Tumgik
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Menjadi Oposisi
Presiden dan wakil presiden sudah bersumpah dan dilantik. Mari kita terus kawal dan tagih janji-janjinya sampai bosan dan lunas! Sehabis pelantikan, perhatian kita tersedot dengan adegan antiklimaks berkoalisinya partai oposisi, Gerindra.
Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, yang dulu tampil sebagai pentolan oposisi, kini duduk di kursi empuk Menteri Pertahanan. Menjadi anak buah Jokowi. Yang ketika kampanye, gebrak-gebrak podium, kini ia tampak senyam-senyum. Kobaran api oposisinya akhirnya padam juga disiram jabatan.
Melihat kemesraan Jokowi dan Prabowo sekarang ini, maka adagium paling masyhur dalam jagat politik berlaku, “Tidak ada kawan-lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.” Tentu sah-sah saja sikap Gerindra ini. Namun, jadi tidak seru. Yang lima tahun kemarin kita melihat macan unjuk taring, lima tahun ke depan kita bakal melihat macan ompong.
Di saat makin sedikitnya partai politik yang beroposisi kepada pemerintah, maka kita, rakyat Indonesia, harus lebih banyak lagi yang peduli dan kritis terhadap jalannya pemerintahan. Agar makin banyak mata yang mengawasi. Biar demokrasi tidak berat sebelah. Supaya pemerintah tidak menyimpang. Bukan bermaksud su’uzhan atau tidak percaya kepada pemerintah.
Bagaimanapun juga yang menjalankan pemerintahan hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari lupa, salah, dan dosa. Untuk itulah, kita bantu mengingatkan dan memberi masukan. Agar pemerintah insyaf dan kembali ke shirathal mustaqim.
Kalau semua hanya memuja-muji dan menjilat pemerintah, kita khawatir nanti ABS (Asal Bapak Senang). Kabar buruk disembunyikan. Pura-pura tidak melihat ada bopeng di wajah pemerintahan. Takut, ragu, dan tidak enakan mengkritik karena sudah berteman dekat dan dapat posisi enak. Jadinya, hanya sanjungan dan kabar gembira saja yang diutarakan. Bikin pemerintah terbang dan abai dengan kesalahannya.
Bung Hatta Vs Bung Karno
Menjadi orang yang kritis terhadap pemerintah bukan berarti memusuhi negara. Salah seorang pendiri bangsa kita pun, Mohammad Hatta, berlaku kritis terhadap pemerintahan Sukarno. Siapa yang meragukan kesetiaan dan kecintaan Bung Hatta kepada tanah air?
Saat tidak lagi menjabat wakil presiden, Bung Hatta sering melontarkan kritik-kritik kepada Bung Karno. Bukan lantaran ia melampiaskan dendam atau kebencian, melainkan ada kebijakan pemerintahan Sukarno yang dinilainya tidak beres dan merugikan bangsa ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah pemotongan nilai uang (sanering) kertas Rp500 dan Rp1000. Kala itu, Rp500 nilainya jadi Rp50, dan Rp1000 nilainya jadi Rp100. Sanering ini dilakukan pemerintahan Sukarno demi mencegah inflasi makin tinggi.
Tapi menurut Bung Hatta yang paham betul ekonomi, sanering tidak bisa dilakukan ketika defisit anggaran belanja sangat besar. Karena di samping sanering, pengeluaran uang baru yang bermiliar-miliar jumlahnya juga dilakukan. Akibatnya, inflasi justru jadi meroket.
Memang benar, sanering ini membuat harga barang jadi turun kala itu. Tapi berlaku hanya sementara, menurut Bung Hatta. Harga barang turun, jelasnya, karena kurangnya daya beli. Nanti kalau uang kertas baru dicetak, harga itu akan naik dan semakin naik. Akibatnya, daya beli jadi kembali berkurang.
Produsen dan konsumen, kata Bung Hatta, paling dirugikan akibat sanering ini. Sedangkan saudagar besar kapitalis dan spekulan tidak terlalu kena dampaknya. Sebab uang mereka sebagian besar ada di barang. Yakni barang yang dibelinya dari produsen dengan uang Rp500 dan Rp1000 sebelum nilainya dipotong. Sekarang, uang yang dipegang produsen itu nilainya jadi kecil akibat sanering. Akibatnya, produsen seperti petani, peternak, pengrajin jadi miskin.
Konsumen pun jadi miskin. Bung Hatta mencontohkan dengan seorang pengarang yang menerima royalti bukunya setahun sekali dengan jumlah sekaligus besar. Royalti itu, tuturnya, dipakai pengarang untuk belanja setahun. Pengarang menyimpan royaltinya di rumah untuk belanja bulanan. Tapi akibat sanering ini, nilai uang belanjanya tiba-tiba dipotong. Ada yang kehilangan uang belanja 10 bulan, 8 bulan, 6 bulan dan seterusnya. “Dapatkah Saudara memikirkan betapa pahit rasa hatinya?” tanya Bung Hatta kepada Bung Karno lewat surat. Surat kritikannya ini bisa dibaca di buku “Hati Nurani Melawan Kezaliman:Surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno 1957-1965” yang disusun Mochtar Lubis (1988).
Bung Hatta dalam suratnya itu, lalu membandingkan nasib pengarang dengan kapitalis yang menerima keuntungan dari harga barangnya sebesar Rp100.000 dengan uang kertas Rp100.000 satu lembar. Sementara pengarang yang susah hidupnya menerima honorarium bukunya sejumlah Rp9.000 dengan uang kertas Rp1.000 sembilan lembar.
“Dari jurusan mana juga ditinjau muslihat ini tidak adil dan pula anti sosial,” tulisnya. “Sebab itu sebaik-baiknya dicabut saja kembali selekas-lekasnya.”
Tidak hanya mengkritik, Bung Hatta juga memberikan tiga solusi untuk masalah ini. Yakni berhemat dan mengurangi perbelanjaan negara sampai jumlah yang bisa dipertanggungjawabkan, lalu menggiatkan produksi, dan mengefektifkan peredaran barang.
Mochtar Lubis membenarkan keadaan yang disampaikan Bung Hatta di atas. Rakyat, kata Mochtar, jadi korban utama kebijakan moneter pemerintahan Sukarno itu. Wanti-wanti Hatta akan terjadi peningkatan inflasi pun, tuturnya, kejadian pada tahun berikutnya. Perekonomian jadi makin mundur. Artinya, Bung Hatta tidak berbohong dan main-main ketika mengkritik.
Selain kebijakan sanering, Hatta juga mengkritik demokrasi terpimpin ala Sukarno. Kritiknya disampaikan lewat tulisan berjudul Demokrasi Kita yang dimuat di Majalah Pandji Masjarakat1 Mei 1960. Akibat tulisan itu, majalah yang dipimpin Buya Hamka ini dibredel oleh rezim orde lama.
Dalam tulisannya, Bung Hatta menilai demokrasi terpimpin makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya, dan sangat menyimpang dari konstitusi. Sebab Bung Karno memilih kabinetnya secara sepihak, membubarkan Konstituante dan DPR, lalu membuat DPR baru dengan menunjuk semua anggotanya sendiri dengan menyingkirkan golongan oposisi.
