spotify: https://open.spotify.com/playlist/2UpjGvEPdMxXNinRhWomkR?si=NO3F4WjGRwmo97TR4i1EBAr.com
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Tiap amal baik dicatat sama Allah, tiap niat baik pun juga dicatat, niatkan hari ini utk ibadah full karena Allah..
4 notes
·
View notes
Text
“Kamu bisa saja bilang itu hal biasa, padahal di situ aku taruh hatiku sepenuhnya.”
18 notes
·
View notes
Text
Jeritan itu menjadi saksi detik-detik terakhirnya, saat tubuhnya terkulai tak berdaya, napas tersengal, dan matanya menatap kosong. Tiada yang tersisa selain penyesalan, detik-detik sebelum nyawa terputus dari jasadnya.
Siapapun dia, apapun kedudukannya. Ketika mereka lahir, ia akan berusaha menggenggam sebanyak yang ia bisa.
Namun ketika mati, tidak akan ada lagi yang dapat digenggam selain penyesalan atas perbuatannya semasa hidupnya.
"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.”
(QS. Qaf: 19)
Manusia lahir dengan menggenggam harapan, jatuh bangun berlari mengejar dunia, namun ketika kematian tiba, mereka tidak dapat menggenggam apapun kecuali penyesalan atas amal yang sia-sia.
“Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja…”
(QS. Al-Mu’minun: 99-100)
4 notes
·
View notes
Text
"Boleh jadi, keterlambatamu dalam suatu tujuan, adalah keselamatan.
Boleh jadi, tertundanya keinginanmu adalah suatu keberkahan."
29 notes
·
View notes
Text
Maka dari itu, jangan bermindset hidup di atas pertanyaan orang-orang…
Ndak akan ada habisnya..
3 notes
·
View notes
Text
"أنا أريد وأنت تريد والله يفعل ما يريد "
Saya punya keinginan, kamu juga punya keinginan, tapi yang berlaku adalah keinginan ALLAH.
Never give up!
13 notes
·
View notes
Text
Buat yang lagi galau mikirin uang pangkal sekolah anak, sini rehat sini dulu Pak..
Kita ngopi..ngobrolin isi hati..
Emang sih pak, hati kita berat banget mikirin kebutuhan anak yang ngga habis-habis.
Apalagi di bulan² yang lagi banyak²nya yg harus di cover terkait pendidikan anak 🥲
Tapi tak bisikin pak, doa yang selalu bikin kita tenang:
✨✨ “Allahumma ikfini bi halalika ‘an haramika wa aghnini bifadhlika ‘amman siwaka.” ✨✨
“Ya Allah, cukupkan aku dengan yang halal dari-Mu sehingga aku tidak membutuhkan yang haram, dan kayakan aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak membutuhkan selain Engkau.”
Baca ini pelan-pelan ya pak, tarik napas, sambil yakin Allah pasti kasih jalan!
Kita udah usaha, doa, sekarang tinggal tawakkal aja.
Insya Allah, rezekinya datang dari arah yang ngga disangka-sangka.
Ok, gas lagi pak!
17 notes
·
View notes
Text
Sering dengar pepatah Cina mengatakan;
"Di dunia ini, tidak ada makan siang gratis"
9 notes
·
View notes
Text
PERIHAL RICUH DENGAN SAUDARA SENDIRI
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ikhwah Fillah, mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenung bersama. Bukan untuk saling menyalahkan atau menuding, tapi untuk mengukur kembali sejauh mana kepedulian kita sebagai seorang muslim yang ingin menjadi baik. Menyorot long march to Gaza.
Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa tinggal dan belajar di Mesir bukanlah alasan untuk bertindak semaunya. Kedekatan geografis dengan Gaza tidak otomatis membuat kita bebas dari tanggung jawab dan risiko. Jangan sampai kita merasa punya keistimewaan yang menjadikan kita lupa batas. Kita tetap terikat oleh etika dan amanah sebagai umat Islam.
Kita sering bertanya dalam hati: Apa yang sebenarnya kita harapkan dari para aktivis kemanusiaan itu? Kalau kita saja belum mampu melakukan seperti yang mereka lakukan — menanggung risiko, mengorbankan waktu dan harta, bahkan nyawa — lalu pantaskah kita menuntut lebih dari mereka? Ironisnya, justru ada orang-orang nonmuslim yang berani melakukan hal yang seharusnya kita lakukan sebagai muslim. Mereka turun tangan, padahal tidak ada kewajiban syariat bagi mereka. Lantas, ketika mereka diam, kita merasa tenang. Dan ketika mereka bertindak, kita merasa terganggu.
