arifdotpdf
arifdotpdf
Arifdotpdf
3 posts
Sedang bergejolak menanti hari esok
Don't wanna be here? Send us removal request.
arifdotpdf · 10 days ago
Text
OHH TUHAN,
MAU NGOMONG TAPI TAKUT PENOLAKAN
0 notes
arifdotpdf · 15 days ago
Text
Sub Bab 1
Manusia yang Merubah Cara Pandangku
Sejujurnya, aku tidak pernah merencanakan ini. Tidak pernah pula membayangkan bahwa hidupku akan berbelok tajam, hanya karena satu manusia, yang awalnya kulihat sebagai sosok biasa di tengah keramaian gedung itu.
Namanya Cia. Cewek random dengan mimpi besar: pindah negara. Iya, pindah negara. Bukan karena pelarian, tapi karena tekad dan segudang alasan yang tak pernah bisa kupatahkan logikanya. Cia adalah teka-teki hidup yang tak bisa kuselesaikan dengan sekali duduk. Pintar, spontan, dan terlalu aktif untuk sekadar disebut introvert.
Cia itu… semacam badai kecil dalam tubuh mungil. Pintar, banyak tingkah, penuh kejutan. Hari ini dia bisa ada di Palembang, besok pagi mungkin sudah di dalam bus ke Lampung tanpa aba-aba. Spontanitas adalah nafasnya. Kalau kamu lihat dia pertama kali, mungkin kamu akan berpikir, “Wah, cewek ini ekstrovert gila.” Tapi tunggu dulu.
Biarkan aku memberimu fakta yang sesungguhnya: Cia adalah manusia paling introvert yang pernah kukenal.
WhatsApp-nya tanpa foto profil. Centang biru? Mati. Chat dibalas? Kalau penting, mungkin. Kalau tidak, lupakan saja. Mood adalah kunci. Dia bisa menghilang tiga hari, mengurung diri di kamar, seolah dunia luar tidak pernah ada. Tapi jangan salah, introvertnya tidak menghalangi langkah kakinya. Dia ikut pilates, yoga, tenis, bahkan berkuda. Kau bayangkan, manusia mana yang bisa hidup dengan dua kutub sekaligus? Semua hal yang kamu pikir terlalu ramai untuk seseorang yang introvert, tapi itulah Cia. Penuh paradoks, dan itulah yang membuatnya hidup.
Awalnya kupikir pertemuan kami bermula dari gedung itu, di hari yang tak sengaja, saat langkah kami bertemu di koridor gedung itu. Tapi semakin kupikirkan, semakin samar garis waktu yang kucoba susun. Lalu aku teringat sesuatu.
Cia yang satu kampus denganku. Sarjana Ilmu Ekonomi di Universitas Padjadjaran. Dan ternyata… kami telah bertemu jauh sebelum momen sapaan sederhana itu.
Kami pernah satu kelompok saat ospek perkuliahan, bertahun-tahun yang lalu. Sebuah fakta yang mengendap lama di dalam ingatan, tertutup oleh riuhnya kehidupan kampus. Tapi kini, ketika aku menoleh ke belakang, ternyata aku sudah mengukir jejak bersamanya sejak awal perjalananku di tanah Jatinangor. Bahkan sebelum aku sadar, Cia sudah menjadi bagian kecil dari cerita hidupku.
Dan mungkin karena itulah aku jatuh. Bukan jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi jatuh kagum pada lapisan-lapisan dirinya yang tak pernah selesai kutelusuri.
Yang membuatku kagum, lebih dari segalanya, adalah caranya berpikir. Jernih, tajam, taktis. Seringkali aku merasa sedang berdiskusi dengan seseorang yang lebih tua dariku sepuluh tahun.
Dan entah sejak kapan, dari setiap cerita-ceritanya, ambisi-ambisinya, aku mulai merasa terguncang, menghidupkan kembali sesuatu yang lama terkubur dalam diriku: ambisi.
