tetap memanggil 'burung kakak tua?'
Cibubur, 12 September 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Berebut Kaum Milenial
Sejak televisi menjadi berwarna mata kita dimanjakan hal-hal menarik dari belahan dunia yang belum pernah dikunjungi, sejak teknologi internet bisa diakses dalam genggaman tangan rasanya segala hal jadi menarik hati, penciptaan-penciptaan produk pemudahan informasi nyaris ber-revolusi setiap harinya. Sumber daya alam lebih cepat dieksploitasi daripada sebelumnya, gagasan begitu cepat melesat, riset-riset terhadap produk-produk pasar membanjiri industri dunia.
Maka generasi Y yang lahir kisaran tahun 1980 hingga 2000an menjadi generasi baru dengan sebutan generasi milenial. Generasi yang melek teknologi dan kemudahan akses. Mereka lahir sudah disuguhi banyak sekali hal-hal yang membuat dunia ini menarik dan betah ditinggali. Mereka rasanya, ingin hidup seratus tahun lagi, setelahnya seratus tahun lagi, dan lagi. Mereka ingin hidup abadi selamanya.
Tetapi generasi X, yaitu generasi sebelumnya telah mencapai puncak emasnya. Mereka sedang matang dalam kehidupannya. Mereka adalah para pemangku kebijakan, menjadi simbol-simbol perubahan dunia, penentu lini masa depan peradaban, para pelaku moralitas, berkubang dalam kekuasaan dan pegiat-pegiat rohani.
Diantara dua generasi X dan Y ini terdapat perbedaan mencolok dalam spiritualitasnya. Generasi X adalah generasi yang sudah matang dalam sisi realitas, sehingga kehidupannya tidak terlalu bergantung pada teknologi. Sementara generasi Y masih idealis dan imajinatif, disamping itu generasi ini mengandalkan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya. tiada hari tanpa kuota internet.
Tanggungjawab sosial generasi X adalah membangun peradaban yang lebih baik, dengan kesadaran makna terdalam dari kehidupan ini. Membangunkan spiritualitas pada cangkang-cangkang kosong, Tetapi kenyataannya upaya ini terseok-seok, sebab generasi Y sudah memenuhi ruang disetiap lini kehidupan ini. Seharusnya generasi X membangun jalan setapak agar generasi berikutnya bisa berjalan dijalur yang tepat, generasi Y memodifikasinya menjadi bercabang-cabang jalan setapak. Mereka ini menandai setiap momen, mulai dari politik, keagamaan, gaya hidup, pekerjaan, pendidikan dan kesempatan-kesempatan, semua itu mereka mutakhirkan sedemikian rupa.
Melihat kecenderungan generasi Y yang memenuhi setiap lini itu, generasi X menjadi generasi yang acapkali merasa tertinggal, akhirnya merekalah yang terbawa arus. Disisi lain beberapa hal yang menjadi landasan bahwa mereka tertarik dengan generasi Y adalah, karena masifnya mereka dalam memenuhi ruang-ruang itu, tampak semangat, muda, melompat-lompat, menciptakan isu dengan cepat. Paradoksnya adalah bahwa sebenarnya realitas generasi Y lemah, sebab tak punya basis dasar spiritual yang kuat.
Dalam gerakan-gerakan yang menjadi kebijakan atau kepentingan generasi X, dimasa demokrasi modern ini, kebutuhan dukungan dari lapisan masa sangatlah kuat, maka, volunteer terbesar bagi mereka adalah mendapati dukungan generasi Y, alias Milenial. Tetapi, bermain dengan spiritualitas yang rentan sebab akarnya kurang kuat, apakah bisa membangun peradaban yang mampu menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan kita?
Cibubur, 13 September 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Kecenderungan media sosial: menjadi hater
Saya memantengi time line twitter berjam-jam, membaca status banyak orang yang saya follow. Sebagian memang orang-orang terkenal, entah itu politikus, rohaniawan atau para artis. Ada banyak berita menarik setiap harinya, disamping itu saya bisa membaca hal-hal yang ditulis orang-orang itu. Saya mengira tulisan mereka adalah buah pikiran dan perasaan mereka pada saat itu.
