bebacotan-blog
bebacotan-blog
BACOTAN
10 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
bebacotan-blog · 3 years ago
Text
Memberi Makan Setan
Tumblr media
Ada seekor mahluk di dalam kepalamu.
Bentuknya tidak terlalu jelas, kurang lebih seperti asap gelap yang keluar dari knalpot truk tronton yang lalu lalang di jalan tol. Setiap kali kau bayangkan dirimu, setiap kali kau berkaca (baik literal maupun simbolis), setiap kali kau membayangkan dan merancang masa depan, ia menyeringai dengan taringnya yang kuning seperti warna margarine.
"Hah! Apa lagi ini?"Serunya dengan nada mengejek, suaranya seperti pintu yang berderit kekurangan oli
"Buat apa kau lakukan ini?"
"Tidak cukupkah segala kegagalan yang kamu lalui di masa lalu?" Ujarnya.
Lantas dimainkannya segala flashback tentang kegagalanmu. Tentang segala debat-debat dengan karakter-karakter busuk yang menghantuimu, tentang segala kejadian memalukan yang membuatmu ingin lenyap dari muka bumi. Terus berulang-ulang sampai keringat dingin menetes dari pelipismu.
"Lihat, lihat ini semua, masih mau kau taruh harapan untuk masa depan?"
Dahimu merengut, semangat mengkerut, otot-otot mu terasa seperti mie instan yg megar karena terlalu lama didiamkan. Ada rasa getir menyelinap di dadamu, menusuk seperti serpihan kayu yang menonjol di sisi meja murahan di warung mie ayam seadanya di persimpangan jalan.
Mahluk-mahluk seperti ini yang hidup dalam kepala kita, badannya menggemuk memakan segala kekhawatiran, dan getir-getir nya memusnahkan harapan. Semua hal yang seharusnya baik terasa seperti beling, dan semua hal yang buruk terasa seperti anak panah yang bertancapan di punggungmu.
Sambil berteriak-teriak, dicabik-cabiknya semangatmu.
"SAMPAH, INI SEMUA SAMPAH!""CUIH! APA INI? ROMANSA MURAHAN, JANJI-JANJI PALSU!" "HAH! APAPULA INI? SEKEDAR ANGAN ANAK KECIL NAIF YANG TIDAK MUNGKIN TERCAPAI!"
Dan semakin besarnya mahluk itu, semakin kusut pikiranmu, semakin lemah syaraf-syarafmu, semakin renta jiwamu.Aku bisa melihat semua itu terjadi dikepalamu. Merusakmu dari dalam. Membunuhmu perlahan.
Aku tahu, kamu pun tahu, bahwa mahluk itu hanya bayangan. Sisa-sisa peninggalan purba manusia zaman batu yang hidup dalam situasi yang penuh ancaman. Sebuah taktik bertahan yang turun temurun diwariskan; dari gen ke gen, turunan ke turunan, sampai ia berubah menjadi semacam kelenjar purba yang selalu menyabotase masa depan.
Memang, ada semacam kenyamanan yang timbul dalam ketidak-mampuan, dalam kesedihan, dalam kerentaan. Seperti sebuah candu yang mengalir dalam pembuluh darah, menina-bobokan kita dalam remuk redam, demi sebuah rasa aman yang palsu, memaku kita dalam keputus-asaan.
Ia adalah bagian darimu, dan juga bagian dariku. Menolak keberadaanya adalah mustahil, tapi kita mampu, bila mau, untuk tidak bertekuk lutut dengan segala ulahnya.
Karena bagaimanapun juga, ia hanyalah bayangan semu.
Dan ia hanya mampu, bila kau mau.
0 notes
bebacotan-blog · 3 years ago
Text
Rayuan Pulau Kelapa
Kalau saya mati esok, apa yang akan terjadi? Siapa yang menangisi? Siapa yang tertawa? Siapa yang berduka, dan siapa yang bersuka-cita?
Kalau saya mati nanti, apa yang terbukti? Apakah hidup ini berarti? Apakah lepas semua beban hati? Siapa yang lega, dan yang menyesal dikemudian hari?