Oleh Bung Karno, DPR dijadikan sekadar stempel yang memberi dasar hukum atas keputusan yang telah ditetapkan Pemerintah berdasarkan pertimbangan atau usul dari Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Dua badan ini pun orang-orangnya ditunjuk sendiri oleh Sukarno. Maka sempurnalah rezim otoriter! Alasan Bung Karno memakai cara ini agar segala perundingan dapat berlaku dengan cepat dan tidak bertele-tele.
Tapi, Bung Hatta menilai demokrasi macam ini tidak kenal batas kebebasannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki yang lambat laun akan digantikan oleh diktator. “… dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakjat jang terdjadi sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenjaplah sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno mendjadi suatu DIKTATUR jang didukung oleh golongan-golongan jang tertentu,” kritiknya. Bung Hatta sampai menulis kata “diktatur” dengan huruf besar.
Ia memprediksi demokrasi terpimpin tidak akan bertahan lama. “… sedjarah dunia memberi petundjuk pula bahwa diktatur jang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnja. Sebab itu pula sistim jang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih pandjang umurnja dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnja itu akan rubuh dengan sendirinja seperti suatu rumah dari kartu,”tulisnya.
Dan benar saja, demokrasi terpimpin, tulis Himawan Indrajat dalam Jurnal Sosiologi, Vol. 18, No. 1 tahun 2016, gagal total. Sebabnya, Bung Karno terlalu menyederhanakan masalah dengan meyakini bahwa semua organisasi sosial politik bisa disatukan oleh pemimpin tunggal yang kuat. “Padahal mereka memiliki kepentingan yang berbeda dan pasti saling bersaing untuk memenangkan kepentingannya,” terang Indrajat.
Contohnya, kata dia, kompetisi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat (AD), yang akhirnya malah merobohkan demokrasi terpimpin itu sendiri dan menyingkirkan Bung Karno. Demokrasi terpimpin ini, kata Indrajat, bukannya melahirkan demokrasi, tapi malah membuat Sukarno sama sekali tidak terkontrol oleh rakyat. Sehingga Sukarno cenderung menyalahgunakan kekuasaan.
Bung Hatta dalam Demokrasi Kita, menjelaskan semangat demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial dan kolektif. Karena itu, kata dia, harus ada harmoni atau keseimbangan antara pemeliharaan dan politik pemerintah, yang dapat dikontrol setiap waktu oleh DPR yang dipilih oleh rakyat.
Demokrasi, lanjut Hatta, harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan, dan perikemanusiaan. “Sjarat utama untuk melaksankan ini –jang djuga berlaku bagi segala demokrasi– ialah adanja keinsafan tentang tanggung djawab dan toleransi dan persediaan hati melakukan prinsip ‘the right man in the right place’ –orang jang tepat pada tempat jang tepat,” jelasnya. “Demokrasi dalam sistim Pantjasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau ‘demokrasi’ sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi jang harus diberkati oleh Tuhan Jang Maha Esa, sila pertama jang memimpin seluruh tjita-tjita kenegaraan kita, …”
Dari kritik Bung Hatta terhadap demokrasi terpimpin dan sanering ini, ada nilai-nilai yang bisa kita angkut sebagai syarat menjadi oposisi. Pertama, niat baik mengkritik. Bung Hatta ketika mengkritik sanering tujuannya agar inflasi tidak meroket dan wong cilik tidak dimiskinkan. Begitu juga ketika mengkritik demokrasi terpimpin. Ia ingin melihat hidup bangsanya demokratis. Jadi kritiknya demi kepentingan bangsa. Bukan untuk kepentingan golongan tertentu saja.
Kedua, benar-benar memahami masalah yang dikritiknya dan konstruktif. Berbekal wawasan dan pengalamannya yang luas, Bung Hatta bisa menunjukkan salahnya sanering dan demokrasi terpimpin, lalu ia analisis dampaknya dan terangkan baiknya seperti apa. Kalau kita tidak betul-betul paham suatu masalah secara dalam dan utuh, ada baiknya kita diam dan tak sok tahu berkomentar. Karena bisa menyesatkan masyarakat dan tentu saja mempermalukan diri sendiri.
Ketiga, objektif. Bung Hatta tidak menyerang pribadi Bung Karno. Yang dikritiknya adalah kebijakannya. Yakni sanering dan demokrasi terpimpin. Yang memang terbukti tidak baik untuk ekonomi dan demokrasi.
Keempat, kritik boleh setajam silet, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Kurang tajam apa, Bung Hatta menyebut sanering sebagai muslihat dan demokrasi terpimpin sebagai diktator. Jangan kita tajam mengkritik, tapi dasarnya hoax dan kebencian. Nanti ada banyak laporan ke polisi.
Kelima, merdeka. Walau Bung Karno kawannya, tapi Bung Hatta tetap mengkritiknya ketika ia salah, demi tegaknya kebenaran. Kebenaran di atas segala-galanya. Jangan karena teman yang salah, lantas kita membela dan mencari pembenaran untuknya. Nalar jadi terbutakan.
Keenam —nilai ini tidak dikandung dalam tulisan di atas, tapi perlu dan penting penulis tambahkan— yakni kritik tidak sampai merusak nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Tahukah kita, ketika Bung Karno terbaring sakit, Bung Hatta menjenguknya hingga meneteskan air mata. Ia tetap menganggap Bung Karno sebagai kawannya di luar politik.
Lima tahun ke depan, selamat menjadi oposisi, wahai rakyat Indonesia!
Dimuat di https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2019/10/30/172790/menjadi-oposisi.html
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Komedi
Walau pemilu sudah selesai, tapi adu bacot dua kubu masih lanjut. Kegembiraan kita berselancar di media sosial terus dirampas oleh mereka. Tensi politik rupanya belum turun. Entah sampai kapan urat mereka tegang dan kencang. Ketimbang ribut berantem terus, mending luangkan waktu untuk ketawa haha hihi nonton komedi. Biar hidup lebih sehat dan rileks.
Komedi itu bukan cuma hiburan yang meledakkan tawa, mengendorkan saraf ketegangan, dan melupakan masalah hidup barang sejenak. Tapi juga bikin otak keluar dari kotak sempit dalam melihat persoalan. Sehingga kita kaya alternatif perspektif baru. Tidak klise. 
Contoh, ketika foto dengan gaya satu atau dua jari dilarang karena dianggap mengkampanyekan calon presiden, komedi bisa mengkritik, menyindir, dan menertawakan itu. Tapi ia juga bisa memberi solusi. Dikritik misal dengan calon pasangan suami istri yang sedang foto pra wedding. Mereka marah-marah karena fotografernya melarang mereka menunjuk awan dengan jari telunjuk. Karena dianggap fotografer sebagai kampanye capres 01. Calon pasangan yang kesenangannya diusik ini lalu menyuruh fotografernya mengganti nomor urut capres dengan nomor 11-12. Sehingga mereka bisa bebas foto dengan gaya satu atau dua jari. 11-12 di sini bukan sekadar nomor urut, tapi juga sindiran. Bahwa kualitas kedua capres tak jauh beda. Hanya contoh loh.  
