ansefast
ansefast
Cerita
810 posts
Memaknai hidup dengan narasi
Don't wanna be here? Send us removal request.
ansefast · 6 days ago
Text
sangat cinta
dulu saya punya prinsip bahwa mencintai pasangan (halal) itu secukupnya saja. alasannya, saya melihat bahwa mereka yang sangat menyayangi pasangannya bisa menjadi sangat hancur ketika ada hal-hal yang tidak sesuai harapan. semakin cinta artinya harus semakin siap kalau-kalau tersakiti. kalau tidak mau tersakiti, jangan terlalu cinta.
setelah saya belajar lagi, ternyata mencintai pasangan itu justru harus sangat. harus brutal. harus ugal-ugalan. harus benar-benar segenap jiwa raga hati hidup mati. harus sampai pada titik: pasangan kita pasti ada celanya, tetapi rasa sayang kita jauh lebih besar dari cela itu sehingga yang buruk itu tidak ada artinya. mawaddah.
Tumblr media
dari titik nggak cinta ke titik kecintaan, di sana yang ada adalah nafsu. dari titik kecintaan ke titik mawaddah, barulah di sana ada cinta. memang, apa bedanya cinta dan nafsu? cinta itu mendorong kita menjadi versi terbaik, sedangkan nafsu menjerumuskan kita kepada perbuatan maksiat.
satu-satunya cara agar cinta (dan bukan nafsu) yang hadir adalah dengan melibatkan Allah. dan satu-satunya syarat Allah bisa terlibat adalah cinta itu harus halal dalam pernikahan. dalam pernikahan, mencintai dengan sangat adalah tanggung jawab yang menikah tidak hanya kepada satu sama lain, tetapi juga kepada Allah.
Tumblr media
tentang konsep mawaddah ini, kadang ada juga yang salah paham. dikiranya, karena pasangan kita sudah "wadud" kepada kita, kita jadi bisa seenaknya. kita jadi percaya diri bahwa pasangan kita tidak mungkin sakit hati. tidak begitu ya. perlu kesalingan untuk menghadirkan pernikahan yang mawaddah.
salah paham berikutnya, karena kita "wadud", kita rela diperlakukan seenaknya. tidak begitu ya. mawaddah itu mengurangi / meniadakan dampak patah hati saat ada yang tak sesuai harapan. yang tidak ada artinya itu patah hatinya. tetapi, mawaddah tidak meniadakan hal-hal yang memang perlu diperbaiki. kebaikan yang ada di tengah keburukan itu adalah kesempatan memaafkan. intinya, setiap pihak yang menikah harus terus berupaya memperbaiki diri---agar pasangan kita tidak perlu patah hati.
cintailah pasanganmu dengan sangat. dengan brutal. dengan ugal-ugalan. boronglah semua bahasa cinta. termasuk bahasa cinta yang keenam: tak perlu meminta. termasuk bahasa cinta yang ketujuh---bahasa cinta yang paling penting: melibatkan Allah.
373 notes · View notes
ansefast · 6 days ago
Text
Masa Muda
Kamu mungkin akan bertemu dengan orang yang kamu kira akan menjadi pasangan hidupmu, ternyata tidak. Kamu bersedih. Tapi ketahuilah, nanti kamu akan tahu kenapa kamu tidak dengannya. Nanti. Setelah kamu melewati waktu beberapa tahun ke depan. Kamu mungkin akan bertemu dengan pekerjaan yang kamu rasa cocok, tapi nanti kamu akan ketemu sama pertanyaan mendalam : apakah kamu akan menjalani hal itu seterusnya dan selamanya, seumur hidupmu? Lalu kamu akan mulai berpikir bercabang-cabang karena pekerjaan yang kamu dapatkan sebelum kamu berkeluarga itu ternyata seberpengaruh itu pada keputusan-keputusan besarmu yang lain, seperti tinggal dimana, nikah sama siapa. Kamu mungkin akan ketemu sama hal-hal yang kamu rasa adalah petunjuk, tapi ternyata adalah ujian. Sama halnya dengan orang-orang yang hadir dalam hidup kita, banyak diantara mereka yang datang sebagai ujian, hanya sedikit sekali yang menjadi karib, dan hanya satu saja yang menjadi pasangan hidup. Saat itu kamu begitu berapi-api seolah semua hal akan sesuai dengan sangkamu, tapi ternyata kamu terjerumus pada ujian yang membuatmu kelelahan badan dan pikiran. Kamu bersedih. Tapi ketahuilah, ujian itulah yang nanti akan menjawab pertanyaanmu kenapa orang dewasa/orang tua itu bisa lebih bijaksana.
