anatomisosial
anatomisosial
Kumpulan Essai: Filsafat, Sosial, Politik.
6 posts
Email: [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
anatomisosial · 8 years ago
Text
Lawan Komunis phobia! Menyoal Agama dan Pancasila Dalam Pandangan DN Aidit
Sososk Aidit selalu populer setiap peristiwa Gestok/65 digulirkan dalam pertarungan wacana. Di tingkat akar rumput banyak yang menilai dan menghakiminya tanpa mengenal sejarah dan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia. Masyarakat awam yang ‘fakir’ literasi, Aparatur Negara dan mereka yang telah Anti-PKI/Komunis secara turun-menurun akan menerima informasi begitu saja, bahkan tidak sedikit akademisi yang turut serta memandangnya sebelah mata.
Fotonya terpampang di banyak media sosial, parasnya bengis, dingin dan penuh dosa. Film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI juga berhasil membuat sosoknya yang kejam dan akrab dengan kepulan asap rokok—tiap gestur dan dialognya memberi kesan layaknya iblis berwujud manusia, penuh tipu muslihat. Stigma Aidit sebagai dalang dari gerakan 30S yang Anti-Pancasila sukses dikonstruksi oleh ORBA dan bertahan sampai detik ini—menghapus lembaran jasa dan perjuanganya terhadap kaum buruh tani, rakyat miskin kota dan orang tertindas pada umumnya. Untuk itu penulis merasa perlu mengkritisi wacana yang bergulir tentang PKI dan sosok Aidit dan pandanganya terhadap Pancasila, agar masyarakat luas lebih adil, kritis dan ada harapan dari ringkasan ini pembaca dapat keluar dari belenggu dokrin Orde Baru.  
Aidit dan Perjuangan Politik Rakyat
Namanya Achmad Aidit, ketika ia sadar akan potensinya dalam kancah gerakan politik, ia berganti nama menjadi Dipa Nusantara Aidit, kerap disapa DN Aidit. Disaat gerakan pemuda dan organisasi intelektual yang berorientasi melawan kolonialisme mulai bermekaran, lahirlah Achmad Aidit pada tanggal 30 Juli 1923 di Belitung, Sumatera Selatan. Ia dibesarkan dari keluarga terhormat dan berkecukupan. Bertolak dengan kengerian yang digambarkan Orde Baru, Aidit kecil dan remaja adalah anak periang, aktif, pembelajar dan pelindung keluarga, banyak teman sebayanya menilai, sosoknya sebagai remaja yang terbuka dan mudah bergaul, rajin mengaji dan mengumandangkan azan di masjid kampungnya.  
Masa muda Aidit diisi dengan pergaulan yang produktif, ia kerap bergaul dan berdampingan dengan buruh-buruh yang berada dua kilometer dari kediamanya, Gemeenschappelijke Mijnbouw Mattschappij Billiton, sebuah perusahaan timah yang dikuasai Belanda. Dari pergaulan itu, aidit belajar dan memahami bahwa buruh menjadi objek kapitalisasi dan alas kolonialisme Belanda, pengalaman itu juga membentuk ciri gerakan politiknya. Karir politiknya dimulai saat berjumpa Persatuan Timur Muda, sebuah perkumpulan pemuda yang diprakarsai oleh Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), pimpinanya adalah Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Semangat perjuangan dan intelektualismenya yang tinggi mengantarkanya menjadi ketua umm Pertimu.
 Dalam usaha heroik pemuda yang penuh hasrat kemerdekaan, Aidit terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Sebelum pecahnya peristiwa tersebut ia tergabung dalam Pemuda Asrama Mahasiswa Menteng 31. Ketika Musso pulang dari Rusia, libido politik Aidit menuju revolusi Indonesia semakin tak tertahankan, Musso hadir dengan agenda aksi yang menjanjikan dan terukur. Ia menerima jabatan kordinator seksi perburuhan partai, sebulan setelah kedatangan Muso, meletup Peristiwa Madiun pada 1948—sebuah kejadian sporadis—berbuah cap PKI sebagai dalangnya. Aidit terpaksa menghilang. Simpang siur keberadaanya, ada yang mengakatan keVietnam Utara ada juga bersliweran Jakarta-Medan dalam pelarian[1].