Islam sendiri, setahu saya, tidak mengharamkan komedi. “Malahan orang yang tak suka lawak, tak suka kepada hal-hal yang bersifat humor, tak suka kepada hal-hal yang bisa menghilangkan ketegangan, sebenarnya ia mendustai dirinya sendiri,” kata ulama sekaligus sastrawan Buya Hamka dalam majalah Ekspres (28/04/1972).
Jangan salah, Nabi Muhammad juga humoris. Hamka bercerita, pernah suatu hari, Nabi kedatangan seorang nenek. Nenek itu bertanya, “Apakah orang setua saya bisa juga masuk surga?”
“Tidak!” jawab Nabi.
Mendengar itu, si nenek menangis tersedu-sedu. Belum sampai tangisnya reda, Nabi bilang, “Sebelum masuk surga, nenek akan dimudakan lebih dahulu.” hehe Jadi di surga itu tidak ada nenek-nenek. Yang ada muda-muda.
Ada lagi cerita lainnya. Nabi, tutur Hamka, pernah melihat temannya naik unta. Ia bertanya, ”Mengapa kau naik anak unta?”
“Ah tidak ya Rasulullah,” jawab temannya.
Tetapi Nabi kekeh bahwa temannya itu naik anak unta. Suasana pun jadi tegang. Tapi akhirnya Nabi bilang, “Bukankah tiap-tiap unta itu adalah anak unta juga?” Hehe bise aje Nabi kita.
Bangsa-bangsa yang berperadaban tinggi, kata Pemerhati Kebudayaan Indra Tranggono di  Kompas (2/6/2018), cenderung punya selera humor yang bagus. Persia melahirkan Abu Nawas, penyair  bijak nan kocak. Turki punya Nasrudin Hodja, sufi satririkal. Inggris punya Charlie Chaplin. Rusia punya cerita-cerita humor yang getir. Ini, kata Indra, menunjukkan humor adalah bagian penting dari kebudayaan dan peradaban bangsa.
Jadi jangan anggap remeh sebuah komedi. Kalau peradaban bangsa ini belum tinggi, mungkin salah satunya karena kita doyannya marah-marah di dunia politik. Sehingga kita tidak punya selera lagi dengan komedi. Mulai sekarang, sudahi marah-marah, mari kita komedi haha hihi saja!
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
KH Hasyim Asy’ari, Pahlawan Pemersatu Umat
Di saat ikatan tali ukhuwah kita mengendur: dai yang tak sama pandangan dicurigai, divonis, ditolak, dan diatur-atur. Sementara, oknum dai lainnya provokatif dalam bertutur. Kasar, merendahkan, dan menyalah-nyalahkan yang tak selajur. Lalu, kita ribut berebut pengaruh demi eksistensi kelompok semata dan masih saja kita terjebak dengan isu-isu pertentangan wahabi dan khilafiyah.
Maka, dalam momen peringatan hari pahlawan ini, sangatlah penting dan relevan kita membicarakan kiprah salah satu pahlawan republik ini. Ia tiada lain adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini seakan hadir untuk ditakdirkan menjadi sosok ulama pemersatu umat. Bahwa berukhuwah yang benar bukan sekadar jargon-jargon, gembar-gembor, dan kata-kata manis di bibir, melainkan satunya kata-kata itu dengan perbuatan. Dan Kiai Hasyim telah membuktikannya.  
Kala terjadi pertentangan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis–kaum modernis menuduh kaum tradisionalis taqlid buta (menuruti suatu pendapat tanpa merasa perlu menuntut dalil), sedangkan kaum tradisionalis menuding kaum modernis sesat langkah daripada jalan ahlussunnah wal jama’ah, Kiai Hasyim bersikap. Ia mengeluarkan dan menyiarkan semacam surat edaran bernama Al-Mawaa’izh di kongres NU yang ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1935. Al-Mawaa’izh ini berisi nasihat yang mendalam tentang persatuan umat Islam. Buya Hamka dalam Panji Masyarakat (15/8/1959) menerjemahkannya untuk kita.
Dalam Al-Mawaa’izh, Kiai Hasyim mengingatkan agar tidak mencaci kaum yang mentaqlidi imam-imam yang memang boleh ditaqlidi, sekalipun pendapat imam tersebut tidak kuat. Berilah arahan yang halus kepada mereka, pesan beliau. Namun, bila mereka tidak mengikuti arahanmu, jangan musuhi mereka. “Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan terlebih dahulu sebuah kota,” ujarnya.
Kiai Hasyim juga melarang fanatik terhadap satu mazhab dan ribut-ribut masalah furu’ (cabang agama) yang dalam kalangan ulama sendiri memang terjadi perbedaan pendapat/perkara ijtihadi. "Kamu berkeras membicarakan perkara furu’, yang dipertikaikan oleh ulama," kata Kiai Hasyim. ”Tetapi kamu tidak ingkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ (kesepakatan, red) sekalian ulama atas haramnya sebagai zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu untuk Syafii dan Ibnu Hajar.”
Kiai Hasyim juga menegaskan, janganlah bercerai-berai, berpecah-belah, dan bermusuh-musuhan. Sebab, itu melanggar hukum Allah dan dosa yang sangat besar. “Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada kebajikan,” terangnya. Padahal, lanjut Kiai Hasyim, agama kita semua sama: Islam, daerah kita sama: Indonesia, semuanya ahlussunnah wal jamaa’ah, dan mazhab kita satu, yaitu Imam Syafi’i (Hasib di Jurnal Islamia Republika 20/8/2015 menjelaskan maksudnya jangan mengabaikan mazhab mayoritas di Indonesia yakni mazhab Syafi’i. 
Sikap kompromi seperti ini, menurut Deliar Noer (1982), memanggil Kiai Muhammad Dahlan dan Kiai Wahab Hasbullah dari NU, Kiai Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam, untuk sama-sama membentuk sebuah wadah persatuan perhimpunan-perhimpunan Islam di Surabaya pada 21 September 1937. Wadah ini kemudian diberi nama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI).
Dalam anggaran dasarnya, tujuan MIAI antara lain menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama dan mendamaikan manakala terjadi pertikaian di antara golongan umat Islam (Aboebakar, 2011).  
Setelah MIAI dibubarkan oleh Jepang dengan sewenang-wenang, muncul Partai Islam Masyumi. Kiai Hasyim duduk sebagai Ketua Majelis Syuro di situ. Beliau menginginkan umat Islam bersatu di partai itu. Pernah penulis mewawancarai salah satu cucu Kiai Hasyim yang sekarang mengasuh Pesantren Tebu Ireng, Salahuddin Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Solah. Gus Solah bercerita, sang kakek pernah berpesan agar umat Islam tetap bersatu dalam satu partai yaitu Partai Masyumi. Karena pesan itu, sejumlah ulama NU seperti KH Abdul Madjid (ayah dari Cak Nur) dan KH Abdullah Syafii (ayah dari Tuti Alawiyah) tetap bertahan di Partai Masyumi. Cerita ini Gus Sholah dengar dari kakak iparnya, Hamid Baidhowi, yang mendengar langsung dari KH Abdul Madjid. Rupanya, Kiai Hasyim tak hanya ingin umat Islam bersatu dalam gerakan keagamaan, tapi juga dalam politik. Ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim tidak memisahkan urusan agama dengan politik. Kiai Hasyim tak sekular. 
