Tumgik
amaradinda · 3 years
Text
Ghazi Al-Gosaibi : Sastrawan Ternama Arab Saudi
Ghazi memiliki nama lengkap Ghazi Abdul Rahman Al Gosaibi. Ia merupakan seorang sastrawan berkebangsaan Arab yang lahir pada tanggal 3 Maret 1940 di Arab Saudi. Ghazi Abdul Rahman Al Gosaibi atau sering dipanggil Ghazi Al Gosaibi berasal dari keturunan keluarga terkaya di Arab Saudi dan Bahrain. Ghzai Al-Gosaibi. Ghazi Al Gosaibi merupakan seorang yang intelek, selain sebagai penyair dan novelis, ia juga seorang politisi liberal Arab Saudi, diplomat dan teknorat.
Sejak tahun 1970-an, ia terkenal sebagai seorang teknorat paling atas di Arab Saudi. Oleh karena itu, Ghazi Al Gosaibi mendapat julukan “The GodFather of Renovation” dari The Majjala bahkan salah seorang jurnalis Saudi, Othman Al-Omeir berpendapat bahwa Ghaazi adalah satu-satunya orang besar di Arab.
Ghazi Al Gosaibi adalah seorang piatu, ibunya telah meninggal sejak ia berumur Sembilan bulan, dan ia dibesarkan oleh neneknya. Ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Bahrain yang merupakan Portektorat Inggris selama waktu itu. Ia kuliah di University of Cairo dan menerima gelar sarjana hukum pada tahun 1961. Kemudian ia pindah ke Amerika Serikat dan lulus dari University of Southern California dengan gelar dalam hubungan internasional pada tahun 1964. Dan kemudian ia menyelesaikan gelar PhD dalam hukum di University College London pada tahun 1970.
Ghazi Al Gosaibi memulai karirnya bekerja sebagai dosen di King Saud University pada tahun 1965. Ia memegang berbagai posisi, termasuk profesor, dekan fakultas perdagangan dan kepala departemen ilmu politik. Pada tahun 1965, ia menjabat sebagai konsultan hukum untuk komite rekonsiliasi Saudi; Pekerjaan itu terkait dengan negosiasi dengan pasukan Mesir di Yaman. Dia juga menjabat sebagai direktur jenderal pada tahun 1970, ketua Jubail Petrochemical Company (Sadaf) dan Yanbu Petrochemical Company (Yanpet), anggota dari Public Investment Fund, Supreme Manpower Council, and Royal Commission for Jubail and Yanbu.
Al Gosaibi adalah anggota komite kehormatan Lukisan & Binaan dari tahun 2000 sampai 2010. Dia juga aktif berpartisipasi dalam organisasi program pertama dan kedua diadakan di London pada tahun 2000 dan Riyadh pada tahun 2001, masing-masing.Al Gosaibi, saat menjabat sebagai menteri kesehatan, dipecat pada tahun 1984. Dia secara terbuka meminta dan mendukung tender yang transparan untuk rumah sakit daerah. Ini kritik terhadap Al Gosaibi ditargetkan Saudi Oger, yang dimiliki oleh almarhum Rafik Hariri, yang telah dikaitkan erat dengan Raja Fahd. Karena Al Gosaibi tidak dapat bertemu dengan Raja Fahd, ia menulis sebuah puisi untuk Raja, yang berjudul " A Pen Bought and Sold". Puisi, yang diterbitkan di halaman depan Al Jazirah, secara tidak langsung menuduh para elit yang berkuasa, termasuk Pangeran Sultan, maka menteri pertahanan, korupsi. Raja Fahd memecatnya setelah membaca puisi itu.
 Al Gosaibi adalah salah satu penulis paling laris di dunia Arab dan juga, adalah seorang diplomat-penyair yang signifikan. Ia menerbitkan hampir 40 buku, yang sebagian besar merupakan koleksi puisinya, yang menyediakan "gambar dari sederhana, budaya padang pasir.  Novel-novelnya yang sebagian besar didasarkan pada topik korupsi, keterasingan Arab, cinta, tabu dan kondisi negara-negara Arab. Di Freedom Apartment atau An Apartment called Freedom (1994), salah satu novelnya yang paling terkenal, tema tentang kehidupan empat orang Bahrain yang meninggalkan rumah mereka untuk pendidikan di Universitas Kairo pada 1960-an. Novel ini juga mencerminkan pengalamannya sendiri di Kairo. Lain Novel, Sab'ah (2003), adalah "sindiran" dan "depics realitas Arab melalui tujuh karakter yang memiliki ide dan karya yang berbeda, dan menggoda dengan wanita yang sama."  A Love Story (2002) menceritakan kehidupan seorang novelis yang sedang sekarat di ranjang rumah sakit, bermimpi tentang kenangan kisah cinta masa lalunya dengan wanita yang sudah menikah.
Al Gosaibi juga menerbitkan buku-buku non-fiksi, termasuk otobiografi berjudul Ya, (Saudi) Menteri! Seumur hidup Administrasi (1999) dan The Gulf Krisis yang menawarkan akun orang dalam reaksi Arab invasi Saddam Hussein ke Kuwait. Selain itu, ia menulis esai, berfokus pada hubungan antara Arab dan dunia barat. Beberapa buku-bukunya, termasuk An Apartment Disebut Freedom, dilarang untuk waktu yang lama di Arab Saudi. Alasan larangan tersebut adalah bahwa karya-karyanya sering kritis berkuasa rezim di daerah dan termasuk representasi satir adat istiadat sosial dan politik. Pada awal Agustus 2010, hanya dua minggu sebelum kematiannya, larangan ini dicabut karena kontribusinya ke negara tersebut. 
Pada tahun 1989, salah satu buku puisi Al Gosaibi itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anne Fairbairn di Australia, berjudul Feathers and the Horizon.
 Algosaibi meninggal pada tanggal 15 Agustus 2010 (5 Ramadhan 1431 H) di Rumah Sakit Spesialis Raja Faisal dan Pusat Penelitian (KFSH & RC) di Riyadh setelah menderita penyakit yang berkepanjangan. Al Gosaibi menjalani operasi di Rumah Sakit Riyadh Raja Faisal Spesialis pada akhir Juli 2010.  Ia meninggal karena kanker usus besar pada usia 70 pada tanggal 15 Agustus 2010.  Doa pemakaman baginya dilakukan pada Imam Masjid Turki, dan bertindak Gubernur Riyadh, Pangeran Sattam menghadiri pemakaman. Ia dimakamkan di pemakaman Al Oud di Riyadh pada hari yang sama, pada tanggal 15 Agustus 2010.  keluarganya juga mengadakan upacara pemakaman lain untuk dia di Bahrain.
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Kahlil Gibran – Penyair Lebanon
Kahlil Gibran dilahirkan di Beshari yang terletak di sebuah dataran tinggi di pinggiran salah satu karang terjal Wadi Qadisha (Lembah suci keramat), pada tanggal 6 Januari 1883. Secara  geografis, Desa Beshari berada di bagian Utara Lebanon.
Dalam Bahasa Arab, nama lengkap Gibran adalah Gibran Khalil Gibran. Ejaan kata asli “Khalil” diubah menjadi “Kahlil” sesuai lidah Orang Inggris karena anjuran guru Bahasa Inggrisnya di sekolah tempat ia belajar di Boston. Karena itu, Gibran Khalil Gibran selalu dikenal dengan Kahlil Gibran.
Gibran termasuk pengikut Gereja Katolik Maronit. Ayahnya, Khalil bin Gibran merupakan seorang gembala yang tidak ingin mengubah nasibnya menajdi petani. Ibunya, Kamila merupakan anak terakhir dari pendeta Estephanos Rahmi. Gibran mempunyai dua orang adik dan satu orang kakak tiri. Adik Gibran bernama Mariana (1885) dan Sultana (1887) sedangkan kakak tirinya bernama Peter. Gibran menerima pendidikan pertamanya di rumah dari ibunya yang merupakan seorang polygot (sebutan untuk orang yang menguasai beberapa bahasa asing). Kamila menguasai beberapa Bahasa, yakni Bahasa Arab, perancis dan Inggris. Ia juga memiliki bakat seni musik.
Ketika Gibran berusia 10 tahun. Ia bersama ibu dan kedua adik perempuannya, mereka pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Maka tak heran bila ketika Gibran kecil, ia mengalami pertukaran budaya yang juga dialami oleh para imigran lainnya pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran pada bangku sekolah di Boston, di isi dengan masa adaptasi budayanya, seperti gaya bahasa yang dibentuk oleh corak atau ciri khas kehidupan di Amerika. Namun proses akulturasinya Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun, Karena setelah itu dia kembali ke Beirut, dimana ia belajar di College de la Sagasse, yakni sekolah tinggi Katolik Maronit sejak tahun 1899 sampai 1902.
Selama permulaan masa remajanya, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya sudah mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sofat munafik organisasi gereja, dan para kaum wanita Asia Barat yang sekedar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkannya ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah airnya lagi ketika ia berusia 19 tahun, tetapi ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya, di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Pada tahun 1901 sampai 1902, Gibran menulis drama pertamanya di Paris. Ketika itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya berjudul “Spritis Rebelious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korupsi yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran nemerima hukuman berupa pengucilan dari Gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan jati diri selama di Paris seketika cerai-berai ketika Gibran mendengar kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik bungsu perempuannya, Sultana yang berusia 15 tahun meninggal karena TBC.
Mendengar kabar tersebut, Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter yang merupakan seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup adik dan ibunya juga meninggal karena TBC. Kemudian, ibunya juga meninggal karena penyakit tumor ganas yang menggerogoti tubuhnya. Hanya Mariana, adiknya yang masih tersisa, dan ia dihantui rasa traua penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni pada tahun 1903. Gibran dan adiknya pun berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun ke tahun. Selain menulis dalam Bahasa Arab, ia juga terus menyempurnakan penguasaannya terhadap Bahasa Inggris dan mengembangkan kesenimannya.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Ia memang telah lama mengidap penyakit sirosis hati dan tuberculosis, tetapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.
