Blog pribadi Alzhou Pramudya | Tulisan-tulisan hasil belajar
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Push Rank
Sibuk push rank game sana-sini, lupa diri ini perlu di-push juga rank-nya. Paradoks semacam ini tidak hanya berlaku untuk dunia gim Sims rupanya.
Kumohon, bergeraklah untuk push rank hidupmu sendiri.
3 notes
·
View notes
Text
Mengawali Pekan dengan Buruk
Senin, 27 Januari 2020. Awal pekan setelah Imlek. Untuk alasan tertentu, semoga aku tak lekas melupakan momen ini.
Sejujurnya, saya berharap pekan ini--dan tentu saja pekan-pekan berikutnya--berjalan dengan baik setelah pekan kemarin rasanya begitu "mengecewakan". Saya rasa semua akan baikbaik saja, sampai tadi bakda subuh saya mendengar kabar bahwa Kobe Bryant tewas dalam kecelakaan helikopter.
Tentu saja ini menjadi kabar duka bagi banyak orang, tak hanya untuk pencinta basket. Sebab, Bryant telah begitu melegenda, lebih dari sekadar atlet NBA. Salah satu yang fenomenal, dia bahkan pernah mendapatkan Oscar. Bryant juga, seperti saya, penggemar FC Barcelona.
Kabar duka yang saya hadapi pagi ini ternyata tidak datang dari negeri yang jauh di sana. Berselang satu jam dari kabar itu, saya dikabari bahwa salah satu kucing langganan rumah saya tewas.
Saya sebut kucing langganan karena rumah ini sering kali kedatangan kucing liar yang minta makan. Bahkan, terjadinya bisa rutin. Ada 4-5 ekor yang memang jadi "langganan".
Salah satunya mati pagi ini. Namanya Shiro. Saya yang memberi nama demikian karena kucing itu warnanya putih meski tak sepenuhnya putih seperti anjingnya Shinchan.
Shiro adalah kucing betina dewasa. Sekira setengah tahun lalu, ia sakit. Wajahnya jamuran, terlihat mengenaskan. Ibu saya memberikan minyak obat entah apa yang membuat lambat laun luka di wajahnya sembuh dan berangsur normal.
Tidak ada kelakuan yang buruk dari Shiro selain kebiasaannya nongkrong di tengah jalan. Saya sering mengusirkan karena khawatir dia akan ditabrak atau dilindas.
Namun, nahas, dengan cara begitulah dia tewas. Bukan, ini bukan peristiwa tabrak lari atau semacamnya.
Pagi ini hujan gerimis turun. Shiro berteduh di bawah mobil tetangga saya. Langit masih gelap. Tetangga saya tidak tahu ada kucing di kolong mobil. Peristiwa nahas itu pun terjadi juga.
Shiro masih sempat bernapas. Ibu dan kakak saya membawanya ke kandang yang ada di teras. Namun, akhirnya ia benar-benar tidak bergerak lagi.
Saya tidak melihat langsung kejadian ini. Mungkin saya harus bersyukur karena ini. Saya baru dikabari kemudian bahwa Shiro telah tewas.
Saya pun pergi ke tanah lapang di depan rumah. Di pinggir lapangan, saya menggali lubang, mencoba menguburkan dengan selayaknya. Dengan kondisi belum sempat sarapan, rasanya lelah sekali. Namun, lebih dari itu, saya merasa sangat sedih. Shiro termasuk kucing baik, penurut, kecuali kebiasaannya nongkrong di tengah jalan.
Saya teringat ceramah beberapa waktu sebelumnya. Umat Muslim, ketika ditimpa musibah, tidak baik berlarut dalam kesedihan. Ketabahan, tentu saja, lebih utama. Ada tiga cara agar tidak bersedih ketika ditimpa musibah; membandingkan dengan musibah lain yang lebih berat, membandingkan musibah duniawi dengan musibah akhirat, dan membandingkan dengan cobaan para nabi.
Bohong kalau saya mengatakan tidak bersedih. Namun, bagaimanapun, saya harus tabah. Sudah takdir harus berjalan seperti ini. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Shiro mengalaminya pagi ini dengan cara yang seperti itu.
