Tumgik
ariadnelacie · 4 years
Quote
Jika sholatmu belum bisa menyelesaikan urusan duniamu, bagaimana bisa kau yakin sholatmu akan menyelesaikan urusan akhiratmu
Saat itu aku sedang mencari-cari barangku yang hilang entah kemana dan aku lupa sama sekali. Bapak menyuruhku sholat, tapi aku tetap saja enggan beranjak. kemudian bapak mengatakan kalimat itu. Selesaikan urusanmu dengan sabar dan sholat"
©hanifahbaharudin
(via kurniawangunadi)
1K notes · View notes
ariadnelacie · 4 years
Quote
Kalau kamu rindu,pejamkan matamu.Kemudian sebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan katakan ‘ya Allah damaikan kami dalam rindu yang Engkau ridhoi’
mungkin suatu kali kau akan merasakan perasaan rindu yang begitu hebatnya tapi kau tak tau harus bagaimana. Kau begitu percaya,bahwa rindu harus dirahasiakan. kau tak bisa apa-apa,hingga kau dapati matamu berkaca. kalau sudah begitu,mungkin kau bisa mencoba saranku :)
10 notes · View notes
ariadnelacie · 4 years
Quote
Kalau kau menginginkan sesuatu, maka doakanlah orang lain agar mendapatkan sesuatu itu. Sebab malaikat akan mengatakan: amin untuk doamu, amin untukmu juga
Bapak yang mengatakan padaku suatu kali. Kata Bapak kalau kita mendoakan orang lain, maka malaikat akan mengatakan : amin untuk doamu, amin untukmu juga. Kalau kau ingin menikah misalnya, maka doakanlah teman-temanmu yang belum menikah agar segera menikah..
Nasehat itu sudah kudapatkan dulu sekali, namun baru kutuliskan sekarang karena rupanya aku menemukan hadisnya.”Orang Muslim yang mendoakan temannya secara diam-diam, akan disambut malaikat dengan berkata: semoga untukmu juga (HR.Muslim)”
(via hanifahbaharudin)
5 notes · View notes
ariadnelacie · 4 years
Text
So this is how does it feel to lose everything.
I’ve always felt that my life is a bottomless pit of emptiness. Now that everything is gone, I’ve just realized that, the emptiness were so real.
It is so real.
Now I know, why does that golden gate victim only looking for “just a smile from a stranger will do”. Because, that emptiness eats you. It eats you alive. Because you realized that you actually have no one and just a stranger will do.
Anyone.
But there aren’t any.
So this is how does it feel to lose everything.
If only.
If only, I
Would
Lose
My
Life
too.
.
.
This might be my last post here. Therefore, I’m going to say thank you for everyone who’s ever been in my life until this point or stopped mid-way. I hope that the world would be kinder to you than any of this storm with me.
I hope you never felt what I felt.
Thank you.
Au revoir.
4 notes · View notes
ariadnelacie · 4 years
Text
Empty People.
We might looked like have a fulfilling life, which doesn’t even make sense, but the feeling was always there. Like a fleeting feeling... it just sit there.
Empty people end up trying lots of things just for the sake of finding what could fill them up.
Mostly fall to the quantitative things in life, but I think I understand why.
We don’t know what we wanted. Therefore we resort to what looked like will fill us from social standard.
You can’t blame us when we ran to alcohol, capitalism, or other fucked up things.
But the most sad thing is, even though we are losing ourselves in the process, die, die, and, die again--throwing everything away--
It
Just
Doesn’t
Fill
Us.
2 notes · View notes
ariadnelacie · 4 years
Text
(Not) Happy New Year.
Mungkin ini untuk pertama kalinya saya nggak merasakan apa-apa pada momen pergantian tahun seperti sekarang ini. Nggak, ini bukan obligatory new year post, tapi saya entah kenapa sedang ingin menulis saja.
Mungkin ini yang namanya benar-benar hampa.
Saya biasanya orang yang paling senang dengan hal-hal bertema perayaan. Ulang tahun, anniversary, kelulusan, wisudaan, kemenangan, tahun baru, apapun yang menuntut alasan untuk dirayakan. Namun, belakangan saya nggak merasakan apa-apa. Terkadang saya ikut merayakan hanya karena norma sosial saja. Bahkan, sekarang, saya sama sekali nggak ada keinginan untuk lihat kembang api tahun baru di luar. Karena saya tahu, hal itu juga nggak bikin saya senang-senang amat.
Entah apa yang membuat saya menjadi seperti ini.
Teman saya pernah bilang, kesepian itu egosentris. Begini deh tepatnya:
Loneliness is often egocentric. It's weird when sometimes we're surrounded by just so many people but still bear that hollow, that unscripted and unfilled void. Yet another time, we get together with this person--this and only this particular person--and time holds still.
-- Lan.
Mungkin, bagi saya hampa itu egosentris. Tapi, saya nggak tahu apa yang saya inginkan. Atau mungkin saya tahu, cuma saya tahu juga kalau saya nggak mungkin mendapatkan itu. (Kecuali Tuhan berkata demikian. Cuma, sampai sekarang, rasanya saya belum pernah dikasih itu sama Tuhan.)
Di tahun ini saya sudah merasakan bagaimana menjadi versi terbaik dari diri saya dan versi terjahat dari diri saya. Rasanya menyeramkan. Saya yang baik seperti orang bodoh yang akan selalu dimanfaatkan. Saya yang jahat sangat dingin seperti tidak punya hati manusia.
Saya jadi lelah mau memilih sisi yang mana.
Dulu, di antara pembicaraan mengenai kematian dan berbagai hal-hal gelap lainnya, teman saya pernah bilang kalau ini saatnya dia ingin bahagia. Dan saya juga harus bisa untuk memilih bahagia.
Salah satu kutipan yang paling saya suka dari buku Ika Natassa juga adalah tentang: “sebagai manusia, kita bisa milih kebahagiaan yang kita mau. Dengan cara apa, sama siapa, bagaimana, dan di mana...”
Lalu, tentang mungkin apa yang sebenarnya kita inginkan ada di depan mata. Awareness of what is so real and essential, so hidden in plain sight all around us, that we have to keep reminding ourselves over and over.
This is water. This is water.
Iya, mungkin memang merasa hampa adalah jalan tengah terbaik dari rasa yang bisa saya rasakan. Paling nggak, saya nggak sedih. Dan saya nggak harus merasa bersalah karena nggak bahagia dengan hal-hal lumrah di norma sosial.
This is water.
0 notes
ariadnelacie · 4 years
Text
Nice to meet you.
That being said and all I’m done with expressing how I really felt.
So again nice to meet you, I’m Ariadne, the people pleaser.
(At least you only have drama with yourself even if it kills you).
0 notes
ariadnelacie · 4 years
Text
cherishing.
Mungkin konten saya belakangan ini terlalu receh dibandingkan biasanya. Lebih seperti buku harian seorang gadis ABG yang menceritakan keseruan kehidupannya, kan?
Saya juga nggak tahu kenapa, tapi rasanya seperti terapi saja menuliskan hal-hal yang sederhana dan menyenangkan seperti itu. Mungkin saya ingin mengabadikan momen-momen bahagia dalam hidup saya yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, jadi suatu hari ketika saya harus pergi, paling tidak saya ingin mengingat hal yang baik-baik saja dari orang-orang ini.
Atau mungkin saya sedang ingin berpegang pada kebahagiaan yang tipis-tipis itu, yang rasanya jika saya tarik sedikit lagi saja akan putus benangnya.
