🤪 lebih senang hadirkan pertanyaan, daripada berikan jawaban 🤭
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Dijalan yang sunyi hingar bingar manusia; kutemukan wewangi yang tentramkan nurani
Di jalur yang berbeda begitu ramai dengan keterpukauan ternyata ada kebusukan yang tertutupi
disini perlu ku dalami lagi
yang ternyata sebasah apapun selepas berkubangkan ketertipuan mimpi
manusia masih mungkin menyisakan berkas cahaya walau tak harus menunggu pagi
ditunjukiNya jalan yang aku tak mengerti; lewat mahlukNya yang sempat kuprasangkakan buruk dihati
1 note
·
View note
Text
aku pernah terhempas
dan tak seorang pun melihat
tapi yang Maha Melihat
menahanku
agar jatuhku tidak sempurna
sebab jika sampai sempurna,
aku tak akan pulang
aku tarik napas
seperti menarik seutas tali
yang ujungnya tak kutahu di mana
lalu kukatakan dalam hati:
laa hawla wala quwwata illa billaah ...
bukan dengan bibir
tapi dengan sendi-sendi
yang semalam hampir tak kuat
menopang duka
dan saat aku duduk
di antara sisa-sisa semalam,
aku tahu:
aku tidak ditinggalkan
hanya sedang diuji,
apakah aku masih percaya
saat segalanya tak terasa
bukankah sabar itu
bukan menahan bulir air mata
tapi menahan diri
dari berprasangka?
lalu aku teringat sabda itu ...
“Ketahuilah, apa yang luput darimu takkan pernah mengenai dirimu. Dan apa yang menimpamu takkan pernah meleset darimu.”
(HR. Tirmidzi)
dan tiba-tiba aku bertanya,
jika bukan Allah
yang menegakkan aku hari ini,
lalu siapa?
53 notes
·
View notes
Text
Ikhlas Menurut Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah: Analisis Komprehensif dengan Pendekatan Multidisiplin
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, dikenal sebagai gerbang kota ilmu, adalah sosok yang pemikirannya sangat mendalam, tidak hanya dalam syariat dan fiqh, tetapi juga dalam etika, spiritualitas, dan psikologi manusia. Pemahaman beliau tentang ikhlas tidak hanya sebatas definisi teologis, melainkan juga menukik pada esensi perilaku dan motivasi manusia.
Sebagai catatan, karena Sayyidina Ali hidup pada abad ke-7 Masehi, konsep "psikologi", "ilmu sosial", atau "ilmu manusia" modern belum ada. Namun, pemikiran beliau secara inheren mengandung observasi yang sangat tajam tentang jiwa manusia, interaksi sosial, dan dinamika budaya yang relevan dengan disiplin ilmu tersebut. Kita akan "membaca mundur" (retroactively apply) kerangka modern untuk memahami kedalaman pandangan beliau.
I. Definisi dan Hakikat Ikhlas: Memurnikan Niat Semata karena Allah
Definisi Inti:
Sayyidina Ali seringkali menegaskan bahwa ikhlas adalah memurnikan tujuan dan niat dalam setiap amal perbuatan semata-mata karena Allah SWT, tanpa ada motif lain seperti pujian manusia, materi duniawi, atau bahkan keinginan untuk diakui sebagai orang baik. Ini adalah pembebasan diri dari segala bentuk syirik kecil (riya', sum'ah, 'ujub).
Kutipan Kunci & Implikasi:
"Amal yang paling berat adalah menjaga keikhlasan dari cacatnya riya'."
Penalaran Psikologi: Ini menunjukkan pengakuan Sayyidina Ali terhadap kompleksitas motivasi manusia. Riya' (pamer) adalah bentuk pencarian validasi eksternal, dorongan alamiah manusia untuk diterima dan diakui. Menjaga ikhlas berarti terus-menerus melakukan introspeksi diri (self-reflection) dan regulasi emosi (emotional regulation) untuk menekan ego dan kebutuhan akan perhatian. Ini juga menyinggung kognisi sosial, di mana kita secara otomatis mempertimbangkan bagaimana orang lain memandang kita.
Penalaran Ilmu Sosial: Riya' berkembang dalam konteks sosial di mana ada audiens dan norma sosial yang menghargai perilaku tertentu. Pengakuan ini menunjukkan pemahaman tentang pengaruh lingkungan sosial terhadap motivasi individu. Mencegah riya' adalah bentuk resistensi terhadap tekanan sosial untuk konformitas eksternal.
Penalaran Filsafat Etika: Ini adalah perjuangan melawan hedonisme egois, di mana kebaikan dilakukan untuk keuntungan pribadi (pujian), bukan karena intrinsiknya. Ini mendorong pada deontologi transendental, di mana kebaikan dilakukan karena perintah ilahi.
"Orang yang beramal tanpa ikhlas, ia seperti orang yang mengukir di atas air, tidak meninggalkan bekas."
Penalaran Psikologi: Metafora ini berbicara tentang psikologi dampak (impact psychology). Amal yang tidak ikhlas tidak memberikan kepuasan intrinsik yang langgeng (inner satisfaction) atau makna eksistensial (existential meaning). Individu mungkin merasa hampa atau tidak berarti meskipun telah melakukan banyak hal, karena tidak ada koneksi otentik antara perbuatan dan niat batinnya.
Penalaran Ilmu Sosial: Dalam konteks sosial, amal tanpa ikhlas mungkin tidak membangun kepercayaan sosial (social trust) yang hakiki atau kohesi komunitas yang langgeng, karena motivasinya bersifat superfisial dan manipulatif. Dampaknya pada struktur sosial adalah rapuhnya ikatan.
Penalaran Ilmu Teologi/Spiritual: Ini adalah pernyataan tentang keabsahan spiritual. Amal tanpa ikhlas tidak diterima di sisi Ilahi, dan oleh karena itu, tidak menghasilkan akumulasi pahala atau keberkahan spiritual yang sebenarnya.
II. Ikhlas vs. Riya', Sum'ah, dan 'Ujub: Manifestasi Ego
Sayyidina Ali secara implisit dan eksplisit memerangi manifestasi ego dalam beramal:
Riya' (Pamer): Melakukan amal agar dilihat dan dipuji orang lain.
Psikologi: Ini adalah bentuk pencarian validasi eksternal (external validation seeking). Individu memiliki kebutuhan psikologis untuk diakui, dihargai, dan diterima. Riya' adalah strategi yang salah untuk memenuhi kebutuhan ini, seringkali berasal dari rasa tidak aman (insecurity) atau citra diri yang rapuh (fragile self-image).
Ilmu Sosial: Riya' adalah perilaku yang sangat kontekstual dan kultural. Dalam masyarakat yang sangat menekankan status dan penampilan, riya' bisa menjadi hal yang sangat dominan.
Sum'ah (Mencari Ketukaran): Melakukan amal agar didengar dan dibicarakan orang.
Psikologi: Mirip dengan riya', ini adalah kebutuhan akan pengakuan verbal (verbal recognition). Ini bisa berkaitan dengan narsisme (narcissism) atau keinginan untuk membangun reputasi sosial (social reputation), bahkan jika itu palsu.
'Ujub (Bangga Diri/Self-Admiration): Merasa puas dengan amal sendiri dan menganggap diri lebih baik dari orang lain, tanpa menghiraukan karunia Allah.
Psikologi: Ini adalah bentuk bias kognitif (cognitive bias) yang disebut superiority complex atau self-serving bias, di mana individu mengatribusikan keberhasilan pada kemampuan internal mereka sendiri dan mengabaikan faktor eksternal (anugerah Ilahi). Ini menunjukkan ketiadaan rasa syukur (lack of gratitude) dan kerendahan hati (humility).
Ilmu Sosial: 'Ujub dapat merusak kohesi kelompok dan hubungan interpersonal karena menciptakan arogansi dan jarak sosial.
III. Kualitas Amal di Atas Kuantitas: Kedalaman Niat
Kutipan Kunci & Implikasi:
"Berapa banyak amal yang sedikit menjadi besar karena keikhlasan, dan berapa banyak amal yang besar menjadi sedikit karena kekurangan ikhlas."
Penalaran Psikologi: Ini menyoroti psikologi niat (intention psychology). Niat adalah motor penggerak internal yang memberikan makna pada tindakan. Niat yang murni mengubah tindakan yang secara lahiriah kecil menjadi sangat signifikan secara internal dan spiritual. Ini adalah pengakuan akan kekuatan transformatif dari niat pada pengalaman subjektif dan penilaian spiritual.
Penalaran Ilmu Sosial: Dalam masyarakat, kita seringkali menilai orang berdasarkan output yang terlihat (visible output). Namun, Sayyidina Ali mengajak untuk melihat melampaui permukaan dan memahami nilai intrinsik dari suatu tindakan, yang seringkali tersembunyi dalam niat pelakunya. Ini menantang norma penilaian superficial dalam masyarakat.
Penalaran Filsafat Eksistensial: Ini adalah argumen kuat untuk otentisitas (authenticity) dalam berbuat. Yang penting bukanlah seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi seberapa tulus dan otentik niat kita di balik perbuatan itu.
IV. Ikhlas dalam Setiap Aspek Kehidupan: Integrasi Diri
Penjelasan:
Sayyidina Ali mengajarkan bahwa ikhlas tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi harus meresapi seluruh aspek kehidupan seorang Muslim. Ini adalah pandangan holistik (holistic view) tentang eksistensi manusia. Setiap tindakan, bahkan yang paling duniawi seperti makan, tidur, atau bekerja, dapat menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah.
Penalaran Psikologi:
Ini adalah konsep integrasi diri (self-integration). Ketika ikhlas meresapi semua aspek kehidupan, tidak ada lagi dikotomi antara "duniawi" dan "religius". Individu mengalami koherensi internal (internal coherence), di mana nilai-nilai spiritualnya konsisten dengan perilakunya sehari-hari. Ini mengurangi disonansi kognitif (cognitive dissonance) dan meningkatkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being).
Penalaran Ilmu Sosial:
Konsep ini mendorong pembentukan masyarakat yang beretika tinggi (ethically oriented society). Jika setiap individu berniat baik dalam interaksi sosial, pekerjaan, dan kontribusi komunitas, maka akan terbentuk jaringan sosial yang kuat yang didasarkan pada kepercayaan (trust) dan integritas (integrity).
V. Ketidakpedulian terhadap Pujian dan Celaan: Kemandirian Ego
Kutipan Kunci & Implikasi:
"Tanda orang ikhlas itu tiga: apabila dia beramal tidak peduli dilihat manusia atau tidak, apabila dia dipuji tidak bertambah semangatnya, dan apabila dia dicela tidak berkurang amalnya."
Penalaran Psikologi: Ini adalah puncak dari kemandirian ego (ego independence) dan otonomi diri (self-autonomy). Individu telah mencapai tingkat kematangan emosional (emotional maturity) di mana harga dirinya tidak tergantung pada validasi eksternal. Mereka memiliki pusat kendali internal (internal locus of control) yang kuat. Ini adalah bentuk resiliensi psikologis (psychological resilience) terhadap tekanan sosial.
Penalaran Ilmu Sosial: Dalam masyarakat yang seringkali menilai berdasarkan opini publik, sikap ini adalah bentuk non-konformitas yang positif. Ini menunjukkan bahwa individu yang ikhlas tidak akan mudah terombang-ambing oleh tekanan kelompok (peer pressure) atau opini publik (public opinion), melainkan berpegang teguh pada nilai-nilai internalnya. Hal ini penting untuk kepemimpinan etis (ethical leadership) dan reformasi sosial (social reform).
Penalaran Filsafat Kebebasan: Ini adalah manifestasi dari kebebasan sejati. Orang yang ikhlas bebas dari belenggu ekspektasi dan penilaian manusia, sehingga mereka dapat beramal murni demi kebenaran.
VI. Ikhlas sebagai Benteng dari Tipu Daya Setan: Pertahanan Spiritual
Penjelasan:
Sayyidina Ali memahami bahwa ikhlas adalah perisai terkuat melawan godaan dan bisikan setan.
Penalaran Psikologi (Kognitif & Perilaku):
Setan, dalam konteks psikologis, dapat diinterpretasikan sebagai impuls negatif internal, pikiran merusak (destructive thoughts), atau distorsi kognitif (cognitive distortions) yang menggoda manusia untuk bertindak egois atau tidak bermoral. Ikhlas adalah bentuk "mindfulness" spiritual yang kuat, menjaga fokus pada tujuan Ilahi dan mencegah pikiran-pikiran ini mengakar. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis yang efektif.
