Text
Panji hitam mulai membubung
Jalan Al Quds hanya ikut titah
Dari dulu di Lauh Mahfuz terpahat sudah
Alam semesta kini di ujung sejarah
Berbahagialah orang-orang yang berserah
Hanya Sang Pemilik saja yang tiada musnah
Semoga dibangkitkan kembali di Jannah
Bila tidak, Neraka Membara jadi ujung arah
0 notes
Text
Zombi Politik
Ada fenomena "bunuh diri masal" para idealis dalam dinamika politik nasional hari ini. Mungkin hanya subjektifitas sy saja, tapi bolehlah sebagai frasa awal sebuah ulasan seorang aktifis pinggiran ini.
Bukan tak menemukan jalan untuk "parkir" ke tengah pusaran, tapi mendengar tawaran dan peluang itu membuat bulu roma bergidik, karena pertaruahnya adalah "kematian" tadi. Sedang sy ingin dapat "hidup" lebih lama.
Di usia skrg, tak perlu lagi bermimpi sehidup namanya Tan Malaka atau Buya Hamka, yang akan hidup seribu tahun lagi, tapi cukuplah seharum makam kakek yg hanya guru ngaji kampung dan itupun cuma dikenal kalangan tertentu saja, namun aromanya masih tercium hingga sudah 3 turunan.
Setidaknya ya Rabb, tidak ada yang menyumpahi makamku suatu hari nanti karena menjadi "zombi" yang berarti kematian ber kali². Tentu sangat menyakitkan kematian itu, perihnya bukan ke jantungku, tapi hingga ke jantung anak cucu nanti.
Biarlah zombi-zombi politik itu bergentayangan menikmati hari²nya hingga waktunya tiba, dan satu hal yang pasti, itu tentu tidak akan lama walau bisikan iblis menyenandungkan dendangan abadi yang menipu.
Hari ini, tanda-tanda kematian kedua kali para zombi itu masih terlihat jelas dan tegas. Angin Perubahan terus bergulung dalam bentuk Hak Angket, Upaya Pemakzulan, Demonstrasi yang tiada henti walau tak diliput tipi. Dan yang terpenting, bisik² di kedai kopi di sekujur pertiwi dan jeritan hati rakyat di lorong2 sempit dan diatas tanah subur yang tergusur, di pinggir lahan yang ditongkrongi buldozer penguasa zalim.
Jakarta, 27 Februari 2024
Ali Wardi,
Aktifis dan Eksponen Timnas AMIN
Direktorat Perlindungan Saksi dan Sengketa
1 note
·
View note
Text
Untuk semua ketidak beruntungan yang lalu, aku putuskan untuk tetap berterimakasih karena dalam perjalanan penuh liku itu di sanalah aku sedang merasa sedekat-dekatnya denganmu Allah.
Puncak dari segala kecewa itu adalah ketika kau memilih berserah, dan saat itulah kau benar-benar menjadi manusia dan saat itu pula satu-satunya yang kau punya hanya Allah.
Tidak semua takdir akan selalu sama, karena perbedaan jalan hidup adalah bentuk salah satu ujian juga, apa kau akan bersyukur atau akan menyalahkan tuhan atas semuanya, dan apa kau tau siapa yang sedang mengujimu? Allah.
Untuk hidup ini aku persembahkan duniaku yang kadang aku sendiripun tak mengerti mengapa? Selama ragaku akan terus sanggup menghamba kepadamu serumit apapun jalan hidupku aku tidak akan pernah kenapa-kenapa ya Allah.
Untuk sesuatu yang baik-baik semoga lekas menemukanku, cukup dekatkanku selalu dengan apa-apa yang tuhanku menyukainya, karna bahagia manalagi bisa disebut bahagia jika tampa ada terselip namamu, Allah.
Sungguh aku ingin mencintaimu sedalam engkau mengetahui isi hatiku yang terdalam, aku mencintaimu aku mencintaimu dan aku mencintaimu, Allah.
Aku menulis ini dengan sedikit airmataku terjatuh, sebagai saksi betapa hati dan jiwaku membutuhkanmu, Allah.
SUDUT PANDANG JILID 2
132 notes
·
View notes
Text
Akidah umat sama sekali tidak butuh kemoderenan
By : Ali Wardi
Ketika Allah menghancurkan Firaun dan Namruz beserta bala tentaranya dapat dengan mudah dipahaml, kita dapat menemukan kisah-kisah ini dalam tuntunan al quran. Dan ketika kemegahan Andalusia dan Baghdad, dua puncak terbesar peradaban Muslim itu hancur berkeping-keping melalui perantaraan tangan-tangan orang kafir, tidak banyak yang melihat hal itu sebagai ujud kemurkaan Allah kepada kaum muslimin, selain memang sudah tahdirnya.
Hingga hari ini kaum muslimin masih meratapi kehancuran Andalusia dan Baghdad dan terjerat dalam komplikasi romantika sejarah, padahal setelah kehancuran keduanya kemudian muncul puncak baru yang lebih dahsyat oleh para ksatria padang rumput safana dari dataran asia tengah. Merekalah nenek moyang Sultan Mehmed II yang dikenal sebagai Al Fatih. barisana ksatria yang dijanjikan Rasulullah karena akan menakhlukkan benteng terkuat Konstantinopel.
Bila ditilik dengan senksama dalam sejarah Kekilafahan Ustmani, kekuatan besar dan kejayaan muslim ini sangat murni dalam bertauhid. Dan bila kemoderenan adalah modal sebuah kekuatan, maka Khilafah Usmani akan membangun kekhilafaahn dengan berbasiskan kemajuan dan capaian pada masa "Mu'tazilah" di dua puncak kejayaan sebelumnya. Usmani tentu akan mengagungkan Baghdad, namun faktanya tidak pula pernah ada dalam sejarah bahwa Sultan-Sultan Usmani pernah meratapi kehancuran dan membangga-banggakan Baghdad atau Andalusia, sama sekali tidak. Bukankah ini suatu hal yang mengherankan ?
Kehancuran Peradaban Abbasiyah di Baghdad sesungguhnya tidak merugikan Islam, justeru peristiwa itu menguntungkan, karena Baghdad adalah kota metropolitan dan ilmu pengetahuan yang sudah menjadi berhala dan membuat kaum muslimin terjangkit penyakit al wahn. Demikian juga dengan Metropolitan Andalusia, ketika kemewahan membuncah dan melenakan penghuni-penghuninya, maka pada saat yang sama wilayah itu sudah kehilangan kekuatan intik mempertahankan diri karena sudah kehilangan para pemberani, para ksatrianya, tinggalah jiwa-jiwa pengecut yang takut menghadapi musuh apalagi maut. Dan ingatlah, bahwa Dia Yang Maha Tinggi itu sangat pencemburu. Tidak boleh ada ilah dan kehebatan, kedahsyatan, keagungan lain apalagi mengira akan dapat menyaingi atau mengimbangi segala kebesaran Dia.
Kekilafahan Usmani dibangun dari pondasi akidah yang sederhana, oleh para ksatria padang rumput safana yang hidupnya juga sederhana. Sesederhana Muhammad Rasulullah dan Moyangnya Ibrahim AS dalam bertauhid dan bermesraan dengan Allah azzawa jalla. Ksatria padang rumput safana itu dibimbing oleh para Syaikh yang mengutamakan ilmu-ilmu agama, selain daripada ilmu agama hanyalah menu tambahan, cemilan untuk akal dan kebutuhan tehnis sekunder lainnya. Tidak terlalu penting, tapi tidak pula ditinggalkan, hanya sekedar sarana pendukung untuk melengkapi, mendukung dan memperkuat ketaatan kepada Allah, lainnya tidak. Perbandingan Ilmu agama di masa itu seperti perbandingan antara para pengeran dengan rakyat jelata, inilah rahasia kekuatan Islam itu.
