Tumgik
Text
Campur Tangan Allah Terhadap Hatimu
Kita semua paham, bahwa Allah Maha Pengatur. Bebas untuk berkehendak atas segala sesuatu, dan hati adalah satu yang bebas dikehendaki oleh Allah. Allah berhak membolak-balik hati seorang hamba. Merubah sedih menjadi senang, begitupun sebaliknya. Menjadikan hati nan lapang menjadi sempit, vice versa.
Jadi, keadaan mood dan unmood seorang manusia tidak lepas dari campur tangan Illahi. Tapi kenapa Allah mencampuri urusan hati kita? Ada yang kepikiran? Simple sih, kalau menurut saya hati itu merupakan perkara yang rapuh dari diri seseorang. Jika tidak dijaga pastilah akan mudah sekali hancur. Berkali-kali malahan. Makanya Allah mencampuri urusan hati seorang hamba semata-mata untuk menjaga hati itu sendiri.
Kala seseorang berbuat salah, dilukai atau melukai, unmood dan semacamnya, disana Allah berperan memberi rasa bersalah ataupun sejenis perasaan yang berat di dalam dada dan mungkin tidak bisa dijelaskan melalui kata dan tulisan. Tujuannya agar kita merenung, kemudian kembali kepada-Nya, Sholat serta berdoa,minta ampunan-Nya, dan memperbaiki kesalahan diri atau memaafkan kesalahan orang lain.
Kemudian saat orang berbuat kebaikan, mendapat kebahagiaan atau memberi kebahagian, mood dan sejenisnya, kala itu Allah memberi lapang di hati kita. Sehingga kita sadar akan kuasa-Nya, kembali lagi kepada-Nya, sholat serta berdoa, bersyukur atas apa yang diberikan-Nya, dan tentu saja jika sedang berbahagia secara tidak langsung kita juga menularkan bahagia kepada orang lain yang melihatnya. Misalnya melalui senyuman.
Jadi jelas, Allah selalu menjaga hati kita. Saat hati sedih, Allah masukkan rasa berat di dada agar kita memahami kesedihan itu. Kala hati senang, Allah masukkan kelapangan sehingga kita menjadi bersyukur. Penjagaan hati oleh Allah menjadikan seseorang tidak berlebih-berlebihan terhadap perasaannya sendiri. Terlalu sedih tidak baik, bisa berakhir dengan depresi dan bunuh diri. Terlalu bahagia juga tak baik, berujung sombong. Makanya dalam islam ghulluw ( berlebihan ) itu tidak diperkenankan. Apalagi ghulluw dalam meresapi hati.
Bersyukur Allah masih memelihara hati kita. Sebab jika Allah sudah tidak peduli, maka hatipun akan menjadi mati. Saat itulah menurut saya, manusia menjadi kufur atas kehidupannya.
194 notes · View notes
Text
Harapan
"Kamu terlalu baik kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan. Membuat mereka terlalu nyaman di dekatmu dan membuat mereka merasa aman untuk membuka cerita kepadamu.
Aku hanya sekedar mengingatkan, berhati-hatilah. Kamu menumbuhkan apa yang tidak mereka tanam. Perasaan aman dan nyaman itu lebih berbahaya dari perasaan cinta. Kau perlu tahu itu, teman.
Kau sudah merusak masa depan dirimu dan banyak perempuan. Mereka kemudian bisa saja memiliki perasaan masa lalu yang tumbuh ketika kamu sudah bersanding dengan orang lain dan sebaliknya.
Kau paham sesuatu?
Aku katakan sekali lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan. Sikapmu itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya. Jagalah dirimu lebih baik. Kau tidak perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika sekedar ingin menjadi laki-laki yang baik, bukankah demikian?
- Hujan Matahari
1 note · View note
Text
Mama bgt
Ibu Kepada Anak Perempuannya
Anakku, kau tahu apa yang membahagiakan selain melihatmu tumbuh besar dengan baik dan cantik? Melihat kau sehat hari ke hari, sudah pasti. Membesarkanmu dengan menanamkan sifat-sifat yang baik hingga terbentuk pribadi yang baik pula, sudah barang tentu. Memiliki karir yang mumpuni? Ah anggap saja itu bonus karena Ibu sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi.
Sini Nak, duduk di samping Ibu. Ada yang ingin Ibu sampaikan pada gadisnya…
Ada satu bahagia yang belum Ibu terima dari beribu bahagia karena sudah mengandung, melahirkan dan merawatmu hingga menjadi wanita dewasa seperti saat ini. Kebahagiaan yang pastinya akan menjadi bahagiamu nanti; memindahkan tanggung jawab ayah pada sosok pria lain yang akan membimbingmu dan keluarga kecilmu nanti. Perihal ini, jangan salah pilih Nak. Jika Ibu selama ini sedikit bawel perihal lelaki yang dekat denganmu, maklumkan saja. Kalau selama ini Ibu seolah mengintograsimu macam-macam tentang pria yang dekat denganmu sekalipun itu teman atau sahabatmu, mengerti saja. Ibu hanya tak ingin bunga yang sudah Ibu rawat layu di tangan orang lain yang baru saja datang ke dalam kehidupanmu. Paham ya Nak?
Anakku, memilih pasangan bukan hal yang mudah. Barangkali kau sudah menuliskan rentetan kriteria yang kau inginkan ada di dalam diri calon pasanganmu. Tapi Nak, yang dinamakan jodoh tidak pernah kita kira. Cinta datang begitu saja. Pada ayahmu misalnya, dia bukanlah kriteria idaman Ibu saat masih muda dulu. Jauh. Jauh sekali dari kriteria yang Ibu inginkan. Namun pilihan ibu jatuh padanya. 
Nak, jangan terlalu idealis, menginginkan ini itu sedang dirimu tak sebaik apa yang kamu harapkan pada calon pendampingmu. Jika kau inginkan hal yang baik pada pasanganmu, jadilah sebaik-baiknya diri terlebih dahulu. Karena hakikatnya pasangan adalah cerminan kita sendiri. Mengerti ya, Anakku?
