Text
PERIHAL KAMBING
Apakah yang harus kita punyai, agar bebas dari ketakutan?
Hujan rintik-rintik turun, berbisik dengan atap. Hujan bulan Juni yang romantis, begitu pikir Is. Lebih enak seperti Saleh, pikirnya. Tidak berpikir terlalu dalam-dalam. Tidak merasa dengan hati dan jiwa terlalu dalam-dalam. Ambillah hidup seperti apa yang diberikan. Jangan bertanya-tanya. Bekerjalah seperti mesin__beri ponten__hukum anak-anak yang nakal__makan, tidur, membaca hot news__jangan marah atau mendongkol membaca berita-berita atau komentar.
Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat orang banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras ke luar dari macam-macam orang. Ia akan terluka hatinya, jika dikatakan padanya, bahwa perasaan yang di rasanya sekarang adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri dia tidak hendak mengakui, bahwa dia takut. Jalan-jalan kosong dan sepi. Membelok ke kanan, terus, ke kiri, ke kanan, terus dan terus, terus di jalan-jalan yang sunyi, kosong dan sepi. Jalan dalam hujan gerimis gelap, jalan berliku tidak habis-habisnya. Jalan tak ada ujung.
Ia tak luka suatu apa, tetapi karena terkejut dia tidak bisa berkata apa-apa. Mukanya yang pucat itu kosong menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dari segala pihak. Ia tidak bisa melukiskan perasaannya. Perasaannya, terutama perutnya. Dan dadanya sedikit sesak. Sekarang bukan karena berlari keras, tetapi karena menahan perasaan hatinya “Bu, takbir itu membuatku sesak. Malam-malam penuh penyesalan, detik-detik kepergianmu. Beberapa bulu mataku jatuh dalam waktu yang beruntun. Kambing sudah tak seenak dulu, kepalaku pening dan mual setiap kali benda itu masuk ke tubuhku”. Perasaannya kosong. Terutama perutnya. Dan dadanya terasa sedikit sesak menahan perasaan hatinya. Dia tidak tahu. Tapi apa yang di rasanya sekarang ialah reaksi yang lambat timbul dari perasaan ketakutan yang tertekan. Sekarang keluar semua dalam bentuk-bentuk yang lain. Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur, penghidupan yang semakin mahal, dan gaji yang tak pernah cukup.
Selama ini ia sungguh-sungguh manusia damai. Manusia penyuka damai dan penerima damai. Kekerasan manusia yang dialaminya hanya apa yang dilihatnya di gambar hidup atau dibacanya dalam buku-buku. Banyak orang yang juga tidak pernah berkelahi, tapi dalam mimpi-mimpinya acap membayangkan dirinya menjadi orang gagah pemberani. Menang bertinju, pintar memasak, jadi detektif atau kepala polisi yang gagah berani, dan sebagainya. Seluruh malam itu Is merasa sepi sekali. Hanya seorang diri dalam gelap jagat. Seorang pun tiada tempat menyangkutkan jerit hatinya.
“Engkau coba melangkah sekali lagi Is. Biarkan perasaanmu membawamu hanyut membumbung tinggi. Jangan engkau berpikir-pikir lagi. Tenggelamlah ke dalam jiwamu. Engkau bisa!” begitu katanya pada dirinya sendiri. “Aku masih terikat oleh dunia tempat aku dari kecil menjadi besar. Aku terikat kepada hormat dan patuh anak terhadap ayahnya, kepada ketertiban seseorang dalam masyarakat, pada kepercayaan kesetiaan berkawan. Aku masih terikat pada perasaan apa yang akan dirasa dan dipikir orang lain terhadap diriku”. Tetapi dia tidak sanggup. Itu semua juga derita jiwanya. Harapan-harapan hatinya yang melambung, kemudian terbanting, melambung kembali, dan terbanting kembali, lebih kejam, lebih kejam. Was-was hatinya, keragu-raguan hatinya, harapan-harapannya, ketakutannya, kengeriannya, dan sedih, sedih hatinya. Pilu yang mengharapkan kebahagiaan. Suara itu penuh sedan-sedan tangis, merenggut-renggut, diselingi oleh melodi berbuai berayun tenang-tenang dan dalam-dalam.
