Text
Time Travel - Boabdil
Pernahkah kamu berjalan-jalan ke suatu tempat dan tiba-tiba terlempar ke masa lalu?
Abdillah tidak pernah menyangka sebelumnya jika kunjungannya ke Alhambra akan menjadi sebuah perjalanan yang tak terlupakan. Tidak ada yang aneh sebenarnya saat ia membuka mata untuk memulai aktifitas pada hari itu. Ia bangun pagi-pagi sekali dan turut mengantri di depan loket sebagaimana orag-orang lainnya yang meringkuk-ringkuk digigit dingin dalam kegelapan. Antrian sudah cukup panjang padahal matahari saja belum muncul. Jelas orang-orang tersebut kurang persiapan, mereka yang pernah ke Granada tahu bahwa mengorder tiket online untuk masuk ke kastil peninggalan bangsa Moor di Spanyol itu adalah sebuah keharusan. Tapi Abdillah dengan sabarnya mengantri, toh ia juga sudah jauh-jauh tiba ke tempat ini. Situs yang sebelumnya hanya ia dengar dari televisi atau liputan di majalah.
Nanti begitu tiket sudah ia genggam di tangan, Abdillah segera meluncur berkeliling Generalife, taman khalifah yang luasnya bukan main itu. Kamera DSLR yang baru ia beli pun ia habis-habiskan baterainya sebelum kemudian tersadar bahwa ia bahkan belum masuk ke area utama Alhambra: Nasrid Palace. Abdillah sudah menarik napas dalam-dalam dan siap melangkahkan kaki ketika menyaksikan gerbang batu dari istana tempat pertahanan terakhir Muslim Spanyol itu. Matanya pun telah berlinang airmata membayangkan pedihnya pemandangan ribuan orang yang harus meninggalkan kampung halaman mereka menuju ke tempat lain hanya karena agama yang mereka anut.
Begitu Abdillah akhirnya menapakkan kaki melewati gerbang Nasrid Palace, saat itulah terjadi keanehan. Terdengar derap langkah kuda menuju ke arahnya. Abdillah, yang terkejut dan belum dapat mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi, tiba-tiba dikepung oleh lima orang berjubah yang mengendarai kuda-kuda putih. Salah satu di antara mereka (yang ternyata adalah wanita) turun dari kuda dan berkata kepada Abdillah: "lihat, nasib bangsa kita ada di tanganmu dan yang bisa kau lakukan di saat-saat genting seperti ini justru menghilang! Cepat kembali ke istana, ganti bajumu dan temui duta-duta Ferdinand dan Isabella di Balairung 12 Singa!"
Abdillah, masih dengan wajah bingung hanya bisa pasrah saat salah seorang penjaga istana mengangkatnya naik ke atas kuda. Wanita paruh baya yang tadi berbicara dengan galak kepadanya itu adalah Aixa al-Horra, istri Muley Hasan, sultan Granada. Hari itu Abdillah baru saja mendapatkan identitas baru. Ia mendadak menjelma menjadi Boabdil, sultan Granada terakhir yang sedang bermain judi dengan takdir. Nyawa kerajaannya di ujung tanduk. Saat ia dandani dengan jubah, pedang dan mahkota di dalam istana, barulah ia sadar bahaya apa yang sedang mengancam di hadapannya.
Sementara itu, di Nasrid Palace tahun 2016, Luis dan Zizi yang backpacking bersama dengan Abdillah kebingungan mencari-cari dirinya. "Sumpah ya tu anak, ilang lagi!" gerutu Luis tak sabaran. Matanya sibuk mencari-cari ke segala arah. "Ini udah yang ketiga kalinya ya hari ini!" Tambahnya dengan muntab. "Udah biarin aja, ntar juga dia nyariin kita. Kan internet gue yang megang, dia pasti bakal nyari internet buat update Path-nya", ujar Zizi menenangkan. Akhirnya keduanya sepakat untuk melupakan Abdillah dan kembali menikmati keindahan Alhambra.
Sayang sekali, Abdillah tidak pernah menemukan kembali jalannya untuk “pulang” ke masa depan. Ia terjebak di masa lalu dan menjadi sosok yang dibicarakan oleh orang-orang berabad-abad kemudian di buku-buku pelajaran dan dokumenter-dokumenter televisi.
2 notes
·
View notes
Text
Liburan
Kau sering sekali mengucapkan kalimat ini, "Mari berlibur dari luka dan waktu yang hanya mengantarkan kesedihan". Matahari yang cerah dan tak menyakiti hanya ada dalam kotak sekian kali sekian itu. Di dalamnya musim melulu semi dan orang-orang dilingkupi bahagia yang sangat setiap dua kali enam puluh menit. Kita tertawa lebih keras dari biasanya setiap kali tiba di sini. Terbahak hingga air mata tiba di ujung-ujung mata. Tengah malam ketika kabut-kabut kantuk tiba, kita ditarik ke dalam pusaran mimpi yang itu-itu saja tentang bulan yang jatuh di halaman rumah dan langit yang meminjam warna darah. Dalam racau, kita mengulang-ulang teriakan semacam kesakitan yang entah, yang hanya dimengerti malam dan gelap. Saban pagi, kita menemui kopi pahit dan menyusun rencana-rencana untuk jam-jam yang memanjang dari lantai rumah ke tempat dengan nama-nama yang mesti kita ingat dengan seksama. Setelah itu, kita akan kembali di sini, di ajakan liburanmu dan keinginanku yang tak menolak disuguhi kesenangan berumur pendek.
0 notes
Text
Chernobyl
Daun-daun merah saga seperti warna langit Chernobyl di sebuah hari yang duka. Selepas maut merenggut, kita mencoba bersembunyi dari kesedihan dan mulai mencari-cari alamat paling jauh dari kota sekarat. Kita membuat banyak ruang dan pintu untuk menghindar dari ingatan yang hujan. Tapi setelah senja itu, lupa cuma kata yang tak kita kenal. Sebab ini Chernobyl, katamu, di mana kematian adalah langit yang menaungi dan kenangan yang bisa kita simpan hanyalah ketakutan.
