anginlalu
anginlalu
Angin Lalu
9 posts
Biar saja semua menjadi angin lalu yang hilang ditelan zaman
Don't wanna be here? Send us removal request.
anginlalu · 5 years ago
Text
Bidadari biru berlarut melamun
Merajut sendu berlinang embun
Mengapa kau membiru menyapa seribu tanya
Buat apa, bila tahu jawabnya
Ooh, kita bagai bumi dan bulan
Berpasangan walau tak sejalan
Mungkin kita harus belajar pada mereka
'Tuk tetap bahagia
(Bagai bumi dan bulan)
Mengapa kau bertanya
(Bila kau tahu) bila kau tahu jawabnya
Buat apa, kita takkan bersama
(Dan kita tak akan bersama)
(Oh oh oh oh)
Biar cerita dikenang indahnya
Jangan paksakan cinta 'kan ada
Haruskah kisah dinoda benci
Harimu yang nanti akan cerah kembali (kembali)
Kita bagai bumi dan bulan (oh, kita bagai bumi dan bulan)
Berpasangan walau tak sejalan (berpasangan walau tak sejalan)
Mungkin kita harus belajar pada mereka
'Tuk tetap bahagia
kita bagai bumi dan bulan
Berpasangan walau tak sejalan, hmm(berpasangan walau tak sejalan)
Mungkin kita harus belajar pada mereka
'Tuk tetap bahagia
(Kita bagai, bumi bulan)
Kita bagai, bagai bumi bulan (berpasangan, tak sejalan)
- "Bumi dan Bulan", HIVI!
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Anganku bagaikan air
Mengalir deras mengombak waktu
Menghanyutkan kesah hari ini
Di dasar diri bertaburan
Kita layaknya tepian waktu
Entah kapan akan dipertemukan
Atau hanya bertatap masa melingkar rasa
Dan nantinya jauh mengantara
Aku ingin tidak berhenti
Bagai air yang menghunjam karang
Mengalir tanpa ragu
Menyeruduk ragam celak
Jikapun benar padang rumput menghijau
Kita semua berkerumun basah awan hujan
Tapi aku di sini menatapmu
Mengalir jauh menepis dinginnya badai
Sedangkan aku, diam tak bergeming
Adakah asa purna di gundahmu?
Tumblr media
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Waktu
Tidak ada yang selamat dari pusaran waktu
Menggilas siapapun yang tak mau mengikutinya
Aku hanyalah tahanan yang dipasung waktu
Hanya mampu tunduk tanpa bisa babibu
Rimba luas yang disebut dunia ini bersetapak waktu
Namun ia memberi pilihan, mengambil kesempatan ini, atau yang itu
Satu-satunya aturan adalah: kamu tak bisa kembali mundur
Hanya bisa maju tanpa boleh menyesali setapak yang telah dilalui
Dan di sinilah aku, mencoba untuk tak keliru
Memilih setapak yang paling betul menurutku
Mengapa manusia berpikir mampu melawan kuasa yang memasungnya?
Sejak ia kecil, tunduk dan lemah di hadapan-Nya.
Mungkin saja, karena ia percaya, ia mampu mengejar waktu
Dan di sinilah aku, berharap setapak ini dapat mengantarkanku
Menemuimu
Mengejar waktu bersamamu
Menyusuri ruang dan waktu yang tersisa, dari Sang Pemilik Waktu
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Tumblr media
Segala kenangan-kenangan itu, segala harapan-harapan itu, terbangkan saja menuju angkasa sana. Biar berkumpul menjadi awan. Menghujan di tanah kering yang kita sebut dengan ingatan yang telah hilang. Sambil berharap bahwa basahnya menumbuhkan sesuatu yang kita sebut dengan kepasrahan.
Tapi suatu hal terkadang tidak terbang mengikuti awan. Karena ia mampu memilih ke mana perginya. Karena tempatnya bukan di tanah gersang yang tak lagi diingat. Layaknya merpati di Desa Kinanjung, pelikan di Pantai Normandy, atau elang di Stepa Mongolia. Ia tidak mati, meski kita menyebutnya harapan. Karena harapan tidak pernah mati, kecuali ia lemah terkulai, kehabisan keyakinan.
Ia yang yakin, kelak menemukan tempatnya di batu cadas pegunungan. Bertengger dengan cakarnya mantap. Menatap cakrawala yang luas yang sering kita sebut dengan masa depan. Meski kepayahan menanjak, kelelahan mengepak, setidaknya ia tak menyesal karena tak mau mengambil lompatan untuk menuju tempatnya di angkasa. Menjadi si elang merdeka.
Maka terbangkanlah saja semuanya. Supaya kita tahu, apakah ia hanya tetes yang terbawa angin, ataukah elang yang merdeka, berupaya terbang di angkasa. Hari tua kita 'kan lebih banyak diisi penyesalan atas yang tak kita lakukan, alih-alih yang kita lakukan.