Nak, nanti kalau sudah ada yang kau rasa pantas dan siap untuk diperkenalkan pada Ibu, suruh berkunjung ke rumah. Barangkali nanti Ibu akan lebih kritis, kau jangan kesal pada Ibu karena tidak mempercayai pilihanmu. Ibu hanya ingin tahu, apa anakku berada pada tangan yang tepat, nantinya. Jangan pula menggerutu ketika Ibu menceramahinya tentang bahtera yang akan kalian lalui nantinya, ini bentuk kasih Ibu pada anaknya. Bagaimanapun, pengalaman Ibu lebih banyak daripadamu, Nak. 
Sejauh ini dapat kau mengerti ya Nak? Bagaimana Ibu sayang padamu, hingga pilihan masa depanmu yang satu ini Ibu pun harus ikut untuk campur tangan.
113 notes · View notes
Text
I feel u
alter ego
kau benar. aku hanya punya satu golongan darah. satu dari empat. satu dari enam bahkan. aku hanya punya satu tanggal lahir, yang artinya hanya punya satu rasi bintang. satu dari dua belas. aku hanya punya satu dari enam belas kepribadian. aku hanya punya satu dari melankolis koleris sanguinis plegmatis–dua paling banyak.
tapi aku punya tak terhingga alter ego–aku sendiri sulit menghitungnya. kurasa itulah kenapa aku butuh banyak teman. kadang merasa tak pernah cukup dengan yang ada. kau tau, aku tak pernah menjadi diri yang berbeda di hadapan siapapun. aku hanya menampilkan sisi diri yang berbeda-beda. dan dengan demikianlah aku berteman. semua orang juga begitu kan? 
ada teman senang-senang. ada teman centil-centilan. ada teman belajar. ada teman bekerja. ada teman untuk bicara ringan. ada teman untuk bicara dalam. ada teman yang mengetahui masa laluku. ada teman yang kuceritakan cita-citaku. ada teman rohani. ada teman jasmani. ada teman yang selalu mendengarkan. ada teman yang selalu mendoakan. ada teman yang selalu bisa menyemangati. ada teman yang selalu bisa memberikan solusi. ada teman yang–diam-diam kuidolakan. ada teman yang mengubah hidupku meski kecil-kecilan. juga besar-besaran. ada teman yang datang kepadaku saat butuh bantuan. ada teman yang selalu menghadirkanku, meski kenyataannya, aku tak sepenuhnya hadir kembali untuknya.
kadang aku berkhayal. seandainya semua jenis teman itu bisa berkumpul di satu badan… mungkin hidup menjadi lebih menyenangkan, sederhana, mudah. aku tak perlu repot mengganti-ganti muka.  meski isi hatiku pada dasarnya tetap sama. apalagi isi kepala.
aku telah selalu menjadi diriku sendiri. tapi aku belum pernah menampilkan seluruh sisi diriku kepada seseorang. aku juga belum pernah punya–teman yang menampilkan seluruh sisi dirinya kepadaku. itulah kenapa aku butuh teman. satu saja.
529 notes · View notes
Text
Nyatanya di lapangan masih banyak kejadian buruk setelah menikah, padahal "pacaran" udah lama, sooo? Siapa yg salah
Realita Pernikahan, Tak Seindah Waktu Pacaran
Mungkinkah orang yang saat ini menjadi pasangan kita adalahseseorang yang benar-benar sesuai dengan ekspektasi kita selama ini?
Benarkah cinta memang selalu membuat buta banyak hati, yang akhirnya hanya mendatangkan kekecewaan?
Atau, mungkinkah dia yang kau harapkan selama ini untuk menikahimu adalah orang yang akan tetap sama seperti saat masih “pendekatan/pacaran”?
Tumblr media
Pasanganmu Dan Ekspektasi Muluk
Andai saja ekspektasi muluk tentang seseorang yang kita cintai selama ini tidak terlalu tinggi, mungkin kekecawaan tidak akan terlalu keras meninju wajah . Siapakah dia, yang selama ini menjadi tempatmu  menggantungkan harapan dan impian akan indahnya sebuah hubungan, tentang kebijaksanaannya sebuah cinta kasih yang sempurna menurut angan? Apakah kamu menggantungkan itu semua masih pada “seorang manusia”? jika jawabannya “ya”, maka janganlah kau berkeluhkesah nantinya.. karena manusia “tidaklah sempurna”, dan tidak pernah bisa selalu sempurna seperti dahulu saat bertemu.
Tak sedikit orang yang berangan terlalu tinggi tentang pasangannya saat ini, mereka berharap pasangan mereka adalah seseorang yang selalu bisa romantis seperti tokoh dalam drama korea.. dan tak sedikit juga yang mempunyai angan tinggi kalau pasangannya saat ini akan menjadi sosok orang yang akan terus menerus bersikap sama atau bahkan lebih dari ketika waktu masih “pendekatan/pacaran”.
Jika kau sadar bahawa manusia pasti akan berubah, maka harusnya kau tak berangan terlalu tinggi tentang tetapnya sikap seorang manusia. Jika kau sadar bahwa angan dan realita tidaklah selalu sama, maka semestinya kau harus siap menerima bahwa perubahan itu pasti ada dan nyata adanya.
Dulu waktu pacaran dia adalah sesosok orang yang sangat memperhatikan dirimu, tetapi ketika sudah menikah dia akan banyak membagi perhatiannya pada banyak hal.. tidak hanya pada kamu semata. Kau harus bisa menerima itu semua, karena itulah realita yang sebenarnya. Apa yang tampak ketika masa pendekatan/pacaran kadang hanya bersifat sesaat, semua akan berubah seiring berjalannya waktu.