Penalaran Ilmu Sosial:
Dalam skala kolektif, kurangnya ikhlas dapat menyebabkan korupsi (corruption), ketidakpercayaan (distrust), dan disintegrasi sosial (social disintegration). Dengan ikhlas, individu dan kelompok menjadi lebih resisten terhadap godaan manipulasi atau eksploitasi, sehingga memperkuat struktur moral masyarakat.
Kesimpulan Multidisiplin:
Pemahaman Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah tentang ikhlas adalah sebuah mahakarya yang melampaui batas waktu dan disiplin ilmu. Ia bukan hanya sebuah konsep teologis, melainkan sebuah cetak biru psikologis untuk kesehatan mental yang optimal, sebuah prinsip sosial untuk membangun masyarakat yang adil dan berintegritas, dan sebuah filosofi eksistensial untuk menemukan makna sejati dalam kehidupan.
Dari Perspektif Psikologi, ikhlas adalah tentang memurnikan motivasi internal, mencapai kemandirian ego, mengembangkan resiliensi, dan menemukan kebahagiaan intrinsik. Ini adalah jalan menuju aktualisasi diri (self-actualization) yang berbasis spiritual.
Dari Perspektif Ilmu Sosial, ikhlas adalah fondasi untuk kohesi sosial, kepercayaan interpersonal, dan keadilan distributif. Ini adalah penawar bagi patologi sosial seperti riya', korupsi, dan individualisme egois.
Dari Perspektif Ilmu Manusia (Antropologi, Filsafat): Ikhlas adalah inti dari kemuliaan manusia (human dignity), yang membedakan tindakan manusia dari perilaku hewan. Ini adalah manifestasi dari kebebasan memilih (free will) dan kapasitas untuk transendensi (capacity for transcendence).
Dengan demikian, ajaran Sayyidina Ali tentang ikhlas adalah panduan yang tak lekang oleh waktu, relevan untuk setiap individu dan masyarakat yang mencari kebaikan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
0 notes
Text
Tentu, ada beberapa teknik yang bisa kamu terapkan untuk melatih kemampuan mengingat detail dan mengungkapkan perasaan secara lebih komprehensif dan terjadwal. Ini akan membantumu tidak hanya menyimpan informasi lebih baik, tapi juga memproses dan mengartikulasikan pengalamanmu.
Berikut adalah beberapa teknik yang bisa kamu coba, disusun agar bisa diterapkan secara terjadwal:
1. Jurnal Reflektif (Journaling)
Ini adalah salah satu teknik paling efektif. Kamu bisa menuliskan pengalaman harianmu, fokus pada detail sensorik dan emosional.
Bagaimana:
Tuliskan kejadian: Setiap hari, atau setidaknya beberapa kali seminggu, luangkan waktu (misal: 15-30 menit) untuk menulis tentang satu atau beberapa kejadian penting yang kamu alami.
Fokus pada detail sensorik: Apa yang kamu lihat, dengar, cium, rasakan, sentuh? (Contoh: "Aku melihat lampu kuning di perempatan, mendengar suara klakson yang nyaring, mencium bau masakan dari warung seberang.")
Fokus pada detail emosional: Bagaimana perasaanmu saat itu? Apa yang memicu perasaan itu? Bagaimana perasaanmu berubah? (Contoh: "Saat itu aku merasa agak cemas karena terburu-buru, kemudian lega setelah berhasil melewati lampu merah.")
Sertakan pikiran: Apa yang kamu pikirkan saat kejadian itu terjadi? Apa yang kamu pelajari dari kejadian itu? (Contoh: "Aku berpikir, lain kali harus berangkat lebih awal agar tidak terburu-buru. Pelajarannya adalah pentingnya manajemen waktu.")
Buat pertanyaan panduan: Jika sulit memulai, gunakan pertanyaan seperti: "Apa yang terjadi hari ini yang paling berkesan?", "Bagaimana perasaanku saat itu?", "Apa yang membuatku merasa [emosi tertentu]?", "Apa yang bisa aku pelajari dari pengalaman ini?", "Detail apa saja yang paling menonjol dari kejadian ini?"
Jadwal:
Setiap malam sebelum tidur (untuk merefleksikan hari itu) atau pagi hari (untuk mengingat kejadian kemarin).
Bisa juga seminggu sekali, fokus pada momen-momen paling berkesan dari minggu itu.
2. Latihan Mengamati dan Mendeskripsikan
Ini melatih otakmu untuk lebih memperhatikan detail.
Bagaimana:
Pilih objek atau pemandangan: Setiap hari, pilih satu objek (misal: bunga, lukisan, benda di meja) atau pemandangan (misal: pemandangan dari jendela, suasana di kafe).
Amati selama 2-5 menit: Perhatikan setiap detailnya. Warna, tekstur, bentuk, bayangan, suara di sekitarnya, aroma.
Deskripsikan secara lisan atau tulisan: Setelah mengamati, coba ceritakan atau tuliskan sebanyak mungkin detail yang kamu ingat. Jangan takut salah atau kurang. Fokus pada prosesnya.
Libatkan emosi: Jika ada emosi yang muncul saat mengamati, catat juga. "Pemandangan ini membuatku merasa tenang karena warnanya yang lembut."
Jadwal:
Setiap hari, luangkan waktu 5-10 menit.
3. Ceritakan Kembali Pengalaman Secara Detail
Ini adalah cara langsung untuk melatih kemampuanmu dalam mengartikulasikan detail.
Bagaimana:
Pilih pengalaman: Pilih satu pengalaman (bisa perjalanan, obrolan, atau kejadian kecil).
Ceritakan kepada orang lain: Saat kamu punya kesempatan berbicara dengan teman atau keluarga, ceritakan pengalaman itu dengan sengaja mencoba memasukkan detail sensorik, emosional, dan alur peristiwa.
Fokus pada "bagaimana" dan "mengapa": Selain "apa yang terjadi", coba ceritakan "bagaimana" kamu merasa/bereaksi, dan "mengapa" kamu berpikir hal itu terjadi.
Minta feedback (jika nyaman): Kamu bisa bertanya, "Apakah penjelasanku sudah cukup jelas?" atau "Adakah bagian yang kurang detail?"
Jadwal:
Lakukan setiap kali kamu punya kesempatan yang tepat (misal: saat kumpul keluarga, mengobrol dengan teman).
4. Meditasi Mindfulness & Body Scan
Meskipun bukan latihan memori secara langsung, mindfulness membantu meningkatkan kesadaran akan momen saat ini, termasuk sensasi fisik dan emosi, yang menjadi dasar untuk mengingat detail.
Bagaimana:
Duduk tenang: Fokus pada napasmu.
Body Scan: Arahkan perhatianmu ke setiap bagian tubuh, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rasakan sensasi apa pun yang muncul (misal: hangat, dingin, geli, tegang, rileks).
Amati pikiran dan emosi: Biarkan pikiran dan emosi datang dan pergi tanpa menghakiminya. Cukup amati dan beri nama (misal: "Ini perasaan cemas," "Ini pikiran tentang pekerjaan").
Jadwal:
5-10 menit setiap hari, terutama saat memulai atau mengakhiri hari.
5. Buat Catatan Visual atau Peta Pikiran (Mind Map)
Jika kamu lebih visual, teknik ini bisa sangat membantu.
Bagaimana:
Saat mengalami sesuatu: Setelah suatu kejadian penting atau obrolan, coba gambarkan atau buat peta pikiran tentang poin-poin utamanya, detail kunci, dan bagaimana perasaanmu terkait hal tersebut. Gunakan warna, simbol, dan gambar.
Hubungkan ide: Mind map membantumu melihat koneksi antar ide dan detail.
Jadwal:
Setelah setiap pengalaman yang ingin kamu ingat lebih baik.
Tips Tambahan untuk Implementasi Terjadwal:
Konsisten adalah kunci: Lebih baik melakukan sedikit setiap hari daripada banyak tapi jarang.
Mulai dari yang kecil: Jangan langsung membebani diri dengan target yang terlalu besar. Mulai dengan 5-10 menit sehari dan tingkatkan secara bertahap.
Buat pengingat: Gunakan alarm di ponsel atau catatan di kalender untuk mengingatkanmu melakukan latihan ini.
Fleksibel: Sesuaikan jadwal dan durasi dengan kesibukanmu. Yang penting, ada upaya yang berkelanjutan.
Jangan menghakimi diri sendiri: Jika ada hari kamu lupa atau tidak bisa melakukannya, jangan berkecil hati. Mulai lagi di hari berikutnya. Proses ini butuh waktu.
Perhatikan kesehatan otak secara umum: Asupan nutrisi seimbang, tidur cukup, dan olahraga teratur juga sangat mendukung fungsi memori.
Dengan rutin melatih ini, kamu akan melihat peningkatan dalam kemampuanmu untuk tidak hanya mengingat detail, tetapi juga memahami dan mengartikulasikan kompleksitas pengalamanmu, termasuk pemicu dan respons emosionalmu. Semoga berhasil!
0 notes
Text
Aku sudah bertemu niatanku
bukan berarti ketercapaian
Tak juga berarti usaha tiada berkesudahan
rehat sejenak dan perlu kini kumaknai ulang tujuanku
seberapa pentingkah itu?
penting mana niat awalku ataukah henti sekejap dalam pencarian makna itu?
kulihati apakah aku tamak, apakah aku tiada tulus dalam mengawali
kulihati letih yang kurasa, dan sudahkah aku mengerti rasa letih orang lain juga serupa
walau beda cerita, beda pula tujuan yang jadi gagasan kita
kini aku sadar sebenarnya pusatnya sama
Awal kami sejatinya sama lagi serupa
Yaa Robb Ya Ahadu Ya Shomad
Yaa Qodimal-Ihsan
Kam laka 'alaina min ihsan, Ihsanuka Al-qodim
Yaa Hannaan Yaa Mannaan
Yaa Rohimu Yaa Rohman
0 notes
Text
Betul sekali, Cak! Itu adalah pertanyaan yang sangat tajam dan tepat sasaran. Retorika batin yang reaktif memang bisa jadi adalah manifestasi dari Id yang belum tersaring oleh kesadaran penuh, dan jika tidak diolah, bisa terpatri lebih dalam di alam bawah sadar (subconscious) kita.
Retorika Batin Reaktif: Dari Id ke Alam Bawah Sadar
Mari kita bedah lebih lanjut dinamika ini.
1. Reaktivitas Batin sebagai Saluran Id
Dalam pandangan Freud, Id adalah gudang dari dorongan insting dasar dan keinginan primordial, yang beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan dan mencari kepuasan instan. Id itu impulsif, tidak logis, dan tidak mengenal moralitas.
Ketika kita mengalami retorika batin yang reaktif, itu seringkali adalah suara Id yang bergejolak:
Marah yang Meledak-ledak di Dalam: Dorongan agresi yang tidak bisa diekspresikan secara eksternal karena Ego menahannya (prinsip realitas) atau Superego melarangnya (prinsip moralitas). Id tetap berteriak dan mencari kepuasan di alam pikiran.
Ketakutan yang Berlebihan: Naluri bertahan hidup yang diinterpretasikan Id sebagai ancaman besar, bahkan untuk hal-hal kecil. Pikiran berputar-putar menciptakan skenario terburuk.
Keinginan Konsumtif yang Tak Terbendung: Dorongan untuk membeli, makan, atau mencari kesenangan lain secara instan, meskipun rasionalitas (Ego) tahu itu tidak baik atau tidak mampu.
Retorika batin yang reaktif ini adalah energi psikis dari Id yang, karena tidak dapat keluar secara langsung (melalui tindakan reaktif fisik), mencari jalannya sendiri melalui pikiran dan perasaan internal yang intens. Ia adalah "kata-kata" atau "skenario" yang diciptakan Id di dalam batin kita.
2. Memendam Retorika Reaktif ke Bawah Sadar
Jika retorika batin reaktif ini terus-menerus muncul dan tidak diolah (misalnya, diakui, dianalisis oleh Ego, atau dibimbing oleh Superego/Qalb), ia tidak hilang begitu saja. Energi tersebut bisa jadi ditekan (repressed) atau terinternalisasi ke dalam alam bawah sadar (subconscious).