Aku, seseorang yang menyelesaikan S2 Data Science di usia 22 tahun. Aku pernah memenangkan berbagai lomba, menerbitkan berbagai artikel, menghadiri konferensi. Tapi bagiku, semua itu hanya lembaran usang. Hambar. Rutinitas kerja yang dulu kuanggap produktif? sekarang seperti penjara tak terlihat.
Sampai aku bertemu Cia.
Awalnya aku hanya ingin fokus bekerja. Mengumpulkan uang, membeli rumah, membeli mobil. Jam kerja panjang? Pulang pukul dua pagi? Sudah biasa. Tapi kehadiran Cia dalam hari-hariku, entah sebagai pendengar, pengeluh, atau pelontar lawakan receh, secara perlahan menyusup ke celah-celah pikiranku.
Cia sering bicara tentang mimpi-mimpinya. Kadang sambil bercanda, kadang setengah serius, kadang diam-diam tapi menggetarkan. Dan tanpa sadar, mimpi-mimpi itu mengguncang dinding batinku. Mengusik diam yang selama ini kupelihara.
Aku mulai bertanya: Apakah aku benar-benar sudah puas?
Ternyata belum. Aku ingin lebih. Ingin kembali berkuliah di luar negeri. Ingin menjelajah dunia. Ingin menulis. Ingin memperdalam bahasa asing. Ingin kembali menyelami ekonomi, menerbitkan berbagai artikel di berbagai platform jurnal.
Dan semuanya… bermula dari satu manusia: Cia.
Cia bukan sekadar perempuan dengan mimpi pindah negara. Cia adalah kompas yang menuntun ulang arahku. Dan inilah ceritaku, perjalanan bersama perempuan yang, tanpa disadari, telah merubah cara pandangku terhadap dunia.
Cia mengubah itu semua. Ia membuatku ingin hidup kembali. Ingin bermimpi lagi. Aku mulai membayangkan studi lanjut di luar negeri, menulis lagi, memperdalam bahasa asing, kembali membaca teori ekonomi, bahkan ingin menelusuri tempat-tempat asing yang dulu hanya kulihat di peta.
Dan semakin hari… aku semakin sadar satu hal:
Tentu, dia adalah superstar. Ada banyak pria yang menginginkannya. Dan menurutmu saja, dengan kepintarannya, cara berpikirnya, sifat keibuannya, parasnya, dan semua keunikan yang melekat padanya, apa ada pria waras yang tidak akan tertarik?
Tentu tidak. Bahkan hanya untuk sekadar mengobrol dengannya, mungkin orang-orang rela mengantri.
Inilah yang membuatku tenang sekaligus gelisah. Tenang karena aku bisa mengenalnya. Tapi gelisah karena aku tahu, dia terlalu bercahaya untuk tidak dilirik orang lain.
Bayangkan saja, kalau suatu hari dia memposting foto bersama pria lain. Bisa gila aku.
Dan yang lebih menggila adalah: Baru setengah bulan terakhir ini aku menyadari betapa dalam kekagumanku pada Cia. Betapa diam-diam aku mulai kehilangan arah kalau tidak mendengar ceritanya, atau sekadar satu sapaan kecil darinya.
Tulisan ini adalah langkah pertamaku. Langkah untuk jujur pada diri sendiri. Bahwa aku… mungkin sedang jatuh. Bahwa aku… tidak sekadar kagum.
Aku tak tahu ending seperti apa yang akan kudapatkan. Tapi untuk kali ini, aku ingin menulis. Menuliskan segalanya, agar aku tidak menyangkalnya lagi.
0 notes
arifdotpdf · 17 days ago
Text
BAB 1 – Awal Pertemuan “Karena kadang, sapaan paling sederhana bisa mengubah arah seluruh hidup.”
Pagi itu, matahari menyeruak malu-malu melalui sela tirai, menyapu lantai kamar yang sunyi. Sinar keemasan menari di dinding, tapi di dalam hati, hanya ada keputusasaan yang enggan pergi. Siapa sangka, perjalanan yang mengguncang batin ini bermula dari satu pertemuan remeh di sebuah gedung tua yang biasa-biasa saja?
