Text
Wahai Panutanku
Seharusnya kali ini aku menulis kisah yang penuh kebahagiaan, ketika aku akhirnya bisa hidup bersama dengan seorang wanita yang ku cintai. Namun apa daya, kekecewaan sudah begitu dalam, aku tidak akan marah, tidak akan melawanmu, karena aku (secara terpaksa) menghormatimu.
Teruntuk engkau yang seharusnya menjadi panutanku.
Engkau yang seharusnya melindungi orang yang aku sayangi, engkau yang seharusnya menjaga orang yang aku cintai, justru engkau lah yang ternyata menjadi penyebab utama menderitanya orang yang aku cintai. Dia yang begitu tulus mencintaiku, mencintai kita.
Mengapa kau bisa mengecewakanku? Begitu tega mengecewakan kami? Apakah hanya karena seseorang? Seseorang yang selalu disebut oleh teman-temanmu sendiri.
Ya, seseorang itu, aku tahu dirinya dari teman-teman dekatmu sendiri, bukan dari seseorang yang telah kau sakiti begitu dalam. Aku tahu siapa seseorang itu, namanya, sejarah pendidikannya, sosial media nya, dimana dia tinggal.
Teman-temanmu tidak mengkhianatimu, tapi mereka justru memiliki hati nurani untuk mengungkapkan hal yang tidak pantas dilakukan olehmu, wahai engkau yang seharusnya menjadi panutanku. Mereka memberitahu segalanya, ada apa di antara kalian, apa yang sudah kalian perbuat, dengan berbagai bukti-bukti.
Dengan segala kerendahan hati, kau yang seharusnya menjadi panutanku, aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan menentangmu, lakukanlah apa yang kau inginkan, semua pasti ada ganjarannya dari Allah, Tuhan kita Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Namun kau harus tau wahai orang yang seharusnya menjadi panutanku. Dengan segala informasi yang telah aku kumpulkan dari teman-temanmu sendiri, aku dapat menghancurkanmu tanpa sedikitpun menyentuhmu. Aku dapat menghancurkanmu hanya dalam satu kedipan mata saja. Kau akan dikucilkan dari teman-temanmu, kau akan dijauhi oleh saudara-saudaramu sendiri. Semua yang kau lakukan, semuanya akan dibalas secara adil. Jika tidak di dunia ini, pembalasan akan kau dapatkan di akherat kelak.
Dengan segala kerendahan hati wahai engkau yang seharusnya menjadi panutanku. Aku dapat memaafkanmu, dia yang mencintaimu yang sudah kau sakiti pun aku yakin mau memaafkanmu, dan begitu pun Allah Yang Maha Pemaaf. Jika kau mau merubah sikapmu, jika kau berhenti menyakiti kami yang begitu mencintaimu.
Dari diriku yang masih ingin menjadikan dirimu sebagai panutanku.
0 notes
Text
Sambel Wader
Siang bolong di hari Selasa, 13 Agustus 2013, aku berada di bis ekonomi jurusan Jember - Surabaya, sayup sayup ku menyenderkan kepalaku di jendela bis sembari memperhatikan hiruk pikuk keramaian jalanan, daerah baru, persawahan, pasar. Aku menuju daerah yang bernama Leces, sendirian. Dahulu kala, Leces merupakan daerah tersohor, terdapat pabrik kertas terbesar di Indonesia, pada masanya, namun sekarang dia teronggok tak bertuan, tak bernyawa. Leces, daerah tujuanku kali ini, sebelum menuju Surabaya, aku bermaksud untuk sowan ke rumah salah satu teman baikku, Rivano Ardiansyah aka Jamet. Kala itu, aku sudah tidak memiliki kegiatan, tinggal menunggu datangnya wisudaku, 31 Agustus 2013.
