Text
Refleksi Hari Santri: Mikrokosmos Santri dan Kita yang Metropolit
Hari santri baru begulir tiga kali. Dan jujur saja, bisa jadi hari santri tidak bakal ditetapkan secara nasional kalau Joko “Jokowi” Widodo tidak menjadi presiden. Penetapan hari santri memang salah satu bargain politik Pakdhe bagi kalangan santri. Dengan campur mulut Fahri Hamzah yang tendensius dan menjadikan orang berasumsi bahwa wakil rakyat independen itu menyepelekan santri, dus tiba-tiba isu ini meluas. Kemudian kita bisa lihat, Jokowi menang di daerah kantung santri plus kebanyakan pentolan kalangan ini akrab dengan beliau. Akui saja, kalangan santri, dalam hal ini santri yang dinaungi Nahdlatul Ulama, memang sasaran legit buat kelompok politik manapun.
Saya yang tumbuh dekat dengan kebudayaan santri tidak bisa bohong bahwa saya bahagia dengan adanya hari santri, terlepas dari adanya alasan bahwa HSN adalah janji politik Pak Jokowi (saya tidak memilih beliau). Sebelumnya dijanjikan satu Muharam bakal diperingati, tapi akhirnya dua puluh dua Oktober yang dipilih, tanggal yang sama ketika Hadrastussyaikh Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad tuuh puluh tahun sebelumnya. Banyak yang bersepakat, tidak akan Inggris kalah di Surabaya dalam “tawuran masal” itu kalau tidak ada Resolusi Jihad. Nah, sejarah inilah yang sering tidak ditulis dalam buku sejarah sekolahan.
Sedikit demi sedikit Hari Santri Nasional (HSN) membuka hijab kehidupan santri yang amat komunal tapi terlihat tertutup itu. Bukan karena tidak mau membuka diri, tapi karena tidak sempat. Mulai subuh mereka beraktifitas hingga malam isinya cuma mengaji kitab ulama klasik yang tulisannya arab gundul khusus pesantren salaf (bukan salafi) atau yang bergaya klasik, untuk pesantren yang lebih modern ada di antaranya meyisipkan sekolah formal. Sebenarnya banyak sekali sisi unik pesantren yang jika masyarakat umum tahu menimbulkan kekaguman. Dari sisi menuntut ilmu, metodenya, sampai takdzim luar biasa ke para kyainya. Makin banyak penelitian soal kehidupan pesantren, liputan media massa (karena Pak Jokowi senang mampir, masih ingat kan santri yang disuruh sebutkan siapa saja menteri sekarang?), juga santri makin percaya diri menunjukkan identitas dirinya.
Tiga paragraf di atas hanya pengantar saja. Saya tidak mau membahas prestasi Jokowi terlalu banyak, nanti dicap mahasiswa kontra-revolusioner. Ada dimensi lain tentang santri yang saya ingin bagi pada jamaah pembaca sekalian.
Hal yang membuat saya kesengsem dengan kehidupan a la santri adalah sikap beragama yang cenderung teduh dan tidak berisik. Kata teman saya, kehidupan santri singuler di pesantren, tapi begitu keluar justru bisa menerima perbedaan. Amat bisa menerima perbedaan. Bahkan karena konstruk berpikir yang demikian, seringkali santri dicap liberal. Liberal darimana kalau bertemu dengan para masyayikh masih cium tangan takdzim, bahkan Ulil Abshar Abdalla dedengkot Jaringan Islam Liberal itu sekalipun.
Memang tidak semua santri demikian, dan tidak semua pesantren mengajarkan laku hidup toleran itu. Tapi jika kita lihat secara makro, tidak hanya di sosial media yang saya maksud, pasti anda setuju dengan saya. Kalau anda masih tidak percaya, mungkin area pergaulan masih kurang jauh, pulangnya masih kurang larut.
Santri level awal harus belajar nahwu saraf (gramatika arab) yang dasar, dan di saat itu pula belajar akhlak dan adab. Berlanjut harus belajar kitab fiqh, lalu hadis dan juga ushul, baru apabila sudah matang masuk ke babakan tasawuf (pengolahan hati). Dari tahapan belajarnya bisa kita lihat, yang diutamakan adalah akhlak, lalu yang terkahir adalah tasawuf. Bisa jadi keadaan itulah apabila santri mukim lama di pesantren (seharusnya) makin teduh hasilnya. Dan di dalam belajar pun banyak dialektika ilmu, keputusan beda antar satu dan yang lainnya. Di pesantren pula, mereka belajar menerima yang beda. Cenderung dialogis daripada apologetik dalam melihat permasalahan.
Selain mauidhoh hasanah (nasihat yang baik), mereka juga disuguhi uswatun hasanah (contoh yang baik). Kyai beserta ustadz menjadi contoh laku mereka sehari-hari, belum lagi pihak seksi keamanan yang angkernya bikin kita refkleks baca ayat kursi. Di situlah santri dididik menahun dalam semua aspek kehidupan, tentu masalah output ada yang berhasil ada yang tidak. Wajar. Selaras mahasiswa, ada yang beradab ada yang biadab.
Setelah keluar pesantren apakah “boleh” mengajar? Oh, belum tentu. Masih ada masa pengabdian lagi. Sisi lain yang orang awam yang mungkin tidak akan pahami, di pesantren salaf, ada yang dinamakan ijazah. Bukan dalam bentuk lembaran kertas, tapi semacam akad antara murid dan guru, itupun santrinya bukan sembarangan. Prosesinya macam-macam, kadang juga santri “digojlok” dulu. Kalau tahan diberi, tidak ya wasalam. Dengan ijazah tak kasat mata ini, santri yang memang diberi dianggap pantas dan legal untuk mengajarkan ilmunya.
Lalu bagaimana dengan “sampaikanlah walau hanya satu ayat”? Ya silakan saja disampaikan ilmu yang anda tahu, mungkin dapat ganjaran baik. Nah kalau salah, ya dosa bisa bereplikasi sejauh mana yang anda sampaikan mengalir. Saya tiba-tiba ingat Jonru, apa kabar dengan hoaxnya.
Ada sisi menarik di sini. Santri yang menahun belajar di pesantren cenderung tidak menunjukkan gejala penghakiman terhadap kehidupan beragama sehari-hari. Pun ada penghakiman, biasanya diucapkan di lingkaran sendiri, jarang ada yang keluar. Di sisi lain, masyarakat perkotaan yang lekat dengan sosial media dengan informasinya yang melimah ruah begitu gampang menghakimi. Atau jangan jauh-jauh, hitung saja ceramah shalat jum’at yang tendensius atau berbau politis. Apa-apaan shalat jum’at bicarakan Erdogan dan Kim Jong Un coba?
Masyarakat metropolit yang ingin menjadikan agama sebagai pedoman memang lebih mudah menerima segala sesuatu yang instan. Misal, belajar sepotong dari Youtube, atau ikut kajian seminggu sekali, itupun entah darimana aspek legal si pengajar. Mungkin “tidak punya waktu” untuk belajar secara bertahap dan menahun, namanya orang sibuk. Tidak ada pembelajaran dialektika di sini. Makanya kanan kiri beda sedikit dicap aneh-aneh. Saya sudah pernah dikafirkan, dicap syi’ah, liberal, dan macam-macam label yang lain, padahal itu pandangan yang saya utarakan pandangan amat umum di lingkungan santri.
Seharusnya masyarakat metropolit yang bergelayut pada agama malu dengan realita ini. Mengapa justru santri yang hidupnya berawal dari kampung justru bisa moderat, sedangkan kita semua sudah dicekoki pelajaran ini itu segala macam? Kata seorang kawan, “ciri orang kota yang ngakunya modern tapi justru jauh dari moderat. Menjadikan agama sebagai romantisme instan yang sarat pembenaran mutlak.”