Saya ingat sebuah nasehat bijak yang pernah seseorang katakan pada saya tentang tiga hal: pertama jangan berjanji pada saat sedang senang, kedua jangan memutuskan sesuatu pada saat sedang kecewa dan ketiga jangan cepat menjawab ketika sedang marah. Teman saya bilang 'mudah-mudahan hal ini bisa berguna dalam menjaga perilaku kita pada orang lain.'
Media sosial adalah dunia antah berantah. Sebuah dunia diluar dari realitas sesungguhnya. Ia diciptakan sebagai penghubung antar manusia agar merasa lebih dekat, lebih mengenal satu sama lainnya dan lebih cepat menukar informasi. Kenyataannya media sosial sudah dipenuhi orang-orang pengecut, mereka menitipkan segala ide yang dilontarkan melalui mesin-mesin elektronik dan menyebarkannya melalui akun-akun tak dikenal lalu sembunyi. Tidak semua memang, tetapi yang tidak banyak itu yang paling berisik.
Dahulu, para orang tua kita mengajarkan pada anak-anaknya untuk tidak saling membenci dan dibenci, "ingat nasehat bapak, janganlah membenci siapapun dan ingat berdaya upayalah agar tidak dibenci orang,sekalipun tidak semua hal mereka akan suka pada apa yang keluar darimu, jangan sampai kamu dicerca orang. Mudah-mudahan agar tidak sampai bala terhadapmu" begitu yang disampaikan guru ngaji saya di pesantren. Tentu saya ingat betul kalimat itu untuk saya bawa pada perilaku sehari-hari, setidaknya saya mengupayakannya, sekalipun tak juga berhasil sempurna.
Zaman ini hal-hal tabu semacam itu mengabur ditengah hiruk-pikuk, di media sosial beberapa tokoh yang saya sering lihat di televisi melontarkan semacam sinisme pada yang lainnya dalam bentuk yang mereka anggap kritik (saya enggan menyebut itu kritikan karena kadang mengandung provokasi kebencian dan celaan). Yang, sudah barang tentu diikuti oleh para penggemarnya, tetapi sebagian lainnya membalas cela dengan cela. Tampak tak jauh beda. Semakin kontroversial mereka, semakin mereka menjadi bahan celaan, bahkan mereka menganggapnya sedang membawa misi kebenaran yang barangkali saja hanya dalam tempurung kepala mereka sendiri. Anehnya, kelihatannya mereka menikmatinya.
Ketika kakek saya hendak meninggal, waktu itu sudah dalam keadaan sakit, ia mengabarkan pada tetangganya 'sesiapa yang pernah disakiti olehnya, baik sengaja ataupun tidak, kiranya dimohonkan maaf secara tulus', begitulah ajaran nenek moyang kita dahulu. Tidak ingin melukai perasaan siapapun apalagi menyakitinya. Bahkan nalar seseorang yang terbataspun, punya nilai baik mengenai hal itu.
Tapi zaman sudah berubah. Adab berada dibibir jurang, ia mau runtuh. Dunia kini berbalik-balik, di media sosial orang menyukai celaan, mereka anggap sedang berjuang dan memiliki nilai ibadah, celakanya tanpa mereka sadari. Hal itu terjadi di media sosial yang notabene minus tatap muka, sehingga ketika mereka tidak menyukai hal dan marah, mereka cepat menjawabnya. Apa bedanya mulut dan (saat ini) tangan mengetik? Tak ada beda. Kita akhirnya jadi lebih sering membaca luapan emosi daripada mendengar nasehat mengenai kesabaran.
Pertanyaannya adalah: apakah kepala kita baik-baik saja?
