Tumgik
aozorazen · 7 days
Text
"Mendekat padaNya, ketika menujunya. Baiknya begitu kan."
Sebuah kalimat yang mengakhiri perdebatan kepala dan hati. Bintang di langit kamarnya mengiyakan, air di sudut matanya menguatkan.
Ia menarik diri dari sendiri, melihat kepada yang banyak. Akankah semua makhluk berakal punya pergolakan yang sama. Atau hanya dia menyiakan dini hari untuk berdebat seorang diri.
2 notes · View notes
aozorazen · 8 days
Text
Rinai sisa hujan yang panjang menuju maghrib
Sangat lembut, tapi asing diantara pertanyaan-pertanyaan penuh harap
Ada syukur, ada bahagia, ada yang memasang wajah lega juga ada harapan
Harapan adalah kekhawatiran untuk kenyataan yang mungkin bagi mereka tidak sesuai
Setiap harap, baiknya selembut rinai sore ini
Tidak peduli betapa menakutkan hujan dan badai sebelumnya
2 notes · View notes
aozorazen · 17 days
Text
Nasihat Hari Ini Ada satu nasihat yang benar-benar menjadi pengingat kita sebagai seorang muslim dalam menjalani kehidupan. Agar jangan sampai salah dan keliru dalam memiliki pandangan hidup. Allah telah menciptakan kebahagiaan hidup ada di dalam diri, bukan di luar diri. Sehingga ketika kita menyadarkan kebahagiaan, keberhargaan, ketenangan, keberdayaan hidup di sandarkan pada sesuatu yang ada di luar seperti uang, harta benda, jabatan, banyaknya jaringan, status sosial. Begitu hal-hal itu hilang atau kekurangan, maka hilang semua kebahagiaan, berkdayaan, ketenangan, dan keberdayaan tadi. Berantakan hidup kita. Betapa banyak narasi-narasi yang dibangun di atas trauma, di atas perspektif manusia bahwa agar kita tenang tentang masa depan, harus punya banyak uang. Agar berdaya, harus punya uang. Agar kita merasa bahagia, harus punya ini dan itu. Akhirnya kita menyandarkan semua itu kepada sesuatu selain Allah. Kita lupa bahwa Allah-lah Yang Maha Memberi Rezeki. Dan rezeki itu telah memiliki ketetapan dalam timbangan-Nya. Ketika ada hal-hal dalam hidup hanya dilihat dari mata rasionalitas manusia, logika-logika yang menjebak diri pada pemahaman yang terbatas. Hingga kita lupa bahwa cara hidup kita bukanlah tentang apa yang menurut kita benar dan baik, tapi apa yang menurut Allah benar dan baik. Memang sama sekali tidak mudah untuk bisa menerima semua sekejab mata, tapi mari kita berproses ke sana. Pelan-perlahan membuat hidup kita berjalan di atas landasan dan cara pandang yang tepat. Agar hidup ini lebih tenang, tenang di dunia sekaligus tenang di akhirat.
258 notes · View notes
aozorazen · 25 days
Text
Memaknai Keputusanmu di Antara Pilihan
Orang lain hanya akan melihat keputusan yang kamu ambil, mereka tidak akan pernah melihat pilihan-pilihan yang kamu miliki.
Sehingga, ketika kita hanya dinilai dari keputusan kita, jangan berkecil hati. Sejatinya mereka tidak pernah tahu struggling-nya kita terhadap pilihan-pilihan yang ada saat itu. Dan keputusan kita saat itu adalah keputusan terbaik dari semua pilihan yang kita miliki.
Mari kita lihat dengan hati yang lebih lapang pada setiap pilihan yang kita miliki. Sebab, dalam hidup ini kita tidak perlu menjelaskan kepada semua orang tentang pilihan yang kita ambil.
Meski dinilai tidak menguntungkan, memilih yang tak pasti, memilih yang sulit, memilih yang nggak ada uangnya, dsb.
Selama kamu yakin sama pilihanmu dan mau sama risikonya. Ambil dan jalanilah, kemudian tutup telinga.