Kamu mungkin akan ketemu sama hal-hal yang di luar nalarmu. Seperti kamu hari ini, yang tengah berdiri pada apa-apa yang telah kamu raih dan memang ada juga yang belum berhasil kamu raih. Tapi sadar nggak, kalau kamu bisa berjalan dan bertahan sejauh ini saja udah merupakan pencapaian yang luar biasa di tengah semua dinamika hidup yang kamu jalani. (c)kurniawangunadi
422 notes · View notes
ansefast · 5 months ago
Text
Kalau kita diminta bersabar menunggu sesuatu, dan ternyata ketika tiba diujungnya ternyata sesuatu itu gagal kita miliki, maka sebenarnya, kita sudah sukses. Kita sudah sukses bersabar. Itulah hakikat bersabar. Tidak ada korelasi dengan jadi atau tidak jadinya kita memiliki sesuatu.
Darwis Tere Liye
115 notes · View notes
ansefast · 6 months ago
Text
"Cari kebahagiaan yang lain."
Ada dua akun sosmed yang suka aku ikuti: Dokter Tono di Instagram dan Dokter Amira di TikTok. Dokter Tono adalah konsulen fertilitas yang praktik di RS Limijati Bandung, sedangkan Dokter Amira adalah satu-satunya dokter spesialis kandungan di Fakfak, Papua Barat. Dua dokter spesialis kandungan dengan konten yang isinya bumi dan langit.
Kalau liat konten Dokter Tono, mayoritas isinya adalah para pasutri yang sudah menikah lama dan sedang berikhtiar untuk bisa mempunyai anak. Sudah berkeliling ke banyak tempat dan dokter, sampai ke luar negeri segala, tapi masih belum dapat anak juga. Sedangkan isi konten Dokter Amira mayoritas adalah anak-anak di bawah umur yang datang dengan beragam penyakit menular seksual, hamil di luar nikah, sudah aktif berhubungan seksual sejak umur belasan tahun, ibu yang datang dengan pendarahan hebat karena sudah hamil ke-5 atau lebih karena suami masih mau punya anak laki-laki, serta berbagai macam kasus kegawatdaruratan persalinan yang sungguh bikin prihatin.
Akhir-akhir ini konten Dokter Tono banyak yang isinya adalah beliau menyampaikan dengan lugas bahwa ya, memang, pasangan yang datang tidak bisa mempunyai anak. Entah rahimnya sudah rusak, ovum sudah tidak terlihat, menopause dini, sperma suami yang juga jelek - kondisi-kondisi dimana usaha bayi tabung seperti apapun, secara sains, tidak akan bisa berhasil. Hanya akan menghabiskan uang saja, dan entah kesedihan seperti apa yang akan datang dari kegagalan demi kegagalan yang mungkin datang.
Dan ada satu kalimat yang sering beliau ucapkan setelah menyampaikan putusan menyedihkan itu: "Cari kebahagiaan yang lain, ya."
Itu, juga saran untuk meningkatkan kualitas hidup - entah dengan operasi besar untuk angkat rahim supaya tidak sakit setiap bulannya, untuk menikmati waktu bersama pasangan, atau cari cara lain untuk punya keturunan seperti melalui proses adopsi.
Kadang ucapan itu disampaikan sambil beliau bilang: "Jangan nangis dulu..." karena gak terbayang juga sih seperti apa rasa kecewanya, bahwa harapan yang masih dijaga untuk tetap ada itu pada akhirnya harus dipadamkan juga. Ada yang sudah belasan tahun menikah, ada yang umur masih awal 30-an, ada yang sudah gagal bayi tabung berkali-kali.
Tapi sebenarnya apa sih, kebahagiaan yang lain itu? Kata 'kebahagiaan' dan juga 'yang lain', sepertinya bukan dua frasa yang bisa disandingkan untuk diterima seseorang dengan mudah dan hati yang lapang. Karena tetap saja, ketika kita sudah mendefinisikan kebahagiaan yang lain, kebahagiaan itu tetaplah bukan kebahagiaan 'yang itu'. Dalam konteks kehidupan yang lain, misalkan anak SMA yang gagal SNMPTN untuk masuk ke universitas yang dia idamkan - dan dia harus mencari universitas 'yang lain'. Tentu, bisa saja ternyata universitas itu adalah pilihan yang lebih baik untuknya, tapi tetap saja itu bukan universitas 'yang itu'. Atau ketika seseorang masih mencintai seorang yang lain, tapi hubungan itu harus berakhir mengecewakan dan dia harus mencari orang 'yang lain', tapi tetap saja orang itu adalah bukan orang 'yang itu'..
