Suara yang kau dengar tanpa telinga, rupa yang kau lihat tanpa mata
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Aku ingin percaya, pada diriku. Percaya bahwa yang aku inginkan adalah tanpa campur tangan rasa takutku.
2 notes
·
View notes
Text
Present
She said that afternoon, life is like being in a fog. We and all we perceive are the true essence of reality. That’s life. We may speculate about what lies ahead, yet the veiled mysteries within the fog remain unseen.
As we tread along our chosen paths, the fog begins to disperse, revealing what life bestows upon us. However, everything we have left dissipates back into the fog behind us. It becomes a blur, invisible.
The past, the future, the choices we forego, the paths we leave untrodden—they are all shrouded in fog, unseen.
Time alters everything, yet the tangible reality only encompasses our immediate proximity. The present moment, here and now, is what holds true—everything we can see, hear, and feel.
Oftentimes, we compare our present selves to the tapestry of the past. Yet, the past was merely a fog, no longer relevant to the reality of today.
And then,
Recognizing and embracing the gifts is our grace, and the path ahead can only be fortified by the whisper of hope.
What about the present?
The present is our precious gift.
0 notes
Text
Sonder
I wonder if it's just me or if others share this sentiment. When I hear the word "sonder", a peculiar feeling stirs within, challenging expression. It may not be widely known, yet it carries a sense of familiarity.
Allow me to revisit a vivid memory from my childhood—a time when I experienced the marvel of watching a movie on a CD for the first time. It happened during my fifth grade, admittedly a tad belated. You see, we never owned a VCD player. Even our television was installed when I was in the third grade. Thus, I resorted to watching the CD on my sister's new computer, equipped with Windows 97. I recall it vividly, for the welcoming window lingered, capturing my attention.
"Children of Heaven," a work I believe to be quite popular. It recounted the tale of two siblings, a brother, and a sister, navigating the tribulations caused by a lost shoe. To attend school, they took turns wearing the same shoes. This narrative evoked a myriad of emotions within my young self. I particularly remember the suffocating finale—the brother securing first place in a running competition, only to feel sorrow because winning the third place would have meant acquiring a new pair of shoes. This scene shattered my heart so profoundly. It appears the movie did not conclude on a blissful note, I surmise.
The impact of this movie on me surpassed any prior expectations. I felt an intimate connection with the main characters, experiencing fear, sadness, and confusion, mirroring their emotions. It was then that I began to fathom the existence of other children leading vastly different lives, possibly even facing diametrically opposed destinies. Simultaneously, I pondered what it would be like to inhabit someone else's existence—an insatiable curiosity ignited within me.
Consequently, in my make-believe endeavors, I embarked on exploring diverse characters and plots, gleaning valuable lessons from cartoons and even soap operas watched alongside my mother. Movies became my gateway to stepping into someone else's shoes.
From a young age, my habits began to metamorphose. My curiosity evolved, forever engaged in envisioning myself as those I encountered or merely glimpsed from afar. These imaginings took shape within the recesses of my mind.
I also came to comprehend that each person leads a distinct life, characterized by unique journeys, visions, and beliefs. We are but the protagonists in the narratives of our own worlds. And that encapsulates the essence of sonder—the profound realization that every passerby harbors a complex life of their own. When I chanced upon this noun, its profound significance permeated my being. I express my gratitude to John Koenig, who endeavors to birth new words that capture the nuances of such emotions.
For when we bestow a name upon it, we contain it
0 notes
Text
Epiphany
7/26/2020
“Epiphany is like a forgotten flower − the seeds that you planted long ago suddenly become a beautiful flower” She once imparted to me
Epiphany originated in ancient Greek words: ἐπιφάνεια, epiphanea which means "manifestation, striking appearance" is an experience of a sudden and striking realization.
It’s like an ‘Aha!’ moment, but deeper. It signifies an enlightening revelation that allows us to perceive a problem or situation from a renewed and profound perspective.
....
At times, we are unaware that the person we are today is the very essence of the child we once were, years ago. Here we stand, transformed into adults grappling with haunting thoughts, irrational fears, and the negative self-labels we attribute to ourselves.