Kemoderenan, entah itu ilmu pengetahuan, tekhnologi, infrastruktur atau apapun namanya, bila mengalihkan perhatiannya dari mengagungkan Allah, maka demi Allah, Dia Yang Maha Pencemburu, akan menghukumnya setelah memperingatkannya berkali-kali melalui beberpa kejadian besar. Hal itu karena Rasulullah Muhammad SAW sebagai Nabi an Rasul terkahir, jadi peringatan itu tidak lagi melalui utusanNya.
Wallahualam
Jakarta, 3 Oktober 2020

2 notes
·
View notes
Text


Ponsel dan bunga belukar
Batapa agungnya ilmu sekaligus kekuasaan yang mencipta, menumbuhkan dan melihara keindahan sekuntum bunga di semak belukar itu.
Tidaklah ada artinya ilmu dan teknologi yang mencipta seperangkat gadged tercanggih di dunia, termasuk gadged atau alat canggih apapun yang ada dan kita gunakan saat ini, yg dibuat oleh manusia manapun.
Karena dari Dialah, Si Pemilik segala Keagungan ilmu dan kekuasaan itu semuanya berasal, kepadanya seluruh alam ini bergantung. Ialah yang mencipta, memelihara dan menumbuhkan bunga belukar itu, Ia juga satu-satunya dengan kasih dan sayangnya membuat semua di alam ini tetap berlangsung, termasuk setiap tarikan nafas kita saat ini.
Kepada-Nyalah segala puja dan puji dipersembahan senantiasa, kepada-nya pula seharusnya seluruh kepatuhan dipersembahkan. Namun manusia kerap dalam keadaan lena dan lalai dengan apa yang nampak di depan matanya, abai melihat hakikat dibalik semua.
Betapa naifnya manusia dengan segala kepatuhan mengikuti hawa nafsu dan kebodohannya, melupakan aturan yang sudah ditetapkanNya. Yang ia sampaikan kepada utusan demi utusanNya hingga kepada utusanNya yang terakhir, Sang Pembawa Pesan Langit paling lengkap dan sempurna, Muhammad Rasulullah.
Dia, yang mencipta dengan Haq, diujung waktu pasti akan menagih pertanggungjawaban kepada setiap insan. "Mengapa engkau mengingkari pesan yang Aku kirimkan melalui urusanKu. Mengapa engkau justeru mentaati aturan yang bukan aturanKu. Adakah engkau menemukan Tuhan selain Aku ? "
Kembalilah kepadaKu.
Sesat di #UjungJalan,
kembalilah ke #PangkalJalan
Jakarta, 18 September 2020
Hamba Allah
0 notes
Text
Kearifan itu tumbuh, bukan jatuh.
Ia lahir secara alamiah dan organik di lingkungan tertentu, seperti semburatnya kembang taman di lereng gunung nan terasing dan sepi dari jamahan kebiadaban manusia moderen. Selalu ada peran ilahiah disana.
Kearifan mustahil muncul atau dipaksakan muncul dengan rekayasa, polesan, dicitrakan baik, selfa selfi, bergelar professor doktor dan sebagainya.
Kearifan itu mustahil muncul dengan pola moderen, bagaimanapun dan apapun caranya hanya akan melahirkan manusia biadab dan munafik. Peradaban moderen itu, dengan segala kompleksitas dan kecanggihannya terbukti tidak pernah memunculkan manusia beradab. Manusia semakin moderen terbukti hanya akan semakin biadab.
Kearifan selalu lahir dari interaksi alamiah dan sangat kompleks multi dimensi dengan lingkungannya, baik lingkungan masyarakat, kingkungan alam, spiritualitas, pengetahuan yg luas, proses² yang kerap diluar nalar yang tidak akan pernah "termakan" oleh metoda penelitian moderen yang selalu berkhayal katanya akan menciptakan kearifan secara masal. Nonsen.
Yang terwujud oleh peradaban moderen hanyalah justeru kebiadaban masal yang menjadi sampah dan kemudian memproduksi sampah yang semakin banyak bagi dunia. Kerusakan demi kerusakan.
Bogor, 16 Sept 2020
Ali Wardi

0 notes
Text
Kebangkitan Islam, antara Menara Filsafat dan Tasawuf
Manusia sekarang sudah terjerumus jadi korban dari kerajaan akal yang ia buat sendiri. Filsafatlah yang menjadi basis peradaban bukan agama (dienullah). Ini jugalah yang menjadi kemunduran umat islam sebelumnya di era maraknya kaum muslim menyantap filsafat dan kemudian terlena olehnya. Ialah masa-masa Mu'tazillah.
Cordoba di Andalusia (Spanyol dan Portugal sekarang) yang diawal-awal adalah peradaban yang hanif namun pada akhirnya digerogoti oleh kemunduran akidah yang disebabkan oleh kaum Mu'tazilah.
Filsafat membuat pada tingkat tertentu sangat berguna, sebagaimana bergunanya sebuah senjata (alat), namun ketika perhatian justeru asik dengan mencintai senjata tersebut maka pada saat yang sama muslim menjadi lengah dan lalai.
Filsafat adalah olah fikir yang pada akhirnya mampu menciptakan kemegahan duniawi dengan capaian ilmu pengetahuan penuh inovasi, namun pada akhirnya melalaikan dan membuat muslimin mencintai dunia dan takut mati.
Di era Mu'tazilah peradaban islam luar biasa gemerlap dengan penguasaan science (ilmu pengetahuan) sebagai buah dari mengadopsi (mengislamkan) filsafat Yunani. Filsafat menjadi landasan bagi berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian memicu berbagai inovasi dan penemuan demi penemuan oleh para ilmuwan islam kala itu. Hasil dari semua itu adalah kemegahan duniawi yang tak tertandingi namun sayangnya rapuh dalam akidah.
Pada era Mu'tazilah perdebatan yg tak berkesudahan tentang berbagai hal menjadi trend, bahkan sampai perdebatan perihal eksistensi Allah, lalu apakah al quran itu makhluk atau bukan dan sebagainya. Pada zaman inilah kemudian Andalusia luluh lantak dihancurkan oleh musuh, karena isinya lebih banyak orang yang terlena dan terhanyut dengan keindahan fana dari istana duniawi yang mereka bangun. Mereka terlena dengan perdebatan yang menjebak di persimpangan, bingung di jalan bercabang antara kebenaran ilahiah dan kebenaran menurut filsafat yang dipopulerkan oleh Ibnu Sina, Al Farabi dkk dengan konsep Emanasi (kebenaran ganda). Al Farabi, yang mereka sebut sebagai guru ke dua (setelah Socrates), mensejajarkan derajat filosof dengan Nabi, menganggap manusia dapat dipimpin oleh nabi dengan tuntunan wahyu ilahi atau filosof yang dapat menemukan kebenaran dengan akalnya.
Pada masa ini juga kehancuran baghdad sebagai pusat perkembangan ilmu-ilmu science dan filsafat ditelan bulat-bulat oleh pasukan Hulagu Khan. Allah mengirim Hulagu Khan untuk menghukum mereka yang ingkar karena mensejajarkan nabi dengan filosof.
Pada masa inilah muncul hamba-hamba Allah, rijalallah, kesatria Allah seperti Imam Ghazali, Imam Mathuridi, Imam Asy'ari dan Tokoh-tokoh besar Tasawuf yang menjadi landasan kebangkitan Islam kembali dan menjadi bekal spiritual bagi Salahuddin Al Ayubi, juga menjadi pondasi dari kekhilafhan Ustmani.
Lalu, barat kemudian memungut filsafat dan ilmu pengetahuan yang melenakan kebesaran umat islam itu dan mengimportnya ke negerinya sehingga menjadi bahan bakar utama bagi kebangkitan eropa setelah sekian lama pula terjadi gejolak.