Perjalananku kali ini tidak terlalu lama, sekitar 2 jam aku sudah tiba di Leces, dari Jatiroto. Setibanya di Leces, aku dijemput oleh Jamet menggunakan sepeda motor tua nya. Aku langsung di bawa ke rumahnya, tepat di belakang makam umum. Rumah tua sederhana ala pedesaaan di Jawa Timur, aroma kayu bakar begitu kental. Aku langsung disambut oleh Ibuk dan beberapa saudara si Jamet. Satu hal yang pasti, Ayahnya telah tiada, hal itulah yang pada akhirnya membuatku tersadar mengapa teman baikku ini, selama di bangku perkuliahan, begitu sederhana, hidup prihatin, namun tak pernah sekalipun mengeluh.
Bercerita ngalor-ngidul, dengan keramahan mereka, Entah apa yang terjadi, aku masih sangat ingat, beberapa saat setelah bercengkrama dengan keluarga si Jamet, aku pun tumbang, badanku meriang, flu menyerang. Yang aku ingat adalah aku tertidur mulai dari maghrib hingga subuh. Ah sudahlah, aku melalaikan kewajibanku untuk shalat isya. Hal yang paling aku ingat adalah ketika aku disuguhi dengan sate ayam yang begitu nikmatnya, namun setelah ketelusuri, keluarga mereka justru tidak ikut makan sate ayam itu, hanya untuk aku saja. Setelah aku merasa cukup untuk mengenal kesederhanaan yang sangat luar biasa dari keluarga ini, aku memutuskan untuk berpamitan di pagi harinya, aku akan melanjutkan perjalanan ke kota Surabaya.
14 Agustus 2013, aku menuju kota Surabaya dari Leces, lagi lagi menggunakan bis ekonomi supaya lebih hemat, dan dengan bis ekonomi, aku dapat merasakan bagaimana bis ala Jawa Timur ngebut, ugal-ugalan, dan AC alami yang panas namun lebih bersahabat dengan badanku. Sembari memperhatikan sekeliling, dialek kental khas Jawa Timur menggema di dalam bis, melewati daerahĀ āLumpur Lapindoā, dan pada akhirnya bis berhenti di tujuan akhir, terminal bis Purabaya.
Setibanya di terminal, hal pertama yang aku cari adalah penginapan murah. Setelah bertanya kesana kemari, kutemukan penginapan 80rb semalam, penginapan yang sepertinya hanya untuk esek-esek belaka, tepat di seberang terminal bis Purabaya. Tanpa berfikir lama, aku kembali ke terminal dan langsung mencari bis yang menuju daerah Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit di masa lalu. Dengan bermodalkan catatan perjalanan orang, baik nama bis, tujuan bis, biaya, dan lama perjalanan, aku langsung menaiki bis tujuan Surabaya - Madiun/ Blitar, duduk tepat di sebelah sang supir yang ramah, yang konon bis ini dapat membawa aku ke daerah Trowulan, degan cepat.
Ternyata memang benar desas desus itu, bis melaju dengan kencangnya, cukup 1 jam saja, dari terminal Purabaya, aku tiba di perempatan Trowulan. Hal yang unik adalah ketika aku dikira anak SMA yang akan belajar sejarah Majapahit.