Di sekitaran tahun 1950 Aidit kembali tampil ke publik, ia ta sendiri, ia menggandeng dua kamerad-nya, Njoto dan Lukman, mereka menjadi semacam trio, tiga serangkai atau semacam “trisula” PKI berikutnya. PKI sudah hampir ‘amburadul’ dan tercecer kekuatanya, dengan cekatan Aidit mengambil langkah progresif dan mengkonsolidasi kekuatan, tak lama dari itu, tiga serangkai ini menduduki kursi kepemimpinan partai dari generasi tua, pimpinan Alimin dan Tan Ling Djie, dan sukses membawa PKI mendulang suara 6,1 juta ke-4 terbesar di pemilu tahun 1955.
Aidit membawa harapan besar bagi kaum tersisih di Indonesia, kaum tani, serikat buruh dan mereka yang mendambakan keadilan. PKI yang dipimpinya tidak seperti partai politik kekinian hari ini yang penuh dengan janji retorika ilusif, frasa perjuangan rakyat dibuktikanya melalui program tanah untuk rakyat, tanah-tanah yang dikuasi borjuis diambil alih dan berikan untuk kemakmuran rakyat kecil untuk dinikmati bersama dan dikelola secara kolektif, mendorong usaha program Reforma Agraria.
Sikapnya yang tegas dan demokratis membuatnya sebagai anacaman besar bagi lawan politik, diantara masyumi dan militer yang banyak di isi politisi oportunis dan mereka yang mencari perhatian dari kampanye anti-komunis-nya Amerika.
Perlu diketahui bahwa Aidit adalah seorang intelektual-organik tulen, tidak hanya mengorganisir ia juga seorang pembelajar dan penulis produktif, dari kecerdasanya lahir banyak karya yang mampu dipahami oleh masyarakat luas, terutama soal ilmu Marxisme yang telah mengilhami ribuan rakyat untuk melawan neo-kolonialisme dan penindasan sistematis melalui ekonomi represif global dan borjuis domestik yang menjadi jari-jemari negara penyokong pasar bebas.
Mimpi dan harapanya adalah menjadikan Indonesia yang sosialis, menjujung keadilan, dan mengangkat harkat martabat kelas proletar. Dia memiliki hipotesa—untuk menyukseskan revolusi diperlukan kurang lebih 30% kekuatan militer, namun ada pembacaan yang cacat, akhirnya teorinya berbuah simalakama. Gerakan 1 Oktober 1965 membawa kehancuran Partai yang telah ia besarkan susah payah. Peristiwa itu akhirnya dijadikan dalih buat militer memprovokasi perang saudara dan membrangus seluruh elemen kekuatan partai termasuk simpatisan PKI dihampir seluruh basis PKI di Indoensia.
Pasca gerakan 1 Oktober 1965 situasinya semakin menjadi sulit, gerakan penculikan yang di prakarsai Letkol Oentung, Cakrabirawa dan beerapa petinggi PKI termasuk Sjam dan Aidit, menyeret—orang PKI dan underbow-nya, PKI secara institusi harus mengakui kesalahan yang keblinger ini. banyak perspektif yang belum final, tapi di masa Orde Baru tafsiran itu final. Aidit harus mengasingkan diri dan berseliweran ke daerah Jawa Tengah, dalam pelarianya pada tanggal 22 November 1965 Ia diringkus di persembunyiannya di rumah Kasim alias Harjomartono di Sambeng, Solo, Jawa Tengah.
Dalam Instruksinya jenderal Soeharto mengamanatkan anak buahnya Mayor  ST mencarikan sumur tua kering dan di dalam sumur tua itulah mayat Aidit menjadi abu dibakar dengan glondongan kayu yang tertumpuk di atsnya. Dihadapan regu tembak Aidit harus menerima satu magazin peluru Kalashnikov bersarang di kepalanya. Eksekusi itu melibatkan empat juru tembak, dua kopral pengemudi Jeep. Nyari tak ada yang tahu peristiwa itu berlangsung.