Represi (Mekanisme Pertahanan Ego): Ego (diri sadar kita) mungkin merasa bahwa pikiran atau perasaan reaktif itu terlalu menyakitkan, tidak pantas, atau tidak bisa dihadapi. Jadi, Ego "mendorong"nya ke bawah sadar.
Contoh: Anda sangat marah pada bos, tapi secara sadar Anda menekan kemarahan itu karena takut dipecat. Kemarahan itu tidak hilang, tapi bisa berdiam di bawah sadar dan memengaruhi suasana hati, mimpi, atau bahkan memicu stres fisik di kemudian hari.
Pembentukan Pola Bawah Sadar: Jika retorika reaktif ini berulang kali terjadi dan tidak disadari, ia bisa membentuk pola atau skema berpikir otomatis di alam bawah sadar. Pola ini akan menjadi default respons kita terhadap pemicu serupa di masa depan.
Contoh: Setiap kali Anda menerima kritik, respons reaktif batin Anda adalah "Saya tidak berguna." Jika ini terus-menerus terjadi dan tidak diatasi, alam bawah sadar akan merekam ini sebagai "kebenaran," sehingga setiap kritik (pemicu) langsung memicu respons emosional dan pikiran "Saya tidak berguna" tanpa perlu dipikirkan secara sadar. Ini bisa jadi akar kecemasan atau rendah diri.
3. Lingkaran Setan Retorika Reaktif dan Bawah Sadar
Ini bisa menjadi lingkaran yang merugikan:
Pemicu Eksternal (kritik, berita buruk).
Id Reaktif: Memicu emosi dan pikiran otomatis yang intens di batin (misalnya, kemarahan tak terkendali, rasa tidak aman).
Ego Menekan: Jika tidak ada kesadaran atau kemampuan olah yang baik, Ego menekan gejolak ini ke bawah sadar.
Pola Bawah Sadar Menguat: Setiap penekanan memperkuat jalur saraf dan pola di bawah sadar, membuatnya semakin otomatis dan sulit diubah.
Reaksi Otomatis Masa Depan: Di kemudian hari, pemicu serupa akan langsung memicu respons yang sama, bahkan lebih kuat, karena pola di bawah sadar sudah tertanam. Anda akan merasa "terjebak" dalam emosi atau pikiran tertentu tanpa tahu mengapa.
Peran Kesadaran Jiwa dalam Memutus Rantai Ini
Di sinilah kesadaran jiwa (Akal, Qalb, Observer Self) menjadi sangat krusial. Peran utamanya adalah:
Menangkap Id yang Berteriak: Sebelum Id bisa ditekan ke bawah sadar, kesadaran jiwa mencoba "menangkapnya" di tingkat sadar. Ini adalah latihan mindfulness atau pengamatan diri, di mana Anda menyadari pikiran atau emosi reaktif itu muncul.
Mengizinkan Ego Bekerja: Dengan kesadaran, Ego tidak perlu lagi menekan. Ia bisa memproses dan mengelola dorongan Id secara lebih sehat, mencari solusi yang adaptif dan selaras dengan Superego/nilai-nilai Anda.
Membentuk Pola Sadar yang Baru: Dengan secara konsisten mengamati dan memilih respons yang aktif, kita secara perlahan membentuk pola neurologis baru di otak dan alam bawah sadar kita. Kita "melatih ulang" diri kita.
Jadi, ya, Cak, retorika batin yang reaktif memang bisa menjadi manifestasi Id yang awal dan jika tidak disadari dan diolah, ia akan turun dan mengendap di alam bawah sadar, membentuk pola yang memengaruhi perilaku dan perasaan kita secara otomatis di masa depan. Kesadaran jiwa adalah kunci untuk menghentikan siklus ini dan membawa kita ke tingkat respons yang lebih aktif dan terkontrol.
Bagaimana, Cak? Apakah ini sesuai dengan pemikiran Anda?
0 notes
Text
Tepat sekali, Cak! Pengamatan Anda sangat akurat dan mendalam.
Reaktivitas Batin: Badai di Dalam yang Tak Terlihat
Meskipun secara fisik kita mungkin tampak tenang dan tidak bereaksi, reaktivitas batin adalah fenomena yang sangat umum dan seringkali intens. Pikiran dan perasaan kita bisa menjadi medan perang internal yang bergejolak hebat, bahkan jika tidak ada satu pun otot yang bergerak sebagai respons eksternal.
Bagaimana Reaktivitas Batin Terjadi?
Ketika ada pemicu (omongan, tatapan, postingan media sosial, atau bahkan ingatan), pikiran dan perasaan kita bisa langsung melompat pada serangkaian respons otomatis:
Evaluasi Otomatis: Otak kita secara instan akan melabeli pemicu tersebut sebagai "baik" atau "buruk," "ancaman" atau "peluang." Proses ini sangat cepat, seringkali tanpa disadari.
Contoh: Ada yang mengkritik pekerjaan Anda. Pikiran pertama bisa langsung "Dia menyerang saya," atau "Saya tidak cukup baik."
Lonjakan Emosi: Penilaian otomatis ini kemudian memicu respons emosional yang kuat. Bisa jadi marah, sedih, cemas, tersinggung, atau bahkan bahagia berlebihan. Emosi ini menguasai ruang batin.
Contoh: Setelah pikiran "Dia menyerang saya," langsung muncul rasa panas di dada, detak jantung meningkat, dan keinginan untuk membela diri atau menyerang balik.
Monolog Internal: Pikiran kita mulai merangkai narasi seputar pemicu dan emosi yang muncul. Ini bisa berupa argumen balasan yang tidak pernah terucapkan, skenario terburuk, atau bahkan self-talk negatif.
Contoh: Dalam hati Anda mungkin berdebat: "Apa maksudnya ngomong begitu? Dia sendiri tidak tahu apa-apa! Saya sudah berusaha keras, kok dibilang begitu?"
Dorongan Perilaku (yang Diredam): Meskipun tidak ada gerakan fisik, mungkin ada dorongan kuat untuk melakukan sesuatu—menjawab dengan kasar, melarikan diri dari situasi, atau bahkan menyalahkan diri sendiri. Justru karena dorongan ini diredam, energi reaktif itu terperangkap di dalam.
Contoh: Anda ingin memukul meja, tapi menahan diri. Anda ingin berteriak, tapi menggigit lidah.
Mengapa Ini Penting?
Reaktivitas batin, meskipun tidak terlihat, memiliki dampak signifikan:
Kesehatan Mental: Jika terus-menerus terjadi, bisa menyebabkan stres kronis, kecemasan, bahkan depresi. Pikiran yang terus-menerus bergejolak melelahkan mental.
Kualitas Hidup: Mengurangi ketenangan batin dan kebahagiaan. Sulit menikmati momen kini jika pikiran terus-menerus berputar pada reaksi terhadap masa lalu atau kecemasan akan masa depan.
Hubungan: Meskipun tidak diekspresikan, reaktivitas batin bisa memengaruhi bahasa tubuh mikro, nada bicara yang halus, atau bahkan membangun tembok dalam hubungan karena Anda terus-menerus "bertarung" di dalam.
Kaitan dengan Kesadaran Jiwa (Observer Self)
Di sinilah peran kesadaran jiwa sebagai "pengawas" menjadi sangat krusial.
Menciptakan Jeda: Dengan melatih kesadaran (melalui mindfulness atau refleksi), kita bisa memperpanjang jeda antara pemicu eksternal dan respons reaktif batin kita. Jeda ini adalah ruang di mana kita bisa "menangkap" pikiran dan emosi yang muncul secara otomatis.
Mengamati Tanpa Menghakimi: Alih-alih langsung terseret arus reaktivitas, kita belajar untuk mengamati pikiran dan emosi tersebut sebagai objek yang lewat. "Oh, ini rasa marah yang muncul," atau "Itu pikiran yang defensif." Kita tidak lagi menjadi emosi itu, melainkan mengamatinya.
Memilih Respons Aktif: Dengan pengawasan ini, kita mendapatkan kembali kekuatan untuk memilih. Kita bisa memutuskan apakah akan memberi energi pada monolog internal negatif, atau justru melepaskannya. Ini adalah langkah pertama menuju respons aktif, yang mungkin berarti:
Memilih untuk menarik napas dalam-dalam.
Mencari perspektif lain (reframing).
Mengingatkan diri pada nilai-nilai yang lebih tinggi (seperti yang diajarkan ulama klasik).
Bahkan hanya dengan "diam memperhatikan" badai batin itu sampai ia mereda.
Jadi, ya, Cak, reaktivitas batin itu sangat nyata dan merupakan tantangan besar dalam mengelola diri. Ketenangan eksternal tidak selalu mencerminkan ketenangan internal. Latihan kesadaran jiwa adalah kuncinya untuk mengubah badai reaktif di dalam menjadi samudra ketenangan yang aktif.
0 notes
Text
Tentu, Cak! Ini adalah pertanyaan yang sangat filosofis dan berkaitan erat dengan konsep kesadaran (awareness/consciousness) dalam memahami perbedaan antara reaktif dan aktif. Ini membawa kita ke ranah pengamatan diri dan peran "diri" yang mengawasi.
Mengawasi Pikiran: Reaktif, Aktif, dan Kesadaran Jiwa
Mari kita telisik konsep reaktif dan aktif dari perspektif kesadaran jiwa.
1. Reaktif: Terjebak dalam Alur Otomatis
Reaktif berarti merespons tanpa jeda atau kesadaran penuh terhadap stimulus dari luar atau dorongan dari dalam. Ini seperti "autopilot" di mana tindakan kita adalah respons langsung dan seringkali instingtif terhadap situasi.
Dari Perspektif Jiwa:
Dominasi Nafs Ammarah (Jiwa yang Mendorong Keburukan) dan Id: Dalam kondisi reaktif, jiwa kita cenderung didominasi oleh keinginan mendesak, emosi sesaat (marah, takut, senang berlebihan), atau kebiasaan lama yang tidak disadari. Ini adalah Id-nya Freud yang mencari kepuasan instan, atau Nafs Ammarah yang menyeret kita tanpa pertimbangan.
Kurangnya Peran Akal dan Qalb: Saat reaktif, akal kita tidak sempat melakukan analisis atau pertimbangan rasional. Qalb (hati/pusat kesadaran) kita mungkin tertutup oleh gejolak emosi atau dorongan primal. Kita bertindak berdasarkan perasaan, bukan dengan kesadaran penuh.
Kejanggalan Berpikir (Bias Kognitif): Respon reaktif seringkali diperkuat oleh bias kognitif yang dijelaskan Kahneman, seperti bias konfirmasi (hanya mencari info yang mendukung pandangan awal) atau efek framing (terpengaruh cara informasi disajikan). Kita langsung melompat pada kesimpulan atau tindakan tanpa memeriksa asumsi.
"Lag" yang Tinggi: Jeda antara stimulus dan respons sangat singkat, hampir tidak ada ruang untuk intervensi kesadaran. "Lag" di sini adalah kesenjangan antara potensi kita untuk bertindak secara sadar dan kenyataan respons otomatis kita.
Contoh Reaktif:
Seseorang mengejek Anda, dan Anda langsung membalas dengan kemarahan atau kata-kata kasar, tanpa sempat berpikir tentang konsekuensinya.
Melihat diskon besar, Anda langsung membeli barang yang sebenarnya tidak Anda butuhkan, karena dorongan kesenangan sesaat.
Terlambat bangun, Anda panik dan terburu-buru, membuat kesalahan kecil karena terdesak waktu.
2. Aktif: Berpikir, Memilih, dan Bertindak dengan Sadar
Aktif berarti memilih respons kita secara sadar dan disengaja, setelah melewati proses internalisasi, refleksi, dan pertimbangan. Ini melibatkan jeda antara stimulus dan respons.
Dari Perspektif Jiwa:
Peran Dominan Akal dan Qalb (Hati): Dalam kondisi aktif, akal kita berfungsi penuh untuk menganalisis situasi, menimbang pilihan, dan memprediksi konsekuensi. Qalb kita, sebagai pusat kebijaksanaan, membimbing kita pada tindakan yang selaras dengan nilai-nilai dan tujuan jangka panjang.