Setibanya di perempatan Trowulan, aku ditawari banyak tukang ojek dan becak untuk berkeliling daerah Trowulan, mengunjungi beberapa situ candi yang letaknya bisa dikatakan cukup jauh satu sama lainnya. Karena uang perbekalanku sudah menipis, aku putuskan untuk langsung menuju ke museum Trowulan Majapahit, tepat disebelah kolam segaran. Cukup jauh memang jalan kaki sendirian, dari perempatan menuju museum, namun suasana selama jalan kaki sendirian begitu asri, banyak pepohonan rindang, serta kolam segaran yang menyegarkan mata. Setibanya di museum, aku langsung mencoba bertemu dengan seorang Ibu, yang aku lupa namanya, seorang Ibu yang pernah disebutkan oleh salah satu seorang ahli sejarah Depok yang aku kenal cukup dekat. Seorang Ibu yang ternyata benar, mau menemani aku berkeliling museum, menjelaskan detail setiap bagiannya. Cukup lama aku berkeliling museum dan meminta petuah bagaimana caranya untuk mengunjungi beberapa situs candi, dengan berjalan kaki. Dia terkejut, bahkan dia menawarkan motornya untuk dipinjamkan kepadaku. Akhirnya aku pinjam motornya untuk sekedar mengunjungi beberapa candi, namun sialnya, kameraku mati, baterainya habis. Beberapa situs kukunjungi, seperti candi Tikus, candi Bajangratu, candi Brahu, candi MInakjinggo, candi Wringinlawang, kolam segaran, pendopo agung, dan pusat Buddha Trowulan. Butuh waktu yang lama untuk berkeliling, karena harus melewati beberapa desa, menyeberang jalan raya. dan bertanya kesana kemari pada warga setempat yang begitu ramah dan baik hati.Namun pada Ā akhirnya, aku khilaf, aku tergoda untuk menuju sebuah warung lesehan yang sederhana tepat di seberang kolam segaran, warung yang secara jelas menjual āSambel Wader Trowulanā.
Aku tidak tahu sama sekali makanan apa itu. Aku pesan satu porsi. Yang tersaji? Satu piring nasi putih yang masih mengepul, satu piring sambal wader (sambal ulek + ikan wader), dan satu gelas es jeruk. Tanpa pikir panjang, aku campurkan sambal itu ke atas nasi putih yang masih mengepul panas, aku lahap penggunakan tangan, dan wow, mungkin ini adalah makanan terenak yang pernah aku makan selama ekspedisiku berkeliling Jawa Timur. Dengan beringas aku lahap semuanya, tak terasa, 3 porsi sambel wader telah masuk ke dalam perutku. Bahkan Ibu penjaga warung pun tak kuat menahan tawa,Ā āMas, laper to? Opo doyan? Meh nambah meneh rak? Hahaha....ā. Bagi kalian yang membaca tulisan ini, kalian wajib mencicipi sambel wader di Trowulan, sekali lagi, di Trowulan, jangan di tempat lain ya! Setelah perut terisi, akupun melanjutkan untuk mengembalikan motor, berpamitan kepada Ibu penjaga museum Trowulan, dan kembali ke Surabaya.
Setibanya di penginapan 80ribuan, kakiku masih gatal untuk menjelajah. Aku memutuskan untukĀ āmenyeberangiā jembatan Suramadu. Berbekal info dari salah seorang teman baik, Pijar Religia, yang pada saat aku di Trowulan dia berada di Madura, masih menikmati masa idul fitri bersama keluarga. Aku ingat betul, waktu menunjukkan jam 5 sore, posisiku sudah di bis tujuan Madura, dan aku duduk tepat di samping supir. Bis cepat terisi penuh, berjalan perlahan keluar dari kota Surabaya. Sayup-sayup, perlahan tapi pasti, jembatan Suramadu terlihat begitu megahnya, aku gugup, bukan karena jembatannya, namun si Pijar baru mengabari bahwa dia sedang menuju Jember. Rencanaku untuk menginap semalam di tempat Pijar sirna, dan terlebih salah satu penumpang disebelahku mengatakan bahwa bis terakhir dari Madura ke Surabaya berangkat jam 5 sore juga. Aku tidak menikmati perjalanan selama melintas jembatan yang megah ini, pikiranku melayang, kemana aku harus berhenti. Dan ide gila muncul, aku berencana untuk tidur saja di pos polisi, toh aku membawa matras dan sleeping bag. Setelah berdiskusi dengan supir, aku akan diturunkan di pertigaan Tangkel, disana ada pos polisi, dan banyak warung makan. Hati berdebar, karena selama perjalanan dari jembatan menuju pertigaan Tangkel, kanan kiri begitu gelap gulita, entah sawah, kebun, atau hutan. Aku tidak ada bayangan seperti apa pertigaan Tangkel itu.