Kita sedih. Kita benar-benar sedih. Karena kenyataannya, masalah umat ini banyak berakar pada pemikiran. Kita sering belajar akidah, tapi masih juga dikuasai cinta dunia dan takut mati. Padahal Rasulullah SAW sudah mengingatkan, kehancuran umat terjadi karena hubbud dunya wa karahiyatul maut. Sedangkan mereka — yang mungkin tidak mempelajari akidah — justru tahu bahwa kezhaliman ini harus dihentikan.
Kalau kita kembali ke kondisi kita sekarang, bisa jadi ini adalah tamparan dari Allah agar kita sadar: kita lemah. Kelemahan membuat kita tidak punya pilihan. Kita ribut karena tidak punya opsi. Andaikan umat Islam saat ini cukup kuat. Andaikan militer dari negara-negara besar seperti Mesir, Turki, atau Saudi Arabia bersedia bergerak, mungkin kita tidak perlu berdebat dan saling menyalahkan. Tapi semua ini terjadi karena kita belum mampu. Kita masih lemah.
Bukan berarti kita ingin menyalahkan siapa pun. Tapi bukankah kesedihan itu boleh? Kecewa itu manusiawi. Maka ketika ada saudara-saudara kita yang kecewa lalu menyampaikan kritik, jangan langsung dimarahi atau direndahkan. Ada yang membela Mesir sampai mencela mereka yang protes. Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan para aktivis yang sudah berhari-hari duduk di perbatasan Rafah, tanpa tahu harus berbuat apa?
Coba jelaskan pada mereka — yang datang dengan dana pribadi, yang menginap di tenda-tenda, yang menangis karena ingin membantu sesama Muslim di Gaza. Apakah mereka layak disalahkan hanya karena mereka kecewa?
Kita harus ingat: orang lemah memang tidak punya banyak pilihan. Kita terlalu sering menilai orang dari keputusan akhirnya, tanpa melihat opsi-opsi sulit yang ia hadapi. Sebagian orang menuntut pemerintah Mesir untuk membuka perbatasan, untuk mengerahkan militer. Tapi mungkin mereka tidak tahu bahwa Mesir tidak sekuat yang dibayangkan. Mungkin ada tekanan, ada risiko besar yang kita tidak tahu. Maka keputusan yang terlihat "pasif", bisa jadi diambil dari keterbatasan opsi.
Sebaliknya, mereka yang membela Mesir juga perlu melihat dari sisi para aktivis. Mereka dihadapkan pada dua pilihan: duduk diam sambil menyaksikan pembantaian setiap hari, atau nekat maju mengantar bantuan walau bisa jadi kehilangan nyawa. Itu satu-satunya opsi yang mereka punya. Maka jangan buru-buru menilai mereka salah.
Ketika para aktivis datang ke Mesir, mereka datang dengan harapan. Mereka ingin menyalurkan bantuan melalui Rafah. Karena Rafah dan Gaza itu bersisian, sangat dekat. Tapi akses itu tertutup, dan mereka hanya bisa menangis.
Teman-teman sekalian, mudah-mudahan apa yang kita bicarakan ini bisa jadi bahan perenungan bersama. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari kesalahan dalam niat dan langkah. Tapi mari kita pertegas: perbedaan pandangan di antara kita tidak boleh melunturkan rasa kasih sayang sebagai sesama Muslim. Palestina seharusnya menjadi titik temu, bukan alasan untuk berpecah.
Silakan berbeda pendapat. Tapi jangan sampai perbedaan itu melahirkan kebencian atau penghinaan. Orang yang sedang kecewa justru perlu dihibur dan dipeluk, bukan diserang.
Mudah-mudahan ini menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi mereka yang tulus mencintai Palestina. Tidak ada satu pun amal kecil yang luput dari pandangan Allah. Siapa pun yang peduli pada Gaza, walau hanya dengan doa dan air mata, pasti akan menempati tempat istimewa di hati orang-orang beriman.
