Text
Untukmu, yang mencintaiku dalam diam
Beberapa pekan terakhir, layar kaca dan timeline kita marak dengan pernikahan artis. Saya selalu terharu melihat prosesi akad nikah, beberapa kali malah saya menahan tangis. Ini orang lain yang menikah, gimana ntar kalau aku mantu (huaaaaaa ...sik suwe 😂)
Ketika menghadiri akad nikah teman atau saudara, atau melihat video artis yang akad nikah. Selalu saya teringat Bapak. Iya.... , Bapak saya orang Madura, garis wajahnya tegas, tubuhnya besar. Khas dengan kumis dan jenggot yang tebal, kalau lihat pertama kali, pasti menduga bapak saya orang yang galak. Beliau memang jarang berbicara, tapi kalem (seperti saya😉).
Dimasa kecil saya, saya jarang bicara dengan Bapak, apalagi bercanda. Beliau sibuk bekerja dan beraktifitas dakwah, jarang dirumah. Terkadang saya iri dengan teman teman saya yang dekat sekali dengan Bapaknya, bermanja-manja dan bercanda.
Bukan takut, tapi seperti ada rasa segan dengan Bapak. Jadi kalau saya minta apa apa, ya... ke Ibu.
Tapi semuanya berubah setelah negara api menyerang *eh, maap.
Semuanya berubah, ketika saya menikah. Sebelumnya saya tidak pernah sekalipun melihat Bapak menangis atau sekedar berkaca kaca. Tapi setelah menikah, kira kira dua kali saya melihat Bapak menahan tangis, yaitu ketika menikahkan saya dan sesaat setelah saya melahirkan anak pertama.
Saat akad, ketika saksi dan penghulu menyatakan sah. Saya melihat Bapak, beliau melihat ke langit, menahan tangis. Kemudian melihat saya, matanya berkaca-kaca, beliau menganggukan kepala sambil tersenyum. Seperti biasa tidak ada satu kata pun terucap dari beliau
Tapi aku merasakan saat itu, sepertinya Bapak ingin mengatakan....
.
.
.
.
Anakku, tiba saatnya kini kau akan meninggalkan kami.
Menjalin ceritamu sendiri, dengan dia yang kau pilih.
Aku merestui mu nak..., karena tak ada alasan untuk tidak.
Melihat wajahmu yang berbinar di pagi ini, aku yakin kamu pasti bahagia.
Aku ridho melepasmu nak....
Meski aku masih ingin kau disini, menemaniku atau sekedar membuatkan kopi untukku
Aku juga ingin mendengar tawamu, celotehanmu. Selama ini aku hanya tahu semua ceritamu dari Ibumu.
Kau mungkin tak tahu, bahwa aku juga mengkhawatirkan kamu. Saat kamu pergi beraktivitas di kampus, sampai tidak pulang. Aku tidak mengatakan padamu, aku percaya padamu. Aku hanya berdoa semoga Alloh selalu menjagamu.
Betapa leganya ketika aku terbangun, mendengar suara kamu mengganggu adikmu. Lalu kalian cekikikan. Bahagianya aku.
Kau harus tahu betapa aku menyayangimu, bahkan sebelum kau tercipta. Tapi entah mengapa aku tidak bisa mengatakan ini padamu.
Tahukah kamu, aku juga ingin bercanda dan tertawa bersamamu, tapi aku terlalu sibuk dengan diriku.
Anakku, maafkan aku yang pernah memukulmu karena kau terlambat sholat, karena ku tak ingin kau meninggalkan Tuhanmu
Maafkan, aku pernah menghardikmu saat kau tidak berangkat mengaji. Aku hanya ingin kau berilmu, karena ilmu lah yang membuat kau bernilai lebih di depan Tuhanmu
Maafkan aku yang selalu memaksa kamu belajar, belajar, dan belajar. Memaksamu harus mendapatkan nilai bagus.
Aku tidak punya harta untuk membiayai kuliah mu, maka itu kamu harus pandai. Tidak ada pilihan lain.
Kini saatnya telah datang, Pergilah nak...
Tulislah ceritamu bersama dia, penuhilah rumahmu dengan doa.
Didiklah anak anakmu, bersabarlah dan ikhlaslah dengan kehadiran mereka.
Saling mencintailah kalian karena Alloh.
Aah... Bapak..., Terimakasih telah mencintai ku dalam diam.
0 notes
Text
Alasan Kenalkan Buku Sejak Dini
Bayangkan seorang balita duduk di pangkuan ibunya. Saat Sang Ibu bercerita tentang ikan yang bisa terbang, badannya seketika tegak lalu berkata,
"woow....,keren ya Buk! ".
Ia belum bisa membaca, tapi ia larut dalam dunia imajinasi. Ajaib? Tidak juga. Ini adalah kekuatan buku, dan betapa pentingnya buku dikenalkan sejak dini.
Masa kecil adalah masa emas perkembangan otak dan karakter. Sudah sewajarnya kita dukung masa tersebut dengan pembiasan hal-hal baik.
Otak Anak Itu Spons, Buku Adalah Cairannya
Tahukah kamu, anak yang sering dibacakan buku memiliki kosa kata lebih kaya dan kemampuan bahasa yang lebih baik dibanding yang tidak. Kegiatan membaca bersama anak akan memantik rasa penasaran anak (curiosity), tentu saja hal ini menjadi modal yang dibutuhkan saat anak-anak masuk usia sekolah.
Saat kita membacakan cerita, anak belajar banyak hal sekaligus: mendengarkan, memahami, merespon, dan berimajinasi.
Minat Baca Itu Ditumbuhkan, Bukan Ditunggu
Sering kita dengar, “Anakku susah disuruh baca.” Tapi coba tanya balik, “Sejak kapan anak itu kenal buku?”. Anak yang sejak dini dikenalkan dengan aktivitas membaca, akan akrab dengan buku. Mereka merasa buku adalah teman, bukan beban. Membaca menjadi aktivitas yang menyenangkan, bukan kegiatan yang membosankan.
Membaca Bersama Itu Menguatkan Ikatan
Beberapa orang tua, terutama yang mempunyai jam kerja padat, bingung bagaimana mencari cara menghabiskan waktu berkualitas dengan anak.
Membaca buku bersama menjadi salah satu alternatif kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan bonding antara Ayah/Ibu dan anak. Suara orang tua yang membacakan cerita membuat anak merasa dicintai dan dihargai. Jangan remehkan kekuatan pelukan sambil membaca cerita tentang pahlawan kecil atau binatang lucu!
Tidak harus lama, 10 menit saja sudah cukup. Lakukan dengan rutin, waktu paling bagus untuk membaca buku bersama ialah saat anak akan tidur.
Modal Awal untuk Siap Sekolah
Anak-anak yang terbiasa mendengar cerita lebih mudah beradaptasi saat masuk sekolah. Mereka mengenali bentuk huruf, memahami alur cerita, dan tahu cara duduk tenang mendengarkan guru. Dengan kata lain, buku membantu mereka melangkah ke dunia belajar dengan lebih percaya diri.