Aidit, Agama dan Pancasila
Yang tidak banyak diketahui adalah bahwa Aidit seroang muslim progresif—yang faseh baca qur’an dan seorang muazin masjid di kampungnya Belitung. Ketika ia bergulat dalam politik nasional—komunisme seakan meluluhlantahkan pribadinya sebagai mukmin dan ekspresi politik—melawan ‘kedzaliman’ penguasa (Borjuis serakah, Kolonialisme, Imperialisme) tak dimaknai lawan politik sebuah sebagai ikhtiar Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Komunis Atheis, anti Pancasila merupakan hal yang melekat pada Aidit di mata lawan politiknya, kenyataanya Aidit tak pernah pandang bulu dalam menggandeng kawan perjuangan, ia tak melihat perbedaan agama atau ras, selama ia memegang erat garis perjuangan rakyat ia adalah kamerad sejatinya. Dihadapan partai lain PKI adalah partai yang terkenal ketat dalam melakukan rekuitmen, moral komunis yang asing dengan poligami bahkan sempat jadi cekcok Aidit dengan Njoto yang sudah beristri namun merajut kasih dengan gadis Rusia.
Soal urusan Pancasila—pandanganya dapat kita temukan dalam substansi politik diberbagai pertauatanya. Sikapnya yang dianggap ambivalen dibela PKI lewat buku berjudul “Aidit Membela Pantja Sila” dan dalam wawancaranya dengan Solichin Salam, koleksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Kini arsip tersebut terbuka untuk publik, dari situ dapat kita ketahui isi kepala aidit terkait Agama dan Pancasila.
Kesempatan Solicchin Salam mewancarai DN Aidit ketua CC PKI, benar-benar tak disia-siakan olehnya, ia menggerus habis persoalan agama dan pancasila—yang kemudian Hasil wawancara dimuat majalah Pembina pada tanggal 12 Agustus 1964.
Berikut petikan wawancaranya. Kutipan langsung (Wawancara DN Aidit: “PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila”: Historia.id)
Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
 PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu).
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan...” Sebagaimana juga Bung Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan... Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu... dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga...”.
 Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.”
 Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?
 Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.
 aDalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner. Misalnya agama Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani melakukan perlawanan terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa membangkitkan massa budak. Juga dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada Marxisme, adalah sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.
 Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme “Malaysia”, maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.
 Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia memeluk agama Islam?
 Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur “Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur “A” demi persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.
  Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama?
 PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.
 Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan ajaran-ajaran Marxisme?
 Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis, belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.
 Bagaimana pendapat Saudara mengenai agama Islam, apakah ajaran-ajarannya progresif revolusioner ataukah sudah out of date? Organisasi-organisasi Islam manakah yang progresif revolusioner?
 Out of date atau tidak, hal ini tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak revolusioner, maka ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak revolusioner, maka ia juga out of date, yang berarti pada hakekatnya ia bukan partai komunis sekalipun namanya partai komunis. Mengenai organisasi Islam mana yang progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan memutuskannya. Hal ini tergantung pada tindak-tanduk organisasi-organisasi Islam itu sendiri[2].
Dari petikan wawancara di atas perlu kita pahami konteks politik di satu sisi  dan bagaimana aktualisasi politik Aidit di sisi lain, agar tidak terjebak dalam kubangan frasa yang telah di ‘rujak’ oleh lawan politik dan menemukan pandangan objektif dari sikap Aidit terhadap Agama dan Pancasila.
Kini kita menyaksikan bagaimana populisme Islam politik telah dan akan terus didompleng oleh oligarki partai politik, juga militer yang mulai mencari panggung di beberapa momentum penting. Istilah komunis yang demikian mengerikan dan kadang lucu di mata rakyat dunia maya musti ditarik simpul kacaunya, agar proses pembangunan wacana kiri tidak digoreng bersamaan dengan isyu ini. Kita punya agenda besar perihal land reform, penegakan HAM, perjuangan menentukan nasib sendiri bagi 1,8 juta rakyat Papua Barat dan lain-lainya yang ditengarai oleh sistem ekonomi-politik liberal yang demikian represif.