Filsafat hasil pengayaan luar biasa oleh ilmuwan-ilmuwan islam kemudian ditelan oleh Eropa yang pada awalnya juga melahirkan petentangan hebat antar kaum gereja dengan kaum modernis yang disebut oleh mereka sebagai zaman renaisans. Pada masa ini terjadi pertarungan sengit antara ilmuwan dan gereja, perebutan pengaruh antara rakyat yg terprovokasi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada zaman inilah sekularisasi melanda eropa. Pemisahan gereja dengan kerajaan dan lahirlah kristen protestan, anglikan dan berbagai aliran yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Paus dan kepemimpinan Gereja ortodoks sebagai pimpinan tertinggi umat kristen. Inilah yang disebut sebagai kemajuan, kemoderenan.
Pada masa ini pulalah lahirnya revolusi demi revolusi yang dilihat oleh kaum awam sebagai perbaikan dan kemajuan manusia. Revolusi Inggris dan Prancis kemudian mengawali tumbuhnya kekuatan baru di eropa dan menjadi pemicu gelombang kolonialisme ke berbagai penjuru dunia hingga ke negeri kita Indonesia.
Pengingkaran atas kekuasan dan pengaruh gereja itu sudah dialami oleh dunia islam sebelumnya di masa Mu'tazilah merebak, akibatnya mirip, adalah munculnya kesombongan dan keingkaran umat dan menjauh dari para imam dan ulama. Semua orang merasa punya otak untuk berfikir dan menafsirkan sendiri ajaran agamanya. Tidak perlu lagi berguru kepada ulama yamg hanif yang sanad keilmuannya terjamin sampai kepada Rasulullah.
Ironinya kini, umat islam di dunia, khususnya di Indonesia menjadikan kemegahan peradaban Eropa sebagai sesuatu yang juga ingin dicapai, padahal ia lahir dari sebuah kekufuran, yakni gelombang Neo Mu'tazilah yang sudah sempat dibuang dan diusir jauh-jauh dari kawasan kekuasan islam. Neo Mu'tazilah adalah yang menjadi bekal peradaban Eropa. Inilah kenaifan kita, menjadi pengikut gerbong yang sebenarya sudah berada dalam kesesatan yang nyata.
Kebangkitan Islam yang pertama justeru lahir setelah membuang jauh-jauh kekufuran yang diakibatkan filsafat. Sesuatu yang mengakibatkan umat didera oleh penyakit cinta dunia sebagai akibat dari terlena oleh keasyikan membuat menara kesombongan yang dibenci Allah. Akal apabila tidak dibawah kendali qalbu adalah hal yang mudah ditunggangi iblis untuk menghasut dan menjerumuskan manusia melawan Tuhannya.
Hari ini, dunia menjadi ladang kekufuran. Menara-menara dari hasil "pandai-pandaian" manusia itu tumbuh subur menjadi bangunan-bangunan yang menjadi sandaran dan alasan bagi manusia untuk mengingkari dan melawan Penciptanya, pencipta seluruh alam dan segala sesuatu yang dimiliki dan dinikmati manusia.
Kini, menara itu sudah mulai rapuh, tidak ada yang abadi selain Dia yang maha kekal. Namun manusia yang daif dan malang masih terus bersandar dan saling bahu membahu untuk terus mempertahankan menara yang mereka ciptakan itu. Padahal zaman pasti berubah, musim pasti berganti, namun kelalaian manusia cenderung untuk terus mengabaikannya.
Dari menara-menara itu mereka memperoleh upah, kehormatan, pendidikan, jaminan sosial, asuransi, gelar dan dengan menara itu pula mereka bekerjasama membuat berbagai macam aturan dan tata an uang melawan hukum dan ketetepan Tuhan.
Jangan pernah berharap akan ada tempat kembali yang lain, satu-satunya dan sebaik-baik tempat kembali hanyalah kepadaNya, dan seluruhnya pasti akan kembali, baik dalam keadaan rela maupun terpaksa.
Kebangkitan hamba-hamba Allah yang kedua sudah berlalu cukup lama, ialah ketika dinasti Salahuddin Al Ayubi dan Al Fatih Ustmani yang berakhir 1924, kebangkitan yang kedua kalinya (dan bisa jadi adalah kebangkitan yang terakhir bersamaan dengan akhir zaman), jalan kebangkitan itu adalah jalan yang sudah diretas oleh imam Al Ghazali cs, dengan kembali kepada dienullah dan mencampakkan kekufuran filsafat, jalan yang sudah dilalui oleh para mujahid yang sudah terbukti menuntun kebangkitan yang pertama, ialah jalan tasawuf dengan akidah yang bersih dan murni.
Sudah terlalu lama umat ini terjebak dengan kebingungan yang membuat begitu banyak pembaruan dan inovasi untuk menyesuaikan agama dengan kepalsuan modernitas yang merupakan ujud dan hasil dari kekufuran filsafat. Ialah modernitas yang membangun Padang menara kekufuran berupa state yang menjamur dengan berbagai piranti-piranti kekufuran yamg melengkapinya.
Terlalu panjang daftar modernis dengan berbagai variannya, yang terus melakukan pekerjaan sia-sia dengan terus mencoba menyesuaikan islam dengan perkebangan palsu dari kemoderan itu, dimulai dari Jamaludin Al Afghani, Muhammad bin Abdul Wahab, M. Abduh, Rasyid Ridha, Taha Husain, Yusuf Qardawi, Hasan al Bana, Sayid Qhutb, Maulana Al Maududdi, Fazlurrahman, Nurcholis Majid dan banyak lagi hingga sederet daftar panjang yang bahkan sampai kepada diri kita sendiri. Berbagai rekayasa penyesuaian yang pada akhirnya membuat kita justeru semakin jauh dari agama Allah. Penyesuaian demi penyesuaian yang sejatinya justeru melucuiti menelanjangi akidah kita, keyakinan dan kepercayaan diri kita hingga mendapatkan diri kita di padang hampa tanpa kehormatan lagi, dipermaikan bagai buih diatas kecamuk gelombang zaman yang dikendalikan oleh iblis dan kaki tangannya.
Meruntuhkan menara itu adalah dengan cara membelakanginya, meninggalkannya dan kembali kepada jalanNya, ialah jalan tasawuf. Ialah kini yang menjadi jawaban bagi persoalan umat islam bahkan persoalan dunia. Kembali bergantung kepada tali Allah.
Wallahualam.
Jakarta, 27 Juli 2020
Ali Wardi
1 note
·
View note
Text
0 notes
Text
Renaissance Barat, Stagnasi Muslim dan "Kaum Yang Lain"
Kebesaran rahmatan lil'alamin dahulu mampu mengatasi seluruh kelebihan dan keunggulan manusia dari barat dan timur. Ia menguasai, melahap dan mengunyah semua perkembangan manusia masa itu baik filsafat, teknologi dan seluruh ilmu pengetahuan.
Kemudian zaman berubah, Mukminin sebagai manusia mengalami masa stagnasi. Mengakhiri abad pertengahan sampai kurang dari seabad yg lalu, kafirin barat akhirnya mulai bangkit dari kegelapannya yang panjang berabad-abad. Mereka bangkit ke zaman yang mereka sebut sebagai zaman pencerahan (Renaissance), siuman dari kedunguan yang abadi. Dan kebangkitan itu justeru karena mereka "bercermin" dan belajar sangat banyak dari keunggulan Muslim selama ribuan tahun.
Ilmu, Filsafat, Teknologi dari berbagai disiplin ilmu sejak dari Kedokteran, Matematika, (Al Jabar, Aritmatika, Geometri )Al Kimiya, Ilmu Falaq (Astronomi), Fisika, ilmu Hayat dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang seluruhnya sudah "dikunyahkan" dengan sempurna oleh para ilmuwan Muslim dan didokumentasikan dalam berbagai bentuk karya teknologi terapan dan buku-buku yang tak terhitung jumlahnya.
Dari "Kunyahan" para Ilmuwan Muslim itulah kemudian muncul Nikolaus Kopernikus sampai Galilelo Galilei yang menyadarkan kebodohan Barat. Itupun pada awalnya mereka dianggap sebagai Anti Kristus yang diburu dan kemudian Galilileo mengalami nasib tragis karena digantung oleh Gereja, hanya karena mereka menyadarkan Gereja yang selama ini tidak pernah tahu bahwa bumi itu bulat dan Matahari adalah pusat Tata Surya yang dikelilingi oleh planet-planet serta diluar tata surya ada lagi sistem tata surya lain.