Sempat suatu ketika Is menyempatkan diri untuk pulang. Dan rumah itu sunyi, tidak ada suara hidup. Rumah orang tua. Orang muda sudah meninggalkan rumah, pergi dan menciptakan sesuatu yang ia pikir sebagai rumah. Dia ingin benar seorang pangeran datang padanya. Atau dia datang menemui pangerannya. Membenamkan segala keragu-raguan dalam cemas hatinya di dalam pelukan yang hangat. Dan tidak berpikir, tidak berpikir. Dan tidak mengingat, tidak mengingat. Dia menarik napas berat-berat. Dia tahu hal ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.
Ia berjalan sendiri di sebuah jalan besar dan licin. Jalan yang lurus dan dari tempat dia mulai berjalan ujung jalan itu menghilang tidak putus-putusnya ke tepi langit yang hitam dan gelap. Suara samar berteriak dari belakang “Ayolah lekas jalan, lekas!”. Ia berjalan. Mula-mula hatinya kesal untuk berjalan sendiri. Tetapi jalan yang dilaluinya di kedua pinggirnya penuh dengan pohon-pohon rindang dan berbunga indah-indah yang belum pernah dilihatnya. Dia melihat-lihat kebelakang sebentar mencari suara suara yang memanggilnya, tetapi sumber suara itu juga belum kelihatan. Dan ketika dia berpaling ke depan kembali, jalan yang dilaluinya rasanya telah bertukar. Tidak ada lagi sekarang pohon-pohon yang rindang dengan bunga-bunga yang indah. Dan matahari seperti bola merah di atas langit yang hitam kelam. Ia merasa panas sekali, dan dadanya rasanya sesak bernafas dalam udara yang berat seperti timah. Dia berputar, berlari hendak kembali. Tetapi jalan yang ditinggalkannya juga telah hilang, dan hanya sekarang tinggal terbentang satu dan lurus. Amat lurus dan sepi, menghilang ke tepi langit yang gelap hitam. Amat menakutkan. Ia berlari terus kencang-kencang Dia tidak tahu lagi dimana dia datang, dia hanya berlari supaya secepat-cepatnya sampai keujung jalan. Tetapi jalan itu tak ada ujung. Secepat ia berlari, secepat itu pula ujungnya ikut menghilang ke dalam langit yang gelap gulita. Dia jatuh terhentak ke jalan, dan dalam rasa putus asanya dia menangis. Langit hitam yang gelap turun, dan alam sekitarnya menjadi sempit.
Diadaptasi dari Novel "Jalan Tak Ada Ujung" karya Mochtar Lubis.
0 notes
Text

Beberapa tahap dalam menyelami duka; menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima.
Duka adalah emosi yang meluap-luap dan sepertinya tidak lagi aneh jika di beberapa hari terakhir aku berpura-pura bahwa kehilangan tidak pernah terjadi. Dan marah, menjadi momok tersendiri atas penyembunyian rasa sakit yang dibawa. Suatu ketika aku mencoba bernegosiasi kepada Tuhan, agar kekuatan yang lebih tinggi sebagai imbalan atas kelegaan dari kesedihan. Hal ini dapat membantuku menunda kesedihan dan kebingungan. Pada mulanya mungkin aku terkesan lari dari emosi, mencoba selangkah lebih maju dari emosi tersebut. Memilih untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk manusia agar dapat sepenuhnya mengatasi kehilangan.