Semoga sendi kehidupan santri yang toleran menjamah kota, bukan justru sebaliknya. Selamat hari santri nasional untuk kita semua. Salam takdzim dan Al Fatihah untuk semua kyai dan santri di Nusantara.
pernah tayang di sketsaunmul.co 22 Oktober 2017
0 notes
Text
Serba-Serbi Tanggapan Kartu Kuning Zaadit buat Pak Presiden
Sudah beberapa hari sejak Pak Presiden BEM UI menyemprit Pak Presiden sambil mengangkat map kuning, eh salah, kartu kuning segede map. Tiba-tiba akhina Zaadit jadi terkenal. Follower Instagram yang asalnya cuma dua ribu jadi dua puluh lima ribu. Ini sudah cukup syarat supaya jadi influencer, awas saja habis ini ada endorse-endorse-an. Asem iq, gara-gara kartu kuning bisa mendadak terkenal.
Ini memngingatkan aksi Walk Out Ananda Sukarlan tempo hari. Mas Ananda keluar ruangan ketika Anies Baswedan menyampaikan sambutan di acara bersangkutan. Aksi begitu yang sebenarnya biasa banget dalam proses berdemokrasi, ditanggapi ramai juga. Dan tidak lupa, boikot, e tapi salah sasaran dink ya hahahaha.
Sebenarnya permasalahan yang dikritik oke-oke saja sih, toh masalahnya memang betul kejadian. Pak Presiden yang dikritik yang woles saja, malah mau ngajak akhina Zaadit ke Asmat. Jarang-jarang lho anak fisika ke daerah terpencil. Tapi kalau lulusan teknik nuklir jadi Paguru di Asmat, malah saya tahu ada orangnya.
Dasar memang Netizen komentarnya kemana-mana. Mungkin benar kata Kepala Suku Mojok suatu saat, Sunan Kalijaga kalau dulu ada sosmed, ga jadi wali, soalnya kan punya jejak digital. Dosanya lengkap terdokumentasi, mau kasih dalil bisa diungkit masa lalunya hayolo. Ya begitu, yang dikomentari melenceng dari hal pokok yang disuarakan.
Zaadit Kader PKS
Ya terus kalau kader PKS ya kenapa? Itu lho redaktur Mojok paling aikonik foto Facebooknya ada bendera PKS, mau nyaleg pula. Zaadit juga bantahnya juga ngambang. Bilangnya, “tidak ada bukti kalau saya kader PKS.” Coba tegas, iya ya iya, ngga ya ngga. Jangan iya yang ngga-ngga.
Ini poin yang digeruduk warganet, bil khusus para kecebong. Sumbernya? Jejak digital donk. Makanya Dit, tiap enam bulan hapusin tuh twit aneh-aneh.
Twit yang dipakai bertanggal tahun 2014. Ini artinya Zaadit masih mahasiswa baru (maba) banget, normalnya ya maba ini masih pada polos. Makanya, identitas yang harusnya disembunyikan supaya “program gerilya” berjalan lancar malah diumbar. Namanya juga maba.
Kalau mau jujur, saya juga hampir ga pernah sepakat dengan PKS, apalagi sistem liqo yang ga jelas sanad ilmunya itu. Tapi toh harus diakui, apa yang disampaikan benar adanya. Kalau caranya mengkritik, ya nanti dulu lah.
Ada Mata Kuliah Nilai 0
Sumpah ini asli menjengkelkan. Konon… ini bahasa pejabat kampus kalau dikritik, ga tahu ya pejabat kampus mana. Apa yang dikritik, jawabannya, “saya lho sudah magister doktor, kamu sarjana saja belum,” atau “belajar dulu sana, IPKmu jelek kan?” Ya wis, mati kutu kalau IPK jelek, untungnya saya tiga koma… tapi belum lulus juga.
Jadi ya ga usah heran-heran amat kalau warganet merundung soal akademik. Lha kok warganet yang belum tahu tingkat pendidikannya apa, ini jajaran pejabat kampus lho yang jelas lewat sarjana-nya masih juga memakai argumentum ad hominem, alias menyerang pribadi seseorang. Tapi kampus mana, ga tahu saya.
Apalagi kok sampai disebar lewat Twitter, retweet-nya ribuan pula. Ini kan aib mahasiswa. Aib lho. Kok diumbar.
Mahasiswa paket lengkap memang susah saudara-saudara. Maksudnya mahasiswa yang kritis pada pemerintah iya, akademik bagus iya. Ngga segampang itu, apalagi kok kuliahnya fisika, jadi ketua BEM Universitas pula. Saya lho SMA masuk kelas IPA cuma sekali lulus ulangan fisika cobak.
Bakal diberi Paket Umroh
Agak gemes gimana gitu. Iya, Zaadit berani kasih map, eh, kartu kuning ke Presiden, banyak guru besar pula di depan. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat, ini kan “baru” kritik. Kenapa tidak sekalian yang sudah di Asmat sekalian? Sudah ke sana susah, dihantui malaria pula. Menurut saya, ini sudah jauh lebih berat dan lebih berani daripada mengacungkan map, eh, kartu kuning ke Presiden. Itu.
Tapi ya bebas sih. Lha yang punya duit yang punya biro umroh siapa.
Tidak Punya Adab Pada Tamu
Nah ini kudu agak serius, soalnya bersangkutan ngaji bab adab. Bahwa Pak Jokowi tamu, dan tiap tamu harus dihormati. Betul ini, apalagi kepala negara. Saya setuju sepenuhnya. Harusnya juga akhina Zaadit, yang ngaku ikut halaqah atawa liqo, paham hal ini. Ini kan makin menguatkan asumsi bahwa liqo cuma bahas doktrin-doktrin sahaja. Kan memalukan, adab yang harusnya ditaruh di depan malah ilang. Ga enak kalau ada yang nyletuk “aktivis halaqah cap uopooooo”.
Mungkin Pak Presbem terinspirasi pepatah lama dari Arab, “kalau mau terkenal, kencingi saja sumur zam-zam,” maksudnya lakukan hal yang sensasional dan beda supaya terkenal. Kartu kuning jelas buat Pak Jokowi tentu sensasional dan beda. Nyatanya hari ini masih juga dibahas, sampe njeleh.
Tapi yaaa… minimal isu-isu yang disampaikan terangkat lah ke masyarakat. Soal gizi buruk di Asmat utamanya, juga soal dwifungsi Polri jadi Plt Gubernur. Nice.
Masih banyak sih sebenarnya bahasan soal map, eh, kartu kuning ini. Tapi ada yang lebih urgen daripada analisa lini masa sosmed: revisian. Revisi skripsi saya sudah ditunggu PEMBIMBING UTAMA soalnya.
0 notes
Text
Tuma’ninah Minum Kopi di Semenjana Kopi
Kalau anda baru di kota Samarinda, atau penggemar kopi baru di Samarinda, kemudian bertanya dimana tempat rekomendasi untuk membeli bijih kopi arabika atawa sekedar ngopi manual brew yang enak, bisa jadi kebanyakan orang lawas akan menjawab: “ke Semenjana saja, tempatnya di Perumahan Sempaja Lestari”. Atau kalau anda menemukan akun Instagramnya, lalu mencari alamat yang tertera di bio-nya. Tapi disitulah petualangan dimulai. Tidak mudah menemukan Semenjana, tempatnya di ujung perumahan, kalau tidak hafal jalannya, bisa menyerah dan memilih pulang saja. Saya bisa bilang begitu karena saya mengalami sendiri, begitu juga banyak orang lainnya. Bahkan ada yang pernah bertanya, “emang ada ya mas yang mau kesini?”.