Jenazah Gibran kemudian dikebumikan pada tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis (sekarang Gibran Museum), sebuah biara Karmelit dimana Gibran pernah beribada di tempat tersebut.
Gibran termasuk penulis dan penyair yang sangat produktif. Ada begitu banyak karya tulis yang dihasilkannya. Umumnya karya-karya Gibran ditulis dalam dua bahasa, yakni Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Gibran pun menulis sejumlah puisi, prosa, dan cerpen yang diterbitkan di berbagai media cetak dan surat kabar.
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Al-Manfaluti : Sastrawan Mesir yang Terkenal di Indonesia.
Al-Manfaluti memiliki nama asli Mustafa Lutfi bin Muhammad Hasan Lutfi Al-Manfaluti. Ia dilahirkan di Kota Manfalut, Manfalut merupakan salah satu kota di distrik Asyuth pada tahun 1873 M. Ia berasal dari keluarga keturunan asli Mesir yang terkenal dengan kemuliaan dan etika yang sangat baik. Ia di didik dan dibesarkan dengan keluarga yang paham agama dan haus akan ilmu pengetahuan terkhususnya di bidang fiqh.
Keluarganya mewarisi ilmu hukum dan syari’ah, serta kepemimpinan kelompok sufi selama hampir dua ratus tahun. Ia juga hidup di lingkungan islami, dan bangga akan agama Islam, mensucikan Al-Qur’an, memperhatikan ilmu hadits dan menghafalkan sejarah Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam.
Saat berusia sebelas tahunn, Al-Manfaluti dikirim ayahnya ke al-Azhar untuk meneruskan pendidikannya. Ia belajar disana selama sepuluh tahun. Tak lama kemudian, ia bertemu dengan Syekh Muhammad Abduh yang mengajar Tafsir Al-Qur’an dan kedua kitab Abdul Khoir di bidang Ilmu Balaghah, khusunya Dalail al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah.
Ia terkesan dengan Muhammad Abduh serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan ia merasa kurang puas dengan metode pengajaran Al-Azhar, Al-Manfaluti meninggalkan al-Azhar, pendidikannya, serta ajaran-ajarannya. Kemudian, ia belajar dengan Muhammad Abduh dan terpengaruh dengan ajaran-ajarannya.
Aktivitas kesastraanya dimulai ketika ia menjadi seorang mahasiswa di al-Azhar. Saat itu, ia pernah menulis puisi yang berisi caci maki terhadap Abbas, penguasa pada masa itu. Karena puisi yang dibuatnya itu, ia ditangkap dan dipenjara lumayan lama. Pengalaman di dalam penajra, ia menyaksikan penderitaan rakyat Mesir di bawah penjajahan Inggris menciptakan tangis dan getir pilu dalam tulisan-tulisannya.
Di masa mudanya, Al-Manfaluti merasakan bahwa dalam dirinya terdapat keinginan untuk mempelajari sastra. Sejak itulah, lambat laun ia menekuni ilmu-ilmu kesusastraan, baik puisi, prosa, maupun tata bahasa. Di samping itu, Al-Manfaluti juga suka membaca kumpulan puisi dari para penyair yang tinggi bahasanya dan tulisan para penulis yang tidak diragukan lagi kemampuannya.
Al-Manfaluti adalah salah satu penggemar Muhammad Abduh. Ia selalu menghadiri perkuliahan yang dibimbing Muhammad Abduh. Tujuannya bukan untuk mendalami ilmu agama, tetapi mengharapkan ilmu sastra. Ia disibukkan dengan mempelajari kitab-kitab lama di bidang sastra dan pustaka syair Arab masa Abbasiyah, menghafal syair yang pendek maupun panjang yang didapatkannya dari tulisan Muhammad Abduh.
Ia juga membaca tulisan Ibn al-Muqaffa, al-Jahiz, Budi’u Zaman al-Hamdani, dan buku Naqd al-Adab larya al-Amidi dan Baqilani. Dengan itu, ia telah mempersiapkan dirinya untuk menjadi jurnalis yang handal. Al-Manfaluti mendapatkan popularitas yang tinggi di Al-Azhar sebab kecerdasan dan metodenya yang sangat menarik. Bahkan, Muhammad Abduh mengakui kecerdasannya. Muhammad Abduh menerangkan kepada al-Manfaluti bahwa yang paling baik untuk mencapai keberhasilan hidupnya adalah sastra.
Al-Manfaluti meraih banyak manfaat dari pergaulannya dengan Muhammad Abduh dan Saad Basya Zaghul. Saad sangat tertarik dengan Al-Manfaluti dan memilihnya menjadi sekretaris di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan Saad. Bahkan, ketika Saad pindah ke Kementrian Kehakiman dan Hukum, ia membawa Al-Manfaluti ikut bersamanya.
Akan tetapi, tak lama kemudian Al-Manfaluti meninggalkan pekerjaannya karena Saad sendiri telah keluar dari cabinet kementrian. Al-Manfaluti terus menerus menulis di surat kabar sehingga Mesir mendirikan Parlemen pada tahun 1923. Selanjutnya, Saad pun memilihnya menjadi ketua kelompok penulis di parlemen. Namun, tak lama kemudian Al-Manfaluti wafat.
Al-Manfaluti memiliki watak seniman dengan cita rasa seorang sastrawan. Sebenarnya, ia sendiri tak pandai dalam berbahasa asing, akan tetapi berkat jasa teman-temannya oa mampu menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Perancis. Al-Manfaluti adalah sastrawan Mesir yang sangat terkenal di Indonesia melalui pengaruhnya atas Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Ia merupakan seorang sastrawan yang sastranya berstandar atas revolusi dan rasional, karena ia termasuk orang yang menganut aliran sastra pemikiran (Literature of Idea) yang mempunyai dua keistimewaan pokok,yaitu keistimewaan bentuk dan keistimewaan tema. Sastranya merupakan titik pertemuan antara sistem Arab Klasik dan isi kehidupan nyata.
1 note · View note
amaradinda · 3 years
Text
Mahmoud Darwis – Tokoh Sastra Plaestina
salah satu tokoh sastra dari Palestina yang kali ini akan saya bahas adalah Mahmoud Darwish. Beliau lahir di desa Birwa, Palestina pada 13 Maret 1941. Ayahnya seorang muslim pemilik tanah bernama Salim, sedangkan ibunya bernama Hauriyah Darwish, yang merupakan seorang buta huruf (tidak bisa membaca). Ketika Darwish menginjak 6 tahun usianya. Kampung halamannya yang mana itu adalah tempat kelahirannya dihancurkan oleh tentara Israel. Hal ini menyebabkan ia sekeluarga harus meninggalkan kampung halamannya tersebut ke Libanon. Ditahun berikutnya Darwish beserta keluarga kembali lagi ke kampung halaman, namun ternyata kampungnya tersebut telah lenyap, sehingga Deir al-Assad lah yang menjadi tempat berikutnya utnuk mereka tinggali .
Dalam keadaan yang demikian, Mahmoud Darwish tidak putus belajar. Ia masuk ke sekolah menengah di Kafr Yasif. Di usianya yang menginjak 9 tahun, beberapa puisi pertama hasil karyanya yang berjudul Asafir bila Ajniha ia publikasikan. Lalu, pada 1970, merupakan waktu dimana ia meninggalkan Palestina untuk melanjutkan studinya di Universitas Moskow, Uni Soviet selama setahun sebelum ia hijrah ke Mesir dan Libanon.
 Disamping dirinya yang merupakan seorang penyair, ia juga merupakan seorang jurnalis dari Palestina. Pada tahun 1981, ia bekerja sebagai redaktur majalah kebudayaan dan sastra, yakni diantaranya adalah Al-fajr, Al-jadil, Shu’un Filistiniyya, dan Al-karmel. Selain itu, ia juga ambil bagian dalam ranah politik Palestina. Ia merupakan anggota Rakahm dari partai komunis Israel. Dari aktivitas politik yang selalu ia geluti, membawanya ke lingkup Palestina Liberation Organitation (PLO). Pada tahun 1973, bertepatan dengan bergabungnya ia dengan PLO, membuat ia dilarang untuk memasuki kawasan Palestina. Ini disebabkan karena ia dengan lantang dan beraninya menolak para penduduk Israel berada di kawasan palestina. Dengan terjadinya hal demikian, tentu membuat pihak Israel takut jikalau Darwish akan mempengaruhi penduduk Palestina untuk berjuang melawan Israel.[1] Hingga pada akhirnya, ditahun 1987 ia diangkat menjadi PLO Executive Committee. Pada satu tahun kemudian ia menulis manifesto sebagai deklarasi kemerdekaan bangsa Palestina. Namun, di 1993 ia mengundurkan diri dari posisinya tersebut.[2]
           Dalam pernikahan, Mahmoud Darwish sempat 2 kali menikah. Istri pertamanya bernama Rana Kabbani yang merupakan seorang penulis. Setelah mereka bercerai, di pertengahan tahun 1980, ia menikahi Hayat Henni yang merupakan seorang penerjemah asal Mesir. Dan mereka tidak memiliki anak.[3]
           Dari kemampuannya dalam menciptakan suatu karya, ia sering disebut ikon Palestina, atau juga dikenal sebagai tokoh pelopor dari puisi-puisi yang bertemakan perlawanan. Tujuan dari tema-tema yang ia tuangkan dalam puisinya tersebut adalah untuk nasib tanah airnya sendiri. Dikarenakan konflik yang tidak berkesudahan sejak terjadinya perang antara Arab-Israel, membuat para penyair Palestina meluncurkan beberapa puisi yang bertemakan perlawanan.
