Text
Refleksi 30 Tahun Pale Blue Dot : Carl Sagan, Greta Thunberg, dan Senja Kala Homo Sapiens
Tepat 30 tahun yang lalu pada 14 Februari 1990, wahana antariksa Voyager 1 memotret planet bumi dari jarak sekitar 6 miliar kilometer. Dari jarak tersebut bumi tampak seperti sebuah titik biru pucat yang begitu kecil dan insignifikan. Foto tersebut akhirnya diberi nama Pale Blue Dot.
Pengambilan gambar ini tidak lepas dari permintaan astronom legendaris Carl Sagan yang melobi NASA supaya Voyager 1 memutar kameranya dan mengambil gambar bumi untuk terakhir kali sebelum meninggalkan tata surya.Foto Pale Blue Dot kemudian menjadi begitu terkenal. Carl Sagan sendiri sampai menulis sebuah buku dengan judul tersebut. Dalam narasi yang dituliskan Sagan tentang Pale Blue Dot, ia mengingatkan kita betapa tidak signifikannya bumi di alam semesta ini.
Sepanjang sejarah manusia selalu meyakini bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Namun seiring perkembangan sains dan pengetahuan, kita mengetahui bahkan bumi bukanlah pusat dari tata surya. Ya, bumi hanyalah salah satu planet kecil bersama dengan beberapa planet lainnya yang mengelilingi sebuah bintang yang kita kenal dengan surya atau matahari. Matahari kitapun ternyata hanyalah salah satu bintang insignifikan di galaksi kita Bima Sakti.
Surya hanyalah salah satu bintang di antara sekitar 400 miliar bintang lainnya di galaksi bima sakti. Belum cukup sampai di situ, galaksi kita Bima Sakti pun hanyalah salah satu galaksi di antara ratusan miliar galaksi lain yang ada di alam semesta ini.
Carl Sagan berkata bahwa astronomi sesungguhnya pengalaman tentang belajar menjadi rendah hati. Ketika kita menyadari apa dan di mana sebenarnya posisi kita di alam semesta, tidak ada alasan bagi kita untuk menyombongkan diri dan merasa paling penting. Namun juga di dalam pemahaman bahwa kita dan planet kita sebenarnya tidak signifikanlah, kita bisa semakin menghargai dan menyayangi rumah kita ini. Karena bagaimanapun seperti kata Sagan, titik biru pucat yang insignifikan inilah satu-satunya rumah kita.
Di titik biru pucat inilah terdapat semua orang yang kita sayangi, semua impian kita, semua kebaikan, semua kebahagiaan, kesedihan, cinta, benci, dan penderitaan yang kita alami.
Waktu berlalu dengan begitu cepat, 30 tahun sejak foto Pale Blue Dot diambil, planet kita dan kehidupan di dalamnya banyak sekali mengalami perubahan. Di abad 21, perkembangan sains dan teknologi tidak lagi terelakkan telah mengubah jalannya sejarah spesies kita. Ada begitu banyak persoalan dan problematika yang telah berhasil diselesaikan oleh sains. Angka harapan hidup manusia abad ini mungkin adalah yang paling tinggi di sepanjang sejarah spesies kita.
Perkembangan sains di bidang kesehatan melalui penemuan vaksin dan obat-obatan pun telah mengentaskan banyak jenis penyakit yang dulu begitu diyakini oleh moyang kita sebagai kutukan atau azab dari langit.Selain itu dalam angka kelaparan dan kemiskinan pun cenderung mengalami tren penurunan meski kedua problematika masih jauh dari kata tuntas bagi spesies kita. Ketakutan Thomas Malthus akan tidak sanggupnya kita menyediakan makanan akibat jumlah manusia yang terus bertambah pun tidak terbukti setidak sampai hari ini.
Rekayasa genetik di bidang pertanian dan pangan memampukan kita menghasilkan pangan dengan jumlah dan cara yang mungkin tidak pernah terbayang oleh para pendahulu kita.Sains seperti yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari telah membuat kita, homo sapiens bertransformasi dari kumpulan binatang yang insignifikan di Afrika berubah menjadi penguasa dan pengatur planet ini.
Namun di tengah-tengah optimisme akan masa depan yang lebih baik bagi umat manusia, telah mengintip sebuah ancaman bom waktu yang mengerikan. Bom waktu itu bernama perubahan iklim.
