Tumgik
akarliar · 2 years
Text
It's better this way, a little lonelier but better.
7 notes · View notes
akarliar · 2 years
Text
Kapan Harus Menikah?
Menikah adalah the least thing i could think of in my early 20s. Lol 2 more years until i’m 30.
Waktu gue umur 23 tahun, temen-temen gue semuanya ngomongin nikah dan nikah. Pas gue tanya, “kenapa harus menikah?” jawabannya biasa aja, masih seputar “karena wajib dalam agama” atau “takut dosa lama-lama pacaran” ya udah lah ya itu terserah mereka tapi gue pengen jawaban yang lebih meyakinkan dan bersifat realita.
Di sini lah perjalanan gue mencari arti pernikahan dimulai. Gue percaya dalam Islam pernikahan aja sudah diatur tapi kembali lagi, gue menginginkan jawaban yang meyakinkan hati gue sebagai manusia biasa yang imannya kadang naik kadang turun.
Lalu, tiba-tiba gue udah 25 tahun ketika itu dan masih single. Satu per satu temen-temen gue pun menikah. Ntah udah berapa kali jadi bridesmaid, uhmm 6 kali? Ya selayaknya orang yang sudah menikah, sekarang mereka sudah memiliki anak.
Sekarang usia gue 28, masih tetep sendiri seperti tiga tahun lalu. Satu hal yang gue pelajari tentang pernikahan milenial ini, temen-temen gue yang perempuan rata-rata struggling to express themselves in front of their husbands. Suami-suami mereka punya kecenderungan nyuekin perasaan perempuan. Mungkin karena laki-laki kurang peka dan lebih mengutamakan logika kali ya.
Salah satu temen gue ada yang kalau mau baper pasti ke gue instead of her husband, suaminya kalau dicurhatin jawabannya, “kalau mau ngeluh jangan ke aku. Aku bukan tempatnya” atau ada juga yang suaminya bilang, “positive thinking aja, jangan apa-apa dibaperin”
I was like.. what?? trus istri-istri ini dianggap apa?
Yang gue sadari, as i get older, kita itu semakin baperan bukan semakin santai. Perempuan sih khususnya.
Sampai suatu hari di tahun 2020, gue main Tinder dan ngobrol sama satu cowok. Akhirnya jawaban atas doa gue datang setelah kurang lebih 4 tahun gue meminta kepadaNya.
Eitsss bukan berarti gue menikah dengan dia ya hahaha.
Jadi suatu malam ketika gue swipe right laki-laki ini, berlanjutlah dia menjadi temen chat gue selama sebulan.
Kita memiliki kesamaan, sama-sama bingung dengan karir kita di masa depan. He was close to 30 tapi gak happy dengan kerjaan dia di perusahaan konstruksi.
Malam itu, bayangin aja kita chat dan membicarakan satu dekade kehidupan kita. Ternyata kita memiliki similar penyesalan, achievements dan kegagalan yang we had been through for the past 10 years! Sampai-sampai kita memiliki cara pandang yang sama mengenai sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama hahahaha.
Chat dengan dia membuat gue sadar bahwa, betul wanita hanya ingin didengar. Wanita hanya ingin memiliki pasangan yang bisa membuatnya merasa aman. Wanita hanya ingin bercerita dan membuat dadanya merasa lega.
Dari dia, gue berfikir bahwa suami gue kelak harus melalui hal yang sama seperti yang sudah gue lalui. Kesepian, penyesalan, pengorbanan dan pencapaian.
Dari dia, gue menyadari bahwa, ketika laki-laki mengungkapkan kelemahannya, gue melihat kekuatannya. 
Dari dia, gue melihat bahwa laki-laki yang masih bingung dengan masa depannya tidak membuat dia menjadi orang tanpa tujuan. Di situlah gue menemukan semangatnya.