Kata orang “cinta itu akan terbukti benar-benar indah atau tidaknya ketika nanti saat menjalani pernikahan”. Saya setuju dengan pendapat itu, karena jika hanya bermodalkan cinta saja maka sebuah pernikahan akan rapuh, pernikahan butuh kesiapan menerima realita.. butuh kelapangan hati menerima seseorang yang dulu sangat kita sayangi berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Saat itulah cinta bisa dibuktikan dan dimaknai dengan arti yang sebenarnya.
Pernikahan bukanlah pembuktian cerita romantis yang selama ini ditulis pena imajinasi dalam angan..
Pernikahan itu bukan cerita fiksi yang endingnya bisa ditebak dengan mudah
Pernikahan bukanlah perjalanan yang selalu bergelut dengan cinta-cintaan melulu
Pernikahan adalah perjalanan mendewasakan diri masing-masing, perjalanan mewujudkan tujuan pernikahan itu sendiri yang tak kadang tak sesuai dengan apa yang kita mau. Pernikahan adalah jalan Tuhan yang membuat manusia tersadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari ketidak sempurnaan dan khilaf, dan salah satu cara terbaik untuk beribadah lebih baik lagi pada Sang Pencipta.
Luruskan niat, siapkan mental, melangkahlah untuk menikah hanya untuk beribadah kepadaNya. Cinta pemberian Ilahi akan lebih kuat mengokohkan langkah kalian saat mengarungi perjalanan itu, restu Tuhan-mu lebih penting ketibang cinta yang kita buat ketika saat pacaran.
— Satria Utama | Relationship Coach
�{�Ӧ%�
76 notes · View notes
Text
Yea
Tuhan Kita Sama, Kita yang Berbeda.
Mungkin sudah lebih dari puluhan kali aku menjejakkan kaki di sini. Di sebuah parkiran motor yang tidak terlalu banyak motornya, namun mobilnya begitu membeludak. Beberapa orang mulai pada berdatangan, para penjaja makanan terlihat bahagia pagi ini.
Aku beranjak turun dari motorku, melepas helm sebentar sebelum tiba-tiba dari belakang ada yang menggandeng tanganku erat.
“Dimas, masuk yuk!” Ucapnya manis sekali. Mungkin lebih manis dari bapau isi kacang merah yang dijual di depan etalase parkiran.
“Bercanda aja kamu. Sana masuk dulu. Ibadah yang bener, aku tunggu di tempat yang biasa. Nyanyinya jangan terlalu semangat, kasihan Tuhan. Suara kamu jelek soalnya.” Aku meledeknya sambil pelan-pelan melepaskan tali helm yang masih mengikat di antara dagu dan pipi-pipinya.
Setelah satu kening berhasil kukecup hangat, dia tersenyum dan pergi masuk ke dalam gereja. Meninggalkanku sendiri di tempat biasa setiap minggu pagi. Di pojok gereja ada satu kantin kecil, aku sering duduk di sana dan menyapa seluruh penjualnya. Kita sudah cukup akrab, bahkan mbok Murni– sang punggawa pentolan warteg, sudah hapal diluar kepala kalau aku pasti memesan segelas kopi hitam pekat.
“Rajin amat mas Dim nganter pacarnya.” Ucap mbok Murni sembari mengelap meja di sebelahku.
“Iya bu, kewajiban. Calon imam yang baik mah gini.” Jawabku.
“Calon imam? Sudah yakin si neng mau pindah?”
DEG!! Aku tertohok dengan pertanyaan mbok Murni. Sebenarnya aku sudah yakin hubungan ini tidak akan bertahan lama. Kita sama-sama sudah terlalu mencintai agama kita sendiri. Dia itu anak Tuhan. Kitab Injil sudah khatam dia baca setiap pagi. Dan aku gini-gini juga lulusan pesantren. Walaupun orang tuaku dulu juga beragama Kristen, tapi kini keluargaku menganut agama Islam. Begitu juga dengan orang tuanya. Ibunya dulu Islam sebelum pada akhirnya pindah agama menjadi Kristen. 
Maka tak sulit bagi kita untuk saling memperkenalkan diri walau berbeda agama di depan kedua keluarga kita. Kita berlagak serius, namun sayangnya, di mata Tuhan kita tidak seserius itu.
Suatu pagi, aku masih terlelap kelelahan karena di malam sebelumnya kita habis mengunjungi salah satu pesta ulang tahun teman. Namun, tepat pukul setengah lima pagi, dia menggoyang-goyangkan badanku.
“Dimas.. Dimas kebo! Bangun dulu, subuhan gih.” Ucapnya manja.
Sedangkan aku yang mendengarkannya hanya terus pura-pura belum terbangun hanya agar bisa mendengarkan suara parau manjanya lebih lama. Sebenarnya ingin aku segera membuka mata, melihat dia yang baru bangun, lalu memeluknya erat dan melewatkan segala ibadah pagi. Ibadah pagiku, dan Ibadah paginya.
Walaupun kita berbeda, dia selalu setia menyuruhku sholat. Begitupun aku yang selalu setia mendampinginya berdoa tiap pagi dengan berdawai gitar. Aku bahkan sampai pernah khatam dengan lirik lagu pujian Tuhan yang dia dendangkan setiap hari. Dan tanpa sadar, aku pernah ikut bernyanyi. Lantas apa aku pernah merasa berdosa karena melakukan itu? Tidak. 
Aku pernah ikut Misa dengan nenekku di gereja, meminum wine merah dan memakan roti. Pernah juga aku ikut berdoa di kuil buddha bersama kakak Iparku, sebelum pada akhirnya dia yang ikut berdoa bersamaku di masjid daerah Yoyogi di kota Tokyo. Bagiku, melihat cara mereka beribadah, adalah salah satu cara aku bersyukur kepada Tuhan bahwa ternyata ada banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk tak berhenti memujaNya.
Suatu malam, sehabis kita makan malam, aku cukup telat pulang ke kosannya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10. Dia sedang tidur-tiduran di kosannya, sedangkan aku buru-buru mengambil air Wudhu untuk sholat Isya. Begitu aku keluar dari WC, sajadah sudah disiapkan begitu rapih. Aku menatapnya, dan ia tersenyum kecil sambil menggenggam telepon genggamku.
