Tumgik
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 7
Kala pluto memutuskan 'tuk mangkir dari tatanan orbit, apakah ia salah? Saat bumi pilih rasuk di antara bulan dan matahari lalu cipta gerhana, apakah ia salah? ------
ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤPilihan. ㅤㅤHarapan. ㅤㅤKetetapan. ㅤㅤPenyelesaian. ㅤㅤApakah semua kesalahan? ㅤㅤ ㅤㅤ ----
"Eyang cuma mau Adhis yang ada di kamarnya."
Aku menahan sesak dalam dada. Kardia rasanya diremas menggunakan tangan kekar hingga rasanya dapat pecah kapan saja.
Satu-satunya wanita yang mendampingiku seiring perjalanan kehidupanku hanyalah Eyang Putri. Meski beliau tak berada di ruang yang sama denganku, kami kerap bertukar cerita melalui sambungan jarak jauh, terkadang hanya sekadar bertukar tanya sudah makan atau belum.
Lemah tuturnya, lembut tatapnya, dan hangat dekapnya membuatku jatuh cinta.
'Tuk menjaga hatinya, aku tak pernah mengungkapkan tabiat Bapak padanya. Selalu menguar dusta bahwa luka-luka di pahaku kudapatkan dari bermain di kebun.
Selalu menghadiahi bidah atas luka di lenganku (yang kusayat dengan pisau-pisau) dengan berkata aku baru saja mengerjakan pekerjaan sekolah.
Yang kumau hanyalah senyum Eyang Putri, kala kudapat memberikannya satu. Berat rasanya menahan 'tuk tak mengangkat ujung labium kala bersamanya.
"Ais, kok, nggak pernah senyum lagi? Eyangti kangen lihatnya ...."
Aku pula rindu diriku, Eyang. Aku rindu jadi diriku.
Aku ingat, Eyang Putri pernah berkata seraya mengelus helaian rambut panjangku, "Ais, di dunia ini tak ada apa-apa selain memilih dan dipilih. Jadi, Ais harus hati-hati dalam menetapkan pilihan, agar tak membuat orang lain salah langkah memilihkan sesuatu untukmu juga."
Maaf, Eyang. Aku memilih untuk menjadi orang lain dari pada diriku sendiri. Menyembunyikan senyum di balik datarnya ekspresi. Aku memilih 'tuk tak semakin menghancurkan Bapak dan aku memilih menghancurkan diriku sendiri.
Apa aku salah, Eyang?
---
Aku tersuruk-suruk memasuki bilik pribadi Eyang Putri. Raksi mawar merah merebak ke seluruh penjuru, aroma favorit Eyang. Dalam pikirku, aku menyusun kalimat yang dapat kulontarkan, jua menata aksi yang dapat kulakukan.
Pikiranku penuh, tetapi aku berakhir membungkam. Aku berdiri tepat di sebelah ranjang di mana Eyang Putri terbaring lemah di sana.
Apa yang harus kulakukan? Berdiam diri sampai pagi? Menceritakan lelucon supaya Eyang lupa bahwa ia tengah sekarat?
Oh, sial. Pasti aku dicap sebagai cucu paling kurang ajar di dunia jika melakukan hal itu.
Kutatap Eyang Putri yang mengelih sendu ke arahku. Perlahan, kuraih dan kuelus kuasa rentanya. Sekali lagi, jantungku kembali tercengkeram erat.
Madah mengudara dari bilah bibir Eyang yang terbuka. Lemah nan tercekat. "Nduk, Eyangti mau lihat se ... senyummu."
Aku termangu. Bimbang menguasai perasaku. Meremas pelan asta Eyang seolah menyalurkan galau dalam benak.
Namun, sebelum aku memutuskan untuk mengangkat sudut bibirku, tak kudengar lagi desah napas Eyang.
Tak lagi beliau membalas genggamanku.
Hanya ada senyum samar di paras tenangnya, seraya palbebra menyembunyi dua manik kopi yang selalu kusuka. Yang setelah ini takkan pernah kutatap lagi.
Eyang, sampai hari terakhirmu pun, apakah aku memilih sesuatu yang salah? Memilih untuk tidak memberikan senyum terakhir untuk Eyang lihat.
6 notes · View notes
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 6
Rancung belati menyayat nadi. Lancip antipati menyayat hati. -----
ㅤㅤSatu ke dua, ㅤㅤdua ke lima, ㅤㅤlima ke sepuluh.
ㅤㅤRebas hingga kebas. ㅤㅤMengalir lantas membanjir. ㅤㅤMenggenang pula terkenang.
------
Kupandang belati kecil berurna erang bergelayut di telapak belah daksina. Terhias getih di punca, menitik jatuh pada ubin nan cipta takung anyir.
Kidal kuasa dilukis jejas jelas. Diadun likuid berma penaka dekorasi. Aku memasang ekspresi datar. Mengingatkan pada diriku sendiri, aku tak boleh tersenyum. Kutelentangkan selira bersanding dengan belati nan tergeletak di atas paluh darah. Anyir menggelitik penghidu, sementara tangis merasuk laju rungu. Kurapatkan dua bilah mataku hinga rinai terkecai-kecai.
Minda mengitar pikir. Namun, satu ide mengembang menjadi sebuah keinginan. Satu kehendak kuat tertoreh dalam benak.
Ada keinginan besar untuk tertidur. Menyelinap pergi lalu pada akhirnya lebur. Aku terus tergempur. Lantas, kuberniat mundur.
Pungkur merasa suhu rendah disalurkan ubin nan buatku memeluk dua tungkai dan menjejak darah yang berasal dari lengan pada lutut.
Terma bernada tinggi milik Bapak masih mengitari tendasku selama dua puluh menit belakangan. Melalui pupil yang kubawa ke birai netra, dapat kutangkap likuid pekat pada lenganku mulai mengering. Menyelia telau jua ahmar di sekitarnya. Kuembus napas sekali.
"Anak setan!"
Suara itu bukan imaji. Obstruen nan ledak bukanlah khayali. Melingkari diri dan mengikat pribadi. Memancangkan ribuan bara api dalam sukma, lebih parah dari luka-luka yang tercipta pada hasta.
Kembali, aku menangis.
Kuraih kembali belatiku.
Menyayat kembali lengan dan tak membiarkan ada putih di sela merah.
Kau pasti tertawa padaku, 'kan? Mengejekku lemah karena dua kata yang diteriakkan Bapakku itu menyebabkan ragaku berkelukur.
Kau pasti kasihan padaku, 'kan? Aku tak memiliki kekuatan 'tuk bangkit dan memberi perlawanan. Menghentikan segala tekanan yang menarikku jatuh jauh ke dalam pusat gravitasi.
Kawan, aku tidak jatuh suka rela.
Lalu apa pedulimu pula?
Maka, keinginan besarku adalah terlelap. Dalam senyap. Tiada relap. Gelap.
Aku teringat terbangun tanpa hangat di sekelilingku. Lantas, kutersadar bahwa diriku hanyalah bayang semu.
Tak dimau.
Apa yang mengikutiku adalah sebuah ketiadaan kecuali perasaan kehilangan. Kuingat, betapa besar kuingin aku dan diriku sedekat nadi. Bahkan akan lebih baik jika lebih beberapa senti. Ya, tetapi semua hanyalah fantasi.
Aku 'kan hanya cecunguk busuk yang semua orang tak ingin peluk.
Mata belatiku tak lagi perak. Ahmar mendominasi serupa arzak. Kontras, oksigen tercekat di trakea.
Bu, apa ini saatnya aku mati? Hahaha. Lagi-lagi aku kembali bertanya padamu kala ribuan tanya tak pernah kaujawab.
Berkas kirana yang mengintip dari jendela menerangkan bilik pribadi tanpa lentera. Menghujan tepat pada parasku hingga kuteringat.
Aku teringat.
Hanya kirana hangat mentari yang menyadarkanku tentang keberadaanmu yang lantas lenyap bersama debu. Rengkuhmu tak pernah kurasa selama tujuh belas tahun kuhirup oksigen dunia.
