Sebab Kepergian Tidak Pernah Ramah Untuk Hidup Seseorang.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Nayla
Aku panggil dia,
Memecah keseunyian yang selama ini merekam teras batin. aku sebut dia pada doa - doa malamku agar lah nyenyak pada lelipuran meski dunia semakin keras dan deras
Ku percayakan hati juga biduk Pelabuhan rasa menganyam kehidupan
Lihatlah, lampu tiang penghujung kota yang semakin berkarat. Fly over Pettarani yang suaramu keras akibat pertengkaran dengan teman sekostmu saksi kenangan melintas begitu saja....
Masihkah ingat kita membagi cerita dilorong jalan malam singgah pada secangkir kopi Hangat kita memeluknya dalam cerita tak biasa. Lalu menjadi nada pada seduhan pertamanya
Binar mata yang tak lagi asing, kamu mencuri hati ini.
0 notes
Text
Cerpen Romi Afriadi
SEBUAH Gubuk, tengah malam.
Waktu semakin mendekati ke titik dini hari. Suasana begitu mencekam oleh lolongan suara binatang yang membuat bulu kuduk berdiri. Angin bertiup dingin seperti mengabarkan cerita menakutkan orang-orang tua dulu yang mengisahkan tentang hantu dalam acara mendongeng sebelum tidur. Suasana buruk itu hanya tertolong oleh sayup suara gong dan calempong yang terdengar dari celah-celah pintu gubuk, tapi apakah benar itu dibunyikan oleh manusia yang hidup di sekitar kampung ini, atau justru sebangsa jin? Konon, di perkampungan ini jika ada orang yang meninggal, para sanak keluarga yang telah terlebih dahulu meninggal akan melakukan upacara penyambutan layaknya manusia yang berpesta.
Mendung semakin pekat menggantung di langit hutan itu, perhiasan langit tak berdaya menampakkan sinarnya ke permukaan. Redup. Serupa hatiku yang gundah.
Dalam suasana kemuraman dan kebingungan, aku mengambil dompet dan mengeluarkan dua helai foto yang semakin lusuh. Foto klasik yang selalu setia menemani setiap langkahku.
Foto pertama, foto aku dengan seorang wanita berkebaya merah muda yang tersenyum penuh bahagia saat hari pernikahan kami. Pesta sederhana serupa cinta kami yang memang sederhana sedari awal. Aku mengenalnya saat dia bekerja di salah kedai fotokopi di tepian Sungai Siak, di mana aku sering mampir untuk menggandakan berbagai dokumen yang berkaitan dengan pekerjaanku sebagai jurnalis di salah satu media lokal. Kami jarang bercakap, tapi diam-diam tahu saling menyukai, hingga suatu hari ketika aku pulang kampung ke rumah orangtuaku di daerah Kampar, aku mengutarakan niat untuk menikah dan melamarnya ke rumah orangtuanya di Sabak Auh.
Setelah menikah kami tinggal di sebuah kontrakan di kawasan Mempura sambil tetap melanjutkan pekerjaan masing-masing. Kadangkala setelah selesai meliput dan mengejar berita, aku kerap mengajaknya naik speedboat berdua saja, menyusuri sungai terdalam di Indonesia itu yang senantiasa keruh dalam berbagai musim. Bercengkerama, tertawa riang, menyaksikan sunset sembari menikmati es kelapa muda.
Aku menyimpan kembali foto itu, karena tak ingin terlalu lama hanyut dalam lautan nostalgia, hanya akan membuat luka. Sebab, wanita itu kini telah pergi. Selanjutnya aku beralih menatap foto kedua, sebuah foto keluarga.
Foto itu diabadikan ketika momen Hari Raya Idul Fitri, aku berdiri di dekat ibu, di samping kiri-kanan berjejer para saudara dan sepupu, dan di belakang kami nampak gagah para orangtua dan sesepuh. Pandanganku tertuju pada dua sosok yang amat memengaruhi kehidupanku. Ayah dan Kakek. Mereka berdua adalah representasi dari apa yang ada pada diriku sekarang. Keras kepala, tak menurut pada kebijakan serta berbicara dengan intonasi yang tinggi, merupakan watak dan karakter yang aku warisi dari mereka.
