Quote
A list of 10 lessons learnt from surviving today. 1. So many pretty girls wear scars. 2. Love can be done alone. 3. Cry, cry, cry. It’s gonna be alright. (Please don’t die.) 4. Tous les garçon s'appellent Patrick. 5. On bad days, love yourself more than ever. That’s the challenge of such days. 6. You’re not immune. They haven’t found a cure for unkind words yet. So, it’s okay to be hurt. 7. Even if you think you won’t make it past today, give yourself a chance. You just might. 8. I love you so much. 9. It’s okay to still love the one who left. Even for always. It’s okay. 10. On some days even the sun struggles to be seen. Other days you shine. Because you’re a goddamn star.
lossofinkforever, writing prompt #62: list 10 pieces of advice you’d give yourself (via wnq-writers)
6K notes
·
View notes
Quote
1. Do not be afraid to feel. Be soft, be gentle, be a roaring hurricane if that’s what your heart is telling you. You are an intricate creature of emotion. Do not still your flames. 2. Set your alarm 5 minutes early. Give yourself 5 minutes to lay there in resilience. Then get up and go. 3. Do not forget the importance of those who ask you how you are. Who ask you how your day was. Notice those who check in on you. The world can be a dark place, surround yourself with those who care. 4. You may not look like that girl in the photo, or the girl you just walked past in the street. But that does not make you any less beautiful. You are simply a different kind of flower. 5. Do not be ashamed of your interests and your passions, the music you like, the books you read, what you enjoy doing on a Sunday. Be proud of the light in your eyes when you speak about it. 6. Understand the difference between good and bad attention. There are those that see you simply for what you offer on the outside, but there are also those who are fascinated by the miracles you offer on the inside too. 7. Don’t take yourself too seriously. You are only human. Forgive yourself when you need to and laugh at yourself often. 8. Despite how it may seem now, your family will not be around forever. Make the effort while you can. These people are your blood, your life source, your first friends. 9. Never stop learning. This world is full of wonder. Be curious about what it holds, the nature, the history, the people. There will always be something new. 10. Make good stories. The present is the youngest you’ll ever be again. There will come a day where you look back upon your life, and memories will be all you have left. Go make some.
mesmer-ise, writing prompt #62: list 10 pieces of advice you’d give yourself (via wnq-writers)
19K notes
·
View notes
Text
Jika aku bertemu dengan matamu,
aku tak yakin bisa melepasmu lagi nanti.
Jika aku bertemu dengan matamu,
aku yakin aku akan mampu melepas semua yang telah aku genggam sekarang.
Aku tahu,
kamu pusat semestaku.
Aku sadar,
aku mencintaimu seakan aku tak pernah mencintai orang lain sebelum dirimu.
Aku pun sangat sadar,
kamu nafas dari semua rangkaian kalimat yang pernah lahir dari jemariku.
Aku sangat sadar,
kamu tidak pernah mencintaiku sama seperti aku mencintaimu.
Dan aku tahu,
jika kita berdua memutuskan untuk kembali bertemu,
aku akan menggenggammu sangat kuat,
tak ingin melepasmu,
namun untukmu,
kamu tak akan menggenggamku sekuat itu.
Karena itu, aku akan membiarkanmu hidup,
menyimpanmu dalam kenangan paling dalam.
Aku akan membiarkanmu di sana,
bahkan jika nantinya aku tak akan bisa merasakan lagi kebahagiaan.
Karena kebahagiaanku terdefinisikan olehmu.
0 notes
Quote
The most beautiful feeling in the world is to have someone who has seen your worst side and stayed.