Aku hanya berdiri di depan jendela, mematung. Tatapanku kosong, pikiran mengawang tak tentu arah.
Mungkin, seorang ibu memang diberkahi naluri yang melampaui nalar.
“Kamu kenapa, Kak?” tanya bundaku, suaranya lembut seperti embun yang jatuh di pagi hari.
“Gak kenapa-kenapa, Bun,” jawabku cepat. Terlalu cepat, bahkan untuk ukuran kebohongan.
bunda mendekat. “Kamu sudah gelisah dua hari ini. Matamu… terus memikirkan sesuatu. Bahkan waktu kamu kerja, kamu nggak sebercahaya ini.”
Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya dalam helaan lelah.
“Hufttt… Gatau, Bun. Aku bahkan nggak tahu apa yang sedang terjadi.”
“Wanita?”
“Mungkin…”
Bunda tersenyum tipis. Ada tawa kecil yang ia tahan, tapi matanya mengerti. Terlalu mengerti.
“Kamu tahu, kak, ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta itu aneh. Mereka merasa bahagia dan sakit dalam waktu bersamaan. Yakin dan ragu dalam satu helaan napas. Senang sekaligus cemas menunggu hari esok. Apa yang kamu rasakan sekarang?”
Aku menatapnya. Dalam diam, bibirku akhirnya mengaku, “Semuanya, Bun.”
Bunda terbahak kecil. “Kasus berat ini… RSJ jauh lagi.”
“Ehh, amit-amit ya, Bun!” sahutku, tertawa hambar menutupi getir di dada.
Namun di balik tawa yang terdengar ringan itu, hatiku justru makin riuh. Seperti ada pintu yang dibuka perlahan di dalam dada, pintu menuju kenangan yang masih berdetak pelan, kenangan tentang satu pertemuan sederhana, yang tak pernah benar-benar sederhana bagiku.
Aku tahu, aku tak bisa terus berpura-pura. Karena sesungguhnya…
Semua ini… berawal dari hari itu.
Aku melangkah di koridor gedung itu, langkah-langkahku ringan atau setidaknya kupaksa agar terlihat begitu. Ada semangat yang aneh, seperti tahu bahwa semesta akan menyuguhkan sesuatu yang tak biasa.
Di kejauhan, tiga wanita berjalan beriringan. Suara tawa mereka melayang, menghampiri dengan lembut. Lalu, dari antara mereka, salah satu menoleh. jilbabnya terurai, wajahnya menyala oleh cahaya pagi.
“Cia,” bisikku tanpa sadar.
“Eh, Arif,” balasnya.
Sapaan sederhana itu, yang mungkin tak berarti apa-apa bagi orang lain, justru menandai bab pertama dari kisah yang mengguncang hatiku. Jujur, aku bahkan tak begitu ingat bagaimana aku bisa mengenal Cia. Yang kuingat pasti, dia satu kampus denganku, di tanah Padjadjaran, Jatinangor tercinta. Nama aslinya pun samar di ingatanku. Cia hanyalah nama panggilan. bahkan cukup aneh bagaimana aku bisa mengetahui nama sapaannya. Tapi… bukankah begitu kisah kasih bekerja? Ia tidak menuntut alasan logis, hanya menuntut keberanian untuk merasa.
Dan aku? Aku memilih untuk merasa.
Biarlah masa lalu tetap tinggal sebagai latar. Hari ini, aku menulis bab berikutnya, dengan hati yang masih gemetar, tapi tetap maju. Karena perasaan ini terlalu nyata untuk diabaikan, terlalu dalam untuk disangkal, terlalu sukar memaknai manusia ini.
Dan kisah ini(?)… selalu pantas diperjuangkan. Bahkan jika ia hanya bermula dari satu sapaan remeh di koridor gedung yang sudah hampir terlupakan.
1 note · View note