1 note
·
View note
Text
Insomnia 1
Kau; kantuk yang sombong. Mataku merindukan pejam yang ramah, yang tak perlu dijemput dengan apa-apa selain lampu yang padam dan alas tidur yang hangat. Kau; kantuk yang menjauh. Aku; kepala yang bising oleh suara-suara dari entah mana. Kita barangkali serupa anak kecil yang bermain petak umpet. Di hitungan ke sepuluh, aku dan kau tak saling menemu.
7 notes
·
View notes
Text
Sahabat kita, Rafael
Teman kita di perjalanan kali ini adalah malaikat Rafael.
Ia muda dan kuat, seperti kita.
sambil melangkahkan kakinya yang jenjang ia akan berceloteh riang,
bercerita tentang kisah Penciptaan, kejatuhan Adam dan Hawa atau perang-perang yang diulang-ulang umat manusia
(ia turut hadir di sana menyaksikan semua).
atau bersenandung kecil, melagukan kerinduan akan sahabat kecilnya, Tobias.
seringkali Rafael juga hanya akan terdiam, memandangi langit yang biru atau samudera yang terhampar luas. tatapannya menerawang kosong ufuk-ufuk planet ini. katanya “bumi terlihat aneh dari bawah sini.”
sesekali ia akan bertanya pada kita: “bagaimana rasanya menjadi manusia? apakah nafsu itu sesuatu yang menyenangkan? apakah punya akal pikiran yang mandiri itu berkah atau kutukan?”
lalu kepayahan kita menjelaskan, ujung-ujungnya pun berakhir dengan deraian tawa.
setiap malam, saat selesai membangun tenda di atas bukit untuk menghindari serangan binatang buas, kita akan duduk bersamanya di hadapan api unggun
sambil saling mengajari hal-hal yang jadi rahasia antara mahluk-mahluk langit dan kita para penghuni bumi
Rafael bilang dia dulu sering menangis ketika melihat api. Entah apa alasannya, kita tak ingin bertanya.
lalu saat tubuh kita mulai letih karena kalah oleh kantuk, Rafael akan menawarkan selimut seraya berujar:
“tidurlah, kawan. besok pagi biar aku yang membangunkan.”
percayalah kita dengan kata-katanya, kemudian menutup mata dan menarik selimut, mencari pojok yang nyaman di dunia mimpi
saatnya pun tiba ketika matahari terbit, Rafael tak melanggar janjinya. Ia bangunkan kita dengan tiupan nyaring yang panjang, bunyi dari terompet kecil yang ia sebut Tanduk Tuhan.
“Halo kawan, sahabat lamaku. Bangunlah kembali!” ujarnya dari atas sana, di sebelah Singgasana Tuhan. Tubuhnya nampak besar sekali, mengeluarkan cahaya sesilau mentari dan sayapnya yang empat kini muncul berkepakan dari ruas punggungnya.
tapi kita tahu ia bahwa masih Rafael yang sama (atau Israfil, itu nama panggilan lainnya), teman seperjalanan kita dari kota Cordoba
sambil membersihkan rambut dan tubuh yang tertutupi debu, kita bergegas bangkit menyambut alarm paginya
bersiap menyambut hari panjang lain bersama Rafael, sahabat kita.
“Jika telah sampai waktunya dunia maka sangkalala pun mendekat pada wajah Israfil, maka Israfil pun mengumpulkan keempat sayapnya lalu meniup sangkalala.” -Abdurrahman bin Ahmad Al-Qadhiy
Leiden, 2 Februari 2016
2 notes
·
View notes
Text
Januarimu (yang ke sekian)
Kau bertanya-tanya tentang kesedihan yang menyelinap entah dari mana sedang jendela dan pintu telah ditutup sejak hujan ke sekian jatuh tanpa tanda apa-apa. Kecemasan-kecemasan yang terkurung di kepalamu sering kali mencari-cari jawaban tentang ajal mereka--tentang resah yang (harusnya) sudah selesai. Dalam kabut yang tersusun dari kantukmu, mimpi-mimpi hitam putih tiba seperti jadwal film yang tepat waktu. Racaumu adalah igau tentang hari-hari panjang di depan yang kau tafsir dengan pagi yang berpapasan dengan pejammu. Pada akhirnya, segala tanda tanyamu akan jadi menit-menit usiamu sendiri. Tik tok jam yang mestinya kau rayakan dengan tepuk tangan yang lama. Maka berhentilah mengucapkan pertanyaan yang kau ulang-ulang itu. Lalu mulailah menyalakan lilin.
1 note
·
View note
Text
Sea Monologue
What more do you wish to ask? The waves are my words and speech Sometimes harshly pounding the rocks Sometimes harshly thrown against the sands on the beach. That blue glint is my eyes. The depth of secrets that you delve into That you part sheet by sheet like an old endless book of fairytales. In my niches, the stories that have been written, remembered and forgotten, stay. Living in the thickness of time. Records of Neptune, stories of Poseidon, Ariel's love songs that echo for eternity in my ears. What more do you wish to ask? All are still here, clearly wrought, forming the reliefs of age. You will even find one, two tears that stay a short while, or the ache that you once given me unconsciously. What more do you wish to know? If possible, come meet me, some fathoms away from where you are.
0 notes
Photo

Waktu itu, kedua matamu terbuka lebar. Hendak melahap apapun dengan rakus. Menggerayangi langit hingga ke perut bumi, mencari sesuatu yang mengenyangkan. Asal perut penuh, bulan pun dapat kau telan. Tapi lupa kah engkau? Anak-anakmu yang belum lahir telah kelaparan sebelum udara masuk mengaliri selang paru-paru mereka. Mereka dapat apa selain bencana?
2 notes
·
View notes
Text
Membaca Alam Bekerja
Alam telah berkehendak secara sederhana : tentang dedaunan tua yang kelak jatuh dari tangkai yang selama ini menopangnya. Lantas daun-daun ini rebah ke bumi, gugur secara terhormat, menyingkir dari pohon demi tumbuhnya dedaunan muda yang akan mengisi ranting-ranting kosong itu, menggantikan pekerjaan daun-daun tua yang kini terurai oleh waktu.