Cibubur, 14 September 2018
1 note · View note
agusgoh · 6 years ago
Text
Kecenderungan media sosial: membangun citraan
Teman saya mempunyai banyak follower di instagramnya nyaris lima ribu orang lebih. Album di instastorynya berderet-deret dengan tema-tema keseharian yang menarik hati. Captionnya tidak terlalu buruk, sekalipun tidak juga bisa dikatakan bagus, seperti membagikan quotes bijaksana, mengcapture tema orang lain lalu mengomentarinya, memposting photo apa yang dimakannya hari itu, photo berbagai acara dengan rekan-rekannya, membagikan acara keseharian dan kadang mengomentari hal-hal yang berkaitan dengan iklim politik saat itu. Ia menyimpannya dalam album yang sangat rapih. Bahkan feednya juga terlihat menarik hati.
Kadang-kadang dia berphoto bersama anjing peliharaan temannya, kadang juga dengan sederet tools macbook pro, iphone X, jam Daniel Wellington, kamera pocket, dompet Zarra, kunci mobil VW golf, kacamata, buku terbaru dan ipad, dijejer sama sisi agar terlihat rapih membentuk kotak. Ia biasanya memphoto dari atas, rapih dan keren. Kemudian dia membuat caption seperti 'my tools' atau semacam 'hari ini terlalu banyak pekerjaan, teknologi salah satu alat daya ungkit agar lebih mudah menyelesaikannya'.
Hal seperti ini sering saya temui di media sosial, kita bahkan tidak tahu apakah photo itu benar miliknya atau bukan? Bahkan kita tidak tahu siapa dia? Bagaimana kesehariannya? Apa yang diharapkan dari para followernya. Tetapi bahkan, kita tidak juga mau unfollow ketika sebuah postingan kadang menyebalkan. Hal baiknya adalah bahwa kita terbiasa dengan cara pandang orang lain yang berbeda dengan kita.
Disatu sisi kita akan menemukan hal-hal yang sungguh fundamental, bahwa media sosial mengajarkan seseorang untuk membangun citraan. Citraan itu sungguh yang tampak dipermukaan, kita menghadapi wajah-permukaan terlalu banyak. Sebagian besar barangkali, secara spiritual kering. Paradok yang bisa dilihat adalah dengan banyaknya teman di media sosial, seseorang bisa saja tidak punya sahabat, akhirnya dia mengadopsi binatang peliharaan untuk kemudian bersahabat lekat dengannya. Padahal populasi dunia semakin meningkat setiap harinya.
Ada kalimat satir yang mengatakan seperti ini: "saya khawatir, suatu hari nanti ketika teknologi bertabrakan dengan kemanusiaan. Pada saat itulah dunia akan memiliki generasi yang bodoh", entah itu perkataan Albert Einstein atau bukan, tetapi pesan dari kalimat itu jelas, bahwa teknologi bisa saja mengaburkan pandangan kita mengenai kemanusiaan. Hal yang paling tampak adalah bahwa kita semakin jauh dari realitas, padahal bahkan, kenyataan itu ada disekitar kita.
Apakah framing media sosial yang kita bentuk itu adalah realitas? Tentu saja, tetapi sudah dipoles sedemikian rupa hingga menciptakan daya imajinasi yang berlebihan tentang sesuatu, bahkan lebih berkesan imajinatif daripada kenyataannya, kebanyakan model citraan seperti ini sebenarnya hanya mengambil plot dari sisi yang berbeda saja, yang bertujuan membangun pandangan berbeda dari viewernya, seperti membangkitkan emosional, memanjakan mata, mengobarkan semangat dan perasaan yang ditebarkan, membumikan hal-hal heroik, membanggakan hedonisme dan menyebar jaring-jaring pujian.
Lalu apakah citraan itu buruk? Inilah yang kemudian selalu menjadi alasan mengapa golongan eksistensialis terus 'mengada' dirinya sendiri bersama komunitasnya. Jika sebuah hal kita tolak, bahkan, itu sama artinya dengan mengakui keberadaannya. Tentu saja hal itu menjadikan dirinya ada bersama penolakan itu. Maka buruk atau baik itu bukan takaran seimbang untuk hal ini. Sebab hal itu akan kembali pada tujuan-tujuan tersembunyi bagi pembuatnya.