Saya menerimanya sebagai takdir. Rasa kehilangan ini menjadi bagian dari hal itu. Tidak, saya tidak menaruh dendam kepada siapa pun. Memang sudah harus seperti ini jalan yang digariskan oleh-Nya.
Selalu ada hikmah di balik musibah. Dari kejadian ini kita bisa belajar untuk selalu berhati-hati dalam berkendara, termasuk saat mempersiapkan kendaraan. Pastikan tidak ada yang terganggu. Begitu pula saat berada di jalan. Jangan sampai menabrak atau melindas hewan seperti kucing, anjing, dan ayam.
Apakah berarti menabrak orang dibolehkan? Tentu saja tidak. Jangan berpikiran sempit seperti itu. Hati-hatilah dalam berkendara agar tiada yang celaka.
Saya berharap tidak ada lagi kucing mati di sini, apalagi karena tertabrak atau terlindas. Rasanya tak sanggup lagi menggali lubang untuk mayat kucing. Membayangkan darahnya yang tersisa di kandang saja rasanya mual walaupun tentu sudah dibersihkan.
Saya juga berharap kejadian nahas ini tidak menimpa kucing-kucing yang tinggal di sini. Saya tak ingin merasakan kesedihan sedalam itu. Di samping itu, saya juga tak ingin masuk penjara.
Untuk Shiro, semoga kamu tenang di sana. Saya tidak tahu apakah alam barzakh untuk hewan sama dengan manusia. Ilmu saya belum sampai ke situ. Namun, yang jelas, saya harap kamu baikbaik saja. Mungkin di sana atau pada kehidupan selanjutnya kamu bertemu kucing-kucing lain yang telah tiada, yang saya kenal sebelumnya. Temantemanmu di sini akan baikbaik saja walaupun kamu tak ada lagi di antara mereka yang setia datang menghampiri dengan berlari setiap saya ingin pergi, pulang, atau sekadar membuka gerbang pagar.
Selamat jalan, Nak.
3 notes
·
View notes
Text
Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu
Bagi kafilah, ada terlalu banyak anjing dalam hidup ini. Karena itu, sebutlah mereka sebagai anjing-anjing. Mereka ada di mana-mana; di rumah, di jalan, di pasar, di sekolah, di kantor, di tempat hiburan, di terminal, di trasnportasi massal, dan di tempat-tempat lain yang bahkan tidak diketahui.
Terhadap anjing-anjing itu, apa yang kafilah perlu lakukan?
Berlalu, berjalan terus.
Apa yang tidak boleh dilakukan kafilah?
Ikut-ikutan menjadi anjing agar tak makin banyak anjing-anjing.
Kafilah juga harus ingat bahwa anjing yang menggonggong tidak menggigit, tidak pula menghalangi jalan. Karena itu, jalanlah terus; teruslah berjalan.
Bagaimana jika anjing-anjing itu mulai menggigit atau menghalangi jalan?
Itu lain soal; lain cerita.
Namun, satu hal yang pasti; kafilah harus tetap berlalu, mesti tetap berjalan.
***untukmu yang turut menjadi bagian dari kafilah
2 notes
·
View notes
Text
Sajak Pasca-Dilan
Menggelikan
Bukan. Bukan film Dilan yang saya maksud menggelikan di atas, walau memang dilm itu sedikit menggelitik, atau bisa dibilang kurang sesuai dengan selera (yang mana tentu bukan berarti jelek).
Menggelikan yang saya maksudkan di sini adalah akibat dari pengaruhnya. Saya diminta membuat sajak, untuk mengasah dan merangsang ‘naluri’ yang sempat timbul-tenggelam itu. Entah mengapa memang permintaan itu muncul setelah menonton Dilan (yang sebenarnya tidak direncanakan, lebih kepada terpaksa--ah perlukah keterangan ini? Ha Ha Ha).
Alhasil, saya membuat sajak yang katanya Dilan banget. Hal itulah yang membuat saya benar-benar merasa geli. Apakah benar demikian? Kok rasanya menggelikan sekali.