2 notes
·
View notes
Text
Olok-olok Kreatif Dua Detektif
“So, apakah kau masih ingin menyanyikan lagu Bengawan Solo setelah kasus ini?” Detektif Buana tiba-tiba bertanya.
Detektif Raza mengernyitkan dahinya tinggi-tinggi. “Mengapa tidak? Lirik Bengawan Solo menyimpan sandi rahasia menuju harta karun mutakhir: Southeast Asia!”
“Maksudku bukan tentang lirik atau musiknya, tapi sindiran untuk suaramu yang luar biasa cempreng, merusak gendang telingaku saja.” Detektif Buana nyengir jahat.
“Tuh, kan! Komentar sinis dari orang seperti kau itu yang berbahaya. Bagaimana Asia Tenggara bisa meraih kemajuan di tangan generasi yang akan datang? Kau mematikan bakat, tahu! Lagi pula, suaramu tak kalah beracun! Pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan Kalimantan pun membusuk karenanya,” sergah Detektif Raza. (hlm. 95)
Inspirasi untuk menulis cerita bisa datang dari mana saja. Eka Kurniawan mendapatkannya dari grafiti di belakang truk, Iksaka Banu mendapatkannya dari sejarah kolonial Belanda, Rio Johan mendapatkannya dari komik dan video game. Sedangkan Louie Buana dan Ran Jiecess menjadikan olok-olok sebagai sumber inspirasi mereka untuk menulis. Ya, olok-olok yang kemudian menjadi kerja kreatif dalam cerita detektif: The Extraordinary Cases of Detective Buran.

The Extraordinary Cases of Detective Buran adalah kumpulan kisah petualangan dua detektif yang diterbitkan pada tahun 2014 oleh Kedai Buku Jenny. Tokoh utama dari buku ini adalah Detektif Buana dan Detektif Raza. Berisikan lima misteri yang bertalian –dimulai dari misteri pencurian tongkat Musa sampai misteri selendang Nawang Wulan dan portal gaib Segitiga Bermuda, dua detektif ini menggiring pembaca untuk sampai pada pertemuan mereka dengan tokoh antagonis, Aragen Aites a.k.a. Annabella di akhir cerita. Lantas kisah ditutup dengan terperangkapnya kedua detektif di masa lalu di Kerajaan Majapahit pada 1513 masehi. Kisah dua detektif ini meleburkan juga sejarah dan budaya ke dalam fiksi untuk memperkokoh bangunan cerita.
Louie Buana adalah nama pena dari Muhammad Ahlul Amri Buana. Ia lahir di Timor Timur, menghabiskan masa kecilnya di Padang, Bali dan Makassar. Sebelum diterima di Fakultas Hukum UGM, ia mendapat kesempatan pertukaran pelajar AFS ke Ohio, Amerika. Esai-esai yang ditulisnya dimuat di berbagai institusi seperti IFL, HMI, Jurnal Dewan Mahasiswa Justitia dan Sultan Idris Malaysia. Kecintaannya pada La Galigo menginspirasinya untuk mendirikan Lontara Project bersama Ran Jiecess, dan juga sebuah grup music La Galigo Music Project di Jogjakarta. Sedangkan, Ran Jiecess adalah nama pena dari Maharani Budi. Ia tamat dari STISI Telkom-Bandung dan bekerja sebagai guru pada tahun 2013. Ia aktif dalam komunitas Lontara Project yang bertujuan untuk memelihara warisan Indonesia. Ia juga termasuk dalam proyek-proyek kreatif di Bandung dan Jakarta.
Apa kesibukan kalian sekarang? L: Saat ini saya sedang merampungkan studi di bidang Sejarah Kolonial dan Global di Fakultas Ilmu-Ilmu Kemanusiaan, Universitas Leiden, Belanda. Selain itu saya juga aktif di beberapa kegiatan PPI Belanda, ikut tergabung dalam komunitas musik tradisional yang dianggotai oleh orang-orang Indo (blasteran Indonesia-Belanda) serta membantu Yayasan Bung Hatta di Jakarta sebagai salah satu tim dokumenter mereka.
R: Hehehe, saya kebetulan sedang sibuk mempersiapkan rencana studi lagi, sambil ditandem dengan segudang kegiatan Lontara Project (komunitas Louie juga) di Makassar. Bulan kemarin kami baru saja menyelenggarakan Heritage Track dan bulan ini kami sedang mempersiapkan perayaan World Heritage Day bersama kawan-kawan dari komunitas lain.
Sejak kapan mulai suka membaca cerita detektif? L : Saya mulai suka membaca cerita detektif sejak SD. Dimulai dengan kisah-kisah petualangan “Lima Sekawan” yang sebenarnya adalah cerita tentang remaja-remaja yang suka memecahkan kasus meniru detektif-detektif profesional. Saya juga sudah membaca Alfred Hitchcock sejak kelas 5 SD. Menginjak bangku SMP saya mengoleksi komik Detektif Conan yang kurang-lebih memperkaya imajinasi saya tentang kasus-kasus misteri.
R: Ketika masih SD, saya sering menumpang baca di kamar kakak. Kebetulan dia sering meminjam novel teman-temannya di SMP, khususnya Goosebumps yang sedang ngetrend pada saat itu. Novel Agatha Christie menjadi cerita detektif pertama yang saya baca, bisa ditebak: anak ingusan ini pengen jadi detektif juga. Setelah itu mulai gandrung dengan cerita-cerita penyelidikan, merambah Sherlock Holmes, Detective Conan, Detective Kindaichi, dsb. Mengikuti alur pikiran tokoh-tokoh jenius ini menggelitik kepala saya, detail-detail yang mereka hubungkan bermuara pada alibi tersangka, dan semuanya itu keren.
Bisa ceritakan proses kreatif Detektif Buran? L : Detektif Buran lahir karena keisengan. Saya dan Ran berteman sejak SMA dan dari dulu kami memang sudah gemar saling menyindir dan mengejek lewat tulisan. Dari situlah ide awal tentang duo detektif yang naif namun kompak terlahir. Kami saling menciptakan karakter satu sama lain yang tidak saja dipenuhi oleh kekurangan-kekurangan (karena itulah inti awal lahirnya tulisan-tulisan ini) namun juga kehebatan-kehebatan diluar batas kelaziman manusia.