Kiai Hasyim memang benar-benar mendambakan persatuan. Ia seperti tidak percaya jika umat ini bisa pecah. Sering ia sampaikan, “Bagaimana bisa kaum muslimin berpecah-belah, sedangkan kitab mereka Alquran satu; nabi mereka Nabi Muhammad SAW satu; kiblat mereka Ka’bah satu. Tidak ada sesuatu yang patut dijadikan alasan mereka berpecah belah; apalagi sampai saling mengkafirkan satu sama lain. Perpecahan ini hanyalah menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin.” (Syihab diterjemahkan Bisri, 1994). Ya, musuh kita bukan sesama kaum Muslimin. Musuh kita sebenarnya adalah kemiskinan, kesenjangan, kebodohan, dan keterbelakangan.   
Di mata Kiai Hasyim, persatuan adalah syarat mutlak mewujudkan kebahagiaan, kemakmuran secara merata, serta memajukan dan memperkuat negara dan Tanah Air (Zuhri, 2010).
Upaya Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam berlanjut dalam kongres NU yang ke-12 di Malang pada tahun 1937. Kiai Hasyim mengundang kalangan Islam di luar NU untuk hadir membicarakan persoalan umat Islam. Bunyi undangannya, “…Kemarilah tuan-tuan yang mulia; kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita [=kami], marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama, red) dan umat; baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya peri keduniaan. …” (Noer, 1982). 
Kita bisa merasakan begitu hangatnya ajakan itu. Ramah. Sejuk. Sangat terasa ukhuwahnya. Dialog dikedepankan demi kepentingan semua kalangan. Subhanallah!
Dalam Muktamar NU ke-12, Kiai Hasyim turun tangan menengahi perselisihan antara generasi muda dan generasi tua NU. Ia berusaha menjembatani jarak di antara keduanya dengan menyampaikan, generasi tua seharusnya mencintai yang muda, dan yang muda seharusnya menghormati yang tua.  
Setelah itu, Muktamar memutuskan untuk membentuk badan otonom untuk pemuda NU. Nasihat lembut Kiai Hasyim berhasil menyatukan para pengurus NU. Pada muktamar ini, Kiai Hasyim juga berjasa menjembatani jarak antara santri dan abangan dengan mengajak umat Islam berdakwah pada abangan dengan penuh kelembutan dan kedamaian (Khuluq, 2000). Kita bisa melihat betapa piawai, penuh kasih sayang, dan bijaknya dakwah Kiai Hasyim ini!
Contoh kearifan Kiai Hasyim lainnya diceritakan oleh mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, almarhum Profesor Kiai Ali Mustafa Yaqub di Republika (13/4/2015). Kiai Ali mendapat cerita ini dari murid Kiai Hasyim yang bernama Kiai Abdul Muhit Muzadi. Ceritanya, waktu itu, ada masyarakat yang bertanya kepada Kiai Hasyim soal kapan waktu lebaran.Kiai Hasyim menjawab, "Lek melok Maksum, yo mene, lek jare aku, yo nunggu rukyat se (Kalau ikut Maksum, lebarannya besok, tapi kalau menurut saya, kita menunggu rukyat dulu)". Maksum yang disebut oleh Kiai Hasyim adalah murid dan menantu beliau sendiri. Nama lengkapnya Maksum bin Ali, seorang Kiai yang ahli falak/astronomi. Ia menulis kitab falak berjudul al-Durus al-Falakiyyah (Pelajaran Ilmu Falak) tiga jilid dalam bahasa Arab. 
Dari cerita Kiai Ali ini, kita bisa melihat bahwa dalam urusan furu’, Kiai Hasyim tampak tidak memaksa yang bertanya untuk mengikuti pendapatnya, dan juga tidak menyalah-nyalahkan Kiai Maksum yang berbeda pendapat dengannya. Kiai Hasyim toleran dalam perbedaan yang sifatnya khilafiyah. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh insan yang dadanya lapang, rendah hati, berpikiran terbuka, toleran, tidak fanatik, bijak, berwawasan luas, dan tidak gila hormat. Itulah jasa-jasa besar dan mulia Kiai Hasyim dalam mempersatukan umat Islam di negeri ini. Betapa teladan pemimpin menjadi kunci dalam mengencangkan ikatan tali ukhuwah islamiyah. Di saat mengendurnya ikatan tali itu sekarang ini, kita teramat rindu dan mencari-cari di mana sosok pemimpin seperti Kiai Hasyim? Di mana?
Dimuat di https://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/15/ozgqcq396-kh-hasyim-asyari-pahlawan-pemersatu-umat dengan sedikit suntingan  
1 note · View note
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Intoleransi Ekonomi, Tionghoa, dan Bung Hatta
Topik intoleransi agama sering diperbincangkan dan diangkat oleh media. Walaupun ada kasusnya, tapi secara umum, kerukunan umat beragama di Indonesia masih terjaga. Hasil survei Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2017 terhadap 7.140 responden di 34 provinsi di Indonesia menyatakan, skor kerukunan umat beragama sebesar 72,27. Skor ini menunjukkan sikap keberagamaan di Indonesia tergolong rukun (Republika.co.id, 22/3/2018). 
Kita patut bersyukur dengan keadaan rukun ini dan harus terus menjaganya. Jangan malah kasus intoleransi agama ini dilebih-lebihkan dan dipolitisasi. Seolah-olah dari Sabang-Merauke terjadi kasus intoleransi agama setiap harinya. Seakan-akan Indonesia adalah negeri yang intoleran. Ini bisa membuat masyarakat jadi tidak tenang.
Intoleransi Ekonomi
Selain kasus intoleransi agama, kita perlu juga menaruh perhatian lebih pada kasus intoleransi ekonomi. Kasus ini tak kalah bahaya bagi kerukunan warga. Di mana yang konglomerat tidak ingin yang melarat maju ekonominya. Di mana yang raksasa modal membunuh usaha rakyat kecil. Di mana segelintir orang menguasai ekonomi bangsa ini. 1% orang terkaya, menurut data Credit Suisse 2016, menguasai 49,3% kekayaan nasional. Masya Allah!
Kalau keadaannya seperti ini, bagaimana yang kaya tidak makin kaya dan yang miskin makin masuk got? Bagaimana tidak menimbulkan kecemburuan sosial? Bagaimana tidak  berpotensi berontak dan memisahkan diri? Bagaimana tidak mengancam keutuhan NKRI? Karenanya, masalah intoleransi ekonomi ini penting dan genting untuk segera diatasi. Perlu diungkap siapa saja orang atau kelompok yang intoleran di bidang ekonomi. Agar bisa kita ingatkan, jangan dzalim kepada orang kecil. Syukur mereka jadi insyaf. 