Kalau saya mati sekarang, kisah apa yang terkarang? Tentang masa lalu, jasa-jasa, hutang-piutang, segala warisan, baik harta maupun sengketa.
Setiap hari, setiap malam dan pagi, saya berpikir panjang tentang mati.
Dan walau ia pasti tiba, kadang rindu dibuatnya walau belum pernah bertatap muka.
0 notes
bebacotan-blog · 3 years ago
Text
I JUST WANNA BE HERE WITH YOU
Time, time is an assassin that sneaks behind us and stabs us with realizations of how behind we are from what we thought where and how we should be.
But who made the rules? Who in their right mind put themselves on a pedestal and dictates to the masses that this is what everyone should become and when, knowing the many variables and random (but not so random) incidents that leads one thing to another?
Splicing ourselves into a million pieces just to please invisible ghosts that was born out of necessity that might or might not be necessary in the first place, but then staged a coup d'etat inside our mind just because there's a certain demand of how we should or shouldn't be, and when.
Maybe one day we would realize of how futile everything is, of how meaningless all these struggles are, and how maybe we should just surrender to what we've become. I don't know, to be honest. Words betrays and thoughts deluded us.
All I know is that when the sun is high, I feel it's warmth. And there's no place better than here, and now, with you.
0 notes
bebacotan-blog · 3 years ago
Text
Catatan Seorang Migrant: Kenapa saya meninggalkan Desoner.
Sekitar 7 tahun yg lalu, saya datang ke Bali bukan untuk membuat benteng, membangun kerajaan, atau menyusun dinasti yang akan mengangkat saya menjadi seorang 'tokoh'. 
 Kalau boleh jujur, saya tidak tahu apa tujuan saya pertama kali saya datang ke Bali. Yang jelas, saya sudah merasa bahwa kota yang saya tinggali sebelumnya (Jakarta), maupun kota kelahiran saya (Bandung) bukanlah tempat yang cocok bagi saya untuk mengembangkan potensi yang saya punya.
 Dua tahun pertama saya di Bali (2016-2017), selepas luntang lantung jobless, saya kemudian mendapatkan kesempatan untuk bekerja di media: tahun pertama di The Beat magazine, dan tahun kedua di Bali Secret Life.
 Ketika saya bekerja di kedua media tersebut, saya membaca semacam pemetaan skena hiburan malam yang tidak sehat; bagaimana talenta lokal dibuang ke venue2 macam akasaka & bosche, dengan bentuk hiburan yang begitu-begitu saja. Diluar itu, semua talent di venue2 ternama lainnya terdiri dari  90% nama-nama expat. Ada semangat yg sama dengan venue-venue di Jakarta pada saat itu, kota yang saya tinggalkan; yang penting bule, kualitas nomer dua. Bahkan saya tahu beberapa venue yang secara tegas hanya menyewa talent expat.
 Sejalan dengan waktu, saya juga memperhatikan migrasi besar-besaran dari anak-anak muda yang bergerak di bidang kreatif dari kota-kota besar di Indonesia. Terhitung kurang lebih dari 2011 (atau mungkin dari sebelumnya) sampai sekarang, berbondong-bondong berpindahan lah anak-anak muda tersebut; memulai start-up, merintis karir di berbagai bidang kreatif, ada yang jadi DJ, VJ, Lighting Engineer, Sound Engineer, Event Organizer, visual artists, kurator, produsen merchandise, tattoo artist, memulai media elektronik sendiri seperti radio online, dan bahkan membangun venue-venue kreatif serta lain sebagainya.
 Para pendatang ini kemudian secara perlahan mulai bekerja sama dengan talent-talent lokal, bisnis-bisnis lokal, komunitas-komunitas lokal, dan memperkaya khasanah dunia hiburan dan seni kontemporer di Bali, walaupun terjadi sedikit penolakan terhadap kami:  dianggap mengambil jatah kerja warga lokal lah, dianggap sombong dan tidak mau bergaul dengan warga lokal lah, sok eksklusif, dan lain sebagainya. 
