arfandid
arfandid
arfandid.
19 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
arfandid · 7 months ago
Text
ah ya, hidup terasa berjalan sangat cepat ya, terakhir saya menulis sesuatu di tumblr ini, masih sering mendengarkan L'arc'en'ciel, sekarang saya sedang suka mendengarkan Official Hige Dandism, ya sudah terhitung 3 -4 tahun ini, sangat sangat menyukai grup band ini, dan baru baru ini mereka mengeluarkan single untuk sountrack sebuah anime yang berjudul Same Blue. Luar biasa menyenangkan mendengarkan same blue. sangat menghibur dan menghangatkan perasaan. hidup sudah bergerak maju jauh dari terakhir saya menulis sesuatu di tumblr ini. apakah terakhir saya mengupdate ketika bekerja di OKI palembang? atau semasa di Miura saya ada menulis sesuatu? entah la, tidak saya check sama sekali. Diantara waktu itu, saya telah menjalani berbagai macam pekerjaan dan bekerja dengan berbagai macam atasan. China, India, Jepang, Singapore dan Lokal. Tentu saja yang berkesan bagi saya adalah bekerja dengan Tsutomu Wada & Nakasuka Takeshi. Memberikan saya banyak sekali energi positif dan pola pikir yang bagus sekali. Tentu saja lokal adalah seburuk buruk nya atasan. hidup sudah berkali lipat nilainya dari terakhir saya menulis sesuatu di tumblr ini. pertama sekali menjadi karyawan, sangat ingat dan tak akan pernah lupa, 2.450.000 dengan 2 kali pembayaran, tanggal 5 dan 25. Tanggal 5 yaitu 2.000.000 dan 25 adalah 450.000. Ku ceritakan dengan mamak tentang gaji pertama itu. Dan andai mamak sempat ikut merasakan, yang ku terima saat ini 10 kali dari gaji pertama itu dengan 1 kali pembayaran. hidup cepat sekali berlalu, dengan orang orang berubah menjadi gila.
0 notes
arfandid · 8 years ago
Quote
Hujan tidak datang. Hujan kembali. Setelah singgah di awan, hujan kembali ketempat semula, ditempat dia bukan lagi dinamakan hujan.
2 notes · View notes
arfandid · 9 years ago
Text
Ini, gila
Sexy Dancing
sebuah memoar 
Setelah pertunjukan selesai dan berganti pakaian di kamar ganti, ia menemui saya yang duduk di dekat meja bartender. Dengan senyum terkembang, ia meminta komentar untuk tariannya. Aku acungkan jempol. “Bagus. Gerakanmu mantap, gak ada kesan ragu." 
"Thank you. Menurutmu gerakanku tadi sudah cukup menggoda?” Saya bilang padanya, “Tahu gak, pas kamu menari di sesi kedua, ada cowok yang sempat berpantun gini: ‘Minum cendol pake susu, yang bondol bikin nafsu’.” Sembari tertawa dan merapikan rambutnya yang memang pendek [bondol], ia lagi-lagi bilang 'thank you’. “Kebanyakan 'thank you’, ah! Kamu bukan Alice dan aku bukan Larry,” kataku sedikit mengomel. Alice dan Larry adalah dua dari empat karakter utama “Closer”, film besutan Mike Nichols yang mengisahkan kisah cinta segi empat yang rumit. Pada salah satu fragmen, Alice [diperankan oleh Natalie Portman] menari striptease untuk Larry [diperankan Clive Owen] di private room sebuah klub malam. Saat itulah berkali-kali Larry menanyakan banyak hal intim pada Alice. Berkali-kali pula Alice menjawabnya dengan didahului kalimat 'thank you’. “Closer” memang bukan film tentang sexy dancing atau para penari stripper. Goyangan Portman juga tak seheboh Salma Hayek di film “From Dusk Till Down” atau Jamie Lee Curtis dalam film “True Lies”. Periode di mana Alice bekerja sebagai stripper dan adegan percakapan saat Alice menari stripper untuk Larry menegaskan betapa “Closer” ingin menghadirkan cinta, seks, dan sensualitas bukan hanya sebagai laku yang dipraktikkan, tapi juga untuk dibicarakan secara terbuka, dengan emosi yang naik turun, juga hasrat yang menggebu. Percakapan panjang tentang semua itu membuat segala naluri, hasrat dan ketakutan yang terpendam terungkai ke permukaan. Kami berdua sama-sama sudah menonton “Closer”. Saat ia melontarkan ide untuk mencoba sexy dancing, kami langsung terlibat percakapan yang intim, detail, panas, dan –harus juga diakui– eksploratif. Saya bilang ini pengalaman baru. Saya memang terbuka pada pengalaman baru, tapi saya tak tahu apakah ekperimentasi macam ini bisa disikapi dengan rileks. Belum terbayangkan melihatnya menari dengan pakaian minim di depan puluhan orang yang mengoceh macam-macam. 