Setibanya di pertigaan Tangkel, aku turun, dan aku lega, pos polisinya terang, ada beberapa polisi berjaga, karena memang masih dalam suasana arus balik lebaran. Warung juga berjejer, aroma ayam goreng, bebek goreng, dan ikan bakar begitu menggoda. Dan yang paling membuat aku senang adalah, supir, kondektur, dan beberapa penumpang yang tahu nasibku, hampir secara bersamaan mengucapkanĀ āati ati masā. yang katanya orang Jawa Timur, dan Madura yang begitu garang, ternyata masih banyak yang begitu ramah, peduli, dan baik hati. Aku langsung menuju pos polisi, bercerita bahwa aku tersesat, ingin balik ke Surabaya esok hari, dan minta izin untuk menginap di pos mereka. Bukannya kasihan, mereka malah tertawa terbahak-bahak,Ā āedan koe le, haha....!ā.
Dengan baik hati mereka menyediakan tempat khusus untuk aku istirahat malam ini. Aku juga masih sempat mengisi bahan bakar perut di warung ayam ireng khas Madura. Pukul 9 malam aku dibangunkan, salah satu Pak Polisi memberitahuku bawa ada bis tujuan Surabaya yang lagi ngetem di pertigaan. Sontak aku melompat tak percaya, dan dengan buru buru aku pamit untuk menaiki bis itu, daripada tidur di pos polisi, banyak nyamuk, dan dingin, hehe. Seperti yang sudah sudah, para pak polisi, sambil tertawa, āati-ati yo le, hahaā.
Esok harinya, 15 Agustus 2013 aku kembali ke Purwokerto menggunakan kereta Gayabaru Malam dari stasiun Surabaya Gubeng. Eits, tunggu sebentar, masih ada drama di hari itu. Ya, karena penginapanku tidak layak pakai, begitu pula kamar mandinya. Aku memutuskan untuk tidak mandi di pagi itu. Setibanya di stasiun Gubeng, aku berencana untuk mandi disana. Namun sayang, suasana arus balik masih begitu kental, begitu ramai stasiunnya, begitu pula kamar mandinya. Tak habis akal, kucoba untuk berjalan keluar stasiun dan aku melihat ada pom bensin. Yak, bisa ditebak, aku langsung menuju kesana dan mandi di kamar mandinya, begitu menggembelnya ya aku.
Setibanya di Purwokerto, aku rekap keuangan selama ekspedisi Jogja - Magelang - Malang - Lumajang - Leces - Trowulan - Madura - Surabaya. Ternyata aku mengeluarkan biaya sekitar 700rb saja, termasuk oleh-oleh yang menumpuk dari masing-masing daerah yang aku kunjungi.
0 notes
Text
Ibu Tuti
Banyak orang beranggapan bahwa, mengembara adalah salah satu cara kita untuk mengetahui makna dari hidup. Berawal dari kalimat tersebut, dan disaat aku sedang menunggu wisuda, disaat aku sudah memastikan kapan aku akan merasakan pertama kalinya bekerja, bekerja di salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, 1 September 2013.
Pada malam itu, 11 Agustus 2013, aku berada di kamar tidurku, memikirkan hal apa yang akan terjadi pada diriku dikemudian hari, melepas status sebagai mahasiswa, dan merasakan hegemoni pertama kali bekerja, mandiri. Suasana lebaran masih terasa begitu kental, sama seperti kuah opor yang masih tersaji di rumahku.
Pengembaraan pertamaku di depan mata. 12 Agustus 2013 pagi buta aku berangkat dari rumah menuju terminal Purwokerto. Hanya berbekal 1 tas ransel, dan uang sebesar 750rb rupiah, dan tentunya izin orang tua, aku mantapkan diri untuk mengembara seorang diri.