           Pada puisi lainnya yang menggambarkan dengan jelas perubahan jiwa seorang Mahmoud Darwish yang mana dari seorang saksi menjadi seorang korban, lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang yang melawan adalah berjudul I Habe Witnesses the Massacae, yang dipublikasikan dalam bahasa Arab pada tahun 1977 di Beirut, dan edisi Inggrisnya yang pertama kali muncul dalam Modern Poetry of the Arab World. Di sajak akhir dari karyanya yang berbunyi “Dan bunga—bunga anyelir tumbuh, Dan kembang-kembang anyelir mekar.” Seakan menjelaskan bahwa ia sangat optimis terhadap apa yang ia harapkan mengenai perdamaian yang panjang dan menyeluruh, selain itu, kehidupan di bumi Palestina akan tumbuh dan mekar selalu.
Pada 9 Agustus 2008, yang mana bertepatan dengan usianya yang ke 67 tahun ia meninggal dunia. Dalam beberapa riwayat menjelaskan bahwasannya ia memiliki sakit jantung. Ketika tiga hari seusai operasi bedah jantung di Memorial Hermann Hospital, Houso, Texas, Amerika Serikat inilah ia dinyatakan wafat.[4]
[1] Joudah, Fady. Along the Border: On Mahmud Darwish, hlm. 16
[2] Arabic Poetry, www.adab.com
[3] Maya Jaggi, Poet of The Arab World, (The Guardian: 8 Juni 2002), hlm 34
[4] Maya Jaggi, hlm. 34
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Ar-Radhi, Penyair Daulah Abbasiyah yang Piawai
Nama Khalifah Ar-Radhi ialah Abu Al-Abbas Muhammad bin Al-Muqtadir bin Al-Mu’tahid nin Thalhah bin Al-Mutawakkil. Ia dilahirkan pada 297 H. Ibunya mantan budak yang berasal dari Romawi bernama Zhalum.
Ar-Radhi dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad dari tahun 934 sampai kematiannya tahun 940 pada umur 33 tahun, pada saat Al-Qahir di geser dari kursi khalifah. Kemudian dia memerintahkan kepada Ibnu Muqlah untuk menuliskan semua kejahatan yang dilakukan Al-Qahir dan memerintahkan untuk membacanya di depan khalayak ramai.
Pada 323 H, pemerintahan Khalifah Ar-Radhi berjalan tenang tanpa gejolak. Ia membagi kekuasaannya  dengan anak-anaknya. Dia memberi tugas kepada anaknya, Abu Al-Fadhl, untuk mengatur wilayah timur, sedangkan Abu Ja’far ditugaskan untuk mengurus wilayah bagian barat.
Pada masa kekhalifahannya, persisnya tahun itu pula, terjadi sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dan di kenal dengan sebutan peristiwa Syannabud, yaitu tobatnya Syannabud dari penyimpangannya terhadap Al-Qur’an. Taubatnya Syannabud ini dihadiri pula oleh Al-Wazir Abu Ali bin Muqlah.
Pada saat wibawa kekhalifahan Bani Abbasiyah menurun tajam akrena adanya gerakan Qaramithah dan perbuatan-perbuatan bid’ah di berbagai wilayah, munculah keberaniann yang demikian kuat dari pemerintah Bani Umayyah, yang ada di wilayah Andalusia, yang saat itu berada di bawah pimpinan Amir Abdurrahman bin Muhammad Al-Umawi Al-Marwani untuk mendirikan pemerintahan sendiri.
Dia menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin An-Nashir Lidnillah. Dia berhasil menguasai sebagian besar wilayah Andalusia (Spanyol). Dia memiliki wibawa yang sangat besar, semangat jihad yang tinggi dan mampu menaklukan serta memiliki kepribadian yang menarik dan menakjubkan. Amir Abdurrahman berhasil menaklukan para pemberontak dan mampu membuka tujuh pulu benteng.
Dengan demikian, pada saat itu ada tiga golongan yang menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin. Pertama, Bani Abbas yang ada di Baghdad. Kedua, Penguasa Umawi yang ada di Andalusia. Dan ketiga, Al-Mahdi di Qairawan.
Pada 328H, Baghdad tergenang banjir yang tingginya mencapai tujuh belas depa. Banyak manusia dan hewan yang mati dalam bencana banjir ini. Sedangkan pada 329 H, Khalifah Ar-Radhi sakit dan meninggal pada bulan Rabiul Akhir. Pada saat meninggal, dia baru berusia 31 tahun.
Khalifah Ar-Radhi dikenal sebagai seorang yang terbuka dan dermawan, luas ilmunya dan seorang penyair piawai serta bergaul dengan para ulama. Dia memiliki kumpulan syair yang di bukukan.
Al-Khatib menuturkan, “Ar-Radhi memiliki banyak keutamaan. Ia adalah khalifah terakhir yang memiliki kumpulan syair yang dibukukan, dan khalifah terakhir yang mampu melakukan khutbah Jumat. Dia adalah khalifah pertama yang duduk bersama rakyat. Dia banyak melakukan hal-hal yang sesuai dengan cara-cara orang terdahulu, bahkan dalam berpakaian dia juga banyak meniru orang-orang terdahulu.
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Penyair yang Membela Islam di Zaman Rasul – Hassan bin Tsabit
Syair pada waktu itu bukan hanya sebagai seni, tetapi ia juga menjadi identitas sosial. Bahkan ia bisa menjadi media untuk memuji diri sendiri dan menyerang musuh. Tiap ada perang antar suku, sebelum berperang biasanya ada pembacaan syair antar satu kelompok dengan kelompok lain. Al-Qur’an dihadirkan untuk menghapus kedigdayaan itu. Disebut bahwa tidak ada satupun penyair yang memiliki keahlian yang bisa menandingi sastra Al-Qur’an.
Namun demikian, meski Rasul sudah memiliki bekal Al-Qur’an sebagai mukjizat, belia memiliki penyair andalan yang bernama Hassan bin Tsabit (Abu al Walid Hassan bin Tsabit bin al-Mundzir). Merupakan penyair Muslim terkenal yang hidurp pada zaman Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam. Pada suatu waktu, dia diminta datang ke masjid Nabawi untuk menemui Nabi Salallahu’alaihi Wassalam, tentu saja pria asal Khazraj ini gembira dan segera beranjak dari rumahnya.
Sesampainya di Masjid Nabawi, Hassan mengucapkan salam keapda seluruh sahabat di sana dan tentunta baginda Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam. Rasul pun berkata, “Wahai Hassan, engkau tentu mengetahui yang telah dilakukan kaum musyrikin Makkah. Karena itu, padamkanlah semangat mereka dengan sajak-sajakmu. Sebaliknya, bangkitkanlah semangat kaum Muslimin dengan saja-sajakmu.”
Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan menyakiti orang-orang kafir Makkah dengan puisi saya, bagaikan sayatan di kulit mereka”, jawab Hassan bin Tsabit dengan tegas dan spontan.
“Hendaknya engkau tidak terburu-buru, wahai Hassan,” Ujar Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam. “Abu Bakar lebih mengetahui tentang garis nasab orang-orang Quraisy. Sebaliknya, garis silsilahku juga mereka mengetahui. Maka sebaiknya engkau terlebih dahulu mengetahui garis keturunanku. Tanyakan hal itu kepada Abu Bakar”.
Hassan bin Tsabit lantas pamit, untuk kemudian bertemu dengan Abu Bakar ash-Shidiq. Dia pun menanyakan tentang garis nasab Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam kepada Abu Bakar. Sesudah itu, sang penyair ini kembali lagi ke Masjid Nabawi.
“Ya Rasulullah, aku kini telah mengetahui garis keturunan engkau. Maka demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan mencabut engkay dari kelompok mereka, bagaikan tercabutknya gandum dari adonan.” Tutur Hassan.
Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam berkata kepada Hassan dengan kata-kata yang memompa semangat fi sabilillah Hassam ibn Tsabit “Wahai Hassan, sungguh Jibrik akan senantiasa mendukung engkau selama engkau meruntuhkan semangat kaum musyrikin itu dengan puisi-puisimu dalam membela Allah dan Rasulnya.
Demikianlah, Hassan hampir tak pernah absen dalam setiap medan perperangan. Dia berada di sisi Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam. Setiap medan perang, dia tampil di hadapan pasukan musyrikin, untuk mengumandangkan sajak-sajak yang menyiutkan nyali para musuh.
Hassan bin Tsabit memiliki istri bernama Sirin. Perempuan itu cukup istimewa karena merupakan saudara Maria al-Qitbthiyyah, istri Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam yang keturunan Mesir.
Usia Hassan bin Tsabit mencapai 100 tahun. Ia wafat pada 53 tahun sesudah hijrah. Sebelum memeluk Islam, ia merupakan penyair yang lantak menjelek-jelekkan agama ini. Hingga menerima hidaya dari Allah Subhanallahu Wata’Aala, maka Hassan mengerahkan karya-karyanya untuk membela Islam.
Rasulullah pun senantiasa memberikan dukungan kepada Hassan. Beberapa kali ia di doakan secara khusus oleh nabi. Pujian pun banyak datang dari beberapa tokoh sahabat Nabi atas keahlian Hassan. Tampak ia adalah contoh bahwa membelaagama bukan hanya dengan perang fisik, tetapi dengan apapun yang kiranya bisa memberi manfaat pada agama, salah satunya dengan keahlian bersastra.
1 note · View note
amaradinda · 3 years
Text
An-Nabighah Adz-Dzibyani – Penyair Arab Jahiliyyah
An-Nabighah Adz-Dzibyani ini memilki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah. Namun, ia lebih di kenal dengan panggilan an-Nabighah, yang memiliki arti seseorang yang pandai berpuisi, karena memang sedari kecil ia sudah pandai berpuisi. An-Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair Arab Jahiliyyah, dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar Ukadz.
Beliau selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itulah ia sering dihasut oleh lawannya.
An-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan, hanya saja karena usahanya karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi, membuatnya mengurangi kemuliaannya. Hampir seumur hidupnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu’man bin Mundzir sangat cinta kepadanya. Sehinga dalam sauatu riwayat bahwa, penyair ini di kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu’man, sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah.