Jangan berhenti berharap.
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Masihkah kita menggenggam harapan?
Bukan pintaku tentang semua gundah ini. Rindu yang terus memanas dalam dada. Menyesakkan napas dan menghentikan logika. Bukan mauku memupuk asa indah bersamamu, karena aku bahkan tak mengenalimu di waktu sebelumnya.
Kau tahu yang aku mau? Yang aku mau hanyalah ketentraman. Tenang tanpa harus dipenuhi pertanyaan, "apakah aku mampu membersamaimu di masa depan?". Aku hanya ingin lepas dari tekanan yang tiada henti menusuk kalbu yang merana menggenggam asa seakan-akan mampu bertemu pujaan cinta.
Kalaulah mampu tuk kubuat batas di antara kita, batas yang membuatku seakan lupa, mungkin aku bersedia. Mungkin aku mau menghilangkan segala rasa padamu untuk kesekian kalinya. Tapi aku terlalu menghargai rona kenangan yang memancar dari masa lalu kita. Karena sejauh apapun kita, aku tetap akan ingat bahwa kita pernah saling mencinta.
Lalu kau berubah. Bak angin gurun di siang hari. Berganti arah tak lagi sama. Dingin. Ibarat dedaunan kering di padang tundra. Ku tahu itu hanyalah topengmu yang kau pasang. Untuk menutupi perasaan yang semakin membuncah. Tapi tak ingin kau ungkap karena kau belum percaya, jika mungkin di ujung jalan masih ada harapan.
Padahal aku masih percaya, dan masih akan terus percaya. Besok masih ada dan aku masih sama. Masih akan terus mencoba bertahan. Meski bukan mauku, untuk mencintaimu, aku rela untuk selalu memendam rasa. Karena mungkin, kau pun begitu jua, walau tak berani menyatakannya.
Maka tak usah khawatir tentang nanti atau kapan. Biar kujemput kau di tepi kabar sana.
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Bermimpi
Kita pernah berkhayal akan suatu keadaan. Ketika kita mencapai apa yang kita inginkan, sendiri maupun bersama. Hingga berlalulah waktu dan kenyataan. Sampai akhirnya mungkin engkau yang sampai dan aku tertinggal.
Marahkah aku? Sepertinya tidak bisa. Masa telah berlalu sampai menjadi masa lalu. Aku hanya tahanan di balik jeruji waktu yang mebgikis kebebasan. Membiarkan kenyataan jauh lebih waras daripada mengangankan yang tak mungkin sampai.
Terkadang, ku tertawa sendirian. Mengingat-ingat dulu, ketika kita bersama mengkhayal, seakan-akan kita akan saling bekerja sama mencapainya. Ternyata, kita sama-sama tahu. Kita berdua egois dalam kadar masing-masing. Tak bisa juga kita menyalahkan satu sama lain. Karena wajar saja, manusia memang ingin yang terbaik untuk dirinya, bukan untuk orang lain.
Ah, dasar si perutuk. Memaki saja dalam gelap! Bualan kosong yang tak pernah ingin diwujudkan hanya menumpuk di lorong pikiran yang sudak kumuh. Besok-besok, pasti kan lupa jua. Dasar pemalas.
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Tak Berdaya oleh Waktu
Yang berlalu telah berlalu. Telah menjadi takdir yang terlewatkan. Perasaan itu hanyalah tinggal kenangan, kalau sekarang memang sudah tak lagi bertahan. Bayangannya hanya tinggal sepotong klise di dalam memoar lampau ingatan yang sudah pudar.
Waktu tak bisa diulang. Ia juga tak bisa dikembalikan. Ia hanya ada sebagai jalan yang pernah kita lewati, tapi tak untuk dikunjungi kembali. Seperti hanyut di aliran sungai yang deras, manusia tak kuasa mengayuh diri menuju tepian hulu, tempat mereka berasal. Hanya pasrah diombang-ambing arus yang entah kapan akan usai.
Semua sudah terjadi. Apapun itu, baik atau buruk, benar atau salah, penting atau tidak, semuanya sudah menjadi catatan kosmik. Statis pada dimensimya sendiri, sedangkan kita masih terpenjara arus waktu sampai usia telah habis.
Adapun aku, sama seperti dirimu. Tak luput dari ganasnya waktu menggilas perasaan ini. Menghancurkan harapan yang dulu pernah kubangun, sedikit demi sedikit. Kudirikan, hanya untuk pada akhirnya runtuh dibombardir kebuasan zaman.
Mungkin begitulah nasib para pencari. Datang dan pergi silih berganti. Ditunjukkan jalan oleh waktu, tanpa menyadari bahwa mereka pula sedang dihancurkan olehnya. Tak berdaya menghadapi lekangnya zaman yang menggerogoti impian yang telah lama diidam-idamkan.