Semenjana bukan kafe. Judul resmi yang tertera di plangnya adalah Rumah Seduh dan Sangrai Kopi Semenjana. Tempatnya juga bukan di ruko, atau bangunan khas tempat nongkrong lainnya. “Rumah” adalah rumah secara harfiah, ya tempatnya di rumah. Makanya, kadang begitu orang sampai di lokasi dan belum ramai tamu, pasti berpikir, “yakin nih tempatnya?”. Apalagi sebelum adanya plang (saya baru tahu dipasang setelah setahun buka), yakin pasti lebih bingung lagi. Jam operasional Semenjana dari jam tujuh malam sampai jam dua belas malam, itupun tidak tiap hari. Jadwalnya bisa dipantau lewat akun instagramnya. Kecuali ingin ambil biji kopi, bisa janjian sewaktu-waktu.
Menuju Semenjana memang butuh perjuangan. Apalagi kalau sedang hujan lebat, dan semua tahu Samarinda rawan banjir. Tapi ketika sampai tempatnya, kita bisa ngopi secara tuma’ninah. Tenang. Damai. Masuk pun kita sudah disapa Mas Rifki dan Mbak Hilda, Dynamic Duo owner Semenjana.
Lapak Semenjana adalah ruang tamu yang tidak terlalu besar, ada satu meja kotak di emperan rumah untuk tempat merokok. Kalau mau dipaksa sampai sesak pun, paling mentok lima belas orang. Tapi itu asyiknya, tempat begini menjamin semua orang berinteraksi. No Wifi. Sebenarnya ada sih, Cuma kata sandinya hanya empunya rumah yang tahu. Supaya tidak nunduk layar hape saja katanya.
Menu utama disini adalah kopi arabika, jenisnya tidak tentu. Kadang di antaranya ada kopi impor, tapi local pasti mendominasi. Seringnya ada Gayo, Toraja, Sunda, dan segala macam. Itupun beda jenis, Gayo kemarin ada Gayo Queen Ketiara, hari ini ada Gayo ramung, bulan depan Gayo Black Honey. Begitu juga yang lain. Harganya tidak mahal, berkisar lima belas sampai dua puluh ribu untuk kopi lokal, sedikit lebih mahal buat yang impor. Kudapan juga dibuat variatif, hari ini dan besok bisa beda.
Di rumah bagian belakang ada mesin sangrai kapasitas satu kilogram yang kesehariannya dipakai Mas Rifki untuk menyangrai. Seperti yang sudah saya ceritakan di depan dan sesuai judul tempatnya, Semenjana menyediakan biji kopi arabika. Jadi pembicaraan soal kopi disini tidak hanya tentang seduh saja, bahkan saya yang awam bisa sedikit tahu proses paska panen karena Mas Rifki memang sering berinteraksi langsung dengan petani kopi. Dan memang dia tidak segan mengajari newbie kopi, bahkan saya sampai dipinjami seperangkat alat seduh untuk dibawa pulang sementara waktu sampai saya bisa beli alat seduh sendiri.
Selain kopi, banyak yang dibicarakan. Sastra misal. Memang Mas Rifki cukup suka sastra, di ruang tamu ada beberapa tumpuk buku, dan diantaranya bisa dipinjam. Bahkan ada teman saya yang sampai dua bulan tidak mengembalikan satu buku. Ada. Padahal saya ingin pinjam juga. Pernah juga ada kursus singkat yoga. Kalau habis tayang episode Game of Thrones, bisa jadi itu yang dibahas. Dan semua yang ada di ruangn ikut menyimak.
Semenjana Kopi saat ramai. Dokumen Semenjana.
Keintiman yang didapatkan di Semenjana adalah yang menarik orang untuk terus menerus datang, meski kadang harus menembus banjir sekalipun. Makin sering orang datang, makin lekat pula dan besar rasa sayangnya. Semenjana menjelma menjadi keluarga besar. Ada konser bagus, bersama-sama datang. Hari libur dn mau tamasya bersama, pergi bareng. Tujuh belas Agustus, dengan alasan sentimental membuat ngopi pagi sambil makan bubur ayam (gratis pula).
Saya pernah bertanya, pada saat saya masih amat baru intim dengan Semenjana, dan masih belum banyak tamu yang datang. Mengapa nama “Semenjana” yang dipilih? Padahal kalau memakai alasan filosofis, artinya kan medioker, biasa-biasa saja. Kurang pas untuk menggambarkan kesuksesan, padahal sekarang rumah kopi ini sudah punya tamu yang loyal. Jawabnya, “karena bagus aja, enak didenger, macam judul lagu dangdut,” kata Mas Rifki sambil nyengir, di depan saya dan Mbak Hilda di ruang makannya. Absurd. Tapi berhasil.
Pernah tayang di minumkopi.com pada Agustus 2017
0 notes
Text
Berjilbablah kalian Sampai menutup aurat Itulah kesempurnaanmu
Berjilbablah kalian Sebarkan segala fatwa Bahwa jilbab wajib niscaya Jika tak begitu penghuni neraka Karena kalian telah sempurna
Berjilbablah kalian Tak perlu shalat subuh Tak perlu belajar kitab Tak perlu belajar adab Kalianlah sempurnanya hawa
Berjilbablah kalian Jadilah penyebar berita Benar bohongnya nanti saja Karna cukup jilbab Lambang kesempurnaanmu
Berjibablah kalian Juntaikanlah dia Sampai menutupi dadamu Sampai menutup hatimu Dengan sempurna
Tenggarong Seberang, 30 Juli 2016
0 notes
Text
Catatan dari Blora (1)
Sudah dua hari ada di Blora, kampung halaman tercinta. Sebenarnya bukan mutlak kampung halaman, lahirnya sih di Semarang. Hari Senin terbang dari Banjarmasin, naik Bus Damri ke Bungurasih, numpang Bus Patas jurusan Semarang turun Rembang. Kok Banjarmasin, bukan Balikpapan? Iya, kemarin sempatkan diri ziarah di Tuan Guru Sekumpul. Tidak terlalu banyak cerita di Banjarmasin, karena tujuan cuma dua: ziarah dan main ke tempat teman. Itupun waktu lebih banyak di atas ranjang, hibernasi. Aku belum lama pulang dari Blora Kota, dari Gerobak Seduh. Gerobak Seduh ini angkringan, tapi segmennya pecinta kopi. Ada beberapa kopi hits Nusantara macam Aceh Gayo, Bali Kintamani, Toraja, Java Arabica, satu lagi Java Robusta kalau tak salah. Sayang, Aceh Gayo sedang out of stock. Lumayan lho, ada filter-nya, nah ini jadi pembeda, belum lagi digilingnya di tempat. Makanya, sejak di Samarinda aku sangat penasaran. Tak kecewa lah. Tadi pesan Bali Kintamani dan Toraja, duanya tanpa gula, lumayan. Murah pula, itu yang utama. Lalu pulang, bongkar-bongkar lemari, and... shit, ada kotoran (sepertinya tikus) di sudut-sudut lemari. Bersih-bersih dulu sebelum nulis, kira-kira yang kena najis kupinggirkan, mau cuci dulu. Cara menyucikan lemari nanti dulu, mau tanya bapak. Aslinya kepikiran, tapi nanti lah, rasa pengen nulis dilayani dulu. Tadi kumpul dengan Haryo dan Ikhsan, yang selanjutnya kita panggil Cabak. Cabak nickname dari Ikhsan, karena rumahnya daerah namanya Cabak, saking parahnya sebutan itu, kadang lupa nama