Suratku tak Pernah Sampai Kepadamu
Kutuliskan untukmu sebuah surat Sesajak cinta yang teramat indah Hingga membuatmu lupa bahwa Shakespeare pernah ada
Kutitipkan surat itu kepada Bapak tukang pos tua yang mengayuh sepeda sama tuanya
Namun celaka Di tengah jalan yang sepi Bapak tukang pos tua bertemu seorang pencuri yang mengambil suratku tanpa permisi
Kutulis ulang suratku lagi dan kukirimkan melalui burung merpati
Namun sayang di tengah terbang Burung merpati mati terbakar Sebab petir menyambar menggelegar
Kini kutulis kembali suratku ini dan kukirimkan seorang diri
Ada petir ada pencuri namun aku tak peduli
Ketika aku berjumpa denganmu aku gugup setengah mati separuh berdiri Sebab sakuku bolong berlubang di bagian bokong dan suratku hilang entah ke mana
Namun bukankah kehadiranku di hadapanmu sudah cukup bagimu?
*Sajak ini telah diubah untuk penyesuaian di beberapa bagian.
1 note
·
View note
Text
Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana isi kepalamu?
0 notes
Text
-at
Sepertinya, disadari atau tidak, saya sering kali menulis sajak atau semacamnya dengan memilih rima -at. Entah mengapa, rasanya bisa menemukan banyak kata-kata asyik yang berakhiran bunyi at. Padahal, rima lain juga banyak pilihannya. Sempat ingin membuat rima -ung, tetapi tak kunjung tuntas. Ah, payeh.
Yang terbaru, ceileh, saya membuat beberapa baris, yang mungkin bisa dikatakan sebagai, sajak. Begini.
Semoga doamu tidak salah alamat agar aku senantiasa kembali dengan selamat. ... Rindu ini teramat sarat. Rintanganmu kan terasa berat. Semoga kau selalu tegar dan kuat. Sampaikah padamu pelukanku yang hangat?
Tentu saja ada alasan mengapa saya terpikir untuk membuat sajak ini. Pembaca bebas mengartikannya. Ya, begitulah. Namun, agar saya tak lupa makna sebenarnya ketika kembali membaca (potongan?) sajak tak berjudul ini, sepertinya perlu juga menuliskan maksud awalnya.
Saya membuat sajak ini sehari sebelumnya. Terlintas di pikiran ketika membaca sebuah berita kriminalitas tentang tidak amannya jalanan Ibu Kota pada malam hari. Lalu, terpikir bagaimana rasanya jika kecemasan timbul di dalam diri?
Nah, inilah yang ingin saya sampaikan. Sebuah percakapan antara orang yang bepergian dan orang yang harus menunggu. Dalam hal ini, sebenarnya, saya terbayang akan percakapan antara ibu dan anak.
1 note
·
View note
Text
Dua Wajah
Saya lupa, sejujurnya, apakah pernah menulis tulisan ini di laman bliog pribadi Tumblr ini. Saya juga terlalu malas untuk mencarinya lagi. Ha ha ha. Yang jelas, tulisan ini pernah saya unggah di akun media sosial lain. Kemudian, karena satu dan lain hal--lagi dan lagi--harus dihapus dan ditulis ulang di sini. Entah ini sajak atau apa, saya tak yakin betul. Saya dulu menuliskannya karena memang sebatas ingin. Di sini saya menuliskannya dengan beberapa penyesuaian yang dianggap perlu. Semoga tak menghilangkan maknanya seperti yang terdahulu.
Yah, mungkin kau namakan apa tulisan ini, terserah sajalah. Ha ha ha.
Judul tulisan ini adalah “Dua Wajah”.
Apa yang salah dari memiliki dua wajah? Tidak ada yang salah dari itu. Bahkan, itu perlu. Bahkan, ada yang bilang lagi sebaiknya memiliki wajah sampai tiga.
Memiliki dua wajah adalah trik untuk membuat tipuan. Memiliki dua wajah adalah cara untuk menyembunyikan. Namun, bukan berarti berkonotasi pada hal yang negatif.
Ada kalanya kita tidak bisa mengatakan apa adanya dengan terus terang. Ada kalanya kita harus menutupi fakta yang sebenarnya agar tidak melukai perasaan orang lain. Sebab, kita memang harus berhati-hati pada fakta dan kenyataan.