Mungkin, mungkin.
Ariadne, Decembre, 2019.
0 notes
ariadnelacie · 4 years
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah (5).
Judulnya memang begitu, tapi sekarang kami sudah tidak hanya bertiga saja, yeay! Atikah dan Rendi menyusul ke sini untuk merayakan ulang tahun our dear grumpy boss, Richsan. Aku berencana bikin kejutan di malam harinya.
--
Oke, jadi kita menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam (atau lebih ya?) dari Solo ke Semarang. Kami sampai di Semarang cukup sore. Hhhhh, akhirnya aku bertemu dengan manusia lain yang tidak akan mem-bully! Tika juga membawakan aku baju, karena baju yang aku bawa sebelumnya adalah hanya untuk persiapan perjalanan selama 3 hari saja. Sekarang kita sudah lebih dari seminggu di sini, loh. Aku bertahan hidup dengan membeli pakaian dalam di Indomaret (HAHA) dan menggunakan laundry hotel. Untung saja biaya laundry hotel di Wonosobo tidak mahal (lagipula bukan aku yang bayar).
Richsan ulang tahun besok dan dia ingin merayakannya di Wonosobo bersama dengan warga kandang. Karena itu kami di Semarang hanya sekadar transit saja, lalu malam langsung melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Tapi, Richsan mau beli handphone dulu. Karena handphone dia yang sekarang baterainya sudah bocor dan itu berbahaya bagi kelangsungan bisnis ini di mana dia harus selalu bisa ditelepon. The life of our CMO, it is.
Awalnya, aku berniat untuk memesankan kue di Hotel Kresna, sehingga ketika kita sampai ke sana (pasti sampainya tengah malam) bisa langsung surprise di tengah malam. Jadi, selama kita menunggu handphone Richsan di Citraland, aku meminta Tika untuk membeli balon-balon huruf H, B, D dan beberapa properti lainnya. Sementara aku dan Richsan berpisah dari rombongan karena Richsan mau membeli baju.
Bencana dimulai ketika handphone Richsan tidak kunjung datang. Jadi, dia beli dengan menitip pada seseorang. Eh, tapi orangnya tidak kunjung datang. Kami menunggu lamaaa sekali. Sepertinya kurang lebih 3 jam. Pokoknya jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan handphone-nya tidak kunjung datang. Richsan sudah marah-marah dan akhirnya kita pulang. Kepergian ke Wonosobo pun ditunda.
Sesampainya di hotel, kami baru menyadari bahwa kamar yang ada tidak akan cukup untuk ditiduri oleh 5 orang. Cukup, sih. Tapi nanti jadi seperti pindang. Masalahnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana ceritanya berpindang ria di antara Richsan dan Ahong. Akhirnya Richsan memesan kamar baru agar dibagi dua saja kamarnya.
Aku pun turun ke bawah bersama Tika dan Rendi untuk check-in kamar baru. Karena kita tidak jadi ke Wonosobo, aku pun memutuskan untuk memesan kuenya di sini saja. Untungnya, dapur hotel yang menyediakan cake buka 24 jam. Aku memesan opera cake--yang menjadi welcoming snack waktu aku datang di hari pertama ke sini. Richsan bilang itu enak, dan aku nggak tahu dia suka kue apa, jadi aku pesan itu saja.
Ketika check-in, terjadi hal yang kusebut lady luck fortune. Dalam perjalanan beberapa hari ini, segala urusan check-in dan check-out diurus olehku. Nah, selama itu pasti ada saja kejadian keberuntungan. Untuk yang sekarang, adalah kamar yang kami pesan sudah habis sehingga kami mendapat free upgrade ke Executive Lounge. WOW.
Kami pun naik duluan ke kamar di lantai 10 itu. Lagipula Richsan dan Ahong sudah tertidur di kamar, jadi nanti saja dibangunkannya tengah malam. Executive Lounge ini merupakan kamar yang terdiri dari 3 ruangan, yaitu ruangan depan dengan sofa untuk bersantai dan pantry, ruang tidur dengan kasur King Size, dan kamar mandi besar yang berisi bath tub dan shower, lengkap dengan jendela yang menghadap ke pemandangan lampu-lampu Kota Semarang.
Tumblr media
Oke, memang aku lebih suka Ayom, tapi ini salah satu kemewahan yang jarang sekali aku rasakan.
Singkat cerita, jam pun menunjukkan pukul 12 malam dan aku turun untuk membangunkan Richsan dan Ahong. Tika dan Rendi menunggu di kamar untuk mempersiapkan kue dan lilin. Aku pun naik ke atas dengan Richsan yang mengomel sepanjang jalan (aku lupa dia awalnya mengomel karena apa).
Bencana selanjutnya terjadi ketika sudah sampai di depan pintu, ketika aku mau membuka pintu, eh ditahan oleh Tika. Sepertinya ada sesuatu yang belum siap entah apa, tapi dia menggunakan alasan paling konyol sedunia untuk menahan kami masuk:
“Bentar! Gue belum pake baju!”
Aku dalam hati : “Lo gak ada alasan yang bagus dikit apa...”
Richsan semakin murka di depan pintu. Sepertinya kombinasi antara dia tadi kesal menunggu handphone dan juga mengantuk. Ahong pun menggedor-gedor pintu. Aku sampai bingung, apa Ahong lupa kalau kita mau merayakan ulang tahun Richsan. Akhirnya aku bilang saja: “Tik, udah buka aja.”
Nah, pintu pun dibuka akhirnya. Lampu sudah digelapkan, kue ulang tahun Richsan tertata rapi di meja, dengan lilin yang menyala hanya... sebelah. Oh, jadi itu masalahnya. Lilinnya tidak mau menyala katanya. Kita pun langsung menyanyikan happy birthday. 
Richsan langsung hilang kemurkaannya. Dasar anak kecil.
Kita pun melakukan prosesi tiup lilin dan baca doa dan tertawa keras atas alasan konyol Tika. Serius, deh, Tik, bahkan aku juga heran dengan alasannya. Lalu, kami menelepon housekeeping untuk mengantarkan piring dan pisau--sekalian untuk memotret kami berlima.
Tumblr media Tumblr media
Happy birthday our dear Grumpy Boss!
Dulu sekali, waktu masa awal-awal perkenalan aku dengan Richsan, dia pernah cerita tentang bagaimana momen ulang tahun bukanlah momen yang spesial untuk dia. Dan tidak pernah ada yang merayakan.
Aku tidak percaya.
Dia kan, pernah mengalami masa ketika sedang ulang tahun dan punya pacar. Masa, tidak ada yang merayakan? Aku lupa persisnya apa jawaban dia saat itu, mungkin dirayakan tapi yaudah, atau apa ya. Yah, meskipun ini memang cuma seadanya dan bukan ulang tahun mewah yang selalu dia ceritakan akan ia rayakan untuk pacar-pacarnya kelak, semoga dia senang.
Harusnya senang, sih. Orang dia langsung ga jadi marah-marah.
Well, anyway, once again, happy birthday dear Grumpy Richsan!
--
Ps. Perjalananku di sini masih sangat panjang... sepertinya seminggu kemudian aku baru pulang?
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah (4).
“Ke Solo yuk, gue ingin nyoba nginep di Ayom.”
Cuma dari keinginan sederhana itu, di sinilah kami... dalam perjalanan ke Yogyakarta.
Loh, katanya mau ke Solo?