Aku pula lah yang hancur oleh waktu. Datang menemukanmu, hanya untuk dipaksa pergi oleh waktu. Dan kini, ku tak tahu lagi apa yang tersisa di depan. Apakah masih ada ranting yang hanyut bersamaku, menemani sisa-sisa kebinasaan? Ataukah hanya ada gelap ketika memandang masa menuju akhir dari perjalanan?
Aku mungkin hanya mampu menunggu, meski berat. Menanti dalam masaku, bahwa mungkin, waktu akan kembali mempertalikan kita untuk bersatu. Sebelum akhirnya, lagi-lagi menenggelamkanku dalam kefakiran cintamu.
Inilah takdirku.
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Dicampakkan
Manusia itu punya potensi positif maupun negatif. Semua orang bisa mengkhianati kita. Dan jika kita cukup beruntung (atau sebenarnya tidak), kita bisa mengalaminsuatu masa ketika hampir semua orang yang kita kenal ternyata tidak mendukung kita.
Menyedihkan. Yang jelas, itu tidak menyenangkan. Mengetahui bahwa orang-orang yang senantiasa ada di sisi kita ternyata tidak mau berada di samping kita lagi. Mungkin, mereka pikir, itu karena keadaan kita yang melarat, miskin, tak punya sesuatu untuk dibagi.
Lantas mereka dengan tanpa disadari telah mencampakkan kita. Kadang-kadang, malah menyindir kita seolah-olah kita yang harus pergi dari kehidupan mereka karena tak ada gunanya.
Semua orang nampaknya tidak suka dengan keberadaan kita. Entah mengapa. Yang jelas, kita hanya seperti kutu yang mengganggu, membuat gatal dan risih dan ingin rasanya dibuang cepat-cepat.
Ya, manusia punya potensi seperti demikian. Manusia bahkan sangat mungkin membenci tanpa alasan. Membenci hanya karena perbedaan wajah, kulit, bahkan pemikiran. Manusia punya segala cara dan alasan untuk membenci, terutama membenci kita.
Di tengah masa-masa sulit, berharap kepada manusia tidak pernah membawa kebahagiaan. Mereka semua tidak butuh kita, lantas untuk apa mereka membantu kita? Omong kosong kalimat keruhanian yang mendorong saling bantu sesama. Kalau urusannya uang, manusia malas memberi. Apalagi bantuan yang melelahkan.
Di saat seperti itulah sebenarnya hadir satu celah dalam hidup ini. Ketika kita sudah kecewa terhadap semua orang. Hingga kita sampai pada kesimpulan, "tidak ada orang yang bisa dipercaya". Di situlah tersaji celah bagi setiap orang yang kecewa. Bahwa mungkin, masih ada harapan, meski hanya setitik asa.
Tapi dari mana? Padahal semua pintu seakan tak mau terbuka. Semua orang tak mau peduli dengan kita. Entahlah datangnya dari mana. Tetapi mungkin, kita perlu menyerah sebentar saja. Lalu berbisik dalam rasa, "Mungkin Tuhan ingin kita menyeru-Nya". Mungkin, Tuhan ingin kita memanggilnya. Karena yang selama ini mencampakkan adalah KITA. Kita yang sudah terlalu lama mencampakkan Tuhan. Kita yang sudah terlalu lama tak pedulikan kalam-Nya. Kita sendiri pula lah yang sudah terlalu lama menganggap Tuhan tiada, seakan-akan ia tak mampu berbuat apa-apa.
Bukan. Ini bukan soal pedihnya dicampakkan manusia. Bahkan, sama sekali bukan. Malah, pernahkah kita berpikir seberapa pedihnya Tuhan dicampakkan oleh makhluk kesayangan-Nya? Padahal Ia telah dengan segenap alam memberi kasih sayang pada kita, ciptaan-Nya. Makhluk yang telah dijanjikan cinta dan kasih oleh-Nya.
Seketika itu pula, rasanya pedihnya dicampakkan manusia ini sirna. Karena rasanya, justru kita yang telah mencampakkan Tuhan. Mengabaikan tanda-tanda kebesaran-Nya. Menjauhi kasih-Nya. Melupakan asma-Nya. Mungkin, ini merupakan cara Tuhan menyentil kita yang bengal ini, bahwa sebenarnya kita sendiri yang sedang berkhianat kepada-Nya.
Kalau memang begitu, maka maafkanlah, Ya Tuhan. Biarlah saja manusia mencampakkan kami. Asalkan jangan sampai Engkau yang melakukannya. Karena saat Kau campakkan aku, apa jadinya diri ini tanpa-Mu?
Ampun, Ya Tuhan.
Mati saja pun aku tak berani menemui-Mu.