"I am small, I am inferior, I'm nothing"
These words once echoed relentlessly within my mind, consciously and unconsciously, as if they were a bewitching enchantment cast upon my soul. Realizing that these words emerged from my past, they seemed destined to haunt me eternally. It felt as if I had no choice. The younger version of myself, that innocent child, had endured countless hardships and heartbreaks - no wonder these feelings made perfect sense.
Pity often consumed me.
I could weep for hours, acknowledging my pitiable, unfortunate self, my tumultuous upbringing, and even my seemingly ill-fated life. The adult version of myself stood there, witnessing it all, casting a gaze of pity upon these reflections.
Time passed, and I yearned to regain control over these wicked and self-destructive thoughts. It was a lengthy journey, filled with ups and downs. I stumbled countless times, descending into that dark abyss repeatedly, caught in an unending loop when faced with formidable walls.
Yet, over time, I gradually began to forget the details of my past. Despite my persistent longing to find peace with a particular memory, the specifics slipped away. I craved a sense of self-acceptance, a belief in myself, even though I remained unsure of how to achieve it.
I yearned for it with every cell of my being, for I had grown weary.
And so, I revisited those memories, encountering my younger self once again. Standing there, I observed them, and to my surprise, my perspective had shifted. Rather than feeling sorrowful, I extended my hand towards them, saying, "Come, hold my hand. You are not alone. I am here."
In response, that child clutched my hand tightly, and our eyes met. We shared an instant connection.
Now, we trust one another, don't we?
It felt warm and delicate.
That, for me, was an epiphany.
0 notes
Text
Juan (2)
Dia adalah seorang yang bercorak tegas, sebelum mengenalnya dekat aku telah memperhatikannya sejak lama, mustahil orang tidak teralihkan dengan pesonanya. Cara ia berbicara, gestur tubuhnya, bahkan cara tertawanya yang begitu khas tak pernah pudar dalam benak.
Setiap malam dia selalu berada di sebuah cafe sederhana yang peminatnya lebih banyak pelanggan tetap, membuka laptop dalam kesendirian atau bersendagurau dengan beberapa kenalannya sambil meneguk kopi hitam favoritnya.
0 notes
Text
Juan
Sudah berapa kali aku terbangun mendengar suara langkah kaki dari seseorang, sialnya sudah berkali-kali juga aku mendapati itu bukan langkah si dia yang aku harapkan. Aku tidak mengenalnya, seorang bermata bulat besar dengan senyum manisnya itu mampu memenuhi segala fantasiku akhir-akhir ini. Seseorang yang tinggal beberapa ruang dari flatku, katanya dia bernama Juan.
1 note
·
View note
Text
Sang Pemabuk
Aku lebih suka menyebutnya si oportunis, karena dalam keadaan kacau, ia masih berusaha mencari sadarnya.
“Apa kuasaku selama ini?” bisiknya.
Dalam realita yang ku pilih, aku hanya menemukan ambigu.
Lucunya, ia adalah seorang yang berusaha mengendalikan kesadarannya, meski sebenarnya ia tak sedang mampu tersadar penuh. Ia hanya bisa tersenyum dalam ketidakmpuannya mengendalikan realitas yang disediakan hidup untuknya.
“Aku berterimakasih” ucapnya.
Tak banyak orang yang mampu memahami relitas ini. Realitas dimana tersadar merupakan sebuah detik yang lekat, detik yang dirasakan oleh seluruh indra.
Ia menyadari selama apapun ia hidup, ia kan selalu berdiri atas kehendaknya, berjalan atas kuasannya. Dalam semesta yang berai, dialah utuh. Baginya, perjalanannya kali ini butuh bukan hanya sekedar hilang, bukan hanya sekedar jalang.
Aku rendah, aku hanya mampu mengagungkan kuasa yang fana
Dia seperti manusia lainnya yang tercipta sebagai budak. Bedanya ia tak pernah sepenuhnya menjadi budak, hingga saat dimana ketidakmampuannya hanya untuk mengontrol dirinya dipertaruhkan.
"Aku mohon..." pintanya.
Sungguh.
Si pemabuk itu meminta dikendalikan tuhannya
1 note
·
View note
Text
Ia pun Pergi
Berapa kali aku melihat wajahnya yang pucat, nyatanya hidup di dunia yang pelik ini banyak orang yang menyepelekan bebannya. Seorang yang makan banyak sepertiku bisa dengan mudah berkata bahwa kemalasannya yang menyebabkan dia berada di sana.