Kenyataannya bahkan ketika seseorang memposting sesuatu hal yang bisa dikatakan 'keterlaluan', 'hoax' atau bahkan 'terlalu tabu untuk diungkap'kanpun, ketika diposting berulang-ulang dan menjadi isu, hal ini menjadikan eksistensinya meningkat. Ia mengada bersama hal itu dan kita tidak bisa membendungnya sekalipun hal itu terlalu liar.
Citraan-citraan itu dibangun dengan asas tujuan terselubung. Tentu saja tujuan terselubung itu tidak bisa kita intervensi kecuali indikatornya terlihat jelas. Kita akan bisa mengintervensi hal itu ketika bertabrakan dengan disiplin-disiplin sosial yang ada seperti hukum, adat setempat dan yurisprudensi agama. Yang menjadi kekhawatirannya adalah bahwa citraan itu memiliki dampak sosial
Cibubur, 15 September 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Gerombolan demokrasi
Saya melihat sekarang banyak sekali orang bergerombol, mereka menekan para pemangku kebijakan agar menyesuaikan keinginannya. Gerombolan itu tentu menciptakan asumsi-asumsi ditengah masyarakat, belum lagi isu yang sengaja disebar, baik dari gerombolan maupun dari pemangku kebijakan. Akhirnya muncullah berita-berita berseliweran dengan akurasi kebenaran berita yang entah.
Ditengah hiruk-pikuk, isu menjadikan anak panah dengan api terbakar, bisa jadi ia membakar segala. Setelahnya tidak ada yang bisa bertanggungjawab, tetapi bisa dipastikan baik gerombolan maupun pemangku kebijakan akan terbakar pula.
Baiklah, demokrasi adalah sebuah sistem yang diadopsi oleh banyak negara, termasuk indonesia. Dari berbagai sistem yang mungkin diterapkan dibanyak negara dengan kemungkinan pengawasan yang paling bisa diterima oleh semua kalangan barangkali sistem demokrasi. Sebab ia menciptakan ruang kemungkinan siapapun bisa memiliki andil dalam membangun tatanan nilai kebangsaan dan kawasan. Syaratnya cukup satu, dia dipilih oleh banyak kalangan. Menurut Abraham Lincoln begini: "Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat", bagus bukan? Kita menerima ini sebagai salah satu hal positif dalam membangun keadilan ditengah masyarakat.
Saya kira, gerombolan disini bukan kata yang negatif. Tetapi ruang berkumpul bagi kawanan dengan satu tujuan untuk menyuarakan aspirasi. Saya kira itu baik, tetapi semakin ruang kebebasan (dalam berdemokrasi) itu menjadi terbuka lebar, semakin pula siapapun boleh bersuara. Siapapun!. Apalagi dengan teknologi yang semakin maju, wadah-wadah yang menopang isu apapun bisa disuarakan melalui akun-akun pribadi. Entah benar atau tidak, tetapi setiap orang pada akhirnya menjadi tidak terbatas dalam mengkonsumsi suara-suara pihak lain. Suara-suara itulah yang menenggelamkan suara hati sendiri.
Dari banyaknya suara-suara yang tersebar didunia ini, suara gerombolanlah yang memicu banyak sekali perdebatan. Sebab suara terbanyak harus dikelola untuk diperhatikan dengan baik, jika tidak akan merusak kestabilan sosial. Melalui ruang demokrasi menjadikan suara terbanyak adalah aspirasi yang bisa menimbulkan banyak dampak, bahkan kekuasaanpun dibuat melalui suara terbanyak, begitupun ketumbangannya. Maka ide menekan kebijakan itu akhirnya menjadi manfaat balik bagi gerombolan untuk kemudian dimanfaatkan dalam isu-isu yang dibawanya.
Apakah hal itu buruk? Tidak. Tetapi yang jadi persoalannya adalah bahwa apakah aspirasi itu keluar dari rahim kebenaran? Bagaimana jika suara terbanyak itu keliru? Bisa jadi gerombolan itu hanya ikut euforia semata. Maka, yang terjadi sekarang adalah acapkali kebenaran ditafsirkan dari banyaknya suara!?