untamed-feelings (via wnq-writers)
99K notes
·
View notes
Text
Di dalam perjalananku untuk bertemu denganmu, berulang kali aku memantapkan hatiku bahwa ini adalah pertemuan terakhirku denganmu. Tetapi, di detik pertama aku menatap matamu, aku mempertanyakan kemantapan hatiku tentang kata terakhir itu. "Va?" Kita hanya saling menatap. Aku dan kamu berdiri berhadapan satu sama lain, tetapi tiba-tiba tanganmu terulur menggenggam tanganku. Ibu jarimu mengusap punggung tanganku dan kulihat senyummu itu merekah sembari menatap aku. Wangimu, matamu, senyummu, masih sama seperti terakhir kita bertemu. Aku goyah mengetahui semua itu. Kamu membawaku pada kenangan yang telah kukubur lama. "Sudah lama menungguku?" Kucoba mencairkan suasana dan tersenyum. Tetapi, kamu menarikku ke pelukanmu. Di detik itu juga pertahananku goyah. Aku melakukan kesalahan terbesar, membalas pelukanmu. Tak peduli dengan pandangan orang sekitar, kita berdua berpelukan begitu erat. Aku ingat, pelukan ini. Bagaimana caramu membawaku padamu, bagaimana caramu memelukku, bagaimana caramu membuatku tenggelam dalam semua itu, aku ingat. "Aku rindu." Tanpa sadar, aku menggumamkan itu. Otakku, logikaku, tak akan pernah mengizinkan bibirku mengatakan itu padamu. Percayakah kamu jika hati dan perasaanku yang membuat bibirku mengucapkannya? "Aku juga." Syukurlah, kalimatku berbalas. Entah bagaimana kamu menginterpretasikan rindu itu, yang jelas terima kasih telah membalas rinduku sehingga ia tidak perlu kesepian seperti malam-malam terakhir. Setelah itu, kamu mengajakku untuk duduk dan menikmati makanan yang sudah kamu pesan sebelumnya. Aku agak sedikit kesal karena kamu tidak mengizinkanku memilih sendiri dari menu restoran itu. Tetapi, melihatmu begitu antusias ingin aku mencoba masakan kesukaanmu itu, aku melupakan rasa kesalku. Semua kamu tanyakan. Bagaimana kabarku, kabarnya, apa ada yang membuatku sibuk akhir-akhir ini. Semuanya. Begitu pun aku. Aku tahu, kamu sedang berjuang menghadapi semester yang kamu anggap sulit ini. Kamu bercerita bahwa kini kamu adalah salah satu pengurus himpunan, kamu bilang bahwa setelah bertemu denganku pun rapat menunggumu. Hidupmu lebih baik, dan aku benar-benar senang akan hal itu. Tiga jam tak pernah cukup untuk melepas rindu. Kamu memaksaku untuk tinggal lebih lama, kamu bilang akan melewatkan rapat himpunan satu kali saja. Tetapi, tentu saja aku tak mau. Tiga jam, adalah komitmenku dan hatiku sebelum aku bertemu denganmu. Sebelum aku pergi, kamu kembali memelukku. Sembari berbisik, "Jangan menghilang lagi. Ayo, kita bertemu lagi." Dan aku mengiyakannya. Iya, aku akan menemuimu lagi. Iya, dan iya. Tetapi, maaf, aku tak yakin dapat mempertanggungjawabkan kata "iya" tersebut. Aku bertekad inilah terakhir kalinya. Aku ingin sebuah akhir yang baik. Sehingga tak perlu ada yang kupertanyakan di malam-malam berikutnya, sehingga rindu ini setidaknya dapat lepas dengan mudah. Pelukan terakhirmu itu, kusimpan baik-baik saja di dalam otakku yang terdalam. Semua tentang kita yang terakhir, biarlah semuanya menjadi kenangan. Akan ada saatnya aku merindukanmu, kuakui. Tetapi, aku hanya akan memutar ulang kenangan saat kita berpelukan untuk terakhir kalinya. "Aku mencintaimu, sungguh." Ketika kamu mengucapkannya, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak bisa membalasnya, maaf. Aku hanya rindu, tetapi tidak mencintaimu. Atau mungkin, aku memang mencintaimu tetapi hati ini tidak bernyali untuk mengungkapkannya. "Rinduku memiliki definisi lebih dari cintamu." Hanya itu yang kukatakan padamu. Sebentuk senyum kulemparkan padamu. Setelah mengusap pipimu pelan, aku pun berbalik pergi meninggalkanmu. Aku senang, aku sedih, semuanya campur aduk. Air mata yang tak jelas definisinya menetes ketika aku meninggalkanmu. Tetapi, setidaknya aku lega. Melihat kamu baik-baik saja. Sejenak aku berhenti berjalan dan menengokan kepalaku ke belakang. Di sana ada kamu, dengan kaos hitam ketika kita pertama kali bertemu dan tas ransel hitam kesayanganmu. Aku tahu, kamu tak akan bisa mendengarnya, tetapi aku membisikan sebuah kalimat sebelum kembali berjalan pergi. "Selamat tinggal untuk selamanya, kamu yang mustahil kumiliki."