0 notes
anginlalu · 5 years ago
Text
Kado Untuk Liani
Namaku Amran. Umurku 13 tahun. Keluarga kami baru pindah rumah. Agar lebih dekat dengan kantor kerja Ayah, kami pindah ke sebuah rusun di Slipi. Rusun ini sebenarnya terdiri dari 3 gedung. Gedung A, B, dan C. Rumah baru kami terletak di lantai 15, yang paling tinggi di gedung A. Gedung B dan C terdiri dari 20 lantai.
Karena pindah rumah, maka aku dan adikku, Ardi, juga harus pindah sekolah. Sekolahku yang baru tidak terlalu buruk. Begitu pula adikku. Tapi karena kami anak baru, kami masih harus menyesuaikan diri.
Tadinya ayah bekerja sebagai karyawan toko di dekat rumah nenek. Tapi beberapa minggu ke belakang, katanya ayah mau pindah kerja ke Jakarta. Ayah bilang, “Pekerjaan baru ini lebih menyenangkan”.
Ibuku tidak bekerja. Sehari-hari ia berada di rumah sambil menyirami bunga-bunganya yang baru ia beli. Sepertinya membosankan ya menjadi ibu. Setiap hari cuma berdiam diri di rumah, tidak bisa bermain keluar. Tapi katanya, kalau ibu tidak di rumah, “Nanti kamu gak bisa makan telur dadar kesukaanmu”.
Sebelum pindah, ayah sering mengajak kami bermain di kolam di dekat sawah kakek. Airnya bersih dan ikannya besar-besar. Ayah juga suka membawakan kami keripik. Adikku suka sekali snack itu. Tapi semenjak pindah, ayah cukup sibuk dan tidak bisa terlalu sering bermain dengan kami. Maka, suatu hari, ayah mengajak kami ke pasar dan membelikan kami sarung tangan dan bola kasti. Kami diajak ke loteng rusun untuk bermain lempar-tangkap.
Permainannya menyenangkan. Kecuali bagian-bagian ketika kami melempar terlalu keras dan bolanya jatuh dari loteng. Kata ayah, “Selama belum kenal dengan orang-orang, bermainlah di sini”. Kami sering bermain di loteng setelah itu.
Suatu siang, ketika kami sedang bermain di loteng, lemparanku melenceng jauh hingga mengarah ke gedung sebelah. Bola itu masuk ke jendela sebuah kamar di sana. Mungkin sekitar lantai 16, atau mungkin 17.
“Tuh kan, asal lempar sih”, kata Ardi. Dengan muka cemberut, aku menatap balik Ardi yang mengesalkan itu. Jendela kamarnya memang selalu terbuka. Setiap kami bermain di loteng, hanya kamar itu yang jendelanya terbuka. Kami tidak tahu siapa yang tinggal di sana karena ruangannya selalu gelap. Apa jangan-jangan, kamar itu ada hantunya? Entahlah, mana ada hantu di siang-siang bolong?
Aku sudah lelah dan malas mencari bolanya. “Beli bola baru aja deh, Di. Pakai tabunganku gak apa-apa kok”, kataku. Tabunganku memang cuma sedikit, tapi mungkin cukup untuk beli bola baru.
“Ihh, nanti ku bilang ke ayah, dimarahin loh”, balasnya.
“Eh, jangan dong. Kok main bilang-bilangin sih”, ujarku dengan nada panik.
“Yaudah kakak cari bolanya sana. Aku tunggu di sini”, katanya.
“Bantuin dong. Kan kita main berdua. Nyari bolanya juga berdua dong”, balasku dengan nada kesal.
Lalu, kami dikejutkan dengan kejadian yang tidak terduga. Bola kasti itu tiba-tiba jatuh ke hadapan kami berdua. Kami saling menatap. Kemudian tatapan kami sedikit demi sedikit beralih ke arah kamar yang ada di gedung B. Jantungku berdegup kencang. Keringatku mengalir deras hingga membasahi leher. Semua bunyi bising jalanan seketika menjadi hening. Kami menatap kamar itu selama beberapa detik sambil bertanya-tanya keheranan.
“Kak, apaan tuh?!”, adikku bertanya keheranan sambil menunjuk ke kamar tadi.
Dengan ketakutan, aku mencoba mendekat untuk mencari tahu. Kemudian terdengar suara reot dari balik kamar itu diiringi dengan penampakkan seorang perempuan yang duduk di atas kursi roda.
Sekonyong-konyong kami langsung berteriak ketakutan, “Aaaaah. Hantu!!!”.
Kami dengan terbirit-birit berlari menjauh dan bersembunyi di belakang tumpukkan meja di loteng. Adikku yang penasaran itu mencoba untuk melihatnya lagi. Ia mengintip pelan-pelan ke arah kamar tadi. Aku melihatnya sambil menunggu teriakan apalagi yang akan dia keluarkan. Pandangannya seperti kebingungan.
Tangannya mencoba menarik-narikku sambil berbisik, “Kak, sini lihat deh”.