Kesempatan kaum kiri dalam pertarungan wacana “komunisme” tak boleh mengalami blunder sehingga peristiwa yang telah kita alami di acara Belokkiri Fest maupun Penyergapan seminar 65 di LBH oleh ormas dengan reputasi anti-intelektual ini dimanfaatkan oleh media borjuis yang  berafiliasi dengan partai politik.
Diperlukan semacam garis besar yang mampu merajut beragam isu akar rumput dan mendobrak isolasi hukum parsial yang berimbas pada fragmentasi gerakan, setidaknya apa yang ditawarkan oleh Muhamad Ridha dua tahun lalu dalam artikelnya soal Program Minum di indoprogress secepetnya didiskusikan secara serius sampai pada level konsolidasi gerakan terukur dan memiliki signifikansi yang berarti. Tampaknya kita tak lagi bisa berharap pada mereka yang dianggap melakukan infiltrasi kedalam lemaga-lemaga Negara, ada harapan, namun kecil , yang terlihat adalah disintegrasi diantara aktivis gerakan kiri dan mereka yang mengaku membagi tugas di dalam piranti kekuasaan, ditamah lagi penulis merasa miris melihat terkaparnya kekuatan organisi buruh yang tergantikan dengan ormas-ormas fasis religius.
  [1] http://historia.id/buku/misteri-tiga-orang-kiri Diunduh pada tanggal 02 Oktober 2017, Pukul 16:00.
[2]
http://historia.id/modern/wawancara-dn-aidit-pki-menentang-pemretelan-terhadap-pancasila Diunduh pada 02 Oktober 2017, Pukul 18:00.
it�G����(
Artikel ini juga di posting di Selasar.com
2 notes · View notes
anatomisosial · 8 years ago
Text
Antara Moshing, Underground, dan Buta Makna: Matilah Kau Poser!
Sudah bukan merupakan pemandangan asing bagi para pecinta musik underground bila terdapat aksi brutal di tengah konser/gig. Di kalangan metalhead, punker, dan hardcore, tarian brutal itu lebih lebih dikenal dengan sebutan moshing. Tak banyak khalayak yang mengerti dan memahami arti dan makna moshing, bahkan penulis sendiri sebagai pelaku scene punk rock hanya memaknainya sebagai bentuk keselarasan antara musik dan emosi ketika pertama kali menemukan pemandangan tersebut.
Makna Ideal "Moshing" dan Realitanya Sekarang
Muhamad Robbyansyah dalam jurnalnya yang berjudul “Sebuah Kajian Cultural Criminology atas Moshing dalam Konser Underground ” (2011: 340) mengatakan bahwa moshing tidaklah berbeda dari sebuah ritual, sebuah hasil penggambaran simbolik atas para pengikutnya yang memiliki bahasa-bahasa dan sarana interaksi multiintepretasi yang layak dan dapat dipertanggungjawabkan. Halnon (2006) juga menambahkan bentuk-bentuk attribute dan aksesoris dari masing-masing sceneunderground dengan mengasosiasikan moshing ke dalam bentuk simbolis. Bentuk simbolis itu secara keseluruhan, elemen, dan ‘keanggotaan’-nya terdapat dalam komunitas underground—memakai moshing sebagai sebuah bentuk simbolik, sebuah makna yang selalu sama atas apa yang mereka perjuangkan dan suarakan: perlawanan.
Apa yang dipaparkan Halnon dan Robbyansyah merupakan bentuk ideal dari moshing. Kenyataannya, persepsi tersebut telah terjungkal ke dalam fantasi estetis semata, ke dalam hasrat dan kepuasan semu yang telah mencerabut esensi. Dengan kata lain, moshing berubah dari sebuah ritual menjadi sebuah joget 'yang penting seru'. Di Indonesia sendiri, proses pengartikulasian makna simbolik dan interpretasi mengalami kerancuan yang tak terhindarkan. Hal itu terjadi baik di dalam arus major dan indie. Ditambah dengan kemajuan arus informasi yang mempermudah terciptanya kanal-kanal penyebar kerancuan tersebut, makna moshing menjadi semakin kabur.
"Kenyataannya, persepsi tersebut telah terjungkal ke dalam fantasi estetis semata, ke dalam hasrat dan kepuasan semu yang telah mencerabut esensi."