0 notes
Text
Aku tahu kamu mengajarkanku untuk menjadi kuat, kamu membiasakanku untuk kuat dengan sendirinya. Tetapi, ada malam-malam, ada hari-hari di mana aku benar-benar lemah dan aku membutuhkan seseorang untuk membuatku tetap berdiri di tempatku. Ada saat-saat aku benar-benar membutuhkanmu, minimal suaramu untuk menyadarkanku bahwa aku tetap harus membuat semuanya berputar dan berjalan seperti biasanya. Tetapi, kamu tidak pernah ada di saat aku benar-benar membenci diriku sendiri. Salahku memang, tidak pernah mengatakan bahwa aku membutuhkanmu di saat-saat seperti itu. Tetapi, bahkan untuk berucap bahwa aku membutuhkan pertolonganmu saja, aku tidak bisa. Aku tahu, kamu hanya ingin aku kuat dengan sendirinya. Tetapi, aku tidak sekuat itu. Aku tidak bisa sekuat itu semau apapun aku mencoba. Di saat seperti itulah, selama apalagi aku harus mempertahankan hubungan ini? Jika menjalani selamanya seperti ini bersamamu, aku tidak yakin aku masih bisa tersenyum. Seberapa besar aku merindukan langit jika itu terjadi. Aku butuh seseorang yang bisa menguatkanku kapanpun aku membutuhkannya. Aku tahu aku egois. Tetapi, emosiku membutuhkan itu. Aku butuh seseorang seperti itu untuk kebaikanku sendiri, kebaikan mental lebih tepatnya. Kamu tahu? Lelah sekali untuk pura-pura tersenyum seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin ini adalah definisi dari berpura-pura bahagia. Kamu pernah membuatku bahagia, for a while. Aku ingin merasakannya lagi, jika memang selamanya adalah kata yang ingin kita miliki bersama.
0 notes
Quote
I just want to be with you especially on the days where I don’t understand anything, even myself.
znt-x (via wnq-writers)
43K notes
·
View notes
Text
i am not a good partner. i know you say you want to stay so we can both work through this, but i’ve been up and down my own mind and i’ve never found an exit. i lash out and i laugh at the wrong things and i know you’re patient it’s just that i feel like all this good you have in you is wasted on me. you should be with someone better. i’m sorry i’m letting you stay when you should really leave. it’s just that you give me hope i could be happy. that’s sort of intoxicating.
2K notes
·
View notes
Text
Selamat datang di tanggal 11 yang ke-5. Tanggal 11 yang ini, aku hanya ditemani kerinduan sama kamu, nih. Tadi aku sempat menangis juga. Haha, lemah ya aku? Maaf ya, kadang suka menangis tiba-tiba. Mungkin, karena waktu untuk menatap matamu kurang lama. Mungkin, karena waktu untuk menatap senyummu kurang lama. Percayalah, semenjak jauh darimu, rindu ini tidak pernah berkurang. Setiap hari, walaupun aku tidak pernah mengatakannya, aku selalu merindukanmu. Percayalah, rindu ini semakin lama semakin berat. Inginku tentang menemuimu selalu jauh di luar bisaku untuk menahannya. Selalu jauh di luar mampuku, mencoba mendobrak keluar dan berteriak bahwa rindu ini ingin kamu tenangkan. Di saat-saat seperti ini, aku hanya ingin memelukmu. Lama sekali, menenangkan rindu yang semakin berat ini. Aku selalu ingin meminta ini, tapi aku selalu berpikir ulang. Kamu pasti tidak mau, kamu pasti malu jika melakukannya. Dan? Aku hanya bisa menahan rindu ini. Padahal tanpa harus melakukan apa pun, tanpa harus pergi ke mana pun saat kita bertemu, memelukmu tanpa berkata apa pun menurutku sudah teramat sangat cukup. Setidaknya, sampai air mata rindu ini kering. Setidaknya, sampai rindu ini tenang. Karena tak jarang, rindu ini membuatku rapuh dan ragu. Aku mencintaimu, masihkah kamu seperti itu padaku? Aku takut, perasaan ini hanya tumbuh sepihak, hanya dariku saja. Apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Terlintaskah aku sedikit saja di 24 jam harimu? Percayalah, tidak pernah ada siapa pun selain kamu untukku. Tidak dengan siapa pun, apa yang kamu khawatirkan tentang seorang gadis yang selalu merindukanmu seperti ini? Aku tahu, kamu takut. Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Untukku, hanya ada kamu. Hanya kamu, percayalah. Percayalah, bahwa aku mencintaimu seperti aku tidak pernah mencintai orang lain sebelum ini. Aku mencintaimu dengan ikhlas. Ikhlas kuberikan hati, perasaan, waktu, segalanya. Kuberikanmu, hanya padamu, selamanya-ku. Aku tahu, selamanya itu panjang. Panjang sekali, aku sendiri tidak yakin sampai kapan. Tetapi, tidak masalah jika itu artinya bersamamu. Lima bulan ini, adalah lima bulan terbaik dalam hidupku. Aku tahu bagaimana rasanya dicintai kembali oleh orang yang kucintai. Lima bulan ini, aku tak pernah merasakan kata 'sepihak' darimu. Perasaanku berbalas dengan indah, dan oleh orang seindah kamu. Maafkan aku jika aku selemah ini. Maaf jika apa yang terucap hanyalah bagaimana aku berterima kasih padamu. Percayalah, jika ada kata yang memiliki definisi lebih dari cinta itu sendiri, aku akan memberikan kata itu untukmu. Selamat tanggal 11, kekasih. Tertanda, Milikmu.