Aku terkungkung pekat. Selalu terjerat.
Kulempar jauh belati perak terlingkup ahmar, menancap pada lemari kayu pelarianku lainnya. Ada sesuatu yang kembali menyadarkanku.
Lagi dan lagi.
Menamparku dengan keras hingga kumenangis tanpa batas.
Sesuatu itu menghampiriku, lebih kuat dari pada sakit hati, lebih dahsyat dari pada luka yang kuciptakan sendiri.
Itu ...
Senyum Bapak. Yang tidak pernah diberikan untukku. ㅤㅤ
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 5
Baginya, seperti kata selamanya, Ia akan selalu berada di tempat ini bersamanya. Dalam segala rasa untuk dirinya. Dalam waktu yang tak terhingga. ------
ㅤㅤAhmar jangat labium ㅤㅤmenarik satu buah senyum. ㅤㅤLantas, hatiku berultimatum. ㅤㅤBahwa ialah puspa hati ㅤㅤyang mulai berkuntum.
------
ㅤㅤ"Bathari, coba senyum lagi." ㅤㅤ"Kenapa?" ㅤㅤ"Kamu cantik."
Kuingat betul, ceritaku dan dirimu di bawah rintik hujan sore itu. Ada kamu yang melukis senyum lebar-lebar dan ada aku yang mengaguminya dalam diam.
Kuingat betul, ceritaku dan dirimu di bawah rintik hujan sore itu. Ada kamu yang melukis senyum lebar-lebar dan ada aku yang mengaguminya dalam diam. Kalakian, kumulus beraksen kelabu mencekik kirana surya, minta ia mundur kembali ke peraduan lebih cepat sebelum masanya. Menduduki singgasana hingga hanya sabak menguasa langit Jakarta.
Pirau bersilih erang. Ilam-ilam, petus tunggal menggelegar di langit barat dan pangkas seluruh sunyi yang sebelumnya mengelindan. Satu titik air jatuh di atas punca jemala, buat nona bersalut seragam biru putih itu menjelangak, memandang kelamnya cakrawala.
Adhisti tiada takut akan turunnya hujan. Adhisti 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 takut kembali. Kembali ke rumahnya sendiri.
Suah mafhum rinai 'kan jatuh, tapak tungkainya tiada embuh tambah ritme langkah. Seolah merelakan diri 'tuk menyambut derai hujan dalam dekapan. Bilur merah pula berdarah masih visibel di atas jangat, sesekali tuai ringis dilukis durja.
Satu lembar, dua lembar, tiga lembar tisu menyeka likuid anyir dari tungkainya. Dapat dirasa satu nyalang dari balik pungkur, hingga beberapa kali jemala meneleng 'tuk lantas tilik. Apakah Bapak membuntuti? Apakah Bapak akan membawanya kembali?
Rasanya, Bapak tak sepeduli itu.
Bukankah cita-cita teragung Bapak adalah melihat Adhisti pergi atau bahkan mati? Mana mungkin beliau habiskan sangkala 'tuk kejar sang nona dan memintanya 'tuk pulang.
'Terlalu muluk-muluk, Adhisti.'
Lamun, nanap kian menjadi pasal bulu roma membuntang penak gayat terhatur. Buat Adhisti lagi menyelia seputaran dan menangkap satu sosok mungil di antara dedaunan, yang buru-buru menyembunyikan selira di balik semak-semak. Timbulkan dersik riuh dan pelatuk gelak.
"Dek, Dek, sini. Jangan main di situ, nanti ditempeli ulat," rendah vokal mengudara bersama lambai kuasa nan agihkan faal 'tuk memotong antara. Nona kecil itu mirip hamster gembul yang terlalu banyak makan kuaci. Mendekat laun-laun penaka gamang hendak disasau.
"Sakit, ya, lukanya?"
Tanya pertama, tetapi suah terpusat pada bilur nan mengadun jangat penumpil. Kerjap dua mata terlaksana, belum jua salur jawaban, madahnya terpangkas di udara.
"Buat kamu," tiga buah plester kecil diulur kemudian.
Banda disambut oleh sebelah kuasa Adhisti. Tiada mesem yang menenggan, kendati kurva inginkan hadir. Nona mungil itu hanya memandangi dengan binar mata bak torehan karwikaya nan bisai. Tiga plester suah hiasi jangat meski tak menutup segala luka. ㅤㅤ ㅤㅤ "Makasih."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Sama-sama."
ㅤㅤ "Namamu?"
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Bathari."
ㅤㅤ "Aku Adhisti." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Sudah tahu." ㅤㅤ ㅤㅤ "Maksudnya?" ㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Iya, aku tahu namamu." ㅤㅤㅤ "Dari?"
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Tidak penting, tapi biasanya aku panggil kamu Tingting."
ㅤㅤ "..." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Janggal menjengit tulang belakang, hingga tendasnya meneleng sebab keheranan. Maksudnya? Mengapa jua nona cilik itu melabeli dirinya demikian? Entah, yang jelas Adhisti hampir meledakkan tawa yang kemudian ia tahan kembali hingga perutnya terasa begah.ㅤㅤㅤㅤㅤ
"O ... oke? Aku panggil Cong."
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Kenapa gitu?" ㅤㅤ "Ya, kenapa juga kamu panggil aku Tingting?"
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Nggak tahu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Kalau gitu, sama. Aku juga nggak tahu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ Nona yang lebih muda tertawa. Yang satunya hanya memandang dalam diam, memancarkan kirana yang buat diri bak seorang filantropis sejati. Berdenyut ganjir kardia oleh alunan gelak si nona.
Yang pada akhirnya Adhisti ketahui dua tahun kemudian. Denyut itu berasma: ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤcinta.
ㅤㅤSenja, pawana, dan kurva itu menghantui diri dan takhlik renjana tiada henti. ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ──────━ ㅤㅤ ㅤㅤTatkala Marikh menjegul kawani rembulan yang tengah terbit, mereka mengiring kepulangan raja siang menuju peraduan. Sandyakala melukis sepinya horizon tanpa mega, mengulas kirana jingga yang cerah. Derai tangis cakrawala telah berhenti.
Dedaunan terusik embus pawana hingga menimbulkan melodi nan rengsa. Berserenjang aku di bawah pohon ketapang tempat kami pertama bersua.
Purusa nan kunanti hadir jua. Disambutnya aku dengan senyuman lebar yang birai iras kian menggembung, menggantung apik di sudut bibir dan menambah cendayam durja. Degup jantung penaka terserang palpitasi. Melaju seakan dikejar kuda liar dan tak pernah usai.
Yojana menyempit bersama penumpil yang terayun. Bisa kurasa, binar kekaguman membayangi iris jelagaku.
"Ting, kamu pernah bilang kalau pelangi akan muncul setelah hujan, 'kan? Kok, hari ini pelanginya nggak muncul?"
"Salam dulu napa, Cong? Datang-datang ngapain tanya begitu?"
Seloroh kulontar. Lamun, pertanyaan kecil nan diagih Bathari sanggup buatku takhlik mesem, berikut sebuah rentetan kalimat yang berharap dapat memberikan jawaban yang memuaskan tanya sang nona.
"Semua butuh proses, Cong. Pelangi itu udah kaya janji Tuhan kepada manusia, di mana setelah buruk maka akan ada indah yang mengikuti. Nah, tetapi semua butuh proses."
Kian rekat diriku padanya sosoknya. Membuntang yad nan labuh di sebelah durjanya, agih sebuah elusan lembut berlabuh ada pipi gembul gadis mungil tersebut, "Hujan mirip aku."
Suam kurasa pada tapak kuasa. Pipi Bathari sumber panasnya. Maniknya pancar tanya, meski tiada divokalkan. Aku menggetilnya selincam.
"Setiap hujan merindukan pelangi. Pelangi membuatku percaya pada harapan. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar aku mendapat pelangiku dan kini aku memandangmu."
"Kamu pelangiku, Bathari."