Cibubur, 21 Sept 2018
0 notes
agusgoh · 6 years ago
Text
Ideologi diatas awan
Sejarah menemukan pangkal permulaan sebuah kejadian. Ketika mempelajarinya kita akan bisa menemukan tujuan sesungguhnya dari gerak laku sejarah. Bisa jadi kita akan menemukan asal-usul dari sebuah kejadian, jika tidak, kita akan tahu apa yang sebaiknya kita perbuat untuk hidup berikutnya. Rentetan sejarah seperti juga sebuah estafet manusia dari masa lalu yang saling terhubung dari masa ke masa, saling menambal ruang-ruang kosong, hingga menyempurnakan pandangan dunia terhadap apapun yang dialami saat ini. Jika dahulu penemu menciptakan karya, tentu generasi selanjutnya yang menyempurnakannya. Begitulah estafet perkembangan dunia, tidak serta merta mewujud. Maka satu dengan yang lainnya akan saling terhubung.
Jika sejarah teknologi selalu berinovasi dari zaman ke zaman dan menemukan pola pembaharuan melalui generasi berikutnya, ideologi lain cerita. Ideologi di masa penciptaannya punya peran originalitas intelektual. Ideologi bersel satu. Maka ketika dilindap zaman, ideologi mencari-cari arah pulang, kembali pada bentuk sesungguhnya. Bedanya, hanya penerapan peradaban masa lampau dan masa sekarang.
Tetapi ada banyak orang memiliki pandangan dinamis dalam menularkan ideologi, mereka menciptakan formula yang tidak statis, maka ideologi yang diadopsi dari bentuk originalnya itu dikembangkan menjadi sedemikian rupa, sehingga turut berpartisipasi dalam kehidupan sekarang. mereka itu adalah para pembaharu, yang berprinsip melestarikan budaya lama yang baik dan menjadikan budaya baru sebagai bagian dari frame masa lalu. Mereka berpegang teguh pada akar yang kuat.
Sebaliknya ada pandangan sebagian masyarakat yang kaku dan keras, mereka adalah pemilik jiwa-jiwa yang gelisah. Hal ini disebabkan pandangan sempit mereka mengenai ideologi. Bahkan, mereka tidak bisa membedakan mana ideologi dan mana agama. Kadangkala dalam aplikasinya lebih sering bertabrakan, hal ini malah menjadikan mereka seperti tengah memaksakan kehendaknya atas pandangan yang mereka adopsi. Justeru karena pemaksaan kehendaklah, ditangan mereka dunia terlihat tidak tenang.
Gagasan yang mereka bangun dengan fondasi yang rapuh karena text book thinking, menjadikan tujuan-tujuan mereka utopia. Bahkan, pergerakan mereka semakin mengaburkan pandangan banyak orang, alih-alih mencari simpati masyarakat, malah berkesan keras dan suram. Hal ini karena mereka tertolak dari prinsip dan kesepakatan pada umumnya.
Bagian yang mungkin menjadi penetrasi yang paling mudah adalah, menjadikan agama sebagai beranda depan, hanya agar terlihat design yang, bahkan orang awampun, akan sangat menghormati simbol-simbol agama. Ini adalah salah satu cara agar bisa mengelabui. Tetapi ketika kita melihat pola dasar dari gerakan ideologi diatas awan ini adalah, bahwa mereka terlampau memimpikan langit, sementara mereka masih berpijak diatas bumi. Itulah mengapa tujuan-tujuan mereka utopia.
Awal mula sengketa adalah pemaksaan kehendak, maka cara mereka memaksakan ideologinya menjadi sengketa yang akan merusak kesepakatan umum.
Cibubur, 10 September 2018
1 note · View note
agusgoh · 6 years ago
Text
Bunga merah media sosial
Media sosial itu berisik, dipertontonkanlah jiwa-jiwa gelisah. Para pelaku medsos berbicara dalam hati bersahut-sahutan dalam berbagai tulisan dan gambar-gambar, menempa kepala setiap orang yang membacanya, bahkan tanpa tahu kebenaran sesungguhnya. Medsos itu melalap semua orang.