Masalah intoleransi ekonomi ini jadi kompleks manakala masyarakat kita memandang bahwa saudara-saudara etnis Tionghoa lah yang menguasai —untuk tidak menyebut menjajah— ekonomi bangsa ini. Sebab dari sini, masalah bisa merembet ke rasis. Tak dapat dipungkiri ketika api amarah berkobar dan konflik sosial meletus, umpatan rasis kadang keluar. Etnis Tionghoa jadi dianggapnya seperti orang luar. Bukan warga negara Indonesia. Sebenarnya, tidak semua etnis Tionghoa berdompet tebal. Ada juga yang kantongnya kering. 
Ekonomi bangsa ini sebetulnya tidak hanya dikuasai mereka, tapi juga Amerika, Eropa, dan Jepang. Tapi mungkin karena Amerika, Eropa, dan Jepang relatif hanya modalnya yang masuk, sementara  Tionghoa masuk bersama modal dan orangnya —baik di level atas, menengah, maupun bawah, maka muncul tambahan perasaan terancam dan lebih cepat menimbulkan kecemburuan di kalangan masyarakat awam.
Soal penetrasi ekonomi asing, masyarakat awam tidak terlalu paham tentang hal itu. Mereka lebih mudah kesal dengan pelaku-pelaku yang tampak di depan matanya, yakni etnis Tionghoa. Boleh dikatakan, masalah utama masyarakat kita dengan etnis Tionghoa sekarang ini sebenarnya bukanlah rasis, melainkan kesenjangan ekonomi. Inilah yang membangun tembok pemisah di antara keduanya. 
Oknum penguasa turut membangun tembok itu dengan lebih memberikan kesempatan kepada sejumlah pengusaha etnis Tionghoa untuk mengembangkan bisnisnya. Ada perlakuan diskriminasi ekonomi di sini. Tentu ini membuat rasa keadilan di dada masyarakat berontak. Kekesalan mereka kepada sebagian etnis Tionghoa ini didasari argumen ekonomi yang jelas, bukan berpijak pada sentimen ras. 
Pikiran Bung Hatta
Untuk mengatasi masalah ini, pikiran Mohammad Hatta yang tertuang di majalah Star Weekly, 26 Januari 1957, agaknya masih relevan untuk dijadikan solusi. Dalam tulisannya yang berjudul “Warganegara Indonesia Turunan Tionghoa”, juga dituturkan bahwa kala itu, masyarakat memandang golongan Tionghoa lah yang menguasai ekonomi. Karenanya, mereka menuntut pemerintah untuk melindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan kepada pengusaha nasional untuk memperoleh kedudukan yang layak dalam perekonomian masyarakat. Menurut Bung Hatta, masalah ini bisa diatasi dengan politik perekonomian yang tegas dengan menaikkan ekonomi rakyat yang lemah ke tingkat perekonomian golongan maju.  
“Dengan dasar-dasar jang berlaku di dalam kapitalisme masalah ini tidak dapat diselesaikan,” tegasnya. Itu artinya, politik harus digunakan untuk menelurkan kebijakan dan tindakan yang dapat memperbaiki nasib rakyat miskin menjadi  makmur. Bukan hanya satu golongan saja yang bisa menikmati hidup makmur. Pemerintah harus adil dan menyejahterakan semua warganya. Politik jangan malah digunakan untuk  kepentingan, keuntungan, dan kekayaan diri, kelompok, partai, dan pemodal saja.
Bung Hatta mengakui tidak sedikit WNI keturunan Tionghoa yang telah berjasa untuk Indonesia. Di masa mendatang, kata Bung Hatta, mereka diperlukan lebih banyak lagi untuk membantu pembangunan negara.  Mereka diajaknya untuk ikut serta membangun Indonesia yang adil dan makmur. “Ini hanja dapat dilaksanakan, apabila ia sanggup dalam segala usahanja menempatkan kepentingan umum di muka dan kepentingan diri sendiri di belakang,” terangnya.
Bung Hatta juga mengakui kepintaran WNI keturunan Tionghoa di bidang ekonomi. Sarannya kepada mereka agar kepintarannya itu dipakai untuk membantu perekonomian negara, seperti dengan melancarkan jalan ekspor ke pasar dunia. Selain itu, Bung Hatta juga menyarankan mereka agar membawa masyarakat  ke dalam usaha bersama dengan rasa tanggung jawab bersama. Bung Hatta ingin jiwa baru disuntikkan dalam perekonomian dengan menjunjung tinggi moralitas dagang dan kejujuran, serta memberantas kecurangan dan penyelundupan. 
Saran Bung Hatta ini akan menciptakan suasana kekeluargaan dalam berwirausaha. Dengan bekerjasama dan memajukan ekonomi golongan lemah, usaha golongan yang ekonominya kuat akan disokong pula oleh golongan yang ekonominya lemah. Walhasil keduanya jadi saling menguatkan. Inilah insan-insan toleran di bidang ekonomi. 
Dengan adanya toleransi di bidang ekonomi serta didukung kebijakan ekonomi pemerintah yang adil, jurang kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dan rakyat pun akan menyempit. Tembok pemisah antara kita akan roboh. Sentimen ras akan sirna, dan bangsa ini akan semakin rukun. Salam damai dan persatuan.
Dimuat di https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/08/14/148509/intoleransi-ekonomi-tionghoa-dan-bung-hatta.html dengan sedikit suntingan. 
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Adil kepada Lawan
Turut prihatin melihat standar kebenaran dua kubu yang saling benci. Betapa penyakit kebencian ini sungguh berbahaya. Karena mengancam umat manusia menjadi bodoh dan tidak adil kepada sesama. Menganggap benar sebuah informasi jika menguntungkan kawannya dan merugikan lawannya, tapi mencampakkannya manakala informasi itu menguntungkan lawannya dan merugikan kawannya.