Kalimat "Cari kebahagiaan yang lain" itu singkat saja, tidak bertele-tele, tapi implikasinya panjang. Ada keikhlasan yang harus diusahakan, ada mimpi-mimpi yang harus dilepaskan, dan ada jalan-jalan lain dan cerita hidup lain yang harus dicari, untuk diterima. Agar mungkin, suatu hari nanti kehidupan 'yang lain' itu adalah kehidupan yang bahagia, yang bisa terbebas dari perandaian mengenai situasi kehidupan 'yang itu'.
51 notes · View notes
ansefast · 6 months ago
Text
Segala yang gagal bukan karena Allah tak sayang, melainkan karena memang kamu belum membutuhkan.
Allah tahu kapan do'a-do'amu harus diberi saat ini juga, diiyakan tapi nanti tunggu sebentar atau diganti dengan yang lebih indah dari yang kamu minta.
321 notes · View notes
ansefast · 8 months ago
Text
Tidak Sesempit Itu
Dua pekan lalu, aku hadir dalam sebuah temu virtual. Dalam sesi tersebut, dibahas tentang bagaimana pentingnya memperkuat ibadah, bukan hanya tentang yang wajib, namun juga yang sunnah.
Di sesi itu, aku menyempatkan diri bertanya.
"Mbak, gimana sih caranya mengembalikan ritme ibadah setelah futur dalam waktu yang lama? Seperti aku yang secara ibadah nggak bisa semudah dulu saat sebelum menikah ataupun punya anak."
Saat itu pertanyaanku dijawab dengan,
"Intinya, di saat kita merasa futur, ada yang tidak baik-baik saja, langsung gempur dengan ibadah. Dengan tilawah misalnya."
"Memang setiap fase baru, ketika kita mendapatkan suatu amanah baru, cenderung kita akan mengalami penurunan atau futur. Amanah apa pun."
Seketika aku teringat. Iya ya. Entah itu aku yang berubah status dari anak SMA ke anak kuliah, dari kuliah ke sekolah profesi, dari sekolah profesi ke bekerja.. masa-masa futur dalam peralihannya selalu ada.
"..Dan cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan menyegerakan ibadah."
Dijawab seperti itu, ada rasa bersalah menggelayut di hati.
Ah, aku memang kurang bersegera ya....
Melihat kilas balikku beberapa tahun ini dengan amanah baru.. aku merasa masih stagnan dalam hal ibadah. Padahal, ketika dulu sebelum menerima amanah untuk menjadi seorang istri dan ibu, rasanya tak kurang-kurang ikhtiar dan doa yang dilakukan supaya Allah lekaskan, Allah lancarkan.
Aku merasa bersalah, maaf ya Allah...
Usai temu virtual, aku menerima pesan di gawai.
"Bismillah. Mau nambahi jawaban tadi.
Jadi emang ada masa “ibu rentan depresi karena meerasa ibadahnya nggak semantep masih gadis”
Tapiiiii, Allah baik banget mai. Kita nyiapin makanan untuk keluarga juga bisa jadi ibadah, diniatin untuk nabung amal sholih. Sambil “dikejar” kuantitas ibadah yg pernah dilakuin semasa gadis 🥰"
Aku membalasnya dengan emoji menangis.
Aku tersadar. Selama ini aku memandang ibadah hanya sebatas dalam konteks ritual. Sholat, mengaji, bersedekah, puasa, dll.
Aku tahu bahwa mengurus rumah tangga dan mengasuh anak juga adalah bagian dari ibadah. Tapi, kurasa kesalahanku disini adalah, tidak menganggap aktivitas rumah tangga sebagai ibadah yang setara dengan ibadah ritual.
Ya Allah, maafkan aku..
Setelah ini, kuniatkan untuk lebih berkesadaran. Menyadari bahwa dalam setiap aktivitasku saat ini adalah bagian dari ibadah, bentuk penghambaan diri kepada Allah. Semoga, itu membuatku lebih lapang untuk menikmati ritme hidupku sekarang.
Benar. Makna ibadah tidak sesempit itu.
Ya Allah, maafkan diri yang sudah berburuk sangka.
Seringkali aku lupa, sempitnya hidup yang dirasa, itu karena hati yang terbatas dalam memaknai peristiwa.
Sementara karunia Allah, terlampau lapang untuk ternodai dengan buruknya prasangka manusia.
83 notes · View notes
ansefast · 9 months ago
Text
Membaca Pertanda
Ya Allah, jika kebaikan itu benar-benar akan datang, mudahkanlah kami untuk memiliki kepekaan dalam membaca pertandanya. Pertanda yang benar pertanda, bukan yang samar dan meragukan namun kami mengiranya sebagai pertanda. Sebab, sudah berulang kali kami keliru membaca pertanda, menanti-nanti kebaikan sambil membuka pintu yang sangat lebar, tapi ternyata ia belum kunjung datang.