Mulai dari yang Sederhana
Kamu tidak perlu punya rak buku mahal atau koleksi puluhan judul. Satu buku bergambar, suara hangat orang tua, dan lima menit waktu berkualitas—itu sudah lebih dari cukup. Yang penting adalah konsistensi dan kasih sayang saat mengenalkannya.
Ingat, hari ini kita membacakan cerita. Besok, anak-anak kita akan menulis kisah mereka sendiri. Semua dimulai dari satu buku pertama yang kita kenalkan dengan cinta.
"Anak-anak tumbuh sesuai dunia yang kita kenalkan padanya. Maka kenalkanlah dunia yang kaya akan kata, imajinasi, dan cinta lewat buku." – Anonim
1 note
·
View note
Text
Jangan Resign Dulu!
Saya adalah Ibu dengan dua orang anak. Saya bekerja sebagai pengajar matematika di salah satu bimbel terbesar di kota saya, hampir 10 tahun lamanya (2008-2018).
Saya memutuskan resign di tahun 2018, dengan penuh pertimbangan. Agak berat meninggalkan tempat kerja yang nyaman dengan teman-teman yang supportif. Tapi saya memutuskan untuk resign karena ada prioritas yang lebih penting. Yaitu ingin membersamai anak-anak saya.
Sejak saat itu, beberapa teman saya yang sebagian besar adalah seorang Ibu, curhat ke saya tentang keinginannya untuk resign dari pekerjaannya. Dan setiap kali ada teman yang bercerita, saya hampir selalu memberikan respon yang sama:
"Jangan resign dulu!"
Bukan karena saya melarang atau menentang keputusannya. Bukan juga karena saya tidak memahami rasa lelah dan frustrasi yang mungkin sedang dirasakannya. Tapi saya ingin memastikan: apakah ia ingin resign karena memang ada prioritas hidup yang berubah, atau hanya karena sedang lelah dan ingin rehat sejenak?
Lingkungan kerja memang penuh tantangan. Tekanan dari atasan, ritme kerja yang cepat, hingga konflik antar-rekan kerja bisa menjadi sumber stres tersendiri. Dan bagi perempuan yang sudah berkeluarga, tantangannya berlipat ganda. Di satu sisi, ia dituntut profesional di tempat kerja. Di sisi lain, ia diharapkan tetap optimal menjalankan peran di rumah.
Sayangnya, masih banyak anggapan bahwa perempuan bekerja hanyalah pelengkap. Pendapatnya kerap dianggap emosional. Profesionalismenya dipertanyakan hanya karena ia memiliki tanggung jawab sebagai ibu atau istri. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika muncul rasa lelah yang amat sangat—baik fisik maupun mental.
Namun, resign bukanlah keputusan yang seharusnya diambil saat hati sedang penat. Karena jika hanya berdasarkan emosi sesaat, bisa jadi penyesalan datang setelahnya. Resignlah jika memang ada prioritas hidup yang ingin didahulukan. Misalnya, ingin lebih fokus membersamai anak di masa tumbuh kembangnya, atau ingin membangun kehidupan keluarga yang lebih seimbang.
Sebelum mengajukan surat resign, luangkan waktu untuk merenung dan bertanya pada diri sendiri:
"Apa yang ingin saya capai setelah berhenti bekerja?"
Jangan sampai resign membuat kita kehilangan arah. Justru ini bisa menjadi momentum untuk menyusun langkah baru yang lebih bermakna, sesuai dengan nilai hidup yang kita yakini.
Karena resign bukan akhir segalanya. Bisa jadi, itu adalah awal dari perjalanan yang lebih selaras dengan diri sendiri.
Resign bukan tentang menyerah. Tapi tentang memilih, dengan sadar, arah hidup yang ingin kita jalani.
Salam,
Makuki
1 note
·
View note
Text
Review Doctor Cha
Dilema Klasik Ibu Pekerja Ranah Domestik atau Ranah Publik
Seorang Ibu, apapun ranah aktivitasnya, dengan naluri keibuannya akan berusaha melindungi, merawat dan mendidik anak-anaknya.
Saya pernah mendengar seorang pemuka agama berkata, Ibu yang terlalu lama beraktivitas di luar rumah (aktivitas publik) akan kehilangan nalurinya sebagai seorang Ibu. Tentu saya saya tidak sepakat dengan beliau.
Hampir 10 tahun lebih saya berkaktivitas di ranah publik, dan saya merasakan betul dilema yang dialami Ibu Pekerja. Apalagi ketika anak masih balita dan sakit, ingin sekali di dekatnya selalu. Tapi atas nama profesionalitas, saya harus menitipkan mereka pada pengasuh.
Kini setelah 5 tahun saya berpindah ke ranah domestik, dilema yang berbeda saya alami.
Keinginan untuk kembali beraktivitas di luar rumah seperti dulu,masih sering muncul. Aktivitas di rumah ternyata butuh kekuatan mental dan fisik yang tidak berbeda saat saya bekerja dulu.
Pagi hari saat anak-anak berangkat ke sekolah dan suami bekerja, saya merasa kesepian. Apalagi saat berselancar ke media sosial melihat teman-teman seangkatan sukses di tempat kerjanya, ingin sekali kembali.
Kebutuhan untuk diakui dan diapresiasi adalah hal yang agak sulit dipenuhi bagi kami para Ibu ranah domestik. Oooo ... Sekarang di rumah saja ?.
Itulah pertanyaan yang paling mengganggu bagi kami🤭.
0 notes
Text
CANTIK
Apa kriteria cantik menurut kalian ?
Saat masih kecil saya senang sekali dengan serial Candy Candy, gadis kecil yang selalu ceria, Ketika memasuki usia belasan saya ingin seperti Sarah dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, cantik sedikit tomboy, mandiri dan terlihat keren sekali.
Saat SMA saya pernah tertarik pada teman lawan jenis, dan tentu saja saya ingin terlihat cantik di depan dia. Dan saya pun bertanya pada adik laki-laki saya yang beda usianya hanya setahun, cewek cantik itu seperti apa sih. Dia bilang, yang rambutnya panjang, kulitnya bersih dan wangi. Sejak itu saya berusaha memanjangkan rambut, ke sekolah memakai parfum dan bedak tipis. Sayangnya dengan usaha tersebut saya tidak disapa oleh teman yang saya kagumi tadi. Hahaha sungguh usaha yang sia-sia.
Lalu apa sebenarnya cantik itu ?
Ternyata beberapa negara atau daerah mempunyai kriteria cantik yang berbeda. Di Jepang wanita dengan gingsul dianggap lebih cantik. Standar kecantikan wanita di Korea Selatan, negara dengan klinik kecantikan terbanyak, ditentukan oleh kulit yang mulus, hidung mancung, wajah kecil, dan mata besar.
Di Iran hidung mancung adalah standar kecantikan. Bahkan Iran memiliki persentase operasi hidung tertinggi di dunia. Di China, wanita dengan kulit putih dan mulus lebih disukai. Mereka beranggapan kulit putih mempunyai strata sosial yang lebih tinggi. Berbeda dengan negara Arab, wanita dengan mata yang indah lebih disukai. Untuk menunjukkan keindahan matanya, wanita disana senang sekali menggunakan riasan di mata.