Ketika melihat wajahmu hatiku selalu teriris perih. Katanya kau pergi tadi pagi, karena mereka tak lagi mempedulikanmu bahkan mencemoohmu. Dengan luka di kaki kirimu, kau pergi tergopoh pincang.
Aku tak lagi punya tempat untuk berlindung, hanya untuk makan saja aku meminta-minta. Aku pun tidak punya Tuhan sepertimu, jadi nasibku ini hanya ku gantungkan padamu. Bedanya saat aku tahu aku tak lagi kuat menahan beban ini, aku pergi, bersembunyi dan kemudian mati. Tak harus menjadi beban bagimu dan orang-orang di sekitarmu.
Terimakasih pernah baik padaku, aku mengingatnya. Terimakasih atas kesempatanmu meskipun hanya sesaat. Maaf aku sudah tidak berdaya untuk mengurus diriku, aku tahu kalian seringkali mencemoohku karena aku sakit dan aku lapar. Pada siapa lagi aku harus memohon jika niat kecilku saja selalu berujung pengusiran?
Niatnya untuk pergi telah terdengar oleh mereka, bahkan mereka mengarak sosok yang sedang tergopoh itu kemudian dibawanya ke tempat yang jauh dan sepi. Sebuah jembatan tua peninggalan Belanda di dalam hutan. Semenjak saat itu, tak diketahui di mana keberadaannya. Pernah sekali aku datang mencari, tapi dia tak ada.
4 notes
·
View notes
Text
Si Lugu
“Please keep me sane in this fucktual world”
Dia bergetar, sendiri dalam dunia yang asing. Entah mengapa dia sulit mengartikan apa yang dia rasakan, dia tak lagi mampu memilih kata sederhana ketika kesedihan, ketakutan, sendu serta cemas teraduk menyatu.
Pikirnya warna abu tak pernah lebih gelap, suara burung tak lagi merdu terdengar, atau mungkin hanya tak semerdu sebelumnya. Ketakutannya sungguh besar, dia takut teman sejatinya kan hilang. Teman yang menemani ritualnya dalam balutan sastra sederhana.
Dia pikir mungkin itu akan terasa biasa pada saat ditapaki. Namun yang selama ini dia pikir hanya satu, ternyata ganda.
Pada akhirnya, rangkaian huruf-huruf yang teruntai itu menandakan dia masih seorang manusia. Manusia yang selalu memilih penjaranya sendiri. Penjara dimana dia masih dapat menemukan kata.
2 notes
·
View notes
Text
Sebuah Lengkung Pola
Dia sudah terlalu lama tidur pulas dalam gua pribadinya. Kedua tangannya kaku, lidahnya kelu membeku, matanya rabun. Dia tak sadar bahwa otak dan hatinya telah rusak parah, seperti perkakas yang berkarat. Dia berusaha sekuat tenaga menjadikan segala pemantik membuat semestanya berputar kembali. Namun itu bukan hal yang mudah, karena dia kehilangan sebuah rupa, sebuah inspirasi yang melayang di udara.
Begitu sulit mendapatkan corak yang sempurna untuk dia abadikan. Hingga tiba satu waktu, dia melihat sebuah sosok yang mendekati sempurna. Sosok ini unik, berbeda dengan segala rupa yang pernah dia temui. Kemudian sosok ini membuat dunianya berputar kembali, membuatnya tenggelam tanpa menghindar dan tanpa berlari. Dia telah memasuki corak itu, berputar dan berlari-lari di dalamnya. Kemudian dia mulai merasakan kembali ketukan irama tangannya bernada, senada dengan irama pikir dan hatinya.
Sudah lama diri ini hilang, bahkan diam tanpa kata
Kau dan aku sama, kita adalah seni indah yang terpartisi gores berwarna jingga. Aku adalah si yang hilang dan kau adalah si pencari yang hilang
Pola kita sama, melalui lengkung yang beririsan dan tak mustahil beriringan. Kita berputar menuju poros yang sama, yaitu pusat teka teki semesta
Izinkan aku menerima daya tarikmu, dan biarkan aku memahami keseluruhan corakmu
Kemudian bersama semesta, kita menjadikannya pola-pola yang sempurna
3 notes
·
View notes
Text
Sepertinya
Apa mungkin akan ku salahkan kembali kafein yang mengkontaminasi seluruh darahku hingga otakku. Kecamuk resah ini seperti sebuah majas hiperbola, berlebihan atau memang dilebih-lebihkan.