Setelah abad ke 15, sebagai akhir dari abad pertengahan, maka barat kemudian masuk ke abad pejelajahan dan diteruskan dengan abad penakhlukan yang melahirkan kerusakan sangat mengerikan bagi peradaban umat manusia. Kebangkitan mereka justeru menjadi bala bencana bagi dunia, mereka saling amuk dan saling cakar berebut hasil rampokan yang mereka temukan di seluruh dunia, semua berujung pada meletusnya tragedi perang dunia I dan II pada awal abad ke 20.
Dari awal abad ke 16 sampai awal abad 20, dua buah kekuatan peradaban besar bertarung, dan diakhiri dengan kekalahan Islam yang ditandai dengan bubarnya Kekhilafahan Turki Ustmanih 1924. Belum sampai 100 tahun, mereka merajai zaman, itu pun dengan keberingasan yang biadab, menghacurkan kemanusiaan dan budi pekerti tiada tara.
Hari ini, sejak barat yang bangkit justeru karena sudah meninggalkan iman Kristennya dan lebih mempercayai ilmu pengetahuan, sudah mencapai titik kulminasi. Terbukti hari ini masyarakat Barat banyak yang memilih menjadi agnostik, atheist dan malah kini berbondong-bondong menjadi mualaf.
Stagnasi itu memang terjadi pada muslim, tapi tidak akan pernah terjadi pada Islam. Ia akan menemukan jalannya sendiri dengan dukungan manusia-manusia baru dari kaum-kaum yang baru pula. Mereka yang mampu menakhlukkan apapun yang ada di dunia ini dengan hati, pikiran dan karyanya yang tentunya dengan ketundukan dan kepasrahan total kepada Sang Pencipta, kaffah.
"demikianlah. Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain."-Terjemahan Quran Surah Ad-Dukhān 28 -
Jakarta, 6 Desember 2019
Ali Wardi
Aktifis Islam FAI
1 note
·
View note
Text
UAS : Pelantang suara Nurani Umat
Ia punya kemampuan luar biasa menggali sisi terdalam hati rakyat Indonesia, orang-orang yang mengaku dan bersaksi punya iman, ia kemudian menyuarakan dengan bahasa yang santun, sederhana dan mudah dicerna siapa saja.
Sangat banyak suara hati, aspirasi, sejarah, identitas keislaman, klarifikasi dan sekaligus pendidikan umat dengan cerdas dihadirkan dan diluruskan melalui untaian kata-kata seorang Ustad muda fenomenal bernama Ustad Abdul Somad.
Suara itu kemudian secara sangat elok menggema ke seluruh pelosok tanpa perlu melalui orbitan media mainstream yang sejak sekian lama sudah terpasung hina.
Keelokan budi bahasa nan berisi itu pulalah yang akhirnya menjadi energi yang menggerakkan banyak anak muda yg melek teknologi informasi secara sukarela dan masive mengedit dan menyiar ulang secara apik, sampai akhirnya tidak seorangpun yang tidak mengenal beliau.
Untaian kata-kata UAS yang sarat dengan ilmu agama yang menjadi jiwa umat islam indonesia itu sangat berguna untuk menjadi nasehat, pengikat dan pembangkit semangat persaudaraan sekaligus juga peringatan.
Tanpa butuh kehadiran EO atau tim PR lulusan perguruan tinggi, tetiba dalam waktu cukup singkat, Indonesia sudah punya tambahan figure seorang ulama yang mampu menjahit berbagai perbedaan tafsir dan paham dalam beragama.
Seluruh ceramah al Ustadz Abdul Somad yang muncul populer secara mengejutkan banyak pihak, karena ia mampu tampil menyeruak di tengah kebisingan media informasi yang menjejali ruang publik.
Namun kini amat disayangkan, ada sekelompok orang yang kebetulan ada di lingkaran yang sedang berkuasa mencari-cari kesalahan beliau, Itu terjadi karena UAS dianggap sebagai orang yang berpihak pada kontestasi politik yang baru saja usai. Lucunya, yang bersuara sumbang dan ingin mempersulit UAS itu juga adalah orang yang selama ini sangat berpihak pada proses kontestasi politik tersebut.
Lalu, bila logika seperti ini terus dipakai, maka pemerintahan yang kini terbentuk adalah juga hasil dari keberpihakan kepada kontestasi tersebut. Jika logika serupa ini terus dilanjutkan, maka saya mau tanya bagaimana nanti ujung ceritanya.
Apakah mereka hendak meneruskan gesekan yang kini sudah reda, sementara kita semua tahu proses itu sudah memakan dan menyita terlalu banyak energi bangsa ini.
Mau main lagi ???
Ali Wardi, Aktifis FAI (Forum Aktifis Islam)
0 notes
Text
Muslim dan Mualaf
Beriman itu berarti berada pada posisi paling potensial untuk jadi cerdas, futuristik sekaligus visioner. Hanya saja, bagi Islam keturunan memerlukan proses yang jauh lebih rumit dibanding seorang mualaf.
Seorang mualaf beralih ke agama islam kebanyakan karena sudah mengalami dan memenangkan pertarungan di tingkat akal, mengatasi konflik bathin yang sangat rumit dan memutuskan untuk memilih masa depan untuk dirinya sendiri. Atas dasar dinamika multi dimensi yang dialami seorang mualaf, hampir semua mualaf punya basis menjadi sangat cerdas, visioner sekaligus punya pemahaman futuristik yang handal.
Seorang muslim keturunan, apalagi dari orang tua yang pas pasan pemahaman serta intelektualitasnya, memerlukan tantangan untuk memgasah dan meningkatkan keimanannya. Berbeda dengan muslim zaman dahulu, ada lingkungan serta kesatuan peradaban yang mengawasi dan menggiring iman para muslimin dari berbagai provokasi dan ancaman, hari ini benar benar seperti buih.
Ali Wardi, seorang Muslim keturunan.
1 note
·
View note
Text
KAFIR dan TERRORIS SPRING
Kafir itu hina dalam konteks keimanan Islam, tapi tiada masalah dalam konteks kebangsaan. Sama halnya domba tersesat itu lebih rendah kedudukannya dalam iman kristen, dan sy kira jg ga ada masalah untuk diluar wilayah itu. Tidak ada dan tidak boleh ada paksaan dalam agama. Ini ketentuan mutlak yang sudah diterima sejak lama. Clear.
Lalu masalahnya dimana?
Masalah muncul ketika ada pihak yang kebetulan kafir atau munafik yang sudah lupa, sudah tidak tahu atau sudah tidak lagi mengerti dimana dan bagaimana batas-batas perbedaan itu, sehingga otomatis juga lupa caranya bagaimana mengelola hidup damai dalam perbedaan. Ada hal aneh yang dapat tercium disini, entah dungu atau sengaja dungu.
Istilah kafir yang sudah sejak lama dipahami sebagai terminologi Islam, tetiba menjadi isu hangat, mengira seorang kafir dapat "memaksa" agar dianggap sama dan mendapat tempat di wilayah Imannya Islam. Kan tolol, sama saja anda ngajak perang, karena berarti bermaksud menghilangkan ketentuan dasar dan mutlak dalam agama Islam.
Bila pemimpin negri ini sudah tidak lagi memahami perbedaan dengan baik maka mustahil dapat mengelola perbedaan tersebut untuk seterusnya. Perbedaan mendasar yg sudah tuntas sejak lama, tetiba kini menjadi masalah.
Kami menjadi semakin mencurigai itikad kepemimpinan di negri ini, benarkah anda paham dengan Pancasila yang suka anda klaim itu. Jangan-jangan kini Pancasila kita sudah tidak sama lagi, setidaknya kini tafsir dan terapan anda sudah jauh dari Pancasila yg kami pahami dan terapkan.