Dengan beragam standar kecantikan di setiap daerah, maka tidak ada patokan pasti apa itu cantik. Secara umum wanita cantik adalah wanita dengan pembawaan yang tidak berlebihan, sederhana tapi bersahaja. Dalam lingkungannya, dia bisa memancarkan kepercayaan diri dan bisa memberikan suasana yang positif untuk orang di sekitarnya.
Bagaimana kita bisa tampil cantik ? tentu saja dengan melakukan perawatan diri, tidak hanya untuk kebutuhan wajah dan tubuh tapi juga meningkatkan kualitas diri dengan terus belajar mengenali potensi diri sehingga mempunyai rasa percaya diri, berdaya dengan usaha dan karya kita.
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
1 note
·
View note
Text
Sinking Fund
Postingan tentang Sinking Fund beberapa kali terlihat di beranda IG saya. Saya klik dan baca caption, saya sedikit memahami apa itu Sinking Fund. Sinking artinya tenggelam, jadi apakah sinking fund adalah dana tenggelam?. Ternyata agak berbeda dengan pengertian harfiahnya. Sinking Fund yang dimaksud adalah dana yang sengaja dipersiapkan untuk keperluan di masa mendatang. Misalnya untuk renovasi rumah, untuk lIburan, untuk lebaran dan sebagainya.
Sebenarnya pendahulu kita sudah melakukan ini, Ibu saya contohnya. Meski beliau tidak belajar apa itu budgeting apalagi sinking fund, tapi beliau the best family financial planner yang saya kenal. Bapak seorang tukang becak, Ibu penjual sayur di pasar kecil dekat rumah. Penghasilan tiap bulan tidak menentu, tapi kebutuhan wajib tiap bulan selalu terpenuhi. Setahu saya, beliau tidak pernah berhutang dalam jumlah besar. Dan itu salah satu nasihat pernikahan dari beliau untuk saya, jangan mudah berhutang. Apa yang ada itu yang diolah. Kalau kami punya keinginan tapi dana tidak ada, artinya kami harus menahan keinginan itu.
Dengan keterbatasan pemasukan keluarga kami waktu itu, Ibu membuat sinking fund. Untuk biaya lebaran misalnya, Ibu menabung selama 10 bulan sebelum Ramadhan. Untuk biaya sekolah kami di jenjang selanjutnya, Ibu sudah menabung dua tahun sebelum kami lulus. Bahkan untuk pernikahan saya waktu itu, Ibu sudah menabung saat saya baru saja wisuda S1 meski ternyata pernikahan baru terlaksana 4 tahun setelah saya wisuda. Hehehe.
Apa yang dilakukan Ibu inilah yang menjadi panutan saya untuk mengatur keuangan keluarga saat ini. Meski tirakat saya tidak sehebat Ibu, tapi saya berusaha meneladani apa yang dilakukan Ibu, dengan aneka godaan seperti sale tanggal cantik yang hampir sering meruntuhkan tirakat itu.
Alhamdulillah, kami punya sinking fund untuk bisa membeli hewan kurban setiap tahun. Sedikit rejeki setiap bulan disisihkan. Kalau sekarang kami belum punya kendaraan, semoga nanti di sana kami punya kendaraan masing-masing. Aamiin.
Sampai saat ini kami tidak memiliki cicilan dan hutang. Begitu juga dengan tabungan, belum bisa dikatakan banyak. Cukuplah untuk dana kesehatan dan keadaan darurat. Tapi kalau untuk liburan ke Cappadocia sekeluarga ya gak cukup, apalagi keliling turki. Lah wong selisih harga detergent sedikit saja, kami putuskan ganti merk. Hahaha.
Sejak awal pernikahan saya dan suami bersepakat tidak mudah berhutang, apalagi untuk gaya hidup yang tidak ada akhirnya. Ada ungkapan jawa: akeh durung mesthi cukup, sithik durung kurang.
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
Flexing, apa itu ?
Beli dengan uang, yang sebenarnya tidak anda punya. Untuk barang, yang sebenarnya tidak anda butuhkan. Hanya untuk impres seseorang, yang sebenarnya tidak peduli dengan anda.
It's not self reward mbak. It's a fake ((Pakai nada Kinan 😅))
Baru saja lihat YouTube Prof. Rheinald dan Om Deddy tentang fenomena flexing, yaitu pamer kekayaan yang mungkin dia tidak benar-benar kaya, hanya untuk mendapatkan kesan dari orang lain.
Menurut Profesor Rheinald, orang yang benar-benar kaya justru tidak akan memamerkan kekayaannya. Tetap berpenampilan sederhana dan tidak dibuat-buat. Poverty Screams, but Whealth Whispers. Pepatah yang diberikan beliau untuk menggambarkan fenomena ini.
Orang kaya itu berbisik tidak berisik.
Saya teringat suatu kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat itu saya dan suami jalan pagi di sekitar rumah, melewati persawahan di dekat rumah. Tiba-tiba ada seorang bapak tua menyapa kami dari belakang. Beliau mengendarai motor tua, tidak pakai helm hanya pakai topi, memakai sandal jepit, memakai kaos yang sudah pudar warnanya.
“Siapa itu yah? mau ke sawah ya?”, tanya saya
“Lah, itukan pak B”, jawab suami
“Ha....! masa iya?”, tanya saya lagi
Tentu saya kaget dan masih terheran-heran. Karena pak B yang disebut suami adalah salah satu orang kaya di kota kami. Kebetulan kami kenal keluarga beliau, karena suami bekerja di salah satu ponakan beliau. Orangnya ramah dan sederhana, sama sekali tidak terlihat bahwa beliau orang kaya.
Beda dengan para crazy rich yang sering muncul di Instragram dan TV. Para sultan tersebut sering terlihat menggunakan barang mewah, jalan-jalan ke luar negeri, membeli barang branded, punya circle yang juga para sultan dan para artis ternama.
Masih menurut Profesor Rheinald, orang kaya akan membeli barang karena memang barang tersebut dibutuhkan. Tidak untuk dipamerkan. They spend their money to save their time, artinya mereka membeli barang untuk menunjang aktivitas dan produktivitas mereka.
Apakah tidak boleh kita memberikan reward untuk pencapaian yang kita raih. Tentu boleh, tapi pertanyaannya, apakah itu benar-benar untuk kita nikmati atau hanya untuk mendapatkan impres dari teman, kerabat dan orang di sekitar kita.
Kalau jawabannya adalah yang kedua, tentu akan membuat kita lelah alih-alih memberikan self reward atas pencapaian kita.
Lalu bagaimana kita bisa terhindar dari fenomena perilaku flexing ini.
Saya kutip dari cnnindonesia.com, berikut yang bisa kita lakukan :
1. Pastikan ekpektasi kita tidak melebihi realita dan kemampuan yang dimiliki
2. Kontrol diri untuk menunjukkan hal yang penting dan berguna
3. Mengubah pola pikir dan mindset kita, bahwa memamerkan apa yang kita miliki belum tentu menunjukkan kita hebat.
4. Coba untuk memahami bagaimana tanggapan orang di sekitar kita terhadap apay kita lakukan
5. Fokus untuk menikmati setiap momen yang kita lalui dan pencapaian yang kita raih.
Alamkuki
0 notes
Text
Circle Pertemanan Remaja
T : Han, kamu udah punya circle belum ? Kalau belum gabung yuk !