R: Biasanya cerita Buran terinspirasi dari obrolan-obrolan kami yang ngalor ngidul. Kadang diskusi itu tidak selesai, namun kami memiliki hipotesis sendiri, dan akhirnya dituangkan dalam bentuk cerita. Saat akses internet belum semudah hari ini, kami mencari data pelengkap dari buku atau dari sumber apa saja. Ada kalanya di tengah cerita, saya kehabisan akal, maka dilanjutkan oleh Louie, dan begitu pula sebaliknya.
Apa saja kendalanya? L : Kendala yang utama: jarak! Sejak lulus SMA, saya dan Ran dipisahkan oleh lautan dan daratan. Saya kuliah di UGM sedangkan ia melanjutkan studi di Bandung. Kasus-kasus Buran kami tulis dan saling kirim via email. Seringkali kami saling mengedit konten, jarak yang memisahkan juga acapkali menimbulkan salah tafsir dari tulisan-tulisan yang kami buat.
R: Benar, walaupun kami tetap menjalin kontak di dunia maya, tentu banyak bagian yang hilang. Utamanya proses briefing yang biasanya kami lakukan berjam-jam. Aktifitas selama kuliah juga membuat saya moody, kalau tidak dikejar deadline oleh Louie, ide saya mengendap dan akhirnya tema itu tidak pernah kesampaian lagi ditulis.
Apa harapan dan tujuan kalian melalui karya ini? Harapan kami adalah agar setiap pemuda yang membaca karya yang-tidak-sempurna-ini berani untuk menulis. Terus saja menulis! Lebih baik menulis dengan segala cacatnya hari ini daripada tidak sama sekali. Tuangkan segala ide unik dan eksentrik kalian ke atas kertas, karena ide itu suatu saat bisa hilang dan yang akan datang adalah penyesalan.
Bagaimana pengaruh komunitas di Makassar bagi dunia kepenulisan kalian? L : Kebetulan kami adalah novelis pertama dari Makassar yang menangkat cerita detektif sekaligus genre semi misteri-semi folktale-semi komedi ini. Penulis-penulis di Makassar amat sportif, terbukti dengan terpilihnya kami untuk menghadiri MIWF 2014 kemarin. Novel kami juga sudah mendapatkan review positif dari rekan sesama penulis lokal serta koran-koran Makassar.
R: Buat saya, pengaruh komunitas itu baru muncul sekitar empat hingga lima tahun belakangan, tapi sangat menentukan bagaimana nasib literasi kami untuk masa-masa yang akan datang. Ketika Buran ditulis sembilan tahun yang lalu, belum ada tuntutan apa-apa karena ruang lingkup pembaca yang masih sangat terbatas. Kami bebas merekayasa apa yang kami inginkan. Namun secara pribadi, kini kami harus berpikir bagaimana menghasilkan karya yang lebih baik dan lebih inspiratif karena secara tidak langsung, kami sedang menawarkan sebuah karya baru kepada masyarakat yang semakin kritis dan selektif.
Siapa idola kalian dalam menulis? L : Idola saya dalam menulis adalah J.R.R. Tolkien. Ia membiarkan imajinasinya berlari kencang sebebas-bebasnya. Tolkien adalah “Brahma” di Middelearth, sebuah universe rekaan yang lahir dari kepala manusia. Tulisan-tulisan Tolkien mengajarkan kepada saya untuk membuka segel yang membatasi antara realita dan fantasi serta menginspirasi saya untuk menggunakan imajinasi ini semaksimal mungkin.
R: Saya paling menikmati gaya penuturan Jonathan Straud yang kocak dan cerdas. Trilogi Bartimaeus membuat saya tidak ingin menyelesaikan bacaan karena karakter jin ini sudah terlanjur hidup di kepala saya. Tapi, yang mampu membangkitkan gairah menulis dan menstimulasi imajinasi untuk merekonstruksi jaman dari sastranya yang menyihir, idola saya Pramoedia A.T.
Apa rencana kalian nanti? Rencana kami: melanjutkan Detektif Buran! Sudah banyak ide di kepala untuk episode-episode yang akan datang. Tinggal masalah waktu yang harus lebih dicocokkan lagi.
Apa harapan kalian bagi penulis-penulis Indonesia Timur? Penulis-penulis Indonesia Timur memiliki karakter yang unik. Mereka berbeda dengan penulis-penulis dari Jawa maupun Sumatera. Ada unsur keeksotisan lokal yang hadir di dalam bait-bait yang mereka tulis. Saya berharap agar lebih banyak lagi penulis-penulis dari Timur yang bangkit serta berbagi kepada Indonesia tentang kelokalan mereka.
(Dimuat di Jurnal Sastra Santarang edisi Maret 2015 Komunitas Sastra Dusun Flobamora)

2 notes
·
View notes
Text
Aih aih
Aih, Mama jang suruh saya menyanyi lagi. Itu Anging Mammiri tra bisa masuk-masuk di sa pu kepala. Enambelas tahun sudah, enambelas tahun sudah kita makan coto di Makassar, tapi rasa nasi jagung masih tinggal di lidah. Kadang-kadang, angin Flores datang lewat sepucuk berita, giti-giti telinga supaya samar-samar kedengaran sudah itu lagu Maumere menggelegar di speaker angkot. Baru itu rosario di kaca spion talempar sana-sini, dengan gambar Yesus bermacam-macam gaya terpampang di dinding, langit-langit, dan pintu mobilnya.
Aih aih, Mama. Jang suruh sa mengaku jadi orang Sulawesi saja. Kita ini anak besar di macam-macam kampung, su dikasih makan macam-macam kue, su diajar macam-macam ilmu, su lihat macam-macam orang. Jadi sekarang, sa belajar buat kasih pulang orang pu kebaikan, semoga mas-mas Jawa tra dipanggil tukang bakso lagi, supaya deng-deng Makassar tra dipanggil tukang copet lagi, jadi orang timor tra dipanggil tukang mabok lagi.
salam.