Pada akhirnya, kita perlu percaya kepada Allah bahwa keputusan yang kita ambil lahir dari ilham yang diberikan-Nya. Ada hal-hal yang tidak kita tahu soal masa depan, rasanya mungkin khawatir dan menakutkan. Tapi percayalah, jarak antara kita dengan banyak kebaikan di depan, kadang hanya di masalah keberanian buat mengambil keputusan. (c)kurniawangunadi
485 notes · View notes
aozorazen · 2 months
Text
Cara Pandang Baru Saat Dewasa
Menuju dewasa yang kemudian melihat kehidupan ini bergeser Point of View-nya " 1. Mulai memahami kalau nggak ada yang terlambat dalam hidup, selama kita masih hidup. Itu adalah takdir terbaik yang kita miliki, kalau kita baru memulainya sekarang karena memang sekarang saatnya, bukan karena kita terlambat. Namun, itulah perjalanan hidup kita. Jadi, jangan takut kalau orang lain udah sampai mana, kitanya baru mulai
2. Belajar untuk merasa cukup. Dunia ini nggak ada ujungnya kalau dikejar. Nasihat terbaik yang kudapatkan di umur 34 ini adalah kalau kita gagal satu dua hal terkait urusan dunia, kita masih bisa ngulang. Tetapi kalau gagal di akhirat, ngak akan bisa ngulang buat memperbaikinya.
Rezeki kita itu cukup, tapi nggak akan cukup buat ambisi dan ketakutan kita akan kemiskinan. Ya Allah, kita berdoa setiap hari biar dikasih hati yang benar-benar terus bisa merasa cukup. Biar nggak hasad sama orang, nggak iri sama rezeki orang lain, dan lebih bersyukur sama apa yang kita miliki sekarang.
3. Pondasi agama sangat penting. Sebagai generasi yang tumbuh di lingkungan yang biasa-biasa aja dalam beragama, dulu di sekolah negeri juga agama tidak menjadi materi yang prioritas. Di umur sekarang dan menjadi orang tua, baru ngerasa banget kalau pondasi agama sedari kecil itu penting sekali sebagai panduan hidup. Agar melihat dunia ini lebih bijak dan prioritas hidup lebih benar dan terarah.
Mungkin itu yang bikin sebagian besar orang tua di generasiku sekarang yang milih anaknya sekolah di sekolah berbasis agama. Sebab di fase dewasa ini, sadar jika pemahaman hidup atas landasan spiritual ini yang benar-benar menyelamatkan diri dari masalah-masalah anxiety (kecemasan), feeling lonely (kesepian), depresi, dan beragam isu kejiwaan lain. Itu yang kurasain.
4. Belajar jujur sama diri. Badan itu pasti punya sinyal tertentu sebagai respon terhadap situasi/hal yang lagi jadi beban pikiran. Jangan sampai dzalim sama diri sendiri karena hal-hal yang sebenarnya bisa diputus tapi tetap dipertahankan karena rasa nggak enakan. Dan berujung pada langganan IGD, obat antidepresan, dan segala macam.
Jangan lupa menolong diri sendiri dengan kejujuran. Dan jangan takut buat minta tolong ke orang lain, ke profesional, dsb. (c)kurniawangunadi
893 notes · View notes
aozorazen · 3 months
Text
Apakah Sesuatu Akan Menjadi Lebih Baik Saat Aku Tetap Tinggal?
Aku ingin sekali memiliki kesempatan untuk bisa melangkahkan kaki lebih jauh dari langkah-langkah yang kumiliki saat ini. Selama ini, semacam ada garis batas hidup yang tak mungkin kulewati, izin orang tua. Tapi apa yang terjadi selama beberapa tahun belakang ini, hidup berasa jalan di tempat. Langkahku tak bisa lebih luas lagi karena kesempatan-kesempatan yang kucari, ada di luar batasku selama ini. Apa yang menjadi batasan, semakin tidak berdasar. Tapi, aku pun tak memiliki keberanian untuk menyampaikan. Sehingga, segala sesuatunya hanya berputar-putar di dalam pikiranku. Bagaimana caranya kamu bisa memiliki langkah sejauh itu? Apakah segala sesuatunya akan menjadi lebih baik saat kamu melangkah lebih jauh? Atau sebaliknya? Aku bahkan tidak bisa merasakan rindunya pulang ke rumah, karena justru rumah adalah tempat yang ingin aku tinggalkan. Bagaimana rasanya bisa rindu buat pulang, bahkan sampai memperjuangkan agar bisa pulang menempuh jarak ribuan kilometer? Bagaimana rasanya menjadi dirimu?