Menerima bukan berarti melupakan. Tahap ini aku sebut sebagai masa Kontemplasi, merefleksi diri dari hal-hal lalu dan lain hal yang telah pergi lebih dulu. Barangkali akan banyak kehilangan-kehilangan lain yang menunggu lainnya, maka kuucapkan “Terima kasih banyak ya, telah menjadi guru baik untuk diriku”. Playlist lagu Saudade, Setangkai Teratai Di Tepian Sungai, Seroja, Kabar Terakhir, dan Tak Ada Keluarga yang Sempurna, turut serta menghiasi dinding-dinding kamar pada malam hari berharap air mataku turun dan mendaki pipiku kembali. Semalam syukurlah aku menerima wahyu dari Tuhan, dikabarkan melalui telepon melalui iklan Spotify Pocong Ningrum dan beralih playlist menjadi Sapu Jagat Karya Mario Zwinkle. Bisa-bisanya berubah jadi lagu Rap hahahaaa.
Ingatan yang abadi tak lekang oleh waktu.
Ayam kecap buatan nenek selalu menjadi checkpoint berkumpulnya para cicit, cucu, dan anak-anaknya. Aroma wangi, cita rasa gurih ayam kampung yang menggoda. Pernah suatu ketika aku mencoba mencuri resep ayam kecap nenek, diam-diam mengamati, berpura-pura membantu memeras santan kelapa dan menghitung dengan teliti bumbu dan rempah yang digunakan. Aku berusaha mengikuti resep yang kucuri, namun Tuhan Maha Tahu, dikutuklah aku, belum sempat aku cicipi masakanku sendiri, namun sudah terlebih dahulu dimakan seantero rumah. Kutukan datang kepada seluruh keluarga, kami harus merasakan akibatnya, diare tak terduga. Rasanya lucu sekali jika diingat, dari situ aku ciut untuk memasak. Dari situ pula awal mula aku lanjut ke jenjang Sekolah Menengah Kejuruan dengan minat Tata Boga.Hari ini aku sudah bisa membuat ayam kecap, namun tak seenak buatan nenek, tidak pula bisa membuat satu keluarga kumpul juga hehe.
Hidup selalu bertali dengan yang lain, tali satu putus, akan tersambung dengan tali-tali yang baru.
Nenek bilang pulau-pulau kita indah sekali, tersenyumlah bila engkau bangun pagi.
Selamat jalan Nenek, Selamat menemui Ibu.
4 notes
·
View notes
Text

Tempat ini bernama asing.
Semua tamu. Akupun tamu.
Aku sempat tak habis pikir, sesuatu yang mustahil waktu itu justru menamparku dengan berbagai dakwa. Namun aku bukan maling, dan aku tidak pernah diajarkan untuk main gelap-gelapan. Semenjak Musa membelah lautan beratus tahun silam. Kedalaman selalu saja menjadi momok yang menakutkan.
Aku kedinginan ibu, jaketku telah usang dan robek, mataku menjadi kabur dan gelap. Aku tak tahu bagaimana caranya menangis dihadapan orang mati, doa-doa menjadi asing dan hanya khayalan. Setiap orang menatap diri sendiri dan orang lain, rasanya hidup ini semakin rawan. Siapa bisa berhenti menipu orang lain bu? Setiap mengingat matamu, bu, aku melihat hujan sedang membersihkan senja yang kusam oleh bercak-bercak waktu. Maafkan aku! Aku berjalan begitu janggal membiarkan diriku menggenang dan berangsur menjadi lautan.
Sudah tahun 2024, masih saja aku panggil-panggil ibu yang sudah lama mati. Maaf bu, aku masih saja bayi kecilmu seperti dulu, sunyi dan tak jarang sendiri, aku masih saja kebingungan dengan perasaanku yang semakin subur. Padahal sudah berkali-kali aku membunuhnya. Meski begitu semua harus tetap dijalani.
Jangan sedih, kataku kepada diriku. Aku belum lupa cara untuk berbahagia.
Semoga hidupmu lebih manis dari jidat manismu dan terus bersinar seperti Klaten.
2 notes
·
View notes