Kabut masih tebal, suasana dingin khas kaki gunung Slamet masih begitu menusuk, menembus jaket tebal yang aku kenakan. Terimakasih Ibu, telah mengantarku hingga terminal, menggunakan motor bebek legendaris yang masih ada hingga kini.
Aku memutuskan untuk menggunakan bis ekonomi tujuan kota Solo untuk menuju kota Yogyakarta, lebih murah biayanya, dan bis akan berhenti di terminal bagian Utara. Aku berusaha mengontak salah satu sahabatku, Izzah Nur Fatimah, dia bersedia untuk menemaniku berkeliling kota. Namun di trngah perjalanan super panas, dia mengabariku bahwa ada acara keluarga dadakan, ātenang wae, ora masalah jah, keluargamu tetep nomer sijiā, ujarku. Sempat bertanya ke beberapa penumpang bis yang aku tunggangi, baik teansportasi dan ongkosnya, aku putuskan destinasi pertama adalah Candi Borobudur!
Tidak kurang dari 5 jam bis berjalan, lebih lama ngetemnya, Purwokerto - Yogyakarta aku lalui dengan penuh antusiasme. Setiba di terminal Yogyakarta, aku langsung bertanya kepada salah satu petugas terminal kemana sebaiknya aku melangkah jika ingin ke Candi Borobudur. Dia menunjukkan arah bahwa aku harus menunggunakan bis ¾ mirip kopaja itu. Yak akhirnya aku duduk di bagian paling depan, bersebelahan dengan pasangan bule asal Perancis. Tidak kurang 3 jam aku berada di dalam bis, menikmati pemandangan selama di perjalanan.
Setibanya di terminal Borobudur, aku langsung tancap gas berjalan kaki menuju komplek Candi Borobudur. Banyak yang menawariku jasa ojek atau andong, namun karena aku hanya membawa uang terbatas, aku putuskam untuk berjalan kaki saja, tidak lebih dari 3 kilometer kok. Terik, jam tanganku menunjukkan pukul 13.00. Setibanya di gerbang utama, aku langsung membayar tiket dan berjalan kembali tidak kurang dari 1 kilometer menuju Candi Borobudur.
Tertegun kagum aku melihat Candi Buddha terbesar di dunia, karya wangsa Syailendra, masih berdiri kokoh hingga sekarang, walau telah berusia lebih dari 1200 tahun. Inilah salah satu tujuan utamaku, mengunjungi beberapa Candi, peninggalan leluhur, aku yang sedang begitu tertarik dengan sejarah leluhur.
Kunaiki anak tangga satu persatu, mengelilingi tiap relief yang terukir indah di tiap tingkatannya, hingga tak terasa tiba di puncak tingkatan Candi. Aku kembali tertegun, melihat ke arah Barat Daya, begitu indah pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu. Pada saat itu, langit begitu cerah, terik menusuk kulitku. Setelah puas menikmati kemegahan Candi Borobudur beserta pemandangannya, aku memutuskan untuk kembali ke kota Yogyakarta, menggunakan cara yang sama seperti pada saat berangkat tadi. Kali ini perjalanan terasa lebih cepat. Setibanya di terminal Utara, aku melanjutkan perjalanan menuju stasiun Tugu, menggunakan bis Trans Jogja. Waktu menunjukkan pukul 18.00 dan aku tiba di suatu daerah, entah dimana, gelap, namun petugas bis menyarankan untuk berjalan kaki menuju arah Barat, menyusuri jalan gelap. Sedikit takut memang, gelap, seorang diri. Namun semuanya sirna ketika sayup-sayup lampu petromaks terlihat dan aroma asap hasil pembakaran arang terciup. Belasan pedagang angkringan berjejeran di tepi jalan, membuatku merasa lega dan membuat perut ini mulai bergejolak.