 Padahal, perjuangan yang kami lakukan untuk secara perlahan menginfiltrasi venue-venue hiburan di Bali tidaklah mudah. Dari menggotong-gotong alat DJ pinjaman dan hanya dibayar 800 ribu untuk 3 hour set, naik turun scaffolding untuk membuat instalasi visual dan kemudian mengooperasikannya sepanjang malam sampai pagi dengan bayaran yang tidak sesuai, mengerjakan konten2 video dan foto untuk dokumentasi event hanya untuk exposure, dan lain sebagainya.
 Terlebih lagi, ada pihak-pihak yang memanfaatkan issue soal pendatang ini untuk mengangkat nama mereka sebagai 'pembela hak-hak skena lokal' yang kalau kamu tanya saya, ini hanya omong kosong belaka. Terbukti dengan tidak adanya usaha dari mereka untuk mengangkat skena lokal yang dulu mendukung naiknya mereka, bahkan ketika mereka sampai ke kancah international. Festival-festival 'lokal' yang mereka buat pun akhirnya cuma menjadi ajang angkat ego, pembuktian eksistensi, dan usaha mereka dalam membangun aliansi-aliansi dengan misi mendiskreditkan 'musuh' mereka, yang kemudian terbukti bersifat divisive dan non konstruktif. Yang lucu adalah, dikemudian hari, apa yang mereka cela-cela di masa lalu, kemudian mereka lakukan sendiri: mencela venue A, tapi karyanya di display berbulan-bulan disana. Anti sama venue B, tapi toh kemudian showcase juga perform disana. 
Cuih!
 Namun diluar itu, harus diakui bahwa memang banyak kolektif-kolektif, baik pendatang maupun expat, yang sifatnya cenderung eksklusif dan elitist (dan mungkin juga ini terjadi tanpa mereka sadari). Dan harus diakui image ini juga dieksploitasi oleh beberapa venue di Bali; pekerja kreatif adalah anak-anak "jaksel" (as a stereotype, karena stereotype ini berlaku juga bahkan untuk anak muda dari kota-kota lain, bahkan Bali sendiri) yang bicaranya was-wes-wos dan selera musiknya mesti begini, gaulnya mesti begitu, dan kalau mau dianggap kamu mesti ikut gerbong si ini dan si itu. Ironis bahwa di kemudian hari venue-venue ini malah lebih fokus membawa talent luar negeri terus menerus. 
 Beruntung di kemudian hari, semakin banyak yang menyadari bahwa kuda-kuda seperti ini hanya mengkerdilkan perkembangan kolektif mereka secara khusus, dan skena keseluruhan secara general. Ini juga tidak terlepas dari usaha-usaha individu dan kolektif-kolektif yang mencoba mencairkan gunung es diantara kelompok-kelompok yang ada di Pulau Bali yang kita cintai ini.
Atas dasar pengalaman yang saya tuliskan diatas, adalah sebuah antithesis apabila kemudian saya harus turut mendukung kolektif yang secara terang-terangan mementingkan revenue dan ego kelompok dengan cara menginjak-injak usaha yang telah secara susah payah dibangun oleh pihak-pihak lain, dengan semangat kompetitif yang tidak sehat. Apalagi mengingat track records manajemen yang berantakan dan tendensi mereka untuk memandang talent lokal secara sebelah mata. Bila kolaborasi yang dibangun dengan pihak eksternal menjadi lebih penting dibanding dengan usaha untuk memajukan talenta-talenta yang ada di lingkar mereka sendiri, maupun talenta lokal yang berlimpah di sekitar mereka, tentunya wajar bila saya mempertanyakan kemana tujuan kolektif tersebut bergerak.
Akhir kata, apa yang saya pribadi perjuangankan kedepan adalah bekerja sama dengan SEMUA talenta yang ada di Bali secara khusus, dan Indonesia secara luas, baik warga lokal Bali, pendatang dari pulau-pulau lain, maupun pendatang internasional yang tinggal di Bali, maupun diundang secara khusus, demi perkembangan skena yang sehat, berkarakter, dan berkesinambungan. 