3 notes
·
View notes
Photo

Ijinkanlah aku berlisan, kawan
Tentang butiran pasir berlapis biru pekat, putih, krem, dan coklat yang menyihir mata. Olehnya, lautan itu diceraikan dengan tanah daratan, sehingga di permukaan ombak, buihnya menggenang bahagia. Lambat-lambat mundur dan maju tiba-tiba, kemudian mundur dan maju lagi untuk mengecup bibir pantai.
Mungkin ia adalah perjaka yang merindukan hutan perawan dibalik gunung-gunung yang membentengi awan. Sementara langit menopang cerita dari atas, sambil sesekali menyusupkan lesatan meteor yang hancur akibat larinya.
Kini dunia khayalan terpenjara dalam kristal-kristal mineral yang membeku akibat suramnya cuaca. Raja siang menghambat asa untuk bergegas, menyelamatkan bumi yang sementara sekarat, namun dengan sisa-sisa penghabisan, masih menyisakan setitik kenangan untuk kita ingat.
Tempat yang kusebut rumah, 22 April 2015.
4 notes
·
View notes
Text
EC of Detective Buran : Edisi Ulang tahun La Fitt
Jam sebelas malam, La Fitt menemukan kejanggalan yang terjadi di ruang latihannya di lantai 11. Lampu studio tempatnya memperagakan gerakan tarian bersandi mendadak padam dan secara teknis mengakhiri lantunan A Midsummer’s Night Dream karya Mendelsshon yang mengiringi latihannya. Berusaha tenang, ia meraba dinding untuk menemukan pintu sebab tidak ada satupun sumber cahaya lain di dalam ruangan sepuluh kali sepuluh meter itu. Sayangnya, ketika ia menggeser pintu, ternyata lampu koridor tetap bersinar terang benderang dan lenggang seperti biasa.
Dengan kepala yang masih melonggok keluar studio, tangannya menekan sakelar berulang kali memastikan bahwa hanya sedikit gangguan elektrik yang menginterupsi kegiatan rutinnya tiga kali seminggu ini. Namun bohlam lampu tetap enggan menyala, hingga pada ke-sekian kalinya La Fitt menekan sakelar, terdengar bunyi ledakan kecil yang sontak menyebabkan penerangan di sepanjang koridor ikut padam.
Wajah La Fitt pucat pasi, tak ada yang tahu bahwa dibalik wajah Kolumbianya yang tegas nan eksotik dengan perkakas rempong ala Lara Croft, ia sangat takut terhadap ruangan gelap. Maka dari itu, sebisa mungkin, La Fitt hanya menangani kasus yang memungkinkan dirinya berada di tengah keramaian. Dulu, ketika masih kecil, La Fitt pernah menjadi korban perdagangan anak yang hendak diselundupkan ke Amerika melalui Meksiko. Selama beberapa hari, gadis kecil itu disekap dalam gerbong kereta api bersama puluhan anak-anak lainnya. Tapi ia berhasil melarikan diri dan akhirnya hidup menggelandang hingga suatu hari, La Fitt berhasil disertakan dalam karnaval Rio De Jeneiro dengan mengenakan kostum Ratu Belut Amazon yang berwarna hijau mencolok. Bakatnya dalam hal tari-menari memang tidak dapat diragukan lagi, dan dengan segera, karirnya melesat di Brazil sebagai balerina walaupun La Fitt menguasai hampir seluruh macam gaya gerakan tarian pada umumnya.
Kini, dua hal yang membuat ia panik dengan sukses : Kegelapan dan ledakan sakelar yang menyebabkan seluruh akses di markas Buran putus mendadak. Sambil meraih sport bag-nya dengan gegabah, La Fitt mengambil langkah seribu mencari tangga darurat dan mengandalkan cahaya screen ponselnya. Sebenarnya, di setiap lantai, tersedia perlengkapan emergency yang dapat terbuka secara otomatis. Di dalamnya terdapat senter, kotak P3K, oksigen kaleng, bahkan tabung pemadam kebakaran. Namun ia tak mampu berpikir jernih dengan trauma yang memancing kenangan pahit yang pernah dirasakannya dulu.
Krkkk... krkkk...
Bunyi sebuah benda bergesekan membuat La Fitt menahan nafas tepat ketika ia hampir menjangkau pintu menuju tangga darurat. Pelan-pelan ia menempelkan punggungnya pada tembok dan berusaha tidak menghasilkan suara apapun.
Hening.
Beberapa detik kemudian, La Fitt mendengar sesuatu yang berasal dari studionya. Alunan lirih musik klasik dari komposer Tchaikovsky yang ternama dan begitu familiar di telinganya, The Nutcracker. Bukankah listriknya sedang padam?
Kemana semua orang? Takkah ada yang bisa menolongku diatas sini?! Seru La Fitt dalam hati. Ia menyadari rambut di tengkuknya meremang. Segala doa kini dirapalkannya komat-kamit tanpa henti. Tapi akhirnya ia menyadari sesuatu, Ini pasti ulah Buana dan Raza! Lihat saja, aku akan balik mengerjai mereka!
Kecurigaan itu memberi keberanian penuh pada La Fitt hingga dengan geram ia kembali berjalan di studio sebab ingin menangkap basah dua peneror yang usil itu dan menggeser pintunya keras-keras, “HEI! Buana dan Raza! Akan kubalas kalian!” tegurnya galak. Namun studio itu masih gelap dan musiknya telah berhenti. La Fitt mengarahkan screen ponselnya ke seluruh bagian ruangan dan rasanya tidak ada yang berubah sedari tadi. Ia menunggu ada gerakan ceroboh dari Buana dan Raza, tapi hingga semenit kemudian, lampu-lampu kembali menyala dan tidak ada seorang pun disana selain La Fitt sendiri.
Tak perlu menghitung instruksi satu sampai tiga, tubuh La Fitt seakan terbang menuju kamar tidurnya akibat ketakutan.
