Tumgik
beneranerissa · 5 months
Text
Tumblr media
Calista Putri Harahap, anak bungsu dari 2 bersaudara, dan juga sahabatku dari kecil. Aku mengenal dia sejak SMP dan sampai sekarang, sampai aku pindah ke Jakarta pun, aku masih berteman baik dengannya. Melihat balik dari awal berkenal dengannya sampai sekarang, aku sedikit terharu.
Calista bukanlah orang yang gampang dekat dengan orang asing, termasuk aku. Dia adalah gadis pendiam dan suka menyendiri. Dia juga tak punya banyak teman. Melihatnya yang sering duduk sendiri, makan siang sendiri, terbesit dihatiku untuk bertemanan dengannya. Tidak sangkanya aku bisa berteman dengan dia sampai sekarang.
Calista—gadis yang dulunya pendiam dan sering menyendiri—sekarang tumbuh besar menjadi wanita dewasa yang memiliki banyak teman. Banyak yang menyayangi Calista karena sifat dewasanya itu. Ah, ralat... Aku sangat terharu dengan perkembangannya.
Aku juga sangat berterima kasih dengannya. Tanpa Calista, sepertinya aku tidak akan bisa menjalankan kehidupan perkuliahanku ini. Tanpa Calista, mungkin aku sudah di bangsal Rumah Sakit Jiwa. Tanpa Calista, mungkin... aku sudah dinyatakan meninggal karena overdosis saat itu...
Calista, perempuan yang selalu menyemangatiku setiap pikiran jahat itu mulai mengerogotiku kembali.
Calista, perempuan yang selalu mengajakku keluar, melihat dunia luar saat aku berada di titik terendah.
Calista, perempuan yang selalu memelukku disaat aku membutuhkan pundak untuk bersandar.
Terima kasih, Calista. Sungguh, aku sangat berterima kasih denganmu, dengan semua jasa-jasamu selama ini.
0 notes
beneranerissa · 5 months
Text
Tumblr media
Nerissa, si bungsu dari Keluarga Haryono.
Sejak kecil, aku sudah dibentuk oleh orang tuaku untuk menjadi orang pintar. Berbagai macam bimbel dari segala jenis mata pelajaran mereka mendaftarkanku, bukannya semakin pintar, aku malah semakin bodoh. Jujur pun akan membuahkan pukulan, cambukan, bahkan caci makian dari mulut wanita yang melahirkanku itu. Ayahku? Dia hanya melihatku dipukul dan dimarahi. Kakakku? Sudahlah, dia hanya mengompori Ibuku.
Aku hanya bisa menangis sendiri. Kalaupun aku bercerita kepada kakakku, dia malah mencerita masalahku yang tak seberapa itu ke Ibu. Begitulah lingkaran setannya. Ujung-ujungnya, aku tidak percaya kepada keluargaku sendiri.
Hanya sinar lampu, nyamuk, dan selimut yang mendengarkan isi hatiku. Dini hari–tepat disaat semua anggota keluargaku tertidur dengan lelap–diwaktu itulah merupakan waktu yang sangat aku suka. Aku bisa sendiri.
Sendiri, tanpa ada suara yang sedang memarahiku.
Sendiri, tanpa ada suara hentakkan kaki yang berjalan menuju kamarku sambil membawa sapu.
Sendiri, dengan pikiranku yang lama kelamaan mengerogoti kewarasanku.
Sendiri, dengan suaraku isak tangisku.
Sendiri.
0 notes