Ketika masih muda, Ayah adalah seorang yang tak mau diatur perihal aturan yang melenceng, kerap mengkritik kebijakan adat, saat para tetua adat ingin menjual tanah ulayat kepada orang asing dan hasilnya dijadikan kepentingan pribadi. Ayah adalah orang yang paling vokal menyerukan perlawanan. Begitupun saat para pimpinan desa bersepakat untuk mengadakan acara jalang menjalang sehabis hari raya Idul Fitri sementara posisi pucuk adat mengalami kekosongan, Ayah pula yang mengorganisasikan pemuda untuk menggagalkan itu. Dia tak ubahnya aktivis adat.
“Bagaimana mungkin kita menyetujui acara jalang-menjalang itu, jika kita sendiri tak punya pimpinan adat.” Ayah memprotes keras. “Jika acara ini dibiarkan berlangsung, alamat kehancuran akan menghantam negeri ini.”
“Adat itu mengandung ajaran murni yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai warisan kuat yang dipegang oleh masyarakat.” Ayah pernah menyampaikan itu suatu waktu padaku. “Para pemegang jabatan adat zaman kini tak lagi paham jalur adat yang benar, dan sialnya mereka tidak mau belajar.”
“Adat adalah pintu suci yang hanya bisa dimasuki oleh orang yang hatinya bersih, adat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama. Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah.”
Jeda sejenak.
“Jadi sebetulnya adat dan syari’at itu adalah dua hal yang saling melengkapi dalam tatanan kehidupan masyarakat.”
Pertentangan Ayah dengan pemangku jabatan adat memang pernah memanas dan jadi catatan sejarah yang diingat generasi setelahnya. Sehari sebelum acara jalang menjalang diadakan, terjadi rapat dan dialog yang menegangkan antara kedua kelompok. Permasalahannya sebetulnya sedikit saja namun itu memberikan jurang perbedaan yang begitu lebar. Ninik mamak dan para dedengkotnya tetap mengesahkan acara jalang menjalang karena pada zaman sekarang bisa menjadi daya tarik masyarakat luar serta memang sudah jadi kebiasaan turun-temurun yang yang patut dilestarikan. Sementara Ayah dan kelompoknya menganggap acara jalang-menjalang tidak bisa diadakan mengingat tahun ini formasi adat tidak lengkap.
“Dalam Kenegerian kita ada Suku Domo, Pitopang, Piliang, dan Melayu. Setiap suku itu ada bagian-bagiannya, andai salah satu saja dari bagian itu yang hilang, tak bisa selenggarakan hajatan ini,” ujar Ayah berapi-api.
***
SEMENTARA kakek lain lagi. Dia adalah pemimpin adat pada masanya. Dia terkenal jujur dan disegani serta dihormati orang-orang di kampung. Tapi sebanyak-banyak orang sayang, sebanyak itu pula orang yang benci. Begitulah yang dialami Kakek, akhir karirnya sebagai pemimipin tertinggi adat terpaksa berakhir tragis akibat sekelompok orang yang tidak menyukai gaya kepemimpinannya. Dia didakwa melakukan perbuatan kriminal, suatu hal yang bahkan tak pernah diniatkannya secuil pun.
Kejadiannya bermula, ketika Kakek berusaha menyelamatkan karet yang hanyut di sungai, dia berpikiran ini pastilah milik seorang warga yang siap panen. Tanpa memikirkan banyak hal, Kakek menyelamatkan karet itu dan berniat memberikan kepada pemiliknya yang merasa kehilangan. Namun, siapa sangka itu adalah taktik licik seorang pengkhianat yang ingin menjatuhkannya. Kakek diadili lalu diputuskan diberhentikan sebagai pimpinan adat di kampung kami.
“Seorang pencuri tidak layak memegang pucuk adat,” hardik orang-orang kampung.
“Pekerjaan mencuri bukanlah contoh yang baik bagi seorang pemimpin adat,” tambah yang lain.
Tanpa bisa mengutarakan pembelaan, Kakek dipecat dalam sidang adat itu.
***
BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya.