Tepat pada hari pertama di tahun 2020, kota tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta dilanda banjir besar. Sebagian besar jalanan ibukota negara lumpuh total karena tergenang air. Banjir juga melanda beberapa daerah di sekitar Jakarta seperti Bekasi, Banten, Depok, dan Bogor. Ratusan ribu orang harus mengungsi karena rumah mereka terendam. Bahkan sekitar 60 orang menjadi korban jiwa akibat bencana ini. BNPB mencatat bahwa curah hujan pada tanggal 1 Januari kemarin adalah yang tertinggi dalam sekitar 150 tahun terakhir.
Bencana ini menjadi alarm pengingat bahwa cuaca ekstrem adalah salah satu akibat perubahan iklim yang sedang terjadi.Di awal tahun ini ketika Jakarta dan sekitarnya sedang “surplus air”, negara tetangga kita Australia justru dilanda kebakaran hutan hebat yang menyedot perhatian seluruh dunia. Ratusan juta hewan diperkirakan mati dalam kobaran api di hutan-hutan Australia.
Kebakaran hutan yang lebih sering dan lama adalah salah satu efek domino dari kenaikan suhu di bumi akibat perubahan iklim.Selain meningkatnya intensitas cuaca ekstrem dan kebakaran hutan, perubahan iklim juga mengakibatkan naiknya permukaan laut dan gelombang panas. Kenaikan permukaan laut membuat kota-kota besar di dunia terancam tenggelam.
Jakarta bahkan dinobatkan sebagai the fastest-sinking city in the world. Sementara itu pada tahun lalu sejumlah besar kota di Eropa dilanda gelombang panas yang memecahkan rekor suhu terpanas di. Prancis mencatat suhu paling tinggi sepanjang masa, yaitu 46 Celcius. Pada periode yang sama rekor dipecahkan di Republik Ceko, Slowakia, Austria, Andorra, Luxemburg, Polandia, dan Jerman.
Di tengah-tengah semua hiruk pikuk perubahan iklim ini, pada tahun lalu seorang aktivis lingkungan berusia 16 tahun dari Swedia bernama Greta Thunberg menarik perhatian dunia lewat pidatonya di forum PBB. Pidato singkatnya yang lebih dikenal dengan judul “how dare you” seketika meledak dan viral di media sosial. Hasilnya Greta menjadi salah satu inspirasi bagi ledakan unjuk rasa penyampaian pendapat tentang iklim di seluruh dunia.
Dilansir the guardian, unjuk rasa tentang kepedulian iklim telah dilakukan di lebih dari 185 negara di dunia. Jutaan orang turun ke jalan menyuarakan kepedulian mereka terhadap perubahan iklim dan menuntut tindakan serius dari pemimpin politik dunia untuk segera bertindak. Yang menarik dari demonstrasi ini adalah mayoritas pengunjuk rasa adalah anak-anak sekolah dan perguruan tinggi. Di beberapa negara bahkan anak-anak sekolah dasar yang masih kecil ikut turun ke jalan.
Ya generasi saya, mereka dan anak cucu kamilah yang kelak akan merasakan dampak paling besar dari perubahan iklim yang sedang terjadi. Di saat pemimpin-pemimpin dunia sibuk memikirkan bagaimana menumbuhkan ekonomi setinggi-tingginya, lingkungan dan alamlah yang seringkali dikorbankan dan digadaikan. Kita juga seringkali cenderung abai karena dampaknya mungkin tidak langsung terasa karena perubahannya sangat pelan namun pasti.
Lalu pertanyaannya apa yang bisa kita lakukan? Lebih banyak menggunakan kendaraan umum ? Lebih menghemat pemakaian listrik? Mengurangi konsumsi daging ? Ya, semua hal tersebut memang boleh kita coba lakukan namun dampaknya tidak akan terlalu besar. Siapa pemegang pengaruh terbesar yang dapat bertindak untuk mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global? Jawabannya adalah pemimpin-pemimpin dunia : presiden, perdana menteri, dan para wakil rakyat yang kita pilih untuk menentukan kebijakan publik.