Sudah menjadi kebiasaan bagiku jika sholat sendiri namun tetap berucap lantang di dua raka’at awal ketika sholat Isya dan Maghrib. Namun karena tidak mau terlalu mengganggu pacarku, aku tetap mengucapkannya sepelan mungkin.
“Bi Allaihim Walad Dholin…” Ketika aku selesai membaca Al-Fatihah, tiba-tiba aku mendengar sautan dari belakang.
“Amin..”
Aku sempat terkejut, aku sempat terdiam sebentar, aku benar-benar terbata. Aku tidak tahu apa yang ia sedang lakukan di belakangku sekarang. Konsentrasiku hilang. Di tiap aku selesai membaca Al-Fatihah, dia ada di belakangku mengaminkan. Aku bahagia– sekaligus tidak percaya. Aku langsung membaca surat Kulhu dan An-nas saja supaya cepat menyelesaikan ibadahku ini. 
Setelah Attahiyat terakhir dan mengucapkan salam, aku langsung menengok ke belakang. Aku cukup terkejut ketika melihat dia ada satu shaf di belakangku, duduk dengan cara yang sama seperti aku duduk sekarang– duduk attahiyatul akhir. Memakai mukena, dan tersenyum kepadaku. 
“Assalamualaikum, Imam..” Katanya manis sekali.
Mendengar itu, tanpa sadar ada beberapa air mata turun di kedua mataku. Entah aku tengah merasakan apa, ini baru kali pertama aku menangis setelah sekian lama. Air mata itu turun begitu saja tanpa ada emosi tergambar di wajahku. 
Dengan cepat aku langsung menghampiri dan memeluknya erat. Aku kecup sedikit keningnya. Dan tiba-tiba, ia ikut menangis di pelukku. Di pelukan yang paling dalam yang pernah aku berikan kepada wanita. 
“Kamu cantik sekali malam ini.” Ucapku lirih.
Sambil masih terisak-isak, dia menjawab, “Aku pernah menemani kamu Sholat di Mushola kecil kampus kita dulu. Kamu jadi Imamnya, dan ketika kamu selesai membaca doa itu, mereka mengaminkan. Aku iri melihat hal itu. Lalu setelah selesai sholat, kau sempat berdoa dulu sedangkan mereka langsung keluar. Dan kau tahu apa yang mereka ucapkan? Mereka memujimu, memuji caramu berdoa, caramu melafalkan. Aku sakit, Dim. Sakit hati sekali. Seakan mereka lebih mengerti kamu ketimbang aku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka puji darimu. Bagaimana bisa? Aku kan pacarmu! Ternyata aku benar-benar pacar yang tidak berguna!” Ucapnya yang semakin erat meremas bajuku yang sudah basah karena air matanya.
Aku memeluknya semakin erat, kucium keningnya sekali lagi. 
“Aku bahagia mencoba berdiri di belakang kamu saat ini. Kamu juga pasti bahagia mencoba bernyanyi memuji Tuhanku di gereja nanti.” Tambahnya parau.
Aku terdiam.
“Kenapa kita harus berbeda, Dimas..” Kini tangisannya pecah dalam pelukku, begitupun tangisanku. 
Malam itu, kita berdua mendekap hingga larut malam. Aku masih di atas sajadahku, dia masih dengan mukena-nya yang entah dapat darimana. Seakan di tempat aku sering bersujud dan bersimpuh dalam doa ini, kita mengadu kepada Tuhan yang sama, meminta diizinkan untuk bisa hidup bersama. Namun sayangnya, kita tetap berbeda.
Setahun kemudian.  Di depan gereja tempat aku sering mengantarnya dulu, aku melihat dia kini tengah menggandeng tangan seseorang yang beragama sama, mereka masuk ke dalam gereja dengan bahagia. Melihat hal itu, aku ikut bahagia. Akhirnya ada yang menemaninya beribadah. Akhirnya dia tidak menyanyi sendiri lagi. Akhirnya ada yang menemaninya mengucapkan Amin pada doa yang sama. Aku menatapnya lama sekali, sampai ia masuk ke dalam pintu gereja yang megah itu.
“Dimas! Kenapa Diam?” Tiba-tiba ucapan seseorang di belakangku mengaggetkanku.
“Eh iya, gapapa. Yuk jalan lagi.” Jawabku.
Dan kini, di belakangku, tengah ada seseorang yang benar-benar tulus mengaminkan segala doaku tepat satu shaf di belakangku ketika aku bersujud.
Tuhan. Bolehkah aku bertanya? Kenapa manusia memanggilMu dengan nama yang berbeda-beda?
Mungkin Tuhan menjawab, Untuk mengetahui seberapa besar cinta umatKu pada Tuhannya masing-masing.
Mungkin..
Tumblr media
722 notes · View notes
Text
Tak perlu menangisi kenyataan pahit yang terjadi, kau cukup mengikhlaskan
Tedea
0 notes
Text
Tips Menghadapi Skripsi
Warning : Sebelum membaca tips ini pastikan anda sedang dalam keadaan bahagia dan tidak dalam keadaan depresi. Karena konten artikel ini tidak sepenuhnya benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
Tumblr media
Jika kamu sekarang mahasiswa tingkat akhir, maka mungkin kamu sedang atau akan menghadapi skripsi/tugas akhir. Skripsi sendiri terkadang menjadi momok tersendiri, terutama bagi kamu mahasiswa yang (mungkin) tidak serius menjalankan perkuliahan selama semester yang lalu. Mungkin kamu baru sadar bahwa status mahasiswa kamu itu harus diakhiri, atau mungkin kamu terlalu cinta dengan lingkungan kampus, atau kamu mahasiswa senior yang setiap tahun ingin memanen mahasiswi baru yang cakep ? Atau bahkan kamu mahasiswi yang selama kuliah mengandalkan cowok kamu yang mahasiswa juga, untuk ngerjain tugas kamu, nyontekin kamu pas ujian ?
