Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
LIFE WITHOUT SOCIAL MEDIA

Fear of Missin' Out
jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Fear of Missing Out atau disingkat dengan F.O.M.O adalah rasa takut atau cemas akan melawati sebuah momen. Media sosial memungkinkan penggunanya untuk dapat mengakses kabar apapun melalui basis internet yang bersifat sycronous (current time/terkini). Pernahkah kita dengan isengnya menghitung berapa banyak waktu yang kita habiskan hanya untuk sekedar mengecek notif, scrolling, lalu membuka media sosial yang lainnya lalu menutup semuanya, dan anehnya beberapa saat kemudia kita melakukan hal yang sama berulangkali. lalu pernahkah kita bertanya apakah ini sesuatu yang normal?
faktanya pengguna sosial media desawa ini menyentuh 2 milyar users. Hal ini menunjukkan fakta lain bahwa pengguna sosial media di dunia ternyata melebihi jumlah penganut tiap agama yang ada. Smartphone yang menjadi piranti utama akses media sosial.

kini telah menjadi kebutuhan priemer dan harus terpenuhi di samping kebutuhan dasar lainnya seperti makan, minum, tidur, dll. Mudah dan makin murahnya kita memerolehnya, memungkinkan tiap generasi yang masih bertahan hingga kini dapat memilikinya. Namun ibarat dua mata koin, kemudahan ini kadang menunjukkan dua sisi, tinjauan umum yang bisa dilihat di awal adalah sisi pleasure (keuntungan) juga pain (kerugian).
Mengangkat sebuah studi kasus yang mainstream...
Pernahkah kita berbicara sementara itu partner yang diajak bicara justru sibuk dengan ponsel yang ada digenggamannya? atau mungkinkah justru kita yang melakukan hal seperti itu?, bukan kerjaan atau hal lainnya, kita justru ke notifikasi yang ada di smartphone tersebut, sehingga ketika pembicara telah selesai menyampaikan satu pesan, kita terkadang meminta mengulang penyampaian informasi tersebut. Komunikasi adalah proses penyampaian pesan ke individu lainnya, dan untuk menyerap kemudian merefleksi informasi tersebut objek komunikan harus tetap fokus mendengarkan. Jika dalam sebuah penelitian ilmiah memuat istilah dass solen dan dass sein, di mana dass solen adalah angan/cita-cita dari sebuah harapan dan dass sein adalah realita yang terjadi di lapangan. Kemudian coba kita implementasikan kedua istilah tersebut dalam konteks yang sedang kita bicarakan.
Dass Solen : Komunikan berharap agar pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh objek
Dass Sein : Objek tidak dapat menerima pesan komunikan
Ketimpangan yang terjadi atau realita yang tidak sesuai dengan harapan disebut dengan "Masalah" dan tiap masalah sejatinya membutuhkan penyelesaian/pemecahan. Namun coba kita ibaratkan jika seorang menderita gatal-gatal di kulit akibat alergi seafood, maka penyelesaiannya adalah dengan menghentikan konsumsi seafood tersebut, bukan dengan memberi salep kulit pada permukaannya yang gatal. Karena dipahami bahwa "penyebab utama" dari gatal tersebut adalah konsumsi makanan yang merupakan alergen bagi yang memakannya.
Jika kita kembali pada pokok masalah konteks komunikan yang gagal menyampaikan informasi pada lawan bicara, maka kita bisa saja berhipotesa berdasarkan konteks di atas adalah karena objek terdistraksi dengan smartphone yang mengandung notifikasi. Lalu jika ditinjau dari intensitas kejadian serupa bisa saja terjadi di beberapa kondisi, maka disimpulkan bahwa individu mengalami "ADIKSI", istilah ini disebut juga dengan kecanduan.
The Addiction