Keesokan pagi, “SELAMAT ULANG TAHUN, LA FITT!!!” ia dihujani ucapan dan kado dari rekan-rekannya, termasuk Buana dan Raza yang melompat keatas tempat tidur. Kamar La Fitt penuh oleh orang-orang yang mendesak ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Bahkan Bos Charabipa termasuk yang paling ngotot dengan gerakannya yang selincah ulat jambu, “La Fitt! Aku bangga padamu! Ayo traktir kami karaoke!”
“Traktir?! Setelah kalian menerorku tadi malam?! Jangan harap!” La Fitt memonyongkan bibir dengan wajah ngambek. “Ide siapa itu?! Aku akan memberinya pelajaran...”
Keriuhan itu lenyap, para agen memasang tampang tidak mengerti. Buana mengendikkan bahunya, “Teror apa? Kami sedang sibuk di tempat tidur masing-masing, kelelahan. Kerjaan kami banyak, La Fitto. Kau saja yang aneh, menari hingga tengah malam.”
“Jangan bohong, kalian mau menakut-nakutiku dengan mematikan lampu di seluruh lantai lalu memainkan musik klasik dari studio!”
Raza melemparkan pandangan menyelidik pada semua orang yang hadir disitu, “Apakah ada dari kalian yang masih bergentayangan jam 11 malam di markas? Aku sih sudah teler waktu itu.” Gayanya benar-benar kelihatan tak bersalah.
Mahmoud, seorang staf IT yang berasal dari Kuwait angkat bicara, “Aku begadang hingga subuh, dan kupastikan listrik tak pernah padam barang sedetik pun.”
Kening Buana berkerut, “Tanggal sebelas, lantai sebelas, dan jam sebelas malam. Maaf, Linda. Kami tak ada sangkut pautnya dengan ide konyol itu. Jika kami yang melakukannya, seseorang akan mengaku pagi ini... Kami bersumpah!” Yang lain pun ikut mengangguk setuju.
...
La Fitt menelan ludah, lantas... jika bukan mereka, ulah siapa itu tadi malam?!!!
6 notes
·
View notes
Text
Ada Yang Menyisip Daun Sirih Ke Dalam Peti

Temanku, kematian adalah bayangan kita sendiri. Sejauh kita memiliki bayangan sejauh itu pula kematian mengikuti kita. Ia adalah sahabat paling karib. Bahkan jauh lebih karib dari pada kita berdua. Tapi, aku tak menyangka ia akan menjemputmu secepat ini. Perjalananmu hanyalah dari muka bumi ke dalam tanah. Tapi, betapa menyedihkan perjalanan itu. Kini, aku hanya bisa berdiri di bawah pohon mangga. Kakiku belum terlalu kuat untuk kulangkahkan ke dalam rumah. Dulu, ketika ayahku meninggal, kau menghiburku dengan cerita-cerita yang awalnya tak pernah kupercaya. Tentang orang mati yang hidup kembali setelah jenasahnya dilewati seekor kucing, tentang jiwa orang mati yang bisa berbicara dengan perantaraan tubuh lain, atau tentang indahnya Rai Kmaus[1] , tempat semua jiwa berkumpul. “Manek, tak usah lagi kau menangis. Harusnya kau senang karena Ama akan sangat berbahagia di sana.” “Berbahagia seperti apa, Ulu?” “Kata orang, di sana setiap jiwa hanya perlu memasak nasi sebutir untuk waktu yang lama. Kalau kau ingin makan dagingpun, hidangan itu akan langsung tersedia dihadapanmu.” “Apakah nanti aku juga akan ke sana, Ulu?” “Bisa saja. Asalkan kau tak boleh mati tenggelam dalam banjir, nyaris seperti kemarin. Haha…” Kau bisa saja tertawa waktu itu dengan pengetahuanmu, Ulu, tapi keajaibanmu sewaktu kecil membuatku selalu terperangah. Kaupun selalu bisa menjadi bocah ajaib yang melindungiku. Dari hal yang paling kecil seperti digigit kalajengking atau ketika aku hampir tenggelam dalam banjir. Selalu ada kau yang mengajarkanku bagaimana mengoles ludah sendiri pada bekas gigitan kalajengking dan juga cara mengapungkan diri ketika banjir hampir menenggelamkanku. Mendengar kematianmu adalah hal paling mustahil yang harus kuterima. Seingatku tak ada yang ganjil sore itu. Hanya ada kita bertiga; Ikun, kau, dan aku. Aku masih ingat Ikunlah yang menuangkan tuak yang kurendam dengan tangkur buaya ke gelas kalian berdua. Aku tak bisa minum bersama kalian. Ketika istriku membawakan botol tuak itu, iapun mengingatkanku untuk berpantang. Sehingga aku hanya melihat kau dan Ikun menghabiskan isi botol itu sampai kalian pulang dalam keadaan mabuk berat. Keesokan harinya, Bui Bete mengatakan padaku kalau kau sedang sakit keras sehingga tak bisa bersamaku ke kebun. Begitupula dengan Ikun. Namun, sakitnya tidak lebih parah dari pada sakitmu. Hari berikutnya, orang-orang mulai memberitakan di seluruh kampung kalau kau mati keracunan. Ah, aku masih belum percaya kalau kau mati. Lagi pula siapa yang tega meracunimu?
*** Suamiku, kematian mungkin adalah jalan lain menuju kehidupan baru. Meskipun hanya pergi ke Rai Balu[2], tapi betapa jauhnya jarak antara yang fana dan yang baka. Memang kita baru bisa bergerak kalau ada jarak, tapi jarak yang diciptakan kematian dan kehidupan tak bisa dihubungkan oleh apapun. Kecuali cinta. Mencintaimu adalah karunia terindah dari Madomik Hun[3] untukku. Menemui di bawah pohon mangga setiap kali senja turun adalah kewajiban yang kulakukan dengan senang hati. Masih nyata kuingat ketika di bawah pohon mangga yang dililitkan batang sirih, kau menanyakanku perihal sirih itu sendiri.
“Bete, tolong ambilkan aku satu daun dari pohon ini?”
“Daun yang mana, Ulu? Mangga?
“Bukan, daun sirih.”
