Hanya kontemplasi diri agar bersiteguh untuk terus mengaliri kehidupan. #ArahHidupTumbuhBerlanjut
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Mother left too early — and with her, our safety. We were orphans long before we became ones — officially. But still, we rose. Through storms they never tried to shelter us from. Quietly. Painfully. Gracefully.
No one asked how we survived. They only pretended to know — and chose not to know.
0 notes
Text
"Belajarlah untuk melepaskan, karena segala sesuatunya akan baik-baik saja."
0 notes
Text
Rumah yang Membuat Kecilku Bertahan; Dulu.
aku tumbuh, di rumah yang sering gaduh. tapi selalu ada satu sudut yang tenang: pojok itu bersama eyang.
mengajariku menjahit dan menyulam mengisi sore dengan benang dan harapan membuat bunga dari kertas warna menganyam hari-hari agar tetap indah, meski luka
kami duduk berdua, tak banyak bunyi melipat plastik kecil dengan hati-hati memasukkan seribuan satu demi satu menyiapkan kasih dalam bentuk sederhana itu
tapi setelah kepergiannya, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi tak ada lagi sore yang pelan rumah hanya gema dari suara yang membising tak nampak, meski mata membelalak dan memicing
aku katakan: rumah semakin riuh, bahkan menderu. namun: dalam jemariku yang melipat dalam benang dan kain, dalam plastik kecil dan uang seribuan
aku tahu, meski tak lagi bisa lari kepadanya semua akan baik-baik saja karena aku pernah dicintai dengan cara yang lembut sekali.
0 notes
Text
Keranjang Sampah Ibu
… dengan rima yang senada, seperti detak luka yang teratur, tapi tak kunjung reda. aku pahami maksudnya, tentang cerita yang berulang, tentang luka yang tak pernah sembuh karena tak pernah dipandang.
lalu ia turunkan, selalu—dengan segala kehilangan buruknya: menjadi korban tentang keluarga yang tak pernah tenang tentang luka lama yang tak pernah usang
tak pernah ubah, fokus satu tanpa ada yang benar-benar baru nyalaku dianggap hantu— ada, tapi tak perlu
remuk: kata-katanya jadi palu yang memukul tanpa peluk aku diam, tapi jiwaku bising seperti petasan yang mencambuk
aku tumbuh sembunyi di setiap sisi sambil membawa bisu bahkan rambut menjadi tanda waktu itu gugur satu-satu— seperti kosongnya jiwa yang kian semu keranjang sampah tak pernah memilih isi apapun dilempar, harus diam, harus mengerti tapi… aku bukan wadah yang tak punya hati aku belajar memikul, yang bahkan bukan milikku betul aku terluka dan selama ini hanya berusaha tak terlihat parahnya aku juga ingin berteduh, dari segalah peluh dan keluh padahal di dalam dada ini— tiap tumpukan sampah itu masih mengendap… sampai kini
0 notes
Text
Anak Kecil yang Tak Sempat Tumbuh
Anak kecil yang menyimpan benih cahaya itu harapannya disumpal, nyalanya diredam, sunyinya dikubur— oleh larangan, oleh takut, oleh “jangan” yang bertalu-talu Saat terbangun dari dewasa, ia sudah babak belur— runtuh tanpa struktur
Ia dulu cahaya yang disimpan rapat dalam lemari gelap Kini jadi bayangan yang bahkan dirinya sendiri tak sanggup tatap
Dulu ia diam, menunggu waktu yang tak pernah datang Kini ia sadar, bukan waktu yang salah, tapi bungkam yang terlalu panjang
Tangan kecil yang dulu menggambar mimpi di udara Kini gemetar, tapi masih menggenggam secercah cahaya
Langkahnya masih sepi, tapi kini ia tahu: arah tak harus pasti— yang penting, ia berjalan, katanya berdikari.
Di balik luka-luka yang tak sempat ditangisi, ia mulai membisikkan namanya sendiri, dengan suara yang dulu tenggelam dalam hening menuju pagi.
Ia menyalakan pelita kecil di dada— bukan untuk menerangi dunia, tapi cukup agar tak hilang dari dirinya.
Ia tak lagi bertanya kenapa semua harus begini, karena kini ia tahu: tak semua luka butuh jawaban pasti. Beberapa cukup direngkuh tanpa harus menyiksa diri, agar tak terus menuntut simpati dan empati. Beberapa cukup dirawat dalam diam, agar tak terus menganga di dalam dan menjadi dendam.