Bangun wahai mahasiswa, kamu mesti lulus. Kamu ga mau kan “dipaksa” lulus ?
Keep reading
16 notes · View notes
Text
Riset 6. Bijak di Fase Penulisan Tesis/Skripsi
Menulis laporan bukan hal mudah untuk proyek yang berbulan-bulan lamanya. Saat mulai menulis di penghujung proyek, mungkin kita sudah lupa sebagian dari apa yang pernah kita kerjakan di awal. Untungnya, setiap proyek tesis dimulai dengan sebuah proposal atau rencana riset.
Biar satu frekuensi, sebelum membaca lebih lanjut, ini kerangka laporan saya: Bab 1 Introduction Bab 2 Literature Review Bab 3 Methodology Bab 4 Results and Discussion Bab 5 Conclusion Bab 6 References
*
Banyak yang mengamini pameo ini “palingan juga ntar tesis lo beda ama yang di proposal”. Tapi tidak begitu bagi saya. Proposal saya tidak berbeda dari eksekusi, tapi… tapi… proposal saya jauh dari predikat “detail”. Saya menyadari hal ini saat membuka kembali bab Literature Review dalam file MS Word proposal saat ingin menulis laporan akhir. Proposal saya, akibatnya, tidak bisa plek dimasukkan ke dalam file laporan. Saya panik, karena saya kira saya telah selesai bagian Introduction dan Literature Review. 
Jika saya bagi waktu yang saya punya untuk menulis laporan akhir, i.e. 28 hari, dalam beberapa bagian, tiga hari pertama saya habiskan hanya untuk menenangkan diri, seminggu pertama untuk memperbaiki Literature Review, seminggu kedua menata data, seminggu ketiga bikin analisa, melengkapi Methodology, dan kemudian kembali ke Literature Review. Sisanya untuk proofreading dan melengkapi tetek bengek laporan seperti pernyataan copyright, plagiarism, abstact, daftar isi, dsb..
Panik tiga hari pertama dimulai saat membuka kembali file proposal. “Beuh… Poposal gua nggak ada isinya!” Terasa sekali bahwa proposal ini kurang niat dan merupakan karya seorang deadliner, hahaha. Tapi, yang paling jauh adalah masa lalu jadi ini tidak perlu disesali. Saya akhirnya merombak Bab 2 dan sekalian membangun kerangka baru untuk keseluruhan laporan. Sisa waktu di fase ini saya pakai untuk menata folder di Dropbox dan harddisk berisi pdf artikel jurnal/review dari riset terkait dan file data yang sudah diolah maupun yang belum. Sayapun siap menulis. Saya masih punya cukup waktu. #sugesti
Ada dua tipe orang, tipe bensin dan tipe diesel alias solar. Tipe bensin mesinnya cepat panas, tapi lebih boros karena butuh energi lebih untuk menjaga mesin tetap panas. Sebaliknya, mesin diesel itu untuk panasnya makan waktu, tapi sekalinya panas mesinnya irit dan bandel. Kurang lebihnya, saya menilai diri saya tergolong tipe diesel. Saya butuh waktu untuk tuned in ke satu kerjaan. Tapi pas sudah tuned in, bisa tancap gas dan tidak gampang jenuh.
Salah satu tips agar waktu penulisan lebih efektif adalah bikin kerangka yang lebih detail, mulai dari subbab, sub-subbab, sub dari sub-subbab, bahkan sampai ide utama setiap paragraf. Walaupun pekerjaan ini terlihat remeh, pendetailan ini akan memudahkan kita menulis nantinya dan meminimalisir apa yang disebut “The Writer’s Block”.
Tips berikutnya adalah berpikir retro atau terbalik. Karena data sudah kita pegang pada fase penulisan laporan akhir, kita sudah bisa memperkirakan laporan kita akan seperti apa. Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, bahwa hipotesis kita bisa dijawab dengan argumen, argumen dibentuk dari kumpulan informasi, dan informasi bisa diperoleh dari data yang bisa dipercaya. Maka dari itu, bepikirlah mundur dari Bab 4 Results and Discussion lalu ke bab-bab sebelumnya. Bikin struktur Bab 4 ini, baru sesuaikan dengan bab sebelumnya.
Terakhir, ada orang yang bekerja dengan alur yang tidak teratur dan ada yang harus teratur. Jika kamu tipe tidak teratur, pendetailan sub yang dibahas di atas sangat membantu karena kamu bisa menulis per sub dari kerangka yang sudah ada, terserah mulai darimana. Bagaimanapun, pastikan kamu punya waktu untuk menjahit laporanmu terhubung dan koheren nantinya. Sedangkan orang yang teratur tidak perlu memusingkan soal menjahit laporan, melainkan perlu kelenturan dalam pengerjaan tulisan, yaitu kalau mentok jangan dipaksakan, lanjut saja dulu. Saya sendiri ada di antara dua ekstrem ini, yaitu orangnya lebih enak bekerja serial (teratur) tapi moody dan picky (tidak teratur) dalam hal mau mengerjakan yang mana dulu.
Satu hal yang saya syukuri betul adalah aturan main yang sudah ditentukan oleh dosen pembimbing saya, yaitu harus presentasi tiap dua minggu untuk setor perkembangan terbaru, kritik dan saran, serta konsultasi teknis antaranggota grup. Kami menyebutnya “Surgery” alias pembedahan. Dari laporan setiap pembedahan ini, saya sudah punya data yang sudah diolah menjadi pundi-pundi informasi yang saya cicil selama pengerjaan eksperimen. Sehingga saya hanya butuh satu minggu untuk menuangkan semua data dan menjahitnya menjadi Bab 4. 
Hal lain yang saya syukuri adalah kebisaan saya menggunakan peranti lunak pembuat referensi otomatis yang saya pelajari di bangku sarjana. Di kalangan mahasiswa Indonesia di Manchester, sebagian menggunakan Mendeley dan sebagian menggunakan Endnote. Saya sudah nyaman dengan yang kedua. Buat kamu yang belum terbiasa dengan software ini, silakan dipelajari mulai sekarang. Bayangkan saja kalau kamu mensitasi puluhan bahkan ratusan sumber dalam mahakaryamu di akhir program studimu dan harus menulis manual satu-satu?