Dalam film the Jungle Book yang diangkat dari karya Rudyard Kipling,mengisahkan tentang cerita fabel, dimana semua hewan merasa menjadi rantai makanan nomor dua setelah manusia, karena manusia memiliki 'bunga merah' (sebutan para hewan untuk api). Api menjadi senjata paling ampuh dalam menundukkan hewan lainnya, jika manusia bisa berkuasa atas kawanan hewan, itu disebabkan manusia bisa menciptakan bunga merah. Para hewan juga ingin memilikinya seperti halnya manusia, agar bisa berkuasa ditengah hutan. Hanya mereka tidak punya pengetahuan untuk menciptakan bunga merah.
Terminologi media sosial bisa saja disamakan dengan bunga merah alias api untuk era sekarang. Bisa jadi pemilik media sosial dengan pengikut banyak, seolah-olah memiliki bunga merah seperti dalam film The Jungle Book. Dengan memiliki api, bisa saja segala sesuatu terbakar, bahkan hutan luas sekalipun.
Asumsi-asumsi para pemilik akun itu belum tentu benar, mereka melemparkannya keluar seperti bola api dilempar begitu saja, sebagian menjadi terbakar, sebagian berupaya memadamkan api sebisanya. Tetapi, sifat api yang mudah merembet berbeda dengan air yang mudah merembes. Kejar-mengejar. Kamu bisa pastikan dengan angin secukupnya, hutan luas bisa saja terbakar. Hutan menjadi kobaran, maka sejak saat itu, boleh jadi para penduduk didalam hutan menjadi gelisah, karena gelisah maka timbullah asumsi-asumsi baru, bukan berdasarkan kenyataan.
Maka perang urat syarafpun dimulai, saya kira asal-muasal huru-hara dimuka bumi itu dimulai dengan perang syaraf yang menular menjadi saling mencurigai satu sama lainnya. Hingga seperti yang dikatakan Kyai Husein Muhammad "Kita melihat betapa masih banyak orang yang amat sulit memberi tempat 'untuk orang lain',apalagi menyambutnya."
Hal yang paling dekat dalam interaksi sosial adalah bersikap menyambut tetangga dengan kasih sayang dan penghormatan, mempersilahkan para tamu berkunjung ke rumah kita. Persoalannya, akun medsos dalam kacamata sebagian orang bukanlah rumah seperti 'rumah sesungguhnya', para pemilik akun itu tidak akan menyambut kamu layaknya tamu. Suka silahkan follow, tidak suka silahkan unfollow. Tidak ada kedekatan emosional, sebab mereka bertinteraksi tanpa bertemu secara substantif.
Jadi, mau bagaimana kita bisa menyandarkan media sosial sebagai sarana 'saling mengenal?' sementara setiap orang menjadi 'gaib?'
Cibubur, 26 Sept 2018
0 notes
agusgoh · 8 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes
agusgoh · 9 years ago
Quote
Cobaan terberat bagi kita adalah apa yang kita miliki sekarang; sekalipun kita tau bahwa itu semua milik Tuhan, kenyataannya adalah, kita nggak pernah benar-benar siap untuk suatu kehilangan.
0 notes
agusgoh · 10 years ago
Text
Ketika Musim Tiba
Di musim panas, kerak tanah mencipta debu, jika ia menguap dan terhirup dalam nafasmu; bisakah hatimu tidak sekotor itu?
Di musim kata-kata, kita enggan menjilat ludah sendiri, bahkan kelirupun; tapi, bisakah kamu menahan diri sebentar?
Pada musim yang lain kita enggan bicara; baguslah; tetaplah menjadi diam hingga daun berguguran sendiri.
Goh/jakarta/24/8/2015
0 notes
agusgoh · 10 years ago
Text
Tekad /Surat buat RR /goh
Jika nanti kamu jadi istri keduanya Tetaplah berpegang pada cinta. Cinta padanya, cinta istri pertamanya, cinta pada anak-anaknya dan cinta pada keluarganya. Sungguh, tak ada yang menghalangi cintamu. Bahkan apa yang membuatmu malu dan cemburu.