Keep reading
13 notes · View notes
arfandid · 9 years ago
Text
Schiller dan Taman Jomblo yang Medioker
Tanpa sengaja berkunjung ke Taman Schiller, taman kecil di depan sebuah kampus seni di Wina.
Salah satu yang menyenangkan dari Praha dan Wina, dua dari empat kota di Eropa yang saya singgahi pada Oktober 2015 silam, mungkin juga di kota-kota tua lainnya di Eropa, adalah banyaknya ruang-ruang publik yang dinamai atau diperkaya dengan patung nama-nama pemikir, penulis dan seniman penting. 
Dengan itulah, tidak bisa tidak, warga di sekitarnya jadi sedikit banyak mengenal dan mengetahui nama-nama yang memperkaya pikiran dan batin umat manusia. Setidaknya, seapes-apesnya, warga yang paling tidak berpendidikan pun akan tahu ada orang yang bernama Friedrich Schiller, pemikir Jerman yang hidup pada abad 18 yang banyak melakukan telaah etika dan estetika, juga penyair dan penulis lakon.
Saya ingat Bandung. Juga ingat Taman Jomblo. Apa coba sumbangsih jomblo bagi kemanusiaan dan peradaban (di Bandung)? 
Sungguh pilihan nama taman yang buruk. Memperlihatkan selera yang medioker. Dan, bisalah dibilang, menunjukkan kegagapan memaksimalkan setiap ruang bagi tumbuh-kembangnya kebudayaan.
Terbayang jika ada turis Eropa bertanya kepada remaja-remaja yang sedang merayakan kegalauan yang difasilitasi negara di Taman Jomblo: “Who is Jomblo? A great thinker? Or great artist? Or maybe a saint?”
Kalau saya yang ditanya, saya akan menjawab: “Jomblo is a fragile sinner.”
39 notes · View notes
arfandid · 10 years ago
Text
Mozaik #12 Suatu sore di kota kertas.
Bukan hanya jingga saja yang menjadi penanda sore di kota ini. Aroma khas kota kertas juga menjadi penanda sore, tentu bukan aroma roti gulung, atau aroma keju. Aroma bubur. Bubur kertas yang dilumat didalam digester dengan bantuan klor. Aroma yang dihasilkan beragam, jelas semuanya tak menyenangkan. Semilir semilir menghangatkan sore, sore kami yang tak terlalu sehat.
Seketika rindu suasana rumah, tentang suatu sore dihalaman rumah. Yang silau matahari nya terhalang gedung asuransi. Sore yang gurih, hangat dan menyenangkan. Menyaksikan mahasiswa keguruan pulang kuliah, menunggu penjual mie pecal keliling, mie Ayam keliling. Sore disana benar benar menyenangkan, bercerita banyak hal, ditegur tetangga yang melintas. Sampai pada akhirnya gelap memudarkan kehangatan itu sampai besok sore Kembali.
Sore ku disini mungkin tak berlangsung lama, dikota kertas yang tak begitu hangat ini mungkin akan menjadi mozaik penting dalam menyusun mozaik mozaik kehidupan yang lain nya. Sekarang sore ku disini masih selalu menunggu jadwal keberangkatan ke sebuah kota (kertas juga) yang ku harap sore nya lebih hangat dan menyenangkan. Semoga.
 December 5, Pinang sebatang.
0 notes
arfandid · 10 years ago
Video
youtube
Gak paham lagi.
Pokoknya saya mau lagu ini ada di nikahan saya!!!