aslinya, susah cari di LINE. Haryo sudah lulus D3 Polines, mau lanjut ke ITS. Cabak masih kuliah, hidup dan cara berpikirnya masih antik. Sekarang, sambil mengisi waktu luang Haryo main Stock dan Forex, dan alhamdulilah kami beruda ditraktirnya (bahkan aku yang sudah bayar dikembalikan, tau gitu tadi makan banyak sekalian). Cabak belum lama pulang dari Manila, ikut lomba mobil hemat energi, yang berangkat ke Manila-nya ada bagian swadaya. Ya begitulah mahasiswa, kalau mau maju ya harus berani berkorban. Hampir tidak ada yang berubah di Blora dari pengamatan dua hari ini. Ada sih, taman-taman mini di sudut kota dengan lampu mentereng, judulnya “Taman …” dengan embel-embel sponsor pembuat taman. Tapi ya lucu, tamannya terlalu mini untuk bisa dijadikan tempat nongkrong, jadi buat apa? Mungkin pemanis kota. Mungkin. Tapi rasanya buatku yang “tidak menilai buku dari sampulnya” ya hal seperti itu nihil saja. Pemanis di mulut. Tapi ya tak apalah daripada stagnan mutlak. Ada tanda tanya besar yang menggelayut di kepulangan Blora kali ini terkait kesehatan. Di sosial media ramai soal pelayanan RSUD Blora. Keluhan utama ada di pelayanan, dan rasanya ya itu-itu saja. Sejak jaman aku masih putih-merah sampai pakai jas lab ya itu masalahnya. Solusi? Tentu tak obyektif kalau kuberi, kan belum pernah jadi orang dalam. Tapi ya itu, tanda tanya besar. Kok bisa sampai sebegitunya? Bupati sudah tiga kali ganti, atau lebih? Yang jelas sekarang masa kepemimpinan kedua, kalau samaya mending dibubarkan saja RS-nya, buat baru, supaya bisa tata dari awal sekalian. Kok galak? Ya masak ga galak, sudah sebegininya. Masalah RS, aku tidak beranii menyalahkan siapapun, kan bukan auditor. Dirawat cuma sekali jaman Pak Harto mau lengser. Bapak sih cerita, pelayanan oke. Ya bagaimana ga oke, di kelas VIP. Yang kelas ini banyak komplain. Kok jengkel, kan Bapakmu dirawat baik, mungkin kalau aku (naudzubillah) sakit, paling VIP juga, kok ribut? Ya ga gitu juga, aku sih bau liberal memang, tapi masih manusia dan berusaha nguwongke wong alias memanusiakan manusia. Apalagi aku calon dokter, masak acuh? Mending keluar saja terus jadi konglomerat terus tindas buruh. Kan cocok. Ngimpi, jual pulsa aja bisa. Sampai sini dulu soal Blora, sudah malam. Insya Allah besok lanjut.
1 note
·
View note
Text
andai sekarang anda sudah berhijab, syukur-syukur “sempurna” secara zahir, maka bersyukurlah. karena yang demikian masalah hidayah, dan “mahalnya” bukan main-main. maka, jika ada seseorang belum berjilbab, belum sempurna secara zahir, atau bahkan melepas jilbabnya sebab suatu hal, maka jangan malah dijadikan bahan pembicaraan. justru, hal itu bisa jadi beban atas amalan kita karena ujub. jangankan hijab. ada suatu cerita, Habib Qurais Baharun bertemu perempuan… dianya hafal qur'an, tambah satu kitab hadis tebal karangan imam nawawi kalau tak salah. tapi toh, tetap atheis. hidayah luar biasa mahal, luar biasa nikmat. bersyukurlah terhadap semua hidayah. mari kita ucapkan hamdalah, untuk semua nikmat ini.
tabik
Samarinda, 9 Juni 2016
1 note
·
View note
Text
Saya Benci Islam Jawa, Katanya
Statemen tersebut terlontar dari teman Facebook penulis beberapa waktu lalu. Sepertinya dia sedang marah, ketika berdiskusi (kalau tak mau disebut debat) dengan cara via teks. Tentu tidak ada kesepakatan, karena memang sepakat untuk tidak sepakat. Topik yang kami bicarakan, lagi-lagi, tentang syi’ah. Sebenarnya itu adalah pos lama, ketika Grand Syeikh Al Azhar berkunjung ke Indonesia. Beliau menekankan tentang persaudaraan tentang Sunni-Syi’ah, dan penulis berpendapat, pengkafiran atau adu domba antara sunni dengan syi’ah hanyalah proyek pihak tertentu. Kawan penulis, yang kepalanya lebih keras dari batu kali itu, ngotot sampai urat di temporalnya keluar mungkin. Tapi itu bukan poin utama tulisan ini.
Penulis menunjukan kesantriannya dengan berbagai dalil yang mendukung argumen penulis. Dalam satu titik, statemen kebencian tersebut terlontar di kolom komentar. Cukup menyesakkan, tapi toh sabar pilihan utama. Kawan penulis ini berkata, bahwa dia tak suka dengan Islam Jawa. Relasi Kyai dan Santri dan sistem pesantren feodal khas Jawa menurut dia. Penulis punya argumen lain, dan hal ini yang akan diulas.
Sebelum masuk terlalu jauh, penulis hendak mendefiniskan Islam Jawa yang dimaksud di tulisan ini. Islam jawa yang dimaksud adalah Islam yang berada di Jawa, dengan sedikit adaptasi budayanya. Dalam pelaksanaanya, kebanyakan menganut aqidah Asyariah, fiqh-nya hampir semua mengikuti Imam Syafi’i. Bukan Islam kejawen, yang agamanya Islam namun praktek sembahyang bercorak Jawa. Islam Jawa yang dimaksud ya tdiak jauh dengan Islam yang di Arab sana. Dan kebanyakan Sunni.
Penyebaran di Jawa, seperti yang kita semua ketahui dan selalu diulang, berkembang sangat pesat pada era Wali Sanga. Cukup 50 tahun untuk mengislamkan mayoritas penduduk Jawa, dari ujunga barat hingga timur. Tentu hal ini luar biasa, menengok sejarah sebelumnya Islam sudah lama ada di Jawa, namun masih dianggap “impor” karena dipeluk oleh pedagang asing. Tidak seperti sekarang, agama endemik. Namun, pendidikannya tak jauh beda denga masa sebelumnya. Lewat proses nyantrik, tidur di pondok-pondok. Maka tak heran, jika kemudian disebut pondok pesantren. Malahan, legacy tersebut bertahan sesuai zaman, mulai dari zaman pra-kolonila, kolonial, kemerdekaan, hingga sekarang. Tidak sedikit juga sumbangsih untuk negara ini, hanya saja tidak begitu banyak ditulis di buku sejarah mainstream.
Proses pendidikan di pesantren cenderung ketat. Entah di salaf atau khalaf ya begitu. Ada otoritas yang besar bagi Kyai, yang teman penulis sebut feodal. Bagi kawan penulis, hal demikian menjadikan para santri tunduk dan tak akan menentang pemikiran kyainya. Tentu ini teori absurd tak karuan. Pesantren rasanya jauh lebih banyak menghasilkan pemikiran yang berbeda satu sama lain. Di keluarga besar pesantren, yang tak lain adalah Nahdlatul Ulama (NU), begitu banyak pemikiran yang berbeda. Jangankan masalah agama, sampai paham ideologi kanan kiri pun ada.