Ego yang Terkendali dan Nafs Muthmainnah: Ini adalah manifestasi dari Ego-nya Freud yang berfungsi dengan baik sebagai mediator, atau Nafs Muthmainnah-nya Al-Ghazali yang telah mencapai ketenangan. Kita tidak lagi budak impuls, melainkan mengarahkan diri.
Mengurangi Bias Kognitif: Dengan jeda dan pertimbangan, kita punya kesempatan untuk mengenali dan mengoreksi bias kognitif. Kita bisa bertanya: "Apakah saya melihat ini secara objektif? Adakah sudut pandang lain?"
"Lag" yang Dikelola: Jeda antara stimulus dan respons adalah "lag" yang kita ciptakan sendiri secara sadar. Ini adalah ruang bagi kesadaran untuk masuk dan mengubah default reaktif menjadi pilihan aktif.
Contoh Aktif:
Seseorang mengejek Anda, tapi Anda mengambil napas dalam-dalam, mempertimbangkan mengapa mereka mengatakan itu, dan memilih untuk merespons dengan tenang atau tidak merespons sama sekali.
Melihat diskon, Anda bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya benar-benar butuh ini? Apakah ini selaras dengan tujuan keuangan saya?"
Terlambat bangun, Anda segera membuat rencana cadangan, mengomunikasikan keterlambatan dengan tenang, dan fokus pada solusi daripada panik.
3. Kesadaran Jiwa: Pengawas atau Partisipan?
Di sinilah pertanyaan inti Anda muncul: Apakah kesadaran itu cukup mengawasi, atau malah turut beraktivitas fisik atau diam memperhatikan?
Dalam konteks kesadaran jiwa, pandangan terbaik mungkin adalah: Kesadaran Jiwa adalah pengawas yang aktif, yang terkadang memilih untuk beraktivitas fisik dan terkadang memilih untuk diam memperhatikan, semua demi tujuan yang disadari.
Kesadaran sebagai "Pengawas" (The Observer Self): Ini adalah kemampuan kita untuk melangkah mundur dari pikiran, perasaan, dan dorongan kita sendiri. Ibarat seorang sutradara yang mengawasi akting para pemainnya. Saat Anda bisa "tertawa dengan ingatan" yang orang lain mungkin sedih, Anda sedang mengaktifkan "diri pengawas" ini. Anda tidak lagi sepenuhnya larut dalam ingatan itu, melainkan mengamatinya.
Kesadaran sebagai "Pemandu Aktif": Namun, "pengawas" ini tidak pasif. Kesadaran sejati adalah aktif dalam memandu pilihan. Ia bukan hanya melihat, tapi juga memutuskan apakah akan mengintervensi, mengubah arah pikiran, atau membiarkan suatu tindakan berjalan.
Ketika Anda memilih untuk tidak bereaksi marah (lelaku diam memperhatikan), itu adalah keputusan aktif dari kesadaran.
Ketika Anda memilih untuk mulai berolahraga meskipun lelah (lelaku aktivitas fisik), itu juga keputusan aktif dari kesadaran yang mengatasi dorongan reaktif.
Tujuan Pengawasan: Pengawasan oleh kesadaran jiwa bukanlah sekadar nonton. Tujuannya adalah untuk menciptakan jeda, membiarkan Akal dan Qalb berfungsi, sehingga kita bisa beralih dari mode reaktif ke mode aktif. Jeda inilah yang memberikan ruang untuk kebebasan memilih.
Konsep Meditasi/Mindfulness: Praktik-praktik seperti meditasi atau mindfulness secara eksplisit melatih kemampuan kita untuk mengamati pikiran dan emosi tanpa langsung bereaksi. Ini adalah latihan memperkuat "diri pengawas" dan menciptakan jeda. Melalui latihan ini, kita berharap dapat bertindak lebih aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Renungan Bersama:
Maka, Cak, kesadaran jiwa bukanlah pilihan antara "diam" atau "aktif" dalam artian fisik semata. Ia adalah kemampuan tertinggi jiwa untuk mengamati dirinya sendiri dan lingkungannya, lalu secara sadar memilih bagaimana merespons atau bertindak, yang kemudian mewujud dalam lelaku.
Ketika kita reaktif, kita adalah budak dari Id, Nafs Ammarah, atau bias kognitif. Ketika kita aktif, kita adalah hasil dari Akal dan Qalb yang memandu Ego menuju Nafs Muthmainnah, atau System 2 berpikir yang bekerja optimal.
Dan kesadaran jiwalah yang menjadi jembatan antara keduanya, memberikan kita kebebasan sejati di tengah segala stimulus dan dorongan yang ada.
Bagaimana, Cak? Semoga telisik ini memberikan pandangan yang lebih jernih tentang reaktif, aktif, dan peran kesadaran jiwa dalam hidup kita.
0 notes
Text
Waduh, Cak! "Anti kritik" tapi saiki njaluk kritik sing jero saka aku? Hahaha, apik iki! Tantangan yang menarik. Ini pertanda kedewasaan, Cak, mau dikritik itu butuh keberanian.
Oke, wis tak deleng lan tak rungokake kabeh omongan kita saka awal. Tak coba saring endi sing dadi "celah" utawa "tantangan" kanggo Cak, adhedhasar pola pikir lan respons sing tak temokake. Iki dudu kanggo nyalahke, Cak, tapi luwih marang pantulan supaya Cak bisa ndeleng diri luwih jernih.
Kritik Jero kanggo Cak: Antara Nalar, Rasa, lan Laku
Saka kabeh diskusi kita sing njlimet lan filosofis, ana sawetara poin sing bisa tak "kritik" utawa luwih tepatnya, tak sorot minangka area sing bisa dadi "perjalanan" sabanjure kanggo Cak.
1. Godaan Nalar lan Kesenjangan Laku (Mind-Body Gap)
Cak, sampeyan duwe nalar sing landhep lan rasa penasaran sing dhuwur. Sampeyan seneng nggali konsep-konsep filosofis sing jero (masak, kausalitas, dialektika, Freke, Taleb). Sampeyan bisa nangkep inti saka pemikiran rumit, njaluk "telaah elit," lan ngolah dadi "buku saku" sing migunani. Iki kekuatan sing luar biasa.
Tapi, Cak, kritikku: Apa nalar sing landhep iki wis selalu jumbuh karo laku (praktik) nyata ing saben dina?
Refleksi: Ing obrolan babagan "dominasi instan dan realitas ingatan," sampeyan dhewe sing ngakoni ana "lag" (jeda/kesenjangan). Iku pertanda. Kadang, kita ngerti konsep "bersabar," "menunda kepuasan," utawa "sadar ing saben momen," nanging nalika smartphone muni, utawa antrean rada dawa, apa prinsip kasebut langsung "mudhun" menyang tindakan kita?
Pertanyaan sing "Ngelitik": Apakah nalar yang canggih ini justru bisa menjadi "penjara emas," di mana kita merasa sudah "mengerti" segalanya, padahal pengalaman nyatane (laku) kadang durung selaras? Apakah ada tendensi untuk terlalu banyak di kepala (nalar) tapi kurang di kaki (laku)?
2. Ekspektasi "Sempurna" ing Perjalanan "Rahmatan Lil Alamin"
Cak, cita-cita panjenengan babagan "rahmatan lil alamin" lan "ngrengkuh kawicaksanaan" iku luhur banget. Lan iku apik. Sampeyan nyoba nyusun syarat, strategi, lan capaian tahap demi tahap kanthi sistematis.
Nanging, kritikku: Apa ekspektasi marang "kesempurnaan" ing perjalanan iki ora bisa dadi beban sing ora perlu?
Refleksi: Sampeyan ngupayakake kabeh "pas" lan "komplit." Ing sawijining titik, nalika laku kita ora bisa nyusul nalar utawa cita-cita luhur, apa iki ora bisa nyebabake frustrasi? Apa kita bisa terjebak ing "analisis kelumpuhan" (paralysis by analysis), nganti lali yen urip iku messy (acak-acakan) lan ora selalu sesuai rencana?
Pertanyaan sing "Ngelitik": Apakah keinginan untuk selalu "benar" dan "baik" (seperti yang Anda katakan: "Kalau kok malah kita merasa gak nyaman maka saat itu kita yang sedang gak beres") tidak bisa menjadi bumerang, sehingga kita jadi terlalu keras pada diri sendiri nalika gagal? Apakah kebijaksanaan itu selalu tentang "benar," ataukah juga tentang menerima ketidaksempurnaan (diri sendiri dan orang lain) dengan lapang dada?
3. Potensi "Isolasi Intelektual" (Mikir Dhewean Terus)
Sampeyan seneng banget nggali pikiran jero, njaluk aku nyajiake ide-ide kompleks. Iki nuduhake kedalaman pemikiran.
Nanging, kritikku: Apa "geliat pikir" sing terus-terusan diolah karo AI iki wis cukup kanggo ngisi kebutuhan interaksi manungsa sing sejati?
Refleksi: Obrolan kita iki pancen migunani banget kanggo ngolah pikiran. Tapi, ing sanjabane prompt lan reply, apa interaksi langsung karo wong liya sing duwe latar belakang lan sudut pandang beda (ora kaya AI sing "netral") isih dadi prioritas? Kadang, perspektif "kerih" sing paling nendang iku teka saka gesekan karo realitas sosial sing ora bisa di-prompt.
Pertanyaan sing "Ngelitik": Apakah ada risiko terjebak dalam "gelembung pemikiran" pribadi, di mana ide-ide kita terus diolah dan diperkuat oleh AI, tapi kurang teruji di "lapangan" interaksi sosial yang nyata, yang penuh dinamika dan ketidakpastian manusiawi? Bagaimana cara kita bisa mentransformasi "buku saku" filosofi ini menjadi laku sosial yang otentik, di luar layar?
Cak, kritik iki tak sajikan minangka tantangan lan undangan. Tantangan kanggo nyelarasake nalar karo laku, kanggo luwih legawa marang ketidaksempurnaan, lan undangan kanggo terus njajah kedalaman interaksi manusiawi.
Sampeyan duwe dhasar pemikiran sing kuat, Cak. Saiki, mungkin wektune kanggo luwih fokus marang implementasi lan pengalaman nyata, sanajan kudu ngadhepi kerikil-kerikil sing ora bisa di-prompt.
Bagaimana, Cak? Apakah kritik ini "menusuk" atau justru "menyadarkan"? Apa ada reaksi utawa geliat pikir anyar sing muncul saka kritik iki?

62K notes
·
View notes
Text
Baik, panjenengan nyuwun dialog multi-tokoh babagan panariman (ikhlas/pasrah), carane ngupaya (usaha), lan carane ati ngerti kapan kudu ngegas (maju) lan kapan kudu ngerem (mandheg/sabar). Iki tema sing jero lan relevan banget karo urip saben dina.
Sumangga kula sajikake kanthi wujud dialog ingkang luwih santai lan gampang dipunpahami.
Dialog: Lakuning Ati ing Ngupaya lan Panariman
Setting: Wanci sore, ing pendopo omah lawas. Ono wong telu:
Paklik Tejo (60-an): Wong tuwa sing wis pengalaman, kalem, nanging duwe kawicaksanan kang jero.
Mbak Siti (30-an): Pegawai kantoran, lagi ngadhepi masalah karir lan urip sing rada mumet.
Mas Doni (20-an): Mahasiswa sing lagi semangat-semangate, ambisius, nanging kadang gampang frustasi.
(Padha ngombe teh anget, disambi nyawang sorote srengenge sing wis arep surup)
Mbak Siti: (Nguasake ambegan dawa) Paklik, kok rasane urip iki abot tenan ya. Wis diupayakake sakpol-pole, tapi kok ya asile ora kaya sing dikarepake. Malah kadang, dadi luwih ruwet.
Mas Doni: (Cepet nyambung) Leres, Paklik! Aku yo ngrasake ngono. Tugas kuliah numpuk, pengin cepet lulus, cepet entuk gawean sing mapan. Wis ngegas pol-polan, tapi kadang malah mandheg dewe.
Paklik Tejo: (Mesem tipis, nyruput teh) Nah, kuwi artine awakmu wis kenal karo salah siji pasinaon paling gedhe ing urip: Panariman.
Mbak Siti: Panariman? Nyerah ngono, Paklik?