33 notes · View notes
arfandid · 10 years ago
Text
Kapal-Kapal yang Berlayar di Hari Kamis
Tumblr media
1 Oktober 2015, Aksi Kamisan di Bandung terlambat dimulai. Semua properti baru terpasang menjelang jam 17.30 sore. Akibatnya, Kamisan yang bersamaan dengan peringatan 50 tahun Gestok pun baru usai jam 18.30.
Hari sudah gelap ketika Wanggi Hoed, aktor pantomim sekaligus salah satu tulang punggung Aksi Kamisan di Bandung, mulai berdiri mengangkat poster.
Daya melihat-lihat poster yang terpasang di tanah. Ada wajah Wiji Tukul, juga Munir. Dilihatnya melihat Wanggi yang sedang memegang poster bergambar kancil, sebagai tribute untuk pejuang yang tewas di Lumajang, Pak Salim Kancil.
Ia sempat menyanyikan bagian lagu yang diajarkan neneknya, lagu tentang kancil yang mencuri ketimun milik Pak Tani. Wanggi tertawa kecil mendengarnya.
Saya bilang: “Nak, ini Kancil yang berteman dengan petani.”
Tak lama kemudian ia mulai terlihat bosan. Sebab biasanya tak lama usai adzan maghrib kami sudah pulang. Selain itu, kami juga sudah di lokasi sejak jam 16.45. Cukup lama baginya berada di udara terbuka hingga langit benar-benar gelap.
Entah mendapatkan ide dari mana, tiba-tiba ia memunguti guguran daun-daun yang berserakan di depan Gedung Sate. Pertama dipungutnya daun berukuran paling besar. Setelah itu ia pungut daun-daun kecil yang lantas ditaruhnya di daun yang paling besar.
“Bapak, ini kapal. Penumpangnya banyak, loh. Ayo kita berlayar,” katanya.
Ia menggerak-gerakkan daun itu seakan kapal yang sedang berlayar, meliuk-liuk seakan diterpa angin dan gelombang.
“Kok kapalnya goyang-goyang?” tanya saya.
Ia bilang: “Kita berlayar di Sungai Cikapundung, kan banyak yang jualan. Jadi harus belok-belok supaya nggak nabrak.”
Setelah bosan, ia menyerahkan daun-daun itu kepadaku dan berkata: “Sekarang bapak yang cerita-cerita.”
“Cerita apa, ya?” tanyaku.
Daya terdiam sebentar. Tak lama kemudian ia bertanya: “Daun-daun ini dari mana, ya, bapak?”
Lalu saya bercerita dengan sekenanya: perihal angin dan daun-daun, juga pohon-pohon yang meranggas.
—————————-
Foto karya Arif Danun, fotografer Pikiran Rakyat. Dijepret secara candid ketika Aksi Kamisan, 1 Oktober 2015.
19 notes · View notes
arfandid · 10 years ago
Text
50 Tahun “Proklamasi” Kedua
Jika waktu-sejarah dunia dibelah melalui pencacahan yang berporos pada kelahiran Isa al-Masih, Sebelum Masehi dan Setelah Masehi, bisakah waktu-sejarah Indonesia dicacah dengan warsa 1965 sebagai porosnya: Sebelum 1965 dan Setelah 1965?
1965 menjadi garis batas yang mengubah paras Indonesia dengan dramatis. Semangat anti kolonialisme dan imperialisme yang begitu kuat melambari kehidupan politik Indonesia sejak 1945 dibabat habis-habisan. Indonesia, dengan nyaris tiba-tiba, menjadi begitu ramah kepada Barat dan amat terbuka kepada kekuatan ekonomi-politik yang sebelumnya menjadi musuh bersama: neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.
Sedikit yang ingat bahwa Undang-Undang pertama yang dilahirkan rezim Soeharto adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA), bukan undang-undang yang lain. Begitu beleid itu ditandangtangani, Indonesia yang sebelumnya demikian sulit dimasuki oleh modal asing menjelma menjadi tambang yang gampang dikeruk perusahaan asing mana pun.
Freeport, yang belakangan menjadi lambang dari kekuatan modal asing, menjadi korporasi pertama yang langsung mencicipi lezatnya kue Indonesia. Pada tahun yang sama dengan diterbitkannya UU PMA, selang 24 hari usai Sukarno menyerahkan kekuasaannya, Freeport langsung mendapatkan konsesi untuk mengeksplorasi bumi Papua melalui kontrak yang ditandatangani pada 7 April 1967.