Saat raga dikendalikan oleh pikiran yang resah, rasanya malu saat kembali lagi membaca majas-majas ini. Inilah mengapa mengerikan untuk memiliki harapan. Seperti sebuah nyala lilin dalam gelap. Menjaganya tetap menyala adalah perkara yang sungguh rumit jika nyala itu berasal dari jiwa lain.
Ah, seperti bait-bait yang lugu. Mungkin aku terlalu jauh mengangankan kita, terlalu jauh menginginkan kita. Sehingga tak ku sadari, hati ini sedang kembali berjudi. Menjudikan sebuah rasa.
Kata orang, yang paling menyakitkan adalah harapan yang tak terpenuhi. Tapi sungguh pecundang jika untuk berharap saja aku tidak berani.
Tiba-tiba, rasa percaya diriku mulai muncul saat kau hadir. Bersamaan dengan rasa-rasa lain yang kadang mengganggu, semisal rindu, atau terkadang candu.
Kini ku punya ingin, karena kau adalah angan. Kau seperti memantik harapan nun jauh ke depan. Seperti oase di tengah gurun, nyala lilin dalam gelap gulita. Di saat yang sama, aku mempertaruhkan hal yang sangat besar, yaitu hatiku.
Masalahnya aku bukanlah penjudi yang baik. Jika lilin itu mati dan aku kalah, pertaruhanku hilang. Gelap. Lenyap.
Karena sepertinya, aku kan jatuh hati padamu. Sejatuh-jatuhnya.
0 notes
Text
Berbagi Tanya
Segala pertanyaan itu tampaknya mampu dijawab semua orang, meski sepertinya setiap jawaban akan unik satu sama lain. Pertanyaan-pertanyaan semacam “pernahkah?” atau “apakah?”.
Kadang kala atau sering kali dirimu merasa enggan bahkan hanya untuk mengakui bahwa kau sedang terluka. Kata luka memberi kesan yang terlihat mengerikan, padahal mungkin tidak selalu begitu. Bisa saja luka adalah goresan tipis yang tak sempat dituangkan dalam secarik kertas, atau mungkin hanya rasa ngilu karena terlalu lama diam. Kadang kau lupa bermain di sini, di tempat yang memiliki kemungkinan tak terbatas ini.
Jadi, apakah baik bertanya meski sudah tahu jawabannya?
Ataukah lebih baik membiarkan hati terbiasa dengan luka-luka yang tak seberapa itu?
Sudah ku duga, segala yang tertuang sama saja. Semua tertuang dalam bentuk tanya, bukan?
Mari sederhanakan, bagaimana jika dari awal kita sepakati bahwa di sini, di tempat bermain ini tak ada batas. Pertanyaan-pertanyaan boleh selalu diajukan meski kemungkinan jawabannya telah kau ketahui. Dan si sini, kau boleh menjadi siapa saja, menjadi apa saja.
Jadi, bagaimana jika langsung saja kau jawab pertanyaan-pertanyaanku?
Tentu saja aku tertawa, bukan maksud mengecilkanmu atau membuatnya seakan menjadi sebuah lelucon. Tapi kau atau kita, sama-sama memahami bahwa pertanyaan pertama sudah terjawab.
Pertanyaan kedua sepertinya lebih dalam, harapanku sederhana, aku harap kau tidak mengecilkan perasaan-perasaan yang mengganggu itu. Selalu bawalah ke sini, dan kita akan membicarakannya. Meskipun tak selalu gamblang, tapi begini pun sudah cukup.
Kita biasa saling bicara dan belajar, akulah yang akan selalu bersamamu. Segala yang terjadi di luar biarlah begitu apa adanya, bagiku dirimulah yang paling berharga. Aku harap kau mengerti bahwa sekarang hubungan kita agak berbeda, sesungguhnya aku merasa lebih dekat dan mengenalmu. Hanya saja ku harap kau lebih sering bertemu denganku di tempat ini. Meski hanya sesekali.