Ya Allah, jika kebaikan itu benar-benar sedang Engkau perjalankan menuju kami, mudahkanlah kami untuk untuk memiliki kelembutan hati dalam membaca pertandanya. Sehingga kami menunggunya dengan tenang, bukan dengan gusar dan penuh keresahan. Sebab, sudah berulang kali kami lelah dengan diri kami sendiri, yang semakin tergilas oleh rasa tidak sabar yang perlahan menghancurkan diri kami dari dalam.
Ya Allah, jika kebaikan itu benar-benar Engkau izinkan untuk bisa kami terima di dunia, mudahkanlah kami untuk mengilmui apa-apa yang menjadi sebab baiknya penerimaan kami terhadap kedatangannya. Sebab, kami tidak ingin hanya terdorong oleh keinginan yang besar akan datangnya kebaikan itu padahal ilmu kami nol besar. Titipkan dan karuniakanlah kepada kami pemahaman dan pemaknaan yang lurus, agar kebahagiaan yang datang menyertai kebaikan itu tidak lantas membuat kami tersesat dalam riuhnya kesementaraan perasaan kami.
Ya Allah, jika kebaikan itu benar-benar akan menjadi takdir baik sekaligus penyejuk bagi hati kami, mudahkanlah kami untuk mampu mengenali tanda-tandanya pada diri kami. Izinkanlah kebaikan itu hadir dalam bentuk, rupa, dan kondisi yang paling prima, yang karena kedatangannya kami dapat berbahagia namun kebahagiaan itu mewujud dalam bentuk lainnya: ketenangan, ketaatan, dan kesediaan untuk tetap mau berserah diri kepada-Mu sekalipun kami tengah berbahagia.
271 notes · View notes
ansefast · 9 months ago
Text
Jalan Pulang, Jalan Pengabdian
"Dia mah enak, suaminya perhatian." "Dia mah enak, meski udah nikah masih dibolehin sekolah tinggi dan ngejalanin bisnis." "Dia mah enak, nggak tau tuh dia gimana rasanya menunggu kehadiran anak." "Dia mah enak, mertuanya baik." "Dia mah enak …"
Hayo, apa lagi yang biasanya memenuhi pikiran kita ketika melihat pernikahan atau keluarga orang lain? Kalau kita list terus, panjang dan nggak akan beres-beres nggak, sih? Hehe.
Harus kita akui, terkadang hati kita menjadi kecil ketika melihat bagaimana Allah menghadirkan kebaikan-kebaikan-Nya pada keluarga lain. Dari jauh kita mengira bahwa pasti keluarga tersebut sudah berada pada puncak bahagianya. Kita jadi lupa bahwa di saat yang sama Allah juga sedang (dan akan selalu) menghadirkan kebaikan pada keluarga kita. Sayangnya, syukur kita biasanya jadi terkikis ketika di benak kita terbersit satu kalimat mematikan, "Tapi bukan yang begini yang aku mau, Ya Allah." Padahal,
Tumblr media
Kita ambil satu contoh yaitu istri yang suaminya baik dan perhatian. Dengan atau tanpa ia sadari, sejatinya itulah peluang amal shalih sekaligus ujian baginya. Apakah ia mampu taat atau justru jadi berbuat seenaknya kepada suaminya? Begitu pun dengan takdir-takdir yang lain.
Kuncinya adalah terkoneksinya jiwa kita kepada Allah dalam memaknai apapun yang ditakdirkan-Nya untuk keluarga kita.
Sebab, takdir-takdir itulah yang memang perlu kita tempuh dalam rangka mengabdi kepada Allah dan menjemput kepulangan terbaik kita. Bukankah ujung dari perjalanan keluarga adalah terselamatkannya diri dan keluarga dari api neraka?
Hari ini, mungkin ada banyak diantara kita yang sedang sekuat hati berusaha mencintai takdir yang digariskan-Nya. Tidak mengapa, mari kita lanjutkan usaha mencintai itu. Sebab suatu hari nanti, insyaAllah kita akan benar-benar mencintainya. Ia tidak pernah dimaksudkan-Nya untuk mengantar kita kemana-mana selain kepada sebersih-bersihnya jiwa menuju jalan pulang yang sebenarnya.
Wallahu 'alam bishawab.
101 notes · View notes
ansefast · 11 months ago
Text
Kita Tidak Akan Pernah Memahami Tentang Menerima Sampai Kita Menjalaninya
Sudah lebih dari dua pekan tulisan ini diendapkan di dalam pikiran. Awalnya ragu untuk dituliskan karena khawatir ada salah pikir di dalamnya. Tetapi, saya rasa saya memang butuh menulis untuk menguraikannya, berharap tulisan ini menjadi diskusi dengan para pembaca dan juga menjadi teman berproses bagi siapa saja yang saat ini sedang berlelah-lelah dalam berproses menerima. Baca sampai selesai supaya tidak salah paham, ya. Bismillah ...