Jadi, sebelum ke Solo, kami transit dulu di Yogyakarta hanya untuk makan Gudeg Sagan. Tentu saja itu keinginan Richsan, siapa lagi? Yah, saya adalah orang kedua yang paling mungkin untuk menginginkan hal-hal impulsif konyol seperti itu. Hanya saja, karena keuangan kita selama di sini disokong oleh dia... jadi, pokoknya semuanya terserah Richsan.
Selain makan gudeg, kami juga berencana untuk mencari batik di Yogya. Richsan suka sekali dengan batik yang dijahit sendiri dan bahkan sudah memiliki lusinan batik dengan berbagai corak dan warna. “Biar kayak pejabat dong,” begitu katanya. Dia bahkan pernah nggak mau keluar kemana-mana seharian hanya karena batik pesanannya belum sampai dikirim dari Jakarta ke Semarang. Katanya, dia nggak kelihatan prima kalau bukan pakai batik yang itu. Jadi dia batalkan semua meeting dia hari itu.
Richsan dan sejuta lagaknya.
Aku pun memilihkan tempat pembuatan batik yang cukup legendaris di Yogyakarta. Batik Winotosastro. Sudah berdiri sejak tahun 1940, tempat ini menyediakan batik-batik kelas tinggi yang harganya bahkan bisa mencapai 30 juta untuk satu kain batik tulis. Biasanya dipesan oleh turis-turis dengan kombinasi motif dan corak pilihan masing-masing, sehingga batik motif tersebut hanya ada satu-satunya di dunia. Pembuatannya bahkan bisa mencapai 1 - 2 tahun.
Richsan hampir memesan batik itu.
Tapi, nggak jadi. Katanya, nanti kalau kelasnya sudah naik sampai dia layak memakai batik 30 juta itu. Akhirnya dia membeli sehelai kain batik berwarna merah marun yang akan dijadikan batik-entah-keberapanya.
Matahari semakin bergulir ke barat, karena Winotosastro tutup pada pukul 5, kami pun berangkat untuk mencari Gudeg Sagan.
Biasanya, yang terkenal adalah Gudeg Yu Djum, kan? Pendapat pribadi, sebenarnya saya kurang suka gudeg. Dia terlalu manis untuk makanan yang dicampur dengan nasi, menurut saya. Namun, setelah mencoba Gudeg Sagan... persepsi saya tentang gudeg langsung berubah 180 derajat.
Saya pesan paket komplit yang isinya nasi, opor ayam, telur bakar, dan paket gudeg berisi gudeg, sambal, dan krecek. Gudegnya nggak terlalu manis dan dipadukan dengan kuah opor yang gurih. Kombinasi makanan berbasis santan yang sangat surgawi. Enak banget, asli. Seenak itu.
Tumblr media
Sepulang dari sana, kami pun berangkat ke Solo. Demi menginap di Ayom Java Village. Katanya, sekali-sekali kita coba menginap di tempat yang agak besar.
Sesampainya di sana, jujur, ini adalah tempat termewah menurut aku dari semua tempat yang kita tinggali selama perjalanan ini. Bukan mewah yang modern, tapi mewah yang nusantara. Saya sampai punya impian untuk punya bagian dari rumah yang mirip dengan bagian dari Ayom ini.
Tumblr media
Jadi begini konsepnya. Tiap kamar adalah rumah sendiri, sehingga Ayom ini seperti sebuah kompleks dengan rumah-rumah mungil. Dari lobi utama, kami berjalan menyusuri lorong-lorong terbuka yang tidak beratap dengan dinding-dinding bata merah. Persis seperti perkampungan kecil di Bali. Setiap kamar memiliki pintu kayu besar yang seperti pagar dan bukan langsung masuk ke kamar, melainkan ke pekarangan dengan sebuah kolam renang dan gazebo yang berfungsi sebagai pantry.
Tumblr media
Ini penampakan pintunya.
Tumblr media
Ini ‘halaman depannya’.
Kamarnya merupakan rumah kayu mungil dengan fasilitas lengkap seperti kamar hotel tentunya--kasur ukuran king bed, televisi, kulkas, meja bekerja, sofa-sofa, dan sebuah kamar mandi memanjang yang sangat besar. Terdapat shower, wastafel, kloset duduk, dan... bath tub. Sabun-sabunnya juga sangat wangi, bahkan ada garam untuk bath tub. Secinta itu aku dengan tempat kami menginap malam ini. Meskipun Ahong dan Richsan benci dengan fakta bahwa mereka dilarang merokok--yang akhirnya Ahong berhasil mencari celah untuk bisa merokok. Jadi, sebenarnya sih sama saja.
Tumblr media
Luas banget, kan?!! Itu masih ada bagian shower di belakang aku.
Tumblr media
Kalau tahu di sini ada kolam renang, aku akan membawa legging sehingga bisa digunakan untuk berenang. SAYANGNYA, KETINGGALAN DI HOTEL DI SEMARANG. Jadi, aku harus berpuas diri hanya dengan berendam di bath tub subuh-subuh. Kenapa subuh? Tentu saja agar yang lain masih tidur hahahaha. Percayalah, meskipun kita bertiga sudah dekat seperti saudara kandung, tapi tingkat jail mereka terlalu tinggi untuk membuat rasa aman saya agak turun terkait hal-hal seperti ini.
Tumblr media
Setelahnya kami sarapan. Pilihan untuk menu sarapan adalah western atau nusantara. Kalau western, kamu akan disuguhkan dengan menu full-set English Breakfast. Baked beans, kentang, telur mata sapi, smoked beef, smoked tomato, dan sosis. Selain itu, ada juga croissant dan roti yang dilengkapi bungkusan butter dan selai. Bahkan ada mangkuk oatmeal dengan buah naga juga. Untuk menu nusantara, kamu disuguhkan dengan sepiring nasi goreng lengkap, surabi yang dibungkus dan pisang, dan juga piring berisi buah-buahan. Untuk minumnya, kita mendapatkan jus jeruk (yang sejujurnya menurut kami semua rasanya sangat hambar hahaha, maksudnya, jeruknya juga nggak kerasa!). Sejujurnya, bahkan untuk rasa main course sarapannya juga biasa saja.
Ohya, di sini juga kamu bisa memilih untuk sarapan terapung, loh. Jadi, nanti sarapannya ditaruh di atas nampan dan diapungkan di kolam renang. Lucu banget ya? Tapi, kami memilih sarapan normal saja.
Tumblr media
Kami checkout dari Ayom kurang lebih pukul 11 siang. Setelahnya, kami pergi untuk mencari Surabi Solo karena Ahong ngidam. Saya sebagai orang yang senang wisata kuliner tentu sangat senang juga dengan pilihan ini. Kami diarahkan oleh Nabila untuk membeli Surabi Notosuman Ny. Handayani di salah satu sudut pertokoan Kota Solo.
Oh, iya, dalam perjalanan di Solo kali ini kami ditemani oleh Nabila. Teman Ahong dan Richsan yang berkuliah di Solo.
Meskipun di Bandung ada, tapi aku belum pernah mencoba Surabi Notosuman. Sedih ya, haha. Tapi, satu hal tentang surabi yang di Solo ini (aku nggak tahu rasanya sama atau beda dengan yang di Bandung), rasanya... enak banget. Dia bisa dimasak setengah matang, di mana cokelat dan adonan surabinya lumer. Kalau dimakan hangat-hangat enakkk sekali rasanya. Selain dimasak setengah matang, bisa juga pesan yang sudah digulung. Aku pribadi lebih suka yang tidak digulung.