Terakhit banget, yang tidak kalah penting adalah piknik selama proses pengerjaan karena tekanan dari tenggat waktu, dosen pembimbing, dan bahkan dari teman sejawat juga besar (bakal banyak nanyain soal laporan tesis daripada nanyain kabar lo! Pffft). Piknik bikin pikiran segar dan syukur-syukur memberi inspirasi. Jadi jangan lupa piknik! 
243 notes · View notes
Quote
Membenarkan Kemaksiatan Banyak pembenaran yang bisa dilakukan untuk suatu maksiat, tapi tahukah engkau bahwa ketenangan hati itu tidak bisa dibeli, keberkahan hidup tak bisa diganti Segala alasan bisa dicari, tapi tak bisa mengubah ketentuan Allah tentang yang halal dan yang haram, yang mana yang akan mendapat balasan yang mana siksaan Ingatlah bahwa hanya dengan ketaatanan hati menjadi tenang, sebab ketenangan itu bukan milik manusia, tapi Allah yang turunkan, begitu juga barakah hidup Banyak orang merasa dengan maksiat dia akan memperoleh kepuasan, tapi yang ada hanya dahaga untuk memperbanyak dan menambah kualitas maksiatnya Dia selalu berpikir ini maksiat untuk yang terakhir kalinya, tapi sebenarnya itu cara syaitan membujuknya agar dia melakukan kemaksiatan itu terus menerus hingga mati Bila kita lunak terhadap kemaksiatan, maka saat itu pula hati kita akan mengeras terhadap kebaikan. Tak mampu lagi merasa salah, tak ada lagi perasaan malu Terus-menerus kita membuat alasan untuk melakukan maksiat, sampai satu saat mulut kita disumpal dengan tanah, dan saat itu yang ada tinggal penyesalan yang panjang Jika ingin mencari alasan, carilah alasan untuk berbuat baik, jangan mencari alasan atas sesuatu yang sudah Allah tentukan itu buruk, semakin beralasan, semakin parah Sebab bila kita mencari pembenaran untuk bermaksiat, artinya kita sudah menutup hati kita dari kebaikan yang Allah siapkan, kita menutup diri dari hidayah Allah Jangan membenarkan diri dalam maksiat, jangan pula kita membantu orang lain bermaksiat dengan cara memberikan dirinya legitimasi untuk bermaksiat Bila orang bodoh itu bermaksiat karena tak tahu ilmunya, maka orang yang fasik itu bermaksiat tapi serasa benar. Itulah sebab azab bagi munafik jauh lebih pedih
Ustadz Felix Siauw (via felixsiauw)
145 notes · View notes
Text
ProyekTKB #2: Pemikiran tentang Jodoh
Usai lulus universitas, kita tidak hanya disibukkan dengan keseruan memilah dan memilih hendak melanjutkan kuliah lagi atau bekerja terlebih dahulu. Ada kalanya, satu pilihan lain muncul dan menjadi alternatif jalan hidup usai menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Menikah. Menikah seringkali menjadi salah satu pilihan para mantan mahasiswa. Pemikiran tentang pernikahan ini bisa jadi muncul karena beberapa hal. Pertama, karena merasa sudah membutuhkan dan sudah mampu. Kedua, karena memang sudah rindu (yaelah). Ketiga, karena pengaruh teman-teman (biasanya kawan-kawan dekat yang menjadi kompor, memberi motivasi, men-cie-cie-kan-mu dengan seseorang hingga kau terbawa perasaan, seolah-olah setelah pulang wisuda kau bisa langsung menikah saja rasanya). Keempat, karena dorongan orang tua.
Dalam kasus saya, pemikiran tentang pernikahan muncul pertama kali karena hal keempat, dorongan orang tua. Kemudian semakin diperparah dengan alasan ketiga, pengaruh teman-teman dekat. Lamanya dikompor-kompori kemudian meluluhkan hati, membuat jadi rindu. Hahahaha. Apasih.
Apapun alasannya, munculnya pemikiran tentang pernikahan dalam alam pikir seorang manusia berumur 20-an adalah hal yang wajar. Bahasa klisenya, memang sudah saatnya, sudah masanya. Sama seperti ketika kita berumur 12 tahun, sudah saatnya masuk SMP. Atau saat kelas XII SMA, sudah saatnya ikut les atau belajar lebih giat untuk masuk perguruan tinggi. Pemikiran itu muncul begitu saja karena sudah saatnya. Tapi, menikah itu sendiri, saatnya kapan bagi tiap-tiap orang, masih menjadi rahasia #boooom #kemudian #baper
Bicara tentang pernikahan, tentu kita tidak sedang membicarakan diri kita sendiri. Menikah, seperti yang pernah disampaikan oleh (Yang Mulia Ayahanda) Pidi Baiq, tidak sama seperti menjadi pilot yang (hanya) dengan masuk sekolah penerbangan saja kemudian lulus kemudian bisa menjadi pilot (sendiri). Pemikiran tentang menikah tentu tidak lepas dari pemikiran tentang jodoh (jangan baper please, jangan). Iya. Bagaimana kita bisa menikah jika tak ada partnernya? Kan enggak ya. Makanya, pernikahan itu nggak sederhana karena membutuhkan kesediaan orang lain.
Lalu, jodoh itu apa sih?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
jodoh/jo·doh/ 1 n orang yang cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup; imbangan ; 2 n sesuatu yang cocok sehingga menjadi sepasang; pasangan ; 3 a cocok; tepat.
Sedangkan dalam Al-Qur’an, jodoh dibahasakan dengan istilah lain, yaitu zauji (suami) dan zaujah (istri).