Tumblr media
Ada banyak hal di dalam hidup yang tidak akan pernah kita pahami sebelum kita benar-benar menghadapi dan menjalaninya. Salah satunya adalah acceptance atau penerimaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa itu menerima? Bagaimana caranya untuk menerima?" rupanya hanya akan bisa seutuhnya terjawab ketika kita sudah pernah memproseskan diri untuk melakukan penerimaan.
Iya, penerimaan pada akhirnya bukanlah tentang suatu konsep atau teori yang bisa kita hafalkan untuk memahaminya, sebab kita harus menjalaninya.
Itulah yang belakangan ini menjadi sebuah kesimpulan diri bagi saya selepas menjumpai hari-hari yang berat. Seperti yang sudah bisa ditebak, saat hari-hari berat itu sedang hadir, penerimaan nyatanya juga hadir sebagai PR besar, and I wasn't have any clue to solve those kind of things. Dalam kondisi seperti itu, nasehat-nasehat baik seperti "Kamu seharusnya bersyukur. Kamu itu tidak menerima ketetapan Allah." terasa seperti belati yang menyakitkan. Alih-alih menyemangati dan membuat saya menemukan insight baik, saya justru semakin ingin melawan! Saya pikir, mengapa orang lain begitu sulit berempati dan membaca situasi sehingga kalimat-kalimat seperti ini harus dikatakan di saat-saat yang tidak tepat?
Di saat yang sama, isi kepala saya yang hening seketika berubah menjadi sangat riuh. Peperangan terjadi antara sisi diri saya yang mengatakan, "Sudahlah, didengarkan saja. Itu kan benar." dengan sisi diri saya yang lain yang mengatakan, "Nggak, itu salah! The things is not about acceptance and gratitude. Saya ini sedang sedih, bukan sedang tidak bersyukur. Saya juga sedang marah dan kecewa, bukan sedang tidak percaya kepada Allah sehingga enggan menerima ketetapan-Nya." Tetapi, saya terus mengevaluasi cara berpikir saya ini hingga akhirnya saya menemukan sebuah insight bahwa,
Tidak pernah ada yang salah dengan konsep bersyukur dan menerima ketetapan Allah. Saya pun mengimani bahwa dua hal itu memanglah menjadi kebutuhan jiwa kita sekaligus juga merupakan sikap terbaik seorang hamba kepada Rabb-Nya. Hanya saja ...
Saat ujiannya sedang hadir sebegitu hebatnya, saat tangis sedang deras-derasnya, juga saat rasa sakit sedang terasa sakit-sakitnya, rupanya yang saya butuhkan adalah berproses untuk menerima sepenuh utuh apa yang menjadi ketetapan-Nya. Di dalam menjalani proses itu, yang saya butuhkan adalah rangkulan, bukan nasehat-nasehat idealis yang bisa menutup jalur komunikasi hingga saya jadi tidak ingin bercerita lagi.
Saat itu, sambil menata apa yang ada di hati dan pikiran, saya teringat pada sebuah materi yang yang pernah saya buat untuk sebuah kelas. Salah satu kata kunci dari materi itu adalah bahwa penerimaan adalah proses yang aktif. Lewat berbagai ujian kemarin, rupanya Allah ingin memahamkan saya lebih dalam tentang "proses yang aktif" ini. Lalu, apa yang saya dapatkan? Penerimaan itu, setidaknya bagi saya, adalah proses yang seperti apa?
Pertama, dalam proses menerima itu ternyata kita tidak selalu bisa langsung berhasil. Terkadang kita harus bertemu dulu dengan kegagalan. Kita mungkin saja semakin sedih, semakin marah, semakin kecewa, dsb namun semua perasaan yang semakin menjadi-jadi itu biasanya akan menghantarkan kita pada sebuah titik dimana kita akan menyerah, mentok, hingga akhirnya pelan-pelan memilih untuk berserah, "Oke ya Allah, aku ikut apa mau-Mu."
Kedua, dalam proses menerima akan terjadi berbagai dialog di dalam diri, "Kayaknya gini, deh! Eh tapi nggak, yang benar itu ... Tapi gimana kalau ..." dst. Saat itu terjadi, it's okay, nikmati saja prosesnya dengan tetap banyak beristighfar kepada Allah dan meminta-Nya menunjukkann kepada kita cara berpikir yang benar.