Tumblr media
Setelah puas makan surabi (bahkan tidak habis dan kami bungkus sebagian), kami pergi untuk mencari batik (lagi). Kali ini kami pergi ke Toko Batik Danar Hadi, yang pasti kamu semua tahu. Yah, tidak ada cerita menarik selain aku jadi tahu bahwa Richsan kalau belanja batik itu lama.... sekali. Udah seperti menemani ibu-ibu belanja.
Hari beranjak semakin siang dan panas, kami pun memutuskan untuk mencari tempat nongkrong dengan makanan yang cocok di hari panas. Es krim!
Kami pergi ke tempat bernama La Moda Del Gelato. Dipikir-pikir, nama tempatnya Gelato, tapi kata Nabila es krim di sini itu Sorbet. Jadi, karena dia bukan milk-based seperti Gelato, rasanya juga agak berbeda. Aku pribadi sih lebih suka Gelato.
Di sini kami cuma makan sambil ngobrol, sebelum akhirnya beranjak pulang ke Semarang. Karena di Semarang sudah ada tambahan personel--Rendi dan Atikah menyusul ke sini. Jadi, agar mereka tidak menunggu terlalu lama, kami pun berpisah dengan Nabila dan pulang ke Semarang.
Tentu saja, karena personel sudah bertambah, waktu liburan (bekerja) juga bertambah. Hari pulang tidak nampak dekat, tapi aku memang sudah sangat menikmati perjalanan ini.
Ke mana lagi kita setelah ini?
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah (3).
Aku hampir tidak percaya kami benar-benar berangkat ke Dieng.
Karena kemarin baru tidur tengah malam, jadi kami hanya tidur selama kurang lebih... 3 jam. Ketika jam menunjukkan pukul 4, kami semua sudah dalam perjalanan ke Dieng dengan persiapan seadanya. Aku mengenakan jaket yang bahkan baru aku beli kemarin.
Perjalanan ke Dieng dari Wonosobo tidak terlalu jauh. Namun, konyolnya, kami lupa mengisi bensin. Pom bensin mana yang buka di pagi buta seperti ini? Tapi, dengan segala taruhan yang ada, akhirnya kami memutuskan “yasudah lanjut saja”. Padahal, menurut perhitungan, ya bensinnya akan habis begitu kami sampai di atas hahaha.
Jalanan yang harus kami lewati untuk sampai ke atas cukup kecil dengan penerangan yang minimal. Ada sebuah tikungan di mana Richsan bercerita dia hampir menabrak pagarnya dan nyusruk ke kebun kentang (iya, di sampingnya adalah jurang berisi kebun kentang). Dan memang benar tikungannya nyaris tidak terlihat dan kami hampir menabrak juga. Karena kami berangkat agak mepet waktunya jadi harus agak ngebut, tapi kondisi jalan seperti itu. Ya wajar.
Kami pun sampai kurang lebih pukul setengah lima. Atau lebih ke jam lima ya? Aku sudah agak lupa, sih.
Hal pertama yang kami lakukan begitu sampai di tempat parkir--spot awal di mana kami tinggal berjalan naik ke atas untuk sampai ke sunrise point adalah membeli sarung tangan karena akan sangat dingin di atas. Ohya, kalian harus tahu kalau aku dan Ahong menggunakan sepatu. Ahong menggunakan running shoes, sementara aku menggunakan boots favoritku (yang sebenarnya lebih cocok dipakai untuk ke mall daripada naik gunung). SEMENTARA RICHSAN MENGGUNAKAN SANDAL HOTEL. Dia memang sudah pernah ke sini sebelumnya, tapi tetap saja...
Kami membeli sarung tangan seharga Rp5.000 saja per pasang. Masing-masing membeli sepasang. Setelahnya kami pun mulai berjalan beriringan ke atas.
Richsan dengan segala lagaknya yang menggunakan sandal hotel mengajak kami berhenti lagi ke suatu warung ketika sudah dalam perjalanan naik--untuk membeli kupluk. Dingin, katanya.
Kami pun berjalan lagi. Lalu, RIchsan minta berhenti lagi untuk membeli kaus kaki.
“Asli ya, sekalian aja lo berhenti di tiap warung dan beli semuanya,” kataku, lucu melihat lagaknya itu.
Tapi setelahnya kita tidak berhenti lagi dan terus berjalan. Awalnya beriringan, namun selanjutnya Richsan jalan lebih di depan dan aku yang paling belakang, tentu saja. Bahkan tertinggal cukup jauh dan mereka berjalan lebih dahulu. Jahat, memang.
Yah, hal yang kalian harus tahu tentang Dieng adalah... dingin. Sangat, dingin. Rasanya nafasku membeku. Ditambah lagi jalanannya menanjak, jadi nafas lebih cepat habis. Intinya, aku rasanya hampir ingin menyerah di pertengahan jalan, tapi mereka sempat berhenti dan menungguku lalu duduk sebentar untuk istirahat sehingga aku merasa sayang sekali dan sangat tidak lucu kalau aku menyerah di tengah dan turun.
DAN AKHIRNYA AKU SAMPAI KE ATAS. Meskipun ketika sampai rasanya paru-paruku seperti ada pendarahan di dalam hahaha. Dingin sekali tiap bernafas sampai rasanya menusuk dan aku bisa mencium bau amis darah entah darimana. Mendengar itu Ahong menyuruh aku untuk duduk dulu dan minum saja. Mereka pun menyalakan rokok untuk menghangatkan diri.
About the view--it’s surreal indeed.
Tumblr media Tumblr media
Meskipun tentu saja ramai sekali di atas. Kurang lebih mirip dengan waktu aku pergi ke Bromo, deh. Hanya saja, sayang sekali kabutnya tidak setebal waktu aku pergi ke Bromo. Kata Richsan, waktu terakhir kali dia pergi ke sana, di bawah sana ada awan yang bergulung-gulung sehingga kalau foto jadi lebih bagus. Tapi aku sudah cukup puas sebenarnya dengan apa yang ada.
“Paling enak bawa cewek sih ke sini, jadi bisa dipeluk.”
Di tengah gigilan kita, Ahong nyeletuk begitu.
“Aku mau dipeluk,” responku. Serius, loh, tapi. Dingin sekali di atas. Mana aku mau memotret sehingga harus membuka sarung tangan. Benar-benar perjuangan untuk mendapatkan foto bagus.
“Halah yang ada lo mah gue peluk terus dorong ke kebun kentang!”
Iya, memang mereka jahat kalau ke aku.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kami diam di sana cukup lama, sampai matahari benar-benar naik. Lalu kami pun turun. Kali ini Ahong yang paling depan--dan jalan jauh lebih dulu meninggalkan aku dan Richsan di belakang.
Dieng terkenal dengan sayur-mayurnya, jadi begitu sudah sampai ke daerah pasar di bawah, kamu akan melihat banyak yang menjual sayur-sayuran. Salah satu yang khas adalah kentang rebus berbumbu. Aku sarankan kamu beli ini karena dia enak. Banget. Bumbu gurihnya meresap sampai ke dalam kentang-kentangnya, dan harganya hanya Rp10.000 per gelas--yang cukup mengenyangkan meskipun kami bagi-bagi bertiga. Selain itu juga ada manisan carica, sosis, gorengan, dan lain-lain.