Kemudian, salah seorang pengawal Nu’man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga an-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang telah ia jalin dengan Nu’man bin Mundzir, an-Nabighah berusaha untuk membersihkan segala fitnah atas dirinya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu’man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya di sisi raja Nu’man bin Mundzir.
Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah pada deretan ketiga sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini sangat relative sekali, karena setiap orang pasti memiliki selera penilaian masing-masing. Walaupun demikian, karya puisi merupakan karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran pula bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz.
Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab, semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah An-Nabighah sendiri. Karena ia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka’bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi An-Nabighah bila dibandingan dengan puisi Umru al-Qais dengan Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi An-Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih menyentuh, bahasanya pun sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya An-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka yang suka akan kelembutan puisisnya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu’man bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Pada waktu itu ia melihat matahari terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu’man diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari.
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Pulau Kemaro, Daya Tarik Wisata Palembang
Kota Palembang memiliki banyak wisata destinasi mulai dari yang bersejarah, hingga tempat-tempat wisata hiburan lainnya, yang tentunya menjadi  salah satu destinasi terfavorit di wilayah Sumatera.
Jika anda memiliki kesempatan berlibur, jangan lupa mampir ke wisata Pulau Kemaro, karena Pulau yang satu ini memiliki cerita bersejarah yang unik, dan melegenda.
Pulau Kemaro terletak di kawasan Sungai Musi Kota Palembang. Jika anda ingin berwisata kesana, bisa di tempuh dalam waktu kurang lebih 20 menit dari Dermaga Benteng Kuto Besak. Pulau Kemaro bukanlah pulau yang besar, karena luasnya hanya sekitar 30 hektar, dan di huni hanya ratusan orang saja. Tetapi, walaupun bukan pulau yang luas dan besar, Pulau Kemaro tetap saja ramai di kunjungi para wisatawan, baik wisatawan dalam kota maupun luar Kota Palembang.
Pulau Kemaro memiliki banyak daya tarik, salah satunya terletak pada bangunan pagoda di bagian tengah pulau. Arsitektur pagoda tersebut sangat mirip dengan ala-ala negeri tirai bambu. Pagoda memiliki sisi-sisi dinding dengan Sembilan lantai yang menggambarkan legenda Pulau Kemaro. Bagian atas pagoda terdapat tempat ibadah umat Budha, yang sering digunakan masyarakat enis Tionghoa, sehingga tak heran bila hari raya Imlek atau hari raya lainnya selalu ramai dikunjungi umat Budha.
Klenteng Hok Tjing Bio, berada tepat disamping bangunan Pagoda biasa disebut dengan klenteng kwan Im. Di depan klenteng yang dibangun tahun 1962 ini terdapat makam Tan Bun An, Siti Fatimah, dan pengawalnya yang dipercaya sebagai asal usul terbentuknya Pulau Kemaro.
Legenda kisah Pulau Kemaro diyakini berasal dari legenda cinta seorang saudagar Tiongkok yang bernama Tan Bun An, dan putri asli Palembang yang bernama Siti Fatimah. Sang saudagar Tiongkok tersebut pun jatuh cinta pada Siti Fatimah, dan memboyong sang pujaan hati ke Tiongkok untuk meminta restu dari orang tuanya. Setelah merestui pernikahan anaknya, orang tua Tan Bun An pun langsung memberikan hadiah yang berupa tujuh guci besar untuk anak dan menantunya.
Tan Bun An dan Siti Fatimah melanjutkan berlayar pulang ke Palembang dengan membawa guci yang diberikan orang tuanya. Ketika masih berada di tengah Sungai Musi, Tan Bun An penasaran dengan isi guci tersebut, lalu di bukanya dan ia terkejut karena guci tersebut berisi sawi-sawi asin. Hal tersebut membuat Tan Bun An marah dan kesal, sehingga melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Ketika hendak melempar guci terakhir, tanpa sengaja guci tersebut terjatuh dan pecah di perahu. Maka terkejutlah Tan Bun An, ternyata guci pecah tersebut berisi harta benda yang di tutupi sawi-sawi asin.
Tan Bun An pun menyesali karena telah membuang enam guci yang berisi sawi-sawi asin dan harta benda, tanpa pikir panjang, Tan Bun An pun langsung melompat ke sungai untuk mengambil kembali guci-gucinya. Melihat hal tersebut, para pengawal Tan Bun An pun ikut lompat ke sungai untuk membantu majikannya. Setelah menunggu cukup lama, Siti Fatiimah pun cemas dan panik karena Tan Bun An tidak muncul ke permukaan. Karena hal tersebut, Siti Fatimah tidak menunggu lama lagi,  ia pun langsung ikut lompat dan membantu mencari Tan Bun An, akan tetapi Siti Fatimah pun mengalami nasib yang sama dengan Tan Bun An beserta pengawalnya.
Karena kejadian tersebut, beberapa waktu kemudian, munculah pulau kecil di tempat Tan Bun An dan Siti Fatimah terjun ke Sungai Musi. Pulau tersebut diberi nama ‘Pulau Kemaro’ yang memiliki arti kemarau, karena tidak terendam air meskipun arus gelombang Sungai Musi sedang tinggi.  Kisah inilah yang membuat tertarik para wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Kemaro dan berziarah ke makam Tan Bun An dan Siti Fatimah.
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Otak-Otak, Kuliner Favorite Khas Palembang
VSiapa yang tak kenal makanan satu ini ?... Ya otak-otak khas Palembang ini  merupakan kuliner yang cukup populer bagi warga Palembang. 
Tak hanya di Palembang saja, otak-otak juga terkenal di kawasan sekitar Selat Malaka, dan Selat Karimata, seperti di Kepulauan Riau, Singapura, dan Malaysia. Sedangkan di Indonesia, otak-otak juga tersebar di berbagai kota, seperti di Sumatera dan Jawa.
Otak-Otak khas Palembang sendiri berbahan  dasar dari olahan ikan tenggiri dilengkapi dengan racikan bumbu rahasia yang di bungkus dengan daun pisang, lalu di panggang, dan kemudian disajikan dengan kuah asam pedas atau dalam Bahasa Palembang ‘cuko merah’.
Berbeda dengan Palembang, otak-otak yang berada di kawasan Kalimantan, Makassar, atau di Jakarta biasanya dimakan dengan campuran kuah kacang.
Dalam pembuatan otak-otak khas Palembang, biasanya menggunakan ikan tenggiri dengan menggunakan bumbu-bumbu dapur, seperti bawang, santan, putih telur, garam, dan gula. kemudian adonan tersebut dibungkus menggunakan daun pisang, lalu di bakar di atas arang.
Sedangkan bahan pembuatan cuko merah khas Palembang, yakni menggunakan bahan dasar cabe, tauco, garam, dan gula. Perpaduan bumbu yang membuat segarnya cuko merah saat di sandingkan dengan otak-otak khas Palembang.
Otak-otak khas Palembang sering dibeli dan dijadikan oleh-oleh, karena kuliner satu ini memiliki cita rasa yang enak, gurih, dan unik. Serta harganya yang sangat terjangkau.
Referensi : 
https://bobo.grid.id/amp/08675658/otak-otak-khas-palembang
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Nawal Sa’dawy / Samirah binti al-Jazira
Siapa yang tidak mengenal Nawal el Saadawi? Nawal El Saadawi dikenal di seluruh dunia serta menjadi idola para pemudi sebagai novelis dan penulis feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan ia juga dikenal sebagai dokter di Mesir. Nawal el-Saadawi lahir di Kafr Tahla, sebuah desa kecil di utara Nil Kairo dan wafat pada 21 Maret 2021 di Kairo, Mesir. Perjalanan hidup dan karir wanita luar biasa ini menjadi sebuah hal yang amat sangat menarik untuk diketahui.
Nawal el Saadawi atau juga dikenal dengan Samirah binti al-Jazirah, lulus dari Cairo University Medical College pada tahun 1955, jurusan psikiatri. Ia dilatih sebagai dokter, baik di universitas maupun di Kafr Tahla. Dari tahun 1963 hingga 1972, Saadawi menjabat sebagai direktur jenderal pendidikan kesehatan masyarakat di Departemen Kesehatan. Pada tahun 1972, ia kehilangan pekerjaannya di pemerintahan Mesir karena bukunya Women and Sex, yang kemudian dilarang.
Dalam buku tersebut, ia menghubungkan kesehatan dengan ekonomi, politik, agama, sejarah, seksualitas, dan budaya. Nawal El Saadawi adalah dokter pertama yang menentang pemotongan anak di bawah slogan agama – budaya. Bukunya kebanyakan novel terkenal, ´Perempuan di Titik Nolµ, diterbitkan di Beirut tahun 1973.
Hal ini diikuti pada tahun 1976 oleh God Dies by the Nile dan pada tahun 1977, The Hidden Face of Eve: Women in the Arab World. Nawal El Saadawi mengkritik kebijakan Presiden Anwar Sadat dan ditangkap dan  dipenjarakan Pada tahun 1981 dan dibebaskan satu bulan setelah pembunuhan itu.
Pada tahun 1982, ia mendirikan Asosiasi Uni Solidaritas Perempuan (AWSA). Cabang Mesir AWSA dilarang pada tahun 1991 oleh pemerintah. Namanya muncul di daftar kematian fundamentalis, setelah ia menerbitkan novelnya Kejatuhan Iman di Kairo pada tahun 1987. Nawal El Saadawi terpaksa meninggalkan negaranya, mengajar di Duke University di Durham, dan Washington State University di Seattle.
Dia kembali ke Mesir pada tahun 1997 untuk terus menulis dan mengorganisir perempuan Pada tahun 2004 ia berdiri sebagai calon dalam pemilihan presiden di Mesir, namun terpaksa mundur pencalonannya dalam menghadapi penganiayaan pemerintah. Dia menyatakan bahwa dia pindah adalah simbolis, untuk mengekspos kurangnya demokrasi.