Ia mulai memaafkan dunia yang tak memberinya ruang, juga orang-orang yang melarang sebelum tahu arah terbang.
Tapi yang paling sulit—ia memaafkan diri sendiri, yang terlalu lama terpendam dalam nafsi, dan masih kerap ingin pergi, di tengah hari yang kehilangan matahari.
2 notes
·
View notes
Text
Hidup adalah perjalanan, dan aku masih berjalan. Mencari makna, merangkai kenangan—
dan mencoba menemukan bagian dari diriku— yang mungkin sempat hilang di antara lembar-lembar waktu.
0 notes
Text
sudah setahun saja
memberanikan diri untuk mengunggahnya sebagai pengingat kepada: uluran tangan tulus itu telihat di depan mata sedang tawa masih menggema di telinga dan si abu yang tak tahu apa-apa dengan congkak banyak rupa ternyata warna tampak pada harimu pamitmu dari dunia
0 notes
Text
buruk rupanya angsa yang tak pernah jelita diterima oleh sedemikian rupa warnanya ternyata tak cukup berdeging saja lupa untuk memelas sampai tiada bertenaga
cendala,
cendala
0 notes
Text
Perjumpaan hari ini syarat akan makna Menyelesaikan misi dengan upaya Dan semoga Allah meridhainya Dengan seporsi bistik berisi nostalgia Rasa 15 tahun lalu lamanya Hadir di sebuah rumah yang masih terikat tajam tanpa lupa
Terima kasih untuk hangatnya.
Semoga dan semoga dalam doa Salah satu jalan dari semoga

0 notes
Text
Perihal ridha itu nyata.
Janji-Nya lebih baik dari yang direncana.
0 notes
Text
ku bertanya, kepada siapa pemilik doa penembus langit jika tiada lain selain ibu sudah tiada?
0 notes
Text
Semoga Allah mudahkan kami untuk menuntaskan amanah atas pendahulu kami.
1 note
·
View note
Text
Dan di suatu sepertiga malam kamu akan rindu suara drumb yang menyesakkan telinga sampai membuatmu terbangun, sayup suara klontengan peralatan dapur saat masih mengumpulkan nyawa, suara bapak-bapak yang melengking tak gentar mengingatkan sampai imsak padahal belum waktunya, dan... suara lembut ibu sambil menggedor pintu, "Mbak bangun, sahur." dengan mata kriyip melihat segala kesibukannya.
Tahun ini berbeda. Sangat.
Hanya suara bapak-bapak sedia kala dengan masjid yang berbeda. Dengan peran ibu yang kini mengalir kepadaku.
Tak ada suara lain, bahkan notif dari ibu sekedar bertanya, "sahur apa Mbak?"
1 note
·
View note
Text
Baik itu baik tapi orang baik tak akan mengatakan dan menganggap dirinya baik.
Baik itu relatif. Tidak terdefinisi pada tiap kepala manusia. Tidak mutlak pula, bergantung pada tiap penilaian dari satu waktu ke waktu lainnya.
Baik di depan belum tentu baik di belakang. Baik di luar belum pasti baik di dalam. Pun, baik ke semua orang bisa jadi tidak baik kepada beberapa orang.
Menganggap orang baik itu baik tapi mengabaikan beberapa hal juga tidak baik.
Tidak pernah bepergian jauh bersama, kegiatan yang dilakukan atau amanah yang diberikan juga bukan menjadi jaminan orang akan paham dengan baik segala sikap dan perilakunya.
Jadi, begitu tentang baik. Tidak baik jika hanya melihat dari satu sisi saja. Tapi jika dari banyak sisi terlihat baik mungkin saja memang betul baik atau malah sebaliknya.
*Tulisan ini didasari pada suatu ingatan, seorang mengatakan "beliau orang baik, eman-eman dengan orang baik" kepada yang dianggapnya tidak baik lagi. Sedang yang dianggap tidak baik itu sangat jauh lebih baik daripada yang dianggap baik.
Semoga Allah yang Maha Tahu mengampuni dosa orang baik yang benar-benar baik dan menggugurkan dosa manusia yang menganggapnya tidak baik semasa akhir hidupnya.
Allahu yahdik.
1 note
·
View note
Text
Dan di saat badai itu datang mengoyak asa, rasanya ingin menerjang padam sekaligus pasrah putus asa di saat yang sama.
0 notes