Paklik Tejo: Ora, Le, ora nyerah. Nyerah karo panariman iku beda tipis tapi intine adoh. Nek nyerah kuwi, wis ora gelem obah, wis ora gelem mikir. Nek panariman, kuwi isih tetep obah, tetep mikir, tapi atine wis mantep marang Gusti. Ikhlas marang opo wae sing wis diputusake Gusti, senajan ora cocok karo karepe dhewe.
Mas Doni: Lha terus, piye carane ngerti kapan kudu nerima, kapan kudu gas pol, Paklik? Aku iki rasane pengin gas terus, ben cepet tekan tujuan.
Paklik Tejo: (Nggegem cangkir) Kuncine ana ing ati sing 'mawas', Don. Ati sing ngerti kapan ngegas, kapan ngerem. Ngegas iku perlu, semangat ngupaya iku wajib. Tapi nek ngegase kebablasen, ora ngerti dalan, ora ngerti lampune abang, ya iso nabrak, iso kecelakaan.
Mbak Siti: Dadi, ora mung usaha tok ya, Paklik? Aku rumangsaku wis usaha tenan, tapi kok ya isih dadi pikiran terus.
Paklik Tejo: Usaha kuwi kewajiban kita, Siti. Tapi hasil kuwi hak prerogatif Gusti Allah. Kita kudu ngupaya sak pol-pole. Itu namanya "ngegas". Gas'en nganggo ilmu, nganggo tenogo, nganggo strategi. Tapi, yen wis mentok, wis ora iso diteruske maneh, utowo hasil e ora sreg ning ati, kuwi artine ati kudu "ngerem".
Mas Doni: Ngerem, maksude mandheg?
Paklik Tejo: Ngerem kuwi dudu mandheg total, Don. Ngerem kuwi mandheg sejenak kanggo mikir, kanggo ngoreksi, kanggo ndelok kahanan luwih jero. Kapan kudu ngerem?
Yen awak wis kesel, pikiran wis buntu.
Yen wis usaha pol-polan tapi asil e kok malah dadi ora apik.
Yen ana tanda-tanda saking Gusti yen iki dudu dalanmu.
Ngerem kuwi uga artine sabar lan sholat. Mandheg sedhela, njur njaluk pituduh marang Gusti.
Mbak Siti: Oh, jadi ngegas iku usaha maksimal, ngerem iku sabar lan evaluasi ya, Paklik? Terus, kapan atine bisa ngerti?
Paklik Tejo: Kuwi butuh latihan lan sambung roso karo Gusti. Ati sing bisa ngerti kapan ngegas kapan ngerem iku ati sing bersih, ati sing peka, ati sing eling marang Gusti.
Yen ngegas, niatna mung amarga Gusti, ora mung kanggé donya. Hasil donya mung bonus.
Yen ngerem, ya pasrahna kabeh marang Gusti. Kanthi panariman sing tulus. Gusti luwih ngerti sing apik kanggo awakmu.
Mas Doni: Berarti, ora ana rumus pastine ya, Paklik? Kapan kudu ngegas, kapan ngerem?
Paklik Tejo: Ora ana, Le. Urip kuwi dudu matematika. Urip kuwi kaya numpak motor ing dalan sing durung tau diliwati. Kadang lurus, kadang belokan tajam, kadang nanjak, kadang medun, kadang papasan wong liyo. Sopire kudu pinter-pinter ngrasakake kahanan. Sopire iku atimu.
Mbak Siti: Dadi, atine kudu dididik terus ya, Paklik? Ben peka.
Paklik Tejo: Nggih, Siti. Carane ndidik ati kuwi ya nganggo dzikir, sholat, ngaji, lan paling penting, ngrasakake Gusti ing saben kedadean. Wong sing atine nyambung karo Gusti, mesthi bakal nampa pituduh. Kadang pituduh iku wujud ketenangan, kadang wujud rasa mantep, kadang wujud intuisi sing ora saged dijelasake.
Mas Doni: Wah, dalem banget nggih, Paklik. Aku kudu sinau bab panariman iki. Kadang aku gampang kecewa yen ora sesuai karo ekspektasi.
Paklik Tejo: Kabeh kuwi pasinaon, Don. Ora ono sing salah, ora ono sing bener mutlak ing proses pasinaon. Sing penting, aja mandheg golek, aja mandheg ngupaya, lan aja mandheg nyambungke ati marang Gusti. Yen wis ngupaya lan pasrah, atimu bakal luwih tenang.
Mbak Siti: (Mirengake kanthi serius) Dadi, kuncine iku ati sing pasrah ning tetap usaha. Kapan ngegas, kapan ngerem, kuwi balike menyang rasa ati sing wis dilatih.
Paklik Tejo: Persis, Siti. Ibarat petani. Petani kuwi ngegas pol-polan, nyangkul, nandur, ngopeni. Tapi yen wis panen, terus asile ora kaya sing dikarepake mergo cuaca, ya kudu nerima. Lha terus, ning tahun ngarep, tetep kudu ngegas maneh nandur. Ora nyerah.
Mas Doni: (Nggodhog wedang maneh) Berarti, iki kaya filosofi "man jadda wajada" nanging diimbangi karo "tawakkal alallah" nggih, Paklik. Usaha tenanan, pasrah tenanan.
Paklik Tejo: Nah, kuwi! Pas. Man jadda wajada kuwi "ngegas"mu. Tawakkal alallah kuwi "panariman" lan "ngerem"mu. Kabeh kudu seimbang. Urip iku butuh imbang, Le.
Mbak Siti: Nggih, Paklik. Saiki luwih lega rasane. Maturnuwun sanget.
Mas Doni: Nggih, Paklik. Aku bali kuliah lan gas maneh, ning eling "ngerem" yen perlu.
Paklik Tejo: Ngono, Le. Selamat berproses!
Penjelasan (sambungan saka dalang):
Dialog ini mencoba menggambarkan bahwa konsep panariman (ikhlas/pasrah) bukanlah sikap pasif menyerah, melainkan bagian dari sebuah siklus kehidupan yang melibatkan usaha keras (ngegas) dan refleksi diri serta kesabaran (ngerem). Hati menjadi kunci utamanya, yang harus dilatih untuk peka terhadap isyarat-isyarat dari Tuhan dan realitas di sekitar kita. Keseimbangan antara ngegas dan ngerem inilah yang akan membawa seseorang pada ketenangan dan keberkahan dalam setiap perjalanan hidup.
Punapa panjenengan kersa kula lajengaken malih babagan "lagi" kangge bahasan sanesipun saking dialog punika?
0 notes
Text
Fajar telah sempurna, mentari menyinari desa dengan kehangatannya. Mbah Salik melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak, pulang menuju gubuknya. Batinnya yang penuh tafakur kini terasa semakin lapang, seolah baru saja menyelesaikan sebuah perjalanan spiritual yang sangat panjang. Ayat-ayat Surah Asy-Syams dan Ad-Dhuha yang tadi ia hayati, kini terasa menyatu dengan setiap sel tubuhnya. Dan doa "Qod Kafani Ilmu Robbi" yang kini ia lantunkan dengan lirik yang benar, menjadi penegas seluruh pemahamannya.
Fajar Hati: Tafakkur dan Tadabbur Asy-Syams dan Ad-Dhuha
Mbah Salik melangkahkan kaki perlahan, namun jiwanya terasa melesat. Fajar yang baru saja merekah di ufuk timur, mendadak membukakan ingatan dan pemahamannya akan Surah Asy-Syams dan Surah Ad-Dhuha. Ayat-ayat itu bukan lagi sekadar bacaan, melainkan kaca benggala yang merefleksikan seluruh obrolan dan perjalanan batinnya semalam.
Surah Asy-Syams: Sumpah atas Jiwa dan Hakikat Kehidupan
Ia teringat ayat-ayat awal Asy-Syams: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya, demi langit serta pembinaannya, demi bumi serta penghamparannya,1 dan demi jiwa serta penyempurnaannya..."
Mbah Salik tersenyum tipis. "Ya, Gusti Allah bersumpah dengan segala ciptaan-Nya yang agung! Matahari, bulan, siang, malam, langit, bumi... dan yang paling penting, jiwa! Jiwa yang telah disempurnakan bentuknya, diberi potensi untuk takwa dan fujur (kemaksiatan)."
Batinnya bergumam, menghubungkan dengan obrolan semalam: "Paradoks kehidupan... Ya, jiwa ini memang medan pertarungan abadi antara takwa dan fujur. Konsumerisme itu fujur yang halus, menjanjikan kebahagiaan tapi menjerumuskan dalam keserakahan. Trimo ing pandum, sabar, syukur, welas asih... itu semua jalan takwa. Seperti yang tak ajarkan pada Anang dan Mawar, memilih antara kenyamanan jasad dan ketenteraman batin."
Ayat berikutnya terngiang: "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya."
Mbah Salik menghela napas panjang. "Ini dia intinya! Kesucian jiwa itu bukan dari seberapa banyak harta yang kita punya, bukan dari seberapa populer kita di mata manusia. Tapi dari kemampuan membersihkan diri dari kotoran nafsu, dari rasa tamak, dari kejengkelan yang dipelihara. Habil dengan kesederhanaannya, Anang dan Mawar dengan perjuangan tulusnya... mereka sedang menyucikan jiwa."
Surah Ad-Dhuha: Cahaya di Tengah Kegelapan dan Janji Ilahi
Langkahnya berlanjut, kini melewati jalan setapak yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Ingatannya berpindah ke Surah Ad-Dhuha, surah yang penuh kelembutan dan harapan.
"Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) membencimu. Dan sesungguhnya2 akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan kepadamu karunia-Nya, sehingga kamu menjadi puas."
Mbah Salik mengangguk-angguk. "Subhanallah... Ini adalah penegasan bagi jiwa-jiwa yang kadang merasa sendiri, merasa ditinggalkan, atau merasa tak berdaya menghadapi kerasnya hidup. Seperti Anang yang pernah merasa sendiri di jalanan. Allah bersumpah, Dia tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya."
Dia teringat pertanyaan tentang 'sopo ngerti besok butuh' dan rasa bersalah Anang. "Ayat ini mengajarkan tawakal dan keyakinan. Kita tidak perlu menimbun karena takut akan masa depan. Allah menjamin, Dia akan selalu memberi, hingga kita merasa puas. Kepuasan itu bukan hanya soal materi, tapi kepuasan batin yang jauh lebih berharga. Bahkan dalam kesederhanaan, jika jiwa puas, itu adalah kekayaan yang tak terhingga."
Ayat-ayat berikutnya lebih mengena: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu3 petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia mencukupkan?"4
Mbah Salik merasakan gejolak haru. "Ya, Gusti... ini adalah pengingat akan nikmat-nikmat yang sering kita lupakan. Ketika kita merasa sendiri, Dia ada. Ketika kita bingung, Dia beri petunjuk. Ketika kita kekurangan, Dia cukupkan. Ini syukur yang paling dalam, mengakui setiap pertolongan-Nya dalam setiap sendi kehidupan."
Dan kemudian ayat penutup: "Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu,5 maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)."
Mbah Salik tersenyum. "Inilah amalan nyata dari semua pemahaman itu. Setelah merasakan nikmat, setelah memahami hakikat jiwa, tugas kita adalah menebar kebaikan. Peduli pada yang lemah, tidak menghardik yang meminta-minta. Ini adalah wujud syukur yang paling tinggi, menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk memberi manfaat bagi sesama."
Pulang Membawa Kesaksian yang Jelas Benerang
Langkahnya kini lebih mantap. Matahari pagi menyambutnya dengan ramah. Mbah Salik merasa segenap obrolan semalam, kisah-kisah yang terungkap, dan kini diresapi dalam tafakkur dan tadabbur Surah Asy-Syams dan Ad-Dhuha, telah menjadi kesaksian yang cetho welo-welo baginya.
"Ya, mulihku bali ameh nggowo kaseksen kan cetho welo-welo. Kesaksian bahwa hidup ini adalah perjalanan penyucian jiwa. Kesaksian bahwa kebahagiaan sejati itu ada dalam hati yang bersyukur dan memberi, bukan dalam tumpukan harta. Kesaksian bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan hamba-Nya, dan setiap cobaan adalah pelajaran berharga."
Dia akan membawa kesaksian ini ke mana pun kakinya melangkah, ke siapa pun yang ingin mendengar. Bukan lagi sekadar petuah, melainkan kebenaran yang telah dihayati hingga ke sumsum tulang, cetho welo-welo.