Pada tahun 2001, sebuah kasus pengadilan yang diajukan terhadap Saadawi, menuduhnya murtad dan menuntut perceraiannya dengan paksa dari suaminya. Dia memenangkan kasus ini dengan dukungan dari organisasi hak asasi manusia di Mesir dan internasional. Dia memenangkan kasus lain pengadilan terhadap dirinya dan putrinya Dr. Mona Helmy, seorang penyair dan penulis yang tinggal di Mesir, melalui peningkatan dukungan dalam dan di luar negara mereka. Pada tahun 2008, ia menuntut penarikan kebangsaan Mesir setelah dia bermain Tuhan Mengundurkan Diri di KTT diterbitkan.
Nawal el-Saadawi memegang lebih dari sepuluh gelar doktor Kehormatan di Kairo pada tahun 2007. Samirah mendapat banyak penghargaan termasuk Minds besar dari Twentieth Century Prize diberikan oleh Amerika Biographical Institute pada tahun 2003, Hadiah Utara-Selatan dari Dewan Eropa dan Premi Antar nacional Catalunya pada tahun 2004.
Baru-baru ini dia adalah 2.007 penerima di USA Sastra Asosiasi Afrika Fonlon- Nichols Award, yang diberikan setiap tahun untuk seorang penulis Afrika untuk keunggulan dalam penulisan kreatif dan untuk kontribusi untuk perjuangan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Bukunya lalu diajarkan di universitas-universitas di seluruh dunia.
Referensi : Ummu Kulsum, ‘Nawal El-Saadawi : Membongkar Budaya Patriarkhi Melalui Sastra’, 3.March (2017).
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Taufiq Hakim
A. Taufiq al-Hakim diberi gelar Peletak drama modern mesir.Taufiq Al Hakim merupakan sastrawan Arab moderen berdarah Arab-Turki. Dia lahir di Alexandria, Mesir, pada tahun 1898 tanggal 9 Oktober dan meninggal pada tanggal 26 Juli tahun 1987 di Kairo. Taufiq adalah seorang sastrawan yang dikenal sebagai peletak dasar drama Mesir moderen yang sangat terkemuka dalam dunia sastra Arab.  Ayahnya bernama Ismail Bek al Hakim yang merupakan seorang petani yang kaya raya, sedangkan ibunya adalah anak dari perwira tinggi Turki. Melihat latar belakang kedua orangtuanya, Taufiq merupakan keturunan dari keluarga yang mampu. Pada 1919, saat itu terjadi pergolakan di Mesir. Hal ini membuat dia dan pamannya terlibat dan berjuang di bawah pimpinan Sa'ad Zaglul. Akibatnya, mereka akhirnya tertangkap kemudian ikut ditahan dalam penjara. Di sana, sastrawan Arab moderen satu ini lebih banyak menghabiskan waktunya dalam berimajinasi, terkadang berpikir tentang hal-hal yang bersifat metafisis. Tidak sampai satu tahun lebih, saat pergolakan berakhir, saat Sa'ad Zaglul dibebaskan dari tahanan, Taufiq dan pamannya pun ikut serta dibebaskan. Setelah masa itu, Taufiq mulai mengembangkan hobinya, yaitu menulis. Taufiq menulis hal apa saja yang dia inginkan. Terkurung dalam penjara membuat dia menjadi seorang penghayal juga pengamat yang baik. Setelah terbebas dari tahanan, Taufiq berkecimpung dalam dunia musik dan seni suara, yang akan mengantarkannya pada dunia drama dan teater.Karya-karya sastra Taufiq al Hakim tidak jauh-jauh temanya dari hal-hal yang berbau metafisis, filsafat, dan religi. Sesekali dia membahas soal cinta dari segi aspek lain dan perempuan. Tidak jarang di karya-karya Taufiq menjadikan tokoh-tokoh gaib seperti setan dan malaikat sebagai peran utama dalam cerpennya. - Taufiq di beri gelar peletak drama modern Mesirkarena:1.Teaterbiografi: drama yang ia tulis diawal kehidupannya dimana ia mengungkapkan pengalaman dan sikap pribadinya terhadap kehidupan lebih dari 400 drama di antaranya adalah "al-Arees", (The Groom) dan "AmamaShibbak al- Tazaker ", (Sebelum Kantor Tiket). Drama ini lebih artistik karena didasarkan pada pendapat pribadi Al Hakim dalam mengkritisi kehidupan.2.Teaterintelektual :Gaya dramatis ini menghasilkan lakon untuk dibaca, bukan diperankan. Karena itu, diamenolak menyebut mereka drama dan menerbitkannya di buku terpisah.3.Teaterobjektif Tujuannya adalah untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat Mesir dengan memperbaiki beberapa nilai masyarakat, mengungkap realitas kehidupan Mesir.Beberapa naskah drama yang dipentaskan di antaranya al Mar’ah al Jadidah dan Khatam Sulaiman. Naskah tersebut tidak diterbitkan, karena dia masih menganggap karya ini belum sempurna. Walaupun demikian, Taufiq al Hakim dianggap sebagai peletak dasar drama Mesir modern. Dialah yang menjadikan drama sebagai genre sastra di dunia Arab. Pada tahun 1924, Taufiq al Hakim menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Hukum. Dia meminta kepada ayahnya untuk mengizinkannya bersekolah di Paris karena hendak melanjutkan studi hukum di sana sebagai alasannya. Mendengar hal itu, ayahnya senang dan menyetujui keinginannya. Namun, selama 4 tahun di Paris, dia tidak sedikitpun menyentuh masalah-masalah hukum. Dalam waktu 4 tahun itu dia gunakan untuk membaca novel sebanyak-banyaknya, mendalami sastra dan teater, baik di Perancis pun di luar itu. Taufiq juga sangat menyukai music barat. Seluruh waktunya dihabiskan untuk di gdung-gedung opera, konser-konser music dan mendalami teate. Di sisi lain, dia juga membaca sebanyak-banyaknya budaya dan intelektualitas dari masa klasik dan masa modern. Pada tahun 1928, Taufiq al Hakim kembali ke Mesir dan bekerja sebaga anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga tahun 1934. Selanjutnya dia diangkat sebagai Direktur Pelaksana pada Departemen Pendidikan dan Pengajaran sampai tahun 1939. Kemudian, dia pindah ke bagian sosial sebagai direktur di Departemen Pelayanan Sosial. Meski sibuk, Taufiq al Hakim masih aktif menulis, baik cerpen, novel, maupun naskah drama. Bekerja sebagai seorang kepala senat menjadikannya sering mengunjungi daerah-daerah dan perkampungan, sehingga dia melahirkan sebuah karya yang berjudul “Yaumiyyat an Naib fi al Aryaaf.” Pada tahun 1943, Taufiq al Hakim pensiun dari jabatannya sebagai pegawai negeri. Semenjak itu, dia mencurahkan hidupnya untuk seni, hingga dia menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1987. Selama hidupnya, Taufiq al Hakim banyak menghasilkan karya berupa naskah, novel, dan kumpulan cerpen. 1. Peranan dalam Sastra ArabTaufiq al Hakim merupakan salah satu tokoh utama di dunia sastra Arab modern dan khususnya dalam konteks drama Bahasa Arab moderen. Usahanya sangat dianggap sebagai warisan penting sastra Arab, baik dari tingkat dasar berdasarkan genre karya sastranya yang berkembang pada teknik ekspresinya dan gaya bahasa yang digunakannya. Faktanya, dia memenuhi peran secara menyeluruh setelah menjadi satu-satunya pendiri tradisi sastra khususnya dalam bidang teater dan drama Arab. Kontribusinya secara keseluruhan terkait pada kehidupan sosial dan politik di Mesir.
Sebagai seorang pemain drama terbaik sastra Arab, Taufiq al Hakim memiliki banyak tulisan naskah, sebagai berikut.- Ahl Al-Kahf (People of the Cave), 1933- Sheherezade, 1934- Braksa aw Mushkilat Al-Hukm (Praksa or Problems of Governance), 1939; Pygmalion, 1942- Sulayman Al-Hakim (Solomon the Wise), 1943- Al-Malik Udib (King Oedipus), 1949-Masrah Al-Mugtama’: 21 Masrahiya (Plays of Social Life: 21 Plays), 1950-Al-Aydi Al-Na’ima (Tender Hands), 1959- Isis, 1955;- Al-Safqa (The Deal), 1956 Referensi : - Atho’illah Fathoni, Achmad. 2007. Leksikon Sastrawan Arab Modern. Yogyakarta. Datamedia- http://download.portalgaruda.org/article.php?article=103544&val=1378 diakses pada tanggal 12 Mei 2018http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/90319/6/06_chapter%201.pdf diekses pada tanggal 15 Mei 2021
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Yusuf Idris
Yusuf mulai meluncurkan antologi cerpennya pada tahun 1950. Ia merupakan sastrawan seangkatan dengan Najib Mahfuz dan Taufiq al-Hakim. Beberapa kali ia pernah dinominasikan sebagai penerima hadiah novel tetapi tidak menang. Ia merasa tidak dimenangkan karena terlalu vokal terhadap Israel. Walaupun gagal menerima novel, ia memperoleh penghargaan dari pemerintah di bidang sastra pada tahun 1991.
Yusuf Idris dikenal secara luas sebagai father of Arabic Short Story. Ia sering  juga disebut sebagai  a Renovator  and Genius of Short Story. Sebagai Bapak Cerpen Arab, ia telah menulis antologi cerpen, yaitu Arkhasu Layal (1954) dan Al-‘Askary al-Aswad (1955). Di samping antologi cerpen, ia juga menulis cerita lainnya, yaitu  Lughat al-Ay Ay, Bait min Lahm, Qa’u al-Madinah, An-Nadahah, Rijal wa Tsairan, Haditsah Syaraf, Akhir ad-Dunya. Tema ceritanya sangat familiar dengan kehidupan masyarakat karena menggambarkan kehidupan realitas masyarakat biasa, bahkan masyarakat miskin
Cerita-cerita dari karyanya sangat kuat dan merefleksikan pengalaman pemberontakan dalam hidupnya. Hubungannya dengan masyarakat miskin membuatnya mampu menuangkan kehidupan mereka secara imajinatif dan sensitif. Beberapa cerpen bisa menjadi satu skenario penuh, lainnya bahkan memiliki karakter yang sangat kuat. Selain cerpen yang menjadi spesialisasinya, ia juga menulis novel. Berikut adalah beberapa novel yang ia tulis: al’Aib, al-Haram, al-Baidla’, Jumhuriyat Farhat. Di bidang drama, ia menulis naskah Malik al-Qutn, Jumhuriyah Farhat, Al-lahzah al-Hirjah, Al-Jins ats-Tsalits, Al-Mukhatatin, Al-Bahalwan.