3 notes · View notes
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 4
Safa puspa meresi. Ahmar sekar meraksi. Harum bunga menggelitik penghidu dan buat jatuh hati. Lamun, bersungkawalah hati akan gangsi. ------
Tenang kucari di balik kelopak. Senang kusibak di balik semerbak.
------ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ"Ibu." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Ibu.
Jadi satu dari sekian madah nan asing 'tuk lidah cecapi. Kata yang aneh 'tuk otak resapi. Aku tiada terbiasa menuturkan asmamu. Tiada pula rasakan setitik pun eksistensimu.
Lamun, aku kembali lagi mencuri-curi pandang pada potret dirimu yang disembunyikan Bapak. Meneliti tiap senyum yang terpatri di sana. Ibu, kau pasti bahagia sekali bersama Bapak, ya? Senyumanmu sungguh ayu. Toreh pilu dalam benakku. Sengat-sengat keirian kadang menyetrum jiwaku. Lantas sel-sel otak jahatku selalu menyalahkan kepergian dirimu, yang buatku berkali-kali harus terima luka dan bilur di atas kulit. Berulang-ulang menangis di balik lemari. Tak terhingga merasa sakit hati.
Ibu, mengapa kau mati untuk menyelamatkanku?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa? ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa? ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa? ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa? ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa? ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Mengapa?
Mafhum diri bilamana engkau tiada agih sahut atas ribuan jerit yang kulaksana. Paham pribadi mana pula dirimu tak beri respons atas jutaan tanya yang menggeliang dalam otak. Yang tak kumengerti, mengapa engkau pergi, sementara daku masih di sini. Sendiri menahan sepi, sendiri ditelan sunyi, sendiri tergores sakit hati.
Kucoba sua raksimu yang tiada pernah kutahu. Kucari hadirmu yang tak pernah kutemu. Kurasai rengkuhmu yang tak pernah membalutku.
Ibu, ibu, ibu. Apa rasanya direngkuhmu?
Kulendeh purusa di sanding pusaramu. Menjegil tegas patok menancap bentala, menjadi penghias di tengah kelam nan berkecamuk. Rinai likuid bening mengalir menetes di atasnya, jatuh dari pelupuk mataku.
"Bu, kata Eyang Putri, Ibu suka mawar putih, ya? Kubawakan seikat untukmu hari ini. Kuletakkan di sini, ya?"
Itu menjadi kalimat pertama yang keluar dari bilah bibir sejak satu jam yang lalu aku berserenjang di hadap makam Ibu.
Melepaskan tangkai mawar putih yang durinya menusuk telapak tanganku, meneteskan getih di atas tanah pusara Ibu. Meninggalkannya hingga nanti layu, bersama sejuta tanyaku yang tiada jawab bertemu.
"Bu, apa rasanya memilikimu?"
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 3
Jariji kumimpikan berjerait. Hasta kuinginkan berkelindan. Tiada aksi yang tergarit. Masih benci yang utama menenggan. ------- ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤBoleh kugenggam? ㅤㅤBoleh kupinta suam? ㅤㅤBoleh kita tenteram? ㅤㅤBoleh ciptakan jenjam?
ㅤㅤBolehkah, ㅤㅤtak lagi saling memendam? ㅤㅤTak lagi saling mendendam? ㅤㅤ ㅤㅤ ------
Kuakui, hari ini netraku basah lagi. Aku menangis lagi 'tuk kesekian kali di dalam lemari.
Deru mobil jip tua kepemilikan Bapak adalah sengkak terbesar yang pernah mendera benak. Presensi Bapak yang mengintimidasi acap kali membuatku ingin menyerah. Berdoa pada Tuhan 'tuk segera menarikku menyusul Ibu.
Mencoba mempersembahkan atma dan jiwa dengan sebilah belati yang menyayat nadi. Sememangnya, tawaranku selalu ditolak dan aku masih tetap seperti bagaimana seharusnya.
Aku takut.
Kutakutkan badai antipati mampir pada diri. Menghablurkan kasih terbesar pada Bapak yang masih tersisa dalam fuad, meski yang kurasa berbanding terbalik dengan aksi yang beliau beri.
Kutak perlu membalas bahang dengan bara, 'kan?
Malam ini, beliau kembali. Aku tahu diri dan segera menyembunyikan pribadiku ke dalam lemari pakaian agar tak mengundang sulutan amarah Bapak. Membiarkan Bapak menikmati sangkala nan jenjam selepas berkarya.
Tak kurungu apa pun setelah deru jip terhenti. Biasanya, Bapak akan menuju kamarku 'tuk sekadar memasang muka galak nan tampak membenciku, seolah berkata bahwa dirinya telah kembali atau yang lebih parah akan cipta kelukur dengan kelikir. Lamun, yaum kali ini beda.
Intuisiku berbisik. Menggelitik sistem motorik melaju tungkai mengeluarkan gatra—tidak—mungilku dari lemari pakaian. Nuraniku membatin dan coba tumpuk bagak dalam benak melaju tapak memangkas yojana terbentang antara bilikku dan milik Bapak.
Berjingkat kakiku. Meminimalisir obstruen yang dapat tercipta dari setiap langkah yang dikarti. Semakin dempang pula diriku dengan bilik Bapak. Menempelkan daksa pada paldu di samping pintu. Melantas tilik melalui celah yang terbuka seperempat.
Ain kembar selaras kayu eboniku disuguh pungkur Bapak yang langsung tampak dari balik pintu. Bergetar pelan bersama sirahnya yang temungkul dalam-dalam. Selincam, kudengar suara tarikan ingus dan usaha mengatur napas agar lebih stabil.
Tak pernah kudapati Bapak serapuh yang kulihat sekarang.
"Pak ...," kuberanikan diri melantunkan sebuah sapa. Lamun, yang kuterima hanya patah lidah dan aksi nan seperti menyembunyi sesuatu, meski akhirnya terungkap pula bahwa itu foto masa kecilku. Aku termangu, Bapak membisu.
Selama aku hidup, ini kali pertama kujajah ruang pribadi Bapak. Aku tak takut bila disuguh tamparan maupun cambukan. Sudah terlampau biasa. Laun-laun, kuraih potret diriku. Memandanginya sejenak sebelum mengalihkan pandang pada Bapak yang membuang tatap.
Setitik air masih menggantung di punca netranya. Aku mencelus.
"Pak," kembali kupanggil sosok lelaki di hadapanku, "Jangan pernah mendekat padaku. Aku tak menyukainya."
Bapak bercericau seraya merentang jarak dengan dua langkah ke belakang, seolah aku ini kotoran busuk nan menjijikkan.
Sudah bukan mengejutkan ditutur demikian. Aku terbiasa atas penolakan, sikap kasar, dan madah tak berkenan. Aku lahir memang untuk ditolak.
Belum sempat kuberaksi, Bapak melanjutkan ucapannya, "Aku membencimu karena kamu terlalu mirip istriku. Kamu mencuri segalanya dari parasnya."
Aku tak terkejut. Itu alasan utama diriku berikrar tak pernah mengulas senyum di publik maupun bilik. Sekarang pun, meski tanganku bergetar hebat (yang memang selalu terjadi kala berinteraksi dengan Bapak), aku berusaha mempertahankan wajah datarku. Melakukannya di luar begitu mudah, tetapi tidak kala berhadapan dengan beliau. Menyembunyikan segala rasa di khalayak lebih gampang dari pada kala bersama Bapak.
"Aku semakin membencimu karena semakin melihatmu, aku semakin merindukan ibumu. Saat melihatmu, semakin aku ingin merengkuhnya. Lalu aku kembali tersadar, bahwa ia tak ada bersamaku."
"..."
Dapat kurasa sarira bervibrasi lebih hebat. Dari pada sengkak yang hadir, kali ini rasa bersalah tak bertuan menguasa. Dua tungkaiku rengsa, penaka dapat meluruhkan raga ke hadap lantai kapan pun.
Aku ... Mengacaukan hati Bapak.