Padahal kala itu status Papua Barat masih dalam sengketa. Belum ada keputusan yang bersifat (dan diakui oleh lembaga) multilateral, katakanlah PBB, perihal apakah Papua Barat menjadi bagian Indonesia, atau Belanda (yang masih keukeuh), atau merdeka sebagai bangsa yang berdaulat. Referendum yang akhirnya disepakati sebagai mekanisme penyelesaian sengkata Papua Barat, yang dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), baru dilaksanakan pada 1969 – dua tahun sebelum itu terjadi Freeport dan Indonesia malah sudah sepakat lebih dulu soal kontrak kerjasama eksplorasi (baca: eksploitasi) di Papua.
Sejak itulah Indonesia, yang sebelumnya begitu liat untuk ditaklukkan oleh modal asing, mulai menjadi (ber)sahabat modal asing. Semangat anti kolonialisme dan imperialisme, yang akar tunjangnya menancap dalam pengalaman sebagai bangsa terjajah, bisa dibilang (nyaris) raib dengan seketika.
Dan bukan hanya itu! Secara bertahap, depolitisasi pun dilakukan. Politik mesti tunduk kepada ekonomi – dan ekonomi di situ nyaris sepenuhnya merujuk ekonomi liberal. Rakyat dijauhkan dengan politik, jika perlu anti-politik. Politik hanya dibutuhkan ketika Pemilu. Itu pun Pemilu yang sudah disederhanakan: secara kuantitas partai-partai disederhanakan hanya menjadi tiga partai, secara kualitas disederhanakan hanya/harus Golkar (yang menang).
Politik lalu menjadi demikian sederhana: pemerintah. Mendukung pemerintah disebut “berpolitik”, sedangkan tidak mendukung pemerintah atau bahkan sekadar mengkritik pemerintah didakwa sebagai “memberontak”. Yang pertama dianggap “bertanggungjawab dan pancasiliais”, yang kedua didakwa “tidak bertanggungjawab dan anti-Pancasila”.
Semua perubahan itu titik baliknya terjadi pada pagi 1 Oktober 1965 – tepat 50 tahun yang lalu. Penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya menjadi pemicu utama dilakukannya operasi plastik besar-besaran terhadap wajah Indonesia.
Perubahan dramatis itu bisa diwakilkan melalui sosok Sukarno: tokoh utama yang terus menerus menggali pengalaman sebagai bangsa terjajah untuk mengkampanyekan anti kolonialisme dan imperialisme di/terpaksa menepi dari gelanggang.
Partai Komunis Indonesia menjadi terdakwa utama. Keterlibatan DN Aidit dalam perencanaan penculikan dan pembunuhan enam perwira itu dijadikan dalih untuk memusnahkan bukan hanya mereka yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia, tapi merembet ke mana-mana: dari Sukarno hingga siapa pun yang dianggap “kiri” – tak peduli terlibat atau tidak terlibat dengan peristiwa di Lubang Buaya.
Mereka semua disingkirkan dari panggung sejarah, sebagian melalui cara-cara yang relatif halus (seperti dialami Sukarno), selebihnya disingkirkan sebagaimana hama di sawah: diberantas dan diberangus. Sebagian sanggup bertahan hidup dengan melalui serangkaian penangkapan, pemenjaraan, dan pengasingan, entah pengasingan di Pulau Buru maupun pengasingan sosial berupa larangan ini-itu (dari larangan menjadi PNS hingga larangan mencoblos dalam Pemilu). Sebagian lagi, yang perkiraan minimalnya dari ratusan ribu hingga perkiraan maksimal mencapai jutaan orang, dimusnahkan melalui pembunuhan tanpa proses pengadilan.
Bahkan tak berhenti hanya sampai di situ. kejatuhan Sukarno juga diikuti penangkapan para Sukarnois yang tak ada kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, misalnya, terjadi penangkapan dan pembantaian orang-orang PNI. Mereka dihabisi bahkan walau pun sebelumnya sudah “berandil” ikut memusnahkan orang-orang yang dianggap komunis.