Dulu, aku tidak begitu percaya dengan ungkapan itu, kupikir setiap manusia punya ciri khas masing-masing yang tak mungkin di samai oleh orang lain, kendati itu anak atau keturunan dibawahnya. Sekarang aku sepertinya harus meralat pemikiran itu. Apa yang dialami Kakek dan Ayah seperti kembali terjadi padaku layaknya Dejavu, suatu titisan itu beranak-pinak dan turun temurun yang harus aku pikul. Aku menyebutnya darah pembangkang.
Pembangkangan pertama yang kulakukan adalah ketika SMA karena berani mendebat seorang guru sejarah. Guru itu bersikeras bahwa Islam itu pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M, sementara aku mengemukakan pendapat Islam itu sudah ada di Indonesia sekitar abad ke 7 M. Dia tidak menerima hal itu, dan aku di skorsing satu minggu dari sekolah. Kejadian itu membuatku merasa tidak mendapat keadilan. Hukum selalu tidak berpihak pada orang kecil, seperti dalam kasus tersebut. Murid tak akan menang melawan guru, kendati guru itu salah. Dalam contoh lain, para penguasa tak akan kalah oleh buruh, si miskin tak akan menang dari si kaya, atau para pemimpin akan selalu jumawa jika melawan rakyatnya.
Sikap pembangkangan itu berlanjut saat akau masuk perguruan tinggi, semakin banyak dan sering saja aku melihat ketidakadilan dan ketidakberesan di lingkungan kampus. Seperti kebijakan Rektor yang salah, proyek yang tak pernah selesai bahkan ketika anggaran dananya sudah mencapai milyaran rupiah, atau organisasi arogan yang menggaungkan konsep syariah tapi anggotanya sibuk pacaran diam-diam.
Semasa kuliah, aku lebih sering jadi penghuni sanggar seni sambil membaca buku filsafat karangan Karl Marx atau Lenin, dari pada tatap muka di kelas dengan dosen. Sesekali jika ada kejanggalan, aku menjadi otak untuk menyerukan perlawanan dengan mengajak sesama mahasiswa untuk demo demi memperjuangkan keadilan. Akibat ulah itu, tak sedikit ancaman yang kuterima, dan puncaknya aku menerima surat pemberhentian secara tidak terhormat karena dianggap mengganggu kestabilan kampus.
Pemecatan dari kampus, tak lantas membuatku diam, beberapa bulan setelahnya aku diterima sebagai wartawan di sebuah koran lokal berkat bantuan seorang kakak tingkat yang menjadi wakil redaktur di media tersebut. Otomatis itu menjadi berkah terselubung bagiku untuk mencurahkan ide dan menyuarakan ketidakadilan lewat tinta. Berbagai artikel dan berita yang kutulis selalu tentang rakyat kecil yang tak mendapatkan perlakuan semestinya dari penguasa sendiri.
Akibat berita tersebut aku banyak mendapat apresiasi dari rekan wartawan karena keberanianku mendobrak kenyamanan para penguasa. Tapi sebaliknya aku jadi tidak disukai oleh para pejabat dan menganggapku sebagai musuh. Hingga kini cap sebagai pembangkang masih melekat pada diriku yang membuat aku lari dari hutan ke hutan. Seperti sekarang, saat aku terpaksa bersembunyi di hutan pedalaman ini.
***
SEBUAH sinar berkelabat dari kejauhan, makin lama cahaya itu semakin terang yang diikuti suara gemerisik dedaunan dan ranting. Jantungku semakin kencang tertompa dan tepat ketika pintu reot gubuk itu dihantam rubuh, sepasang pistol colt mengarah tepat kepadaku. Tak lama berselang, dua orang berseragam meringkusku dengan mudah, mataku di tutup dan semuanya gelap.
***
DI SEL penjara berukuran tiga kali lima meter, aku di kurung dengan tangan di ikat ke atas. Setelah siuman dari pingsan akibat siksaan yang dilancarkan Polisi keparat itu, bau pengap dan pesing menyeruak dan aku kembali mendapat interogasi.
“Sebetulnya apa yang sedang kau cari dalam hidupmu?”
Suara itu, samar-samar aku merasa pernah mendengarnya.
“Apa yang sedang kau perjuangkan sebenarnya?”
Aku masih tak lupa, suara itu adalah suara seorang pejabat di DPR yang pernah dulu aku kritisi.