Madia sosial sejatinya diciptakan dengan mengadopsi sistem judi Kasino yang spotnya banyak kita temukan di kota besar di Amerika seperti Las Vegas. Singkatnya alat ini didesign dengan sebuah tuas yang harus ditarik untuk mencoba peruntungan demi peruntungan, untuk satu tarikan ke tarikan yang lain terdapat delay sepersekian detik yang tetap akan dituggu karena memang pada dasarnya yang ditunggu adalah reward (hadiah). Konsep yang sama juga diterapkan pada sosial media, ketika kita mencoba merefresh laman dan terdapat juga delay sepersekian detik kemudian menemukan postingan atau notif baru, hal ini memanipulasi kinerja otak agar tetap melakukan hal yang sama berulangkali untuk menemukan hal-hal yang baru.
Kecenderungan ini sayangnya dapat berbuah pada kondisi adiksi/kecanduan yang berlebihan .Peristiwa ini digambarkan oleh salah satu desainer Google; Tristan Harris dengan Istilah "Intermitten Variable Rewards", kecanduan ini semakin diperparah dengan banyaknya fitur yang telah di provide oleh pengembang aplikasi melalui fitur likes, dislikes, vote, retweet, stories, dll. Kesimpulan yang dapat ditarik dari gambaran ini adalah; bahwa media sosial memang dirancang agar penggunanya ketagihan karena pada dasarnya target marketing dari media sosial itu sendiri adalah usersnya.

Life Without Social Media
Pernahkah kita berada dalam kondisi yang sangat sibuk, entah karena deadline pekerjaan yang begitu memburu, atau banyaknya tugas sekolah/kuliah yang harus diselesaikan saat itu juga?, kemudian tersadar bahwa saya belum membuka media sosial seharian.
atau?
Pernahkan kita menonton konser band/penyanyi yang kita sukai tanpa memegang piranti smartphone untuk merekam? bisakah kita mencoba untuk menikmati tiap petikan gitar dan suara merdu idola kita. Menarik, karena saya pernah menonton konser band Jepang di YouTube, dan uniknya tidak ada satupun penontonnya yang merekam Band tersebut selama perfom. Menurut saya itu adalah hal yang sangat luar biasa.
Contoh sederhana ini sejatinya merefleksikan bahwa kita akan baik-baik saja bahkan jika tidak ada sosial media.
Insecurity dan Anxiety (rasa cemas) dewasa ini lahir dari produk digital yang berlebihan dikonsumsi, menurut hemat penulis hal ini akibat terlalu sering melihat feeds yang jauh melebihi ekspektasi diri. Kita kemudian memeroleh role juga pembanding agar bisa seperti apa yang terlihat di media sosial, padahal tidak semua yang nampak harus dan bisa kita gapai. Kenapa? kecenderungan manusia memang selalu menampilkan hal-hal yang baik dan bagus, sementara itu percayalah orang sekelas Bill Gates atau Rafatarpun punya masalah hidup yang tidak mengenakkan (but sorry to say, most of us are showing than loving fakeness in social media). Jalan tengahnya adalah bersyukur dan enjoy dengan apa yang kita punya sekarang. Media Sosial menerapkan standar, sementara standar itu tidak akan bisa dipenuhi oleh semua orang. Semakin kita melihatnya semakin banyak standar yang harus kita penuhi. Ini tidaklah bagus bagi kebahagian serta independance diri. Metal Illness yang mewabah saat ini kemungkinan besar berawal dari intensitas bermain media sosial yang terlalu sering.
If you say, I utilize social media only for fun and connecting to families or old friends, not too much or some stuff.
I will answer; Don't Lie :), yeah stop!!!, I don't need your explanations... You and Me also a lot of people are addicted
Tulisan ini sejatinya bukanlah kampanye untuk menstop atau berhenti menggunakan sosial media sama sekali, Jika ditinjau dari sudut pandang lain seperti yang telah dibahasakan di awal bahwa sosial media bisa akan jadi sangat bermanfaat bagi sebagian kalangan terutama pebisnis yang menggukana platform ini sebagai instrument marketingnya, atau motif bermanfaat lainnya. Tulisan ini juga tidak bisa menjamin bahwa kehidupan kita akan lebih baik setelah memutuskan untuk berhenti dari semua media sosial yang kita punya. Namun melalui ini, kita bisa mengetahui dampak awal dari media sosial kemudian bisa lebih bijak dalam menggunakan dan mengetahui tujuan untuk apa media sosial itu??
6 notes
·
View notes