Aku memutuskan untuk memanjakan perut ini terlebih dahulu di salah satu warung angkringan, belim terisi makanan sejak pagi tadi. Beberapa bungkus sego kucing, dan berbagai lauk khas, dan tentunya kopi jos itu sendiri. Segelas kopi, kemudian dimasukkan sebuah arang yang masih membara, jos tenan! Perjalanan aku lanjutkan menuju stasiun Tugu, yang ternyata hanya berjarak selemparan batu dari warung angkringan tadi.
Kemana aku akan melanjutkan perjalanan ini? Ya, menuju kota Malang, menggunakan kereta Malioboro Express yang akan berangkat pada pukul 21.00. Aku tak ingat secara pasti, yang jelas selama perjalanan di dalam kereta api, aku tertidur lelap dan tiba di stasiun kota Malang tepat pada saat adzan Shubuh berkumandang. Hai kota Malang, kita berjumpa lagi, setelah satu tahun lamanya. Kota penuh kenangan di bulan Agustus 2012, geng Malang Melintang terbentuk.
Tanggal 13 Agustus 2013, tujuanku bukanlah kota Malang, namun kota Lumajang, tepatnya daerah Jatiroto, tempat dimana aku pernah kerja praktek di pabrik bioetanol.
Suasana pagi di selasar stasiun kota Malang masih lah sama, sejuk, damai, tentunya pedagang bakpau singkong masih ada, dan tanpa basa-basi aku langsung membeli beberapa bakpau hangat yang masih mengepul untuk sarapan dan bekal selama perjalanan menuju Jatiroto.
Perjalanan di mulai menggunakan angkot menuju terminal bis di selatan kota Malang. Dari terminal itu, aku menggunakan bis ¾ tujuan Malang - Lumajang dengan jalur ekstrim membelah perbukitan terjal. Sekali lagi, aku mendapatkan posisi mantap, berada di bangku paling depan, tepat bersebelahan dengan pengemudi bis. Kelak-kelok jalanan yang begitu tajam, membuat jantung ini berdebar, menegangkan namun mengasyikkan. Sekitar 3 jam aku lalui, tiba juga di pertigaan Lumajang - Jember. Aku melanjutkan menggunakan bis besar tujuan Banyuwangi menuju Jatiroto. Tidak ada 15 menit aku tiba di Jatiroto. Suasana masih sama, asri, tentram, mayoritas atalah perkebunan tebu.
Senyap, aku belum siap kembali bernostalgia dengan Jatiroto, Pikiranku melayang-layang, karena ada kabar bahwa kepala keluarga yang ingin ku temui sedang sakit keras, itu sudah sebulan lalu, dan ini lah tujuan utamaku, memastikan kondisi beliau. Aku memutuskan untuk berjalan kaki, sekitar 1 KM jauhnya, sembari bernostalgia. Masih terekam ingatanku akan kerja praktek setahun lalu, warung sate ayam, warung ayam goreng, stasiun Jatiroto, warung pecel, komplek pabrik gula Jatiroto, pabrik PASA Djatiroto dan tentunya perkampungan Jatiroto itu sendiri. Aku memutuskan untuk yang pertama menuju pabrik PASA Djatiroto. Sepi, lengang, seakan tak bertuan, untuk aku masih bertemu dengan Pak Satpam yang sama seperti setahun lalu. Saling bertukar kabar, pabrik ini surah tidak beroperasi lagi, sebagian besar karyawan di rumahkan, atau dimutasi ke pabrik gula. Tak banyak yang dapat ku temui, termasuk Pak Fajar, tangam kanan kepala pabrik pada saat itu. Berjalan kembali menuju perkampungan, aku menuju kediaman keluarga Ibu Tuti, keluarga yang menampung aku, Bagas, Chemi dan Iqbal selama sebulan menimba ilmu.