Seperti misalnya seorang ibu yang tidak berterus terang pada anaknya. Seorang ibu yang merasa sakit dan menderita, kepada anaknya ia akan dengan yakin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Agar si anak tidak perlu khawatir. Agar si anak bisa tetap berdiri tegak dan tegar.
Memiliki dua wajah adalah cara menjalankan peran. Usaha untuk menyesuaikan diri. Sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial sekaligus, manusia membutuhkannya.
Memiliki dua wajah bukan selalu perihal negatif. Hanya tergantung bagaimana menggunakannya dan untuk tujuan apa. Apakah berpura-pura demi kebaikan atau berpura-pura menjadi orang baik.
0 notes
Text
Di Muka Gerbang, Kita Janji untuk Bertemu
Ini sesungguhnya bukanlah sajak baru. Sajak ini telah saya tulis sekitar satu-dua tahun lalu. Saya tulis di akun Instagram. Namun, karena satu dan lain hal saya menghapusnya dan memindahkannya ke media lain, di sini.
Saat menulis ulang, rasanya ada beberapa bagian yang kurang pas dan tepat. Karena itu, saya memperbaikinya sedikit, beberapa bagian. Barang kali hal inilah yang disebut Joko Pinurbo sebagai “menulis ulang sajak yang rumpang”.
Beginilah isi sajak itu
Di Muka Gerbang, Kita Janji untuk Bertemu
Di muka gerbang itu, kita janji untuk bertemu. Pada waktu yang sama, suatu hari nanti. Namun kita pilih melalui jalan yang berbeda menuju ke sana. Masing-masing.
“Jalan yang kita lalui memang berbeda dan tak bisa dipaksakan untuk sama. Tetapi percayalah di waktu yang sama, tempat yang sama, kita akan bertemu.”
Setekag sepersekian waktu terlewati, hari itu datang juga. Hari yang telah dijanjikan. Di muka gerbang itu, aku ada. Tetapi kautidak ada di situ. Menunggu beberapa hingga banyak tak terhitung kejap waktu berlalu, kautidak juga tiba.
Maka, ketika kaumuncul di muka gerbang itu pada suatu kali nanti, akan kautemukan dirimu menunggu seorang diri. Sebab aku tak lagi ada di situ untukmu.
2 notes
·
View notes
Text
Dalam Pada Hal Ini
Dalam pada hal ini, aku yakin--seyakin-yakinnya--jika dia tidak kembali dalam waktu dekat, jika saja dia tidak di sini, tidak kulihat, dia sedang berada dalam masalah, atau "masalah". Aku yakin sekali. Sebab, tidak sekali dua kali aku memerhatikannya.
0 notes
Text
‘Apakah Kebahagiaan Itu?’
What is happiness?
Di dalam sebuah kelas, dosen saya pernah mengajukan pertanyaan seperti itu. Kata beliau, pertanyaan itu bahkan menjadi tema dalam sebuah mata kuliah yang pernah diikutinya saat menjadi mahasiswa di luar negeri. Sebuah kuliah yang--katanya--bertujuan menemukan definisi ‘bahagia’ tetapi justru membuat peserta kuliahnya tidak bahagia. Ha ha ha.
Apakah kebahagiaan itu?
Saya yakin pertanyaan itu sering kali hinggap di kepala orang. Pun saya demikian. Beberapa kali saya merenenung dan berpikir, mencari tahu apa definisi kebahagiaan itu sebenarnya.
Dulu, waktu masih SMP, salah seorang guru saya pernah mengajarkan tentang kebahagiaan dan perbedaannya dengan kesenangan.
‘Senang’ dan ‘bahagia’ merupakan dua hal yang serupa tetapi tidak sama. Perbedaannya terletak pada kualitasnya. Singkatnya, bahagia itu bersifat besar dan kekal, sementara senang itu kecil dan sementara.
Sering kali saya merasa salah dalam mengartikannya, dalam mengategorikannya. Mungkin demikian juga orang lain. Segala sesuatu yang menyenangkan dianggap kebahagiaan. Padahal, mungkin saja hal itu sesuatu yang kecil saja. Sesuatu yang tak kekal. Sesuatu yang tak niscaya. Sesuatu yang teramat sementara efeknya.