139 notes · View notes
aozorazen · 4 months
Text
Perubahan kadang bikin kita jadi asing sama diri sendiri. Seperti melakukan hal biasa jadi gak biasa karena ada yang gak biasa menjadikannya biasa. Sebagai makhluk dengan fitrah perasa, soal begini butuh tenaga lebih membedakan rasa dan fakta.
Lalu hal biasa itu pun turut serta jadi beda. Padahal sama tapi seperti berubah asing karena tidak biasa itu. Pertanyaan tumbuh sembunyi-sembunyi diantara itu.
Kalau semua orang pernah begini, mungkin normal. Kalau sebaliknya, berarti butuh teori logis yang bisa ngejelasin sebabnya.
1 note · View note
aozorazen · 9 months
Text
Takjub adalah rasa yang sering kepada-Nya. Setiap apa yang Dia ada kan, sangat menarik dari permukaan hingga sedetilnya. Seperti jalan hidup yang tidak pernah diinginkan ini salah satunya. Tidak ingin bukan berarti kesal dan menyesal juga. Ternyata setelah dilalui hingga saat ini, banyak syukur adalah pilihan. Tapi aku juga tidak menyangkal jika ada yang berkata, "kamu kurang berusaha, makanya cuma dapat segini." Karena pernyataan seperti itu mutlak, ada dalam kitab. Mau menyesal juga tidak ada gunanya, sebab waktu tidak akan pernah menunggu apalagi mundur semaumu. Kita saat ini karena pilihan-pilihan kita di masa lalu. Just do better after.
Yah begitulah isi kepala dan ibu jari bekerja dalam penulisan satu alinea di atas. Terlihat dan terbaca sangat mudah untuk dilakukan. Hal yang sulit saat ini adalah konsistensi. Ternyata masih saja kalah dengan buaian dunia dan kesenangan sementara. Ketika mau berani bertindak, perasaan selalu ikut campur dalam pertimbangan. Akhirnya berantakan lagi, susun lagi, mulai dari awal lagi. Apa sih maumu diri.
1 note · View note
aozorazen · 9 months
Text
Apa yang berbeda? Sudahkah lebih baik? Sudahkan terbenahi? Sudahkah rampung setiap hutang itu? Belum. Nyatanya belum.
Sesak rasanya. Makhluk satu ini selalu merengek kesempatan kepada Engkau. Tapi dia tidak juga istiqomah menuju baik.
1 note · View note
aozorazen · 9 months
Text
Lama sekali langit dan awan berunding hari ini. Sedang matahari tingginya sudah hampir sepenggalan. Seperti diri. Kepala dan hati juga begitu. Sedang hidup terus berjalan, dan kesempatannya juga berkurang.
1 note · View note
aozorazen · 10 months
Text
Cerpen : Aku dan Setakut Itu
Dulu aku pernah di fase setakut itu tentang pernikahan. Membayangkan memiliki hubungan jangka panjang dengan orang asing, bahkan membayangkan dia bisa melihat tubuhku tanpa sehelai benang saja membuatku bergidik. Karena selama ini, semalu itu rasanya kalau tersingkap barang sedikit.
Tapi hal yang paling menakutkanku sebenarnya adalah diriku sendiri yang tidak seyakin itu untuk membangun kepercayaan. Selain karena, rasanya begitu buntu harus mencari sosok pendamping di lingkunganku sekarang. Di kantor? Tidak ada yang menarik, sekalinya menarik ternyata sudah jadi pasangan orang lain. Selorohan salah satu temanku dulu jadi teringat, "Orang itu akan terlihat menarik dan terbukti kebaikan dan ketulusannya ketika sudah menikah sama orang lain."
Memang, apa yang dikhawatirkan sekarang kan soal finansial, kesetiaan, dan hal-hal serupa itu. Dan yang sudah menikah kemudian berhasil membuktikan itu, tampak menjadi pasangan yang beruntung. Mungkin itu kali ya jadi banyak pelakor. Soalnya mau yang udah "terbukti", bukan yang gambling kayak sekarang nyari yang begitu - sudah ketemu - masih bertanya-tanya benar atau tidak.