Di umur saya yang 23 tahun (1,5 tahun lalu maksudnya) ketika pemikiran tentang jodoh itu muncul, hal-hal yang ada dalam bayangan adalah bahwa pernikahan merupakan kumpulan dari berbagai hal bahagia yang mengganda seiring adanya teman hidup. Pemikiran itu muncul tidak lepas dari pengaruh banyaknya tulisan dan ‘kajian’ yang menyajikan indahnya menikah (menikah muda khususnya). Jarang sekali yang dengan tegas dan lugas menjelaskan bahwa menikah itu menggandakan kebahagiaan sekaligus kewajiban (atau mungkin saya aja kali ya yang waktu itu tidak gencar mencari tahu?). Banyak lho teman saya yang bapernya sampai baper banget gara-gara kenyang dijejali kajian yang isinya indah-indahnya menikah muda saja. Jadi, menurut saya, mungkin ada baiknya materi kajian pemuda itu jangan itu-itu mulu yang dibahas. Karena hidup bukan hanya tentang itu (azek!). Dan, sebagai anak muda, ada baiknya jangan cuma datang ke kajian yang ngebahasnya menikah-menikah aja. Datang juga ke kajian lain yuk. Semangat yuk!
Pemikiran tentang jodoh terus berkembang seiring dengan bertambahnya umur (ceilah). Menuju seperempat abad, pemikiran tentang jodoh menjadi tidak sederhana. Benar bahwa seiring bertambahnya usia, kita menjadi kurang idealis dan cenderung realistis. Saya bukan penganut faham realistis dalam hal percintaan (malah cenderung berfaham romantis-melankolis wkwk). Tapi seiring waktu berjalan, kedewasaan yang bertambah dan pandangan yang menjadi lebih luas, realitas menjadi tidak bisa dipisahkan dalam hal memilih jodoh.
Paling tidak, ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan dalam menilai apakah seseorang adalah jodoh yang baik (khususnya memilih suami, karena saya perempuan). Ini adalah kesimpulan pribadi, dengan ilmu yang masih sedikit.
1. 4 hal pertimbangan sesuai syariat: Fisik, Harta, Nasab dan Agama
a. Fisik
Kesesuaian fisik menjadi salah satu kriteria dalam memilih jodoh. Meski bukan hal yang sangat prinsip, kecenderungan terhadap hal ini penting dalam menjaga pernikahan. Dengan adanya kecenderungan terhadap seseorang, kita akan selalu ingat alasan kita ketika memutuskan memilih sehingga tidak sibuk menghitung kekurangan-kekurangan yang muncul dalam perjalanan pernikahan yang memakan waktu setengah kehidupan itu. Merupakan hal fitrah jika kita menyukai seseorang karena fisiknya, asal tidak menjadikan kita lupa bahwa agama tetap menjadi yang utama.
b. Harta
Terlebih dalam memilih suami, harta merupakan sesuatu yang patut dipertimbangkan. Harta di sini, dalam prinsip saya pribadi tidak saya artikan berdasarkan banyaknya. Harta yang menjadi pertimbangan di sini adalah harta yang halal dan berkah serta berkaitan dengan kesungguhannya mencari nafkah. Dia yang pekerja keras bukankah patut dipertimbangkan? #eeaa
Makanya, kamu, semangat ya kerjanya~
c. Nasab
Peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya mungkin tidak selalu benar. Ada kalanya buah jatuh jauh dari pohonnya karena berbagai hal: terhembus angin kah, dipetik koala lalu dilempar kah dan sebagainya. Namun, peribahasa ini juga tidak salah. Sama dengan logika buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, nasab menjadi salah satu pertimbangan dalam mencari jodoh yang baik. Anak yang baik biasanya lahir dari keluarga yang baik. Anak yang bertanggung jawab biasanya dididik oleh ayah yang mampu memberi contoh bagaimana bertanggung jawab. Namun, sekali lagi, di dunia yang serba tidak terduga ini, tidak semua A akan B atau semua C akan D. Cukuplah ini menjadi pegangan kita seraya bersiap dengan kejutan-kejutan tak terduga.
d. Agama
Tentu bukan menjadi khilafiyah lagi jika agama merupakan hal prinsip yang harus dipertimbangkan dalam memilih jodoh. Pemahaman yang baik tentang agama berpengaruh terhadap jalannya pernikahan serta tujuan akhirnya. Dalam hal ini, agama yang dimaksud bukan hanya tentang pemahaman yang baik dan ilmu yang banyak saja, namun juga tentang kesungguhannya dalam belajar. Pernikahan adalah ibadah yang panjang yang di tengah jalan banyak sekali ujian. Untuk menghadapi berbagai ujian itu, tentu membutuhkan upgrade diri yang tidak hanya sekali-sekali, tapi berkali-kali dengan semangat dan kesungguhan yang tidak boleh main-main. Di sinilah point pentingnya, penilaian agama bukan tentang yang dimiliki saat ini, namun juga potensi berkembangnya di tahun-tahun yang panjang kemudian.
2. Interaksi dengan Ibunya, Anak-Anak dan Teman Dekat
Simpelnya, interaksinya dengan Ibu (yang telah mendidik dan melahirkannya) akan memperlihatkan kemungkinannya berinteraksi dengan perempuan lain, yaitu istrinya. Pun dari sini, kita dapat melihat bagaimana potensinya dalam mendidik anak laki-laki kita untuk menghormati kita di kemudian hari. Interaksinya dengan anak-anak memperlihatkan kemampuannya mendidik, menyayangi dan meredam ego. Sedangkan, interaksinya dengan teman dekatnya menunjukkan dari lingkungan seperti apa dia dibentuk.
3. Prinsip Hidup: Apa dan Sejauh Mana?
Menikah adalah ibadah yang memakan waktu lebih dari setengah kehidupan. Dalam waktu yang panjang itu, kita membutuhkan partner yang mempunyai prinsip hidup yang jelas: apa dan sejauh mana? Prinsip hidup ini merambah prinsip dunia hingga akhirat. Melihat sampai mana ia berfikir tentang tujuannya menikah, dapat memberikan gambaran bagaimana ia memandang sebuah pernikahan dan bagaimana ia akan membawa keluarganya. Pun dari sini kita bisa melihat kemungkinannya apakah kita bisa berkembang bersama dengannya atau tidak.