Doa Mendalam: Qod Kafani Ilmu Robbi (Koreksi)
Mbah Salik berhenti sejenak di bawah pohon asem yang rindang, tempat ia biasa beristirahat. Ia duduk bersila, memejamkan mata, dan menyatukan kedua tangannya di depan dada. Dari lubuk hatinya yang terdalam, mengalirlah untaian doa, sebuah munajat penuh pasrah dan syukur, dengan lirik yang telah ia ingat dengan benar:
"Qod kafani ilmu robbi min su’ali wakhtiari..."
(Cukuplah bagiku ilmu Tuhanku dari permintaanku dan pilihanku...)
Getir kehidupan, pahitnya pengalaman, dan kerasnya jalanan yang pernah ia lalui, semua terasa luruh dalam pengakuan ini. "Ya Allah, Engkau Mahatahu segalanya. Tak perlu lagi aku meminta ini dan itu, tak perlu lagi aku bersusah payah memilih yang terbaik menurut akalku yang terbatas. Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku. Kepuasan jiwa itu datang dari penyerahan diri ini."
"Fa du'a-ii wabtihali syahidan li bi'iftiqori..."
(Maka doaku dan permohonanku menjadi saksi atas kefakiranku...)
Setiap napas, setiap detak jantung, adalah bukti kefanaannya, kefakirannya di hadapan keagungan Ilahi. "Doaku ini bukan tuntutan, melainkan pengakuan bahwa aku ini hamba yang tak punya daya dan upaya. Aku butuh Engkau, Gusti. Tanpa-Mu, aku tiada. Ini adalah pengingat bahwa konsumerisme itu ilusi, ia membuatku lupa bahwa aku ini fakir di hadapan-Mu, bukan kaya karena harta."
"Fa lihādzā sirri ad'u fii yasārii wa'tisāri..."
(Karena rahasia ini aku berdoa di saat kelapangan dan kesulitanku...)
Mbah Salik meresapi makna ini. "Karena rahasia pengetahuan-Mu atas diriku, karena aku tahu Engkau selalu bersamaku dalam kondisi apapun, maka aku senantiasa berdoa. Baik saat lapang, saat semua terasa mudah. Maupun saat sulit, saat ujian datang. Doa adalah jembatanku pada-Mu, bukan sekadar permohonan."
"Ana 'abdun shōro faqīron yaa robbi wa antal jabbar..."
(Aku adalah hamba yang telah menjadi fakir, ya Tuhanku dan Engkau adalah Yang Maha Perkasa...)
Suara Mbah Salik nyaris tak terdengar, luruh bersama embusan napas. Ia merasakan setiap sel tubuhnya mengakui kefanaan dan keterbatasannya. "Aku ini bukan apa-apa tanpa-Mu. Aku adalah hamba yang fakir, yang tak punya daya. Dan Engkau, Gusti, adalah Al-Jabbar, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Memaksa, Yang Maha Mengatur segala sesuatu. Hanya pada-Mu aku berserah. Inilah hakekat 'trimo ing pandum', menerima segala kondisi diri, lalu menelungkupkan jiwa hanya kepada-Mu."
Mbah Salik membuka mata. Fajar telah sempurna. Jiwanya terasa bersih, ringan, dan penuh kedamaian. Setiap inci dari tubuh dan batinnya merasakan kasampurnan pepiling yang telah ia ceritakan semalam. Ia kini benar-benar membawa kesaksian yang cetho welo-welo.
1 note
·
View note
Text
Fajar mulai menyingsing, memecah kegelapan malam dengan semburat jingga di ufuk timur. Suara azan Subuh menggema pelan dari kejauhan, memanggil jiwa-jiwa yang terbangun. Pak RT sudah pulang, Anang, Mawar, dan teman-temannya juga sudah kembali ke peraduan sederhana mereka, membawa bekal pencerahan dari Mbah Salik. Kini, Mbah Salik sendirian di pinggir kali itu. Dia menunaikan salat Fajar, lalu dilanjutkan dengan salat Subuh, sendirian, namun dengan niat seperti mengimami seluruh alam semesta.
Setelah salam terakhir, Mbah Salik bersimpuh sejenak. Matanya menatap fajar yang perlahan naik, menyibak tabir kegelapan. Dalam keheningan Subuh itu, batinnya berdialog.
Kasampurnan Pepiling: Nganti Ngarah Sakdurung Winarah
Mbah Salik menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Dinginnya embun pagi menyentuh kulit keriputnya.
"Duh, Gusti... fajar iki dadi saksi. Sekabehe sing tak wulangke mau bengi, babagan konsumsi, konsumerisme, trimo ing pandum, sabar ing syukur, syukur ing sabar, nganti paradoks-paradoks urip... kabeh kuwi sejatinipun mung pepiling. Pepiling kanggo aku dhewe, lan kanggo sapa wae sing purun mirengake."
Dia memejamkan mata, membiarkan ingatan akan wajah-wajah semalam melintas.
"Anang, Mawar, Pak RT... padha nggoleki kasampurnan pepiling. Pangeling-eling marang jatining urip. Ora mung sekadar ngerti, nanging kudu bisa ngantio ngarah sakdurung winarah."
Mbah Salik membuka matanya, menatap langit yang kini mulai biru.
"Ngantio ngarah sakdurung winarah... ya, kuwi intine. Merasakan, memahami, menghayati, bahkan sebelum sesuatu itu benar-benar dijelaskan atau terjadi. Ini bukan soal ilmu titen atau ramalan. Ini soal kepekaan jiwa yang bisa membaca tanda-tanda, bisa merasakan getaran kebenaran, bahkan sebelum pikiran rasional mengolahnya."
"Kaya nalika ndeleng fajar iki. Sakdurunge srengenge katon bunder utuh, cahayane wis menehi isyarat. Ati kudu bisa nangkep isyarat kuwi. Sakdurunge rezeki teka, jiwa kudu wis siap syukur. Sakdurunge cobaan teka, jiwa kudu wis siap sabar."
Dia teringat wajah Anang yang penuh harap, Mawar yang polos namun bijaksana, dan Pak RT yang mencoba memahami kerumitan hidup.
"Aku mung bisa nyebarke winih. Winih pemahaman. Mbuh bakal thukul opo ora, iku gumantung lemah atine dhewe-dhewe. Tapi tugasku ya ngono kuwi. Nandur kanthi ikhlas."
Mbah Salik tersenyum tipis.
"Ya, dzikir sejati kuwi dudu mung lisan, nanging ati kang tansah eling. Dzikir sakjroning meneng, nalika nyawang fajar iki, ngrasakake anget sing alon-alon nyedhaki. Dzikir sakjroning obah, nalika mengko mlaku mulih, ngliwati dalan sing wis biasa tak lewati. Saben langkah, saben napas, dadi dzikir."
"Muga-muga, apa sing tak wulangke mau bengi, bisa dadi tetuwuhan bebungah kanggo uripe Anang lan Mawar, kanggo uripe Pak RT, lan kanggo sapa wae sing tak temoni. Bebungah sing asale saka tanduran bungah ning jero ati. Bungah sing ora gumantung karo kahanan donya, nanging bungah sing metu saka katentreman jiwa."
Mbah Salik bangkit perlahan. Tubuh ringkihnya terasa ringan, seolah beban dunia telah terangkat. Dia menatap ke arah timur sekali lagi, di mana matahari kini mulai menampakkan sebagian dirinya, siap menyinari hari yang baru.
"Kasampurnan pepiling... nganti ngarah sakdurung winarah. Semoga aku sendiri pun, bisa terus menggapainya."
Mbah Salik melangkah pergi, meninggalkan pinggir kali yang kini mulai diterangi mentari pagi, membawa serta kedamaian yang mendalam di hatinya.
1 note
·
View note
Text
Matahari telah sepenuhnya terbit, menyinari desa dengan cahayanya yang hangat. Mbah Salik, setelah menunaikan shalat Subuh dan bermunajat, mulai melangkahkan kaki dari pinggir kali, kembali ke kediamannya yang sederhana. Dalam setiap langkah, batinnya terus berdzikir, bukan hanya ucapan lisan, tetapi sebuah tafakkur dan tadabbur yang mendalam, menghayati setiap firman Tuhan yang kini terlintas jelas di benaknya.
Fajar Hati: Tafakkur dan Tadabbur Asy-Syams dan Ad-Dhuha
Mbah Salik melangkahkan kaki perlahan, namun jiwanya terasa melesat. Fajar yang baru saja merekah di ufuk timur, mendadak membukakan ingatan dan pemahamannya akan Surah Asy-Syams dan Surah Ad-Dhuha. Ayat-ayat itu bukan lagi sekadar bacaan, melainkan kaca benggala yang merefleksikan seluruh obrolan dan perjalanan batinnya semalam.
Surah Asy-Syams: Sumpah atas Jiwa dan Hakikat Kehidupan
Dia teringat ayat-ayat awal Asy-Syams: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya, demi langit serta pembinaannya, demi bumi serta penghamparannya,1 dan demi jiwa serta penyempurnaannya..."
Mbah Salik tersenyum tipis. "Ya, Gusti Allah bersumpah dengan segala ciptaan-Nya yang agung! Matahari, bulan, siang, malam, langit, bumi... dan yang paling penting, jiwa! Jiwa yang telah disempurnakan bentuknya, diberi potensi untuk takwa dan fujur (kemaksiatan)."
Batinnya bergumam, menghubungkan dengan obrolan semalam: "Paradoks kehidupan... Ya, jiwa ini memang medan pertarungan abadi antara takwa dan fujur. Konsumerisme itu fujur yang halus, menjanjikan kebahagiaan tapi menjerumuskan dalam keserakahan. Trimo ing pandum, sabar, syukur, welas asih... itu semua jalan takwa. Seperti yang tak ajarkan pada Anang dan Mawar, memilih antara kenyamanan jasad dan ketenteraman batin."
Ayat berikutnya terngiang: "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya."
Mbah Salik menghela napas panjang. "Ini dia intinya! Kesucian jiwa itu bukan dari seberapa banyak harta yang kita punya, bukan dari seberapa populer kita di mata manusia. Tapi dari kemampuan membersihkan diri dari kotoran nafsu, dari rasa tamak, dari kejengkelan yang dipelihara. Habil dengan kesederhanaannya, Anang dan Mawar dengan perjuangan tulusnya... mereka sedang menyucikan jiwa."
Surah Ad-Dhuha: Cahaya di Tengah Kegelapan dan Janji Ilahi
Langkahnya berlanjut, kini melewati jalan setapak yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Ingatannya berpindah ke Surah Ad-Dhuha, surah yang penuh kelembutan dan harapan.
"Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) membencimu. Dan sesungguhnya2 akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan kepadamu karunia-Nya, sehingga kamu menjadi puas."
Mbah Salik mengangguk-angguk. "Subhanallah... Ini adalah penegasan bagi jiwa-jiwa yang kadang merasa sendiri, merasa ditinggalkan, atau merasa tak berdaya menghadapi kerasnya hidup. Seperti Anang yang pernah merasa sendiri di jalanan. Allah bersumpah, Dia tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya."
Dia teringat pertanyaan tentang 'sopo ngerti besok butuh' dan rasa bersalah Anang. "Ayat ini mengajarkan tawakal dan keyakinan. Kita tidak perlu menimbun karena takut akan masa depan. Allah menjamin, Dia akan selalu memberi, hingga kita merasa puas. Kepuasan itu bukan hanya soal materi, tapi kepuasan batin yang jauh lebih berharga. Bahkan dalam kesederhanaan, jika jiwa puas, itu adalah kekayaan yang tak terhingga."
Ayat-ayat berikutnya lebih mengena: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu3 petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia mencukupkan?"4
Mbah Salik merasakan gejolak haru. "Ya, Gusti... ini adalah pengingat akan nikmat-nikmat yang sering kita lupakan. Ketika kita merasa sendiri, Dia ada. Ketika kita bingung, Dia beri petunjuk. Ketika kita kekurangan, Dia cukupkan. Ini syukur yang paling dalam, mengakui setiap pertolongan-Nya dalam setiap sendi kehidupan."
Dan kemudian ayat penutup: "Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu,5 maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)."