Perlu kebijaksanaan untuk membedakannya. Sebab memang tidak mudah. Saya pun merasa kesulitan dengannya. Apa yang sebenarnya hanya kesenangan, dianggap kebahagiaan. Apa yang sebenarnya kebahagiaan, dianggap tak berarti.
Semua tidak mudah, tetapi layak untuk diperjuangkan.
0 notes
Text
SETENGAH LUSIN SAJAK (L/H)IBURAN
oleh Alzhou
I. Di Dalam Kereta yang Berjalan Mundur Sesekali kita perlu berjalan mundur ke belakang Sekadar agar tahu, sudah seberapa jauh jalan ini ditempuh Di luar jendela segala fragmen berkelebat melaju Menampilkan segala cerita yang tak pernah jelas, juga tuntas, untuk kita baca. Seperti itulah kenangan. Datang berkelebat, melaju dan tentu arah. Melaju pada titik lurus yang tak terduga. Tidak semua kenangan perlu diawetkan Ada baiknya seper-entah-berapa dilewatkan. Segalanya begitu cepat berubah. Dari kota menuju hijau, Dari hijau menuju kelabu Segalanya melaju meninggalkanmu Seperti halnya kenangan Segalanya mengabur menanggalkanmu Kelak, ketika tiba di stasiun pemberhentian terakhir, kau harus bergegas melepas. II. Daun yang Terbang Terbawa Angin Masuk ke Kantongmu
Daun gugur yang terbang terbawa oleh angin tiba-tiba saja menyusup masuk ke dalam kantong jaketmu. Kau tidak menyadari itu. Kau sedang sibuk merekatkan jaket aagar lekat pada tubuhmu, agar tubuhmu terlindung dari gigil angin berembus yang datang tiba-tiba saja. Tiba-tiba saja. Kau tak pernah meramalkannya. Juga, kenangan yang datang tiba-tiba, tanpa kau sangka, tanpa kau duga. Segalanya datang begitu saja. Seseorang pernah berkata padamu, tidak semua kenangan layak diingat. Tetapi, kau juga tahu, siapakah yang dapat kuasa menghalau pikiran yang datang tiba-tiba tanpa diundang itu? Semua ingin kita biarkan lewat tanpa perlu mampir melintas. Namun, sekali lagi, kenangan lebih sering datang tiba-tiba, tanpa disadari, tanpa dikuasai. Tidak segala dirimu perlu masuk ke dalam diriku. Ah, tetapi, melalui jalur alam bawah sadarku, kau selalu dapat merasuk. III. Arboretum Daun gugur jatuh melayang di atas air Selembar daun itu tidak akan tenggelam Dan bercampur ke dasar lumpur Seberapa deras angin menyapunya Ia hanya akan terbawa arus Ke tengah, ke tepi Ke mana angin membawa ia ikut Selama tidak tenggelam ke dasar Di tengah, juga di tepi, di dalam air itu Ada ikan. Satu, dua, lebih Berenang bebas, berkejaran dengan arus Di antara itu ada jaring juga pancing Ikan hanya ingin berenang Mengihindar jaring menghindar pancing Kail tak akan digigit, jaring tak akan menjerat Lelaki setengah baya itu, yang terduduk di tepi, akan gelisah menunggu Semua ada di sana, melebur melebar Mengisi ruang. Juga seorang laki-laki yang duduk di atas batu Menyiul angin Sore hari waktu itu. Ia akan bergegas pergi sebelum petang memerangkapnya dalam kefanaan. IV. Dari Taman ke Taman Dari taman ke taman –kelak kau akan tahu– ada jalan teramat panjang terbentang. Jalan itu hanya jalan setapak, Sayang Jalur pejalan kaki, pedestrian. Namun, di sepanjang jalan itu akan kau temukan Segala hal yang lewat berkelebat di jalan bebas hambat tempat orang-orang terburu tergesa. Suatu saat, kau akan dapat melihat ada yang berjalan beriringan di jalan itu, yang terbentang, dari taman ke