H : Mmm belum sih. Tapi aku belum mau. Maaf ya...
Salah satu percakapan di aplikasi wa anak perempuan saya Sudah menjadi kesepakatan kami dua tahun lalu (sejak pandemi), dia boleh punya HP sendiri dan punya akun media sosial dengan pantauan kami. Kapanpun kami berhak cek dan sidak HP dia, sampai nanti dia usia 15 tahun.
Dan semalam saat sidak, saya menemukan chat tersebut. Agak kaget dengan jawaban Si Kakak, berbeda dengan teman seumurannya yang bangga dengan circle ala mereka. Si Kakak justru percaya diri saja dengan ‘kesendirian’ dia. Nyaman tanpa circle seperti teman-temannya.
Tadi pagi saya konfirmasi ke Kakak, kenapa tidak mau diajak menjadi circle temannya itu.
“Gakpapa, belum nemu alasan buat gabung saja”, jawabnya.
“Kira-kira alasan apa yang bisa buat kamu untuk gabung ke suatu circle, kak?”, tanya saya
“Mmm..., ya harus satu frekuensi lah buk. Dan dia harus punya pengaruh baik ke aku sebaliknya juga gitu. Ya gitu deh”, jawabnya sambil lalu.
-Ya gitu deh-, salah satu kode dari dia kalau dia tidak nyaman dengan pertanyaan saya. Baiklah pembicaraan kami pun berhenti sampai situ.
Apa Itu Circle?
Circle, merujuk pada bentuk lingkaran. Bisa diartikan sebagai lingkaran pertemanan terdekat kita. Robin Dunbar, ahli antropologi dan psikologi asal Inggris, menciptakan konsep menarik terkait circle pertemanan. Ia menjelaskan bahwa setiap orang hanya bisa menjaga hubungan dengan maksimal 150 orang.
Akhir-akhir ini kata circle sering diucapkan anak usia remaja awal (SMP). Terlebih dengan penggunaan media sosial, seperti Instagram dan Tiktok. Mereka sering mengunggah foto ataupun video bersama circlenya. Adalah hal yang wajar, karena di usia mereka kebutuhan akan eksistensi masih cukup tinggi. Ingin dikenal, ingin disukai dan ingin diakui.
Yang perlu kita pahami sebagai orangtua dari fenomena ini adalah, seberapa besar pengaruh circle anak remaja kita. KENALI teman-teman terdekatnya, bagaimana dampaknya ke aktivitas anak kita. Dan tentu saja TEMANI anak kita agar bisa mendapatkan circle pertemanan yang positif dan suportif.
you are what your friends are
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
MINDSET POM BENSIN
Saya sempat terkaget-kaget dengan perubahan anak perempuan saya ketika dia sudah mengalami menstruasi, waktu itu ia duduk di kelas 6. Dari anak perempuan manis yang suka dipeluk dan bercerita menjadi anak yang lebih diam dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Dan akan bete jika saya menanyakan tentang sekolah, teman-temannya dan pelajaran di sekolah. “aah... Ibuk kepo !”, begitu katanya dan tentu saja dengan nada dan raut muka yang kurang menyenangkan.
Sedih dan pengen marah eh terkadang saya juga marah sih hehehe. Saat saya marah dan ngomel, dia hanya diam lalu masuk kamar. Dan itu membuat saya makin sebal, karena dia makin tidak mau terbuka kepada saya. Dia menutup diri.
Yang terjadi selanjutnya kami jadi seperti dua anak kecil yang diem-dieman saat bertengkar. Kalau diingat sekarang, saya jadi malu sendiri dan tentu saya merasa bersalah.
Saat ini hubungan kami sudah membaik, bahkan waktu itu dia peluk saya dan memanggil saya, “hai...! bestie...”. Dia masih menjadi gadis yang suka menyendiri di kamar, dan tidak banyak bercerita kepada saya tentang apapun itu. Dia akan bercerita hanya jika dia ingin, sayapun tidak lagi memaksa dia bercerita seperti waktu itu.
Sejak ‘pertengkaran’ kami waktu itu, saya mulai belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan di masa remaja. Saya tempatkan masalah ini pada peta belajar saya, saat belajar di tahap Bunda Cekatan Ibu Profesional. Hingga akhirnya pada tahap mentoring saya bertemu dengan mbak Puri Fitriani, dan dia mengenalkan MINDSET POM BENSIN untuk membersamai anak di masa peralihan dari anak ke remaja.
Apa yang terlintas dari kata POM BENSIN ? Yap, MULAI DARI NOL ya !
Mbak Puri menyampaikan bahwa, perubahan pada masa peralihan adalah hal yang wajar banget. Dan itu bukan perubahan terbesar pada tumbuh kembang anak. Masa perubahan terbesar justru saat masa golden age, antara 1-3 tahun. Dari anak yang tidak bisa berjalan dan bercerita menjadi anak yang suka berlari-lari dan cerewet bercerita dan menanyakan banyak hal kepada kita.
Anehnya terhadap perubahan terbesar itu, kita happy dan bangga. Menikmati dan menunggu setiap hal kecil perubahan yang terjadi. Tentu kalian masih ingat langkah pertama dan kata pertama yang diucapkan anak-anak, begitu semangatnya kita waktu itu.
Lalu mengapa saat anak pada proses tumbuh kembangnya dari anak ke remaja, kita harus marah dan sedih. Bukankah perubahan tersebut menunjukkan indikasi anak yang beranjak mandiri.
“Itu karena kita, emaknya, merasa telah mengenal anak kita. Merasa tahu banget dengan apapun itu yang anak inginkan dan butuhkan. Nah, perasaan I Know You So Well inilah yang menyebabkan kita kaget, terkadang kecewa dan marah dengan sikap anak yang berubah”, begitu Mbak Puri menjelaskan pada saya.
Dengan Mindset Pom Bensin, kita mulai menge-nol-kan diri. Belajar mengenali dari awal tentang anak kita. Mengamati apa yang dia suka, belajar mengenali bahasa cinta yang membuat dia nyaman dan mengerti gaya komunikasinya.
Pada kasus saya tadi, anak gadis saya sepertinya memang introvert. Tidak suka dengan keramaian , lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri. Tidak suka di-kepo-in. Sebenarnya mirip dengan ayahnya. Yang saya lakukan cukup dengan menghargai hal tersebut. Saat dia di kamarnya, saya menawarkan teh hangat atau camilan kesukaanya. Perlahan dia mulai nyaman bercerita beberapa hal pada saya.
Saya belajar bahwa saat anak beranjak remaja, lalu menuju dewasa, yang kita perlu lakukan adalah belajar menjadi teman yang nyaman buat anak. Kenali dan Temani tidak perlu banyak intervensi.