Di bidang drama ini, ia melatakkan pondasi teater Mesir modern berbasis tradisi populer dan cerita rakyat. Ia pernah sukses menggelar drama berjudul al-Farafeer, yang menggambarkan dua karakter utama: Tuan dan seorang awam yang miskin.  Beberapa karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, seperti City of Love and Ashes, The Cheapest Nights, and other Stories, Tales of Encounter: Three Egyptian Novellas.
Di samping menulis karya sastra, ia juga memuat beberapa pemikirannya tentang budaya dan sosial yang masih hangat di surat kabar al-Ahram.  Yusuf meninggal dunia pada 1 Agustus  1991 pada usia 64 tahun di London, Britania Raya dengan meninggalkan pengaruh terhadap sejumlah sastrawan muda di Mesir dan dunia Arab pada umumnya.
Sumber :
https://today.salamweb.com/id/bapak-cerita-pendek-arab-yusuf-idris/
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Mustafa Lutfi al-Manfaluti
Mustafa Lutfi el-Manfaluti (lahir di Kota Manfalut, Mesir, 1876 – meninggal 1924) adalah penulis dan penyair Mesir. Ayahnya Sayyid Muhammad Luthfi  masih mempunyai garis keturunan dengan nabi Muhammad SAW melalui darah Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan ibunya, Siti Hanim adalah keturunan Turki Corbaji. Lalu  ia pernah belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Sebelum berusia dua belas tahun, ia diketahui telah hafal Al-Quran. Kemudian ia banyak menerjemahkan dan menovelkan drama dari bahasa Perancis, termasuk beberapa cerita pendek. Karyanya yang paling terkenal adalah kumpulan artikel dan puisi berjudul: el-Nazarat. Namun ia sendiri diketahui tidak dapat membaca atau berbicara dalam bahasa Prancis. Ia meminta beberapa temannya untuk menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa Arab, untuk kemudian ia tulis ulang.
Sejak saat hamka dituding menjiplak karya Mustafa Luthfi al - Manfaluthi namanya menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia. Ia memperkenalkan aksi menyadur karya asing, terutama karya sastrawan Perancis ke dalam bahasa Arab. Menyadur  bukanlah menerjemahkan secara letterlijk, tetapi menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita.
   Karya saduran al-Manfaluthi diantaranya adalah Majdulin, saduran dari Souse s Telleuls karya Alfonso Carr, Al-Fadlilah, saduran dari Paul et Virginie karya Bernadin de Saint Pierre, As-Syair, saduran dari Cyrano de Bergerac  karya Edmon Rosten, dan Fi Sabil at-Taj, saduran dari karya yang ditulis oleh Francois Coubethe. Di samping menyadur, ia juga menulis sendiri dua antologi cerpen, al-Ibarat dan al-Mukhtarat.
Pendidikan dasar al-Manfaluthi berlangsung secara tradisional di Kuttab. Saat usia 11 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Pada usia itu pula ia mulai belajar di al-Azhar, Kairo (tahun 1888). Di al-Azhar, ia berjumpa dengan Muhammad Abduh (w. 1905) yang mengajar tafsir al-Qur’an dan balaghah, sehingga pada akhirnya ia mulai mendalami ilmu sastra darinya.
Sejak tahun 1905, al-Manfaluthi tinggal di, Manfalut. Di tanah kelahirannya itu ia sering  menyelenggarakan seminar sastra. Pemikirannya ditulis dalam bentuk artikel maupun syair yang dikirim ke surat kabat al-Mu’ayyad.  Pada tahun 1908 ia kembali ke Kairo untuk memimpin surat kabar  al-Mu’yyad. Kemudian ia diangkat oleh menteri pendidikan Sa’ad Zaglul sebagai direktur bahasa Arab di departemennya.
Ketika Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat, 1901-1912) datang ke Khortum menghasut rakyat agar memihak Inggris, Manfaluthi tampil melawan dengan menulis artikel ‘Pengadilan Roosevelt di depan mahkamah pengadilan. Dunlop, konsultan Departemen Pendidikan mesir (petugas pemerintah kolonial Inggris di Mesir) marah dan bermaksud memecatnya, tetapi dibela oleh Sa’ad Zaglul. Ketika Sa’ad Zaglul menjadi menteri kehakiman, ia diberi jabatan yang sama di departemennya. Al-Manfaluthi wafat di Kairo pada tahun 1924.
Sumber :
https://today.salamweb.com/id/mustafa-luthfi-al-manfaluthi/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mustafa_Lutfi_al-Manfaluti
http://id.dbpedia.org/page/Mustafa_Lutfi_al-Manfaluti
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Puisi Arab era modern (Sastra dan Non Sastra)
Prosa sastra arab dikenal sebagai An-Natsr Al-Adaby yang berarti perkataan yang tidak terkait penuh dengan wazan dan qafiyah atau dapat disebut juga sebagai sebuah karya sastra yang mengandung seni dan keterampilan yang menggambarkan peristiwa dengan fase kompleks dalam karakteristiknya. Prosa sastra arab telah banyak mengalami perubahan karakteristik berdasarkan zamannya yang terbagi menjadi Masa Jahiliyah, Masa Islam, Masa Umayyah, Masa ‘Abassiyah, dan Prosa Modern. Prosa modern adalah salah satu tema menarik untuk dibahas.
Ciri-ciri prosa modern ini lebih memperhatikan pemikiran daripada unsur gaya atau uslubnya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa-masa sebelumnya. Tema prosa di masa ini cenderung mengarah pada tema yang tengah terjadi di masyarakat, misalnya masalah politik, sosial, maupun agama. Perubahan gaya bahasanya adalah salah satu hal menonjol yang dapat dilihat dari prosa modern ini. Yang awal masih tradisional di mana kalimat yang digunakan masih panjang-panjang dan klasik berganti menjadi kata yang serba singkat dan cepat.
Prosa pada zaman ini dibagi menjadi dua macam, yakni prosa non imajinatif (non sastra) dan prosa imajinatif (sastra).
Di antara yang termasuk prosa non imajinatif (al-adab al-wasfiy):
Sejarah Sastra (Tarikh Adab)
Prosa jenis ini cenderung menjelaskan dan memperlihatkan bagaimana perkembangan karya sastra, tokoh-tokoh yang berperan, serta ciri-ciri dari tahap perkembangan tersebut.
Kritik Sastra (Naqd Adab)
Prosa ini berisi tentang perbincangan mengenai pemahaman, penafsiran, penghayatan, serta penilaian terhadap karya sastra.
Teori Sastra
Prosa ini membicarakan tentang definisi-definisi tentang sastra, unsur-unsur pembangunnya, jenis serta perkembangan sastra. Tak hanya itu, di dalamnya juga terdapat kerangka pemikiran para pakar tentang apa itu yang disebut dengan sastra.
Di antaranya yang termasuk prosa imajinatif:
Novel (Roman, Hikayah, Riwayah, Qisshah)
Kata Novel berasal dari bahasa Itali yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Secara istilah, novel atau riwayah diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa dalam bentuk dan ukuran yang lebih luas, memilki plot, alur, dan tema yang kompleks, karakter yang banyak, serta suasana dan setting yang lebih beragam. Ada tiga jenis novel, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi
2. Cerita pendek (qisshah qashirah)
Qisshah merupakan cerita berbentuk prosa yang relatif pendek yang di dalamnya terdapat gejolak dalam jiwa pengarangnya sehingga keseluruhan cerita tersebut dapat mencapai kesadaran pembaca yang dapat digolongkan sebagai buah sastra dari cerpen tersebut. bisa diukur dari kelonggaran waktu membacanya, Edgar Allan Poe mengatakan membaca berita membutuhkan waktu 30 menit sampai dua jam dengan membaca ekstensif, pendapat ini diamini oleh kritikus sastra. Namun, Herbert George Wells, seorang pemula dan sejarawan Inggris, mengatakan membaca cerita pendek tidak memakan waktu lebih dari satu jam. Berita muncul pada abad ke-19 di Eropa dengan munculnya majalah dan surat kabar yang disesuaikan dengan ketebalan majalah atau koran.
Sastra jenis ini dikatakan pendek karena genre ini hanya memiliki satu efek yaitu karakter, plot dan setting terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. Berita juga dibagi menjadi tiga jenis, yaitu berita reguler, berita panjang, dan berita. Contoh sejarah adalah Madrasah Al-Mughaffilin karya Taufik Al-Hakim yang sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam kumpulan cerpen Di Kampungnya ia tidak dihormati.
3. Novelet (uqushiyah)
Digambarkan sebagai cerita biasa yang panjangnya bervariasi dan cerita pendek yang memiliki 60-100 halaman, beberapa ahli menyebut novel dengan cerita pendek yang panjang. Dalam strukturnya, tidak perlu ada awal dan akhir untuk mencapai tujuan yang diinginkan, seperti struktur dalam novel. Contoh Novelet di antaranya adalah Rajulun Li Al-Bahri karya Harold Alfred Manhood dan As-Shumtu karya Leonid Andreyev.
4. Drama (mashrahiyah)
Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui perantara dialog-dialog para tokohnya. Sebuah jenis sastra dapat dikatakan sebagai drama jika memenuhi tiga hal, yaitu:
a. Adanya dialog antar tokoh.
b. Tidak dinikmati melalui pembacaan, melainkan pementasan.
c. Merupakan kejadian di atas pentas atau rekontruksi sebuah peristiwa.