taman. Dan kau juga kan menemukan Sepasang merpati terbang rendah melayang dari satu pohon ke pohon di taman-taman itu. Dulu, pernah ada yang berkata padamu, Setiap taman adalah tonggak mesin waktu. Masa lalu, masa depan, pun masa kini, tersimpan di balik semaknya, di bangku panjangnya, di terang redup lampunya dan di ayun-ayun perosotan juga jungkat-jungkit itu. Adakah kau akan menemukan sepersekian aku di antara taman-taman itu? V. Soneta Pulang Kota itu masih sama, kota yang dulu juga, yang sepersekiannya mengalir dalam darahku, Masjid raya itu luas, dan basah. Alun-alun itu panas sebelum petang Jalan Braga mengekalkan kota yang telah tua menjadi lebih ada. Pohon pohon di Tamansari masih menggugurkan daunnya ketika angin lewat. Bayang bayang sebatang kara itu masih kekal di Taman Suropati. Namun, semua ini perlu disudahi Tak ada yang abadi. Segalanya mesti berakhir. Kepadamu aku akan pulang. Ya, kepadamu aku akan berpulang. VI. Tentang Hajjrah Hajjrah. Dia adalah seorang perempuan. Duduk di bangku taman, menghadap sebuah buku Aksara mengeja matanya. Rapal doa mengucap mulutnya. Hajjrah. Dia adalah seorang petualang. Berjalan dari satu taman ke taman. Berpindah dari satu masa ke masa. Ia bawa segala luka, segala muka, segala suka, segala duka. Kelak ia akan berpulang sebagai pemenang. Hajjrah. Dia adalah seorang pejuang. Tanda semesta ada untuk dibaca. Ia mampu membaca. Kepadamu, ia akan berkata, “Segala tanda semesta ada untuk ditunggangi, bukan untuk ditunggui.” Hajjrah. Dia adalah seorang penghasut. Seperti betina kakaktua bernama Siti. Ia akan menceracau tak putus, “Dirikanlah salat! Dirikanlah salat!”[1] Hjjrah. Hajjrah. Hajjrah. Hajjrah. Hajjrah. Hajjrah. Hijrah. Hajjrah Hajjrah. Hajar. Hajjrah. Hajjrah! [1] Diambil dari novel O karya Eka Kurniawan.
***ALZHOU. Suka menulis fiksi: prosa dan puisi. Bekerja sebagai editor. Tinggal di Bekasi.***
Catatan: Sekumpulan sajak ini sebagiannya (setenganya) telah dimuat di surat kabar Republika hari Ahad tanggal 12 November 2017. Namun, ada kekurangtepatan dalam formanya. Seharusnya judul sajak tersebut adalah “SEPEREMPAT LUSIN SAJAK (L/H)IBURAN”, yang terdiri atas tiga sub-judul: I. Di Dalam Kereta yang Berjalan Mundur - II. Daun yang Terbang Terbawa Angin Masuk ke Kantongmu - III. Arboretum. Sub-judul ‘Di dalam Kereta yang Berjalan Mundur’ tidak tertulis sebagai sub-judul sehingga ditulis dengan judul ‘Seperempat Lusin Sajak (L/H)IBURAN’. Sedangkan, dua sub-judul lain seperti terulis menjadi judul baru.
0 notes
Text
Galuh, waktu itu hujan turun ketika kau mengajakku bertemu di suatu tempat, di hutan
SDD dalam Pingkan Melipat Jarak [hlm. 81]
0 notes
Text
Sebentar Lagi
Maka sebentar lagi kita akan berpisah. Menemu arah angin yang berbeda bahkan berlainan. Waktu telah menjawab segala keraguan. Seumpama angin meminta layar untuk dibentangkan. Laut akan kita sambut. Namun, pantai berbeda yang kita tuju. Sebentar lagi waktu itu akan datang. Aku meresapinya, kau entah. Menyisap segala yang berserak tersisa. Kau entah.
Diam tidak selamanya emas. Adakalanya perak. Adakalanya perunggu. Adakalanya ia tak berarti apa-apa.
Tetapi kautetap memilih diam, yang kusimpulkan sebagai entah.