Dengan masih sempoyongan, aku membuka mata perlahan, terlihat jelas seringai licik pejabat brengsek itu, begitu khas. Dia tertawa, menampar pipi dan wajahku, yang semakin membuatku muak melihat tampangnya.
“Andai saja kau mau sedikit mengerem mulut lancangmu itu, tentu kau tidak akan bernasib seperti ini.” Pejabat itu terkekeh.
“Kebenaran akan tetap hidup di hati sebagian orang.” Aku berkata lirih, tawa keras pejabat itu semakin keras.
“Taik kucing itu semua, kebenaran sudah mati dalam benak penguasa!” balasnya.
“Tidak semua pejabat itu seperti Anda.”
Raut muka pejabat itu semakin memerah, ekspresi kemarahan tergambar jelas di matanya. Dia mengeluarkan sepucuk pistol dari saku jasnya. Aku menatap adegan itu dengan hati yang berdebar-debar. Apakah aku akan mati hari ini? Aku tak punya cukup waktu untuk memikirkannya.
“Apa kau punya pesan terakhir?”
Pejabat itu mulai mengarahkan pistolnya tepat di kepalaku, menempelnya persis di pelipis mataku. Aku membisu, napasku semakin tak menentu, aku tak tahu entah berapa detik lagi aku bisa bernapas. Aku memejamkan mata. Gelap. Seperti inikah manusia mati? Lalu aku ingat Ayah dan Kakek, mereka terlahir sebagai pembangkang, sama sepertiku, keras kepala, kerap melawan aturan. Tapi mereka tetap mati dalam keadaan tenang di samping para keluarga, disalatkan dan dikebumikan dengan layak. Hal yang sepertinya tidak berlaku bagiku.(*)
Biodata:
ROMI AFRIADI. Lahir di Desa Tanjung, Kampar, Riau, 26 November 1991. Menamatkan studi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Mulai suka membaca ketika kuliah setelah menyelesaikan sebuah novel di perpustakaan kampus, semenjak itu dia ketagihan membaca novel dan karya sastra lainnya.
Selain ingin terus menulis dan menerbitkan buku-buku bagus, ia juga menyimpan sebuah cita-cita kecil yang kelak ingin diwujudkannya yakni mempunyai lapangan sepakbola sendiri.
Saat ini, penulis tinggal di Desa Tanjung dengan mengabdi di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di sebuah SSB, sambil sesekali tetap menulis apa saja yang menurutnya penting.
Penulis bisa dihubungi lewat email: [email protected] atau akun
0 notes
Text
CAKADES di gedung PKK
Di sebuah ruang banyak orang yang nantinya terpilih sebagai pemenang dalam pesta demokrasi. Tampak muka berseri-seri setiap saat melempar senyum diantara kerumunan.
Saya salah satu dari orang banyak itu namun bedanya saya hadir sebagai penonton dalam debat tersebut, maklum saya hoby mendengar bahasa politik.
Diantara menunggu giliran untuk pemaparan visi dan misi salah seorang calon menerima telpon dari anaknya melalui telpon selularnya saya begitu terharu kepada seorang tersebut yang tidak saya kenal namanya, yahhh saya dengar suara anak perempuan diprediksi umur anak tersebut sekitar 4-5 tahun. Dalam percakapannya saya dengar anak tersebut menanyakan
"ayah kapan pulang"? -Belum nak ayah masih menunggu giliran.
Suatu kata-kata seorang orang tua kepada anaknya, saya tidak kenal Orang tersebut tapi siapapun dia semoga saja punya kesempatan mengabdi kepada desanya. hehehe.
Bahasa kasih sayang yang beliau keluarkan untuk anak perempuannya saya menganggap bahwa sebuah desa perlu di besarkan dari kebesaran hati dan kasih sayang antara masyarakat ke pemimpinnya, Begitupun sebaliknya.
Saya bersyukur kepada orang tersebut darinya saya pelajari bahwa apapun keadaan tetap menjadi ayah yang punya tanggung jawab kepada keluarga.
0 notes
Text
S3LAMAT TIDUR
Tidur adalah saat di mana manusia tampil apa adanya. Hanya di situlah kita benar-benar berhenti berpura pura.
0 notes
Text
HARUS KAMU.