Dari dia, gue menginginkan laki-laki yang bisa menjadi rapuh di depan perempuan bukan karena dia membutuhkan belas kasihan, tapi dia percaya bahwa gue adalah wanita yang membuatnya merasa aman untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Dari dia, gue belajar bahwa apakah yang dilalui oleh kita dalam kehidupan ini telah membuat kita menjadi orang yang memiliki rasa welas asih dan empati yang tinggi terhadap orang lain.
Dari dia, akhirnya gue menemukan alasan kenapa gue siap menikah.
Kembali lagi ke pernikahan milenial, temen gue akhirnya mengatakan bahwa, “gue tuh dulu gak tau menikah bakal jadi kayak gini. gue gak nyangka ekspektasi suami ke gue tinggi sebagai seorang ibu dan istri. gue gak nyangka ternyata cinta aja gak cukup. Gue mau single kayak dulu lagi, lo puas-puasin ya masa single lo”
Wow to be honest ya, gue udah mikirin itu semua (yang temen gue katakan) dari duluuuu ketika mereka pengen menikah.
Memang gue jago di teori pernikahan aja ya, tapi akhirnya gue tersadar, gak papa kalian belum nikah. Temukan dulu apa makna menikah menurut diri kalian. Rencana Tuhan selalu indah untuk umatnya dan gue percaya itu.
Titik terendah dalam hidup gue di usia 26 dan 27 tahun. Temen-temen gue yang nikah antara 23 dan 25 juga mengalami titik terendah di usia yang sama kayak gue, bedanya dia udah menikah dan suami mereka tidak membantu menyelesaikan masalah-masalah temen gue. Ada temen gue yang sampe nelfon ibunya ketika mengalami post-partum dan secara bersamaan suami kurang peka, “mah aku gak kuat ngurus anak, aku bisa nyakitin diri sendiri kalo begini terus” setelah itu, nyokapnya dateng ke rumah dia dan tinggal untuk sebulan. Gue gak nyangka bahwa tidak didukung oleh suami ketika melalui post partum bisa membuat orang semarah dan seputus asa itu.
Kalau kalian yang baca ini masih di bawah usia 25 tahun, please go find yourself first. Temukan makna kehidupan ini dengan langkah kaki kalian sendiri. Gagal dulu, sedih dulu dan bahagia dulu. Temukan cara kalian keluar dan bertahan dari masalah kalian. Inget, di usia 25 tahun ke atas, masalah itu akan ada di kehidupan kita bukan sebentar tapi bisa berbulan-bulan bahkan menahun. 
Gue gak nyuruh kalian buat gak nikah muda ya, tapi beneran deh, temen gue yang nelfon nyokapnya itu menurut gue dari segi agama bagusan dia dibanding gue. Tapi kita gak bisa mengukur orang dari tampilannya. Setiap orang memiliki battle you know nothing about.
Dan ini hal baru yang gue tambahin dalam list kriteria suami gue, mereka harus aware sama mental health issues. Ini bukan hal yang tabu untuk dibicarakan lagi, mental health ini menyerang orang dari berbagai macam latar belakang dan usia. Apalagi kita hidup di zaman sosial media dan pandemi seperti sekarang ini.
Menikahlah ketika kalian udah bisa menerima sifat paling buruknya dia. Menikahlah karena kalian sudah tau hak dan kewajiban kalian sebagai suami/istri dalam agama masing-masing. Menikahlah karena kalian sudah mampu secara emosional dan mental.
Untuk kalian yang sudah menikah dan telah atau sedang melalui masa sulit, kalian hebat. Bertahan dan berjuang untuk keluarga ya! 
Untuk kalian yang masih menunggu belahan jiwa, semangat ya! Aku juga kok. Inget ya, menikah ketika kalian sudah bertemu orang yang tepat. 