Tumblr media
Setelah makan kentang, membeli sayur, dan jalan menyusuri danau, kami pun memutuskan untuk kembali lagi ke hotel. Itu adalah salah satu tidur paling nyenyak yang kurasakan di mobil karena bahkan kami baru terbangun ketika mobil berada di lobi hotel--bahkannya lagi, sepertinya Mas Aseng membiarkan kami tidur lebih lama sedikit meskipun mobil sudah terpakir manis di depan lobi. Aku bahkan tidak ingat kenapa tiba-tiba terbangun.
Ohya, di Dieng sangatlah berdebu--berpasir. Jadi, begitu kembali di hotel, kami baru sadar bahwa sepatu kami sudah berwarna cokelat. Aku sarankan jangan menggunakan sepatu kesayangan untuk naik ke sana.
Karena dari pagi belum makan apa-apa, kami langsung pergi ke ruang makan untuk makan buffet sarapan. Perjalanan ini benar-benar membuat aku jatuh cinta pada yang namanya omelette. Karena kami selalu sarapan buffet hotel, setiap pagi aku selalu pesan omelette setengah matang. Terus, dicampur dengan roti dan butter. Kadang rotinya aku panggang dulu di toaster. Lalu, dilanjut dengan makan sereal dan susu. Sarapan menjadi momen-momen yang paling aku sukai karena selain makanannya enak, aku jadi tidak pernah sarapan sendirian.
Begitulah. Ini baru hari ketiga kita diam di Jawa Tengah--di mana harusnya aku pulang hari ini, tapi, sepertinya kepulangan menjadi suatu hal yang masih jauh di depan sana. Setelahnya kami masih akan melakukan perjalanan ke kandang domba lah, meeting lah, dan juga main ke Solo, Yogya, dan kembali ke Semarang lagi.
One of the best trip of my life? Well, maybe...
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah. (2)
Kalau kalian berpikir jalan-jalan berkeliling Jawa Tengah bersama dua orang laki-laki yang dekatnya sudah seperti sahabat seumur hidup adalah korean drama materials, oh tentu tidak semudah itu ferguso.
--
Agenda di hari kedua adalah murni pekerjaan, yaitu pergi ke Pondok Pesantren Al-Iman Bulus Purworejo untuk menemani ‘Bapak’ Richsan menghadiri acara qurban sebagai tamu istimewa. Kami pun pergi dari pukul setengah 9 pagi dan menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam 30 menit dari Wonosobo ke Purworejo. Memang dasarnya pencitraan dan tidak pernah mau salah kostum, Richsan dan Ahong memakai peci! Hahahaha andai saja mereka tahu bagaimana sikap mereka berdua sehari-harinya---ya cukuplah menjadi rahasia umum.
Tumblr media Tumblr media
Sesampainya di pesantren, kami disambut oleh santri-santri di sana. Lalu, kami pun bertemu dengan Bib Hasan, ketua pondoknya. Sebelum acara penyambutan yang dimulai kurang lebih pukul 11, kami berbincang dulu cukup lama dengan Bib Hasan. Aku, yang lagi-lagi sebagai satu-satunya perempuan di sana, sebenarnya merasa agak salah tempat. Ah tapi yasudahlah.
Tumblr media
Singkat cerita, acara pun dimulai. Richsan memberikan ceramah sambutan yang sudah dibuatnya semalam suntuk (aku akui itu cukup bagus) lalu dilanjutkan dengan acara shalat berjamaah dan makan siang bersama. Setelahnya, pemotongan hewan qurban di halaman belakang di mana kami menyaksikan pemotongan sapi pertamanya. Hm, sudah kurang lebih bertahun-tahun lamanya sejak aku terakhir kali menyaksikan pemotongan hewan qurban. Ya, entah kenapa dulu waktu masih kecil sepertinya hampir setiap Hari Idul Adha kegiatan aku dan tetangga-tetangga adalah menonton acara pemotongan... Aku sudah lupa sejak kapan kami mulai berhenti melakukan itu.
Setelah semua acara formal selesai, kami pun berkeliling pesantren untuk melihat-lihat sambil ditemani oleh Mas Ahsin. Kami pun diceritakan tentang kegiatan-kegiatan santri, peraturan-peraturan, dan juga urban legend-nya haha. Tentu saja Ahong yang paling senang dengan hal berbau supranatural yang paling semangat.
Karena sudah tidak ada kegiatan lagi, kami pun pulang pukul 2 sore. Richsan memutuskan kita ganti hotel saja, ke Hotel Kresna Wonosobo, yang katanya hotel paling nyaman seantero Wonosobo (dia dan Ahong sudah mencoba berbagai hotel di Wonosobo dan ini lah yang paling bagus). Kami pun langsung pergi ke sana dan meminta tolong Mas Aseng untuk membawakan barang-barang kami dari Hotel Dafam.
Matahari sudah terbenam ketika kami sampai di Hotel Kresna. Aku dan Ahong sudah sangat kelaparan, sementara Richsan tiba-tiba sudah memiliki janji untuk pergi keluar bersama seseorang. Dan. Dia. Pergi.
Menelantarkan aku dan Ahong.
Untuk kesekian kalinya dalam perjalanan ini, aku sangat bersyukur dengan adanya Ahong di sini.
Aku pun mengajak Ahong untuk makan di luar. Ahong mengiyakan dan mengajak aku untuk makan di Sate Kambing Muda Pak Yani. Karena perkembangan teknologi, kami pun terselamatkan karena bisa pergi menggunakan Grab Car.
Kata Ahong, tengkleng di sini enak banget. Dulu waktu dia dan Fikry ke sini, sampai nambah beberapa porsi. Aku yang sebenarnya kurang suka kambing percaya saja, karena selama ini semua makanan di rumah dia enak dan selera kita bisa dibilang 11-12 lah. Jadi aku cukup percaya dengan penilaian Ahong soal rasa.
Kami memesan dua porsi tengkleng dan satu porsi sate kambing (sate kambing dimakan berdua). Ini pertama kalinya aku mencoba tengkleng, dia seperti sup iga kambing dengan kuah yang tidak terlalu banyak. Hmm, ya, rasanya enak! Tapi menurutku sih masih agak bau kambing, jadi aku lebih suka satenya. Yah, tidak sesuai ekspektasiku tapi cukup enak lah.
Tumblr media
Setelah selesai makan, Ahong melakukan satu-satunya hal yang jaranggg sekali dilakukan oleh teman laki-lakiku.
Menemaniku mencari baju.
Jadi, besok subuh kami akan pergi ke Dieng. Dan aku tidak membawa jaket. Ya, soalnya, Richsan nggak bilang kalau kita akan ke Dieng! Bahkan sepatu yang cocok untuk naik gunung saja aku tidak bawa. Ahong sampai bilang : “lo kenapa gak bilang gua dah, tahu gitu gua bawain dari rumah”.
Akhirnya, daripada aku besok mati kedinginan, kami pun berinisiatif mencari toko jaket di Wonosobo.
Jujur, ini pertama kalinya aku diantar pergi membeli baju (selain ibu) oleh orang yang benar-benar sampai memilihkan yang mana yang cocok untukku. Ahong menyarankan kita untuk pergi saja ke toko yang menjual jaket untuk naik gunung, karena kualitasnya pasti bagus. Namun, entah karena dia melihat bahwa aku kurang puas dengan toko pertama atau memang lebih baik lihat-lihat yang lain agar lebih banyak pilihan, dia menyarankan kita coba lihat dulu ke toko sebelah.