Sebutkanlah goyangan lokal seperti goyang dumang atau goyang itik, lalu hadapkan dengan ritual moshing, headbang, dan stage-dive. Yang kemudian terafirmasi oleh publik hanyalah bentuk tari yang memiliki perbedaan material dan persepsi negatif. Hal tersebut tidak lepas dari relasi sosial-ekonomi-budaya. Relasi tersebut berada pada dimensi akses dan dimensi konsumsi. Akses tersebut memiliki batasan-batasan yang sejalan dengan seberapa besar isi dompet dan budaya yang digaulinya.
Pemahaman atas moshing akan menjaditidak lengkap bila kita tidak memahami budaya underground. Peter Golding dan Graham Murdoch (1991) menjelaskan pemahaman terhadap budaya undergroundsebagai berikut:
“...memfokuskan pada interaksi timbal-balik antara dimensi simbolik dan dimensi ekonomis komunikasi publik (termasuk musik pop). Pendekatan ini bermaksud menunjukkan bagaimana cara pembiayaan dan pengorganisasian sebuah produk budaya yang berbeda dan mempunyai berbagai konsekuensi yang membekas pada sederet wacana dan representasi di ranah publik dan pada akses khalayak terhadap wacana dan representasi itu.” (Golding, P. Murdoch, G. 1991. 15)
Sederhananya, bentuk dari budaya underground secara keseluruhan bukanlah sebuah tampilan yang tanpa pesan atau kosong. Budaya underground memiliki wacana yang tidak bebas dari nilai dan tujuan tertentu. Karenanya, budaya underground patut dipahami oleh para pelaku dan penikmat musik underground itu sendiri agar kemunduran pemaknaan dan orientasi movement-nya dapat sedikit demi sedikit kembali dimaknai dengan benar.
Tulisan ini sebenarnya dibuat untuk dapat memicu terjadinya dialektika pendapat, terutama oleh mereka yang lebih dahulu menjadi pegiat scene underground. Selain itu, tulisan ini juga hadir untuk memproyeksikan kembali upaya-upaya edukasi dalam bidang musik agar jebakan slogan dan sirkulasi ekonomi tak berhenti pada urusan profit semata.
Wacana dan Konstruksi Pemikiran atas Moshing
Wacana dan konstruksi pemikiran yang dituangkanke dalam ritual moshing merupakan bagian dari perlawanan terhadap dominasi budaya populer. Adapun sejarah kelam yang sempat mengotori wajah musik underground seperti peristiwa kematian beberapa penonton di konser beside dan beberapa konser lainnya terjadi tanpa unsur kesengajaan. Artinya, kita juga harus mengajukan pertanyaan kepada publik mengenai kerusuhan sebagai suatu indikator atas sebuah subkultur musik. Contohnya, acara konser dangdut yang juga memakan korban. Jadi, pelabelan terhadap musik underground sebagai biang keladi kerusuhan adalah sebuah kekeliriuan.
"Wacana dan konstruksi pemikiran yang dituangkanke dalam ritual
moshing
merupakan bagian dari perlawanan terhadap dominasi budaya populer."
Pelabelan itu bisa jadi juga merupakan sebuah kesengajaan yang diproduksi oleh pihak 'status-quo' atau mereka yang pro terhadap industri musik major mainstream agar dapat mempertahan pop culture, meski asumsi ini pun masih bersifat prematur. Bagaimanapun, istilah musik sebagai wadah persatuan tidak bisa dipercaya begitu saja saat ini. Sebab pada kenyataannya, pola pemasaran dan persaingan dalam industri musik menggambarkan sebuah paradoks dari wacana musik sebagai wadah persatuan.
Tumblr media
Bagan 2.1 Konstruksi Moshing yang dilakukan oleh Pihak Dominan (Media Massa, Pemerintah, Masyarakat Awam)
Bagan 2.I menggambarkan pembentukan konstruksi makna yang dilakukan oleh pihak-pihak dominan seperti media massa, pemerintah, dan juga masyarakat. Konstruksi makna ini digunakan dalam memaknai fenomena moshing di dalam konser musik underground. Fokus artikel ini adalah untuk memaparkan konstruksi yang dilakukan, kemudian mengadakan dekonstruksi atas penerapan konstruksi yang dilakukan oleh pihak dominan dengan menggunakan analisa wacana sebagaimana tergambar pada bagan 2.2.