Tiba-tiba saja Indonesia mengenal konsep “dosa asal”: keluarga, anak beserta keturunan orang-orang yang dicap sebagai komunis pun harus menanggung kepedihan itu. Hanya karena orang tuanya dianggap terlibat, orang-orang lain di sekitarnya harus ikut menanggung “dosa”. Mengurus dokumen dipersulit, menjadi pegawai negeri nyaris mutahil, berikut berbagai stigma lanjutan yang diawetkan melalui proaganda yang massif.
Jika pada tahap pertama “kiri” diidentifikasikan sebagai komunis, pada tahap kedua kemudian dilekatkan pada para Sukarnois (anggota PNI atau bukan), selanjutnya cap itu berkembang ke mana-mana secara membabi buta. Dan itu masih berlangsung hingga hari ini.
Dengan mudahnya seseorang dicap “komunis” hanya karena, misalnya, mendiskusikan Marxisme. Masih mending mendiskusikan Marxisme yang memang masih bertemali dengan komunisme, bahkan sekadar menuntut negara bertanggungjawab atas kekerasan yang pernah dilakukan negara pun bisa dicap “komunis”. Menuntut negara bertanggungjawab atas pembantaian yang terjadi di Talangsari (Lampung) sekali pun sudah bisa mendapatkan cap itu. 
Cendekiawan sekelas Emha Ainun Nadjib, dalam salah satu ceramahnya, bahkan menuduh mereka yang bicara pelanggaran HAM di Talangsari sebagai agenda (orang-orang) komunis. Untuk diketahui, korban peristiwa Talangsari adalah orang-orang muslim. Segitunya!
Pemusnahan “kiri”, baik manusianya maupun infrastruktur gagasannya (dari partai hingga buku-bukunya) yang menjelma sebagai hamparan karpet merah bagi masuknya modal asing di Indonesia. Sekali lagi: “kiri”, dan bukan hanya komunisme dan Partai Komunis Indonesia. (Gagasan) Tan Malaka, misalnya, tak luput dari pemberangusan walau pun ia sudah menjadi musuh besar dan (dianggap) pengkhianat oleh PKI sejak 1925.
Dan sejak itu pula Indonesia berubah wajahnya dengan seketika: watak anti kolonialisme dan imperialisme nyaris musnah dari wajah (pemerintahan) Indonesia.
Perubahan wajah, dalam proses yang alami, biasanya berlangsung seiring merambatnya usia. Namun perubahan yang drastis nan dramatis hanya bisa dilakukan melalui sejenis operasi plastik yang menggunakan pisau bedah – dan karenanya berdarah. Mana ada genosida yang tak berdarah?
Jika 1945 ialah proklamasi yang (diniatkan) men-tidak-kan kolonialisme, maka 1965 adalah proklamasi yang men-tidak-kan “kiri” (dengan ragam varian dan spektrumnya).
Versi ringkas esai ini tayang di Jawa Pos. Untuk membaca versi ringkasnya, sila klik tautannya DI SINI.
31 notes · View notes
arfandid · 12 years ago
Text
Mozaik #3
Sepanjang perjalanan hidup ku, ada dua lagu yang menjadi misteri yang tak seorang pun bisa menebak siapa dan apa judul lagu yang ku beritahukan klue nya. Dua lagu itu memiliki memori yang indah sekali, lagu lagu itu memang jadi bagian hidup ku dan almarhum saudara laki laki ku.
Sore ini, satu lagu yang sulit sekali ditemukan akhirnya dapat juga. Core Of Soul - Purple Sky. SMP kelas 2 masih ingat sekali sore liat PV ini di MTV, duduk didepan tv sama abangku. kagum liat pemain gitarnya, mainin gitar pake gesekan biola. Dari saat itu cuma ingat bagian pemain gitar sama nama SOUL nya itu. Dan akhirnya ketemu juga hari ini.
Aku ngga tau seberapa penting dan bakalan menikmati lagu ini, tapi ini pengobat rindu dan penambah rindu buat abang ku yang insya allah sudah tenang di alam sana.
Dan, lagu satu lagi entah kapan akan ku dapat, ntah mozaik keberapa.