 Bali adalah Bali, bukan Berlin, bukan Ibiza, bukan Tulum, bukan London, bukan LA dan stereotype pusat-pusat party dan kultur anak muda dunia lainnya. Saya juga ingin mengangkat musik elektronik, club culture, serta semua elemen yang terlibat didalamnya, menjadi lebih dari sekedar hiburan. What would happen beyond the dancefloor? Itu pertanyaan yang saya ingin jawab, dan dengan hati yang bersih dan tangan terbuka, saya mengundang semua kawan yang tertarik untuk bersama-sama menjelajah this new frontier. Seperti yang kawan baik saya Doctoryez ucapkan, "udah waktunya cang, kita bersihin lagi skena nya dari segala drama-drama yang gak penting". And I couldn't agree more. 
Here's to a better future, together 🍻
5 notes · View notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
_
Being intentionally forgotten hurts. It places the forgotten as a nothing, a void, a ripped page in somebody’s life. But on the other hand, it also hurts the forgette, the ones who intentionally forgot. It denies them of their past, and in the long run, it confuses them of who they are and how they get where they are now, it denies them of all the gain they’ve had in that certain forgotten past. But face it, we can’t control everything. In the end, some people does remove you out of their life, like a cancer. But for me, to deny my past means denying who I am today. Now moving from a bad experience is necessary, but instead of forgetting, learn to truly move on. To look to the future with great hopes without forgetting that once, we were a part of something. And however bad it ends, it was once beautiful, and it is what makes us today. Peace is, after all, can only obtained through acceptance, not denial.
0 notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
HOW I LEARN TO DRINK YOUR VOMIT AND LIVE BETTER
We can live a life of disappointments. Especially here in Jakarta. Really, it's your right to do so. I mean, why not? we can always think of something to feel disappointed at in, I don't know, less than a nano second perhaps. Call it traffic, call it the people, call it the government, anything. And now, here we are, in this miserable place, feeling shitty. And thanks to social media, we can now projects it everywhere like Linda Blair's green vomit in the exorcist, just so we don't have to feel shitty alone anymore. Had a crappy day? Pour us your vomit. Had a lousy love life? Double it. You know, rant away and somehow, the burden is now collective. And somehow it is now becomes the norms, so I guess its okay. Maybe that’s what friends are for.
But see, here's the thing. If there's one thing that I can't stand, is that pompous feeling of having the moral high ground on stuff. I mean, ohhkay I get that some people have a high standard of living, and being in this dump of a city might not be up to it, but like I've mentioned earlier, here we are, in this miserable place, collectively feeling shitty. Why are we here in the first place? If you're so "above" the rest of us, why are you still here? There's gotta be something, right?  Other than family and friends, or your job and projects, or other pet peeves and vices, wouldn't there be something else that have kept us here all this time?
And to think about it, maybe that is the exact purpose of being here, in this shitty place, at this very moment. To search tirelessly for that thing that really tie us down to certain places, or this place to be exact. Because however fucked up this city is, that thing that tie us down might be a glimmer of hope. And if you ask me what is it, or where does it comes from, I don't know, it's always different for everyone.
Ironically, I think mine came from all those other people's vomit I've been drinking all along. You see, somehow those green vomit juices have priceless nutrition in them. It's called potential. And I guess living in this shithole city this long have turned me into a mutant, with a mutated digestion system that can digest poisonous rants into something that was actually useful, or even gold, sometimes. And its a good thing to have. That or a ticket outta this town.
0 notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
Ribut lama, Re-booth baru
Heboh-heboh soal Uber direcokin sama Organda, jadi inget, kayaknya rame-rame model gini kok ngulang-ngulang mulu ya..