Dalam hatiku, “Mampus. Masa suruh lihat setan sih”.
“Gak mau, jangan”.
“Eh, sini lihat dulu, ga ada setannya”.
Karena aku malah jadi penasaran, aku mencoba memberanikan diri mengintip lewat atas meja. Mataku sedikit-sedikit bergerak melihat ke arah kamar tadi. Lalu, aku yang pensaran itu dibuat terkejut. Di kamar itu tidak ada setan. Akan tetapi justru seorang anak perempuan yang duduk di atas kursi roda.
“Coba ke sana, Kak”, ujar Ardi.
Aku yang juga sama penasarannya dengan dia kemudian maju, “Ayo, bareng”.
Kami berdua mendekat ke arah anak perempuan itu. Anak itu mengenakan sweater hijau dengan rok batik yang lusuh. Mata kirinya ditutupi perban putih yang sepertinya baru diganti. Rambutnya panjang dan berwarna hitam. Ia menggunakan kursi roda dan duduk di balkon di depan kamarnya. Ketika kami sudah cukup dekat, bibirnya yang pucat itu melekuk perlahan memberi sinyal senyuman kepada kami. Tangannya melambai lesu menyapa kami berdua, tapi ia tidak bicara apa-apa.
Aku menatap adikku. Ia juga menatap balik. Kemudian kami membalas sapa anak itu dengan lambaian dan senyuman yang kelihatannya sedikit terpaksa karena kebingungan. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku.
Aku bertanya, “Nama kamu siapa?”.
Dia hanya menatap kami tanpa memberi jawaban. Tangannya yang lemah itu kemudian memberi isyarat seakan-akan sedang melempar sesuatu.
“Kak dia minta lempar bolanya kali”, kata adikku.
Aku kemudian mengambil bola kami dan melemparkannya ke arahnya. Anak perempuan itu mengambilnya dan mengikatkan selembar kertas menutupinya. Lalu ia lemparkan lagi ke arah kami. Adikku mengambil bolanya dan membuka kertas yang menutupinya itu.
“Bacain, Kak, kayaknya dia nulis nama”, kata adikku.
Kemudian aku mengambil kertas itu dan membuka lipatannya. Di sana tertulis,
“Salam kenal. Namaku Liani. Maaf aku tidak bisa bicara.”
Tanganku masih memegang kertas itu, kemudian tatapanku tertuju padanya. Ia membalas tatapanku dengan senyuman. Lagi-lagi senyuman lemah.
“Katanya, Namanya Liani. Dia bilang dia gak bisa bicara”, ujarku pada Ardi.
“Ohh gitu. Kasian ya, Kak”.
Sambil melambai-lambai, adikku berteriak kepada anak itu, “Halo, Liani. Namaku Ardi. Maaf ya tadi Kak Amran lempar bola ke kamarmu”.
Mendengar ucapannya, aku juga teringat bahwa harus minta maaf kepada anak itu, “Liani. Maaf tadi aku lempar bola ke kamarmu. Salam kenal juga ya”.
Anak perempuan itu membalas dengan mengangguk-angguknan kepalanya. Ia lalu mengisyaratkan tangannya lagi. Aku lemparkan kembali bola dan kertas itu ke arahnya. Ia kemudian mengambil pensil dan menuliskan sesuatu di kertas. Lalu ia remas kertas itu menutupi bola dan melemparnya lagi. Aku mengambilnya dan membaca tulisannya.
“Gak apa-apa. Boleh ikut main?”
“Katanya dia mau ikut main, Di. Bolehin atau engga?” tanyaku ke Ardi.
Adikku lalu tiba-tiba menendang kakiku seperti kesal, “Ya bolehin lah, Kak. Dasar jahat”.
Dasar Ardi tukang tendang kaki.
“Aww sakit tau. Ya aku kan cuma nanya”, balasku dengan kesal.
Ketika aku melihat anak perempuan itu lagi, ia tertawa. Semenjak saat itu, kami sering bermain lempar bola bersama. Kalau hujan turun, biasanya kami tetap bermain, apalagi kalau ibu sedang tidur. Kalau ibu bangun kami suka kena marah. Tapi Liani tidak ikut bermain jika hujan. Dia hanya menonton dari balik jendela kamarnya.
Pernah suatu siang kami bermain lempar-tangkap dengannya, lemparan Liani tidak cukup jauh dan akhirnya bola itu jatuh ke gang yang memisahkan gedung A dan B. Saat itu, wajahnya menunjukkan penyesalan. Ia kemudian menempelkan kedua tangannya seperti sedang meminta maaf.
Adikku kemudian bilang, “Haha, gak apa-apa, Lia. Nanti biar Kak Amran yang ambil”.
“Lah, kok aku?!”.
“Yaudah ntar aku bantuin deh. Lia tunggu di sana ya!”, ujar Ardi.