Hihhhh aku sih gak mau yaaa merebut pasangan orang lain! Aku memahami bahwa usiaku terus beranjak. Tahun ini masih 27 memang, tapi rasanya aku belum bisa berdamai dengan gemuruh kecurigaanku untuk membangun kepercayaan dengan seseorang seumur hidup. Atau mungkin sebenarnya karena aku belum bertemu saja, mungkin tergantung siapa orangnya. Bisa jadi.
Rasanya proses mengenal diri membuatku merasa harus mendapatkan pasangan yang layak. Dan aku tak mau menurunkan standar kelayakan itu. Kemarin aku cerita ke temanku, apakah aku terlalu tinggi memasang standar kelayakan? Menurutnya, itu wajar, kan mau menikah, wajar kalau aku menginginkan pasangan yang bisa memenuhi sebagian besar kelayakan yang aku inginkan.
Aku sampai berpikir lagi setiap kali pulang dari kantor. Membuka pintu kamar kos yang sunyi. Sendiri dalam ruang yang luasnya hanya 12 meter persegi. Apa aku sebenarnya sudah cukup matang untuk masuk ke fase itu? Apa hanya karena ketakutanku pada umur yang terus berlalu?
Aku bahkan tidak memiliki ketertarikan dengan siapapun sekarang, tidak dekat dengan siapapun juga. Apa aku perlu menjalani hidup dengan cara yang berbeda kali ya? Resign terus menggunakan seluruh tabungan untuk jalan-jalan keliling Indonesia? Atau mencoba peruntungan untuk mencari pekerjaan di luar negeri?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenapa aku serisau itu ya seolah-olah aku tidak beriman. Padahal aku tahu betul hal ini jadi rahasia-Nya. Sama seperti kematian.
521 notes · View notes
aozorazen · 10 months
Text
Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini ingin itu banyak sekali~~ :")
1 note · View note
aozorazen · 11 months
Text
Satu pekan menuju bulan, mood berantakan.
Semua serba salah, sekarang kopi dikambing hitamkan. Padahal warnanya sedari awal sudah hitam, malah ditambahi kambing. Apa sih.
Kata kepala, "kamu sudah mengantuk." Tapi mata menolak. Eh. Atau mata yang bilang mengantuk, kepala yang menolak. Apa sih. Poinnya, mereka tidak sejalan malam ini. Terlalu larut untuk tidak sejalan.
Lagi-lagi titipan ini tidak dijaga dengan baik. Ah manusia, sukanya suka-suka saja. Dia bilang syukur tapi mengeluh, dia bilang sehat tapi ada yang sakit, dia bilang aku bisa tapi ragu, dia bilang tidak punya tapi punya, dia bilang yakin, tapi khawatir, dia bilang besok makan mi ayam tapi bikin tugas, dia bilang mules tapi minum kopi, dia bilang? apa lagi?
Dasar manusia, penipu ulung kelas ikan pantau.
3 notes · View notes
aozorazen · 11 months
Text
Yoooossshhh... hampir selesai. Bisa pasti.
Pasti ada jalannya. Bismillah. Allah Maha Baik. Mudahkanlah..
2 notes · View notes
aozorazen · 11 months
Text
Ternyata gak cuma ranting dan akar yang bercabang. Tapi isi kepala juga.
3 notes · View notes
aozorazen · 11 months
Text
Langit cantik sekali pagi tadi. Sayang, jendela kereta mengaburkan pandang. Seperti hati puan kepada datang.
1 note · View note
aozorazen · 11 months
Text
Perjalanan bersama waktu tidak pernah bisa ditebak. Seperti saat sore ini pulang ke rumah. Melihat seorang nenek di lampu merah persimpangan, duduk menyamping di atas motor. Mulutnya bergerak, seperti mengunyah sesuatu. Keriputnya ada banyak cerita yang tidak pernah aku tau.
Seperti cermin, pandangku padanya berbalik menujuku. Murotal mengaji dari toa masjid jadi suara latar bayangan itu, syahdu.
Apakah akan sampai pada senja? Jika iya, senja seperti apa yang aku ingin?
4 notes · View notes