Otoritas para kyai dalam pendidikan pesantren penulis rasa memang diperlukan. Ada masa ketika pikiran belum matang, santri akan memertanyakan dasar-dasar pemikiran yang diajarkan. Hal ini penulis rasakan sendiri, karena tak lain pengajar ilmu pesantren penulis adalah ayah sendiri. Dalam beberapa titik, muncul pergolakan batin dan pikiran. Jika dibiarkan, maka bisa saja tersesat. Initlah tugas besar kyai. Demi meneruskan sanad ilmu yang tersambung sampai ke Baginda Rasulullah.
Kembali pada produk pemikiran. Di pesantren, meski pendidikannya begitu saklek, tapi toh tidak membelenggu para santri di kemudian hari, apalagi di zaman ini. Di situs Indoprogress penulis pernuh membaca tulisan yang rinci tentang paham kiri dari santri tarekat Naqsabandiyah. Ada pula pemikir yang melabeli dirinya liberal, seperti Ulil Abshar Abdalla cs. Bahkan, sejak masa awal NU berdiri sudah ada Kyai Wahab dan Kyai Bisri, bagi yang belajar sejarah NU, pasti paham betapa berbedanya dua alim tersebut.
Jadi, jika pesantren justru menghasilkan begitu banyak model pemikiran, bukankah dasar benci kawan penulis itu gugur? Harusnya...
0 notes
Text
Lama Tidak Begini
2.22
Sumpah, tanpa aku sengaja, aku memulai waktu menulis ini di waktu di atas itu. Cantik bukan buatan memang. Malam ini syahdu pula, hanya ada teks dan kopi yang tinggal ampas. Sudah dua cangkir malam ini, kopinya favoritku: kopi banaran. Aku tak perlu rokok karena memang aku tak bisa, ini yang membedakanku dengan nahdliyin yang lain, aku tak kuat asap rokok. Teks yang kubaca malam ini sama-sama tentang Islam, tapi saling kontradiktif. Satu dari Roy Murtadlo yang kiri nian dimuat di Indoprogress, lainnya liberal kebablasan karya “Kyai Muda” Ulil Abshar Abdalla cs. Asik? Sangat. Sampai kepalaku mau pecah, macam badai, di-ontang-anting kanan kiri.
Sangat lama aku tidak menikmati malam sedemikian syahdunya, terkepung dengan tumpukan gawean. Aku rindu suasan seperti ini tentunya. “Sangat aku”. Menyendiri di pagi buta ditemani musik, menyicip remah-remah dari para intelektual dua kubu itu. Memang absurd sepertinya, tapi tidak rasaku. Aku sedang mencoba melihat dunia ini tak sekedar hitam putih. Aku ingin melihat dunia ini secara “adil”, seperti kata almarhum Pram, intelektual harus adil sejak dalam pikiran. Bagaimana mungkin aku mengatakan ini jelek, mengkritik satu hal tanpa menyicipnya? Ya entah, makanya kubilang, aku ingin adil.
Playlist tadi Pink Floyd, sekarang musik klasik. Tadi membaca, sekarang menulis. Tapi kali ini bukan tentang apa yang telah kubaca, seperti biasa aku “meresensi bacaan”, aku hanya ingin bercerita pada kalian semua, tentang malam yang meminjamkan waktunya untukku. Untukku bersenandung dan menikmati hidup, entah dengan buku, artikel, bahkan “rasa”. Rindu ini tumpah begitu saja. Mata ini belum mengantuk. Semangat masih menggebu.
Belakangan ini aku gelisah dengan alur hidupku, makin tak tentu. Akhir-akhir ini, aku jengah dengan segala kesempitan kegiatanku. Bukan... bukan aku sedang tak bersyukur. Hanya masalah waktu, aku sedang mengalami krisis. Krisis apa? Entahlah, aku sendiri tak paham. Krisis aku mencari jati diri sepertinya. Ya bagaimana tak bingung, bacaanku saja kontradiktif.
Aku sedang meminjam buku tentang tarekat dari Perpusda Kaltim. Analisa tentang macam tarekat yang menyebar di Indonesia. Satunya lagi tentang jalur penyebaran tarekat di Indonesia. Tim pengarangnya sama sepertinya, setidaknya editornya. Mengapa tentang tarekat? Aku sedang iseng, di sisi penasranku yang amat besar tarekat. Jalan yang ditempuh untuk memermudah kesufian. Figur-figur seperti Syekh Abdul Qadir AL Jaelani, Imam Asy Syadzili (yang selalu kubacakan AL Fatihah sebulum minum kopi), Imam Nawawi Al Bantani, dan lain sebagainya, yang membuat aku penasaran pada tarekat. Karamah beliau-beliau semua, yang begitu mistik menarikku. Tentu karamah bukan tujuan, tapi mau tak mau membuat jadi penasaran.
Berterima kasih aku pada Pak Ahok Gubernur DKI Jakarta. Terlepas dari segala keberpihakannya pada cukong, yang masih katanya itu, aku turut bisa menikamati Ijakarta, aplikasi android Perpusda DKI. Iya, betulan. Jadi aku tak perlu repot bayar dan buat kartu ini itu, gratis aku pinjam. Mana bukunya bagus-bagus lagi. Kemarin aku baca buku seri sejarah dari Tempo tentang Tan Malaka. Kalau disuruh beli di Gramedia, tak sanggup. Dan sekarang aku pinjam “Anak-Anak Revolusi” dari Budiman Sujatmiko dan “Dilema PKS antara Suara dan Syariah” dari Burhanuddin Muhtadi. Both of them are good books. Dan kupinjam gratis. Aku memang mahasiswa sangat, gratis ada di prioritas. Sudahlah, aku memang irit. Bagian ini aku agak berhalauan kiri... bulan Agustus jadi kanan, ada Suicide Squads, aku mau ke XXI.
2.46
0 notes
Text
BATAS
Oleh: M Aan Mansyur Ada Apa Dengan Cinta 2 Semua perihal diciptakan sebagai batas Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain Hari ini mebatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota, juga rumahmu dan seluruh tempat dimana pernah ada kita. Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah didadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang - undang. Seorang ayah membelah anak dari ibunya dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding diantara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur. Apa kabar hari ini? Lihat tanda tanya itu. Jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi
1 note
·
View note
Text
Keblinger #Syi`ahBukanIslam
Entah apa yang salah, tapi belakangan nnetizen ribut soal isu ini. Penulis merasa, sangat berlebihan dan menjurus kebencian. Sangat tidak sehat penulis rasa. Mengapa? Karena, meski berbeda tapi kita semua memiliki kesamaan : manusia, sama-sama ciptaan Tuhan YME. Tak kurang tak lebih.
Syi'ah adalah sekte sangat tua yang ada dalam sejarah Islam. Awalnya, mereka adalah partai politik dalam tubuh Islam yang membela Sayyidina Ali kw dalam hal penguasa pasmeninggalnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di kemudian hari, pasca Bani Umayyah turun dari kekuasaan di Timur Tengah, yang sangat lekat dengan ilmu kalam itu, maka berubahlah skema sejarah Islam. Bani Abasiyah naik sebagai penguasa, menonjolkan ilmu hadis sebagai patron, maka pindahlah Ahli Kalam (Mu'tazilah) ke daerah Syi’ah. Maka, dari titik inilah Syi'ah bukan hanya sebagai partai politik, namun juga aliran pemikiran.
Dinamika Sunni-Syi'ah pun begitu terus: sulit akurnya, pakai sangat. Entah dalam hal kekuasaan, ilmu, dan lain sebagainya. Hal ini penulis rasa tidak lepas dari asal muasal Syi'ah sebagai parpol. Sejak menyebut politik, apa hal yg bisa langgeng akur atau musuhan? Tergantung situasi. Disamping hubungan yang sulit akur, banyak hal dari Syi’ah yang disumbangkan untuk khazanah Islam, entah budaya atau hal keilmuan. Syi'ah, meski menurut Sunni menyimpang, tetap dalam koridor Islam. Satu yang pasti, meski tak setuju dengan khulafaur rasyidin selain Sayyidina Ali kw bahkan cenderung menghujat, tetap saja syahadat. Syarat masuk Islam yang utama adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya, lainnya bisa menyusul. Begitu juga yang penulis baca dalam literatur lama, bahwa Syi'ah masih bagian dalam Islam.