Sedari awal kutahu, Bapak bukanlah orang jahat. Bapak yang di mataku pekerja keras, tak pernah mengeluh, sosok yang begitu mengerikan selepas bekerja dan mendatangi kamarku hanya untuk memberikan cambukan, kutahu bukanlah melakukannya tanpa karena.
"Pak, bolehkah kugenggam tangan Bapak sekali saja?"
1 note · View note
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 2
Kelam jiwa disadur dari antipati yang membumbung. Suram hati dituai dari benci yang membuntang. Diam. Muram. Kusam. ------------ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤUntai kurva menjuntai. ㅤㅤDerai tangis merinai. ㅤㅤAbai lara terbidai. ㅤㅤAnggai diri cipta berawai. ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ -----------
Lemari adalah loka pelipur lara favorit sesosok Sandhyakala Adhisti. Uzur maupun futur.
Mesin jip yang bahananya tiada mulus melesak ke dalam laju dengar. Kardia secara otomatis terpacu saban rungu disapa obstruennya. Kedua kuasa tak dapat menahan 'tuk terlihat tak bergetar, meski buku-buku jariji sampai pucat kesi sebab terlalu kuat mengepal.
Kirana dari lentera kencana besi itu menyorot melalui jendela ruang tamu dan perlahan redup seiring dengan lenyapnya deru mesin. Tertalah-talah nona menyembunyikan pribadi, tak embuh bila sang pemilik jip terganggu oleh presensi.
Pemilik jip itu Bapak.
Tapak sepatu pantofel tergaung ke dekap pawana. Terlalah seolah mengejar ihwal yang mendesak. Tiada sonor, hanya memelatuk asor. Gemanya merandek tepat di depan lawang safa bilik pribadi Adhisti.
Senyampang, sang empunya tengah terleka meromok di sudut ruangan seraya menenggelamkan iras dalam lekuk lututnya. Mengatur napas, menata paras. Kala pembatas itu tersingkap, dua manik selaras biji kopi kepemilikan Bapak menyelia ke sekeliling.
Mengindra sosok Adhisti nan mematri kurva tipisnya di punca labium dalam posisi yang tak berubah. Vibrasi samar visibel pada bibir nona berusia sepuluh tahun itu.
"Sudah p—" "JANGAN TERSENYUM!"
Tapak tarsal diayun, berlekas-lekas memangkas antara yang rumpang di antara keduanya. Mendera pungkur bersalut kaus oblong milik Adhisti bertalu-talu dengan sebuah timang yang sebelumnya terlintar rapi di pinggang Bapak.
Mengundang laung tertahan yang dilaksana sang nona, jua lelehan likuid di sudut bola mata yang keluar secara serta merta. Lara di punggung tak seberapa dengan apa yang dirasa fuad.
"Rutinitas" Bapak setamat bertugas selesai dalam waktu sepuluh menit, meninggalkan Adhisti terkampai rengsa di atas taris nan bersuhu rendah dengan rinai air mata menggenang di atasnya. Meski begitu, ulas kurva menggantung di punca labium.
"Bangsat, nggak tahu diri. Kubilang jangan tersenyum!" Tergaguk-gaguk, Adhis bertutur, "Mengapa Bapak sebenci itu senyumku?"
Dua ain milik bulat Bapak kian mencelik, penaka sanggup meloncat dari tempatnya berada kapan saja. Sebelah kuasa dengan gesper bergelayut dalam genggaman terangkat, bersiap menghadiahi daksa Adhisti dengan bilur lainnya.
Lamun, rupanya si timang hanya tertahan di udara, lalu merosot lemah bersama selira Bapak menuju hadap ubin. Temungkul jemala sedalam-dalamnya. Suah lepas benda hitam itu dari genggam hastanya.
"Kamu mencurinya dari istriku."
Sel-sel otaknya sepakat bahwa takkan ada lagi tindak kekerasan. Namun, praduga melenceng jauh. Gesper itu tiada henti mencambuk paha Adhisti, simultan dengan amarah dalam madah Bapak. Lagi, nona menahan teriakan yang membuat bibirnya terluka pasal habis ia gigiti.
"Kamu mencurinya dari istriku! Kamu membunuh istriku! Kamu anak setan!"
Kalakian, Bapak keluar dari kamar pribadi Adhisti. Membanting lawangnya keras-keras. Nona hanya merintih pelan-pelan, menangis dalam diam, dan berusaha menyerenjang gatra yang suah tiada bertenaga.
Menyembunyikan purusa di dalam lemari pakaian. Mengeluarkan perasaaan sebenar-benarnya sendirian. Melahirlah sosok baru sebagai topeng anyar yang baru saja dirakit. Tiada senyum manis yang menghias iras, menyembunyikan kehangatan hati di bagian terdalam lemarinya.
Berikrar pada dirinya sendiri, menyegel seluruh rasa di balik tumpukan kain yang dijadi loka melendeh saat ini.
'Aku tidak akan pernah tersenyum lagi. Tidak akan.'
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
Adhis 1
Pilih sebuah buku. Bacalah dan sila termangu. Pikirkan rentetan madah dan rasakan darah terpacu. Mengalirkan pilu sembilu ke dalam ragamu. ----------- ㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤRia dicatut. ㅤㅤㅤㅤLara dianut. ㅤㅤㅤㅤAntipati menuntut. ㅤㅤㅤㅤSenyuman larut. ㅤㅤ ㅤㅤ ---------
Mawar dan nilam mencuri penghidu. Manakala dua aroma tersebut beradu, pada akhirnya tergerus oleh wewangian lain yang dihasil butir keringat yang jatuh melalui ujung dagu yang berbaur dan terhirup di pawana. Waktu terpukul ke belakang selama dua dekade, hingga sampai pada ruangan serba putih dengan kepanikan membungkus tiap elemen detik.
Setitik sendu mengusik perasa kala manik senada batu obsidian menyalang tajam ke bentangan horizon tak berujung berhias. Kemilau kartika di balik jendela, pula ditemani benderang dewi malam. Jari-jemari saling mengisi, menaut dengan erat tanpa intensi tuk meregang. Gigi menjepit bibir bawah, penanda gugup mengudara tak bertujuan. Sebuah titik peluh yang mengalir melalui kening.
Mereka tak berhasil mencuri atensi 'tuk sekadar diseka.
Teriakan membuat gala tertoleh. Tangisan bayi berikutnya menghadirkan desah lega yang tak disadari hingga setitik likuid jatuh di punca netra.
Harap, cemas, gugup, segala menguap bersama jeritan kuat bayi perempuan berlumuran likuid pekat dan masih terhubung dengan plasenta yang menjadi kawan selama sembilan bulan ke belakang.
Senyuman terbaik terpulas di paras, sementara kedua tangan merengkuh bayi mungil yang kelak terjerat asma Sandhyakala Adhisti.
Ria bersilih lara. Urita bahwa takkan ada lagi kehadiran sang Ibu 'tuk selamanya mengudara. Menjebak perasa pada duka terbentang dalam sukma, merakit antipati dalam diri. Bayi berbalut kain putih dengan darah yang masih hiasi raganya itu harus merasakan dunia tanpa presensi Ibu dan dibalut antipati Bapak.
Dirinya bertransformasi menjadi obsidian jelaga tanpa cahaya. Epitome bunga mawar hitam di padang gersang. Sekali lagi, dia, Sandhyakala Adhisti.
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
GANERA 5
Lentera-lentera di taman kota mulai curi pendar, memancar pada adimarga dan terangi pandang. Bolehkah aku pinta satu kirana dan relapkan benak yang masih petang? -----
ㅤMama, maaf, Mama. ㅤBenakku tak embuh bahagia. ㅤLaraku tak amuh sirna. ㅤJiwaku dirundung duka. ㅤAtmaku ingin kembali pada gegana. ㅤAku ingin Mama. ㅤAku ingin Mama. ㅤAku ingin Mama.
----
Aku ada di senja lagi, Mama. Sandyakala suah terlukis pada cakrawala. Jingga masih jadi favorit Mama, 'kan? Aku juga masih suka. Suamnya tiada luntur meski ia hanya menggurat sejemang pada paras dirgantara.