Sudah kelewat konyol dan dungu, persoalan yang sudah tuntas sejak 14 abad yang lalu, sudah pula diadaptasikan dalam peradaban bangsa ini sejak sekian lama, tetiba kini jadi masalah. Membawa dan mencampur adukkan terminologi keagamaan kedalam terminologi kebangsaan, sekali lagi adalah ketololan
#SalahTempat Bung !!
Non muslim kafir dalam Iman Islam
Muslim itu domba tersesat dalam literasi Gereja. Clear. Urus iman masing-masing, jangan serang iman kami bila memang mau hudup dalam damai. Sederhana dan jelas.
Kekacauan ini sepertinya tak terlepas dari pemahaman dan imbas dari peristiwa-peristiwa global, satu pertanyaan, mengapa masih saja banyak dari kita yang percaya, bahkan masih dijadikan landasan kebijakan negara dalam membuat peraturan perundangan, keberadaan lembaga dan sikap politik yang terseret oleh "Terroris Spring" ?
Kita sudah tahu bahwa itu peristiwa di luar negri, itupun hanyalah rekayasa biadab yang disponsori Amerika dan Yahudi, sementara stereotip zalim dan culas itu terus berakibat fatal dan melanda umat Islam dunia. Sudah waktunya dievaluasi dan menyesuaikan dengan perkembangan dengan cerdas, bila memang ingin Indonesia ini menjadi damai dan jadi bangsa lebih baik.
Sudah terbukti bahwa Teroris Spring itu sengaja dipicu dengan peristiwa 11 September 2001 WTC itu, hanya rekayasa biadab, kok masih saja ada yang terimbas, padahal semua kita ingin hidup damai di rumah sendiri. Peristiwa yang mempengaruh dan menyesatkan i opini, dan semua itu merugikan umat Islam.
Jakarta, 22 November 2019
10 hari menjelang reuni 212 2019
Ali Wardi, peserta Aksi Super damai 212 dan 411
0 notes
Text
Menanti Partai Islam Dengan Gagasan Baru dan Umat yang Terserak
Sulit rasanya mewujudkan partai berbasis idelogi Islam di tengah tantangan pemikiran dan semangat yang terserak, berjuang diantara jiwa-jiwa yang tercabik dihantam zaman. Sebuah masa yang sudah demikian tua dan senantiasa berubah oleh gerusan demi gerusan pemikiran anti Tuhan.
Derasnya pengaruh pola pemikiran dan format pendidikan ala barat menjadi alasan tunggal kekacauan berpikir bangsa ini, peradaban yang justeru mendapatkan "kemajuannya" karena meninggalkan Tuhan (Gereja). Tanpa sadar kini kenyataan memilukan itu sudah mendominasi relung-relung batin para pemilik iman.
Bangsa ini kini dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang cenderung bersandar pada rasionalisme pragmatis pendek, diakui ataupun tidak. Kondisi yang demikian menjadikan perjuangan menjadi semakin sulit, apalagi manusia sudah sekian lama mengikuti irama itu dan kini nyaris sudah ragu bahkan sudah lupa pada kebenaran dan maknanya.
Lebih naif lagi, pengaruh pemikiran itu sampai pada tahap meragukan kebenaran yang mendukung imannya, mengabaikan sebagian ajaran Rasulullah namun mengakui sebagian lainnya. Setakat ini tanpa sadar kita sudah menjadi munafik bahkan sudah menjadi kafir. Sangat mengerikan nasib Negeri ini kini, karena dihuni oleh orang-orang yang mengingkari sebagian kebenaran, sedang kebenaran itu utuh tiada dapat ditawar, walau hanya satu ayat.
Pemikiran bangsa ini sudah sedemikian terkooptasi oleh rasionalisme dan filsafat yang liar, sebuah jalan yang mungkin dapat mengantarkan manusia pada arah kebenaran, namun ia tetap dengan pilihan dan alternatif yang meragukan, sehingga apabila ia terus diikuti hanya akan melarutkan kita agar terus mengejar ilusi, fatamorgana. Akal hanya mampu menghantarkan kita untuk sekedar berputar-putar di pintu kebenaran, tanpa hidayah (petunjuk, sesuatu irrasional) ia tiada akan pernah memasuki kebenaran dan akhirnya kembali tersesat di luasnya padang pemikiran yang hampa.
Bahwa kebenaran itu multi dimensi dengan unsur utamanya justru adalah sesuatu yang irasional yaitu adalah kegaiban. Allah itu ghaib, irrasional, tidak bisa terpikirkan, tak terjangkau akal, kita hanya mampu memikirkan apa-apa yang diciptakanNya, namun kita mengimaniNya. Akal tidak mampu menjawab semua ini, pada titik seorang anak manusia mendeklarasikan keyakinannya, haqqul yaqin, maka disaat itulah langkah rasionalitas terhenti. Inilah alasannya mengapa Filsafat dengan segala perdebatan ilmunya sejak lama ditinggalkan oleh Hujatul Islam, Imam Al Ghazaly. Naifnya di zaman kini kita justeru malah terpesona dengan kepalsuan dunia yang dikuasai akal.
Kekacauan dalam dialektika sekitar cara pandang, cara berfikir dan menyikapi persoalan hidup hari ini menjadi penghalang bagi persatuan umat Islam hari ini. Ia tidak akan pernah tuntas tanpa *penundukan diri secara total*. Ketundukan dimaksud barangkali hari ini hanya sesekali hadir pada diri anak manusia, misalnya disaat kesulitan datang menerpa, seperti terbujur sakit tak berdaya di pembaringan dan disatroni malaikat maut. Sedang ketundukan itu diperlukan sepanjang hayat, karena justeru disitulah kekuatan yang sebenarnya itu hadir, kekuatan yang disertai dan diridhai oleh yang Maha Gahib.
Beban umat hari ini begitu sulitnya, menjadi hamba yang patuh tunduk tanpa pengawasan secara berjamaah, semakin kecilnya peluang untuk memperoleh pemahaman yang cukup. Hari ini sangat langka jiwa-jiwa yang senantiasa bertanya kepada Allah dan Rasul-Nya (al Quran dan Sunnah) dan para ulama hanif ketika menghadapi kendala.
Menjahit kebersamaan, persatuan, persaudaraan dengan landasan keyakinan ditengah kecamuk perang ideologis yang melelahkan, melenakan dan menghinakan ini adalah sebuah tantangan berat bagi para pejuang. Butuh kesabaran ektra sembari terus menaruh harap dan doa kepada DIA yang Maha Tinggi, Allah Rabbul 'alamin.
_________
Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah kesatuan pandangan dalam frekuensi batin yang sama sebagai sikap menghadapi situasi perpolitikan bangsa ini. Kondisi batin yang mampu merasakan secara secara persis apa yang kini sedang dirasakan umat untuk kemudian menjadi bekal dalam mewujudkan gagasan terbentuknya Partai Ideologis Islam yang kuat yang mampu bertarung di kancah perpolitikan Indonesia, sebuah bangsa yang semakin hari semakin mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan kekesatriaan ini.
Bahwa kita sedang membutuhkan sebuah kekuatan politik baru yang sangat kuat dalam karakter, tujuan dan misinya, yang kehadirannya memang sedang ditunggu dan diharapkan hadir untuk menjawab asa dan harapan masa depan umat di negeri ini.
Sebuah partai yang menjawab kegelisahan umat islam dengan misi mulia dalam kerangka keindonesiaan. Yang kelahirannya diperuntukkan bagi satu-satunya tujuan yaitu mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan mengembalikan kehormatan semua pihak.
Sebuah wadah tempat berhimpun dan disalurkannya aspirasi umat islam sebagai sumber kekuatan politik yang kini terserak, namun karena tiada pilihan lain, umat terpaksa golput atau sekedar melabuhkan harapannya ke sembarang partai. Mereka akan dengan mudah, satu komando, apabila ada partai yang mampu memahami dan dianggap layak menjadi tempat berlabuh dan terpautnya hati umat.