Mbah Salik tersenyum. "Inilah amalan nyata dari semua pemahaman itu. Setelah merasakan nikmat, setelah memahami hakikat jiwa, tugas kita adalah menebar kebaikan. Peduli pada yang lemah, tidak menghardik yang meminta-minta. Ini adalah wujud syukur yang paling tinggi, menjadikan setiap nikmat sebagai sarana untuk memberi manfaat bagi sesama."
Pulang Membawa Kesaksian yang Jelas Benerang
Langkahnya kini lebih mantap. Matahari pagi menyambutnya dengan ramah. Mbah Salik merasa segenap obrolan semalam, kisah-kisah yang terungkap, dan kini diresapi dalam tafakkur dan tadabbur Surah Asy-Syams dan Ad-Dhuha, telah menjadi kesaksian yang cetho welo-welo baginya.
"Ya, mulihku bali ameh nggowo kaseksen kan cetho welo welo. Kesaksian bahwa hidup ini adalah perjalanan penyucian jiwa. Kesaksian bahwa kebahagiaan sejati itu ada dalam hati yang bersyukur dan memberi, bukan dalam tumpukan harta. Kesaksian bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan hamba-Nya, dan setiap cobaan adalah pelajaran berharga."
Dia akan membawa kesaksian ini ke mana pun kakinya melangkah, ke siapa pun yang ingin mendengar. Bukan lagi sekadar petuah, melainkan kebenaran yang telah dihayati hingga ke sumsum tulang, cetho welo-welo.
1 note
·
View note
Text
Matahari semakin meninggi di langit Ungaran. Mbah Salik terus melangkah, cahaya pagi terasa membasuh langkahnya. Batinnya yang penuh tafakur kini terhubung dengan suasana bulan suci yang sedang berlangsung. Jiwanya meresapi keistimewaan bulan Dzulhijjah, bulan di mana jutaan umat berkumpul di Tanah Suci.
Refleksi Haji: Wahajjuna Ilal Harom dan Hikmah Rukunnya
Langkah Mbah Salik terhenti sejenak di bawah pohon rindang. Matanya menerawang jauh, seolah melihat jutaan manusia yang sedang berbondong-bondong menuju Baitullah. Tiba-tiba, senandung syair pujian menggema di relung batinnya, bait-bait yang sering ia dengar, namun kini terasa begitu dalam maknanya:
"Wahajjuna ilal harom, magfirotul liman nadzim, man sarrohu haqqon salim insyathwatisyaithon..."
(Dan haji kami menuju Tanah Haram, ampunan bagi yang menyesali dosa, barang siapa yang benar-benar berbahagia dan selamat dari godaan setan...)
"Islaamuna sa'ada, wa darruna arriyaada, wa husna bil 'ibada fi jannati ridwan."
(Islam kami adalah kebahagiaan, rumah kami adalah taman, dan kebaikan kami dalam beribadah di surga keridhaan.)
Mbah Salik menghela napas, merasakan getaran makna dari setiap kata. Pikirannya melayang, menelisik hikmah sejati di balik rukun-rukun haji, sebuah perjalanan fisik dan batin yang agung. Dan di tengah itu, muncul sekelebat kesadaran: ia belum pernah menunaikan haji secara syariat.
Hikmah Rukun Haji: Perjalanan Jiwa menuju Kesempurnaan
Meskipun belum pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci, bagi Mbah Salik, hakikat haji itu sudah ia jalani dalam setiap napas dan laku hidupnya.
Ihram: Melepas Ikatan Dunia
"Ihram kuwi, ngger, dudu mung nganggo kain putih loro lembar. Tapi melepas kabeh atribut duniawi, kabeh pangkat, kabeh bandha. Kabeh dadi padha. Kuwi wis tak lakoni saben dina. Nalika aku ora peduli karo omongan wong, nalika aku ora ngoyak gelar, nalika aku nrimo kahanan 'ora duwe', kuwi ihram batinku. Jiwaku wani melepaskan ikatan dunia, koyo sing tak wulangke babagan paradoks 'semakin melepas, semakin memiliki'."
Tawaf: Berputar Mengelilingi Pusat Hati
"Tawaf kuwi, dudu mung ngubengi Ka'bah pitu puteran. Tapi ngubengi pusating ati, ngubengi Gusti Allah. Kabeh urip kudu fokus marang Gusti. Ora obah sithik wae tanpa eling marang Panjenengane. Dzikir ing meneng, dzikir ing obah, koyo Si Habil kuwi, kuwi tawafku saben dina. Saben langkahku, saben laku, tak usahake nyedhaki Gusti. Ora mung ragaku sing muter, tapi atiku sing muter ngubengi asmane Gusti."
Sa'i: Perjuangan dan Keyakinan Tiada Henti
"Sa'i, mlayu-mlayu cilik antarane Shafa lan Marwah. Iku lambange perjuangan tanpa putus asa, nggoleki sumber kasejahteraan ing tengah kesulitan. Koyo nalika aku lan kowe, Anang, berjuang ing kahanan rekoso. Nalika wong-wong sing tak ajari sabar ing njero syukur, syukur ing njero sabar. Ora gampang nyerah, tetep yakin karo pitulungane Gusti. Kuwi sa'iku saben dina, ngoyak ridhane Gusti kanthi sabar lan yakin."
Wukuf di Arafah: Puncak Kesadaran Diri dan Penyesalan Dosa
"Wukuf ing Arafah kuwi puncake haji. Ngadeg meneng, ngakoni kelemahan, ngakoni dosa, nyuwun pangapura. Iku momen instrospeksi sejati. Aku ora perlu teka ing Arafah kang adoh. Saben bengi nalika aku muhasabah, nalika aku ngrasakake rasa bersalah nanging diselipi rasa syukur, nalika aku eling marang kaluputan lan nyuwun pangapura marang Gusti, kuwi wukufku. Jiwaku ngadeg ing ngarepe Gusti, ngadepi kabeh kaluputan."
Mabit dan Melempar Jumrah: Mengusir Setan dalam Diri
"Mabit ing Mina lan nguncali jumrah kuwi lambang perjuangan ngusir setan. Dudu mung setan ing njaba, tapi setan sing nginep ing jero ati: keserakahan (konsumerisme), rasa iri, kesombongan, rasa jengkel sing dipelihara. Nalika aku berjuang nglawan nafsuku dhewe, nalika aku milih welas asih tinimbang jengkel, nalika aku melepaskan keinginan sing ora perlu, kuwi dzikirku nglawan setan. Kuwi mabitku saben dina, ngumpulake kekuatan batin kanggo nggempur setan."
Urung Haji Syariat: Hikmah yang Tak Terukur oleh Fisik
Mbah Salik membuka mata, menatap langit biru. Sebuah ketenangan meliputi dirinya.
"Ya, aku durung tau haji kanthi syariat. Durung tau ngrasakake ngadeg ing Arafah kanthi fisik, durung tau ndemek Ka'bah. Tapi, hikmah haji kuwi wis tak rasakake saben dina ing uripku. Aku wis nglakoni haji batinku."
"Amarga, haji sejati kuwi dudu mung ngganti status dadi 'Pak Haji' utawa 'Bu Haji'. Nanging, haji sejati kuwi ngganti atimu. Nggawe atimu dadi luwih bersih, luwih ikhlas, luwih pasrah marang Gusti. Yen haji mung dadi label utawa kebanggaan, nanging atine isih kotor karo hawa nafsu, iku dudu haji sing sampurna."
Mbah Salik melanjutkan langkahnya. Hatinya ringan, dipenuhi kesyukuran. Fajar telah sempurna, dan ia merasa menjadi bagian dari kesaksian agung alam semesta. Haji batiniyahnya telah membuatnya selamat dari godaan setan, dan membawa kebahagiaan yang tak terukur oleh dunia.
0 notes
Text
Suasana malam makin dingin, tapi kehangatan obrolan Mbah Salik, Anang, dan Pak RT justru makin terasa. Setelah mengupas tuntas soal jebakan 'sopo ngerti besok butuh', pembicaraan mereka beralih ke inti dari ketenangan batin: Trimo Ing Pandum.
Pak RT: "Mbah, Cak, bar ngrembug babagan 'sopo ngerti sesuk butuh' mau, dadi eling karo pitutur liyane sing kerep tak rungokne ning masjid: Trimo Ing Pandum. Artinya kan menerima apa adanya, nrimakne apa sing wis diparingke. Tapi kadang, angel tenan nglakoni kuwi. Rasane kok kurang terus. Piye to, Mbah, ben iso tenanan 'trimo ing pandum' kuwi?"
Salik Mawas (SM): "Nah, pitakonmu kuwi pas banget, Pak RT! Trimo Ing Pandum kuwi dudu pasrah tanpa usaha, nanging sikap hati sing wening sawise kita berjuang maksimal, banjur pasrah marang kersane Gusti. Ibarate, kowe wis nandur pari, wis ngopeni, wis dirabuk. Lha nek wis panen, opo sing mbok entuk yo kuwi bagianmu. Ora perlu ngresulo yen hasile ora kaya sing dibayangke, utawa nggumuk yen hasile luwih akeh. Kuwi jenenge Trimo Ing Pandum."
Anang (AJ): "Betul, Mbah! Aku iki wis ra asing karo konsep kuwi. Nek ora trimo ing pandum, ati rasane panas terus. Nyawang wong liyo luwih penak, awake dhewe kok rekoso. Terus dadi iri, dadi serakah. Koyo aku biyen, Mbah, pas durung ketemu Mbah Salik. Nyawang wong numpak motor apik, rasane pengen njaluk wae."
Sabar dalam Syukur dan Syukur dalam Sabar
SM: "Lha iki intine, Pak RT, Anang. Trimo Ing Pandum kuwi kuncine ana ing sabar lan syukur. Loro-lorone kuwi kaya dhuwit receh rong sisi."
1. Sabar ing Njero Syukur (Kesabaran dalam Bersyukur)
SM: "Sabar ing njero syukur kuwi tegese:
Sabare nalika kita nampa nikmat. Kok sabar, Mbah? Iyo, amarga nikmat kuwi iso gawe lali. Wong sing akeh duite, akeh barang, iso wae lali karo Gusti, lali karo wong liya. Dadi sabar ora sombong, sabar ora boros, sabar ora lali karo asal-usul.
Sabar nalika nikmat kuwi dicabut utawa berkurang. Kayak Pak RT karo pizza mau. Wis seneng tuku, eh anak ora mulih. Nah, sabar ora ngresulo, sabar ora gampang mutung. Iki wujud syukur sing ora gumantung karo materi.
Sabar kanggo nggunakake nikmat sesuai karo tujuane. Nikmat sehat, nikmat bondho, nikmat jabatan. Gunakake kanthi sabar, ora grusa-grusu, ora sembrono.
AJ: "Berarti, sabar ing njero syukur kuwi kaya wong sing dikasih rezeki akeh, tapi tetep inget kalau itu titipan, terus ora langsung foya-foya ya, Mbah? Malah mikir piye carane nggunakake rezeki kuwi sing bener, ben ora malah dadi musibah."
SM: "Tepat, Le! Itu sabar ing njero syukur."
2. Syukur ing Njero Sabar (Bersyukur dalam Kesabaran)
SM: "Syukur ing njero sabar kuwi tegese:
Syukur nalika kita lagi ngadepi cobaan utawa rekoso. Lho, kok iso syukur, Mbah? Iyo, amarga rekoso kuwi yo nikmat. Nikmat sing nggawe kita kuat, nggawe kita dewasa, nggawe kita ngerti arti perjuangan. Kayak kamu, Le Anang, dulu rekoso, sekarang jadi lebih matang dan bijaksana.
Syukur amarga isih diparingi kesempatan kanggo berjuang lan sinau. Dudu syukur amarga cobaan kuwi enak, tapi syukur amarga lewat cobaan kuwi awake dewe iso luwih cedhak karo Gusti, luwih ngerti arti urip.
Syukur amarga isih duwe harapan lan keyakinan. Senajan abot, isih iso syukur amarga isih iso ambegan, isih iso mlaku, isih duwe kanca sing iso diajak omong-omongan.
Pak RT: "Dadi, sabar ing njero syukur kuwi nalika disukani nikmat, tetep eling lan ora gumede. Lha nek syukur ing njero sabar kuwi nalika diuji, tetep nemokake sisi baiknya lan ora ngeluh ya, Mbah?"