Ketiga, proses menerima itu tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali diri kita sendiri karena ia adalah urusan personal, subjektif, dan merupakan perjalanan diri yang Allah berikan khusus untuk diri kita. Meski kita dan seseorang yang lain sedang berproses untuk menerima satu ketetapan yang sama, proses di dalam dirinya pasti berbeda. So hang in there, sampai kita menyadari bahwa satu-satunya yang bisa menolong kita hanya Allah saja.
Keempat, dalam proses menerima akan ada banyak warna perasaan yang bermain. Menyadarinya itu baik, merasakan apa yang kita rasakan juga baik, tetapi jangan sampai kita merelakan diri kita untuk dipimpin oleh perasaan-perasaan kita. Sebab, jika itu terjadi, kita sudah kalah.
Kelima dan yang paling utama, ternyata yang paling kita butuhkan dalam berproses untuk menerima ketetapan Allah adalah petunjuk-Nya. Hanya dengan petunjuk Allah kita bisa luluh, lapang, hingga akhirnya menerima.
Well, sampai kapanpun, rupanya proses menerima akan selalu menjadi pembelajaran bagi diri kita. Masalahnya, hal-hal yang harus kita terima di dalam hidup selalu berganti-ganti: beberapa hal mungkin sudah kita selesaikan sehingga tidak lagi menjadi isu di dalam diri (bahkan mungkin sudah menjadi hikmah yang kita kantongi), namun, bukankah beberapa yang lain masih menyisakan rasa berat dan meminta kita untuk berproses dalam menerimanya?
Teruslah berproses. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk-Nya di dalam jiwa kita. Wallahu 'alam bishawab.
PS. Jika teman-teman butuh berdiskusi tentang ini, boleh ask question via Inbox di Tumblr ini, ya.
185 notes · View notes
ansefast · 11 months ago
Text
Orang bilang, berdirilah di atas kakimu sendiri
Tapi gimana kalau kaki kita luka sampai nggak sanggup berdiri?
Orang bilang, nikmatilah lukamu itu
Tapi kalau terlalu perih, aku harus bagaimana?
Orang bilang, selalu ada Tuhan yang punya skenario terindah
kalau itu aku percaya,
kalau nggak sama Tuhan… mau ke siapa lagi aku gantungin hidupku
kalau nggak karena Tuhan, aku sudah hancur dari dulu
Dipikir-pikir, semua kekuatan itu…
Emang dari Tuhan ya?
Kita bisa apa..
358 notes · View notes
ansefast · 1 year ago
Text
Melihat Pernikahan dengan Lebih Nyata Barangkali, terkadang, kita perlu mengisi otak kita dengan banyak kenyataan. Kenyataan yang menyadarkan. Optimis itu perlu. Tetapi, membuka mata lebar-lebar juga sama perlunya. Supaya kita tak terlalu naif pada kehidupan ini yang berisi banyak kisah dan kenyataan Bahwa tak semua orang baik ternyata, tak semua keadaannya ideal tak semua kenyataan membahagiakan Supaya kita siap mental dan menguatkan lagi pondasi kita dan lebih siap lagi dalam melangkah kedepan Hari ini aku membaca banyak kisah di Quora, hanya dari trigger 2 pertanyaan. Pertama, bagaimana rasanya menjadi single di usia almost atau lebih dari xx tahun? Kedua, apakah kamu menyesal karena telah memutuskan menikah? Diluar ekspektasiku, ternyata lebih banyak yang menyesal dan cerita-ceritanya banyak yang bikin istighfar. Oke, terimalah itu sebagai kenyataan bahwa memang banyak yang tidak ideal Kemudian lebih dari itu, apa yang membuat mereka menyesal? tentu aku ingin tau poin atau polanya. Bisa jadi pembelajaran. Beberapa poin: - perselingkuhan (baik yang dilakukan suami maupun istri) - belum selesai dengan masa lalu, membanding-bandingkan - suami kecanduan judi online, games - suami tidak pengertian, menganggap istri terlalu manja - ternyata suaminya gay - suami tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya - suami masih menginginkan kebebasan seperti dia masih lajang (tanpa batasan) - suami suka chatan dengan lawan jenis, masih suka menggoda perempuan lain di tempat kerja, menggunakan aplikasi dating bahkan pesan, mohon maaf, PSK - suami temperamen, maen pukul dll (berkaitan juga dengan kecanduan judi, ekonomi) - salah satu pihak (suami atau istri) menganggap sebuah masalah kecil namun dibesar-besarkan - istri tidak punya sifat keibuan dan tidak menjalankan perannya sebagai istri - masalah ekonomi, tidak ada peningkatan taraf kehidupan Yang banyak membuat menyesal adalah karena mereka