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
1 note
·
View note
Text
Six Thinking Hats Ala Emak
Saya belajar tentang Six Thinking Hat atau 6 topi berpikir di kelas Bunda Produktif. Apa itu ? Ialah teknik berpikir sebelum membuat keputusan atau mengambil kesimpulan. Teori ini di kenalkan oleh Edward De Bono, seorang psikolog, dokter dan penulis.
Dalam bukunya yang berjudul SIX THINKING HATS, De Bono mengajak kita untuk berpikir secara sistematis dan terstruktur. De Bono memisahkan antara emosi dari logika serta kreativitas dari informasi.
Apa saja enam topi tersebut?
1. Topi Putih
Putih identik dengan netral dan objektif. Saat menggunakan topi putih, maka kita hanya fokus pada data dan fakta.
2. Topi Merah
Warna merah dekat dengan emosi, intuisi dan perasaan. Ketika memakai topi merah maka kita dibolehkan menggunakan intuisi kita tapi tanpa justifikasi ataupun prasangka.
3. Topi Kuning
Kuning merujuk pada warna matahari pagi yang selalu membawa nilai – nilai positif. Saat menggunakan topi kuning, kita fokus pada manfaat dan nilai yang melekat pada keuntungan.
4. Topi Hitam
Hitam sepertii warna baju seorang hakim di pengadilan. Dengan memakai topi hitam kita diminta untuk lebih kritis memberikan penilaian dan analisa terhadap keputusan yang nanti kita ambil. Apa akibatnya dan masalah-masalah apa yang akan dihadapi.
5. Topi Hijau
Hijau sangat dekat dengan warna tanaman yang sedang bertumbuh. Ketika menggunakan topi hijau, maka kita berpikir kreatif pada gagasan atau ide yang bisa dikembangkan maupun munculnya ide-ide baru.
6. Topi Biru
Biru seperti warna langit. Topi biru menggambarkan keseluruhan sudut pandang kita. Digunakan untuk berpikir bagaimana kita harus berpikir. Mulai dari menggunakan segala asumsi, lalu membuat kesimpulan hingga akhirnya mendapatkan keputusan.
Lalu bagaimana menerapkan Six Thinking Hat dalam kehidupan sehari-hari. Saya pernah mencoba menggunakan metode ini, saat membicarakan rencana liburan di masa pandemi ini.
Masalah : Rencana Liburan Akhir Tahun 2021
Topi Putih :
1. Kasus harian konfirmasi covid sudah menurun
2. Kediri termasuk zona hijau
3. Ayah, Ibu dan Kakak sudah vaksin hingga dosis kedua.
4. Adik belum vaksin
5. Liburan sekolah 10 hari
6. Ayah tidak mendapatkan liburan dari kantor
Topi Merah :
1. Merasa bosan jika di rumah terus
2. Kangen pulang kampung ke Malang (sudah 2 tahun tidak pulang kampung)
3. Ingin bertemu dan bermain bersama sepupu
4. Masih was-was dengan pandemi
Topi Kuning :
1. Liburan bersama akan membawa semangat baru
2. Liburan akan memperat ikatan internal keluarga
Topi Hitam :
1. Perjalanan naik kendaraan umum akan menaikkan resiko tertular.
2. Apakah kota atau tempat tujuan sudah di zona aman untuk dikunjungi atau belum
3. Bagaimana protokol kesehatan ketika dalam perjalanan dan saat ada di tempat tujuan
Topi Hijau :
1. Mengajak sepupu – sepupu berkemah di halaman rumah.
2. Menonton film bersama dan makan bersama di rumah
3. Mudik ke Malang dengan sewa kendaraan
4. Meminta mbahkung yang ke Kediri, karena mbahkung sudah vaksin lengkap
Topi Biru :
Dengan asumsi pandemi belum usai dan fakta bahwa Si Adik belum mendapatkan vaksin dan ayah tidak bisa mendapatkan cuti liburan, maka kita tidak bisa liburan keluar kota ( mudik ke Malang ). Sehingga kita putuskan untuk liburan di Kediri saja dengan mengajak para sepupu untuk menginap di rumah. Menonton film bareng dan makan bareng.
Nah begitulah, bagaimana saya mengajak anak menggunakan metode Six Thinking Hats untuk mengambil keputusan.
Apakah kamu mau mencoba juga ?
Ku tunggu ceritanya ya
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
5 notes
·
View notes
Text
WHO AM I
Siapakah aku ? di usia sekarang yang sudah kepala 4, pertanyaan tersebut sepertinya terlalu aneh ditanyakan. Seharusnya saya sudah paham betul siapa saya dan apa yang ingin dan harus saya lakukan. Saya bukan ABG yang sedang mencari jati diri.
Tapi bukan berarti saya tidak boleh terus mencari. Bahkan orang-orang besar menemukan “dirinya” di usia yang sangat matang. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di usia 40 tahun, Abah Rama Royani menemukan dirinya setelah 27 tahun menjadi direktur, saat beliau menyadari bahwa pekerjaan saat itu tidak sesuai dengan bakatnya. Hingga beliau menemukan Talents Mapping dan bisa membantu banyak orang menemukan “dirinya”
Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, kali ini saya mengulas siapa “diri” saya setelah , mengikuti talents mapping dari Renti’s Corner bersama Teh Dian.
Dari 34 tema bakat yang diuraikan pada Talents Mapping, saya mempunyai potensi dengan 7 urutan teratas berikut :
1. Emphaty
2. Connectedness
3. Intelection
4. Analytical
5. Individualization
6. Arranger
7. Communicator
Hmm... ternyata saya mempunyai emphaty dan connectedness yang tinggi. Emphaty artinya saya mampu merasakan perasaan orang lain seakan-akan mengalaminya sendiri atau dengan bahasa sehari –hari saya adalah orang yang baperan xixixi. Jangan ditanya bagaimana wajah saat melihat film keluarga dengan genre drama keluarga hehehe.
Connectedness artinya saya mampu dan senang mengaitkan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Something happen for a reason, kira-kira begitulah. Tidak ada yang kebetulan.
Pada urutan berikutnya ada Intelection dan Analytical, dan ini cukup membantu bakat pertama dan kedua. Sehingga saya bisa baper pada tempatnya, dan saat mengaitkan beberapa peristiwa yang saya alami berdasarkan analisa logis dan hanya percaya pada fakta.
Selanjutnya ada bakat Individualization, Arranger dan Comunicator. Menurut Teh Dian, 3 bakat ini akan membantu peran saya sebagai Kahima IP Kediri Raya. Saya mampu melihat potensi seseorang dan menempatkannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Ini akan menutupi bakat Command yang tidak terlalu kuat.
Cara paling sederhana mensyukuri nikmat bakat yang diberikan Allah SWT adalah dengan memanfaatkan sebaik-baiknya bakat tersebut. Kita tidak sempurna, tapi kita istimewa dengan bakat yang kita miliki.
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
Kejutan Akhir Tahun 2021
Saat mengikuti salah satu sesi Konferensi Ibu Pembaharu 2021, tepatnya sesi Institut Ibu Profesional, saya mendapatkan doorprize dari panitia berupa voucher Talent Mapping Assesment.
Talent Mapping Assesment (TMA) menurut Abah Rama Royani, merupakan cara asesmen atau menilai dan menggali bakat (karateristik produktif) dan potensi kekuatan kita dengan tampilan hasil yang lengkap, mudah dipahami dan menarik.