Aku berdiri terpaku di depan pintu, suasana begitu sunyi, sama seperti setahun lalu, bahkan kondisi rumah yang terlihat sedikit lebih rapuh dari sebelumnya. Tidak ada teriakan Faizah, cucu dari Ibu Tuti. Ku ketuk secara perlahan pintu bagian depan rumahnya, tak berapa lama suara langkah kaki terdengar, pintu terbuka. Kami sempat saling tatap beberapa saat, ku raih tangannya yang sudah berkeriput namun tetap halus, kucium tangannya, lalu aku dipeluk erat olehnya, āNak Udinā. Beberapa saat kemudian dia bergegas menuju sebuah kamar, kamar yang tak asing lagi. Aku dipanggil olehnya, pikiranku kembali tak menentu, penuh pertanyaan bagaimana kondisi Bapak sekarang ini. Ku melangkah perlahan, dan terjawab sudah kondisi Bapak. Lemahz tak berdaya di atas ranjang, beliau lumpuh, hanya mengandalkan Ibu Tuti, istrinya yang selalu setia merawatnya, walaupun Ibu Tuti sendiri sudah tidak kalah rapuhnya, sekitar 70 tahun usianya. Aku terpatung berdiri, melihat kondisi Bapak yang sudah tak berdaya, hanya bisa menggerakkan bola matanya.
Aku tersimpuh, berlurutut sembari memegang tangan Bapak dan Ibu Tuti, walau aku seorang lelaki, tak dapat ku pungkiri, air mataku mengalir begitu deras, membasahi pipi, menggenang di lantai semen. Tak lama Ibu Tuti menjelaskan kondisi Bapak, sembari menahan tangis. Aku tak dapat berbuat banyak, hanya doa terbaik yang dapat aku berikan, menyapa Bapak, dan memberi sedikit semangat untuknya, dan untuk Ibu Tuti. Sempat aku tawarkan sebagian besar bekal uangku untuk membantu sedikit beban hidup mereka, namun secara tegas Ibu Tuti menolak, bahkan sia sempat berujar, āuang lebih baik digunakan untuk kalian yang masih muda, kamu yang masih memiliki jalan sangat panjang. Kami hanya menginginkan doamu, Nak. Nak Udin yang kembali kesini sudah sangat meembuat kami bahagia, itu berarti Nak Udin tidak melupakan kami, dan kami yakin Nak Udin pasti menyelipkan nama kami dalam doa Nak Udinā. Bergetar hebat hatiku, membeku tubuhku mendengar ucapan Ibu Tuti, air mata kembali mengalir tak dapat dibendung.
Disela kesengsaraan itu, Ibu Tuti sempat membuatkanku makan siang, makan siang yang istimewa, ikan goreng nan lezat. Aku tak dapat menolaknya. Sembari aku bercerita apa saja yang sudah aku alami selama setahun belakangan, dan tentunya masa depan apa yang sedang menungguku. Mungkin doaku kepada mereka hanya sebuah kalimat pendek, namun mereka balik mendoakanku dengan begitu panjang kalimat yang terucap. Entahlah, aku tak dapat berkata-kata lagi, semoga kebaikan Ibu Tuti dibalas oleh Tuhan dengan begitu melimpahnya, semoga Bapak segera dapat kembali sembuh seperti sediakala.
Aku dipeluk erat kembali oleh Ibu Tuti, bahkan hingha hari ini pun pelukannya masih begitu terasa, aku merasa bersalah, sudah 4 tahun lamanya tidak sowan kembali. Bagaimana kabar Ibu Tuti sekarang, bagaimana kondisi Bapak sekarang. Entahlah, mungkin raga tak dapat bertemu, namun ku harap doaku untuk mereka didengar oleh Tuhan.
Siang itu juga, aku beranjak dari Jatiroto, menuju daerah Leces, daerah yang di masa lalu begitu jaya akan pabrik kertasnya.
0 notes