masih denial, belum legowo, masih berpikir "seharusnya, seharusnya, dan seharusnya". Pikiran itu yang mengungkung diri mereka sendiri. - Seharusnya aku tidak menikah terlalu muda - Seharusnya dulu aku meneruskan karirku - Seharusnya dulu aku nggak ikut apa kata suamiku untuk resign, sekarang aku diselingkuhi - Aku melihat temanku yang seusiaku masih bisa haha hihi kesana kemari, masih bisa nabung, kalo aku nggak nikah duluan dan langsung punya anak, mungkin aku kayak mereka * di poin ini aku takut dan semakin tidak ingin menunjukkan apapun di muka publik. Karena ternyata apa yang kita tak terpikirkan sebelumnya ternyata bisa menjadi potensi hasad dan iri bagi mereka yang keadaannya sebaliknya dengan kita. Mungkin bukan maksud mereka demikian, tetapi hati tidak akan bisa dibohongi. Yang menjawab tidak menyesal - di awal mereka menjelaskan bahwa di awal memang berat, masih adaptasi. Keyakinan bahwa pernikahan itu sedang menuju kebahagiaan (baik di dunia maupun di akhirat ) yang membuat bertahan Sifat dan sikap yang membuat bertahan: - Suami yang pengertian, berusaha membuat istri nyaman - Istri yang juga pengertian, berusaha juga membuat suami nyaman (dengan penataan rumah, dengan makanan, dengan pelayanan) Poin simpulan: menikah dengan orang yang tepat adalah kunci pertama, jadi, identifikasi dulu. Identifikasi kebutuhan diri, dan identifikasi calon pasangan. Menikahlah dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab dan konsekuensinya. Ada tantangan lebih, ada juga kebahagiaan lebih.
Semoga kita bisa belajar. Dan tidak menjadi salah satu bagian dari sebab penyesalan. Sebaliknya, justru jadi sebab syukur dan menjadi salah satu keputusan terbaik dari kehidupan seseorang.
485 notes · View notes
ansefast · 1 year ago
Text
Tak semua siap menjadi tempatmu berkeluh kesah. Tak semua siap menerima lukamu. Tak semua siap mendengar riuh di kepalamu. Manusia ada kalanya bosan. Manusia ada kalanya sibuk dengan waktunya. Pada akhirnya kamulah yang harus benar-benar menyayangi dirimu. Pada akhirnya kamulah yang harus benar-benar menghormati dirimu.
@terusberanjak
370 notes · View notes
ansefast · 2 years ago
Text
Pada akhirnya, orang yang kita butuhkan bukanlah ia yang pandai berbicara di depan umum, bukanlah ia yang mahir berstrategi dalam berorganisasi, bukanlah ia yang memiliki capaian prestasi gemilang. Bukan. Tapi ia yang bisa menghargaimu, sesederhana apapun. Tapi ia yang bisa mendengarkanmu, tanpa judgement. Dia yang bisa mengayomi tanpa kamu merasa didominasi. Dia yang bisa mengarahkanmu tanpa kamu merasa ragu utk dibersamai. Iya, kan?
Berbicara di depan umum bisa dipelajari, namun mengerti cara untuk menghargai adalah bagian dari pribadi. Nanti, semoga kita dipertemukan, ya. Aku pun masih banyak belajar.
456 notes · View notes
ansefast · 2 years ago
Text
Tiba masanya merasakan apa yang dulu pernah dinasihatkan ke orang lain. Dan seperti biasa, nasihat-nasihat yang pernah terucap, nyatanya akan selalu diuji di kemudian hari. Mampukah kita melakukan, menerapkan, mengamalkannya dengan baik? 
22 notes · View notes
ansefast · 2 years ago
Note
Kak, apa harapan kakak kepada calon istrinya kelak?
HARAPAN KEPADA DIA
Harapan itu apa yang bisa menjangkau. Ada jembatan relasi yang mempertemukan. Karena saat ini jembatan itu belum ada, tentu harapan saya belum terbentuk. Apalah lagi calonnya masih berterbangan. Entah, lagi berputar-putar di mana?
Tapi harapan kepada diri sendiri, tentu ada. Dan itu yang lebih saya utamakan. Harapan agar saya tetap komitmen dalam nilai-nilai agama; harapan agar saya tetap menjaga diri menjadi pribadi yang baik dan memperbaiki; harapan agar saya terus berada dalam lingkaran yang baik-baik.
Sebab, dia adalah proyeksi dari apa yang ada dalam diri. Saya mengambil jalan kesederhanaan, pun saya ingin dia begitu. Saya memilih jalan keberkahan, tentu saya ingin dia meniti jalan yang sama. Saya berupaya komitmen pada perbaikan diri, pun tentu dia akan begitu. Jadi, ketimbang saya melempar harapan kepada dia, saya memilih untuk memulainya lebih dahulu. Bukankah, sekali lagi, pasangan kita adalah proyeksi diri kita?