Contoh naskah drama antara lain adalah Drama Ahl Al-Kahfi dan Haqlah Syay karya Taufiq Al-Hakim dan Mahmud Taimur.
Referensi:
Dyah Nurul Azizah, Jurnal : Karakteristik Prosa dalam Sastra Arab
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
3 Tokoh Pembaharuan Sastra Arab (Mutran, Aqqad, dan Mazini)
Khalil Mutran
Khalil Mutran (1 Juli 1872-1 Juni 1949) adalah seorang penyair asal Lebanon yang kemudian menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di Mesir. Tapi sebelumnya, dia sudah lama tinggal di Prancis dan banyak belajar sains dan sastra Prancis. Ia dijuluki sebagai Sha’ir al- Qutrayn yang artinya penyair dua negara. Mutran membawa konsep baru pada bidang puisi, yaitu prinsip persatuan dan struktur organis yang menunjukkan hubungan dalam suatu konteks. Visi ini dipengaruhi oleh teori strukturalisme Jean Piaget.
Dalam hal ini, Mutran secara langsung dipengaruhi oleh puisi Romantik Prancis, khususnya puisi naratif  Hugo, kata-kata Mussel dan Baudelaire. Selain itu, Mutran juga berhasil menghancurkan model qasidah yang telah menghabiskan potensi politiknya dan digantikan dengan model puisi yang lebih bebas melalui karya-karyanya, khususnya yang berjudul Nayrun.
Dalam karyanya ada kecenderungan untuk mengungkapkan visi individualistik pribadinya, mawas diri dan ekspresif. Hal ini bisa dimaklumi, karena menurutnya puisi adalah seni yang berhubungan dengan kesadaran. Khalil Mutran adalah orang pertama yang mengembangkan aliran romantis dalam puisi Arab. Meski puisi tersebut sangat romantis dalam nuansa yang mengekspresikan pengalaman pribadi cinta, kenangan masa kecil, sejarah dan mimpi, Mutran juga mengkritik situasi sosial di sekitarnya. Melalui pentingnya makna dalam puisinya, ia menyerang despotisme, tirani, perbedaan kelas, ketidaktahuan, ketidakadilan sosial dan membela perjuangan untuk kemajuan dan kebebasan berpikir.
Abbas Mahmud Aqqad
Abbas al-Aqqad lahir pada 28 Juni 1889 di wilayah Aswan, Mesir. Ia dibesarkan dalam keluarga yang religius dan mencintai sains. Abbas rela bekerja demi membeli buku untuk memenuhi hobinya membaca di masa mudanya. Dia menyukai kegiatannya tersebut sehingga dapat selama  membaca delapan jam sehari. Akibatnya, ia menjadi pandai menulis di usia yang sangat muda.
Pada usia 16 tahun, ia telah menerbitkan majalah mingguan Raj’u Sada. Ia juga seorang penulis untuk majalah al-Jeride milik Ahmed Lutfi al-Sayyid dan majalah al-Zahir milik Abu Syadi. Dia juga mengambil bagian dalam penerbitan surat kabar al-Dustur. Di bidang jurnalisme ini, ia membimbing para sarjana penulis terkenal; Muhammad Farid Wajdi. Kecerdasan dan ketajaman tulisan al-Akkad membuat kagum guru-gurunya seperti Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul Pasha, Abdullah Nadim, dan Syekh Fakhrudin Muhammad.
Berikut penggalan kesan Syekh Ahmed Thayyib, Syekh Al-Azhar Mesir yang dapat menggambarkan hakikat Al-Aqqad. ‘Saya pecinta karya Al-Akkad. Ini adalah sosok manusia yang dapat membentuk dirinya sendiri. Dia memiliki pikiran raksasa. Apa pun yang dia tulis, tulisannya sangat dalam.’ Abbas al-Aqqad menyambut baik gagasan pembaruan sastra Arab dengan menciptakan genre baru bernama Divan Group, bersama rekan-rekannya Abdurrahman Syukri dan Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini.
Pada intinya, kelompok ini sebenarnya adalah antitesis dari aliran Neo Klasik. Mereka menolak integritas puisi dan menekankan kesatuan organik puisi dengan menjaga kejelasan, kesederhanaan, dan keindahan bahasa puisi yang sunyi. Mereka juga menggunakan segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi penyair tentang rasa dan kepekaan.
Keistimewaan lainnya adalah tema-tema yang diangkat dalam karya-karya kelompok ini berkaitan dengan isu-isu terkini seperti humanisme, nasionalisme, dan Arabisme. Karya-karya yang dihasilkan juga banyak dipengaruhi oleh romantisme dan kritik Inggris.
Abbas Al-Akkad meninggal pada 13 Maret 1964 di Kairo, Mesir. Karena masih lajang, dia tidak meninggalkan istri dan anak-anaknya. Namun, ia meninggalkan puluhan karya seperti 10 antologi puisi, di antaranya Abir Sebil, Hay al-Arbain, Asafir al-Maghrib dan Hidayat al-Kerwan.
Satu-satunya novel Akkad, Sarah, adalah salah satu novel terkenal telah dipelajari secara luas oleh para peneliti. Pemikiran orisinal tentang obsesi umat Islam terhadap kemajuan dikumpulkan dalam Mausu’ah Abbas Mahmud al-Aqqad. Selain itu, ada 83 karya lainnya, baik kritik sastra maupun tema lainnya.
Ibrahim Al-Mazini
Ibrahim Abdul Qadir al-Mazini (1889-1949) atau sering disebut dengan Mazini adalah salah satu tokoh pembaharu yang berperan penting dalam kesusastraan Arab. Ia dikenal sebagai penyair yang ingin melepaskan diri dari model dan jenis puisi Arab terdahulu.
Buku Arabian Night dan juga buku pemikiran sastra terdahulu menjadi sebuah motivasi untuk mencetuskan idenya tersebut. Kemampuan yang dimiliki oleh al-Mazini adalah kepenulisan risalah atau esai, serta menciptakan berbagai karya sastra seperti mengarang sebuah cerita pendek yang jenaka. Mazini adalah salah satu penyair kontemporer yang lahir di tengah kepemimpinan Muhammad Ali pasca penjajahan di Mesir yang dilakukan oleh bangsa Perancis, sebelum itu Arab juga pernah mengalami kevakuman diakibatkan sistem pemerintahan yang kala itu dikuasai oleh bangsa Turki.
Di mana hal ini menyebabkan pula kevakuman sastra Arab di Mesir. Salah satu karya sastra dari Mazini yang sukses besar dan menjadi salah satu karya sastra yang berperan penting dalam dunia penulisan sastra arab modern adalah Ibrahim Al-Khatib yang ditulisnya pada tahun 1930 dan yang lainnya berjudul Zainab.
Referensi :
Taufiq A. Dardiri, Jurnal : Perkembangan Puisi Arab Modern.
Muhammad Walidin, https://today.salamweb.com/id/abbas-mahmud-al-aqqad-pembaru-puisi-arab-abad-ke-20/
Gilang Mursyid, Ibrahim Al Mazini, https://id.scribd.com/document/454144314/IBRAHIM-AL-MAZINI
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Sastra Mahjar
Mahjar ( Arab : المهجر, diromanisasi : al-mahjar, salah satu makna yang lebih harfiahnya menjadi ” Arab diaspora” ) adalah sebuah gerakan sastra dimulai oleh penulis berbahasa Arab yang berimigrasi ke Amerika  dari Ottoman -pemerintah Lebanon, Suriah dan Palestina  pada pergantian abad ke-20. Seperti pendahulunya dalam gerakan Nahda (atau “Renaisans Arab”), para penulis gerakan Mahjar dirangsang oleh pertemuan pribadi mereka dengan dunia Barat dan berpartisipasi dalam pembaruan sastra Arab.,  karena itu pendukung mereka kadang-kadang disebut sebagai penulis “almarhum Nahda”.  Para penulis ini, di Amerika Selatan serta di Amerika Serikat, memang berkontribusi pada perkembangan Nahda di awal abad ke-20.  Kahlil Gibran dianggap sebagai yang paling berpengaruh dari “penyair Mahjar”  atau “penyair Mahjari”.
Sastra Arab Mahjar adalah hasil akulturasi dua budaya bahkan akulturasi multikultural yang didukung oleh kekuatan spiritual dan imajinasi penulis diaspora. Secara umum, karya kelompok ini dapat digambarkan sebagai karya sastra romantis, humanis, dan seringkali mistik. Dari segi ekspresi, sastra diaspora Arab lebih menekankan pada isi pesan suatu karya daripada diksi, dan khususnya pada genre puisi, karya sastra Arab lebih cenderung lebih bebas dan independen dari kaidah penciptaan, yang selalu doa dan pantun. Lebih khusus lagi, ciri-ciri sastra Mahjar, khususnya puisi, meliputi: Perpaduan unsur dinamis spiritualitas Timur dan romantisme Barat, dapat digambarkan sebagai karya sastra humanis dan seringkali mistik.
Kelompok penyair Mahjar ini tinggal di Amerika, khususnya di Amerika Utara dan Selatan. Mereka kebanyakan berasal dari Lebanon dan Suriah. Di Amerika Utara, di New York, asosiasi sastra al-Rabitah al-Qalamiyah, atau Pen Society, berdiri sepenuhnya. Sedangkan di Amerika Selatan, Sau Paulo, ada al-‘Ushbah al-Andalusia atau Liga Andalusia. Pengarang terpopuler di grup ini adalah Cibran Khalil Jibran, yang juga merupakan pendiri dan presiden grup ini. Penulis kelompok ini sering dipengaruhi oleh literatur romantis dan sastra transendentalis Amerika, terutama Emerson, Longfellow, Whittier, dan Whitman. Ia pun berhasil menciptakan gaya baru dalam menulis puisi, yaitu puisi berbentuk prosa. Namun, semua tradisi di banyak bagian berbeda di tanah Arab memiliki semangat, perubahan, dan pembaruan yang sama. Langkah ini merupakan bentuk keluhan bahwa lahirnya sastra Arab klasik yang tidak mengekspresikan emosi perlu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan dunia sastra modern.