Maka sebentar lagi waktu itu akan tiba, waktu kita untuk berpisah. Tak ada lagi perjumpaan. Tak akan pernah ada persapaan. Kita berkelana dan bercelana. Tanpa pamit tanpa salam tanpa ucap tanpa tatap. Kita akan berpisah sebagaimana pengulangan yang serupa hanya saja kali ini untuk selamanya dan kau tidak menyadari dan memang tidak akan menyadari datangnya hal itu.
Maka sebentar lagi waktunya akan tiba. Aku menunggu dengan cemas, kamu menunggu dengan entah.
0 notes
Text
Tuhan, Setengah Mati Saya Mencintainya
Tuhan, setengah mati saya mencintainya. Setengahnya lagi, entah. Adalah sebuah pertanyaan. Serupa keraguan. “Benarkah ini?”
Saya bertemu dengannya setiap hari. –jika tidak ingin disebut lima kali dalam seminggu.
Saya tahu namanya. Dia, entah.
Tidak ada kata, tidak ada sapa. Selama ini. Entah memang semua itu diperlukan atau tidak. Hanya mata yang bicara. –jika memang bisa. Dalam setiap lirikan itu, di seberang ruang sana. Jauh, tapi entah mengapa selalu terasa dekat.
Tuhan, Kau tahu saya mencintainya –jika memang benar demikian. Saya setengah tahu, setengah lagi mati. Dia tidak tahu. Orang lain tidak tahu.
Dia tidak akan tahu. Pun orang lain tidak akan tahu. Bahkan, ketika kita semua –kelak saya akan pergi– berpisah, dia tidak akan tahu.
Jikalau saya mengagumi senyumnya. Menyukai setiap kerling lirikan matanya. Caranya berbicara. Langkah kakinya. Suara tawanya. Tetapi, dan memang tetapi, tidak dengan kesedihannya.
Dia tidak akan pernah t a h u.
Ini akan menjadi rahasia kecil kita, Tuhan.
– bahkan ketika tulisan ini selesai saya buat, dia tidak akan tahu.
0 notes
Text
Menulis tentang Cecilia
Saya ingin menulis tentang Cecilia. Dia adalah cinta tokoh kita yang bernama Jimy. Bukan, bukan Jimi yang itu, tapi Jimy yang ini. Kapan-kapan akan saya ceritakan. Sekarang kita dengarkan saja lagunya terlebih dahulu.
Cecilia youre breaking my heart. You’re shaking my confidence daily.
Oh, Cecilia, I’m down on my knees. I’m begging you please to come home
(Cecilia - Simon & Garfunkel)
Dan, ya, ini cerita tentang cinta. Sekali lagi.
0 notes
Text
Suatu Saat Nanti
Suatu saat nanti kita akan berdiri sama tegak, sama rendah, sama tinggi. Tidak sekarang, tetapi nanti. Berapa lama? Itu tergantung usaha kita masing-masing. Sejauh apa kita berlari, setinggi apa kita melompat, setahan apa kita berdiri, dan seteguh apa hati kita memanjatkan doa.
0 notes
Text
Benar-Benar Menginginkannya
Saya benar-benar menginginkannya. Jujur. Sangat menginginkannya. Seperti anak kecil yang ingin punya mobil tamiya baru pada musim lebaran, atau mainan-mainan lain yang hit pada waktu lebaran.
Saya menginginkannya, agar bisa bersenang-senang seperti orang lain juga. Sungguh.
Ini memang mungkin tidak wajar. Tampak aneh. Yang saya ingin bukanlah mainan, bukan pula barang yang bisa dipegang. Tetapi, memang sesuatu yang harus dipegang: sesuatu yang mungkin termasuk dalam kategori ‘tanggung jawab’. Agak aneh menginginkannya. Tetapi saya rasa itu bisa membebaskan banyak hal.
Saya menginginkannya, tetapi saya tidak bisa mendapatkannya seorang diri. Seseorang harus membelikan, atau memberikan, dan saya menunggu dia--atau mereka. Seperti anak kecil yang ingin beli tamiya, dia tidak bisa beli sendirian. Dia perlu orang tuanya untuk membelikan mobil tamiya tersebut.
0 notes