1 note · View note
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
Pagi ini terlalu magis. Semula tadi ingin sekali melewatkan subuh berjamaah dimasjid, tapi tuhan ku, engkau maha baik, kau sentuhkan tangan sejuk kedalam hati ku, kau buatkan aku takut untuk meninggalkan kewajiban ku sebagai umat mu. Tuhan ku, aku meminta kepada mu untuk mensucikan pagi ini, sesuci embun, sesempurna mungkin, sampai semua yang terbangun melihatnya bahagia. Walaupun disepenggal belahan kota disana telah tercemar debu dan asap kenderaan, berilah orang orang yang disana keikhlasan untuk tetap menikmati magisnya pagi ini.
Terima kasih tuhan, engkau maha baik.
0 notes
arfandid · 12 years ago
Text
#Mozaik 1
Ini yang pertama. hal yang pertama dilakukan itu biasa nya bakalan itu bakalan canggung, merasa aneh, tidak leluasa. Dibalik itu semua, kesan pertama itu biasanya abadi dikenang. Seperti pertama kali nonton bioskop, pasti inget nonton film apa dan nontonnya sama siapa.
Sama juga kayak ini, mozaik pertama untuk rangkaian patung kehidupan, untuk cerminan masa depan, tapak kilas yang akan menjadi inspirasi. Awal yang sangat sulit dikarang, berusaha keras merangkai kata kata terbaik. Setelah terjerumus dari tulisan tulisan orang dan akhirnya harus dihapus lagi, diulangi sampai tulisan pertama ini mencerminkan jati diri yang sebenar-benarnya.
Sulit sekali memang, untuk seorang pemula yang tidak dilahirkan dengan seratus juta kosa kata. bahasa yang kaku dan tidak elegan ini akan sangat lucu dan memalukan andai dibaca 10 atau 20 tahun yang akan datang.
Aku binggung apa ini mukadimah atau bukan, tapi mozaik yang pertama ini bakal jadi acuan untuk mozaik mozaik selanjutnya.
dan terakhir !! disini ga bisa minta Folback kah?
0 notes
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
False-color scanning electron micrograph of artery containing red blood cells.
Blood thicker than oughter
One in three Americans – or roughly 68 million people – have hypertension or high blood pressure. The vast majority either don’t know they have it, or don’t have it under control.
They should. Hypertension, which essentially means blood pressure within arteries is higher than normal, forcing the heart to work harder than normal to push blood through the body’s circulatory system, is a major risk factor stroke, myocardial infarction (heart attacks), heart failure, aneurysms, peripheral arterial disease and a cause of chronic kidney disease.
Even moderate elevation of arterial blood pressure is associated with a shortened life expectancy.
Much is known about how to remedy the situation. Lifestyle changes can do a lot: Maintaining a healthy body weight, getting regular exercise, managing stress, limiting alcohol consumption, not smoking and eating a healthy diet high in fruits and vegetables and low in saturated fats, trans fats, cholesterol and salt.
Much less is known about the fundamental mechanics of hypertension. Indeed, 90 to 95 percent of hypertension cases are categorized as “primary,” meaning there is no obvious underlying cause.
A little bit of hypertension’s mystery, however, may have been stripped away in a new paper by researchers at the UC San Diego School of Medicine, San Diego Supercomputer Center and UC San Diego Moores Cancer Center.
Writing in the journal Bioorganic and Medicinal Chemistry, lead author Igor F. Tsigelny, PhD, and colleagues describe designing new compounds that mimic naturally occurring molecules in the body that regulate blood pressure. The most promising of these may provide the key to controlling hypertension by switching off the signaling pathways that lead to the condition. You can read the whole news release here.
120 notes · View notes
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
Chicken and Kale Enchiladas
494 notes · View notes
arfandid · 12 years ago
Photo
indonesian food
Tumblr media
beef rendang: recipe here
257 notes · View notes
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
Human epithelial cell in mitosis, fluorescently labeled for alpha tubulin, gamma tubulin and DNA
Mr. Joshua Nordberg and Mr. Christopher English
University of Massachusetts Medical School,
Worcester, MA, USA
Technique: Fluorescence, deconvolution, 100x Objective
290 notes · View notes
arfandid · 12 years ago
Photo
Tumblr media
Latihan Dasar Kepemimpinan
0 notes