761 notes · View notes
akarliar · 2 years
Text
Kadang aku iri dengan orang yang punya kestabilan emosi yang baik. Pasti di sekitar dia ada banyak orang yang memang suportif, sehingga dia bisa merasa aman dan nyaman untuk mengekspresikan emosinya. Sedangkan aku di umur sekarang masih belajar tentang bagaimana cara menyalurkan kekesalan, kekecewaan, bahkan suka cita. Ya, dan jenis emosi lainnya. Tapi dengan kesadaran tersebut aku jadi lebih bisa menghargai diri sendiri. Misal, dulu saat aku sedang kecewa atau kesal terhadap sesuatu, akan selalu muncul dorongan dalam diriku yang mendesakku untuk meledakkan emosi-emosi itu. Sekarang, aku jadi lebih bisa untuk mengontrol semuanya. Sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan. Begitu juga saat aku menghadapi kegagalan. Aku jadi tidak terus menerus menghakimi diri sendiri bahwa ketidakberhasilan itu adalah karena salahku, semuanya. Karena aku mulai mengerti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran juga dalam berhasil atau tidaknya usaha yang ku lakukan. Tak bisa dipungkiri. Upaya yang bisa kulakukan adalah menyembuhkan luka yang timbul karena berbagai macam hal di masa lalu. Pola pengasuhan dan perilaku orang tua yang membuat trauma, misalnya. Aku juga sudah berjanji untuk terus menemani diriku sendiri. Aku akan syukuri dan rayakan setiap progres yang aku buat. Tak peduli besar atau kecilnya. Meski mungkin bila dibandingkan dengan yang lainnya jalanku terhitung lambat, tapi tak apa. Everyone has their own process, right? Well, biarkan aku sembuh dulu. Biar ini semua cukup berhenti di aku.
3 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Belajar untuk menaruh keyakinan lebih tinggi daripada harapan. Karena dalam harapan artinya ada tuduhan: mungkin tercapai dan mungkin tidak tercapai. Kita semua tahu siapa yang dituduh.
6 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
It's about surviving myself, my pain, my suicidal thoughts, my self hatred, my remorse, my guilt, my grief.
5 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Belakangan ini saya menyadari bahwa untuk sampai pada titik ketercapaian mimpi —bagi sebagian orang, adalah sebuah proses perjalanan panjang.
Saya harus jujur pada diri saya sendiri. Apa yang sebenarnya saya mau, untuk apa saya harus sampai ke sana, bersediakah saya untuk menanggung risiko dalam proses mewujudkannya?
Saya paham, hadirnya masalah dalam hidup itu memang sejatinya untuk mengubah saya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Dan benar, saya kira pola pikir saya saat ini menjadi jauh lebih sederhana. Dulu saya kira untuk menjadi berarti, saya harus menjadi seseorang yang besar terlebih dahulu. Harus punya pencapaian ini dan itu. Tapi ternyata menjadi nonsignifikan itu tidak membuat saya menjadi tidak berarti.
Bukan. Bukan saya kehilangan mimpi, atau menyengaja menguburnya. Tapi realita yang saya temui memaksa saya untuk pintar membaca pesan —yang hendak Ia ajarkan. Beberapa hal memang bisa terlihat hanya ketika saya mencoba untuk menjadi perlahan.
Dan untuk saat ini, berdiri di atas kaki sendiri adalah tujuan. Sebelum bisa menopang banyak orang, sebelum mampu diberi banyak peran.
6 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
"Allah bakal ngasih aku waktu sampai kapan, ya?", adalah pertanyaan yang seringkali muncul tiap hendak tidur malam.
7 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
"Sometimes healing does not mean reconnecting with those who hurt you."
"Even if you love them?"
"Especially if you love them."
8 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Dan saya percaya, kamu adalah satu dari segelintir orang yang paling bahagia melihat saya mampu berdiri lagi, setelah banyaknya rasa sakit yang terlewati.
Makna ada, bukan hanya milik ia yang selalu ada di depan mata. Seringkali yang hanya bisa mengamati dari kejauhan justru ia yang paling tulus mendoakan, dan yang selalu percaya bahwa saya tak akan pernah kehilangan harapan, sesulit apapun keadaan. 
7 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Kadang kita lupa, bahwa ada orang-orang yang tak rela kita menanggung beban sendirian.
6 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Sudah tugas kita untuk menjadi sembuh.