Lalu semua berubah dengan #Syi'ahBukanIslam.
Kebencian yang luar biasa merebak. Alasannya banyak, kalau dihitung jari kaki tangan tak akan cukup. Diantara semua alasan itu, jika diresapi, maka akan terasa bumbu kebencian. Bagi yang pernah mengaji tentang relasi Sunni-Syi'ah sebelumnya, maka akan mengernyitkan dahi tanda heran. Bagaimana mungkin alasan ini itu menjadikan mereka kafir?
Politisasi sangat kental dalam kampanye #SyiahBukanIslam. Bagaimana tidak, sangat terlihat dari siapa yang menghembuskan isu ini. Antek-antek Islam Transnasional yang menggeber isu ini sedemikan rupa. Yang mana? Baiknya pembaca menganalisa sendiri, siapa yang paling diuntungkan atas isi ini. Tapi yang jelas, golongan non-muslim tertentu yang diuntungkan. Mengapa? Karena ukhuwah islamiyah menjadi keropos karena kampanye omong kosong ini.
Bentuk dari kampanye ini seperti humor gelap. Lucu tapi mengerikan, seperti Pulp Fiction milik Tarantino. Ada sisi lucu yang kita bisa tertawakan dari gerakan ini, namanya pun catchy, misal Aliansi Anti Syi'ah (ANNAS) dan Komunitas Anti Syi'ah (KASIH). Tapi mengerikan melihat beringasnya umat ini, begitu besarnya membasmi ciptaan Gusti Allah, caranya pun beragam. Yang paling gres adalah cap agenda Syi'ah pada kunjungan Grand Syeikh Al Azhar tempo hari, bahkan ada yang sampai merasa perlu edit foto Grand Syeikh berciuman dengan Paus Koptik Mesir. Epik bukan humor gelap ini?
Alih-alih mengurusi aqidah kelompok lain, alangkah indahnya jika mengurusi aqidah dan akhlak diri sendiri dulu. Pernah penulis tanya, pendukung kampanye ini kebingungan ketika ditanya bagaimana aqidahnya sendiri. Ini bukan menjadi guyonan, tapi urusan serius, betapa mengerikan beragama di zaman sekarang. Sedih jika pendukung tagar ini, yg banyak mahasiswa pegiat dakwah, hanya menjadi tong kosong kelompok tertentu: supaya gaungnya keras. Bukan bermaksud kasar, tapi demikian keadaannya, pun penulis berharap anggapan penulis salah. Berhati-hati harus, berlebihan itu tak perlu.
Jika kita sendiri belum tentu masuk surga, untuk apa ribut aqidah akhlak orang lain?
0 notes
Text
Bahagia Milik Kita, Benar-Benar Milik Kita
“Tukang sayuran senang peroleh untung tiga ribu. Tukang daging senang peroleh tiga puluh ribu. Tukang kambing senang peroleh tiga ratus ribu. Tukang sapi senang peroleh tiga juta. Bahagia itu kita sendiri yang merasakan, benar-benar hanya milik kita.”
Diatas adalah percakapan suatu malam antara Mbak Khalis Mardiasih, seniorku SMA, dengan Pak Rozaq, guru agamaku pula ketika SMA. Memang setauku beliau berdua erat hubunganya, tak ada satupun hanya orang biasa bagiku. Mbak Khalis, yang mendeklarasikan dirinya jomblo empat belas semester UNS di mojok.co, kukenal sejak LKP Himparisba, enam tahun lalu lebih sedikit. Aku tak pernah kehilangan rasa kagumku pada beliau ini, mulai dari cerewetnya sampai pemikiran beliau, dan tak lupa selalu peduli terhadap lingkungannya. Sedangkan Pak Rozaq beda lagi. Beliau kenal aku,sejak aku kelas tiga SD, entah berapa belas tahun dari sekarang. Teman bapakku bergelut di organisasinya pembela pewaris Kanjeng Nabi. Tegasnya minta ampun, tapi perhatian tak karuan dengan siswanya, lebih-lebih yang tak mampu.
Sebenarnya, aku ingin menulis bab tentang kebahagiaan ini sejak lama, sejak aku galau tempo hari, karena apa kalian tahu lah. Mungkin benar kata Paulo Coelho, penulis tak bisa menulis hal yang tak dilaluinya. Aku kudu bahagia duluan sebelum menulis tentangnya. Perkara apa aku bahagia? Intinya aku tak galau seperti tempo hari. Itu sudah cukup.
Aku, yang sok perhatian, mulai memerhatikan aspek-aspek yang membuat orang bahagia. Ternyata, parameternya banyak bedanya. Sejujurnya, kukira selama ini kebahagian menyinggung soal uang (duniawi betul ya orientasiku). Tak sepenuhnya salah, tapi patut dihujat. Banyak diantara kita, meski mulai menyusut, bahwa uang tak lebih dari sekedar kertas berwarna yang ditempatkan berbeda. Tak ubahnya mungkin, bagi orang-orang seperti itu, uang tak lebih dari kertas koran bekas.
Tentu masih banyak diantara kita (termasuk aku) yang menjadikan banyak sedikitnya uang atau materi menjadi patokan bahagia. Berapa banyak diantara kita yang pusing ketika kantong tipis. Aku baru membaca perkataan Almarhum Gus Dur: uang akan mengejarmu seperti mau, wallahu alam terkait sahih tidaknya perkataan tersebut. Tapi memang iya, rezeki tak harus sebegitu dipusingkannya. Cicak, makhluk yang gaweannya hanya menempel seharian di dinding pun selalu bisa makan, apalagi kita yang bisa membaca tulisan ini.
Mengejar kebahagiaan berasas roda dunia memang tiada habisnya. Selalu haus. Ya mungkin seperti ungkapan Kanjeng Nabi soal hausnya orang ketika sakaratul maut, tak habis jika air lautan ditumpahkan semua akan menghilangkan dahaganya. Entah tentang harta, tak tahu harus bilang apa aku.
0 notes
Text
Mengenai Islam Nusantara
Segala isi yang ditulis disini, seperti biasa, pendapat pribadi penulis. Dan masih seperti biasa lagi, penulis adalah amatiran di bidangnya. Menerima segala kritik dan saran adalah kewajiban penulis, malah penulis sangat sengan karena perhatian berlebih pembaca pada tulisan ini.
Islam Nusantara adalah penamaan pada Islam yang tumbuh di Nusantara. Sangat asyik untuk dibahas, tentu banyak pujian, meski tak kurang pula ketidaksetujuan bahkan hinaan. Asyik dikarenakan namanya indah, sangkutan dengan agama yang rahmatan lil alamin serta Nusantara yang sebenarnya berbau Hindu, karena masa lalu bangsa ini toh pernah Hindu-Budha. Tidak setuju sebab ketakutan mengkotak-kotakan dengan Islam yang lain, padahal Islam ada dimana-mana, dan ada hujjah lain yang cukup kuat. Yang menghina karena kurang tabayyun, kalau sial ya bodoh, sudah itu saja.