Kami kemudian mencari-cari di tumpukan rongsokan di gang itu. Gang itu bau. Sepertinya ada yang membuang sampah di sana. Setelah setengah jam kami cari, akhirnya kami menemukan bolanya dalam keadaan basah dan bau. Kami membawa balik bolanya ke atas untuk dicuci dan dikeringkan.
Ketika kami kembali ke loteng, kami menemukan plastik putih tergeletak. Aku mengambilnya dan membukanya. Di sana ada makanan dan kertas. Kuambil kertas itu dan kulihat isinya.
“Ini buat kalian. Maaf ya bolanya jatuh.”
Makanan itu ternyata adalah snack keripik. Ini snack kesukaan adikku.
Setelah melihat isinya, adikku segera berteriak, “Makasih ya, Liani! Aku suka Keripik!”.
Liani yang duduk di balkon hanya tertawa melihat kami berebut makan keripik yang ia beri.
Selama beberapa minggu, kami sering bermain bersama. Ardi bahkan menceritakan ini ke ayah dan ibu.
Mendengar cerita kami, ayah bilang, “Baik-baik ya sama Liani. Sepertinya kalian satu-satunya teman dia”.
Ibu juga bilang ke kami, “Hati-hati kalau melempar. Nanti terlalu keras, kan kasian dia”.
Ayah dan ibu sepertinya memang tidak kenal Liani ataupun keluarganya, tapi mereka berdua senang jika kami berteman dengannya.
Suatu hari, ketika sedang bermain, Liani meremas kertas dan mengikatnya di bola. Ia melemparkannya kepada kami. Sepertinya ia mau bilang sesuatu. Aku lalu mengambilnya dan membaca isi kertasnya.
“Besok lusa hari ulang tahunku. Datang ya! Kamarku di lantai 16 nomor 51a.”
Adikku bertanya, “Apa isinya, Kak? Dia mau ngasih keripik lagi?”.
“Ihh, pikiranmu keripik doang”.
“Dia bilang dia ulang tahun besok lusa. Kita diundang buat datang. Mau gak?”, tanyaku.
“Ohh, iya dateng yuk, Kak. Kita beliin hadiah yang bagus”.
Adikku kemudian mendekat ke arah Liani dan berteriak, “Liani, tenang aja. Besok lusa kami datang bawa hadiah yang bagus ya!”.
Permainan hari itu selesai. Di kamar, kami berdua mengobrol.
“Di, mau belikan apa buat Liani?”, tanyaku pada Ardi.
Dengan bersemangat, Ardi bilang, “Kita beliin bola kasti aja, Kak. Tapi bola yang bagus. Besok kan sabtu, kita beli dulu ke pasar”.
“Yaudah, tapi kita patungan ya. Tabungan kakak kan kamu pakai beli topi kemarin. Sekarang belum banyak”, jawabku ke Ardi.
Lalu Ardi membalas, “Hehe. Oke kalau gitu, Kak. Nanti liat dulu ya tabunganku ada berapa”.
Keesokan harinya, selepas solat subuh, kami mengumpulkan uang tabungan kami dan menghitungnya. Setelah dijumlah, kami punya uang sebesar 47.000.
“Di, kalau cuma segini sih gak cukup buat beli bola”, kataku setelah menghitung uang yang ada.
“Kalau kita minta ke ayah dan ibu aja gimana, Kak?”.
“Jangan, Di. Ayah dan Ibu juga kan ada keperluan lain”.
“Yaudah, Kak. Kita ke pasar aja dulu. Siapa tahu dapat yang harganya segitu”.
Akhirnya, setelah kami sepakat, kami bersiap-siap dan bergegas menuju ke pasar. Kami berlari menuju pintu keluar.
Ibu yang sedang di dapur kemudian bertanya, “Eh, pada mau ke mana? Sarapan dulu!”.
Aku hanya menjawab, “Mau ke pasar. Sebentar aja kok, Bu. Hehe”.
Kami lalu segera berangkat menuruni gedung.
Di pasar, kami mencari ke mana-mana. Pasar itu besar, tapi kami harus cari sampai ketemu.
Kami bertanya ke suatu toko, “Pak, jual bola kasti?”.
Penjual toko itu menjawab, “Ada, Dek”.
“Harganya berapa, Pak?”.
“60.000 aja, Dek”.
Karena kami tidak punya uang sebanyak itu, kami beralih ke toko lain. Ternyata tidak ada yang menjual bola kasti seharga 47.000. Para penjual di pasar bilang rata-rata harganya di atas 50.000. Setelah 2 jam berkeliling. Aku dan adikku kemudian berhenti di salah satu teras toko. Adikku yang kelelahan karena belum sarapan itu kemudian menangis.
“Huwaaa. Bolanya gak ada, Kaaak… Kita gak bisa kasih hadiah buat Liani. Huwaaaa…”, dia bicara sambil berurai air mata.