Kita semua ingin menjadi muslim yang baik. Kita tidak ingin membuat kubu, apalagi memusuhi sesama. Sejak peristiwa 7 Oktober, sejak pembantaian di Gaza, kita telah bertekad untuk tidak menciptakan perpecahan baru. Kita malu pada mereka yang sedang berjuang langsung di medan krisis.
Maka siapa pun di antara kita yang masih peduli pada Palestina dan Baitul Maqdis, mereka adalah saudara seiman yang sangat kita cintai. Dan insyaAllah, meski berbeda cara dan pandangan, kasih sayang antar sesama Muslim adalah satu hal yang tidak bisa ditawar.
Barakallahu fiikum. Semoga Allah satukan hati-hati kita, teguhkan langkah kita, dan perkuat persatuan umat ini. Jangan biarkan kita kembali terpecah. Bahkan mereka yang jauh dari agama sekalipun — para pendosa, pelaku maksiat, transgender, kriminal, bahkan yang tidak beriman — jika mereka menunjukkan kepedulian pada Palestina, mereka tetap saudara kita dalam kemanusiaan.
Apalagi mereka yang bersyahadat, yang mengucap: ashhadu alla ilaha illallah wa ashhadu anna Muhammadar rasulullah. Sudah selayaknya kita rengkuh dan rangkul.
Semoga Allah izinkan kita semua, bersama-sama, suatu saat menunaikan salat futuh di Baitul Maqdis. Aamiin ya Rabbal 'alamin.
Allahu musta'an..
0 notes
Text
Selama masih ada oksigen, sudah semestinya masih ada iman.
😌
7 notes
·
View notes
Text
“Hamba berkata, 'Hartaku-hartaku!'
Bukankah hartanya itu hanyalah tiga?
Yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan.
Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan. ”
(HR. Muslim no. 2959)
12 notes
·
View notes
Text
Dalam khutbatul wada' nya, Rasulullah ugi ngendikan;
Jangan lukai orang lain seperti orang lain melukaimu,
ingatlah bahwa kamu akan bertemu Allah dan kamu akan mempertanggung jawabkan amalanmu dengan sebaik-baiknya.
Sekali lagi,
"Jangan lukai orang lain seperti orang lain melukaimu"
27 notes
·
View notes
Text
Dulu Berfungsi Meretas Temu, Kini Beralih Menjadi Hiburan Semu.
Ingat kan ya, awal mula muncul medsos? Media sosial. Dulu, hadirnya begitu solutif untuk menyambung silaturahmi. Ia seperti jembatan kokoh yang menyambungkan hati ke hati. Kita berteman, berbagi kabar baik, saling menasihati dalam kebaikan, dan merasakan suka duka bersama. Facebook, Instagram, bahkan yang dulunya bernama Twitter, semua hadir dengan niat mulia: agar manusia bisa saling terhubung, menguatkan tali persaudaraan. Indah, bukan?
Panggung Dunia Maya, Lupa Keluarga Nyata
Tapi kini, coba kita jujur pada diri sendiri. Media sosial hari ini rasanya sudah jauh berubah. Ia bukan lagi taman persahabatan, melainkan panggung raksasa. Kita lebih sering jadi penonton, bukan lagi pelaku yang aktif bersilaturahim. Dari yang tadinya personal, kini hiruk pikuk dengan konten viral. Dulu niatnya menyapa teman, sekarang malah lebih sering scroll akun yang tak kita kenal. Ini bukan sekadar dugaan, Saudaraku. Bahkan petinggi Meta, Mark Zuckerberg sendiri, mengakui terang-terangan bahwa era media sosial yang dulu kita kenal sudah berakhir.
Dalam kesaksiannya, Zuckerberg menyampaikan data yang mestinya membuat kita terhenyak: hanya sebagian kecil konten yang kita lihat di Facebook dan Instagram berasal dari teman-teman kita. Selebihnya? Kiriman acak dari algoritma, dari para seleb, pelawak, beauty vlogger, sampai penjual sandal. Subhanallah, betapa kita lebih sering "bersilaturahim" dengan mereka yang tak kita kenal, ketimbang dengan saudara atau sahabat sendiri.
Meta kini bukan lagi bersaing dengan sesama platform sosial, melainkan dengan platform hiburan. Ini menunjukkan bahwa arahnya memang sudah bergeser. Beranda kita sekarang penuh video pendek, motivasi instan, lelucon yang cepat berlalu, dan potongan podcast viral. Kita memang terhibur, iya. Tapi apakah kita benar-benar terhubung? Jawabannya seringkali: tidak.