“Kenapa harus daun sirih?”
“Dulu, ketika leluhur kita turun di kampung ini dari sebuah tempat bernama keabadian, tanaman yang pertama-tama mereka tanam adalah sirih. Daun sirih mereka pakai sebagai isyarat maaf dan ampun karena kejahatan selalu ada di bumi. Dan juga untuk mengusir mual, karena di tempat kita ini waktu diciptakan dan batas antara degup hidup dan mati yang menanti itu menjadi jelas.”
“Kalau daun sirih untuk mengusir mual pada waktu hidup, apa gunanya ketika mati?”
“Kita bisa saja menyumpah orang untuk mati dengan daun sirih ini. Begitulah yang dikatakan orang-orang tua.”
Ah, Sayangku. Mengingatmu adalah satu-satunya pekerjaan terberat yang harus kulakukan sambil menangis. Tapi kau perlu tahu hal ini. Pada malam itu ketika kau pulang dari kebun, Ikunlah yang mengantarmu. Ia bilang kalau sepulang kebun, kalian singgah beristirahat di rumah Manek sambil meminum tuak yang ia suguhkan pada kalian. Saat itu, kau minum terlalu banyak sehingga Ikun harus membopongmu pulang sementara iapun dalam keadaan mabuk.
Kalau saja kau sadar keesokan harinya maka itu bukan masalah. Tapi setelah kejadian itu, kau malah jatuh sakit. Seluruh tubuhmu menguning. Dari kuku kaki sampai kedua bola matamu. Penasaran akan hal itu, akupun mengunjungi Ikun. Iapun sakit tapi tubuhnya tak sampai menguning sepertimu. Ikunpun bercerita kalau sore itu hanya kalian berdua yang minum tuak. Sedangkan Manek sendiri, tak pernah menyentuh botol tuak dengan tangannya apalagi gelas dengan bibirnya.
Sakitmu tak kunjung sembuh, malah kau makin lumpuh. Tak ada ramuan yang berhasil memulihkanmu. Kau akhirnya meninggal. Tak ada alasan lain untuk mencurigai orang lain. Aku yakin Maneklah yang meracunimu. Di rumahnya. Tak ada alasan yang lebih cocok bagi Manek, temanmu yang paling akrab untuk meracunimu selain iri hati. Kau selalu lebih dalam hal apapun darinya. Kau lebih cerdas darinya. Panenanmu lebih berhasil. Warisanmu berlimpah. Keluarga kita sejahtera. Maka menghilangkanmu dari dunia merupakan cara terbaik baginya untuk mendatangkan dukacita atas keluarga kita.
Sekarang kulihat dia di luar sana, Sayang. Ia datang untuk mengantar lun no klenas [4] di hari kematianmu. Tapi aku yakin, ia tak benar-benar bersedih. Jauh dalam hatinya ia bersukacita atas kematianmu. Dukacitanya adalah kegembiraan yang ia selubungi dengan air mata.
Maka, tenanglah di sini. Bagaimanapun juga, dendam tercipta untuk dibalaskan. Terlalu pedih bila kebenaran ini kusimpan sendiri. Aku akan mengganti kuning di matamu dengan membubuhkan juga kuning di matanya. Aku hanya butuh sehelai daun yang melilit di pohon mangga kita itu. Daun sirih. *** Kakakku, setiap orang yang hidup sudah cukup tua untuk dijemput maut. Maka aku tak pernah mau menangisi kematian seorangpun di sini. Entah itu orang tua kita ataupun dirimu. Kematianmu adalah sukacita paling semarak untukku. Karena itu, aku tak ingin hadir pada pemakamanmu. Mungkin suatu saat ketika orang sudah melupakanmu sebagai pemegang harta warisan terbanyak, baru saat itulah aku akan merayakan kematianmu dengan segenap penghulu iblis.
Kakak, tahukah kau kalau istriku paling sering mengomeliku karena harta paling banyak diwariskan padamu? Tahukah kau kalau anak-anakku sering menjadi cemoohan tetangga karena tidak bisa mempunyai peralatan seperti yang dimiliki anak-anakmu padahal kita masih keluarga? Tahukah kau kalau aku sendiri merasa diri tak berarti karena pada umurku yang setua ini masih dianggap menggantungkan hidup padamu? Maka untuk membuatmu tahu, aku harus membunuhmu.
Sebenarnya, sore itu bukanlah waktu yang pas bagiku untuk menghabisi nyawamu. Tapi kau tahu, memendam dendam itu seperti meminum segelas racun dengan harapan membunuh orang lain.[5] Dendam harus hilang. Meracunimu adalah cara terbaik untuk menghilangkan dendam. Lalu aku yakin sore itu adalah waktu yang paling tepat.
Aku tahu, Manek tak mungkin minum bersama kita sore itu. Ia diminta meminum beberapa ramuan untuk mencegah sakitnya yang menjalar. Minum tuak merupakan pantangan baginya. Dengan memintamu untuk singgah sebentar di rumahnya, aku tahu kalau ajalmu sudah mendekat. Kita duduk di pendopo, ketika Manek sedang berbicara dengan istrinya. Lalu kau bangkit berdiri dan mengeratkan tali pada ikatan kayu bakar yang kau bawa dari kebun. Dengan pelan kutuangkan beberapa tetes racun yang selalu kubawa kemanapun juga untuk berjaga-jaga ke dalam botol tuak yang berisi tangkur buaya itu. Aku senang ketika dengan rasa haus paling purba kau menegak habis tiap gelas yang kusodorkan padamu.
Akupun turut minum, Kakakku. Tapi kenapa aku tidak mati? Betapa bodohnya aku bila memiliki racun tanpa mempunyai penawar. Tubuhku memang sakit karena meminum racun itu, tapi penawarnya membuatku bisa benar-benar sembuh. Aku senang ketika istrimu datang menjengukku yang sedang sakit di rumahku. Aku tahu dengan begitu ia tak akan mencurigaiku sebagai satu-satunya orang yang tega meracunimu. Dengan begitupula, istrimu hanya bisa menaruh kecurigaan pada satu-satunya orang yang paling karib denganmu. Manek.