Aku ada di senja lagi, Mama. Bayu mengembus lembut ke arah barat, memainkan anak-anak rambut yang biasanya sebulan sekali Mama potong dan rapikan. Kali ini ia memanjang dan mengembang, tiada lagi rapi.
Aku ada di senja lagi, Mama. Mengelih jauh coba temukan punca horizon, yang mana usaha runtuh sesekon kemudian. Tak pernah berhasil kudapatkan sudutnya dan kukejar dengan dua kakiku. Kugapai dengan dua kuasaku.
Aku ada di senja lagi, Mama. Mengirim pesan pada mega kumulus yang perlahan menggelintir cahaya surya, mengatakan pada Mama bahwa aku baik-baik saja. Mama juga, 'kan? Mama juga sama denganku, 'kan?
Kuharap demikian.
Benak menggeliat mengusik angan. Jiwa terbang telusur lara yang tertenggan. Melodi beranjak, sepi menyeruak.
Aku berada di keramaian taman kota yang mulai di terangi oleh cahaya buatan. Pendarnya sebagian menghujan iras, membuat visi lebih jelas. Surya suah sepenuhnya mengirap, tak tinggalkan derap.
Di tengah keramaian, yang kurasakan kesepian. Tiada nafsi yang dapat kuagih tanya di mana Mama. Tiada persona yang toreh mata perihal kelukur pada gatra. Peduli manusia mengudara, biarkan aku meromok sendiri di sudut tak terduga.
Dua kelopak mencelik, pupilku menitik pada lampu tamanan nan benderang suam. Mengerjap dua kali dan buatku sadar satu dua air mata telah menitik jatuh pada pipi, tiada dapat kuhenti meski ingin. Tilik-tilik mereka jatuh padaku, mungkin bermacam minda hinggap di otak.
Mengagih tanya-tanya perihal kejanggalan diriku. Untuk apa anak seusiaku berada di taman sepi pula sendiri. Di mana orang tuaku. Apa yang sedang kulakukan. Mengapa banyak luka di tubuhku. Mengapa aku menangis saat ini.
Aku tahu, aku tak seharusnya di sini. Aku akan membuat Ibu asan tak asan sebab diriku nan tiba-tiba lesap tanpa urita. Namun, aku kembali di sini. Menghantar senja di tempat favoritku dan Mama. Hanya milik berdua.
Detik tiada lelah 'tuk terus melaju, menggelut setapak lajur bergelut dengan takdir. Mengarung tujuan yang sama dikanti keluh maupun kesah. Mengulas situasi yang naim, tetapi tak sama dengan yang ada di benak. Bertanya dalam sukma, apakah boleh berpijak maupun tidak. Kurasa, aku terlalu cepat mengarungi lautan takdir dengan bahtera rapuh yang kukendarai.
Lentera masih mencuri pandangku. Cahayanya adun nan tenteram, mentereng dengan gagah di atas jemala nan melenyapkan refleksi yang biasa menemani. Berdiri tegak seorang diri bersama sebuah tarikan yang berujung pada embusan berat. Aku lelah.
Aku baru genap sepuluh tahun hari ini. Baru sepuluh tahun aku menghirup pawana buana. Mereka bilang, dunia seimbang. Namun, mengapa laraku lebih berat dari pada bahagiaku?
Aku baru berusia sepuluh tahun. Hari ini. Tepat hari ini.
Kualih nyalang pada kerumunan di kejauhan. Berkumpul di sana, rimbun manusia yang tengah mengait diri dengan ragam aktivitas. Memadu kasih, mengerja karya, menghambur harta, bersuka cita, juga bermuram durja.
Mama, apa mereka tengah mencari arti hidup yang sebetulnya? Yang katanya suka dan duka selalu berdampingan?
Mama, apa itu hidup?
Mama, Mama lewatkan satu pelajaran untukku. Mama, apa itu hidup?
Dua mata berpendar. Menilik seorang anak lelaki yang ditawari dua kembang gula, hingga tangannya berlabuh bagian kanan dan menyesap si kudapan berupa ahmar.
Kuteleng lagi jemala. Menjegil seorang wanita yang kebingungan memilih sepatu yang terpajang di etalase, hingga akhirnya memutuskan mengambil yang memiliki hak lima senti.
Mama, boleh kuambil kesimpulan bahwa hidup itu pilihan?
Seperti saat mama memilih menamengi diriku hingga dihunus belati, lantas memilih memintaku berlari dari pada bantumu menyelamatkan diri.
Boleh kutarik kesimpulan demikian?
Hidup adalah fase di mana segalanya berkaitan dengan pilihan. Ketika salah satu dari pilihan tersebut diambil, maka harus siap dengan konsekuensi yang ada. Hidup adalah roda yang berputar, yang kadang membawanya berada di atas dan kadang di bawah.
Begitu, ya, Ma? Namun ... Mengapa rodaku tidak berputar, Ma?
Menunggu. Apakah menunggu merupakan sesuatu yang tepat untuk dilaku? Menunggu arung jeram takdir yang membawa sehenyak manusia naik turun sesuai arus?
Mama. aku bodoh, ya? Bodohkah aku pilih menunggu Mama di sudut taman yang sama setiap senja? Bodohkah aku pilih menunggu Mama di sudut taman yang sama setiap senja?
Mama, di ulang tahunku ini, aku hanya ingin Mama, di mana pun berada, bahagia. Aku ingin Mama senang. Aku ingin Mama tahu, aku sehat dan tidak lagi terluka. Aku mengembuskan napas perlahan, membebaskan beban yang mengungkung selira dan mengikat jiwa. Melangkahkan lagi tungkaiku menjauh dari taman yang tak pernah hasilkan apa-apa.
Bersama tapak tungkai pula embus bayu nan lembut mematik jangat, aku menatap seekor burung yang mematuki mayat burung lain penaka inginkan sang kawan bangkit. Aku bungkam. Aku diam.
Mama ... Apakah kita hidup untuk mati?
Seperti Mama yang hilang dan tak menyusulku kemari?
Mama, aku ingin Mama.
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
GANERA 4
Coba mengotak-ngotakkan perasaan dalam sebuah kardus bekas, tetapi yang tertumpuk hanyalah getas dan repas. ------
ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤDi mata mereka, ㅤㅤia hanyalah kambing hitam ㅤㅤyang tak pantas lantun langgam.
ㅤㅤDi pikir mereka, ㅤㅤia hanyalah sosok eksentrik ㅤㅤyang tak pantas dilirik.
ㅤㅤBagi mereka, ㅤㅤia hanyalah sampah ㅤㅤyang menanti untuk dijarah. ㅤㅤ ㅤㅤ -----
ㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤDilintup suam aftab.
ㅤㅤㅤㅤDihujan kaluwung surya.
ㅤㅤㅤㅤDikecup embus pawana. ㅤㅤ ㅤㅤ -----
Nafsi tampak naim di bawah naungan mentari. Dua ain cokelat menantang lurus pada cakrawala, hasilkan sisa-sisa cahaya membuat iris mata lebih terang. Dua yad suah agih cengkeram pada ujung rok merah sekolahnya. Gamang menguasa benak hingga peluh menitik membasah.
Satu dua kausa terpeta sempurna, membayang pada pelupuk mata nan ciptakan ketakutan luar biasa. Bilah labium bagian bawah diagih jepit 'tuk luruhkan gemuruh dalam dada, runtuhkan segala minda tak elok dalam asa.
'Gapapa, Sadhaka, gapapa.'
'Papa belum pulang, gapapa.'
Ihwal tersebut yang ditindak teruni cilik jenama Sadhaka Taranggani setiap pulang dari sekolah. Sesak mencekat gala, tak biarkan oksigen bertukar dengan baik dalam paru-paru dan menghirup gamang sebagai substitusinya.
Lawang tersirap. Jemala menyembul, perhatikan interior rumah yang masih sama. Menilik keberadaan sang Ayah 'tuk dapat dengan aman mengatakan keadaan tak mencekam. Namun, yang ada, bilah labium dibekap dan selira diganjur paksa tinggalkan loka.