Partai dengan kekuatan ideologis yang memiliki paradigma Keislaman yang utuh (kaffah), Keindonesiaan yang kuat (Pancasila yg dijiwai oleh spirit Piagam Jakarta), sekaligus kemampuan menjawab tantangan politik Kekinian Indonesia. Sebuah negeri yang sedang ringkih dalam persatuan dan keamanannya di tengah pergaulan global. Indonesia yang kini bersaing sangat ketat dengan berbagai kekuatan ideologi dunia yang mengancam eksistensi umat dan negeri ini.
Sebuah partai yang kuat, yang kini dinanti-nanti kehadirannya untuk tampil sebagai simbol sekaligus kekuatan yang mampu berdiri gagah demi melindungi kehormatan umat. Kehormatan yang sejak sekian lama dilecehkan dengan penistaan demi penistaan, kriminalisasi demi kriminalisasi, pembullyan demi pembullyan oleh pihak-pihak dan kekuatan yang tidak memahami Islam dengan benar, islamophobia.
Semoga Partai Islam Ideologis segera hadir ke tengah kita dengan segala kebesaran dan kekuatan yang menyertainya, agar terbangun sebuah konstruksi sosial politik yang tidak lagi fanatisme buta terhadap demokrasi seolah justeru ialah yang menjadi kebenaran. Aamiin.
Sebuah partai yang mampu menjadikan demokrasi hanya sebagai tantangan zaman saja (tidak lebih) yang harus segera ditaklukkan, bahkan kalau perlu dibuang jauh-jauh menjadi sejarah kelam negeri ini.
Bahwa Pancasila itu adalah kepemimpinan rakyat berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dalam perwakilan, dan itu sama sekali bukanlah demokrasi. (Perihal ini penulis pernah mengulasnya dalam satu tulisan berjudul Pancasila samakah dengan Demokrasi ? ).
Jakarta, 18 November 2019
Ali Wardi, Aktivis FAI
1 note
·
View note
Text
Negara Kesatuan atau Penjajahan ?
Desentralisasi yang berguna itu bukan memperkuat atau memberi kewenangan dan anggaran lebih bagi sistem birokrasi di daerah, tapi memberi bobot dan keluasaan lebih kepada kekuatan-kekuatan lokal untuk menjadi diri sendiri sebagaimana adanya.
Kemerdekaan sesungguhnya itu ialah kebebasan yang sesuai dengan eksistensi masing-masing dan eksistensi itu terletak pada jati diri anak bangsa sebagai bagian utuh dari anyaman peradaban yang sudah tumbuh sedemikian rupa sejak dulu kala.
Kesejatian Indonesia itu adalah keragaman yang mengakar dalam suku-suku bangsa yang sudah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan negri ini, dan semua itu sesungguhnya sejak awal dan selamanya paralel dengan sistem pemangku kehormatan, marwah, kewibawaan dan jati diri anak negri ini.
Bila ingin menjadi bangsa yang besar maka satu-satunya cara adalah membiarkan setiap suku bangsa dengan segala potensi dan keunikan bangsa ini menata dan menenun kembali sejarah dan bangunan peradaban mereka masing-masing.
Apa yang kini terjadi adalah sentralisasi konyol yang justeru berfungsi sebagai perangkap yang menghacurkan secara perlahan jati diri dan eksistensi bangsa ini. Disinilah penyalahgunaan NKRI, yang keberadaannya tanpa disadari justeru berfungsi menjadi penjajah, bahkan pada beberapa sisi efeknya jauh lebih merusak dari pada penjajahan dari bangsa lain.
Sentralisasi dan sistem yang diadopsi dari luar diri bangsa ini justeru menjadi kendali yang sangat kuat dari lepentingan-kepentingan yang mewakili dan atau menjadi tangan paling efektif bagi tujuan penjajahan dalam arti yang sebenarnya.
Maka, demi Allah sesungguhnya, bila dapat dipindahkan seluruh kekuatan pembebasan yang pernah ada untuk kemerdekaan dan kebaikan bagi bangsa ini, sejak ratusan tahun lalu, maka justru kinilah saatnya segenap kekuatan pembebasan itu harus dikerahkan.
Mengapa ?
Karena sejak dulu bagi bangsa ini a kehormatan, keyakinan dan harga diri jauh lebih berharga dari apapun di dunia ini, termasuk nyawa sekalipun.
Bila dulu yang disasar dan terancam adalah keselamatan jiwa dan harta kekayaan alamnya maka hari ini yang terancam dan disasar adalah keyakinannya, kehormatannya dan akidahnya.
Jakarta, 11 November 2019,
Dalam tingkat kekhawatiran tertinggi, sejak mulai memahami arti sebuah bangsa dan kemana arah tujuannya.
Ali Wardi, Anak Negri
0 notes
Text
Cinta itu Sangat Radikal
Jiwa-jiwa kaum beriman hari ini mengalami kecamuk hebat. Angin dunia kini membawa berbagai badai ideologi buatan manusia dan menjadikannya semakin terdesak, rapuh dan terhuyung, dipermainkan ilusi zaman.
Perhatian manusia akhirnya “dipaksa” tertuju dan terkekang oleh naluri hewaninya. Manusia kebanyakan bertindak hanya demi memenuhi kebutuhan nafsu duniawinya, terebak dalam pusaran kekuatan yang hendak menjadi ilah selain Allah.
Ideologi dan ajaran buatan manusia seluruhnya hanyalah ilusi, seperti tipuan fatamorgana yang membuat Siti Hajar berlari-lari sia-sia dari Safa ke Marwa ketika mencari air untuk bayinya Ismail AS, bayi lemah yang kehausan di tengah teriknya surya padang pasir daerah Baqa (Mekkah sekarang). Siti Hajar hanya mengejar bayangan laksana air yang sering terlihat akibat pantulan terik mentari.
Siti Hajar dengan naluri seorang Ibu kemudian berikhtiar, namun Allah memberinya rizki dari jalan yang tak disangkanya, air zam-zam yang bergizi tinggi menyembur diujung terjangan dua kaki mungil sang bayi mulia Ismail AS, buah hati manusia mulia lagi perkasa Ibrahim AS.
Ketidakberdayaan seorang Ibu bersama bayinya ditengah gurun pasir adalah sebuah cobaan tak terperikan. Ibrahim meninggalkan mereka atas perintah Rabbnya. Seharusnya tiada kekhawatiran lagi mengingat yang memerintahkan adalah Suaminya sendiri yang Nabiyullah dan atas perintah Allah, namun kelemahan manusiawinya membuat Siti Hajar gelisah dan panik.
Pandangan awam, sesungguhnya yang dilakukan Allah atas keluarga Ibrahim AS dengan peristiwa ini sangatlah diluar nalar, bahkan hati kita berkata, “kok Allah setega itu ya ?”
Kisah ini kemudian berlanjut dengan perintah kurban, perintah yang jauh lebih “tega”, lebih dramatis, lebih Radikal bahkan sangat ekstrim dan sadis. Bagaimana tidak Ekstrim, Ia diperintahkan menyembelih anak kandung tercintanya, satu-satunya pula (ketika itu Nabi Ishak AS belum lahir) oleh Rabbnya, dan ternyata diganti dengan kibas.
Runtutan peristiwa dahsyat inilah yang ternyata merupakan awal dari sebuah skenario besar, belakangan kita pahami sebagai anugerahNya buat kita semua kaum muslimin, dasar bagi ritual Haji dan kota yang diberkati selamanya, Makkah al Mukaramah, kiblatain wal muslimin. Kota yang senantiasa mengingatkan kita kepadaNya dan pengorbanan Hamba-hambaNya yang paling istimewa. Pusat ritual yang wajib kita ingat setidaknya 17 kali dengan sujud kearahnya, dalam rangka penyembahan terhadap Allah, Tuhan yang Maha segala-galanya. Maha segala-galanya..!!