"Menghabisi” lawannya yang salah, tapi mencari pembenaran kalau kawannya salah. Mempercayai kebenaran kawannya, tapi menganggap dusta kebenaran lawannya. Standar kebenaran sudah bukan benar-salah lagi. Tapi untung-rugi, kawan-lawan, dan suka-tidak suka. Bukan melihat apa yang disampaikan, tapi siapa yang menyampaikan. Tidak objektif! Islam telah mengajarkan kepada kita untuk berpikir objektif. "Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil," begitu kata Allah di surat Al-Maidah ayat delapan. Betapapun kita tidak suka dengan lawan, tapi ketika mereka berbuat benar, maka tak boleh disalahkan. Menjadi zhalim dan berdosa bila kita menyalahkannya. Adil sejak dalam pikiran –meminjam kata-kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer– ini sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam jauh sebelum Pram lahir. Ceritanya kala itu, seorang wanita Bani Makhzum –salah satu kelompok yang terpandang dari suku Quraisy– ketahuan mencuri. Tak mau malu dan aibnya terbuka, para pemuka Bani Makhzum meminta bantuan Usamah bin Zaid yang tergolong dekat dengan Nabi, agar melobi beliau supaya si wanita tidak dihukum. Usamah mau membantu mereka. Tapi lobi Usamah sia-sia. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam langsung mengingatkan sahabatnya ini. "Apakah kamu mau menyuap soal hukum dari undang-undang Allah?" Sadar akan kesalahannya, Usamah meminta maaf kepada Nabi. Menjelang sore hari, Nabi berkhutbah di depan para sahabatnya dan memberi peringatan keras. “Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka dihukum. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi kemudian memerintahkan untuk memotong tangan wanita Bani Makhzum tadi. Setelah menjalani hukuman, wanita itu akhirnya bertaubat. Dari sini kita melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak membenarkan perbuatan salah seseorang, sekalipun sahabatnya sendiri. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan tegas menegur Usamah. Jadi kalau ada kawan kita yang berbuat salah, lalu kita mencari pembenaran untuknya, maka sama saja tidak mencontoh Nabi. Kemudian kita juga melihat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pandang bulu dalam menghukum, sekalipun kepada suku terpandang dan anaknya sendiri yang dicintainya. Jadi kalau kawan atau keluarga kita bersalah karena melanggar hukum, maka ia harus dihukum. Bukan malah dibela. Membelanya sama saja tidak meneladani Nabi. Selain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Khalifah Ali bin Abi Thalib dan hakim Syuraih bin al-Harits juga mencontohkan kepada kita untuk berlaku adil. Ceritanya kala itu, Ali merasa baju besinya berpindah tangan ke seorang Yahudi. Walau ia seorang penguasa, ia tak langsung mengambil paksa baju besi itu. Ia bawa perkara itu ke pengadilan. Di pengadilan, ternyata hakim Syuraih memenangkan sang Yahudi. Padahal, baju besi itu sebenarnya punya Ali. Ali kalah sebab tidak bisa menunjukkan bukti yang kuat, dan kesaksian putranya, Hasan, ditolak kerena senasab. Ia sempat protes mengapa anaknya yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah tidak diterima kesaksiannya. Syuraih dengan tegas mengutip Surah al-Maidah ayat delapan, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berbuat tidak adil." Ali akhirnya menerima vonis sang hakim. Ia bangga dengan sikap adil Syuraih. Ia juga mengikhlaskan baju besi kesayangannya itu menjadi milik sang Yahudi. Sang Yahudi ini kagum dengan sikap Ali dan hakim Syuraih. Sehingga ia memeluk Islam. Subhanallah! Sikap adil mengantarkan hidayah untuknya. Jadi sama sekali tidak rugi kalau kita berbuat adil kepada lawan. Malah untung. Lawan pun jadi menyegani kita. Contoh sosok adil lainnya bisa kita lihat pada seorang pemikir Muslim Indonesia yang bernama Deliar Noer. Deliar yang sejak muda sangat menentang aliran “kiri”, tetapi pernah tampil sebagai saksi yang meringankan para pemuda pendukung partai yang dituduh kiri. Sikap adil Deliar lainnya ditunjukkan ketika pada awal kariernya sebagai ilmuwan, ia menolak kesaksian Sarekat Islam lebih tua dari Budi Utomo. Sebab ia tidak punya bukti yang kuat. Hal itu diceritakan sejarawan Taufik Abdullah di majalah Tempo terbitan 29 Juni 2008. Taufik terkesan dengan kejujuran Deliar Noer. "Tak ada kebencian yang membuatnya mengatakan 'salah' terhadap perbuatan yang pada hakikatnya 'benar', dan tak ada keakraban yang menyebabkannya mengatakan 'benar' pada sesuatu yang 'salah'," kenangnya. Apakah sikap adil Khalifah Ali dan hakim Syuraih kepada lawannya, sang Yahudi tadi, menunjukkan keduanya pro Yahudi? Siapa yang berani bilang begitu? Apakah sikap adil Deliar Noer kepada lawannya, si para pemuda pendukung partai yang dituduh kiri tadi, menunjukkan ia pro kiri? Menurut saya tidak! Adil kepada lawan tak berarti jadi pendukung lawan atau memusuhi kawan. Kita tetap harus menyalahkan perbuatan salah lawan, tapi ketika lawan benar, juga harus dibenarkan. Jadi tidak ada yang salah dengan sikap adil kepada lawan. Jangan ragu dan takut menunjukkannya! Selamat dari Hoaks Di saat tsunami informasi menerjang kita sekarang ini, di mana tak sedikit mengandung kotoran hoaks kejelekan lawan, sikap adil kepada lawan ini bisa menahan diri kita dari godaan gampang percaya dan enteng menyebarluaskan hoaks itu. Adil kepada lawan membuat kita lebih berhati-hati, bersabar, rajin, terbuka, kritis, proporsional, dan objektif dengan informasi tentang lawan yang datang, sebelum menyimpulkan informasi itu benar atau hoaks, dan kemudian menyebarluaskannya. Salah benarnya informasi itu dibuktikan dengan pencarian dan pengumpulan beragam data dan fakta yang kemudian dianalisis. Sehingga kesimpulannya jernih, meyakinkan, kuat dan logis. Memang lama, tapi membuat kita selamat dari hoaks. Alon-alon asal klakon, kalau kata orang Jawa. Berbeda dengan sikap benci kepada lawan. Su’uzhan yang dikedepankan. Lawan dianggap pokoknya salah dan harus kalah. Setiap informasi tentang kejelakan lawan yang datang, buru-buru disimpulkan benar, cepat-cepat dipercaya dan disebarluaskan agar citra lawan hancur. Dia tidak tahu kalau informasi itu sebenarnya hoaks. Akibatnya dia bisa masuk penjara. Atau demi menjatuhkan lawannya, kejadian yang dialami lawan dianalisis olehnya dengan mengkritik prasangka buruknya dan khayalannya sendiri tentang kejadian itu. Walhasil kesimpulannya keruh, meragukan, lemah, dan emosional. Ini tentu saja bisa membodohi, membingungkan, meresahkan, dan menyesatkan masyarakat. Karenanya, kebencian kepada lawan ini harus lekas disudahi, dan mari kita mulai bersikap adil kepada lawan! Tulisan ini dimuat di https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/11/06/phrpy0282-adil-kepada-lawan
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
Bucin Ketokohan
Akui sajalah, sudah lama kita menjadi budak cinta (bucin) ketokohan. Bukan saat Pemilu ini saja. Kita terpukau dengan ketokohan, tapi tidak pada pikiran, ide, gagasan, paham, nilai, dan gerak yang dibawa dan dilakukan sang tokoh. Alhasil saat tokoh itu benar, kita menyanjungnya setinggi langit, dan ketika dia salah, kita tetap menganggapnya benar, menyembunyikan kesalahannya, membelanya mati-matian, dan “mengharamkan” orang lain mengkritiknya. Pokoknya tokoh kita harus terlihat kinclong dan jangan ada noda sedikitpun.
Maka betapa bahayanya menjadi bucin ketokohan ini. Kita terancam menipu dan membodohi diri sendiri. Bahaya dan rugi juga sebenarnya buat sang tokoh. Karena si bucin kerjanya hanya menjilat-jilat, memuji-muji melulu dan tidak enakan mengkritik. Akibatnya sang tokoh bisa merasa benar-benar saja dengan apa yang diucapkan dan dilakukannya. Dia jadi tidak tahu kesalahannya, dan dengan begitu, dia tidak memperbaikinya. Citra baiknya pun bisa merosot.
Padahal, kita, umat Islam, sebenarnya sudah memahami dan meyakini bahwa hanya Nabi sajalah yang terjaga dari kemaksiatan dan dosa (ma’shum). Selain Nabi, kita semua tak luput dari kedua hal itu. Tapi kita mendadak lupa dengan hal mendasar ini manakala kita menjadi bucin. Seakan-akan kita menyejajarkan tokoh kita dengan para Nabi.