Perjalananku aku tidak mau jadi baling2 kapal yang menyakiti arus.
Aku pergi, bila harus jadi penakut aku juga tidak rela jika kamu hidup di antara banyak ragu.
Di permohonan yang kerap ku adukan pada malam2 banyak aku begitu takut tanpa kamu. Aku tidak mau jadi dadu pada perasaan yang ku buat menebak banyak angka di atasnya.
Aku memang mencintaimu. Malam ini aku mengelabui rasa rindu dalam bentuk doa yang palung sunyi. Aku paham bukan aku pilahanmu. Di depan doa aku tidak pernah malu membanggakanmu meski rasa sakit selalu di suguhkan di meja harap.
Bukan.
Bukan kamu yang menyakitiku namun perasaan yang di buat sendiri pemiliknya. Aku tidak pandai berbohong. Di dekapmu aku hanya bisa jadi anak2 yang fakir rasa sayang. Tanpa mu aku kapal, nahkoda yang keliru baca kompas.
0 notes
Text
Sungguh aku ingin membangun sebuah istana ciuman di lapang dadamu yang masih rimbun akan semak-semak. Yang ragu memilih mati.
Istrahat lebih lama di bibirmu yang kaku merayakan kecupan. Lalu bersedia luruh lalu mati di matamu sebagai sunyi.
Setiap hal di genggam takdir. Aku sakit yang suka kau lukai. Suatu nanti akan Ku Buat kan kamu puisi yang tidak melibatkan rasa sesak agar kamu bisa membacanya sambil tersenyum dan aku siap menjadi perihal-perihal yang layak kau lupakan.
Aku memilih mati.
Dan setelahnya jasad ku akan datang sesekali di ruang rindu. Menghabiskan percakapan yang tidak pernah selesai tentang siapa yang paling sibuk menyakiti hatinya masing-masing.
0 notes
Text
Jika nanti kamu baca tulisan ini janganlah merasa bersalah!!!
Hey puan,
Dalam tulisan ini aku tidak perlu bahas bagaimana kita saling menginginkan. Sudah berapa banyak kenangan yang kamu rindukan tentang kita? Bagaimana hari-harimu ketika tekad mu bulat untuk jauh dariku?
Kenapa kamu takut atas ketidakjelasan ku tentang yang ingin menjadi KITA. Bukankah setiap orang berhak untuk masa depannya.
Kenapa kamu menjadi takut? Aku mencintaimu sudah jadi tugasku untuk membuat mu bahagia.
0 notes
Text
Perspektif
Pengen sekali-kali nonton film seorang anak yang durhaka sama orang tua tapi endingnya si anak hidup bahagia dan si orang tua menderita dikarenakan si orang tua sadar dia salah mendidik.
0 notes
Text
Aku memang mencintaimu; tapi aku, mana mungkin memaksamu untuk mencintaiku.
Kekasih, percayalah ...
Aku tak sejahat itu, perihal cinta itu adalah urusan kalbumu;
Dan biarkan aku tetap sibuk dalam mencintaimu, sepanjang waktu: selalu, kamu.
@Topleskue
0 notes
Text
ANDAI KAU TAHU.
Pernah tahu bagaimana rasanya dicintai?
Ketika seseorang mau menerimamu dalam keadaan yang agaknya belum ideal. Tapi dia bersedia bersiap bersamamu untuk menyongsong hari esok yang separuh jelas, separuh samar.
Pernah tahu bagaimana rasanya ditunggu?
Ketika seseorang selalu di sana bertahan melawan bosan dan ketidakpastian, juga pikiran-pikiran untuk meninggalkan dan berlalu. Sedangkan orang yang ditunggu merasa malu karena hal-hal yang separuh sepele, separuh serius.
Pernah tahu rasanya menemukan?
Suatu proses yang berbelok liku tapi sebenarnya sederhana, karena jalan dan pilihan-pilihan yang telah berlalu dan terlalui semuanya bermuara pada menemukanmu.
Before I even found you, you were already there, are still there, being the most beautiful girl (inside and outside) whom I hardly have a second thought to marry.
Kau tahu? Semua proses yang sudah dan sedang berjalan memberi pengaruh positif pada diriku: soal merapikan ibadah, membetulkan niat, meluruskan yakin pada Sang Pemberi Rezeki, serta mengupayakan dan merencanakan yang terbaik untuk kita berdua ke depannya.