Jadi gini, dulu tahun 2000, ada seorang sarjana fisika lulusan ITB yang ditangkap karena dituduh melakukan pencurian pulsa telepon, menggunakan jasa VoIP (Voice over Internet Protocol). Penangkapan tersebut didasari atas pengaduan dari Telkom, yang katanya rugi sampai Rp.450 juta dalam jangka waktu tiga bulan.  Si tertuduh, waktu itu dilaporkan dapat merubah percakapan telepon Internasional dengan pembayaran pulsa lokal.  Jaringan tersebut dikomersialkan kepada masyarakat melalui penjualan kartu khusus mulai dari harga Rp.100.00 sampai Rp.500.000 kepada ratusan konsumen. Yang lucu adalah, gw inget banget pada saat itu polisi nya sendiri bingung mau nangkep atas dasar apa, secara mereka sendiri (pada saat itu) enggak ngerti mekanisme VoIP dan dasar hukum atas penangkapan tersebut. Jadi, penangkapan itu sendiri murni atas desakan pihak yang merasa dirugikan, yakni PT Telkom yang memegang monopoli atas SLJJ. Tertuduh sendiri kemudian dibebaskan, sementara kasus kriminalisasi VoIP ini kemudian ngilang, karena terbukti tuduhan kerugian akibat usaha VoIP itu sendiri terbantah; Di bantu dengan komputer, secara umum teknologi VoIP menggunakan kabel milik Telkom & Indosat dan akses Internet melalui Internet Service Provider (ISP). Si pengusaha VoIP jelas harus membayar saluran komunikasi-nya (bisa kabel milik Telkom) & juga membayar akses Internet ke ISP untuk mengoperasikan VoIP. Semua pembayaran harus dilakukan secara sah & legal – tidak ada pencurian / penipuan disini.
Sementara pada kasus Uber, alasannya adalah, Uber dinilai melanggar aturan yang berlaku, yakni berpelat hitam namun melakukan pembayaran dengan sistem kilometer, serta masalah keamanan. Uber sendiri dianggap tidak memiliki badan hukum, walaupun setau gw sih ada ya, yakni Koperasi dengan nama Jasa Trans Usaha Bersama (UB). Jenis transaksi yang dilakukan pihak Uber sendiri merupakan jenis transaksi perdata, dimana kontak individu antara pengguna jasa dan penyedia jasa, yakni pengusaha rental mobil yang, baik data mobilnya maupun data pengendara nya, sudah teregistrasi di database uber sendiri. Dari sisi sistem keuangan, hal tersebut sudah terlindungi oleh undang-undang pemerintah tentang transaksi IT (UU RI No.11 2008, Bab V Pasal 17 s/d Pasal 22) . Desakan untuk melakukan "penertiban" ini sendiri datang dari dua arah: Satu sisi dari Gubernur DKI langsung, yang tahun kemarin sempat mengancam akan memecat kepala Dishub Jakarta, karena dinilai tidak tegas dalam menegakkan peraturan terkait transportasi di ibu kota (dan nyebut uber secara spesifik), kemudian satu lagi  adalah desakan dari Organda. Perlu diingat bahwa ketua DPP Organda selalu berasal dari salah satu big player bisnis transport di Indonesia (yang kemaren dari grup Lorena, yang sekarang boss-nya Bluebird).
Berasa gak benang merah nya?
1. Pemerintah enggak cukup cepet beradaptasi dengan teknologi dan perkembangan jaman, sehingga regulasi yang mengatur bidang-bidang yang tersentuh, terlambat turun. Ini kemudian berakibat terjadi gesekan antara pengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang tersebut.
2. Pengusaha yang berjalan dengan bisnis model lama, terlambat membaca peluang, kemudian khawatir atas ancaman model bisnis baru yang lebih menguntungkan konsumen.
3. Pemerintah yang gagal paham, kemudian memihak kepada pemain model bisnis lama.
Terus, mau GGAN (Gini Gini Aja Nih) ?
0 notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
Komodifikasi terror dan kekuasaan
Saya bukan aktivis. Saya bukan tokoh revolusioner, saya cuma pekerja lepas dengan gaji ngepas. Lima belas tahun yang lalu, saya pernah berurusan dengan yang katanya "hukum", dan berurusan dengan "hukum" itu harganya mahal. Bukan cuma masalah nominal, tapi kesadaran bahwa, selepas dari LP, kita tidak pernah benar-benar bebas. Kebebasan kemudian menjadi konsep yang absurd, sebuah fiksi yang tidak ilmiah. Perspektif ini yang kemudian saya bawa keluar dari  LP; bahwa sebenarnya, kita semua berada dalam sebuah penjara yang besar.  