Kakakku, ah masih layakkah aku memanggilmu kakak setelah semua yang kulakukan padamu? *** Sayang, tak ada yang bisa menggantikanmu. Aku belum rela kehilanganmu. Masih banyak yang tugasku yang belum selesai kutunaikan. Anak-anak kita masih membutuhkan sosok ayah, sedangkan aku belum terlalu kuat untuk memikul beban ini. Anak-anak barangkali rela untuk disebut yatim dan aku untuk dipanggil janda tapi celakalah orang yang membuat kami demikian.
Lihat, Sayang! Manek mengantarkan lun no klenas. Ia pikir aku tak bisa melihat iblis di balik wajah malaikatnya. Senyumnya harus berhenti hari ini. Biar istri dan anak-anaknyapun turut merasakan penderitaan yang kita tanggung ini. Mata mesti ganti mata, bukan?
Aku telah menyuruh Berek, anak kita untuk memetik beberapa lembar daun sirih. Aku masih ingat kata-katamu dulu. Kita bisa saja menyumpah orang untuk mati dengan daun sirih ini. Akupun tahu cara melakukannya dengan baik setelah beberapa kali kudesak orang-orang tua untuk menceritakannya. Ya, aku akan melakukannya dengan baik kali ini.
*** Ulu, istrimu dengan setia meratapimu dari samping peti seolah-olah ialah yang paling kehilanganmu. Tidak, Ulu. Aku. Akulah yang paling kehilanganmu. Ia mengenalmu ketika kau tahu apa itu cinta, tapi aku mengenalmu ketika kita baru belajar mengeja nama mama. Sedangkan Ikun? Aku tak melihatnya di sini. Hanya istri dan anaknya. Apa yang terjadi padanya sampai-sampai tak bisa mengikuti penguburanmu? Apakah kau punya masalah dengannya?
Kini aku datang ke depanmu membawa lun no klenas. Ketika memasuki rumahmu, pandangan setiap orang seperti menghakimiku. Sedangkan, istrimu bahkan tak mau menatapku apalagi menjemputku dengan beberapa lembar kain yang kubawa. Aneh. Di ruangan ini udara tak hanya meniupkan aroma duka tapi juga dendam. Pasti ada yang salah di sini.
Kusodorkan bawaanku pada istrimu, tapi tiba-tiba matamu terbelalak. Langsung mengarah kepadaku. Dengan tanganmu yang dingin, kau cengkeram tanganku. Kuat sekali. Orang-orang berlari keluar. Mereka berteriak seperti kerasukan setan. Keluargamu menangis menjadi-jadi. Hanya istrimu yang tak beranjak dari samping petimu. Kau tarik tanganku sampai-sampai tubuhku tertarik dan jatuh terjerembab ke dalam peti. Sepintas kulihat daun sirih di dalam petimu. Ini keramat. Lalu aura hidupku seperti melesap dalam tatapanmu. Mataku gelap, telingaku senyap. Dan semuanya berubah.
Lasiana, November-Desember 2012
Keterangan (dari Bahasa Tetun): [1] Rai Kmaus: Tanah Sukacita (Surga) [2] Rai Balu: Tanah Seberang (Surga) [3] Madomik Hun: Sumber Cinta Kasih [4] Lun no klenas: Pengganti air mata [5] Kutipan puisi M Aan Mansyur berjudul ‘Melihat Peta.’
2 notes
·
View notes
Photo

Apa kau percaya jika satu hati hanya diciptakan untuk satu cinta? Barangkali beruntung orang-orang yang bisa jatuh cinta beberapa kali dalam hidupnya. Tetapi aku yakin, lebih beruntung mereka yang sanggup menghabiskan hidupnya dengan satu orang yang dicintai dan mencintainya. 4 Musim Cinta adalah sebuah novel yang bertutur tentang lika-liku kehidupan cinta empat birokrat muda: satu wanita, tiga pria. Gayatri, wanita Bali yang merasa berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya. Gafur, pria Makassar yang menjalin kasih dengan seorang barista asal Sunda yang enggan menikah. Pring, pria Palembang yang nikah muda tetapi harus terpisah jauh dari istrinya karena tugas negara. Arga, pria Jawa yang selalu gagal menjalin hubungan dengan wanita. Mereka bertemu dan saling berbagi rahasia. Tak disangka, setiap rahasia kemudian menjadi benih-benih rindu yang terlarang. Persahabatan, cinta, dan kesetiaan pun dipertaruhkan.
Paperback, 332
pagesPublished March 13th 2015 by Exchange
Harga Rp59.500,-
2 notes
·
View notes
Text
Pulang
Hatiku bersamanya, tetapi pikiranku adalah yahudi terkutuk yang berjalan, tak sampai-sampai
hingga malam demi malam hanya untuk sebuah gerhana penuh berwarna merah darah
yang kemudian dikhianati mendung hanya seekor burung muda tersesat di langit, terbang, tak tahu pulang
Hatiku bersamanya, tetapi pikiranku begitu muda, ingat pulang tapi tak punya tempat.
5 notes
·
View notes
Text
Teluk Lalong
Mungkin hanya debur ombak kecil yang tahu apa itu lengang. Sepi di jam-jam insomnia yang panjang.
Di dingin yang paling, ia kerap mendengar bisikan yang lebih mirip desis. Menggerogoti kedua telinganya sampai matahari kembali.
Di trotoar selalu ada bayangan-bayangan yang menyatu, bergerak sebentar-sebentar, sepelan napas. Di meja dan kursi yang tak sedang diduduki, ia selalu menangkap sisa-sisa suara yang amat lirih.
Ia dan gelap menggelar percakapan-percakapan yang lebih riuh dari konser musik. Seringkali tentang sepasang mata yang memeram nafsu atau gincu merah tua yang membawa-bawa dosa di kukunya.
Tapi di sini, di teluk yang menyaji kesenangan di atasnya, ada yang senantiasa jatuh, terbawa riak—terbawa punggung rapuhnya; malam-malam sebelumnya dan hal-hal yang akhirnya disebut silam.
2 notes
·
View notes