Terjebak Algoritma, Lupa Sapa Sahabat
Dulu, kita buka Facebook untuk melihat kabar teman lama, mengucapkan selamat ulang tahun, atau mengenang masa sekolah. Hari ini, kita buka Instagram, lalu apa yang muncul? Cuplikan "drama pasangan seleb TikTok" atau curhatan acak dari orang yang entah siapa. Interaksi pun berubah. Komentar lebih banyak di akun publik, bukan di dinding teman sendiri. 'Suka' dan 'tayangan' mengejar viralitas, bukan ketulusan dan kedekatan. Algoritma terus mendorong kita menonton, padahal hati kita rindu mengobrol.
Hasilnya? Kita semakin banyak melihat konten, tapi semakin jarang terlibat dalam hubungan sosial yang nyata. Para ahli menyebutnya “pergeseran dari koneksi ke konsumsi.” Awalnya media sosial itu tentang kita, tentang jalinan hati. Sekarang, ia tentang mereka, para kreator, selebgram, atau tokoh online yang menarik perhatian. Media sosial kini seperti televisi baru. Kita hanya penonton, dan yang tampil hanyalah mereka yang cukup menarik bagi algoritma. Bahkan, scrolling kita pun kini bukan lagi pilihan hati, melainkan arahan dari platform agar kita betah lebih lama.
Kita seolah terkurung dalam algoritma yang tahu persis apa yang membuat kita tertarik. Tapi dalam prosesnya, kita lupa untuk bertanya kabar sahabat. Kita lupa siapa yang sedang sakit, siapa yang menikah, atau siapa yang diam-diam kesepian, karena semua itu tertimbun oleh video viral yang terus berganti. Padahal, peduli pada sesama adalah akhlak mulia yang dicintai Allah.
Pilihan Kita: Penonton Pasif atau Perajut Hati?
Apakah ini salah? Tidak sepenuhnya. Dunia ini bergerak, kebiasaan berubah. Dan tentu saja, perusahaan media sosial harus beradaptasi. Konten hiburan memang bisa memberi kesenangan instan dan membuat orang betah. Tapi pertanyaannya, Saudaraku: apa yang kita korbankan dalam proses ini? Apa yang tergerus dari nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan kita?
Seorang sosiolog digital dari Stanford, Prof. Jonathan Haidt, menyebut fenomena ini sebagai “komunitas semu.” Kita merasa dekat dengan orang yang kita tonton tiap hari, tapi sebenarnya tak mengenal mereka. Kita punya ribuan followers, tapi bingung minta tolong kalau motor mogok di jalan. Jangka panjangnya, kita bukan hanya kehilangan koneksi, tapi juga rasa memiliki. Media sosial mestinya menjadi tempat kita membangun makna, bukan sekadar menghabiskan waktu.
Kita tidak harus uninstall semuanya. Tapi kita bisa mulai memakai media sosial dengan lebih sadar dan bijak. Cek kabar teman lama. Balas story teman yang terlihat sedih, hibur hatinya. Buat grup kecil dengan sahabat dan jaga komunikasi rutin. Kurangi konten yang membuat kita membandingkan diri atau memancing iri hati. Atur waktu scrolling. Bukan karena kontennya buruk, tapi karena hidup kita juga butuh ruang nyata, ruang untuk beribadah, berinteraksi dengan keluarga, dan merenung.
Dan kalau kita seorang kreator, jangan hanya mengejar viralitas. Bangunlah komunitas. Bangun ruang aman tempat orang bisa menjadi dirinya sendiri, saling mendukung, dan menguatkan. Karena yang kita butuhkan bukan cuma konten yang menarik, tapi koneksi yang menguatkan hati. Mark Zuckerberg mungkin benar, era media sosial lama sudah berakhir. Tapi bukan berarti kita harus pasrah. Justru sekaranglah saatnya kita memilih: apakah kita mau jadi penonton yang terus dibentuk algoritma, atau pengguna yang kembali merajut koneksi sosial yang hangat dan bermakna?