  Dari apa yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri, saya berani jamin bahwa statement tersebut diatas benar adanya. Di dalam LP, kebutuhan akan uang yang seharusnya ditiadakan, dibuat-buat menjadi ada; harus bayar lapak, harus sewa kompor ( karena makanan "cadong" nya tidak layak makan kalau tidak dimasak kembali), harus sewa locker (kalau barang gak mau lenyap), dan lain-lain, dan lain-lain. Hal ini ternyata merupakan bagian dari politik "devide et empera" yang sengaja diciptakan oleh para sipir, mengingat jumlah sipir lebih sedikit dari jumlah tahanan. Kebutuhan akan uang inilah yang kemudian membuat para tahanan berebut satu sama lain, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan untuk melarikan diri, atau melawan sipir.
  Di dunia luar LP, hal yang sama pun saya rasa telah terjadi, namun disini, selain kebutuhan akan uang, terjadi juga pengkomodifikasin atas rasa "aman". Kebalikan dari rasa aman, seperti yang kita ketahui bersama, adalah terror. Sebagai warga negara, seharusnya kita berhak merasa aman dan terlindungi. Tapi jujur saja, sudah lama rasa aman itu tidak saya rasakan. Bahkan saat ini saya telah sampai disuatu titik, dimana saya merasa bahwa "terror" ini sudah terinstitusionalisasikan. Saya merasa, bahwa kehidupan saya di negara ini, alih-alih terlindungi oleh "hukum", pada kenyataanya saya justru diterror olehnya; setiap saat saya bisa diciduk, diperas, bahkan dihilangkan, dengan dalih "hukum" tersebut.
   Negara seharusnya dibentuk atas dasar konsensus bersama, yang didasari atas hak-hak universal manusia. Namun ketika hukum, yang seharusnya merupakan pengejawantahan dari konsensus tersebut, harus di "enforce" oleh sebuah "institusi khusus", bukankah artinya kesahihan konsesus tersebut patut dipertanyakan? Apalagi kalau "Institusi khusus" tersebut sudah korup nya dari hulu ke hilir. Artinya, siapa saja bisa jadi korban "institusi" dengan dalih "penegakan hukum". Issue-issue yang dipakai bisa bermacam-macam; "perang anti narkoba" lah, "anti-terror" lah, "penertiban warga" lah, apapun. Maaf, tapi ini semua tai kucing. Saya merasa, kita bahkan sudah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan, dimana konsensus yang diamini oleh masyarakat luas adalah, hukum bisa dibeli. Saya pun yakin, setidaknya satu kali dalam hidup anda, anda pun pernah menyaksikan atau bahkan mengalaminya sendiri; minimal bayar "sim gocap". Lantas rasa aman seperti apa yang diharapkan?
0 notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
Heartbreak
Sorry if this might comes out a little bitter.. but as a VJ, I've always came the earliest to the venue, brought projectors, laptops, numerous cables, hard discs, midi controllers, sometimes even overhead projectors, glass boxes, and home-made contraptions I've made my own. Then do my own setups: screens, installations and all that. Then afterwards, after everything was over and everyone's leaving home, pack up all the gears and equipments one by one. A lot of the time I've done this by myself. I used to lived in Bandung, and played on events in Jakarta. So there was a period of going back and fort between cities overnight, for events.
  I even learned to DJ too  (yes, learned to beatmatch also), just to know how and what should I pay attention to, music wise. Sometimes I even approach the DJ to ask what kind of music they would play at the event, the flow, mood, or mix-tapes for me to adjust to their playing. Some DJ's and event organizers return the favor, many doesn't. A lot of the time I've done this for free, because I loved the scene, back then. A lot of the time too, I don't get paid, even when there's a premise of payment. Many times, I've been paid less than a DJ who've only played like, 2 hour sets, while I've played the whole night.
  I trusted the scene, believed in it, pushed it anyway I can, even tried organizing events with friends. But the thing is, a lot of those who were a part of the scene itself, doesn't take it seriously, or so it seems. Call me foolish, or idealist, or anything, but I do dive in head first into what was my passion, back then. I don't have any other job, if people asked me what I do, I'd say "I'm a multimedia experimentalist, but you can call it VJ for short". Proudly.