Apa yang terjadi dengan Nabiyulah Ibrahim AS dan keluarganya adalah peringatan keras maha dahsyat kepada seluruh ummat manusia tentang arti sebuah cinta, pengorbanan, ujian dan cobaan yang tiada pernah putus hingga akhir hayat menjemput. Sekali lagi, ini adalah cinta yang RADIKAL..!!!
Dan Cinta itu selamanya RADIKAL..!!!
Dan Dia, Allah azza wa jalla sekali lagi mengingatkan kita, menegaskan dengan tentang batapa cobaan itu akan terus terjadi dan tidak akan pernah berakhir sampai Ia memghendaki, sebagaimana tertuang dalam firmanNya di Al Baqarah 155, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Lalu untuk apa kita bersabar ?
Karena dibalik cobaan itu senantiasa dan pasti selalu terbukti janjiNya, anugerahNya, KaruniaNya, kasih-sayang-Nya. Surga dan bahkan kadang kesenangan dunia yang sementara ini pun diberikan oleh Nya.
Jangan bersedih, jangan pernah takut wahai hamba-hamba Allah, tetaplah teguh dalam iman walau menghadang apapun termasuk maut, karena justeru dibalik mautlah kerinduanmu terlapiaskan dengan sempurna, engkau akan berjumpa denganNya. Sang Maha Cinta.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS 2: 154)
Jakarta, 7 November 2019
Menjelang peringatan Hari Pahlawan, kala Takbir berkimandang, menggema di langit Surabaya.
Ali Wardi, SH, Aktifis Islam
1 note
·
View note
Text
Cinta, Pengorbanan dan Tali Allah
Ketaatan dalam makna yang sesungguhnya adalah ketundukan sekaligus kepatuhan tanpa syarat apapun, dan semua itu tiadalah terjangkau oleh akal manusia bahkan mungkin oleh seluruh makhluk.
Hanya ketaatan seperti ini sajalah yang mampu menggenggam dengan tepat dan kokoh tali kebenaran dan tali kasih sayang Allah. Tali Allah.
Membicarakan perihal Tali Allah, tanpa ilmu mungkin hanya menjadi bualan semata, untung saja kita dapat mengambil maknanya dari sejarah para nabi dan para mujahid sepanjang zaman.
Tersebutlah kisah dalam Al Quran, seorang bocah kecil di zaman Nabiyulah Ibrahim AS, ialah anaknya sendiri yang bernama Ismail. Beliau kemudian pun menjadi nabi pula setelah ayahnya yang bergelar Khalilullah.
Kisah Ismail dan ayahnya Ibrahim tidak hanya dikenal oleh kalangan Islam namun juga dipahami oleh Yahudi dan Nasrani bahkan Kristen hari ini. Kisah dahsyat dan mencekam tentang Pengorbanan yang sering kita dengar setidaknya sekali setahun setiap hari raya Idul Adha.
Bagaimana akal manusia, rasio manusia, mampu memahami dan menjalankan sebuah perintah untuk menyerahkan lehernya ditebas pedang oleh ayah kandungnya sendiri, bagaimana bisa seorang ayah bisa dengan tega menyembelih anak kandungnya sendiri yang amat dicintainya, pelanjut zuriatnya, buah hati mainan jiwa. Siapakah yang mampu melakukan ini ? Mungkinkah kita hari ini berfikir hanya Ibrahim saja ? Di akhir kisah, Allah kemudian menukar posisi sang anak dengan seekor kambing, karena tentu saja Allah yang amat mencintai Utusannya itu tidak akan membiarkannya bersedih begitu rupa, RasulNya yang tetap patuh tunduk mejalankan ketaatannya sebagai hamba, apapun yang diperintahkan Rabbnya.
Allah kemudian menukar kontan pengorbanan itu dengan kebahagiaan, dan peristiwa monumental itu menjadi sejarah abadi betapa Allah pun menguji hamba yang paling dikasihinya sekalipun. RasulNya, utusannya. Peristiwa ribuan tahun lalu yang terus diperingati oleh umat Islam, peristiwa yang menjadi salah satu landasan bagi pelaksanaan haji dan kurban
Bagaimanakah akal bisa mengupas ini dengan bangunan argumentasi ilmiah dari berbagai segi ? Bila tidak ada kisah dalam sejarah yang nyata untuk menjelaskan ini, mungkin tidak ada orang yang mempercayainya.
Rasio memang selamanya tidak akan pernah mampu mencerna dan memahami cinta yang membutuhkan pengorbanan. Cinta selamanya akan menjungkir balikkan logika, namun manusia uniknya tetap takkan bisa hidup tanpa cinta. Sang pemilik Cinta menggugatnya senantiasa, kecemburuanNya kepada hambaNya sampai harus dibuktikan sedemikian rupa. Maka, celakalah manusia yang mengabaikan cinta Rabbnya, memilih cinta dunia dan takut mati. Al wahnu adalah penyakit sekaligus pengkhianatan seorang makhluk sebagai hamba kepada Khalik dan Rabbnya.
Dalam Islam, tali Allah itu, cinta yang butuh pengorbanan itu, bisa dilihat sebagai sebuah fakta keras, tak terbantahkan dan sebenarnya sudah sangat jamak di dunia bahkan hingga hari ini tetap ada dan abadi. Pernahkah anda mendengar kisah para ibu Palestin ketika menyambut jasad anak lelakinya dengan bahagia dan gembira yang mati setelah dibunuh oleh tentara Israel ?
Bisakah anda membayangkan bagaimana para mujahidin dengan tersenyum bahagia menyambut bahkan berburu kematian di medan jihad ? Apa yang mereka harapkan ?
Ialah perjumpaan dengan Allah. Itulah cinta, itulah tali allah.
Dari manakah mereka meyakini itu semua, bangunan keyakinan yang membuat mereka begitu yakin dan percaya akan janji dari cintanya, janji Allah, sehingga mengharap segera perjumpaan dengan Allah. Keinginan yang begitu mendesak, bagai rindu yang tak tertahankan lagi.
Begitulah mereka yang meniti tali itu hingga mampu mematikan ketakutan mereka pada selain Allah, menyatukan segenap cintanya kepada dunia ini menuju kepada cinta kepada Allah. Tali Allah, sebuah tali imajiner yang kita semua, kaum yang mempercayainya, dipertintahkan untuk berpegang teguh kepada tali Allah oleh kekasihNya Rasulullah Muhammad SAW.
Inilah tali yang selama ini kita abaikan, dan inilah juga jawaban bagi kegalauan kita selama ini, yang membuat kita menjadi buih tak berarti. Kita mengabaikan bahkan dalam hal ini kita melawan perintahNya, untuk mengorbankan dunia beserta isinya demi akhirat yang abadi di alam sana, tempat seluruh makhluk akan kembali dan abadi. Hidup ini hanya diantara Neraka dan surga, antara haq dan bathil. Sederhana dan jelas, sejelas tebasan pedang Ibrahim kepada anaknya yang ditukar anak kambing.
Apa yang terjadi pada umat ini belakangan, tercerai berai, dimana-mana mengalami nasib tragis, adalah karena kita semua diabaikan oleh Nya. Ia membiarkan kita karena Ia cemburu, Ia Rabbal'alamin, senantiasa memberikan kesempatan untuk membuktikan cinta itu dengan pengorbanan seluruh hambaNya..
Dalam pemahaman cinta ini, tali allah ini, maka mustahil ada keihklasan atas sebuah pengorbanan tanpa kehadiran dan alasan cinta. Menghadirkan cinta bukanlah pekerjaan rasio apalagi napsu, maka di tahap ini perlu segenap daya dikerahkan agar dapat menumbuhkan cinta. Cinta yang tidak sembarangan, perlu diuji dengan pengorbanan yang tiada terkira, seluruh yang kita punya, jiwa, raga, harta, anak, seluruhnya.