Aku juga bingung. Dengan uang segitu, mana bisa beli bola kasti, apalagi bola kasti yang bagus.
Aku bilang ke adikku, “Udah jangan nangis. Cari lagi aja yuk. Masih ada toko lain kayaknya di sebelah sana”, aku menunjuk ke salah satu sudut pasar.
Sambil dibasahi air mata, adikku mengusap pipinya yang merah itu. Kami kemudian berjalan lagi mencari bola kasti untuk diberikan pada Liani sebagai hadiah ulang tahunnya. Setelah mencari cukup lama, kami menemukan sebuah toko alat olahraga. Ketika kami sedang melihat-lihat bola-bola di etalase, seorang bapak-bapak mendekati kami.
“Mau beli apa, Dek?”, tanya bapak itu.
Karena sudah lelah, aku ceritakan saja semuanya pada bapak itu, “Pak, kami mau kasih hadiah bola kasti untuk teman kami. Katanya besok dia ulang tahun. Tapi tabungan kami cuma ada 47.000, Pak. Dari tadi kami cari-cari di pasar, gak ada yang menjual bola kasti di bawah 50.000, Pak”.
Mendengar ceritaku, bapak tadi kemudian bertanya, “Anak yang baik. Nama kamu siapa?”.
“Saya Amran, Pak. Ini adik saya, Ardi. Dia tadi nangis karena gak nemu bola yang murah”.
Sepertinya bapak tadi cukup kasihan melihat kami. Bapak itu kemudian bertanya lagi, “Temen kamu namanya siapa?”.
“Temen kami namanya Liani, Pak”, jawabku.
Bapak itu sedikit terkejut, “Wah, perempuan to? Masa anak perempuan main bola kasti?”.
“Dia gak punya temen, Pak. Cuma kami temennya. Kami suka main lempar-tangkap bareng. Makanya kami mau belikan bola untuk jadi hadiah ulang tahunnya”.
Bapak itu kemudian tersenyum mendengar ceritaku.
Ia kemudian berkata lagi, “Kalian baik banget ya. Kalau gitu sini bapak belikan bola untuk kalian ya. Nih, lihat. Mau bola yang mana?”
Mendengar ucapan itu, seketika Ardi langsung tersenyum. Mata merahnya itu kemudian menjadi berseri karena senang sekali ada orang yang mau membantu. Aku kemudian menunjukkan bola yang ingin kubeli. Harganya 95.000. Akan tetapi bapak itu tidak menghiraukannya. Ia membelikan bola itu untuk kami, dan bahkan memberi kami uang tambahan.
Sambil tersenyum, bapak itu berkata, “Ini buat beli kertas kado sama ongkos pulang ya, Dek. Salam buat orang tua kalian”.
Kami berdua mengucapkan terima kasih kepada bapak tadi dan mencium tangannya. Dengan hati yang gembira, kami berdua segera pulang ke rumah. Ketika masuk rumah, ibu segera menyuruh kami makan. Kami segera makan dan menceritakan apa yang terjadi kepada ibu dan ayah kami.
“Padahal kalian bilang aja. Kalau untuk beli bola, ibu ada uang kok”, ujar ibuku.
“Kami gak mau merepotkan ibu dan ayah”, jawabku.
Ayahku kemudian berujar, “Kalian sudah jadi anak baik. Kalau begitu, besok kita ke rumah Liani bareng-bareng ya”.
Di malam harinya, kami membungkus kado dan menulis ucapan selamat ulang tahun untuk Liani. Kami tidur dalam keadaan sangat gembira malam itu.
Tibalah hari minggu, hari ulang tahun Liani. Seperti biasa, kami sarapan pagi terlebih dahulu. Kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Liani.
“Amran, kadonya udah dibawa?”, tanya ayah padaku.
“Udah, Yah. Dipegang Ardi”.
Kami kemudian berangkat ke Gedung B pada pukul 9 pagi.
Ketika sampai di lantai 16, kami mencari-cari alamat rumah Liani.
“Nomor 51a, Yah”, kataku pada ayah.
Kami mencari bersama-sama.
“Nomor 48, nomor 49, nomor 50, nomor 51, nah ini dia 51a”, ucap ayahku.
Ayah mengentuk pintu sebanyak tiga kali. Tok, tok, tok. Secara perlahan, pintu itu kemudian terbuka. Dari balik pintu, ada seorang nenek yang menyapa kami.
“Ada yang bisa dibantu?”, tanya nenek itu.
“Selamat pagi, Nek. Benar ini rumahnya Liani?”, kata ayah.
“Benar, Pak. Ini dengan Ayah Amran dan Ardi ya?”, ternyata nenek itu sudah tahu kedatangan kami.
“Benar, Nek. Kami datang ke ulang tahun Liani”, ujar ayah.
Adikku yang tidak sabar kemudian bertanya, “Lianinya di mana, Nek? Boleh masuk?”.