Sebelumnya saya pernah mengisi ST30 di temubakat.com, bahkan saya mengisi beberapa kali hanya untuk memastikan apakah saya sudah benar mengenali diri saya. Dari beberapa kali saya mengisi ST30, memberikan hasil yang berbeda. Meskipun ada beberapa yang selalu muncul, yaitu communicator dan educator.
Saya menganggap mungkin karena dalam keseharian, saya adalah pengajar matematika. Dan hal tersebut sudah saya lakukan saat masih kuliah, jadi sekitar duapuluh tahun lebih saya beraktvitas mengajar, maka hasil ST30 tersebut tidak membuat saya kaget. Wajar saja bagi saya 😁.
Kembali ke voucher tadi, awalnya saya berharap voucher itu bisa saya berikan ke anak gadis saya (14 tahun), karena saya ingin dia bisa mengenali potensi dan kekuatannya sehingga nanti dia bisa mengembangkannya.
Tapi setelah saya menghubungi Teh Dian, yang memberikan voucher tersebut, TMA hanya bisa digunakan oleh anak di atas usia 16 tahun. Akhirnya voucher tersebut saya gunakan, teh Dian juga berjanji akan memberikan tips bagaimana saya bisa mengamati potensi anak-anak saya setelah saya mengetahui diri saya terlebih dahulu melalui TMA tersebut. Wah seneng banget dong, rejeki akhir tahun.
Setelah liburan awal tahun, teh Dian memberikan link kepada saya. Saat saya klik link yang diberikan, saya menuju beberapa pertanyaan tentang hal-hal dan aktivitas yang saya sukai. Jumlah pertanyaannya cukup banyak sekitar 200an pertanyaan, teh Dian berpesan saat mengisi sebaiknya dalam kondisi yang tenang dan rileks dan memilih sesuai yang saya rasakan saat itu.
Saya membutuhkan sekitar 30 menit untuk mengisi link TMA yang diberikan, jujurly ada beberapa pertanyaan yang sedikit membingungkan. Tapi sesuai pesan teh Dian, saya mengisi sesuai dengan apa yang dirasakan.
Lega setelah mengisinya dan tidak sabar mengetahui hasilnya, apakah berbeda dengan hasil ST30 yang beberapa kali saya lakukan. Ataukah ada hasil yang mengejutkan kali ini?
Akan saya ulas di tulisan berikutnya saja ya, sudah malam nih. Saya harus melatih habit tidur awal waktu, no begadang ! 🤭
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
KENALI DAN TEMANI
Beberapa hari lalu, saya diajak ngobrol sama teman-teman seumuran, iya seumuran anak saya 😁. Ngobrolin tentang Manajemen Emosi.
Ternyata para genZ ini punya pemikiran yang menarik, konflik yang mereka alami pun lebih kompleks. Ini jika dibandingkan waktu saya seusia mereka.
Saat usia belasan, saya masih lihat Doraemon dan Detektif Conan. Konflik batin terberat saya di masa itu seputar pilihan antara mengaji atau belajar, eh tapi boong 😅. Kegalauan saya sekitaran bagaimana caranya pulang dari main seharian agar tidak kena marah.
Para remaja masa kini, selain kegalauan tentang gebetan juga tentang pertemanan. Diantaranya komentar pedas temannya di postingan mereka.
Ada yang galau dengan rasa insecure karena melihat postingan teman mereka atau postingan para selebgram mudah dengan gaya OOTD-nya.
Ada juga yang galau tentang kasus korupsi dan kebijakan pemerintah. Mereka gemes lihat kasus korupsi para pejabat. Keren banget kan?
Berbekal materi yang saya kumpulkan sewaktu belajar di Bunda Cekatan beberapa tahun lalu. Saya mengajak mereka untuk mengenali jenis emosi dan bagaimana merelease emosi agar tidak menjadi beban.
Sedikit saya singgung juga tentang Growth Mindset, bagaimana mengubah kata GAGAL menjadi kalimat SATU LANGKAH MENDEKATI KEBERHASILAN.
Eh ada yang nyletuk, "masalahnya Bu..., kadang mama papa menuntut kita gak boleh gagal. Harus berhasil. Dan itu membuat kita jadi kena mental Bu"
Waduh 😅
Benar juga kata sebagian artikel bahwa karakter genZ itu lebih ekspresif dan lebih kritis.
KENALI DAN TEMANI, itu yang selalu saya pegang saat membersamai anak-anak. Mendidik anak ibarat merawat tanaman.
Agar tanaman tersebut bisa tumbuh dengan baik, kita harus bisa mengenali karakter dan ciri khusus tanaman tersebut. Hal ini agar kita bisa memberikan stimulasi yang sesuai.
Jika kita terlalu banyak melakukan intervensi akan berakibat tidak baik pada tumbuh kembang tanaman tersebut.
Pun begitu dengan anak kita, semua anak terlahir dengan keistimewaan. Cukup kita melakukan banyak pengamatan, untuk mengenali karakter dan keistimewaan anak kita.
Lalu temani saja, jangan terlalu banyak intervensi.
Fokus pada kekuatan dan siasati keterbatasan. Kalau di Ibu Profesional, saat di kelas Bunda Sayang ada ungkapan tinggikan gunung bukan ratakan lembah.
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
Kembali Ke Sekolah
Akhir pekan ini kemarin, saya mengambil rapot Si Kakak (8 SMP) dan Si Adik (3 SD). Ada hal menarik saat saya mengambil rapot mereka.
Pagi hari sekitar jam 9 pagi saya sudah datang ke sekolah Kakak, padahal undangan untuk sesi dua masih jam 10.00. Nah sewaktu saya menunggu panggilan sesi dua, saya duduk di taman sekolah.
Saya bersebelahan dengan dua Ibu dari sesi satu yang sudah mendapatkan rapot anaknya. Karena jarak kami dekat dan suara dua Ibu tersebut cukup keras, sayapun bisa mendengar percakapan mereka. Hal ini harus saya sampaikan, karena saya tidak ingin ada kesan – suka nguping – wkwkwk. Kembali ke dua Ibu tadi, kira-kira begini percakapannya :
Ibu 1 : duh, piye iki Ma ! Anakku kok nilainya Matematikanya cuman 91. Nilai rata-ratanya juga turun. Ngelu aku Ma !
Ibu 2 : sudah ikut les toh Ma ! lesnya dimana ?
Ibu 1 : uwes Ma, wes tak lesno nang **** (menyebut salah satu nama bimbel terkenal di kota kami). Tapi yo ngono Ma. Bocahe kui aras-arasen. Lah Jeny ( nama anak Ibu 1 ) les dimana Ma?
Ibu 2 : Tak panggilkan guru les ke rumah Ma ! biar aku bisa mantau juga. Tapi yo gitu Ma, Jeny sama guru lesnya akeh ceritone. Karepku kalau PRnya sudah, mbok yo dikasih soal latihan. Ora guyon terus !