Yang bisa salah dan berdosa ya kita-kita ini dan tokoh-tokoh idola kita, seperti Prabowo, Jokowi, Kiai Ma’ruf, Sandiaga Uno, Megawati, SBY, Amien Rais, Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, Rocky Gerung, Fahri Hamzah, Eggi Sudjana, Kivlan Zen, Habib Rizieq, Yusril, Mahfud MD, Ahok, Anies, Ridwan Kamil, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Said Aqil, Quraish Shihab, Cak Nur, Cak Nun, Syafii Maarif, Haidar Bagir, Felix Siauw, Salim A Fillah, Ulil Abshar Abdalla, Tengku Zulkarnain, UBN, UAS, Natsir, Aidit, Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, Hamka, Bung Karno, dan tokoh-tokoh lainnya.
Karena mereka semua bisa salah, maka tidak bisa kita benarkan semua omongan, sikap, dan perilakunya. Juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya omongan, sikap, dan perilakunya. Lantaran mereka juga bisa benar. Jadi, sebaiknya kita lebih melihat pada pikiran, ide, gagasan, paham, nilai, dan gerak yang dibawa dan dilakukan oleh sang tokoh. Bukan malah tertawan dengan ketokohan. Ini agar pikiran kita bisa merdeka, kritis, jujur, proporsional, dan objektif dalam menilai tokoh baik ketika mereka benar maupun salah.
Kalau tokoh-tokoh tadi salah, maka sudah sepatutnya dikritik. Tentu dengan niat meluruskan. Bukan “meludahinya” dengan caci maki, dan merasa paling benar sendiri atau sampai mengulik-ulik masalah pribadinya dan mencari-cari kesalahannya yang lain. Sementara jika mereka benar, sudah selayaknya didukung dan diikuti. Tentu juga dengan cara-cara yang tidak berlebihan. Tidak lantas mengkultuskan atau mensucikannya. Sewajarnya sajalah. Karena sekali lagi, tokoh-tokoh ini bukan Nabi.
Tidak Ikut Masuk Penjara dan Kemakan Hoax
Dengan kita menyadari bahwa tokoh-tokoh tadi bisa salah, maka kita bisa tidak ikut masuk penjara bersama sang tokoh. Maksudnya begini. Bisa saja tokoh-tokoh itu melanggar hukum. Entah karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan, atau kekhilafannya melakukannya. Kalau kita menjadi bucin, maka kita akan menganggap perbuatan tokoh itu tidak melanggar hukum. Bahkan kita turut mendukung dan mengikuti langkahnya. Akibatnya bisa berjamaah masuk bui.
Selain bisa masuk bui, menjadi bucin bisa membuat diri kita kemakan hoax. Di era banjir informasi ini, tokoh-tokoh kita bisa saja menyebarkan hoax. Mungkin saja karena ketidaksengajaan dan ketidaktahuannya. Kalau kita jadi bucin, maka kita akan langsung percaya begitu saja dengan hoax yang disebarkan sang tokoh. Karena bagi kita, apa yang disebarkan sang tokoh pasti benar atau info valid. Apalagi info itu menguntungkan kubunya dan merugikan lawannya. Maka dengan semangat 45, jempol kita akan menyebarluaskannya ke facebook, twitter, instagram, dan grup-grup whats app keluarga! Demi longsornya wibawa lawan. Sialnya, kita tidak tahu kalau informasi itu sebenarnya hoaks. Belakangan hari baru tahu ketika dilaporkan lawan ke polisi dan akhirnya kita harus menginap di penjara. Lalu kita tertunduk malu dan menyesal di pojok sel. Ya, benar, penyesalan memang selalu datang terlambat.
Tapi kalau kita bukan dari golongan bucin, maka kita akan lebih kritis dan hati-hati dalam membaca dan menyebarkan informasi dari sang tokoh tadi. Salah benarnya informasi ditelusuri dengan pencarian berbagai data dan fakta. Sehingga kesimpulan informasi itu benar atau hoax akan terjawab valid. Sehingga kita tidak kemakan hoaks. Ini semua dilakukan bukan berarti kita tidak sedang menghormati tokoh. Bukan begitu. Tapi dengan melakukan itu, justru kita membantu memberi tahu ke tokoh bahwa ini hoax loh Pak, Bu. Tokoh yang rendah hati dan open mind tentu akan senang dan berterimakasih kepada kita. Karena ia jadi tahu bahwa informasi yang disebarkannya itu hoax. Dan selanjutnya ia bakal mengklarifikasi kepada publik agar tidak ikut kemakan hoax.
Maka, mari kita segera insyaf dan mengakhiri kisah hidup menjadi bucin ketokohan. Sudah saatnya kita move on, guys di bulan Ramadhan ini!
0 notes
andiryansyah-blog · 5 years
Text
MUI dan Politik Praktis
Walau Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin, maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres tahun ini, namun itu tidak mewakili atau mengatasnamakan MUI. Secara organisasi, MUI tegas menyatakan tidak berpolitik praktis. MUI tidak dalam posisi dukung atau tidak mendukung pasangan calon 01 atau 02. MUI netral. Pengurusnya bebas memilih siapapun.   
Apakah sikap MUI ini sesuai dengan kepribadian dan khittahnya? Mari sejenak kita menengok sejarah MUI berdiri. Dulu, rupanya MUI berdiri karena pemerintahan Soeharto dan ulama saling membutuhkan. Ulama membutuhkan wadah resmi untuk menasihati pemerintah dari jarak dekat. Sementara pemerintah memerlukan ulama agar membangun rohani bangsa.
Sebelumnya, hubungan antara keduanya renggang dan tegang. Bila di masa revolusi, mereka sama-sama memperjuangkan kemerdekaan, namun 30 tahun setelah Indonesia merdeka, mereka makin lama makin berjauhan. Kala itu, pemerintah orde baru memaksa ulama menari sebagaimana bunyi gendangnya. Ulama diharuskan mendukung segala program pemerintah. Tidak boleh dikritik, dihambat dan didebat. Sekalipun program itu bertentangan dengan Islam.  "Ulama dianggap batu penghalang pembangunan, kecuali mana yang mau membantu," ujar Ketua Umum MUI pertama, Buya Hamka, di majalah Panji Masyarakat (15/9/1975).
Diperlakukan begitu, kalangan ulama masa bodoh. Mereka, kata Hamka, teringat hadits Nabi yang mengatakan, ulama-ulama yang mendekati penguasa dicemburui ketulusan agamanya. Sehingga lebih baik menjauhinya.
Kalangan ulama yang muda-muda, lanjut Hamka, mengkritik pemerintah di pengajian dan khutbah Jumat. Kritik ini sampai ke telinga pemerintah. Hingga pemerintah merasa perlu mengirim banyak intel. "Kadang2 supaya laporan berisi, kata sejengkal direntang dijadikan sehesta. Kata sehesta dirunyut dijadikan sedepa," ungkap Hamka. Kondisi ini membangun tembok pemisah antara pemerintah dan ulama.