Yang perlu kita sadari betul, media sosial bukan musuh. Tapi jika tak kita kendalikan dengan iman dan akhlak, ia bisa menjauhkan kita dari hal paling esensial dalam hidup: manusia lain. Jangan sampai, di dunia yang semakin terkoneksi, kita justru makin sendiri, merasa hampa dalam keramaian semu.
6 notes
·
View notes
Text

Kita tahu bahwa "Teko hanya menuangkan apa yang diisikan ke dalamnya". Diisi air putih, teko akan menuangkan air putih. Diisi teh, air tehlah yang akan keluar, demikian dengan sirup, dan seterusnya.
Diri kita ini sesungguhnya amat mirip dengan teko.
Kita hanya akan mengeluarkan (dalam bentuk kata dan tindakan) apa yang masuk ke dalam kepala kita. Jika kita memasukkan ilmu & inspirasi ke dalam kepala kita, kita akan berbagi ilmu & inspirasi pula. Sebaliknya, memasukkan sampah ke dalam kepala kita, sampah pula yang akan kita keluarkan.
Dengan begitu kita ada santun dalam bersikap, ada maklum dalam interaksi, dan dewasa dalam nasehat.
Doakan supaya terus mendekatkan diri dengan Sang Maha Mengetahui, sehingga bisa mendapatkan banyak inspirasi yang akhirnya bisa terus berbagi.
10 notes
·
View notes
Text
Seperti halnya yang sudah-sudah. Pepatah selalu bilang.
"Air yang jauh tidak bisa memadamkan api yang dekat"
6 notes
·
View notes
Text
Intip Goreng
---
"Bu, intip ini harganya berapa ya?" tanyaku pelan.
"Enam ribu, Nak," jawab seorang perempuan sepuh dengan senyum ramah.
"Saya beli satu bungkus saja, ya Bu... boleh kan?" ucapku sambil tersenyum.
Perempuan itu terkekeh kecil sebelum menjawab, "Lho, ya boleh, Nak. Kalau cuma minta pun akan saya kasih. Apalagi ini mau beli. Alhamdulillah…"
Entah kenapa, jawabannya membuat dadaku terasa hangat. Tanpa banyak bicara lagi, saya membeli sebungkus intip goreng manis.
Saya keluarkan selembar uang lima puluh ribu rupiah. Ia menatap uang itu sebentar, lalu mengangkat wajah memandangku, matanya teduh, sebelum berkata lirih, "Ada uang kecil saja, Nak?"
Saya mengangguk sambil tersenyum. Lalu saya keluarkan selembar lima ribuan dan dua ribuan. Ia menerimanya, mengambil selembar seribuan untuk kembalian, dan menyerahkannya kepadaku sambil berkata, "Terima kasih, Nak..."
Saya membalas, "Sama-sama, Mbah."
Pelan-pelan ia memasukkan uang ke dalam dompet plastik coklat yang sudah aus, resletingnya rompal di sana-sini.
Namun sebelum ia menutup dompetnya, saya sodorkan lagi lembaran lima puluh ribu yang tadi sempat saya keluarkan.
"Mbah, uang ini sekalian saja dimasukkan ke dompetnya ya..." ujarku.
Ia terkejut, "Lho, tadi kan sudah bayar, Nak..."
Saya tertawa kecil. "Iya, memang sudah. Yang ini untuk panjenengan, Mbah."
Ia tertawa lebar, bahagia. "Maturnuwun... maturnuwun... maturnuwun, Nak... rejeki."
Tiba-tiba, dengan semangat, ia memanggil seseorang.
"Jaaaah... Jaaaah... sini nak, kemarilah..."
Seorang perempuan yang lebih muda, penjual camilan kering, bangkit dari duduknya, menghampiri.
"Ada apa, Mbah?" tanyanya.
Dengan riang, si simbah menyodorkan selembar lima ribu rupiah yang diambil dari dompet plastiknya, seraya menunjuk ke arahku.
"Iki lho... tak wenehi bagian... rejekimu... dari anak ini."
Melihat itu, saya tertunduk, menahan rasa haru. Saya bahkan tak begitu jelas mendengar ucapan terima kasih dari perempuan bernama 'Jah' itu.
Dalam hati saya berbisik, "Alangkah mulia hati perempuan sepuh ini... sungguh luhur budinya."
Jarang sekali orang yang mampu berbagi secara spontan sebagai tanda syukur atas rejeki yang baru ia terima. Sungguh, jarang sekali…
1 note
·
View note