Pada gejolak yang entah dari mana datangnya. Tetaplah menjadi anggun, bahkan ditengah bara api sekalipun. Dan keinginan hatimu untuk ditemani, kesederhanaan itu bukanlah hal mudah bagimu. Maka, seperti mata berpendar; begitulah cintamu.
Tetaplah menjaga senyum, sebab ia memekarkan hati. Tetaplah menjaga cinta, sebab ia membuktikan kesungguhan hatimu. Tetaplah bersungguh-sungguh, sebab ia menjaga tekadmu. Tapi tentu, tekad yang kuat tak kan menembus dinding takdir. Maka tetaplah menerima keadaannya.
Kita selalu hanyut dengan kondisi saat ini, karena roman. Tapi kita punya masa depan. Tetaplah berfokus pada masa depan itu, sekalipun entah. Diantara banyak sekali perasaan yang kamu pilih, mungkin kenyamanan dirimulah yang kau tuju. Tapi selalu saja, kenyamanan bukan berarti baik bagimu.
Dan tentu, karena dia bukan sepenuhnya milikmu, dia juga tidak sepenuhnya untukmu.
/2015
0 notes
agusgoh · 10 years ago
Text
Kehilangan harapan (1) /goh Aku melihatmu, belum ada yang baik Kecuali kamu seorang pramugari biasa Kamu senyum, sungguh itu senyum yang biasa. Kamu juga tidak melakukan apapun; Kecuali untuk dirimu sendiri. Aku mungkin gagal fokus, atau barangkali dia. Tak ada pertanda, tak ada sinyal, tak ada apapun. Tapi aku ingin memperjuangkannya. Sekalipun kamu tidak begitu. Kamu akan meminta dan menerima. Tak ada terima kasih; kecuali sedikit. Tapi aku ingin menemanimu. Kamu bahkan, tak peduli itu. Aku mungkin harus agak caper. Aku menawarkan harapan masa depanku padamu yang entah. Aku ingin kamu percaya dan mendorongku. Tapi tidak; kamu hanya akan mendorong dirimu sendiri melalui aku. Aku ingin percaya padamu; tapi tidak, mungkin tidak sekarang. Aku mungkin harus menahan. Jadi aku akan berusaha, hingga Aku sendiri berhenti. Kapanpun.
0 notes
agusgoh · 10 years ago
Text
Kehilangan harapan /goh Aku melihatmu, kamu melihatnya. Aku tertarik padamu, kamu tertarik padanya. Aku ingin mengenalmu, kamu ingin mengenalnya. Aku ingin berjabat tangan denganmu, kamu ingin berjabat tangan dengannya. Aku merasa kehilangan kesempatan. Aku ingin bicara padamu, kamu ingin bicara padanya. Aku ingin mengabari hari-hari padamu, kamu mengabari aktifitasmu padanya. Aku ingin becanda denganmu, kamu ingin becanda dengannya. Aku ingin membuka hatiku padamu, kamu ingin dia membuka hatinya padamu. Aku merasa sendirian. Padahal kamupun begitu. Aku ingin melihat wajahmu, kamu ingin melihat wajahnya. Aku ingin setiap hari memujimu, kamu setiap waktu memujinya terus. Aku ingin berbagi harapan masa depan denganmu, kamu terbuai keadaan saat ini. Aku ingin kita sederhana, kamu ingin banyak hal: ukuran-ukuran itu. Aku tak ingin jauh darimu, kamu tak ingin dia jauh darimu. Aku serba salah. Lalu aku kehilangan harapan... Karena itu, sebaiknya aku pergi tidur. /jakarta,4 September 2015
0 notes
agusgoh · 10 years ago
Text
Terompah Terompah. Sulit sekali mengenali suaranya; ia berdetak-detak. Nyaring. Sampai kedalam hatiku. Ia mengganggu degupku. Barangkali saja di hatimu tidak. Suara-suara itu akan senyap Dan dingin. Kau apakan hatimu, hingga tak mengenali suaranya? Padahal setiap malam, ya, setiap malam Aku sentuh-sentuh hatimu dengan doa. Goh/jakarta/24/8/2015
0 notes