Cinta seperti inilah yang menjadi alasan bagi Al Ghazaly melarikan diri dari kecamuk zaman dan megahnya dan hingar-bingarnya popularitas karena ia memiliki bangunan epistemologi, ilmuwan yang menjadi raja debat tanpa tanding. Ia merajai seluruh panggung debat dan mengalahkan siapapun ahli debat di seluruh jazirah arabia dalam berbagai disoplin ilmu, filsafat dan agama.
Semua kehebatan itu bukannya membawa Al Ghazaly kepada ketenangan nafsul mutma'innah namun malah semakin menyempurnakan egonya. Di tahap ini, Al Ghazaly hanya sedang berupaya membuat Rabbnya kecewa, karena ia sedang mencoba membangun menara gading yang seolah sedang menyaingi kebesaran Allah dan mengarah pada upaya untuk menyikap dan mencari seolah Allah tidak adil, sedang CintaNya dapat diperoleh oleh siapapun tanpa harus menjadi siapa-siapa, karena Ia sangat dekat.
Al Ghazaly akhirnya menyadari betapa yang dilakukan belum membuktikan apa-apa. Ia menyepi, menjauh dari keramaian dan gemuruh dunia, melakukan perjalanan spiritual yang tiada diketahui oleh siapapun bahkan mengganti namanya. Perjalanan mahabbah ini akhirnya menjadi jalan "rujuknya" sang hamba dengan Rabbnya.
Bisa dibayangkan bila mahabbah itu dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad beserta sahabat dan seluruh mukminin. Semua berlomba untuk membuktikan cintanya, semua punya kerinduan yang teramat dalam kepada Sang Maha Cinta.
Jalan cinta ini pulalah yang mampu menembus dan meruntuhkan kesombongan beradab-abad benteng pertahanan Romawi Timur Constantinople. Dan jalan cinta ini jualah yang selalu menjadi landasan utama bagi bangunan kehormatan dan kemegahan para hamba berupa kekhilafahan, keamiratan, kesultanan yang baldatun thayibatun warraburghafur.
#AkuAnakMasumi
27 Oktober 2019
Ali wardi
0 notes
Text
Masyumi, Keindonesiaan dan Bingkai kata Adil dan Merdeka
(Aku bangga sebagai Anak Masyumi II)
Oleh : Ali Wardi, anak Masyumi
Ada beberapa kesadaran yang menyusun kepribadian bangsa ini, setelah kesadaran untuk bebas dari tekanan penjajahan yang mencakup segenap wilayah secara geografis maka semua unsur dari kehendak bebas sepenuhnya dan seluruhnya itu disusun oleh kesadaran dari berbagai pihak.
Yang menjadi penyusun utamanya dari keinginan untuk bebas itu adalah kesadaran dari jiwa-jiwa yang memiliki tatanan diri (kepribadian) masing-masing. Tatanan individu dimaksud sudah terbangun dan terbentuk sedemikian rupa oleh berbagai latar belakang di dalam rumah yang disebut sebagai bagunan peradaban. Rumah inilah yang menempa dan membentuk individu tersebut menjadi sebuah diri, ia lahir dan berproses dalam sistem yang tumbuh secara alamiah dan "memproduksi" mahaputra-mahaputra nya secara mandiri.
Adalah kata keadilan dan yang muatannya diboboti dari bahasa yang menjadi media dari peradaban bersangkutan. Dalam kaitan ini, kata adil, yang berasal dari khazanah bahasa arab dari kata 'adl, tidak terdapat sama sekali dalam bahasa manapun di Asia Tenggara ini yang memiliki makna sepadan. Sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dinilai dan diakui dengan rasa dan bersifat personal. Diatasnyalah tumbuh peradaban Islam.
Jika diurut-urut dan dikaji semakin dalam maka pada akhirnya semakin kita akan dipertemukan kepada hulunya, ialah arab yang Islam, ialah panggilan cinta abadi dari langit dalam dimensi tertinggi. Panggilan surgawi yang menjadi rahmat bagi alam ini, untuk tunduk dan mengabdi hanya kepadaNya.
Kata adil ini bukan lagi sekadar anak sungai yang mengaliri tanah ini di musim kemarau, tapi ia sudah menjadi bandar besar yang tertata indah mengairi secara menyeluruh setiap relung jiwa, bilik hati dan segenap sendi kehidupan. Pemahaman akan kata adil inilah yang selamanya menjadi potensi besar sekaligus kekayaan bangsa ini untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Tidak ada yang lain, ialah satu-satunya kata yang mampu membekali kekuatan bagi segenap insan di negeri ini untuk meraih kehormatan dan martabat bangsa ini. Adil adalah sesuatu yang fitrah tidak hanya bagi manusia tapi bagi seluruh mahklukNya.
Kata Merdeka, Meurdekha atau Mahardika berasal dari bahasa sanskerta, maharddhi yang berarti kesempurnaan dan kemudian terserap kedalam bahasa Jawa Kuna menjadi maharddhika, artinya masih sama yakni kesempurnaan, kekuatan penuh. Semua maknanya tidaklah seperti yang difahami awam selama ini sebagai kebebasan. Bila artinya kesempurnaan lalu apakah ukuran kesempurnaan itu? Kemana arahnya ? Adakah kita menjadi sempurna dengan menjadi Jawa atau menjadi Hindu atau bahkan menjadi Buddha yang menjadi latar belakang sejarah Jawa dari khazanah Sanskerta? Tentu tidak demikian adanya, karena Jawa sejak sekian abad ini pun sudah menjadi Pulau yang sudah nyaris utuh menjadi Pulau dengan peradaban Islam, agama yang membekalinya untuk terus bergolak melawan berbagai tekanan dari luar. Agama yang selama ini menjadi urat nadi hubungan antar pulau antar para ksatria di seluruh negeri kepulauan asia tenggara ini. Perlawanan dan bala bantuan senjata dan kekuatan militer dari saudaranya yang silih berganti sepanjang masa pergolakan melawan bangsa eropah yang menjadi predator itu tiada pernah berhenti. Bala bantuan yang senantiasa mengalir dari sekujur tanah rayuan pulau kelapa ini, bahkan mendapat sokongan penuh dari Turki Ustmani kala itu, sebuah Imperium besar yang menghinakan seluruh kekuatan manusia dan iblis di ssluruh dunia. Kekhilafahan Ustmani adalah kekhalifaahan Islam yang berdiri diatas pondasi adil. Indonesia tidak pernah dijajah sebegitu lama, yang katanya 350 tahun, itu Hoax besar.
Masyumi dalam hal ini hanyalah sebuah wadah atau ikatan sekaligus pergerakan yang pernah terhimpun dari segenap unsur perlawanan yang hendak menegakkan keadilan dan kehormatan atas dirinya yang sempat "tergangu" oleh kehadiran para penjarah eropah, misi yang ingin menegakkan kehirmatan dan kedailan atas bangsa ini tanpa kecuali.
Hulu kehormatan yang dibela Masyumi tetaplah pada kehormatan para kesatria terdahulu dari negeri ini. Para kesatria yang senantiasa hidup dan bernafaskan pada lafaz "la ilahailallah" yang secara turun temurun mewarisinya dari garis perjuangan yang tiada pernah putusdsejak dari baginda Rasulullah Muahammad ﷺ bahkan sejak dari Rasulullah Adam AS.
Kelahiran Masyumi hanyalah untuk mensisati dan mengiringi lahir dan tumbuhnya negeri ini menjadi sebuah negara yang bernama Indonesia. Sekedar mengikuti irama zaman, namun secara masif, sistematis dan terstruktur kemudian dialienasi, disalahpahami, bahkan dimusuhi.
Kini ia, Masyumi dan yang sejenis atau seirama dengan gerak dan nafasnya dianggap sebagai musuh. Ia kemudian pasti akan disandingkan dengan berbagai label negatif diantaranya Radikal, Ekstrim bahkan Teroris. Namun ketahuilah bahwa justeru disitulah letak kebanggaanku sebagai anak Masyumi, sebagai muslim yang tiada pernah sudi negri ini disesatkan menjadi budak dari kekuatan selain Allah.
0 notes