Hmmm..., ambil napas dulu
Saya sedikit miris mendengar percakapan dua Ibu tadi. Bukan karena saya juga pengajar bimbel yang mengajar Matematika, tapi miris kenapa tidak ada sedikitpun kalimat apresiasi untuk usaha dan hasil yang diperoleh anak.
Haellouuw..., nilai 91 untuk Matematika itu sudah sangat bagus loh! Apalagi anak-anak masih dalam pembelajaran jarak jauh, yang tentu kurang maksimal bila dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka sebelum Covid.
Ayolah buk, jangan terlalu fokus pada nilai di rapot. Jujurly saya penasaran dengan nilai rapot dua Ibu tadi sewaktu SMP. Bisa jadi nilainya 100 atau bahkan 150 yak ! wkkwkwk.
Meskipun saat sekolah dulu, prestasi rapot kita sempurna, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengintimidasi anak dalam proses belajarnya.
Anak terlahir dengan fitrah belajar dan bernalar. Yang dibutuhkan anak adalah suasana belajar yang mendukung fitrah tersebut untuk bertumbuh. Suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan tanpa paksaan dan intimidasi. Dan tugas kita, sebagai orang tua untuk menyediakannya.
Belajar lagi yuk Bu,
Salam,
alamakui
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
Bernafas dulu saja
Saya mengenal Teknik Sadar Napas saat di kelas Bunda Cekatan. Tepatnya di tahap ulat, tahapan dimana kami boleh mengambil materi yang kami butuhkan sesuai peta belajar.
Saya membutuhkan manajemen emosi, khususnya manajemen marah. Waktu itu (2019), saya baru saja resign dari tempat kerja. Meskipun keputusan resign sudah saya pertimbangkan sejak dua tahun sebelumnya, tapi tetap saja saya mengalami post power syndrom.
Saya yang dulu kemana-mana, kini harus stay di rumah. Saya yang bisa dengan leluasa jajan, sekarang harus berhitung kembali.
Perubahan keadaan tersebut, ditambah lagi waktu itu pandemi covid mulai masuk ke Indonesia, membuat emosi saya mudah tersulut. Ada perasaan tak berdaya karena sudah tidak lagi bekerja, gelisah dan kekuatiran akan kondisi saat itu.
Manajemen Emosi
Emosi adalah karunia Allah yang diberikan kepada makhlukNya. Dulu saya beranggapan bahwa emosi itu adalah marah. Ternyata emosi itu beragam, ada gairah, semangat, cemas, takut, jijik, marah dan sebagainya.
Emosi yang kita rasakan adalah hal yang valid. Termasuk saat kita ingin marah, saat kita merasa cemas ataupun gelisah. Semua boleh dan wajar, hanya saja bagaimana kita mengelola emosi inilah yang harus dipelajari. Agar emosi yang kita rasakan bisa tersalurkan dengan baik, sehingga tidak menyakiti diri sendiri ataupun orang-orang di sekitar kita
Teknik Sadar Napas
Bernapas adalah hal yang setiap saat kita lakukan. Lalu apa yang disebut dengan sadar napas, bukankah hal tersebut sudah kita lakukan sejak lahir.
Sadar Napas yang dimaksud adalah bernapas dengan sengaja dan penuh kesadaran. Saat bernapas kita merasakan setiap tarikan dan hembusannya.
Manfaat Teknik Sadar Napas
Sebagian besar masalah kita bersumber pada dua hal saja yaitu, kenangan atau penyesalan masa lalu dan kekuatiran akan masa depan yang belum pasti.
Bernapas dengan sadar mengembalikan perhatian kita pada kondisi di sini-kini. Melonggarkan kekuatiran yang ada di pikiran dan perasaan bersalah pada keadaan masa lalu.
Hal ini membuat kita kembali mereset segala informasi yang ada dan akan membantu kita lebih tenang sehingga bisa fokus pada solusi.
Latihan praktis sadar napas (Metode 4-7-8)
Hirup napas dari hidung selama 4 hitungan
Tahan napas selama 7 hitungan
Hembuskan napas dari mulut selama 8 hitungan
Ulangi selama 6-12 putaran, hingga napas kembali seimbang dan rileks
Nikmati rasa rileks yang hadir di tubuh dan pikiran Anda.
Saya sudah melakukan hampir di setiap saat saya merasa marah, kecewa dan gelisah. Napas yang terbaik yang dapat merelease emosi adalah napas yang dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran.
Yuk bernapas dulu yuk 🤗
Salam,
Alamakuki
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes
Text
Mengenalkan Konsep Matematika Permulaan Dengan Bermain
Menyambung tulisan sebelumnya, kali ini saya ingin memberikan contoh-contoh permainan yang bisa digunakan untuk mengenalkan konsep matematika permulaan pada anak usia dini.
Konsep ini seharusnya sudah tuntas sebelum anak belajar matematika di jenjang Sekolah Dasar.
Namun bagaimana jika anak sudah terlanjur belajar berhitung, padahal ada konsep yang belum tuntas ? Tidak apa, Anda bisa mengulang kembali konsep ini dengan bermain bersamanya.
Belajar Matematika Dengan Bermain
Konsep matematika permulaan akan lebih seru dan menyenangkan jika dikenalkan dengan permainan sederhana.
Karena dunia anak-anak adalah dunia bermain. Saat bermain, anak akan bersungguh-sungguh. Karena bermain bagi anak-anak selayaknya pekerjaan bagi kita orang dewasa. Dia akan selalu menjadi tokoh utama dalam permainan tersebut.
Tentu saja saat mengenalkan konsep matematika permulaan ini, kita tidak bisa memaksa. Biarkan anak bereksplorasi, tugas kita hanyalah memberikan sarana dan menjadi teman bermain yang menyenangkan.
Konsep Matematika Permulaan
Berikut beberapa Konsep Matematika Permulaan yang harus dituntaskan anak sebelum dia masuk usia sekolah .
A. KONSEP BILANGAN
Pada konsep ini, anak bisa membilang dengan menghubungkan / memasangkan lambang bilangan dengan benda-benda. Dan anak mampu membandingkan bilangan yang lebih besar atau lebih kecil.
Contoh permainan yang bisa dilakukan :
1. Menggunakan jari tangan lalu menyebutkan bilangan yang sesuai dengan jumlah jari tangan yang ditunjukkan. Anda bisa juga menggunakan lagu seperti : satu satu aku sayang ibu, dua dua aku sayang ayah ... .
2. Memasangkan bilangan dengan jumlah benda yang sesuai. Angka 1 dipasangkan dengan 1 pisang, angka 2 dipasangkan dengan 2 pisang, angka 3 dipasangkan dengan 3 pisang, dan seterusnya.
Tujuan dari permainan ini adalah, anak mendapatkan pengalaman belajar yang nyata dengan melihat dan menyentuh. Anak memahami bahwa 1 memiliki benda yang lebih sedikit dari 3, begitupun sebaliknya.
Tidak usah terburu-buru mengajak anak untuk menulis angka, apalagi menghapalkan urutannya.
B. KONSEP POLA DAN HUBUNGAN
Pola adalah susunan berulang dari sebuah urutan. Konsep pola dan hubungan ini penting karena pada kehidupan sehari-hari akan membantu anak untuk mencari solusi suatu masalah dengan lebih efektif.