Karena cinta sudah jauh lebih dari cukup untuk seorang pemuda berubah menjadi lebih visioner, lebih hati-hati, dan lebih optimis serta peduli untuk membekali diri menjadi kepala keluarga yang pantas didengarkan, peduli pada kesehatan agar bisa menjaga dan membersamaimu di dunia ini lebih lama, peduli pada finansial karena ingin menjadi “pakaian” yang menutupi kekurangan dan memperindah luaran agar kita tidak perlu malu, dan mendukung visi dan cita-cita seseorang yang telah rela menahan “ingin”-nya untuk mendukung pria yang ia yakini mampu menjadi imamnya.
Bagaimana aku harus bersyukur atas semua ini?
0 notes
Text
PUISI BJ HABIBIE UNTUK ISTRINYA, AINUN
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. ..
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, ...
dan kematian adalah sesuatu yang pasti ...
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu ....
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, ..
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, ..
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi ....
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang ...
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, .. selama kau ada, ...
aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini ...
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, ..
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik ..
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini ...
Selamat jalan, ..
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, ...
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada ...
selamat jalan sayang, ..
cahaya mataku, penyejuk jiwaku, ...
selamat jalan, ...
calon bidadari surgaku ...
- HABIBIE -

0 notes
Text
Peran pengganti
aku baik-baik saja sejak kau jadikan yang kedua
mencintaimu dengan sembunyi
menikmati semua sisa yang kau beri
inginku mendapat porsi yang sama, dengan kekasihmu yang pertama.
tapi, sebagai kekasih yang tak boleh terungkap, bagianku hanya ada di dalam gelap.
0 notes
Text
Judul lama.
Terima Kasih karena Kau pernah Hadir.
Tidak ada kepergian yang tidak melukai, pun meski diri sendiri yang memutuskan pergi. Tidak ada yang pernah siap pada kehilangan, meski sudah jauh-jauh hari menyiapkan diri. Tidak pernah mudah usaha untuk melepaskan, meski tahu tak ada lagi yang bisa diperjuangkan.
Sebab semua tentang kita istimewa, tak ada perihal yang biasa-biasa saja, waktu-waktu bersamamu selalu menyenangkan, percakapan denganmu tak pernah membosankan. Kau; segala yang membuatku aman dan nyaman.
aku tak menyesalinya.
Terima kasih untuk semua yang pernah ada, untuk pelukan-pelukan yang menghapus sedih, genggaman yang menenangkan, suka duka di setiap peristiwa, semua tawa pun air mata. Terima kasih, karena kau pernah hadir di antaranya.
Semoga kita tak memilih untuk saling melukai setelah tak lagi saling mengasihi. Tak saling membenci meski berhenti mencintai.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari kisah yang menyenangkan dalam ingatan. Kau akan ada di sana; selamanya.
Untuk kursi kosong di hapadanku, semoga suatu ketika kelak kau mau mengisinya kembali. Kita bertukar cerita tentang kebahagiaan-kebahagian atau apa saja yang bisa membuat tertawa–meski tak lagi bersama.
Sampai memeluk kembali, aku pasti merindukanmu.
0 notes
Text
GAGAL JADI YANG PERTAMA
Saat menuliskan ini, aku tidak pernah benar-benar tau apakah kau akan membaca tulisan ini pada nantinya. Sebab hanya dalam tulisan-tulisanku kau menjadi nyata. Nanti, bila takdirNya menyatukan kita, aku tak ingin engkau berkunjung di beranda biru ini. Sebab aku tak ingin menambah berat beban perasaanmu. Cukup aku saja yang menyimpannya dan menuliskannya dalam banyak kata.
Kau tau, langit selalu jauh ketika kita berusaha berada untuk lebih dekat. sementara awan, selalu seperti kabut. Kita melihat, tapi tidak dapat menyentuhnya. Seperti hati. Kita tidak bisa meraba perasaan macam apa ketika seorang dalam rindu. Sakitkah, bahagiakah, atau keduanya? Demikianlah perasaan kita saat ini. apa kau juga demikian?