54 notes · View notes
ansefast · 2 years ago
Text
menikah (dan punya anak), mengorbankan jati diri?
Sebelum saya menikah, saya sering berpikir kalau saya tipe perempuan ‘yang sulit dinikahi’. Kurang wife-able. “Emang ada yang mau sama cewek yang suka ngobrolin isu-isu sosial dan makroekonomi cem aku? Apakah perempuan itu utamanya untuk dipandang, daripada dijadiin tandem diskusi?”
Tumblr media
Nengok sana-sini, teman-teman perempuan yang lebih cepat menikah, mostly nggak kayak saya (mostly yang saya observe ya, bukan berarti representasi keadaan sesungguhnya). Bukan tipe penantang diskusi belibet kayak saya. Tapii, da atuh saya ingin menikah, hehe Akhirnya saya berdoa. Minta diberikan suami yang bisa saling menghebatkan potensi satu sama lain, berlandaskan ridhaNya. Ingin suami seperti sahabat. Saya merasa doa saya dikabulkan, bahkan pengabulannya lebih baik dari doa saya. Sepanjang pernikahan, selain diskusi soal “Kapan cucian mau dijemur?”, “Sayang aku cantik nggak sih?”(hahaa), kami cukup intens berdiskusi soal isu-isu sosial dan politik. Rasanya seruu. Jati diri saya seolah menemukan rumah. Bahkan, akhir-akhir ini kepikiran ide-ide kolab seru bareng suami.
Sedangkan saya belajar juga, para pribadi yang bisa menyelaraskan jati diri dan panggilan jiwanya dengan tugas sebagai orangtua, justru menginspirasi anaknya.
Apakah berarti tidak berkorban sama sekali? Tentu, ada pengorbanan, termasuk berpikir keras, diskusi alot, nangis-nangis, hingga istikharah berkali-kali– gimana potensi dan jati diri saya ini bisa di-adjust dengan peran utama saya sebagai istri dan ibu.
Tapi mengorbankan keinginan dan ego dalam pernikahan bukanlah mengorbankan jati diri.
Anggaplah jati diri kita adalah bongkahan batu– dimana menikah, memilki anak, ikhtiar penyelarasan, serta tawakkal makin mengamplas batunya menjadi intan yang berkilau terang.
Your truest you to the next level. Wallahu'alam.
*Ilustrasi dari sini.
113 notes · View notes
ansefast · 2 years ago
Text
Tersambar Nasihat Lama
@edgarhamas
Adakah prinsip baik yang dulu kau yakini, namun makin bertambah umurmu kau mulai melupakannya?
Beberapa malam lalu, seorang guru membahas satu hal sederhana. Tapi bagiku ia bagai sambaran petir luarbiasa. Tausiyah itu berjudul: "Uluwwul Himmah", semangat yang tinggi.
"Kita tidak bangkit dan maju, karena himmah kita receh. Semangat kita redup", sebuah kalimat yang sebenarnya biasa, tapi ia menggugat kepala para manusia dewasa yang mulai menyerah pada mimpi-mimpinya.
Untuk bersemangat saja, banyak di antara kita yang mulai enggan.
Sihir rutinitas membuat kita mati rasa. Semangat besar yang dulu pernah berkobar bahkan kita senyumi sinis karena kita menganggapnya polos dan tak berguna. Beberapa di antara kita, sekadar semangat saja sudah tak punya. Apatah lagi untuk menyelesaikan impian dengan sempurna.
Dulu, kita yakin betul dengan mimpi. Dulu, kita antuasias untuk lakukan banyak hal dengan penuh energi.
Ya, aku tahu realitas membuat kita kaku. Kenyataan meremukkan ekspektasi. Komentar orang membuat kita enggan mencoba lagi. Tapi, apa cuma segitu kita pernah punya nyali?
Tausiyah malam itu, tentang "Uluwwul Himmah", tentang memiliki semangat nan tinggi untuk mewujudkan hal besar. Itu kan yang sering kita bahas ketika masih berseragam putih abu-abu? Ia hadir lagi menggedor pikiran dewasamu yang mulai menjalani hidup sekadarnya saja.
Pantas saja ada orang yang hidupnya hanya sampai usia dua puluh lima, tapi baru dikubur ketika umurnya tujuh puluh lima.
Mari merenung kembali atas perjalanan yang sudah lumayan jauh ini. Adakah ia telah menyerah; atau masih yakin dan punya kemauan mengubah keadaan?
281 notes · View notes