Memasuki sebuah bilik dengan gangsi janggal rasuki penghidu, Sadhaka didesak 'tuk melendeh. Dua ainnya ditutup sebuah kain putih hingga nyalang tak dapat terhatur. Sesekon kemudian, bayu si pendingin ruangan membekukan selira, merasa sandang telah tanggal seutuhnya.
"Bener-bener gila lo, Sam."
"Gak usah munafik, Ris. Anak gue oke, 'kan? Udahlah. Garap. Sesuai perjanjian, lima puluh juta."
Sawala dalam otak tak temui punca. Minda saling bertumpuk tanpa mau mengalah dan minta segera diberi jawaban. Sadhaka tak paham. Hingga gerayang-gerayang lembut di rasa jengat, buatnya berteriak sejadi-jadinya.
"MAMAAAAAA!!!"
Yang didapatkannya bukanlah sebuah yad 'tuk menolong, melainkan tamparan keras yang buatnya—beserta kursi yang menopangnya—ambruk menghadap ubin bersuhu rendah. Kain yang menutup dua ain perlahan lengas, setitik air mata mengitip dan jatuh di ujung dagu.
"Bangsat. Diem lo!"
Itu suara ayahnya. Hal tersebut menjadi obstruen terakhir yang melesak dalam rungu sebelum kesadaran perlina, tiada jejak pikir. Entah raganya dibuat apa, entah dirinya akan jadi apa.
Dua lelaki dewasa itu berpandangan. Memutus nyalang 'tuk jatuhkan kelih pada nona yang usianya belum genap sepuluh tahun nan tak dilingkup sandang terbaring tak sadarkan diri. Mesem mesum terbit di iras mereka.
Kuasa suah siap mengarih dan ujung-ujung jemari cecapi kulit putih gading si bocah, tetapi lawang terbuka paksa menampakkan seorang wanita yang masih dibalut jas putih kebanggaan mendengus marah. Memburu langkah 'tuk pakaikan kembali kain pada anaknya.
"Lo pikir lo lagi ngapain, Ran? Ini urusan gue."
Pinggang si puan diagih depak kuat, buatnya tersungkur di sanding raga tak berdaya sang yuana yang perlahan mengembalikan kesadarannya. Mengerjap beberapa kali 'tuk usir kabut yang membayang di pelupuk. Hanya siluet-siluet yang bisa ia tangkap. Jua penampang ibunya yang menangis seraya mengacungkan botol hijau yang pecah ujungnya.
"Gila lo Ran!"
Kilat sebuah benda besi tertangkap pandang yang masih tak transparan. Rani, mengayunkan botol pecah itu semakin kuat 'tuk memukul mundur dua lelaki yang menjegil marah. Ujung botolnya tanpa sengaja mengenai leher Sadhaka, yang buat likuid merah mengalir deras. Rani dan Samuel membelalak. Sementara Haris cepat menghunus pisaunya para perut Rani kala puan itu lengah.
"MAMA! MAMA!"
Sebelah kuasa coba hentikan lara yang menjalar akibat tusukan benda tajam di perutnya. Sebelahnya lagi meraih yad nona muda, mencengkeramnya kuat bersama bibir yang bergetar tuturkan satu kata.
"Lari ... Lari ..."
Lari. Lari. Lari. Lari. Lari. Sadhaka letakkan tapak hasta pada lehernya yang terluka, sebelum raih botol yang tak sengaja melukainya. Mengacungkan pada dua lelaki yang kini mundur tak ingin terluka. Seolah membiarkan sang nona lari tanpa berniat mengejar.
Sadhaka melaju tungkainya, keluar dari kediaman tanpa berbekal apa pun kecuali kamera yang sempat ia sambar. Kamera berisikan momen dirinya bersama sang Ibunda. Likuid ain besar-besar basahi iras, merasa bersalah karena tinggalkan Ibunda dalam luka yang cukup parah.
Melupakan lukanya sendiri yang membuatnya susah bernapas.
Lari. Lari. Lari. Lari. Lari. Sadhaka tak menitik satu destinasi, yang ia tahu hanyalah berlari sejauh mungkin. Meski beberapa kali dirinya jatuh tersungkur karena menahan gering yang tertoreh pada gala, pula pandang yang belum sepenuhnya transparan.
'Mama, keputusanku benar, 'kan?' 'Maafin Sadhaka nggak bantuin mama ...' 'Maaf, Sadhaka pergi sendirian.'
ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤMaaf. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤTerima kasih. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤ Pelarian Sadhaka Taranggani terpaksa berhenti sebab dua tungkai tak lagi kuat menopang selira. Ambruk pada tanah berkerikil dengan keringat dan darah hiasi diri. Seolah menanti mati menghampiri.
Dalam setengah sadarnya, kilatan pisau yang menghantam pandang kembali menguasa pikir, buatnya menangis kembali dalam diam. Mencengkeram tanah 'tuk redam sesak yang menjadi dalam benak.
"Dek, dek, kamu nggak apa-apa? Ayo, jangan tidur di sini."
Obstruen lembut buatnya mengejar kelih, lantas dengan kuasanya yang dikotori substansi beragam macam tanah, darah, dan air mata, ia mencengkeram kuasa sosok ibu pemilik vokal.
"Tolong aku ..."
Nona berusia sembilan tahun itu mengerjapkan matanya, memandangi sebuah ruang dengan interior sederhana, tetapi suamnya menguasa. Menilik ke kidal pula daksina, mencari persona 'tuk diberi tanya. ㅤㅤ ㅤㅤ'Ini di mana?' ㅤㅤ'Ini rumah siapa?' ㅤㅤ'Mama di mana?'
Lantas hadir seorang ibu yang ia ingat merupakan orang terakhir yang bercakap dengannya. Sebelah kuasa merayap, merasakan sebuah perban telah menutup kelukur pada gala. Mengerjapkan dua mata 'tuk kembalikan fokus pada si ibu yang meletakkan teh hangat di atas kenap.
"Dek, rumahnya di mana?"
Jawab. Tidak. Jawab. Tidak. Jawab. Tidak. Ja ...
"Dek? Namamu siapa?"
Jawab. Tidak. Jawab. Tidak. Jawab. Tidak. Jawab. Ti ...
Kuasa sang Ibu meraih pisau dan satu buah mangga. Kilatnya terpantul di ain Sadhaka, buatnya terlonjak dan berteriak. Menutupi kedua telinganya dan meromok di sudut ruangan. Menangis lagi. Sakit lagi. Takut lagi.
"JANGAN BUNUH MAMAKU. JANGAN BUNUH MAMAKU. JANGAN BUNUH MAMAKU."
Gawai tajam itu lepas dari kuasa, menyembunyikannya jauh-jauh dari pandang si nona muda. Lengan nan suam lingkari diri, agih tepuk renik pada hulu penaka ingin tenangkan pribadi.
Ratap kian sedan kala dekap suam dirasa. Rasa bersalah kian menenggan kala usap lembut disalurkan. Gamang kian menjadi kala dua ain diberi kelih. Namun, semua terangkat oleh frasa nan sentosa.
"Kamu aman, sayang. Kamu aman di sini. Sama kami. Jangan takut, ya?"
"Oke, mari panggil dirimu ... Rara. Ganera Rawikara. Kamu bagian dari keluarga kami. Jangan takut. Jangan takut lagi."
"Kamu berharga."
-----
Pelariannya mungkin berhenti karena ia surah temukan sebuah panti asuhan yang berikan naim pula tenteram.
Pelariannya mungkin berhenti oleh identitas anyar.
Pelariannya mungkin berhenti oleh aktivitas biasa yang dimiliki remaja pada umumnya.
Namun, lara hati tak pernah bisa dihenti. Kegamangan tak pernah bisa diminta pergi. Setiap hari terus mengejar diri, memakan pribadi.
Berteriak terus menerus 'tuk minta bebaskan diri dari rasa bersalah yang terus menyakiti.