Hal paling sederhana namun berpengaruh besar yang bisa kita lakukan adalah memilih dengan lebih bijaksana dan bertangggungjawab saat pemilu. Hari ini berapa banyak di antara kita (termasuk saya) yang ketika memilih seorang kandidat pemimpin, melihat komitmennya terhadap lingkungan. Ya, saya selama ini juga abai terhadap isu yang satu ini. Kebijakan ekonomi, citra, dan retorika kandidat tersebutlah yang seringkali menjadi faktor saya memilihnya dalam pemilu. Kebijakan lingkungan haruslah menjadi faktor penting bagi kita dalam memilih dalam pemilu berikutnya.
Faktanya hari ini di seluruh dunia, isu lingkungan dan iklim selalu dipinggirkan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Ya, pertumbuhan ekonomi memang penting karena menyangkut kesejahteraan hidup orang generasi ini. Namun lingkungan dan iklim juga tidak kalah penting karena menyangkut kelangsungan hidup generasi selanjutnya dan berpuluh-puluh generasi setelahnya (kalau manusia belum punah).
Sedihnya hari ini di seluruh dunia tren yang terjadi adalah kembali menguatnya ultra nasionalisme. Brexit, kontroversialnya Trump, dan terpilihnya Jair Bolsonaro di Brazil menjadi senja kala globalisasi. Akibatnya isu lingkungan dan iklim yang adalah kepentingan dan tanggung jawab kolektif kita sebagai umat manusia ditelan oleh narasi pertumbuhan dan kepentingan ekonomi nasional. Sayangnya ini juga terjadi di Indonesia. Belakangan ini jika kita cermati, narasi dan bahasa yang hampir selalu dilontarkan oleh Presiden Jokowi adalah investor, investor, dan investor.
Sekali lagi saya tidak alergi dengan investasi tapi yang mengkhawatirkan adalah belakangan pemerintah terkesan berupaya dengan segala cara untuk menarik hati dan berusaha menyenangkan investor. Yang paling menyedihkan adalah pengkajian untuk menghilangkan AMDAL dalam pembangunan. Bagi investor ini mungkin adalah berkah, namun bagi masa depan lingkungan dan iklim ini adalah bencana.
Adalah tugas kita untuk mengingatkan dan mencelikkan pemimpin-pemimpin kita agar tidak “rabun jauh” terhadap bencana iklim yang sedang menanti kita.
Semoga peringatan 30 tahun Pale Blue Dot tidak menjadi awal dari senja kala kita, homo sapiens di bumi. Untuk menutup refleksi ini, rasanya tidak ada yang lebih pas dari narasi Carl Sagan tentang titik biru pucat yang kita cintai ini.
”Look again at that dot. That's here. That's home. That's us. On it everyone you love, everyone you know, everyone you ever heard of, every human being who ever was, lived out their lives. The aggregate of our joy and suffering, thousands of confident religions, ideologies, and economic doctrines, every hunter and forager, every hero and coward, every creator and destroyer of civilization, every king and peasant, every young couple in love, every mother and father, hopeful child, inventor and explorer, every teacher of morals, every corrupt politician, every "superstar," every "supreme leader," every saint and sinner in the history of our species lived there--on a mote of dust suspended in a sunbeam.
The Earth is a very small stage in a vast cosmic arena. Think of the rivers of blood spilled by all those generals and emperors so that, in glory and triumph, they could become the momentary masters of a fraction of a dot. Think of the endless cruelties visited by the inhabitants of one corner of this pixel on the scarcely distinguishable inhabitants of some other corner, how frequent their misunderstandings, how eager they are to kill one another, how fervent their hatreds.
Our posturings, our imagined self-importance, the delusion that we have some privileged position in the Universe, are challenged by this point of pale light. Our planet is a lonely speck in the great enveloping cosmic dark. In our obscurity, in all this vastness, there is no hint that help will come from elsewhere to save us from ourselves.
The Earth is the only world known so far to harbor life. There is nowhere else, at least in the near future, to which our species could migrate. Visit, yes. Settle, not yet. Like it or not, for the moment the Earth is where we make our stand.
It has been said that astronomy is a humbling and character-building experience. There is perhaps no better demonstration of the folly of human conceits than this distant image of our tiny world. To me, it underscores our responsibility to deal more kindly with one another, and to preserve and cherish the pale blue dot, the only home we've ever known.”
Albert Wijaya

1 note
·
View note