Terminologi ini muncul dan menyeruak menjelang Muktamar NU Jombang tahun lalu sebagai tema. Nusantara patut berbangga, karena kondisinya saat ini mayoritas aman sentosa, tak seperti di Timur Tengah yang tak kurang perang. Lihat saja, Suriah perang saudara yang tak kunjung beres ditambah olahan isu Sunni-Syiah, Mesir dengan ribut di Tahrir Square-nya, bahkan Yaman sekalipun yang sekarang kiblat Islam ramah ada masalah. Juga aspek pengajaran ilmu agama yang khas menjadikan Islam di Nusantara berbeda. Pesantren salah satunya. Asalnya dari jaman Hindu ketika para murid tinggal di rumah “Kyai” untuk belajar agama, begitu juga model pesantren yang penulis ketahui. Pun Nusantara yang bersandar pada Islam, bukan sebaliknya (mengerti, kan?), dawuh Kyai Mustofa Bisri. Melihat demikian, patutlah Islam Nusantara dikibarkan. Kurang baik apa?
Timbullah penolakan darimana-mana. Salah satunya adalah kekhawatiran yang menjadikan Islam terkotak-kotak. Akan ada Islam jawa, Islam sini, Islam sana, dan sebagainya. Tentu tidak salah rasa demikian, bahkan Kyai Hasyim Asyari pun dalam sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU) perlu isyarah lebih dari sekali untuk mendirikan jam’iyyah ini. Khawatirnya sama: perpecahan umat. Waktu itu sudah ada Muhammadiyah dan Sarekat Islam, kalau tambah NU, bisa tambah lagi “kotaknya”. Juga ketakutan akan adanya anti-arab, padahal Kanjeng Nabi dari arab. Bukan hal aneh, kata Nusantara banyak kaitannya dengan atribut Kejawen (karena sentral Nusantara ada di Jawa).
Ketidakpahaman dan fitnah yang beredar makin maut saja hawanya. Untungnya, masih ada sedikit budaya tabayyun, alias menyelidiki atau bertanya, supaya jelas apa maksudnya. Kabarnya, beberapa waktu lalu para Habaib akan ke kantor PBNU untuk mengetahui Islam Nusantara dari Kyai Said sendiri, sebagai pencetus Islam Nusantara dan Ketua PBNU. Harusnya yang lain pun demikian, supaya tak asal main hakim.
Dengan segala ketidaksetujuan Islam Nusantara, Islam di Nusantara dengan segala damai dan adabnya, manis bukan? Kalah-kalah Markobar punya Gibran bin Jokowi.
0 notes
Text
“Tasawuf sebagai Kritik Sosial” dan Kyai Said Aqil Siradj
Sangat pertama, penulis menekankan bahwa tulisan ini dibuat oleh seorang amatiran baik dalam sisi menulis dan sisi agama. Artinya, penulis memang tidak kompeten untuk memberi komentar agama, karena bahkan penulis sudah lupa kitab jurumiyyah itu bagaimana. Kedua, penulis belum pernah sekalipun bertemu dengan Kyai Said, informasi tentang beliau hanya bisa penulis dapatkan dari tulisan-tulisan beliau, ceramah, serta wawancara beliau. Lalu, mengapa harus menulis? Karena penulis merasa kagum dengan beliau, dengan segala kontroversinya tentu.
Buku Tasawuf sebagai Kritik Sosial penulis dapatkan dari ayahanda menjelang Muktamar Jombang beberapa waktu lalu. Beliau tidak membacanya, jadi penulis membawa buku ini ke Samarinda dan dihabiskan pula dibaca di Samarinda. Banyak penulis temukan dari buku tersebut gagasan, yang sebenarnya sudah lama, relevan dengan keadaan sekarang. Di samping gagasan, penulis mengerti tentang tasawuf, lebih-lebih yang dikaitkan dengan sosial dan realita kekinian.
Menjelaskan tentang tasawuf secara umum, korelasi dengan kehidupan, sampai problem hidup kekinian. Buku ini luar biasa bagi penulis, dengan segala komentar negatif dari berbagai pihak. Kyai Said mengurai berbagai masalah dengan pendekatannya sendiri, mulai dari pendidikan sufistik, pluralisme, tak kurang tentang buruh dan judi sekalipun dibahas dalam buku ini. Intinya, bagi penulis, semua cocok dengan tagline buku ini: “mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi”.
Cukup mengena dari buku ini adalah sindiran untuk para hipokrit yang menjadikan agama sebagai tameng. Tasawuf tak pernah jauh-jauh tentang seni “menata hati”. Tentu, politisi hipokrit (kalau tak mau dibilang munafik) yang berusha memformalkan agama sebagai aturan baku bernegara dikritik habis di buku ini. Tentu, tak semua politisi yg menginginkan formalisasi syariat hipokrit, hanya sekedar ada. Penggunaan legitimasi agama sejak dahulu kala selalu ampuh, apalagi karena selalu mengatasnakaman Tuhan atas keputusannya? Tentu, akan ada keputusan-keputusan manusiawi goblok nan koyol yang bisa dibela dengan aturan itu.
Dan masih banyak lagi.
Telah penulis ungkapkan, buku ini mendapat banyak komentar. Sekali di-tabayun-kan tak cukup. Hingga dua kali: pertama 2009, kedua 2015. Sama-sama di Pondok Pesantren Sidogiri. Sebab musababnya berbeda, satu memang tabayun, dua protes karena yang dianggap salah dan Kyai Said tetap menerbitkan buku ini tanpa revisi. Penulis pun tak tahu bagiamana selesainya, tapi apakah satu bab saja mengurangi kebaikan buku ini? Seperti halnya noda kecil yang terciprat pada baju pembaca sekalian, bukan?
Kyai Said sangat penulis kagumi. Latar keilmuannya tak perlu lah kita pertanyakan. Doktoralnya di Universitas Ummul Qura Mekah lulus dengan Summa Cum Laude, disertasinya tentang tasawuf pula. Nah, melihat penelitian beliau, rasanya tak kurang ilmu jika beliau menulis tentang tasawuf. Kembali lagi. Dasar kepesantrenannya pun rasanya tak perlu ditanyakan. Ayahnya, Kyai Said Aqil, mendirikan Podok Pesantren Cikempek. Kyai Said pula dulu mondok di Lirboyo dan Al Munawir Krapyak, kemudian boyongan ke Mekah bersama istri, tak kurang lama, empat belas tahun beliau disana sampai anaknya kelahiran Mekah Semua.
Lamanya beliau di Makah tak membuat beliau terlihat “Arab”. Kesehariannya, Kyai Said memakai baju batik dan peci hitam khas Indonesia. Beliau berkata bahwa kita harus percaya diri dengan budaya kita, budaya Islam yang ramah salah satunya. Tapi pernah juga penulis melihat foto beliau memakai gamis putih ketika bersama Gus Dur dan Sayyid Alwi Al Maliki di kediaman Sayyid Alwi di Mekah (malahan Gus Dur pede saja memakai batik dan celana, keren ya?).
Lucu lagi, beliau dikabarkan anti-arab, karena konsep Islam Nusantara yang beliau kibarkan, mungkin juga karena tak pernah terlihat beliau memakai gamis atau atribut arab lain. Ditepis dengan beberapa pengakuan beliau terkait arab. Hal itu terbantahkan pula dari argumentasi beliau, tentang beragama dengan substansi, melebihi hanya baju luarnya saja.
Kedekatan beliau dengan Gus Dur pun sudah banyak beredar di masyarakat. Mulai dari langsung dimasukkan ke struktur NU sebagai Khatib Syuriah PBNU (jabatan tak main-main), sampai diramal sepuluh tahun kemudian, waktu itu 2001, akan menjadi ketua PBNU. Beliau terpilih menjadi Ketua PBNU 2010, meleset sedikit tentu bukan perkara.