Tapi suatu ketika, kalangan ulama menyadari bahwa mengkritik pemerintah lewat pengajian atau khutbah Jumat saja lebih banyak ruginya ketimbang untungnya. Orang yang dikritik tidak insyaf. Malah timbul hawa nafsunya menjaga gengsi atau wibawa. Mengkritik dari jauh hanya akan menambah jauh. Begitu pikirnya.    
Di kalangan pemerintah juga menyadari bahwa pembangunan bukan semata fisik atau benda, tapi juga jiwa dan spiritual. Pemerintah juga menginsyafi kesalahan siasat politik selama ini yang memperalat ulama sebagai pembujuk rakyat. Sebab rakyat sudah bosan dengan itu dan tidak bodoh lagi. Makin lama pemerintah makin merasakan betapa perlunya ulama-ulama mendampingi dan menasihatinya. Sebab banyak hal yang menyangkut agama yang tidak diketahuinya, yang dapat menyinggung perasaan umat Islam (Hamka, Panji Masyarakat 1/8/1975, 15/9/1975 ). Kini, bagi pemerintah, pembangunan tak semata benda, tapi juga jiwa. Karena itu, pemerintah membentuk Majelis Ulama. Diajaklah ulama bergabung di dalamnya. Ulama yang merasa lebih baik tidak menjauh tadi, menerima ajakan itu. Hubungan antar keduanya pun jadi dekat.
Setelah Majelis Ulama berdiri, Majelis Ulama di tiap-tiap provinsi, kabupaten, sampai kecamatan mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Munas ini dihadiri oleh empat orang ulama dari tiap-tiap provinsi, wakil-wakil dari Organisasi Islam dan ulama-ulama terkemuka. Munas diadakan di Jakarta dari tanggal 21-27 Juli 1975. Tujuan utamanya adalah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Munas itu dibuka oleh Presiden Soeharto dengan membaca “Bismillahirrahmanirrahim”. Dalam pengarahannya, ia menginginkan ulama turut andil dalam pembangunan sesuai dengan bidangnya. Karena baginya, pembangunan bukan semata-mata materi, tapi yang terpenting adalah rohani.  Sebagai bangsa, kata Soeharto, kemerdekan sangat bergantung pada kemerdekaan jiwa dengan iman dan takwa kepada Allah, ketimbang pengaruh lain. Maka, lanjutnya, sangat besar harapan umat, khususnya yang beragama Islam, kepada ulamanya untuk amar ma’ruf nahi munkar (menyeru berbuat baik, mencegah berbuat munkar) serta tidak merasa bimbang dan takut di dalam menegakkan kebenaran. Ia juga menegaskan, Majelis Ulama akan memberikan nasihatnya kepada pemerintah dan pemerintah pun sewaktu-waktu akan meminta nasihat berkenaan dengan agama (Hamka, Panji Masyarakat, 1/8/1975).
“Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan masyarakat, maka saya menganggap sangat tepat adanya Majelis Ulama yang segera akan dibentuk oleh Ulama ini,” ungkap Soeharto (Koran Pelita, 22/7/1975).
Dalam Munas, Menhankam, Jenderal TNI Maraden Panggabean, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, ”Kaum Ulama telah memberikan sahamnya yang sangat besar bagi pengisian arti kemerdekaan serta unsur yang turut serta dalam merealisasikan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan memperkuat ketahanan spirituil dalam menghadapi ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila” (Pelita, 23/7/1975).
Munas yang pertama ini telah mempertemukan Ulama-Ulama dari berbagai Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Ar-Rabithatul Alawiyah, dan Aljam-iyatul Washliyah. Semuanya bersatu dalam cinta kepada agama dan bangsa.
Munas berhasil membentuk pengurus Majelis Ulama Indonesia, yang dilantik oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Dewan pimpinannya terdiri dari Ketua Umum, Prof.Dr.Hamka dan Ketua-Ketua, KH.Abdullah Syafiie, KH. Syukri Ghozali, KH. Habib Muhammad Al-Habsyi, KH. Hasan Basri, dan H.Soedirman.
Sewaktu penutupan Munas, Hamka berpidato. Ia menggambarkan bagaimana posisi ulama di antara pemerintah dan masyarakat. “Kadang-kadang benar-benar ulama-ulama terletak di tengah-tengah laksana kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api; api yang dari bawah itu ialah berbagai ragam keluhan rakyat. Dari atas dihimpit dengan api; api yang dari atas itu ialah harapan-harapan dari pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat.  Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah, maksud pun tidak berhasil. Pihak yang memerintah bisa saja mencap tidak berpartisipasi dengan pembangunan. Padahal maksud baik, yaitu mempertemukan, mempertautkan, menserasikan di antara rakyat dan pemerintah” (Panji Masyarakat, 15/8/1975).
Munas diakhiri dengan penandatanganan piagam berdirinya MUI tertanggal 26 Juli 1975. Secara berurutan 26 Ketua Delegasi Majelis Ulama Daerah Tingkat I membubuhkan tanda tangannya. Masing-masing dimulai dari Delegasi DKI Jakarta sampai Maluku. Kemudian disusul oleh wakil-wakil Ormas Islam serta tokoh-tokoh perorangan yang menghadiri Munas tersebut.
Ormas-ormas Islam yang menandatangani Piagam tersebut adalah NU (diwakili KH.M.Dachlan), Muhammadiyah (Ir.H. Basid Wahid), Sarikat Islam (H.M.Syafii Wirakusuma), Perti (Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, Al-Ittihadijah, GUPPI, PTDI, dan Dewan Masjid.
Tokoh-tokoh Islam yang membubuhkan tanda tangan ialah Prof. Dr. Hamka, KH. Safari, KH. Abdullah Syafii, Mr. Kasman Singodimedjo, KH. Hasan Basri, Tgk.H.Abdullah Ujong Rimba, H. Kudratullah dan lain-lain. Turut pula menandatangani piagam tersebut dinas-dinas rohani ABRI, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri.
Dalam pedoman pokok MUI, disebutkan lima fungsinya. Pertama, memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan Ketahanan Nasional. Kedua, memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketiga, mewakili umat Islam dalam Badan Konsultasi Antar Umat Beragama. Keempat, penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional. Dan yang kelima, Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasionil (Pelita, 28/7/1975). Tidak bersifat operasionil maksudnya tidak membangun sekolah, rumah yatim piatu, masjid dan lain-lain. Karena itu sudah dikerjakan oleh Ormas Islam.
Demikian sejarah MUI berdiri. Dari sana, kita tidak melihat adanya hasrat politik praktis atau politik kekuasaan dari para ulama kita. Mereka murni ingin melindungi umat dan menasihati pemerintah. Menjadi jembatan antara keduanya. Tidak berkoalisi dan tidak juga beroposisi kepada pemerintah. Menyambung lidah umat, menjadi mitra kritis pemerintah.
Maka sikap MUI di Pemilu tahun ini yang tidak berpolitik praktis sudah sesuai dengan kepribadian dan khittahnya. Ke depan, tentu kita berharap, MUI tetap konsisten tidak tergoda bermain politik praktis atau politik kekuasaan. Sebab  berpotensi memecah umat!
0 notes