Pertama, aku ucapkan terima kasih pernah mengakui kalau kamu juga mencintaiku itu yang membuat aku bertahan dalam situasi membingungkan kan ini. Lalu aku berjuang bagimana bisa memiliki mu seutuhnya.
Setiap orang bisa jadi motivator yang baik untuk orang lain namun tidak untuk dirinya.
0 notes
Text
Menjadi orang
Aku cuma manusia biasa. Bisa kecewa,Bisa marah, dan bisa menagis. Aku tidak dendam tapi aku ingat semuanya.
0 notes
Text
BAWASLU DAN RAKYAT NYINYIR
Perlunya pendidikan politik dalam pemilih milenial, Permasalahan terkait masih rendahnya kualitas bahkan kuantitas partisipasi politik di indonesia bertolak belakang dengan potensi bangsa indonesia untuk menjadi sebuah negara demokrasi yang besar, mengingat besarnya penduduk di Indonesia yang semakin hari bertambah, mirisnya sikap dikalangan pemilih milenial menganggap bahwa tidak merasa penting dalam ikut sertaan pesta demokrasi sehingga berdampak pada tujuan Indonesia dalam membentuk Negara yang Demokratis.
Mindset berpikir masyarakat terhadap politik sedemikian negatif. Namun, politik tidak lah sekonyol yang dibayangkan dan dirasakan bangsa Indonesia. Politik hanyalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Sedangkan Politik itu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Sejatinya politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. maka politik tidak menjadi media bertebar benci. Sementara di Indonesia khususnya politik masih tumpang tindih dan politik dipegang bukan oleh orang yang ahlinya, sehingga hanya memikirkan keuntungan bukan kesejahteraan.
Tidak ada yang salah dari rasa bodoh yang di timbulkan dari pemilih, kebodohan adalah kesalahan pemerintah telah mengratiskan pendidikan, pendidikan itu mahal. Partai Politik dan menjadi politisi. Sinopsis nalar inilah yang kian berkembang di masyarakat, yang masih tergelintir sosial-ekonomi juga degradasi asas dan moral yang kurang, sehingga mengangap bahwa dalam melaksanakan dan ikut serta dalam pesta demokrasi adalah sebuah ajang untuk mendapakan uang jajan lebih dan mirisnya telah menyerang pemikiran para pemilih ataupun pemilih millennial, mereka melihat kerja- kerja dari apa yang menjadi pengalaman dari pesta sebelumnya.
Namun kondisi politik yang terjadi justru saling mempertontonkan perebutan kekuasaan secara tidak sehat. Sehingga output yang di hasilkan dari pesta demokrasi adalah bentuk kecemburuan dan sakit hati, akhirnya berusaha mencari kesalahan agar dapat digulingkan.
Bagi pemilih milenial yang sibuk akan elektronik, sebenarnya butuh pendekatan persuasif dalam mengajak mempengaruhi tentang peran generasi dalam membentuk Negara yang demokrasi, Bawaslu di setiap Kabupaten Kota sampai jajran paling bawah dalam lembaga pencegahan pelanggaran pemilu mesti giat melakukan sosialisai guna memberikan pamahaman tentang pentingnya generasi dalam menbangun proses Demokrasi yang sebagaimana cita- cita Bangsa Indonesia mewujudkan proses Pemilu yang lebih aman, tentram dan terintegritas,
Terkhusus dalam Kabupaten Kepualauan Selayar sendiri telah banyak melakukan sosialisasi ke sekolah dan tempat yang memungkinkan terjadinya banyak interaksi antara masyarakat guna memberikan pengetahuan tentang tata cara memilih dan mengantisipasi politisasi sara dan black campaing yang kerap di lakukan oleh para pihak berkepentingan di dalam pesta demokrasi. Dan hal wajar ketika dalam pesta memunculkan keributan dan di anggap sah sah saja sepanjang cara ributnya menambah pengetahuan akan salah benar dari regulasi yang berlangsung,
Bawaslu butuh psikolog agar jiwa dari Lembaga Bawaslu tidak mencederai niat dari lahirnya lembaga yang bertujuan dalam pencegahan Tindak pidana Pemilu yang jujur, adil, berintegritas dan demokratis.
#Toples kue 14 agustus 2019
0 notes