Nenek tadi kemudian mempersilakan kami masuk, “Tunggu dulu ya di sini”.
Kami dipersilakan duduk di ruang tamunya dan disuguhkan teh hangat. Nenek tadi kemudian duduk di kursi.
“Amran sama Ardi, terima kasih ya sudah mau main sama Liani. Setiap kali kalian main, Nenek ada di rumah dan memperhatikan. Liani kelihatan senang dan bahagia ketika bermain dengan kalian”.
Nenek itu kemudian melanjutkan ceritanya, “Setiap hari, Liani gak bisa ke mana-mana. Liani menderita Leukimia dan bisu sejak lahir, Pak, Bu. Keadaannya lemah sekali sejak umurnya 5 tahun. Ia tidak bisa keluar rumah dan bermain seperti anak-anak lain. Makanya ketika ada teman yang mau bermain dengannya, ia sangat senang. Ia punya buku catatan harian. Setiap malam, Liani menulis tentang Amran dan Ardi. Ketika Amran dan Ardi tidak datang karena tugas sekolah atau yang lain, ia hanya bisa duduk di depan balkon sambil berpura-pura melempar kertas sendirian. Ia bilang ingin mengundang Amran dan Ardi ke ulang tahunnya”.
Aku tidak terkejut bahwa Liani punya penyakit itu. Memang tampaknya sangat pucat setiap kali kami bermain. Mendengar cerita itu, ibuku penasaran dan bertanya pada nenek itu,
“Kalau boleh tahu, sekarang Liani sedang di mana, Nek?”.
“Ehem”, nenek itu sedikit terbatuk. “Jadi gini, Bu. Hari jumat kemarin setelah bermain bersama anak-anak, kondisi Liani ternyata melemah. Saya bawa dia ke rumah sakit untuk dirawat di sana”.
Entah mengapa mata nenek itu sedikit bersinar. Sepertinya ia menangis.
“Setelah saya bawa ke rumah sakit, kondisi Liani terus menunjukkan penurunan. Kemarin pagi, saat di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa kondisinya kritis. Saya hanya bisa pasrah. Dokter sudah berusaha keras selaa beberapa jam. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya… Liani tidak tertolong. Sore kemarin, Liani meninggal”.
Sang nenek tidak bisa menahan air matanya. Ibuku hanya bisa memegang mulut sambil mengusap-usap rambut Ardi.
“Jadi Liani ada di mana, Bu?”, tanya Adikku yang masih kecil itu.
Ibu hanya membaliknya dan memeluknya. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan anak polos itu. Ibu cuma bilang, “Liani gak ada, Dek”, sambil sedikit-sedikit mengusap-usap matanya.
Nenek itu kemudian melanjutkan ucapannya, “Sebelum meninggal, Liani sempat menulis di bukunya. Katanya, ia ingin berterima kasih pada Amran dan Ardi. Terima kasih ya sudah mau bermain dengan cucu nenek”.
Sampai saat ini, nenek itu tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia terisak-isak sambil memegang wajahnya yang sudah renta itu. Aku melihat ayah dengan badannya yang tetap tegak. Pandangannya tertunduk ke bawah. Jari-jarinya saling bersilangan.
Ia kemudian mengucapkan sesuatu, “Nek, semoga Liani tenang di kuburnya ya. Kami sekeluarga mengucapkan bela sungkawa. Semoga Allah menjaganya selalu”.
Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia itu sekarang menjadi hari yang sedih. Adikku hanya bertanya-tanya ke ibu tentang Liani. Sementara Ibu hanya bisa memeluknya karena tidak bisa menjawab. Ayah kemudian menyatakan rasa empatinya dan memberikan uang untuk membantu sang nenek. Kami kemudian hanya bisa memeluk sang nenek dan bergegas pulang. Entah mengapa aku tidak menangis. Tapi ada bagian kecil dari hatiku yang terasa sakit.
Aku sendiri masih tidak percaya bahwa Liani sudah tidak ada. Ia seumuran denganku, tapi aku dalam kondisi sehat, sementara ia sudah meninggal. Rasanya aneh anak-anak harus meninggal. Bukannya yang meninggal itu orang tua?
Sepertinya aku telah kehilangan sesorang yang sudah seperti keluarga. Mungkin, Liani memang sudah menjadi keluarga kami. Tapi sekarang satu keluarga kami sudah berpulang.
Kami tidak berhenti bermain semenjak hari itu. Bahkan, kami menggunakan bola hadiah itu untuk bermain. Kami pikir itu bisa mengingatkan kami berdua kepadanya.
Kado untuk Liani sepertinya tidak bisa kami berikan sekarang. Tapi di kehidupan yang nanti, aku akan menemuinya dan memberikan kado ini langsung kepadanya.
Selamat ulang tahun, Liani.
1 note · View note