0 notes
Text
Dua pertanyaan dari kakakku yang benar-benar membuatku berpikir adalah, Apakah aku benar-benar yakin denganmu? Dan, apa alasanku menikah denganmu? Pertanyaan kedua, kujawab dengan spesifik. Aku tahu kakakku tidak akan menerima alasan-alasan abstrak seperti karena aku sangat mencintaimu atau hal-hal seperti itu. Karena itu, aku membuat alasan yang sebisa mungkin dapat kakakku terima. "Kak, aku dan kamu berasal dari keluarga yang broken home. Kakak pasti tahu, apa rasanya ingin pulang tetapi tidak mempunyai tempat untuk pulang? Aku ingin menikah, karena aku ingin punya tempat untuk 'pulang'." "Kalau begitu, kamu menjadikan menikah itu sebagai pelarian, dong? Kamu mau kabur dari orangtua kamu?" Ya Tuhan, mengapa kakakku itu selalu tepat sasaran? Aku bahkan tidak pernah berpikir seperti itu tetapi mengapa dia bisa? "Menurut kakak, aku seperti kabur?" "Iya. Mau lari sampai mana? Sampai kapan? Kamu pikir dengan menikah semuanya selesai?" Kata kakakku, "Jangan menyelesaikan masalah dengan solusi yang berpeluang jadi masalah juga." "Tapi, aku sudah muak. Bahkan sampai taraf aku membenci orangtuaku." "Ya, kakak tahu," kakakku menghela nafas, "Sampai di umur 34 tahun ini, hal yang tidak bisa kumaafkan dari ayah kita berdua dan ibuku adalah menjadikanku seorang anak yang broken home. Ketika aku pulang ke rumah ayahku, aku melihat bukan ibuku yang ada di sana tetapi ibumu. Dan ketika aku pulang ke rumah ibuku, aku melihat bukan ayah kita yang ada di sana tetapi pria asing yang tiba-tiba saja terpaksa kupanggil ayah. Aku pun muak." "Lalu?" "Ya, aku pun pernah merasa seperti itu. Ingin bahagia, ingin membentuk keluarga sendiri. Tetapi, aku pun menyadari bukan itu satu-satunya solusi yang dapat kulakukan untuk mencapai bahagia. Aku pergi jauh dari rumah. Bekerja di luar pulau dan menciptakan duniaku sendiri. Dunia yang tidak dapat orangtuaku berikan padaku karena keegoisan mereka." "Jadi, kesimpulannya?" "Bagaimana jika pernikahanmu ditunda dulu? Bagaimana jika kamu menemukan dunia kamu sendiri dulu? Kuakui, kamu lebih baik dan lebih pintar dariku. Aku yakin, dunia yang kamu ciptakan nanti lebih baik daripada apa yang pernah kuciptakan." Setelah itu, kakakku berceloteh panjang lebar seputar pernikahan, kegagalan pernikahan dan konflik setelah menikah. Kakakku menilai aku terlalu muda untuk menikah. Emosiku yang meledak-ledak dapat menghancurkan pernikahanku kapan saja. "Kamu tidak ingat kita masih punya adik? Kalau kamu menikah, suamimu berhak 100 persen padamu dan adikmu mau diapakan? Katakanlah, orangtuamu memang tak akan meminta apapun dari kamu, tapi adik kita? Aku tidak bisa menanggungnya sendiri karena aku terlanjur mempunyai keluarga sendiri. Maafkan aku, sungguh." Ah, iya. Aku lupa satu hal tentangku. Satu hal yang selalu aku tanamkan di dalam aku ketika aku mulai putus asa. Tanggung jawabku lebih dari besar tanggung jawab yang harus aku pikul sebagai seorang perempuan. Aku lupa, kalau aku harus mengedepankan keluargaku terlebih dahulu sebelum aku. Aku tidak boleh egois jika itu menyangkut keluargaku. "Aku mengerti." Dengan dua kata itu, hatiku mengeras kembali. Harus kuapakan hubungan kita? Aku takut mengkhayalkanmu dan aku lagi, tentang rencana yang kita bangun pelan-pelan. Aku tahu dengan siapapun aku, semuanya tidak akan berjalan lancar. Karena mungkin aku tidak berhak bahagia. Karena mungkin aku harus selalu sekeras baja menghadapi dunia ini. Karena mungkin, aku harus selalu sendiri di dunia ini. Karena mungkin, aku tidak berhak atas sebuah keluarga yang utuh. "Pertanyaan pertamaku belum kamu jawab." "Setelah berpikir kembali, aku tidak tahu kata apa yang pas untuk menjawabnya, kak."