  But then you know, politics happened. Being loud and opinionated has its costs. Not to mention that what was used to be a scene, is now an industry. And economically speaking, there's no place for idealism within it. Sadly, I've now been rejected by the scene that I've loved. Then again, who am I anyways, just some "additional support" for the DJ's, am I?
  Now what does today's DJ do? Demands clubs to have assortments of turntables and cdjs all ready steady on the venue? Bickering amongst yourselves about "which is a DJ and which is not"? Wow.. No wonder the so-called scene died.
0 notes
bebacotan-blog · 10 years ago
Text
Mungkin Gw Lelah
Kalo ngeliat orang-orang model Lulung yang blaga haji itu, atau Rizieq yg belaga habib itu, atau, ya lo sebut lah siapa "tokoh-tokoh masyarakat" atau pejabat yang sering koar-koar di media, gw tuh makin yakin kalo emang bener negara ini emang negara preman. Segala macem aturan hukum dan undang-undang itu apalah, cuma kosmetik biar dianggap beradab aja sama negara luar, biar bisa dagang. Dibawahnya? Bopeng. Kurap. Budug.
Kita liat sendiri deh: tentara buas ama rakyat sendiri, polisi gak fungsi selain tukang palak, kejaksaan korup jualan hukum, wakil rakyat centeng bagi-bagi jatah, karena ya partainya juga kelakuanya kayak geng. Sementara yang bener2 punya power buat ngapa2in ya emang beneran gangster. Tau kan siapa aja? Gw yakin buat nyebut nama aja gak banyak yg berani. Jujur aja, gw aja serem nyet.
Mungkin udah musti diterima aja ya, kenyataannya ya emang begitu. Semakin cepet kita bisa nerima ini, semakin cepet bisa ngatasin masalahnya dengan solusi yang tepat. Kita gak bisa pura-pura sakit flu trus minum obat flu trus berharap sembuh, padahal aslinya sakit kuning, misalnya. Dalam konteks ini, mungkin kita emang udah gak bisa pura-pura beradab. Pura-pura intelek. Atau mungkin enggak pura-pura ya, tapi menghadapi masalah ini secara delusional, seakan-akan solusi dari segala kebejadan ini bisa diselesaikan dengan "damai". Ngayal aja kata gw sih.
Gw ngomong gini bukan sok pinter, sok berani, jago-jagoan. Asli, gw sama aja ama sebagian besar orang sini. Takut. Bingung. Gamang. Haha hihi sambil aslinya udah gak tau mau dibawa kemana sih ini negara. Parno. Kalo lo buka lemari gw, isinya ada pisau 5 biji. Itu bukan pertanda jagoan. Itu pertanda siap-siap. Kalo ada apa-apa, gw gak bisa ngarep siapa-siapa buat lindungin gw, kecuali diri gw sendiri. Jujur, bukan hidup seperti ini yang gw pengenin. Ini pola pikir yg sakit jiwa, dan mungkin emang gw ( atau kita?) udah sakit jiwa semua. Moga-moga enggak ya.
Lantas ngapain gw nulis beginian? Cape bro, sis. Cape gw pura-pura bego. Cape dengan delusi intelektualitas. Cape ama dualisme kenyataan. Diajarin disekolah "A", begitu terjun ke masyarakat kita berhadapan dengan "X". Dibilangnya aturan resminya "B", tapi dilapangan kenyataanya "Z". Tai lah. Gw juga pengen waras kali?
 Fair aja lah ya sekarang. Open aja. Kalian yg punya power. Kalian, yang jawara-jawara. Kalian tuh maunya apa sih? Gak usah bawa-bawa tradisi adat ketimuran. Gak usah bawa-bawa akidah. Udah lah, open aja. Lo mau duit? Mau orang setor ama lo? Mau power? Buka aja langsung. Gak cape ya, acting 24/7? Basi tau nggak.
Dah ah, gak jelas.
0 notes