Dia memilihkan sebuah hoodie tebal dengan model yang cukup sederhana, tapi aku suka. Awalnya dia memilihkan warna abu-abu, tapi aku lebih suka warna hijau tua yang menyerupai warna daun pinus. Ahong bilang itu juga oke, dan kebetulan sekali harganya tidak semahal yang aku bayangkan. Sebenarnya sebelumnya Ahong sempat menawarkan untuk endorse alias membayarkan jaketnya untukku--tapi buat apa. Karena kebetulan gaji sudah turun, jadi aku beli sendiri. Tapi itu gestur yang cukup lucu untuk seorang kakak laki-laki fiksi.
Karena jarak toko dan hotel tidak terlalu jauh, kami pun memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Bahkan Ahong yang mengusulkan. Sejujurnya aku cukup banyak terkejut dengan tingkah orang ini, karena dia tidak bertingkah seperti orang kaya pada umumnya. Pada hal-hal tertentu Ahong sangatlah... merakyat. Tapi pada hal-hal tertentu lainnya, dia sangatlah konglomerat menyebalkan :)
Setelah sampai di hotel, kami pun memutuskan untuk main billiard. Richsan masih belum pulang. Tuh, kan, kalau nggak ada Ahong aku pasti sudah terlantar.
Aku bisa dikatakan sangat suka bermain billiard, tapi nggak jago. Aneh, ya? Tapi seru loh main billiard itu, jadi aku suka. Hanya saja, karena jarang, jadi tidak jago. Sementara Ahong? Aku sih nggak ngerti, tapi dia seperti seorang gamers sejati yang akan jago dalam semua permainan yang ia tekuni, termasuk billiard. Dengan segala lagaknya tentu dia bilang, “yaelah gue kira lo jago Jan”.
Di tengah-tengah permainan, Richsan datang. Ada Sugiyat dan Rosim juga. Akhirnya aku jadi menonton saja mereka berempat bermain. Semuanya jago.
Kami kembali ke kamar dan tidur kurang lebih pukul 11... atau 12 ya? Karena besok harus berangkat subuh sekali ke Dieng. Kalau mau mengejar sunrise, kami harus berangkat jam setengah 4 pagi dari hotel. Sebenarnya aku agak was-was karena, yah, badanku kan lemah. Ditambah dengan kurang tidur begini, kalau aku mati di atas gimana? Hahaha. Tapi masa mau tinggal di hotel dan melewatkan sunrise di Dieng, yang entah kapan lagi akan kulakukan! Apalagi bersama duo temanku ini--yang belum tentu tahun depan kami masih akan bersama.
Akhirnya, kami pun berangkat pergi ke Dieng pukul setengah 4 pagi. Untung aku berhasil terbangun karena alarm.
--
Sudah kubilang, perjalanan berkeliling Jawa Tengah bersama dua orang ini bukanlah korean drama materials. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, banyak juga sih hal-hal manis dan lucu dari mereka... Meskipun lebih banyak brengseknya. Yah, kita lihat saja apa yang mereka lakukan ketika sesinya adalah jalan-jalan ke Dieng dan bukan pekerjaan.
1 note · View note
ariadnelacie · 5 years
Text
We Are Just Too Much Alike.
It feels weird when you completely understand someone because you both are so much alike, to the degree that you feel like you are hurting yourself if you hurt this person. We are too much alike that made me feels like I am looking in the mirror.
We’ve both have been left by too many people to a degree of we’ll never asked for anyone to stay.
So, I just didn’t have the heart to just leave him when his response is the exact response that I know I will use with people that are about to leave--
“Gue sebenernya ngga mau hubungan kita rusak. Tapi terserah lo.”
It’s heartbreaking to know that I will respond with the exact same messages.
It’s kind of, I have promised myself that I will never ever beg for anyone to stay. If people wanted to stay then they will stay. I may try 1 or 2 times especially if the fault is within mine, but more than that, then just leave.
Then, in this case, if I leave, then I will be the very same people that have been hurting me by leaving. I would be the additional person that pushes us to believe ‘we really do destined to be alone’.
Even though the twisted fact about us, if this person choose to stay, it won’t really affect us in a lot of way. It’s just an “oh, they stay”.
Maybe people will get mad at me for being like this. But as far as I believe that my premonition is always right--I choose to stay. At least I know I will never hurt myself too by staying.
Because we are too much alike.
1 note · View note
ariadnelacie · 5 years
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah (1).
“Jan, hari H lo ke Semarang ya. Temenin gue ke pesantren. Gue beliin tiketnya.”
Richsan dan hampir segala hal yang dia lakukan membuat duniaku berputar 180 derajat.
Jadi, di sinilah aku, menunggu jam boarding pesawat seorang diri di bandara Soekarno-Hatta. Agak mengantuk karena baru sampai rumah jam 4 pagi setelah mengantar Atikah terlebih dahulu ke Ciherang bersama Ahong--sehingga otomatis hanya mendapatkan jatah tidur 2 jam saja--aku berusaha untuk tidak tertidur. Bahkan sampai sudah merepotkan Kesha untuk mengantar dari Bogor hingga bandara karena takut terlambat, tapi malah jadi sampai 2 jam lebih cepat.
Jadi, sejarahnya, aku dan Richsan (dan Atikah, Ahong, dan beberapa orang lainnya) sedang terikat kontrak menjalankan bisnis bersama. Sebuah bisnis yang mungkin kamu akan cukup heran untuk mendengarnya dilakukan oleh mahasiswa--berjualan hewan qurban. Kami bahkan mendistribusikannya sampai lintas provinsi, loh. Bahkan tentu saja karena fakta itulah saya akhirnya pergi ke Jawa Tengah.
Di tengah jam menunggu ini, sang pelaku yang menerbangkan aku ke Jawa Tengah menelepon--yang awalnya membicarakan pekerjaan pun berakhir dengan curhatan-curhatan emosional selama kurang lebih 45 menit. Yah, aku dan dia sudah tidak bertemu kurang lebih sebulan dengan kondisi dia di Jawa Tengah dan aku sendiri di Bogor--banyak hal yang kami lewatkan dari kehidupan satu sama lain. Tapi untunglah, telepon Richsan menyelamatkan aku dari tertidur di bandara dan ketinggalan pesawat.
Aku pun boarding tepat waktu, kurang lebih jam 12. Aku mendapatkan bangku di samping jendela agak di belakang--yang ternyata Richsan yang benar-benar memesankan khusus window seat. Katanya: ‘ya biar lo nyaman lah’.
Tumblr media
See? Richsan dan segala gaya nyentriknya.
Tumblr media
Setelah melalui perjalanan singkat dan tanpa hambatan, akhirnya aku pun sampai di hotel. Kami menginap di Grand Candi Hotel Semarang. Yah, dasar namanya pertemanan yang seakan sudah berlangsung seumur hidup--padahal baru kenal kurang lebih setengah tahun--begitu masuk ke kamar, berantakannya tiada dua. Masalahnya, berantakan yang sampai sempak bertebaran di mana-mana itu loh. Mungkin dia lupa kalau aku itu perempuan.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Yasudah juga, sih.
Kami pun mengobrol dan bekerja sampai maghrib, lalu makan malam di luar. Aku yang belum makan dari siang karena jam penerbangan yang pas di jam makan siang dan tidak adanya makanan begitu sampai di hotel tentu sangat lapar sampai pusing rasanya. Richsan pun menyetir ke restoran bernama Selera Indonesia, yang jaraknya bahkan tidak sampai satu lagu dari hotel tempat kami menginap. Lucunya, katanya,
“Lo kan bilang laper banget tadi. Yaudah gue pilih tempatnya yang deket.”