0 notes
Text
Part. 1
Maybe, I have no right to be happy. Lahir dalam keluarga yang tidak sempurna dan mungkin membingungkan bagi sebagian orang, membuatku percaya tidak ada kebahagiaan yang dapat bertahan selamanya. Sulit untukku menjabarkan definisi kebahagiaan yang sesungguhnya. Yang kutahu, bahagia itu berarti diri sendiri dan materi. Pola pikir seperti itu yang membentukku menjadi seorang yang ambisius, perfeksionis, egois dan juga memiliki sifat 'apa yang aku mau, harus berada di dalam genggamanku'. Aku lama tidak bermimpi tentang bahagia. Beberapa tahun terakhir, yang aku tahu hanya mendapat kekuasaan dan materi berlimpah dan mengobati semua sakit hatiku pada dunia ini. Sejujurnya, aku sudah menyusun rencanaku untuk mencapai itu semua dan hampir rampung. Tetapi, aku bertemu denganmu. Bertemu denganmu menyadarkanku bahwa bahagia itu tidak seperti yang aku pikirkan selama ini. Bahwa bahagia itu akan muncul sebatas ketika aku bertemu denganmu. Bahagia itu sebatas kita bertukar canda. Bahagia itu sebatas waktu yang kita habiskan berdua. Bersamamu membuatku serasa terbang ke awan. Aku lupa tentang dunia yang pernah dan sedang kuhadapi. Aku melihatmu, menyocokannya dengan masa depan yang kuinginkan dan ketika membayangkannya aku merasa bahagia. Iya, khayalan tentangmu benar-benar membuatku lupa bahwa aku masih berpijak di dunia ini. Tadi, kakak laki-lakiku meneleponku. Menanyakan kabarku dan persiapan interview kerjaku untuk keesokan hari. Kamu tahu, aku menganggap kakakku adalah segalanya. Posisi kakakku bahkan lebih tinggi dibanding kedua orangtuaku, untukku. Suara kakakku membuatku jujur dengan apa yang sedang kupikirkan semenjak kemarin. Tentang kita, tentang rencana kita berdua bersama.
0 notes
Text
03092017
Hanya ingin mencatat tanggal saja, kok. Tanggal penting waktu kamu bilang, "Mau ga jadi istri aku?"
0 notes
Quote
I now know why people write sad love quotes… why they obsess over the past… why they can’t let go… why pain follows them like a stray dog for years afterwards… It’s because you know the person you lost isn’t replaceable. There’s no one else like them… there never was before and there never will be again. That’s why they’re called the love of your life… because you only get to meet someone like that once in a lifetime.
Ranata Suzuki (via wnq-writers)
2K notes
·
View notes
Quote
I think one of the worst things you can do to somebody is end a relationship with them and never give a reason why. Every relationship is a partnership involving two willing participants… and if one person is no longer willing to be in the relationship that is, unfortunately, the end of the relationship… But don’t ever leave without giving a reason why. You were adult enough to enter into the relationship and enjoy all the benefits that went along with it whilst it suited you – the least you can do is offer an explanation as to why you don’t want to stick around. Not telling someone the reasons why is cruel… it makes them feel as though it’s their fault you left – and perhaps it is – but they at least deserve to know what it was they did wrong so they can learn from it. Not telling someone why you’re leaving does nothing but hurt them not only at the time… but causes them ongoing pain and confusion with no hope of closure. It’s time to grow up. If you’re mature enough to be in a romantic relationship – you’re mature enough to have an adult conversation about why you’re ending it.
Ranata Suzuki (via wnq-writers)
3K notes
·
View notes
Quote
Kukira, aku orang yang paling dingin jika itu menyangkut hati dan perasaan. Rupanya, aku salah besar.
0 notes