Sumber :
Taufiq A. Dardiri, Jurnal : Perkembangan Puisi Arab Modern
0 notes
amaradinda · 3 years
Text
Tokoh Pembaharu (Apollo dan Diwan)
Setelah munculnya aliran Neoklasik, terdapat aliran yang juga merupakan aspek pembaharuan sastra Arab yakni Aliran Apollo dan Diwan.
Aliran Apollo
Nama Apollo sendiri diambil dari nama dewa puisi bangsa Yunani, yakni Apollo. Nama tersebut dipilih sebagai sumber inspirasi untuk para sastrawan. Aliran Apollo ini muncul pada tahun 1992 dan dipelopori oleh Ahmad Zaki Abu Syadi (1892-1955).
Abu Syadi merupakan seorang dokter dan ahli bakteriologi yang lama menetap di Inggris dan Amerika. Selain itu, di sana ia juga banyak mempelajari sastra Inggris dan Perancis, terutama karya-karya milik Keats, Shelly, Woordsworth, Dickens, Arnold Bennet dan G.G. Shaw. Abu Syadi mulai menerbitkan sebuah majalah yang bernama “Apollo” ketika dia kembali ke Mesir. Majalah tersebut diterbitkan dengan dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Isi dari majalah tersebut tak lain memuat karya-karya sastra seperti puisi. Tak hanya Abu Syadi, ada juga sastrawan yang memiliki andil dalam aliran ini, seperti Ibrahim Naji, Kamil Kaylani, serta Sayyid Ibrahim. Apollo ingin menyatukan dan memberikan wadah bagi para penyair untuk lebih mengembangkan karya seni mereka. Menurut Abu Syadi, ada lima tujuan dibuatnya aliran Apollo ini, di antaranya: 1. Untuk menjunjung puisi Arab dan mengarahkan penyair agar mengarah ke arah yang baik. 2. Membantu menghidupkan seni di dunia puisi. 3. Mengangkat derajat puisi baik itu di mata dunia kesusastraan, sosial dan ekonomi serta untuk mencegah eksklusivitasnya. 4. Menumbuhkan rasa persaudaraan antara sesama penyair. 5. Menciptakan kebebasan puisi dan untuk memerangi terjadinya monopoli. Al-Shabi berpendapat bahwa Apollo ini merupakan aliran yang menjadi sebuah revolusi dahsyat untuk mewujudkan kesempurnaan dan kebebasan puisi, walau aliran ini tidak menjadi aliran yang jelas. Menurutnya, dengan ada kelompok ini, maka berhasil menjadikan akar gerakan dan mewujudkan tujuan mereka melalui prinsip yang mereka miliki. Sama seperti kelompok Diwan (kelompok yang juga terbentuk pada masa kesusastraan Arab modern), kelompok Apollo ini juga melakukan Counter Attack kepada aliran Neo-klasik. Karena aliran Neo-klasik masih mempertahankan corak-corak puisi terdahulu, aliran Apollo dan Diwan ini ingin mewujudkan sebuah perubahan total. Dalam artian, mereka ingin menghapuskan corak puisi lama yang dimiliki oleh bangsa Arab.
Aliran ini mengkritik metode taklid yang dilakukan oleh kelompok neoklasik, karena menurut mereka hal tersebut tidak boleh dilakukan dengan menjiplak karya sastra bangsa lain. Menurut Syukri, seharusnya ketika penyair Arab membaca sastra bangsa lain, mereka hanya boleh memperbaharui makna dan menjadikan sebagai inspirasi saja bukan untuk dijiplak.Terdapat ciri khas yang dimiliki para karya aliran Apollo ini, yakni: 1. Puisi mereka cenderung sentimentil atau curahan dari hati, namun berbeda dengan kadar yang dimilki antar penyair atau sesuai dengan faktor kebudayaan dan penjiwaan masing-masing. 2. Puisi kecintaan pada alam dengan kecintaan para penyair yang Mahjar dan Romantik serta menjadikannya sebagai alat pengkongkretan kejiwaan dan sikap mereka pada kehidupan dan manusia. 3. Puisi bebas dalam artian mereka mengabaikan rima dalam ketentuan bersyair. 4. Penyair menyatakan kehidupan percintaannya dengan emosi dan cinta yang berasal dari pengalaman subjektif mereka. 5. Penyair sering mengekspresikan kegagalan mereka dalam menarik dan mendapatkan wanita kemudian mereka melukisan atau menggambarkannya dalam bentuk orang yang suka berkhianat, gegabah, dan kurang pertimbangan. Kelompok Apollo ini melakukan pembaharuan dengan memperhatikan data-data sejarah, simbol-simbol istilah, nama-nama asing, dan juga mitologi. Mereka kerap mengembangkan puisi naratif (Al-syi’r al-Mantsyr) tanpa wazan dan banyak memperkaya puisi tersebut dengan referensi, baik itu dari Timur maupun Barat yang tentunya berkaitan dengan bentuk serta isi dari puisi tersebut. Setelah memahami, kita dapat melihat bahwa tokoh dan latar belakang kehidupan kesusastraan pada kelompok Apollo ini membawa sikap dan napas tersendiri dalam kehipan sastra Arab modern. Mereka melakukan ide pembaharuan dengan ciri khas yang kemudian memiliki pengaruh dalam sastra Arab modern.
Aliran Diwan
Kesusastraan Arab mengalami masa kosong atau tidak ada perkembangan berarti pada saat Turki Utsmaniyah menguasai wilayah Arab dan sebagian besar dunia Muslim lainnya. Keterbelakangan sastra Arab saat ini disebabkan oleh fakta bahwa para penguasa politik Turki Utsmani tidak terlalu peduli dengan bahasa Arab yang telah menjadi wilayah mereka. Sebagai penguasa, Turki Ottoman menerapkan kebijakan Turkiisasi atau propagasi pengaruh Turki atas setiap wilayahnya, seperti bahasa tradisional Turki, Turki, dll. Hal ini menyebabkan bahasa dan sastra Arab cenderung tidak berkembang secara signifikan.
Setelah beberapa wilayah Arab, seperti Mesir, diambil alih oleh Prancis, negara tersebut memperkenalkan berbagai peralatan modern seperti peralatan percetakan dan model sastra dan linguistik baru, lambat laun sekolah menulis bahasa Arab mulai bangkit kembali. Perkembangan sastra Arab mengalami perkembangan yang signifikan setelah Perancis meninggalkan piramida pada tahun 1801 dan disusul dengan bangkitnya Muhammad Ali sebagai penguasa Mesir. Karena ketertarikan Ali pada sains, ia mengirim duta Mesir untuk mempelajari berbagai ilmu di negara-negara Eropa seperti Prancis, Inggris Raya, dan Italia. Sekembalinya ke Mesir, berbagai inovasi dimulai dalam berbagai ilmu termasuk sastra Arab.
Sejarah sastra Arab kemudian mencatat bahwa orang-orang seperti al-Barudi, Ahmad Syauqi dan Hafidz Ibrahim adalah yang pertama kali memperkenalkan inovasi dalam sastra Arab. Karakter ini kemudian dianggap sebagai baris pertama dari literatur Arab modern yang dikenal sebagai Neoklasik. Kemunculan aliran ini menandai dimulainya kesusastraan Arab di masa modernnya akibat berbagai pengaruh luar yang diakibatkan dari interaksi dengan banyak budaya dan tradisi, baik kebudayaan yang bersumber langsung dari penjajahan maupun dibawa oleh utusan Mesir yang mendalami ilmu di Eropa. .
Namun, berbagai inovasi yang diperkenalkan oleh para neoklasikis tidak sepenuhnya menghilangkan mereka dari ikatan tradisi dengan para pendahulunya dalam penulisan puisi, terutama dalam metode dan bahasa yang digunakan.
At-Tafakkuk, khususnya karya sastra yang dibuat oleh pengusung Neoklasik, dianggap tidak memiliki tema yang seragam.
Al-Ihālah, khususnya, upaya neoklasik untuk merusak makna puisi karena mengandung sesuatu yang retorika, tidak realistis dan absurd atau irasional.
At-Taqlīd, khususnya karya-karya Neo-Klasik tidak lebih dari mengulangi apa yang dilakukan penulis sebelumnya dengan membalik kata dan makna.
Penganut neoklasik dinilai cenderung lebih mengutamakan eksistensi di atas hakikat karya sastra yang dihasilkan.
Selain berbagai kritik mereka terhadap New Classical yang diuraikan di atas, sekte Diwān juga memaparkan masalah-masalah baru yang muncul dalam puisi, kritik, dan komposisi sastra. Hal tersebut dilakukan dengan membuat garis pemisah antara sastra Arab klasik dan sastra Arab modern sehingga keduanya tidak dapat bertemu.
Sebagai salah satu aliran sastra Arab modern, kelompok Diwān memiliki karakteristik yang sangat melekat pada mereka. Ciri yang membedakannya dengan kelompok sastra Arab modern lainnya adalah penolakan terhadap kesatuan ayat dan penekanan pada kesatuan organik puisi, menjaga kemurnian, kesederhanaan, dan keindahan tuturan. Bahasa puisi yang tenang, memanfaatkan semua sumber untuk berkembang dan memperdalam. persepsi penyair dan kepekaan indrawi. Selain itu, karakteristik lain dari pengikut Diwān adalah terkait dengan topik yang dikemukakan dalam tulisan mereka.
Sumber:
Jurnal : Taufiq A. Dardiri, Perkembangan Puisi Arab Modern.
https://roedijambi.wordpress.com/2011/04/05/aliran-sastra-arab-modern-di-mesir-madrasah-diwan/
1 note · View note