Contoh permainan yang bisa dilakukan :
1. Mengajak anak menyusun sendok - garpu secara berulang, bisa juga menggunakan 3 benda seperti sendok-garpu-gelas. Lalu ajak anak untuk melanjutkan susunan berikutnya.
2. Ajak anak memasangkan kaos kaki, saat Anda melipat baju. Dengan permainan ini anak dapat memahami konsep hubungan dan relasi.
Konsep pola dan hubungan akan dipelajari lebih lanjut saat anak belajar fungsi dan persamaan matematika.
C. KONSEP GEOMETRI DAN RUANG
Banyak sekali benda di sekitar kita yang bisa digunakan untuk belajar konsep geometri dan ruang.
Contoh permainan yang bisa dilakukan :
1. Mengenalkan geometri bangun datar dengan berbagai bentuk biskuit, ada bentuk lingkaran, ada bentuk persegi panjang, ada juga yang berbentuk segitiga.
2. Mengenalkan bangun ruang / dimensi tiga dengan benda yang ada di rumah. Ada gelas yang berbentuk tabung, ada sabun yang berbentuk balok, ada dadu yang berbentuk kubus.
3. Mengenalkan konsep ruang, dengan masuk di kardus bekas. Anak dikenalkan konsep di dalam, di luar, di atas, di bawah dan sebagainya.
Dengan permainan ini, kita sudah memberikan stimulasi kecerdasan spasial pada anak. Selain itu anak bisa membedakan berbagai bentuk benda, dan kita bisa mengajak anak berkreasi dengan berbagai bentuk tersebut.
Puncak tertinggi belajar matematika, bukan pada nilai yang bagus saat ujian atau angka sempurna di rapot. Tapi bertambahnya iman kita kepada Allah Sang Pencipta.
Selamat bermain bersama anak-anak ya ! Belajar itu harus menyenangkan 🤩
Salam,
Alamakuki
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
1 note
·
View note
Text
Bahagia Bermatematika
Pekan ini anak-anak sudah mulai bersekolah. Di beberapa daerah, termasuk di daerah dimana saya tinggal sudah full PTM (Pertemuan Tatap Muka). Tentu tetap dengan protokol kesehatan seperti memakai masker.
Sebagai pengajar privat Matematika, saya hampir sering mendengar keluhan tentang matematika, baik itu dari si Anak maupun dari si Ibu.
Keluhan dari si Anak, "kenapa sulit sekali memahami konsep Matematika"
Keluhan dari si Ibu, "kok nilai matematika anak saya biasa saja"
Nah, terlihat bedanya kan?
Saat si Anak masih berusaha dan berproses memahami konsep Matematika, si Ibu sudah tidak sabar dengan hasilnya. Tentu tidak semua Ibu demikian, beberapa saja. Dan saya harap itu bukan saya dan Anda tentunya.
Bermatematika itu harus runtut, bertahap dan tidak bisa instan. Karena konsep matematika itu saling terkait. Jika kita tidak paham konsep awal maka akan kesulitan memahami konsep berikutnya.
Contohnya, saat ingin memahami konsep dasar Trigonometri yang kabarnya rumusnya buanyak itu. Kita harus memahami dulu konsep dasar Phytagoras, untuk memahami konsep Phytagoras kita harus memahami konsep perbandingan.
Konsep perbandingan adalah salah satu konsep permulaan bermatematika. Harusnya sudah tuntas di jenjang PAUD, sebelum anak belajar berhitung.
Sayangnya, bermatematika kita terlalu menggegas. Anak langsung belajar calistung, meski belum tuntas dengan konsep matematika permulaan.
Saya pernah bertemu dengan anak 4 tahun, dia sudah bisa membilang secara urut bahkan menuliskannya dengan baik dari angka 1-20. Tapi saat saya tanya 13 dan 10 lebih banyak mana, dia tidak bisa menjawab. Artinya konsep perbandingan belum tuntas.
Menemani Anak Bermatematika
Bermatematika, adalah belajar matematika sehingga mampu menyelesaikan problem dengan konsep-konsep matematika.
Tidak sekedar belajar untuk mendapatkan nilai matematika yang bagus di rapot
1. Kenalkan penggunaan Matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika itu sangat dekat dengan aktivitas sehari-hari. Saat memasak jelly misalnya, Anda bisa mengajak anak menakar jumlah air dan gula sesuai resep di balik bungkusnya. Lalu mencetak dengan berbagai ukuran, sehingga nantinya kita bisa mengajak anak untuk membandingkan ukuran jelly, lalu Anda bisa buat aturan -makan jelly dari yang terkecil-.
Dengan aktivitas ini kita telah mengajak anak belajar konsep membandingkan, membilang dan mengurutkan.
2. Bantu anak memahami konsep dasarnya terlebih dahulu
Untuk anak di usia sekolah, terkadang guru harus menghabiskan materi sesuai dengan rencana pengajaran. Sehingga terpaksa meninggalkan beberapa anak yang belum tuntas dengan konsep dasarnya.
Sebagai orangtua, sewajarnya kita bisa membantu anak untuk memahami konsep dasar tersebut. Karena jika konsep dasar tidak tuntas, maka anak akan kesulitan memahami konsep selanjutnya.
Anda bisa meminta bantuan kepada guru yang mengajar atau kepada kerabat, jika Anda kesulitan menjelaskan konsep tersebut kepada anak.
3. Beri keyakinan ke anak, bahwa semua bisa dipelajari.
Saat di kelas, anak akan membandingkan dirinya dengan temannya. Terkadang pencapaian temannya bisa mengintimidasi dia dan membuat dia tidak percaya diri untuk belajar matematika.
Saat di rumah, tumbuhkan lagi semangat belajarnya dengan kalimat positif. Bukan dengan kalimat negatif yang makin membuat anak tidak semangat belajar.
4. Kenali gaya belajarnya
Setiap anak unik, mereka memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada anak yang suka dengan tulisan yang berwarna-warni, ada yang lebih mudah memahami dengan menyentuh langsung objek belajarnya atau ada yang lebih suka belajar dengan mendengarkan penjelasan dari orang lain.
Maka kenali dan temani anak sesuai gaya belajarnya.
5. Apresiasi prosesnya bukan hasilnya
Dalam konsep Growth Mindset, memberikan apresiasi pada proses yang dilakukan anak akan memberikan semangat anak untuk meningkatkan proses baik yang dilakukan.
Jika kita terlalu menekankan pada hasil, akan membuat anak mudah berhenti jika mendapatkan hasil yang diinginkan. Dan jika mendapatkan hasil yang gagal, dia akan berputus asa.
Esensi matematika itu terletak pada kebebasannya, selalu ada cara lain untuk menyelesaikan masalah.
Selamat bermatematika dengan bahagia.
Salam,
Alamakuki
#1dekadeibuprofesional
#KelasLiterasiIbuProfesional
#ibuprofesional2021
#ibuprofesionalforindonesia
#semestakaryauntukindonesia
#womenincooLABoration
#IP4ID2022
#klip2022mengantarcahaya
0 notes