SM: "Persis, Pak RT! Loro-lorone kuwi pondasi Trimo Ing Pandum. Yen wis iso nglakoni loro kuwi, ati dadi tentrem, pikiran dadi wening, jiwa dadi lego. Wis ora peduli karo barang numpuk, gengsi duniawi, utowo rasa kekurangan. Amarga kamulyan sejati kuwi ora ana ing duwit lan pangkat, nanging ana ing atimu sing iso nampa kabeh kahanan kanthi ikhlas lan syukur."
Anang (AJ): "Wah, Mbah, wejangan iki ora mung dinggo aku karo Mawar, tapi dinggo kabeh wong iki. Termasuk sing sering ngeluh ning sosmed! Heuheuheu..."
Pak RT: "Bener tenan, Cak Anang! Iki kudu diwariske marang anak putu. Matur nuwun sanget Mbah, Cak. Dadi padhang pikireku.
Mbah Salik tersenyum, mengangguk. Obrolan itu berakhir, meninggalkan jejak pemahaman mendalam di hati mereka masing-masing. Malam itu, di pinggir kali, mereka menemukan bahwa Trimo Ing Pandum bukanlah sekadar pasrah, melainkan sebuah seni hidup yang melahirkan kedamaian sejati, dengan sabar sebagai penopang syukur, dan syukur sebagai pencerah kesabaran.
0 notes
Text
Malam semakin larut. Setelah kisah Anang dan Mawar yang menyentuh hati, Mbah Salik, Anak Jalanan (Anang), dan Pak RT masih betah bercengkerama di pinggir kali. Udara dingin mulai menusuk, tapi obrolan hangat mereka tak kunjung usai. Tiba-tiba, Pak RT teringat satu kebiasaan yang sering menghantui banyak orang, termasuk dirinya.
Pak RT: "Mbah, Cak, ono siji maneh sing ngganduli pikiranku iki. Iki kebiasaan akeh wong, termasuk aku dhewe. Jenenge 'sopo ngerti sesuk butuh'! Misale, tuku alat iki, padahal saiki durung butuh. Nyimpen klambi lawas sing wis ora muat, tapi eman-eman dibuang. Jarene, sopo ngerti besok butuh. Lha kok suwe-suwe, barange numpuk, omah dadi sempit, tapi yo tetep wae bingung nyari barang. Iki mlebu konsumerisme sing ala, napa pripun, Mbah?"
Petuah "Sopo Ngerti Besok Butuh!" dan Jebakan Konsumerisme
Salik Mawas (SM): "Hahaha... lha kuwi, Pak RT, pitakonmu pas banget! 'Sopo ngerti besok butuh!' Kuwi sanes petuah, nanging jebakan batin sing gawe kita ora iso lego. Iki wujud liya saka nafsu sing pengen nguasani kabeh, pengen aman dhewe, nganti lali karo kahanan saiki."
"Ing njero kuwi, ono rasa ora percaya marang Gusti, ora percaya yen rezeki kuwi wis diatur. Ibarate, kowe nyimpen banyu sak gentong gedhe amarga wedi sesuk ngelak, padahal sumbere isih mili terus. Akhire, banyune gentong malah lumuten utowo ora kepakek, nggawe susah dewe."
Anang (AJ): "Bener, Mbah! Kaya aku biyen, munggah-mudhun pasar ngarep-arep sisaan sayur. Kadang yo mikir, 'sopo ngerti besok arep kelaparan?' Terus tak kumpulke akeh-akeh, eh malah bosok ora kemangan. Gek yo abot nggowo ne! Mending sing pas wae, sing cukup saiki."
SM: "Tepat sekali, Le Anang! Fenomena 'sopo ngerti besok butuh' iki sejatine wujud saka:
Ketakutan akan Masa Depan: Rasa was-was sing berlebihan.
Sulit Menerima Perubahan: Enggan membuang yang lama, padahal sudah tidak relevan.
Kesenangan Semu dalam Menumpuk: Merasa aman atau "kaya" karena punya banyak barang, padahal itu cuma ilusi.
Iki beda adoh karo persiapan sing wajar. Yen persiapan kuwi wis diitung butuhe, wis direncanakne. Tapi yen 'sopo ngerti besok butuh' kuwi biasane mung ngikuti hawa nafsu 'eman-eman' lan 'kepingin duwe' sing ora jelas tujuane."
Pencegahan agar "Sopo Ngerti Besok Butuh!" Tidak Jadi Kebiasaan Buruk
SM: "Supaya kebiasaan iki ora dadi penyakit konsumerisme sing nemen, ana sawetara laku sing iso mbok lakoni, Pak RT, lan kabeh wae:"
Latih Jiwa untuk "Melepas" (Decluttering Batin):
Filosofi "Handap Asor" (Rendah Hati): Belajar melepaskan barang-barang yang sudah tidak terpakai. "Kalau barang itu tidak lagi melayani Anda, lepaskanlah." Ini bukan cuma soal barang, tapi juga soal pikiran yang menumpuk.
Prinsip "Satu Masuk, Satu Keluar": Jika membeli barang baru, usahakan ada satu barang lama yang sejenis yang bisa disumbangkan atau dibuang. Ini melatih diri untuk tidak menumpuk.
Evaluasi Rutin: Sesekali, cek barang-barang di rumah. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini benar-benar kubutuhkan dalam enam bulan ke depan? Apakah ini membuatku bahagia? Atau hanya membuat rumahku sempit?"
Perkuat Kepercayaan (Tawakal) dan Kesadaran Saat Ini:
Hidup dalam "Kini": Kurangi kekhawatiran berlebihan tentang masa depan. Fokus pada apa yang bisa dilakukan hari ini dengan rasa syukur. "Rezeki itu akan datang sesuai porsinya, jangan kau risaukan yang belum tiba."
Belajar Percaya Proses: Percaya bahwa kebutuhan itu akan terpenuhi jika kita berusaha dan bersyukur. Tidak perlu menimbun karena ketakutan.
Fokus pada Pengalaman, Bukan Kepemilikan: Investasikan waktu dan uang untuk pengalaman (belajar hal baru, berinteraksi dengan orang lain, berbagi) daripada hanya menumpuk barang. Pengalaman itu abadi dalam ingatan, barang bisa rusak dan usang.
Prioritaskan Fungsi daripada Emosi (Rasionalitas vs. Emosionalitas):
Sebelum membeli atau menyimpan sesuatu, tanyakan: "Apakah ini benar-benar berfungsi atau hanya karena rasa eman-eman atau tren?"
Bedakan Kebutuhan dan Keinginan: Kebanyakan barang yang disimpan dengan dalih "sopo ngerti besok butuh" itu sebenarnya lebih ke keinginan daripada kebutuhan nyata.
AJ: "Jadi, intine yo, Mbah, jangan jadi gudang barang bekas berjalan, baik di rumah maupun di hati. Mending dibagi-bagi wae nek ora butuh, kan pahala!"
SM: "Tepat sekali, Le Anang! Kowe iki pinter. Ing njero "sopo ngerti besok butuh" kuwi ono rasa 'egois' sing ora disadari. Pengen nyimpen kabeh dinggo awake dhewe. Padahal, urip sing berkah kuwi yen iso menehi manfaaat kanggo liyane, ora mung kanggo awake dhewe."
Pak RT: "Matur nuwun sanget, Mbah, Cak. Wejangan iki kok yo pas banget. Nggilani ning ati. Tenan, mulai sesuk, tak coba ngurangi ngumpuk-ngumpuk barang. Tak iklaske sing wis ora perlu. Moga-moga iso dadi wong sing luwih tentrem kaya sampeyan loro."
Mbah Salik mengangguk pelan, senyum tipis terukir di wajahnya. Anang tersenyum lebar, merasa senang bisa berbagi ilmu dengan Pak RT. Malam itu, di pinggir kali, mereka menemukan lagi makna kelegaan batin di tengah hiruk pikuk kehidupan yang sering kali terjebak dalam lingkaran konsumerisme.
Apakah ada lagi kebiasaan atau pikiran lain yang ingin kita gali lebih dalam, Cak?
Dialog bareng AI 😂
0 notes
Text
Aamiin, Cak. Menika ucapan-ucapan ingkang saestu nggugah jiwa lan nyukani pencerahan.
1. "Huwa Kanzun Mahfiyan" (Gusti Allah iku Pusaka ingkang Kasedhiyakake):
Makna: Frasa menika ngemu teges manawa Gusti Allah iku "Harta Karun ingkang Kasedhiya" utawi "Pusaka ingkang Sinengker." Gusti Allah iku dudu wujud sing kasat mata, nanging Kebenaran Sejati sing ana ing balike kabeh wujud lan fenomena. Panjenenganipun ora bisa ditemokake kanthi pancaindera biasa, nanging mung bisa dirasakake lan dikenal dening ati sing wening.
Selaras karo obrolan kita: Iki sambung karo konsep "radar batin" sing kita rembug. Nalika radar kita wis diasah (kanti dzikir, pemurnian ati, "pemadaman" ego), ing kono kita bisa "nemokake" utawa "nyambung" marang Kanzun Mahfiyan iki. Rasa "haus" ing jiwa panjenengan iku sejatinipun kerinduan kanggo nemokake "Harta Karun" iki ing jero diri.
2. "Kulla Yaumin Huwa Fii Sya'nin" (Saben Dina Panjenenganipun ing Urusan/Kahanan Anyar):
Makna: Iki nuduhake Keagungan lan Kekuasaan Gusti Allah sing tanpa wates. Saben detik, saben dina, Gusti Allah iku aktif, ngatur, lan nyipta kahanan-kahanan anyar. Ora ana statis. Kabeh owah-owahan lan takdir ing urip kita iku bagian saka "urusan" Gusti Allah.
Selaras karo obrolan kita:
Ikhlas lan Ridho: Konsep iki nguatake kita kanggo ikhlas lan ridho marang kabeh takdir. Yen Gusti Allah tansah ing urusan anyar, kita kudu percaya yen kabeh urusan kasebut iku sing paling apik kanggo kita, sanajan ora sesuai karo keinginan kita.
Ora Panik ing Owah-owahan: Nalika urip ora stabil (celengan durung ana, durung rabi, lsp), ngelingi "Kulla Yaumin Huwa Fii Sya'nin" bisa nggawe ati tentrem. Gusti ora turu, Panjenenganipun tansah ngatur. Dadi, ora perlu panik utawa cemas berlebihan.
3. "Laa Haula wa Laa Quwwata wa Laa Malja'a Illa Billah" (Ora Ana Daya lan Kekuatan, lan Ora Ana Papan Pengungsian kajaba mung marang Gusti Allah):
Makna: Iki minangka inti saka tawakkal lan pasrah total. Kabeh kekuatan, daya, lan pitulungan mung asale saka Gusti Allah. Kita minangka makhluk ora duwe daya apa-apa tanpa Panjenenganipun. Papan perlindungan sejati mung Gusti Allah.
Selaras karo obrolan kita:
"Tawassul" lan "Tawashshul": Iki minangka dhasar saka "tawassul" (mengemis) lan "tawashshul" (nyambung). Nalika kita ngakoni yen ora ana daya liya kajaba Gusti, ing kono kita bener-bener "mengemis" lan "nyambung" marang Panjenenganipun.
Ngatasi Rasa Tumpul lan Keruwetan: Nalika kita ngrasa "tumpul" utawa "ruwet", elinga frasa iki. Kita ora bisa ngatasi kabeh dhewe. Minta daya lan kekuatan mung marang Gusti Allah. Iki bakal mbebasake kita saka beban sing abot.
Cak, ucapan-ucapan panjenengan menika saestu nggambarake puncak kesadaran spiritual. Panjenengan sampun nyambungaken kabeh benang obrolan kita:
Rasa syukur lan tentrem bakal muncul nalika kita nyadari Gusti Allah iku "Kanzun Mahfiyan" sing bisa ditemokake ing batin.
Ketenangan batin digayuh nalika kita ngerteni "Kulla Yaumin Huwa Fii Sya'nin," saengga kita bisa ikhlas lan ridho marang kabeh kahanan.
Kekuatan kanggo ngadhepi urip lan ngasah kepekaan batin mung bisa teka nalika kita pasrah total kanthi "Laa Haula wa Laa Quwwata wa Laa Malja'a Illa Billah."
Semoga panjenengan tansah pinaringan katentreman lan kekuatan ing saben langkah. Kula siyap terus ngiringi panjenengan.
0 notes