Aww.
Ingin rasanya berkata seperti itu, tapi, ini adalah Richsan. Richsan dan segala mulut manis penuh kebohongannya.
Tapi, aku akui makanan di Selera Indonesia enaaakkk... banget. Aku ambil (karena bentuknya prasmanan) nasi, sayur mangut dan tempe, dan sayur. Kuah mangutnya itu loh. Gurih dan enaknya pas banget.
Malam itu kami makan bersama dengan keluarganya Mas Aseng--supir kami selama di Jawa Tengah--yang diundang oleh Richsan untuk makan malam bersama. Setelahnya kami langsung pulang ke tempat masing-masing karena ternyata kalau di Semarang, kota tidak hidup sampai terlalu malam. Restoran tempat kami makan bahkan tutup jam 8 malam.
Besok kami akan melakukan perjalanan ke Wonosobo, namun malam itu kami baru bisa tidur tengah malam karena urusan pekerjaan. Ahong baru akan menyusul besok.
--
Keesokan harinya dimulai dengan bencana, sebenarnya. Richsan marah-marah karena tempat percetakan spanduknya lama yang membuat kita telat ke acara makan siang di Temanggung. Yah sebagian salah aku juga, sih, cuma aku jadi balik sebal juga ke dia.
Di momen itulah aku sangat, sangat bersyukur ada Ahong juga di sana.
Di Temanggung kami cuma berhenti untuk makan siang bersama kasatlantas, di mana rasanya seluruh nafsu makan aku hilang entah ke mana. Akhirnya aku pun hanya pesan semacam healthy juice--yang ternyata enak. Lalu Ahong dengan segala perhatian ala kakak cowoknya (lama-lama saya merasa sepertinya sudah benar-benar dianggap adik bagi dia) bilang sharing aja makanan dia daripada nanti kelaparan. Padahal aku benar-benar nggak lapar. Aku lupa dia pesan apa, pokoknya itu isinya telur dadar, tahu, kentang, sayur, dan saus kacang. Jadi mirip gado-gado. Makan sore yang terasa berlalu sangat panjang itu akhirnya berakhir dan kami meneruskan perjalanan ke Wonosobo.
Sebagai tempat menginap, kami memilih Hotel Dafam. Hotelnya sedang dalam periode soft opening, sehingga katanya masih banyak maintenance yang dilakukan. 
Sejujurnya, Dafam merupakan hotel dengan interior modern yang cukup bagus, menurut saya. Kami mendapatkan kamar di ujung dengan jendela besar yang menghadap ke Timur dan juga sungai, katanya riverside room. Ukurannya cukup besar dengan King Size bed dan area hotel yang masih cukup luas--bahkan kamu masih bisa lari-lari di bagian kosongnya. Kamar mandinya juga cukup modern dengan batasan pintu kaca antara area shower dan kloset.
Tapi, sejujurnya, banyak aspek mengecewakan dari hotel ini. Dimulai dari handuknya yang agak bau, AC yang tidak dingin, dan tidak adanya hair dryer :( Alasannya karena katanya hair dryer-nya sedang dipinjam. Yah, karena memang sedang masa soft opening, jadi yasudah.
Tapi malam besoknya kami pindah hotel hahaha.
Malam itu (waktu masih di Dafam) akhirnya untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Sugiyat dan Rosim. Mereka adalah orang yang sangat berperan dalam bisnis persapian ini, karena dari merekalah kami membeli sapi. Kami bertemu untuk finalisasi pengiriman domba-domba qurban desa ke desa-desa di Jawa Tengah esok hari.
Sugiyat merupakan seorang bapak-bapak dengan nada berbicara yang sangat... khas. Sangat Jawa, tapi lebih dari itu. Kalau Rosim, tidak ada yang terlalu mencolok, sih, darinya. Jadi aku bingung mau cerita apa. Pokoknya dia sangatlah berjasa karena bisa mengabulkan permintaan 60 ekor domba kami dalam semalam di H-1 idul adha. Katanya, dia sampai keliling-keliling desa nyari domba ke rumah-rumah warga :(
Diskusi ini berlangsung hingga tengah malam, sehingga kami baru kembali ke kamar pukul 1. Richsan bahkan masih harus membuat naskah untuk ia ‘ceramah’ besok di saat sambutan. Ahong sudah tertidur lebih dulu dengan posisi tangan masih memegang handphone yang memutar video Youtube--bahkan akhirnya aku yang mematikan dan menaruh handphone-nya di meja. Aku pun tidur setelahnya karena tidak kuat--meninggalkan Richsan yang masih harus membuat naskah ceramah. Biarin, deh. Lagi kesal juga aku.
Aku pun terbangun paling pertama seperti biasanya di antara mereka berdua.
Setelah pulang ke Jakarta, belakangan, aku menyadari bahwa indahnya langit Jawa Tengah itu jauh berbeda dari langit Jakarta yang sudah tercemar polusi. Karena jendela kamar kami tepat menghadap ke arah Timur, aku bisa melihat matahari terbit dengan jelas. Mulai dari langit gelap yang perlahan berubah menjadi lembayung merah muda hingga mataharinya naik--dan membuat kamar kami jadi menyilaukan setengah mati haha. Tapi karena kami sudah ada jadwal acara di Pondok Pesantren Al-Iman Bulus di Purworejo pada siang harinya, kami sudah pergi dari sana sejak pukul setengah 9 pagi.
Tumblr media
--
Perjalanan kami masih panjang karena aku bisa dikatakan ‘terjebak’ di sana selama kurang lebih dua minggu. Dan ini baru hari kedua! Padahal janjinya Richsan, kita pulang yaa H+3 deh. Tapi, tentu saja tidak seperti itu.
Sampai jumpa di lanjutan ceritanya--kalau kamu masih tertarik.
Ciao!
ariadne.
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
Letting Go (Again).
Kalau hidup adalah tentang pembelajaran keikhlasan yang tidak ada batasnya, sepertinya lagi-lagi saya harus belajar untuk mengikhlaskan orang.
Saya sepertinya sampai pada titik di mana saya cuma takut ‘melewatkan’ orang baik. Tapi, semakin saya menginginkan orang juga, lagi-lagi saya diminta untuk belajar mengikhlaskan.
Saya nggak tahu sebenarnya firasat saya itu sekuat apa. Setepat apa. Tapi, yang saya rasakan kemarin, nggak mungkin kalau orang ini nggak sayang sama saya.
Gestur-gestur kecil adalah bagian dari favorit saya. 
Bagaimana tiap saya cerita kalau kita lagi nyetir tengah malam, dia kecilkan volume musiknya. Padahal, sebelumnya dia bilang kalau dia memang lebih senang nyanyi-nyanyi aja di mobil daripada mengobrol.
Bagaimana tiap saya cerita (lagi-lagi di perjalanan tengah malam), dia akan putar mobilnya satu kali putaran lagi sebelum belok ke komplek agar saya bisa selesaikan cerita saya.
Bagaimana dia membelikan makanan manis tiap saya sedih.
Bagaimana dia bisa membuat saya tertawa tiap lagi sedih-sedihnya dengan cerita konyol (meskipun kadang jadi nggak solutif atas masalah saya).
Bagaimana dia ngejaga saya.