Fitnah mengalir deras untuk Kyai Said. Isu liberalnya beliau ditepis dengan mudah: selalu menggunakan kata qala seorang imam untuk dijadikan dasar, sedangkan liberal sendiri mengartikan lepas dari segala pendapat imam dan ulama, bahkan mungkin Tuhan. Kabar beliau agen Syiah, ditepis pula, sampai di TV bahkan (walau terakhir kabarnya PBNU akan mengirim lima belas mahasiswa ke Iran). Sampai pelintiran tentang komentar jenggot, beliau jelaskan pula di satu forum, sampai ada satu video sendiri untuk konfirmasi.
Tapi, jika sudah benci, firman Tuhan-pun bisa dibantah, bukankah begitu?
0 notes
Text
Tentang hujan
Pagi ini hujan deras tanah dihantam air tak sengaja berokestra harmoninya tak terperi petrichor kalahkan wangi kopi
0 notes
Text
Sebenarnya, Kita Maunya Apa Sih?
Aku merasa tak ubahnya seperti ternak. Seperti kerbau. Banyak kebijakan kampus kudiamkan, padahal aku tahu itu cacat. Tak sedikit permasalah di “rumah”, kuacuhkan. Dalihku? Selalu sama: takut DO. Aku lebih nyaman berkoar di IOMS, “karena” yang entah tak tahu mengapa. Nyaman mungkin, atau lebih pas nya tak ada ancaman apapun meski aku berteriak lebih keras dari sangkakala.
Mahasiswa tidak seperti dulu itu pasti. Bukan lagi penggerak. Meski lebih mudah, petisi pakai change.org, tiba-tiba saja sudah sepuluh ribu tanda tangan untuk mas Roni UNJ tempo hari, ya bukan? Gerakan cukup pakai tagar, dan mungkin cukup bangga. Ya bagaimana, generasi ini generasi maya, semoga hasil gerakannya tak ikut maya, alias tidak nyata, bukan tidak ada tapi nihil.
Kalian sudah dengar belum, dagelan di Unnes tempo hari. Aku bukan anak Unnes sih, tapi ya kalau tidak dikomentari lucu. Habisnya bagaimana, gedung PKMU digembok mahasiswa. Iya, mahasiswa! Dengar sih asal muasalnya polemik Pemira, tapi kok sebegitunya. Mahasiswa menjegal mahasiswa. Dulu, dan sampai sekarang, mahasiswa lawannya ya kalau tidak Pemerintah ya Petinggi Kampus. Ini lucu, mahasiswa lawan mahasiswa. Becandanya kelewatan.
Aku loh masih ingat, awal aku di kampus Benua Etam ini. Demi pemira juga, saling hantam, secara harfiah. Ada yang menolak, kotak TPS Fakultasku dirampok dalam perjalanan, secara harfiah (lagi). Dan lucunya, karena salah satu basis masa adalah Masjid Kampus, maka agama jadi tameng untuk aktivisnya. Hebat bukan, Masjid untuk basis masa, jadi bolehlah bagi mereka (dan mereka sendiri yang melegitimasi) membawa-bawa Tuhan untuk berjuang (demi kekuasaan).
Dosenku seperti dewa. Selalu benar. Sulit didebat, atau aku terlalu lugu. “Sekali demo, kena DO” adalah senjata mutlak mereka. Padahal, tak pernah aku melihat dituliskan di buku aturan manapun. Dan hebatnya aku (dan seluruh kawan sekampus) percaya. Hebat senjata itu, tiba-tiba kampus senyap, hampir tidak ada aroma pergerakan.
Tidakkah heran, kawan? Dosen-dosen yang sudah sepuh saat ini tak jauh dari peristiwa Malari, salah satu torehan Mahasiswa Indonesia (yang entah emas atau merah darah). Secara logis, tentu ayah bunda kita di kampus-kampus kita tercinta (atau yang terpaksa kita cintai) memiliki daya dobrak tak kurang seperti aktivis di jamannya. Atau, setidaknya terbiasa melihat anak-anaknya demo. Kok tidak, ya? Malah ada guyonan kasar seperti di UNJ tempo hari? Padahal dengar-dengar Rektornya dahulu Mahasiswa Teladan, kok bisa sembrono begitu? Entahlah. Lalu, di FK Unmul (yang pasti kalian tertawa mendengarnya).
Aku berharap dosen, dan kawanku nanti jika sudah jadi dosen, tak lupa bahwa rahimnya pergerakan mahasiswa adalah mahasiswa kedokteran. Bukan Sospol, Ekonomi Bisnis, apalagi IT yang baru ada belakangan. Sejarah panjang selalu ditorehkan mahasiswa kedokteran rasaku, termasuk Hariman Siregar yang dedengkot Malari itu juga mahasiswa kedokteran. Untung ketua AIPKI sekarang salah satu dedengkot ISMKI dahulu, professor pula. Alhamdulilah aktivis. Semoga makin banyak aktivis ISMKI yang menjadi patron di kampus masing-masing nantinya (yang menulis berharap jadi dekan), lebih-lebih jadi Menteri Kesehatan (nah, ini penulisnya juga ngarep).
Gie bilang murid bukanlah kerbau, dan guru bukanlah dewa. Itu ditulis abad lalu, ketika Indonesia masih dipimpin pak presiden yang istrinya banyak (cantik lagi) itu. Gie, generasi mahasiswa yang tumbuh di masa masa mencekam negara ini (sampai kemana mana bawa revolver), menjadikan dirinya legenda. Seakan-akan, bukan MAHAsiswa betulan kalau belum baca memoarnya.
Aku takut generasiku generasi guyonan. Generasi mahasiswa kerbau, yang hanya menurut dengan segala keadaan. Takutnya bukan saat ini, disaat dosen kami membuat kebijakan tanpa melibatkan kami dan kami hanya melenguh, eh mengeluh di belakang. Aku lebih takut keadaan di depan, ketika kami dipasrahi estafet bangsa ini, kita hanya akan mengangguk pada semua bangsa, tak perlu adidaya macam Paman Sam, atau negaranya James Bond, Singapura saja kita manut.
Takut juga, demi apapun juga generasiku besok saling tikam, demi kekuasaan. Bayangkan, generasi ’98 saja yang buat Pak Harto hengkang dari Istana Negara (yang sebenarnya tidak boyongan dan tetap di Cendana) bisa barengan sekarang embuh piye karepe, apalagi generasiku sekarang, yang demi Pemira saja jadi guyonan.
Aku berdoa saja, bukan kerbau yang memimpin negara ini nanti. Kalau generasiku kerbau semua, skip saja.
Catatan: yang gembok PKMU Unnes katanya orang KAMMI, dan ya aktivis Masjid Kampus kalian tahu siapa lah…
0 notes
Photo

Tahun ini ke tenggarong beda susunan team, destinasi juga ada yg beda. Brur, kapan ke bontang? Terus ada yang nanya: mas, di-bayclean ya kok putih banget? (di Tenggarong Kutai Kartanegara)
0 notes
Text
Cekikikiki
buffer nih!
Sejatinya, keterangan “Added you by phone number” adalah sesuatu yang cukup membuat gonjang-ganjing, apalagi jika kenyataan itu didapatkan pada salah satu akun orang yang pernah menjadi sorot utama. Pun, kadang bisa menunjukkan bahwa orang-orang dari masa lalu masih saja menyimpan kontakmu. Entah secara sengaja atau tidak. Entah untuk berjaga ketika suatu hari menghubungimu saat menanyakan kemanakah alamat yang bisa dikirim sebuah undangan walimahan mereka, atau hal lainnya.
Sama halnya dengan last seen, online, dan typing yang dapat menunjukkan, ah sudahlah, sudah. Cukup.
4 notes
·
View notes