Tumblr media
Bagan 2.2 Grafik Proses Dekonstruksi Makna Moshing
Pada Bagan 2.2., diperlihatkan proses dekonstruksi yang akan dipaparkan di dalam tulisan ini. Proses dekonstruksi dimulai dari konstruksi moshing sebagai sebuah budaya yang dijadikan subordinat oleh pihak-pihak dominan. Kemudian, proses dekonstruksi dilanjutkan dengan memecah wacana-wacana atas konstruksi tersebut dengan memberikan pemaparan secara etnografis, menggambarkan pola interaksi budayanya, dan menyalurkan makna-makna simbolik yang terdapat di dalam moshing itu sendiri. Proses dekonstruksi berujung pada pembentukan konstruksi baru atas makna dan representasi moshing sebagai sebuah budaya produk dominan yang berada di pinggiran.
Gambar dan penjelasan di atas diambil dari jurnal Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.III Desember 2011: 340–354 SEBUAH KAJIAN CULTURAL CRIMINOLOGY ATAS MOSHING DI DALAM KONSER UNDERGROUND.
Kedalaman makna yang tersirat dari pola konstruksi wacana tersebut musti dipahami dan diaktualisasikan ulang ke dalam kondisi riil agar tiap-tiap pelaku musik underground dapat meng-counter  kemapanan pihak dominan yang telah mengkooptasi kultur underground. Hal ini juga perlu dipahami oleh para “poser”, sebutan bagi mereka yang menjadi korban pasar dan secara tidak sadar menopang kemapanan tersebut.
Ruang Dialog: Solusi Rekonstruksi Paradigma Moshing
Keberadaan ruang dialog dalam setiap scene rasanya baik dalam membangun kembali paradigma moshing pada setiap scene atau komunitas underground. Jangan sampai industri musik yang di dalamnya penuh dengan brand apparel dan media menghabiskan nafas ideologis underground dan membuangnya ke dalam keranjang sampah.
Memahami apa yang terlewat oleh generasi underground hari ini mengingatkan saya kepada perkataan Joe Strummer, "Know your rights!". Memahami makna sebenarnya dari moshing juga mengingatkan saya pada perkataan Kurt Cobain bahwa "Punk adalah kebebasan atas luka, kebebasan atas sebuah penderitaan, dan saya pikir, musik underground merupakan perwakilan dari suara-suara yang tak tersuarakan oleh parlemen dan pihak pengontrol kartel."
Enyah kau, industri! Matilah kau, Poser!
Diposting di Mahasiswabicara.com dan https://www.selasar.com/jurnal/32485/Antara-Moshing-Underground-dan-Buta-Makna-Matilah-Kau-Poser tahun 2015.
2 notes · View notes
anatomisosial · 9 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes
anatomisosial · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Poto ini diambil beberapa waktu lalu dalam tugas KKN di sd kalong sawah 07 Kec. Jasinga. Saya merasa terbakar dalam api revolusi yang mendidih, melihat, mendengar dan merasakan korupnya kehidupan politik di daerah Kabupaten Bogor ini. Kisah yang belum saya sempat sampaikan ini, menjadi pelajaran yang menyedihkan, dehumanisasi sampai ke desa-desa. Ekses penidasaan buah tangan regulasi pemerintah nyaris masuk keseluruh sendi kehidupan. Aku ingin sekali menyangkalnya, tapi apa yang terjadi, alienasi membutakan kesadaran mereka, akupun tak bisa berbuat apa-apa sementara senjata ada di tiap penjuru media.
1 note · View note
anatomisosial · 9 years ago
Quote
MAAF, BLOG SEDANG DAlAM REVISI PENULISAN & PERBAIKAN KONTEN!
Villarian
0 notes
anatomisosial · 9 years ago
Photo
Tumblr media
I Gusti Ngurah Rai.
2 notes · View notes