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
GANERA 3
Tanggal satu bulan sembilan, yuana mungil menawarkan daun kering, yang kemudian disambut gering dan rasa asing. Simpati atau antipati? Hanya obstruen yang beri jawab, berdering dan berdenging. -------
Suhu tinggi hari itu berangsur-angsur merendah kala kirana surya terpilin dalam kawanan kumulus putih yang berarak menuju langit barat. Jejakkan sandyakala nan labuh suam hati.
Buana Jakarta masih sama. Deretan kencana besi tiada genggam sabar gaungkan klaksonnya masing-masing dalam jeratan adimarga nan kibang-kibut. Peluh menitik satu berganti dua, bersilih sepuluh, membanjir kening wanita muda berduduk perut dalam kemacetan yang sama.
"Pak, bisa lewat jalan pintas saja tidak? Saya ... Tidak, Ah!"
Tirta pekat serupa safa pecah mengaliri belah kangkang, membasah lancingan yang membalut tungkai. Dua bola mata laku nyalang, sementara kuasa menepak kuat-kuat sandaran kemudi.
"Pak! Saya sudah mau melahirkan! Apa tidak bisa cari jalan?"
Sang pengendara diam. Mengernyit kening penaka berpikir keras cari solusi. Setir dibanting, hasilkan gema terompet dan amukan pada sopir lainnya bersahut-sahutan.
Kawanan mega kian bergumpal, berkawan pendar kirana jingga bercampur asfar keemasan yang kental. Nyanyian burung gereja bersuka cita mengiring pulangnya sang raja menuju peraduan dan menyambut ratu mereka untuk bergantian menduduki singgasana cakrawala.
Sepoi pawana berembus menyisip melalui ram tanpa teralis, mengajak anak-anak surai 'tuk menari. Namun, bayi hanya disambut teriakan wanita yang mencekau birai tilam hingga timbul pucat manai pada buku-buku jemarinya.
Hingga pada penghujung sangkala, tangisan seorang bayi pecah, menyelip di antara hiruk-pikuk rumah sederhana seorang bidan. Tiada satu pun sanak saudara yang berkunjung.
Seri roman wanita yang telah bersilih status sebagai seorang ibu itu terbaring lemah itu pula tak menunjukkan ekspresi yang mencolok. Nama tak pernah dipersiapkan, hanya sekadar ucapan asal yang kini tersandang selamanya pada diri sang bayi.
Sadhaka Taranggani. Begitu bayi perempuan itu disebut.
Yuana mungil tiada galat, tak menahu apa luputnya, diagih antipati tiada terperi oleh ibunya sendiri. Oleh ayah? Oleh sosok ayahnya sendiri. Namun, rasa benci bukanlah akhir. Ihwal nan cendala lain masih menanti, menungguinya 'tuk merengkuhnya.
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
GANERA 2
Mengikat diri pada sebuah janji. Mengikat diri pada sebuah hati. Mengikat diri pada diri sendiri. Mengikat diri pada sakit yang kian menjadi. ------ㅤㅤ ㅤㅤAku tak tahu tujuan Tuhan ㅤㅤmemberiku lara sekian. ㅤㅤAku tak tahu tujuan Tuhan ㅤㅤtak beriku kebahagiaan. ㅤㅤ--------
Mahar. Mahar. Mahar.
Hanya namanya yang kini memenuhi otak saya. Dua netra mengelih tanpa titik membiarkan tangan-tangan ahli meriasi diri. Memakaikan gaun putih nan adun pada selira. Membiarkan segalanya berjalan seperti biasanya.
Membiarkan nafsi lepas dari filantropi, lalu terjerat pada sebuah pernikahan yang tak pernah saya kehendaki.
Ayah berhasil mempersuasi keluarga suami untuk mempercepat pernikahan. Ayah khawatir, janin yang ada di perut saya telanjur membesar dan membuat rencana perjodohanku dengan anak sulung keluarga Oen hancur total dan membuat perusahaan keluarga semakin gulung tikar.
Betul. Saya dijodohkan untuk menyelamatkan bisnis keluarga.
Mereka mengatasnamakan agama untuk memisahkan saya dengan Mahar, yang pada kenyataanya saya hanya dijadikan alat penangkal bangkrut dan menukar bahagia saya dengan jeratan perjodohan.
Mereka menyembunyikan fakta bahwa saya telah mengandung anak orang lain, mengubur rapat-rapat rahasia dengan sebuah senyuman lebar tiap ada yang menyapa. Menampakkan segala kebaikan-kebaikan agar cela tak terendus.
Pada akhirnya, saya resmi menjadi menantu pertama keluarga Oen. Menjadi istri sah Samuel Oen.
Samuel bukanlah lelaki lembut seperti Mahar. Kesalahan-kesalahan kecil yang saya perbuat dibalasnya dengan sebuah tamparan. Kelalaian saya dihadiahinya sebuah tendangan.
"Kamu hancurkan hidup saya karena perjodohan ini. Kamu rusak segalanya, Rani. Kamu mengacaukan semuanya!"
Memang hanya kamu saja, Samuel? Saya juga. Perjodohan kita merusak semua hal yang sudah saya tata. Perpasangan ini menjauhkan anak saya dari bapak kandungnya.
Kamu pikir, kamu saja yang menderita? Tidak!
Sikap Samuel di hadapan saya dan di depan orang tua kami sungguh berkebalikan. Saya bahkan merasa Samuel memiliki dua kepribadian yang berbeda, membuat ketakutan-ketakutan menyentil saya setiap berada di dekat suami saya.
Yang bisa saya ingat hanyalah Mahar. Setiap saat. Untuk menenangkan saya.
Mahar, Mahar.
Kamu di mana? Apa kamu baik-baik saja? Anak kita terus menendang-nendang dalam perut penaka hendak temuimu, Mahar.
Bulan kedelapan pernikahan saya dan Samuel, bulan kedelapan pula saya mengandung anak Mahar. Saat ini, saya tengah memegangi perut yang terasa amat gering, lagi-lagi karena Samuel.
"Bangsat! Kamu bukan mengandung anak saya? Wanita jalang! Lacur!"
Bersama sumpah serapahnya, air mata saya tak embuh henti dari punca netra. Mencengkeram ujung pakaian saya. Saya tidak bisa menyalahkan Samuel, karena semua bukan kesalahannya. Semua salah saya. Salah saya. Salah saya.Biarlah saya tuai apa yang saya tanam. Biarlah Samuel kian antipati terhadap saya. Biarlah. Biarlah. Saya hanya akan terus hidup untuk anak saya,
ㅤㅤhadiah terakhir Mahar.
0 notes
bebekchan · 4 years
Text
GANERA 1
Renjana menggelora, menuntut 'tuk dipertanggungjawabkan. Filantropi menggema, mengugat 'tuk dituntaskan. Cinta membara, meminta 'tuk segera diselesaikan. Memihak pada bahang dan hasrat, hingga toreh gamang dan berang. -------------------- ㅤㅤ ㅤㅤBak Galih dan Ratna, keduanya berangan tentang cinta abadi.
ㅤㅤBak Romeo dan Juliet, keduanya berlari dalam kasih anti mati.
ㅤㅤNamun mereka hanyalah Siti Nurbaya dan Sjamsulbahri, yang tiada dapat bersatu dan berbagi hati. --------------
Saya Mahar Pramuditya. Bolehlah Anda sebut saya dengan Mahar sahaja 'tuk singkat sangkala. Melendeh di sebut saung bambu bersama beberapa ubi rebus, segelas teh melati yang suamnya telah menguap, jua seorang nona nan adun irasnya buat jatuh cinta.
Maharani Widyastuti. Kekasih saya. Anda akan menganggap lucu atas fakta bahwa asma kami miliki kemiripan. Saya pun terpana sebelumnya dan detik ini masih terpesona. Apakah kami memang ditakdir 'tuk berpetah bersama? Mari lewatkan bagian itu, karena dua netra saya tangkap sirat gayat dalam kelih yang ditembakkan Rani. Setengah jam kami bersama, tiada obrolan manis yang biasa menganti dan menemani. Tiada tatap bertumbuk dan kembali cipta jatuh hati. Tiada Rani yang biasanya.