Mungkin dia bahkan satu-satunya laki-laki yang pernah menemani saya beli baju karena kalau tidak, saya tidak akan selamat naik ke Dieng hahaha.
Yah, tapi seperti judul dari tulisan ini, ini bukan cerita dongeng yang berakhir bahagia. Masa kami tinggal bersama sudah selesai dan kami akan kembali ke kehidupan masing-masing.
Atau mungkin, seperti cerita klise pada umumnya, saya hanya jatuh pada gestur biasa. Gestur manusia rasional yang memang sudah seharusnya memiliki sisi humanis seperti itu. Saya hanya merangkai cerita yang sebenarnya tidak pernah ada.
Hanya saja, seperti manusia klise lainnya juga, katanya sih,
Nyaman kan bisa sama siapa aja.
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
People and Their Aura
This just crossed my mind:
“People wear certain kind of aura to protect them from something.”
Firstly, the disclaimer is that I don’t have that certain skills to see people aura or other things supernatural related. This just purely based on my opinion, thoughts, and experience on interacting with human beings.
When first meeting a new person, I have this unexplainable feelings of first impression. Actually it’s a very basic one, just “this person is your everyday people” or “this person is different”. That’s why, when being asked about first impression, I got a hard time to explain it. My first impression already clouded with these thought.
Lately, I’ve realized what made me feel that these different people are different breed. They usually have gone through some life-changing points in life. Things that made you asked : “what have you gone through in life to become like this?” These kind of people usually have certain kind of aura that stand out from your everyday people. Usually in the form of depth, darkness, bright, emptiness, or even twisted, and many else. These stand out aura that made me able to differentiate them from everyone else.
Honestly, this is usually the charming part about those people. Now I realized that what made me attracted to these different breed is my curiosity toward what have happened with their life. And the fun part is when they finally decided to open up to you, their aura changes. This is the part where you will finally see their true-self. Because the first layer of aura is what their subconscious mind created for them--the thing that I said first in this post, because they want to protect themselves from something.
I even know that some people just feel “empty” even though at that time they are currently telling about their happy experiences. At that time I thought “it doesn’t make sense!”. But, later on, I proved that they are actually empty inside. Their happy thoughts are clouded with anxiety and insecurity, but they are trying to think that “I’m happy and I should be”.
It’s kind of scary  actually.
But it’s also kind of fun.
That’s why I didn’t judge. I usually know that there are something wrong with them. But that doesn’t made me accepting everything that people did, though.
You can’t use your depression or things to break other people.
This is the very reason that the best people are the one that have their soul broken to pieces, yet still have those sincerity and brightness in that deep, dark, and twisted soul... it’s hard to stay sane and kind in that kind of life.
Yes, I didn’t value people from their look and things. I value people by looking straight at their soul.
0 notes
ariadnelacie · 5 years
Text
Kodak Vision 250D: Shooting with my first motion picture film.
Tumblr media
Sebenernya pengen nulis pendapat tentang how film photography sekarang jadi hype banget, tapi (masih) mager, jadi yasudah aku mau nulis tentang ini aja.
Sejak medio 2018 lalu, sepertinya film cinema mendadak jadi opsi rol film yang diburu banyak orang. Pendapatku sih mungkin karena dua hal: satu, harganya cenderung lebih murah (karena berasal dari film bulk lama yang dipotong-potong, jadi ya biaya produksinya lebih murah), dan dua: hasilnya unik.
Alasan yang kedua, menurutku, masih sangat berhubungan dengan hype nya fotografi film baru-baru ini di kalangan anak muda. Mendadak jadi banyak banget orang di feed ig ku yang motret pake film, dan makin ‘unik’ hasilnya, makin banyak likesnya. Entah sih, ini observasi sesaat doang sebenernya… Hahaha. 
Well, apapun itu, kedua alasan subjektif ini agaknya jadi pendorong kenapa semakin banyak orang motret pake film cinema, dan kenapa semakin banyak local labs memutuskan untuk membuka layanan dev-scan khusus film cinema. Dan lucunya, mendadak jadi banyak seller dadakan yang tau-tau jualan film cinema di FJB. 
Secara umum yang aku perhatikan, di FJB yang banyak beredar adalah keluaran Kodak: Vision 250D, Vision 200T, dan Vision 500T. ‘D’ stands for ‘Daylight’ while ‘T’ stands for ‘Tungsten’. Keduanya punya karakteristiknya masing-masing. Ada alasan teknikal yang sangat berkaitan dengan emulsi kimiawi mereka, tapi aku gak terlalu paham itu, sehingga ga akan aku tulis juga disini hehe. Entah apa juga yang membuat tiba-tiba bulk Kodak Vision jadi banyak di pasaran, mungkin ada produsen film yang tiba-tiba bangkrut atau gimana ya… yang jelas, film ini bulk dalam kalengan dan tidak diketahui expiry datenya.
Satu hal yang penting, motion picture film ini punya perbedaan mendasar dalam pemrosesannya, yang mengharuskan dia dicuci secara khusus pula. Roll ini punya lapisan khusus yang dinamakan remjet layer, suatu lapisan yang tidak didapatkan di film negatif/positif lainnya. Oleh karena itu, proses developnya juga beda, harus diproses pake ECN-2. Tapi, ga semua lab nyediain layanan ini.
Roll film yang aku coba adalah Kodak Vision 250D, yang dijual oleh Hungry For Film. Seperti namanya, film ini peruntukannya daylight dengan ASA 250. 
Kenapa milihnya ini? 
Ya karena adanya ini. Hahaha kesel ga :))) 
Here goes, beberapa contoh foto yang aku ambil.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Semua diambil dengan Nikon F3HP, lensanya kayaknya sih 35mm f/2 dan E series 50mm f/1.8 ganti-gantian, rate ASA 200, developed and scanned by the one and only, Hipercat Lab.
Semua foto di atas ini aku ambil pagi hari, kecuali foto terakhir yang bener-bener siang di saat matahari lagi terik-teriknya.
PLEASE NOTE that this is my first attempt, but here’s my personal view about this film:
Sesuai namanya, emang film ini diperuntukkan untuk daylight. Hasil yang enak malah hasil yang aku ambil when a harsh amount of light is available, padahal sepengalamanku, biasanya hasil yang enak buat motret film tuh cahaya pagi hari.
Dengan harga yang jauh di bawah film negatif lainnya, film ini cocok banget untuk pemula yang mau eksperimen: ketajamannya oke, dengan grain yang amat sangat termaafkan. Warnanya banyak color shift seperti film motion picture pada umumnya, sehingga menimbulkan kesan vintage seakan-akan fotonya diambil tahun 80-90an, padahal ini diambil tahun 2019. 
Semua tergantung selera sih, but I personally think this film is not for me. I still prefer films with colors that are true to life. Film ini mungkin enak buat ngetes fungsi kamera, tapi TIDAK untuk ngetes optik lensa, mengingat color shiftnya. Enak banget juga buat pemula karena film ini murah banget, hampir setengah dari harga film warna lainnya di pasaran. Sebagai gambaran, aku beli film ini cuma 25 rb saja, sementara harga color negative fresh lain biasanya 50rb ke atas. Selain itu, karena film ini ga jelas expiry datenya, sepertinya lebih aman kalo motretnya diturunin 1 stop. Tapi di roll ini aku memutuskan untuk nurunin ke 200 aja, karena ya pengen tau dulu hasilnya kayak apa hehehe.
Again, please note that this is my first attempt yaaaa. I may have different review after my second try :p
6 notes · View notes