6 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Ujung-ujungnya juga cuma bisa minta dikuatkan. Lagian kalau pas doa ngomong "Ya Allah, aku udah ngga sanggup", agak malu ya. Soalnya bagi sesiapa saja yang diberi ujian, pasti sudah sesuai dengan kadar kesanggupan.
Alhamdulillah juga, Allah selalu ada. Jadi ngga ngerasa sendirian. 🥰
18 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Abis dengerin sebuah podcast tentang self discovery journey. Ternyata dalam proses penyembuhan luka itu seringkali ada satu poin penting yang justru dilupakan.
Seseorang yang sudah melewati proses denial, marah, nangis-nangisnya, depresinya. Hingga tiba di saat ia merasa sudah sampai pada tahap tertinggi —menerima. Acceptence. Tapi kemudian ada satu momen yang membuatnya 'meledak' lagi.
Kemudian ia baru menyadari bahwa bisa jadi selama ini ada yang salah dengan pola penerimaan yang ia lakukan. Selama ini ia belum menggantungkan semuanya kepada Allah. Acceptencenya bukan ke Allah, tapi karena kesombongan kita sebagai manusia. "Aku udah tau semua ilmunya kok, udah ngelewatin semua fasenya juga. Berarti benar aku udah bisa nerima semuanya". Padahal ya bukan seperti itu. Lagi pula, kita yang lemah ini bisa apa sih tanpa pertolongan Allah?
Masalah itu tempatnya bukan di pundak kita, tapi masalah itu hanya perlu dikembalikan kepada Allah. Yah kita memang hanya manusia yang tidak sempurna. Maka mohonlah kepada Allah untuk melapangkan hati kita. Dan iqra', pintar-pintarlah membaca hikmah.
7 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
Berbesar hatilah, pada apa saja. Biar kamu bisa ngerasa senang. Saat kita mencoba untuk ikhlas, semua jadi lebih ringan, kan?
7 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
135
Kunci tenangnya hidup adalah dengan menerima, bahwa setiap dari kita hadir ke dunia dengan membawa garis takdir yang berbeda satu sama lainnya. Belajar hidup dengan penuh syukur akan membuat jiwa kita sehat. Jiwa yang sehat yaitu jiwa yang bahagia, jiwa yang positif, jiwa yang kuat.
Untuk mencapainya, kita harus meluaskan ruang penerimaan dalam diri. Menghindari rasa benci. Menanamkan rasa cinta pada diri sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya.
Hargai sekecil apa pun kekuatan yang kita miliki, tanpa membandingkannya dengan orang lain. Sadari bahwa kita hanya boleh merasa rendah di hadapan Yang Maha Besar. Lain dari itu, kita jangan merendahkan diri di hadapan orang lain, tapi tak perlu juga sampai tinggi hati.
Nikmati peran apa pun yang dipunya, lakukan yang terbaik yang kita bisa.
9 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
134
Aku sedang memulai hidup minimalis. Setelah pencarian panjang, ternyata memang ini yang selama ini aku cari. Serius.
Jadi ceritanya malam ini sedang kelelahan setelah tadi sore decluttering buku-buku dan berkas yang ternyata ada banyak yang sudah lama tidak terpakai. Hasilnya cukup memuaskan, setidaknya salah satu sudut kamar sudah terjamah.
Dari hal itu aku belajar dari pola hidup minimalism. I've learned to letting go hal-hal yang memang tidak memberi value terhadap hidupku. Hidup minimalis mengajarkanku untuk mensyukuri apa yang dipunya.
Mungkin ke depan aku akan sering bercerita tentang pilihanku ini. Jadi jangan bosan mendengar ceritaku ya, hehe <3
4 notes · View notes
akarliar · 3 years
Text
133
Belakangan ini sedang mencari tahu lebih dalam mengenai minimalism dan mindful life. Sangat menarik.
Sebuah pola hidup yang sederhana, tapi penuh makna. Dari situ aku paham bahwa salah satu kunci bahagia dalam hidup adalah dengan menjadi sederhana meski kau memiliki segalanya.
8 notes · View notes