0 notes
Text
Dia Lara
Ternyata aku tidak benar-benar sendirian
Ku bersama lara. Ia adalah teman baikku saat ini, tak jarang la membisikiku untuk pergi jauh ke tempat yang tak seorang pun tahu. Mengajakku berdendang dan berdansa bersama liku semesta yang ambigu.
Lara sering hadir dalam ruang sempit, dalam detik sadar ketika mata terbuka dan melihat dunia yang sesak. Atau ketika tersadar akan jawaban-jawaban nihil dari segudang tanya.
Apalah aku ini? Jika segala pertanyaan membawaku kembali ke sini, lantas apa yang selama ini ku cari? Tak ada jawaban yang memuaskan, yang ada hanya ketidakpastian lainnya. Yang membingungkan, seringkali membungkam, bahkan menikam.
Ketika ku tak berdaya, lara datang paling pertama. Membisikiku kata-kata yang memilukan. Kemudian menyuguhiku kenyatan-kenyataan yang memuakkan.
... yang pada akhirnya membuatku menjerit dan berteriak.
Dalam diam.
5 notes
·
View notes
Text
Tak Berani
Perjalanan ini panjang dan sunyi, lebih sunyi dari suara malam saat rasa takut menyelimuti. Aku tak sendirian, ku melihat banyak dari mereka yang sama-sama berjalan, sendirian juga beriringan. Beberapa diantaranya sama-sama tak punya tuju, atau hanya bersinggah dari satu ke dua, kemudian ke tiga, hingga ke tak terhingga.
Jika beraniku sebesar itu, ingin ku berhenti dan bertanya pada sekempok muda mudi itu "bisakah aku ikut di sini? aku sedang tak tahan sepi".
Atau berkata pada bapak tua yang sedang sendiri itu biasakah aku membersamainya? dan berbincang tentang betapa jauhnya jalan yang telah dia tempuh, atau mungkin yang telah aku tempuh.
Tapi sayangnya aku tak seberani itu, terutama jika aku harus memperkenalkan dia yang lekat akhir-akhir ini.
Dia yang bernama lara.
1 note
·
View note
Text
Jeda Kata
Sudah berapa lama kau tak lagi memberikan jeda pada kata-kata. Seakan kata yang selama ini ada dalam pikir, selalu saja kau desak untuk keluar. Sampai-sampai seringkali ia tidak apa adanya.
Segala yang terjadi di sekitar, kehidupan yang tengah bergerak semestinya bukan pengalihan. Namun sebuah bagian utuh dari terciptanya kata-kata, meski seringkali tanpa kata. Kata tak selalu tentang suara yang diucap lisan. Kata tak selalu rangkaian huruf dalam tulisan. Kata seringkali hanya bisikan-bisikan hati, atau bahasa benda-benda mati. Mereka yang diam namun berbicara.
Kau berkata aku meracau, nyatanya aku sedang tak membiarkan diriku menjelma menjadi 'yang pandai mengeja'. Segala kata ini hanya milikku, bagiku ia istimewa dengan keterbatasannya.
Yang ku lihat kini segalanya tampak berbeda. Meski malam masih sama, kini ku bersama yang hidup. Seperti mata yang melihat hidup, ku dibersamai kehidupan yang bergerak di sekitar.
Nyatanya aku tak lagi sendiri.
Dan bersama kau, kini "mereka" menjadi bagian dari kita. Kehidupan yang bergerak, lalu-lalang. Bukan menghalangi pandang, namun menjadi pelengkap pandang.
Aku bersukur, kau masih mau menemuiku dalam jeda.
Kata.
2 notes
·
View notes
Text
Dari Langit
Dia telah memilikinya sebelum kata dibuat oleh para pencari. Ruang itu istimewa, membuat yang paham tak pernah berhenti menerka-nerka.
Mereka bilang tempat ini hampa, tiada gembira. Hanya ada suara langkah dari kaki yang berlari kecil nun jauh di sana.
Bagaimanapun, tampaknya dia tercipta berbeda, si anak kecil yang mencoba memahami bahasa sederhana.
Dalam perjalanan pribadinya Ia tak takut, karena Ia memiliki seluruh semesta.
Dimana pun dia berada, tempatnya istimewa.
1 note
·
View note