"Rani, ada apa? Saya buat salah?" ㅤㅤ ㅤㅤDiamnya selalu saya artikan bahwa saya melakukan kesalahan.
ㅤㅤDiamnya selalu saya artikan bahwa dirinya akan pergi tanpa tenggan.
ㅤㅤDiamnya selalu saya memetakan ketakutan.
ㅤㅤDiamnya selalu buat saya takut kehilangan.
Namun, yang saya dapat hanyalah sebuah gelengan lesu yang kian buat hati bertanya-tanya. Maka, sebelah tangan saya raih dan menyelipkan jari-jemari di sela-selanya. Menghantarkan hangat dalam genggam dan harap dapat menenangkan gundah benaknya.
"Mahar, kalau saya nggak lagi sama kamu, apa yang akan kamu lakukan?"
Saya menelinga setiap tuturnya. Berusaha mencerna madah demi madah meski hati tak embuh beri paham. Otak tak embuh beri pengertian. Hanya satu pertanyaan, tetapi cipta lara sejuta. Tidak. Lara tidak terhingga. Saya tak tahu apakah itu hanya andai-andai atau kenyataan.
Tidak. Saya tengah menolak kenyataan saat ini.
"Hahahaha, kamu ini, kok, tiba-tiba habis diam langsung bercanda. Saya 'kan kaget, Ran."
"Kamu tahu sendiri Ibu dan Bapak sangat tidak suka kamu pacaran sama saya? Karenanya, sekarang saya dijodohkan, Mahar. Saya dipasangkan."
Gugur. Gugur. Gugur.
Hancur. Hancur. Hancur. Hancur.
Saya memilih terdiam setelah tuturan yang membuat napas Rani tidak teratur. Sibuk bersama gemuruh dalam benak yang tak mau libur. Saya ingin kabur. Saya ingin lebur. Saya paham betul alasan mengapa orang tua kekasih saya tidak pernah menyukai hubungan kami. Kami berbeda. Sangat berbeda. Saya imani Allah, ia imani Yesus. Saya tidak lanjut sekolah, ia kuliah jurusan Kedokteran.
Rani di langit, saya di bumi, di dasar tanah.
"Mahar, jawab."
"Rani, saya cinta kamu. Hanya saja untuk mengejarmu, saya tidak akan pernah sanggup. Saya tidak bisa. Saya akan gagal."
Saya menyerenjang hampir tinggalkan saung, tetapi sebuah genggam buat langkah saya yang hendak terlaksana berhenti. Tangan hangat Rani membakar diri. Kami tidak egois. Kami hanyalah hamba yang pilih diri 'tuk meniti jalan agamais. Bukan perihal rasa dalam benak yang cipta miris. Kami ini absis.
"Mahar, maafkan saya."
Obstruen itu kembali buat saya goyah. Suaranya yang pecah akibat menahan tangis buat saya tak bungah. Saya payah. Saya payah. Saya payah.
"Rani, tidak ada yang salah di antara kita. Tidak ada yang salah dengan iman kita, status kita, rasa kita. Hanya saja, saya orang yang salah, Rani. Saya bukan bahagiamu. Jadi, sudah, ya? Tidak perlu bersedih lagi."
Saya dapat merasakan cengkeraman pada lengan saya mengetat. Saya juga dapat rasakan ia bergetar dan dapat dengar isak renik lepas. Saya menoleh.
Inikah patah hati yang dirasakan bocah ingusan sembilan belas tahun seperti kami?
"Mahar, sebelum kita sudah tak lagi jadi kita, boleh saya pinta satu? Untuk terakhir kali." Meski tersendat, Rani berhasil menyelesaikan kalimatnya, buat saya mengangguk sebanyak dua. Mempersilakan ia beri pinta meski saya tak tahu dapat penuhi atau pun tidak.
"Cium saya."
Saya terbakar oleh pintanya. Saya menggila oleh tuturnya. Saya tak embuh agih kecup untuknya, tetapi rekaan kisah manis kami mendadak terputar di sekeliling dan mengikat diri dalam kegamangan.
Haruskah? Pantaskah? Bolehkah?
Lautan masa lalu kian menenggelamkan saya. Menjerat saya untuk kembali cinta pada sosok yang sama. Menikmati lara atas rasa yang menggelora. Mahar gila lagi pada sosok Maharani.
PERSETAN!
Dua labium suah bertemu. Bertukar rindu yang tak mungkin lagi dapat disalur. Bertukar hati yang setelah ini tak mungkin dapat dilaku. Hingga tiada sadar, satu per satu sandang khali dari raga. Cipta cinta di antara hati yang remuk redam. -----
Tamparan keras menjalari pipi. Rasa panas yang menguasa tak mengalahkan lara hati dan rasa bersalah yang amat menjadi. Saya menilik Rani yang duduk memeluk ibunya, berlinang air mata saat melihat saya jatuh di atas ubin bersuhu rendah.
"Kamu bisa kasih anak saya makan apa, Bangsat? Berani-beraninya tanam benih di sana tanpa janjikan apa-apa. Kamu mau beri anak dalam kandungannya apa, hah? Bajingan!"
Iya. Anda tepat. Saya membuatnya hamil anak saya, ketika saya tak dapat restu bahkan untuk titip salam padanya. Saya membuatnya menderita lagi. Saya membuatnya hancur lagi.
Saya payah. Saya payah. Saya payah.
"Saya akan tanggung jawab, Pak. Saya akan nika—"
"KAMU PIKIR MUDAH? KITA INI BERBEDA, MAHAR. SAYA SUDAH BILANG BERIBU KALI, KAMU DAN RANI BERBEDA. KAMU MAU MENGIMANI TUHAN KAMI?"
Iya, saya tahu kami berbeda. Saya tahu kami tak serupa. Saya tahu bahwa saya dan Rani tak seharusnya bersama.
Namun, bisakah kalian lihat bahwa kami punya cinta yang sama? Kami mau berusaha berdua?
Saya diusir kemudian, sebelum sempatkan beri ucapan sekata pun pada Rani. Pada anak kami. Pada cinta kami yang dipaksa usai.
Hingga saya sadar, tak ada lagi kata kami dan kita untuk menjembatani saya dari Rani.
1 note · View note
bebekchan · 5 years
Text
loona, a beautiful masterpiece
loona is such a beautiful project. the message these girls and their team carry through each of their songs is so precious.
there’s a line in the description for the butterfly mv that goes “loona causes a butterfly effect through music for the listeners to gain courage, find oneself and raise one’s voice. anyone under influence is another loona”. not only did this really make me tear up from happiness, it also made me think about what loona as a group represent, and i think i know now.
loona began alone, slowly uniting to subunits with the ultimate goal to unite and complete themselves in the end. they had hardships and problems along the way, but also many epiphanies, happy memories and important lessons learned. along this long journey to become full circle, they learned hope, resistance, self-love, happiness, believing in yourself and so much more. what loona embodies is the best form of yourself, all gained through the journey of your own life.
before any of us knew loona, we lived our lives. now that we know loona, and have seen them all come together and basically self-actualize before our own eyes, they want us to know that they are a symbol of what is possible for us. we can, through their music, look back at moments past and remember what can be learned. we can take the happiness and self-love from here and the lessons from there. it’s a butterfly effect, where we can decide to make a change in ourselves to essentially self-actualize and love ourselves entirely, and find happiness overall.
what makes us all loonas is the capacity to love ourselves, learn to be strong in hardships, overcome obstacles, find happiness even in little things and so much more. loona symbolises all of that, since the beginning of their project till now. they showed us girls from all over the world to remind us we all fall under this category. we aren’t just orbits, we’re loonas too. we define our lives.
loona go a step further with this new release. they invite us to release ourselves, to be free and FEEL free. when you find love for yourself, it’s the very same catharsis that loona speaks to us about. they’re encouraging us all the time to go above and beyond.
isn’t that just insanely beautiful?
202 notes · View notes