4. Ridho Kedua Ibu
Seorang wanita (hanya) membutuhkan ayahnya untuk menikah, sedangkan seorang laki-laki tidak membutuhkan siapapun untuk menikah. Akan tetapi, sebaiknya pertimbangkan pula restu dari orang tua, terutama Ibu. Khususnya bagi laki-laki karena sampai kapanpun Ibu akan tetap menjadi Ibu. Tanggung jawab anak laki-laki terhadap Ibunya tidak terlepas pasca dia mempunyai istri. Hal ini berkaitan dengan poin selanjutnya (poin ke 5).
5. Kamu dan Ibunya
Sebagai seorang istri (nantinya) hal ini menurut saya menjadi penting untuk diperhatikan oleh setiap perempuan. Dalam beberapa kajian pernikahan yang pernah saya ikuti, ada banyak topik yang menyinggung tentang hubungan menantu perempuan dengan Ibu mertuanya. Tidak jarang hubungan keduanya bermasalah. Mulai dari hal kecil seperti “Kok kamu jarang masak?” sampai hal biasa yang kalau kita nggak paham hukumnya bisa-bisa menggelincirkan kita ke dalam dosa, seperti “Memangnya nggak boleh ya kalau gaji suamimu yang juga anak ibu sebagiannya untuk ibu?”. Satu hal yang harus dipahami oleh setiap perempuan adalah: Sampai kapanpun, suamimu itu tetap anak Ibunya. Dan, satu hal paling mendasar dalam menilai hubunganmu dengan (calon) Ibu mertua adalah “Apakah kamu bisa mengalah padanya?” Sebab posisi seorang perempuan sebagai istri tidak akan pernah bisa menggantikan posisi seorang Ibu bagi anak laki-laki. Seperti keinginan setiap perempuan untuk terus dihormati oleh anak laki-lakinya kelak, seperti itu jugalah yang beliau rasakan. Jawaban dari pertanyaan tadi mungkin bisa menjadi pertimbangan dalam melanjutkan proses atau tidak, tentu setelah melalui pertimbangan-pertimbangan pribadi.
Hal ini pun penting dipahami oleh laki-laki, sebab banyak pula konflik antara menantu perempuan dengan Ibu mertuanya yang justru disebabkan karena seorang suami tidak memahami mana yang harus diprioritaskan (justru membentak ibunya karena lebih mencintai istrinya), tidak memahami cara memberikan pengertian yang baik kepada istri (justru memarahi istrinya yang mungkin khilaf dan kurang sabar) dan tidak memahami bagaimana menemani istrinya dalam perjuangan mengalah tersebut (justru dibiarkan sendirian dalam sedih dan sepi yang berkepanjangan).
6. Dia dengan Ayahmu
Sama pentingnya dengan interaksi seorang istri dengan Ibu mertuanya, interaksi seorang (calon) suami dengan Ayah mertuanya pun sama pentingnya. Sebagai perpanjangan tangan dari seorang ayah atas tanggung jawabnya dalam menjaga anak perempuan tercinta, tentu hubungan, komunikasi dan pola pikir antara seorang laki-laki dan seorang ayah harus sejalan dan baik. Hal ini bisa dilihat dari cara keduanya berinteraksi satu sama lain.
7. Hubungan dengan Keluarga Besar
Menikah bukan hanya tentang dua orang. Lebih luas, menikah adalah tentang dua keluarga. Oleh karena itu, meski menikah adalah terkait janji antara dua orang manusia, sejatinya menikah adalah tentang menyatukan dua kultur yang berbeda. Karenanya, interakasimu dengan keluarga besarnya serta interaksinya dengan keluarga besarmu menjadi hal yang bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih jodoh yang baik. Bukankah akan sangat membahagiakan bila dua orang dapat menyatukan dua keluarga besar sehingga kedua keluarga tersebut bisa saling membantu dalam kebaikan? Aih luar biasa pastinya.
Beberapa point tersebut adalah yang bisa kita jadikan pertimbangan dalam memilih jodoh yang baik. Tentu point-point tadi penuh dengan subjektivitas saya sebagai penulis. Sangat mungkin point-point ini tidak sama dengan yang orang lain punya. Pun point-point ini bisa jadi berubah seiring saya mendapatkan asupan ilmu baru.
Jika point-point tersebut ada dan bernilai positif dalam diri seseorang, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dialah jodoh yang baik. Dialah yang ditunjukkan Allah pada kita sebagai laki-laki atau perempuan yang suami-able atau istri-able.
Setelah mendapat kesimpulan: DIA JODOH YANG BAIK
Pertanyaannya sekarang adalah: JODOHNYA SIAPA DIA?
Nah. Kalau itu, jawabannya cuma Allah aja yang tau. Kita hanya bisa mencari tau dengan membulatkan keyakinan, membuat langkah-langkah ikhtiyar dan memaksimalkan doa. Wkwkwk.
Selamat Menemukan. Semoga Dimampukan, Disegerakan.
tentang ProyekTKB di sini 1. ProyekTKB #1: Memilih Jalan
266 notes · View notes
Text
Yaela
seryus
“Love is about finding courage inside of you that you didn’t even know was there” 
Waktu puber dulu, anggota keluarga yang senior sering mewanti-wanti kami yang remaja dengan larangan pacaran. Kalimat yang diulang, begitu khas sampai redaksinya masih menempel di ingatan. Bunyinya, “Jangan pacaran kalau enggak mau dikawinkan!”. Kami yang waktu itu masih maraton film kartun di ahad pagi dibuat bergidik dengan ancaman “dikawinkan” yang terdengar mengerikan.
Sebetulnya, nilai yang diperkenalkan lewat larangan pacaran mengandung prinsip yang mendasar, jangan main-main kalau belum bisa serius. Sementara anak-anak ingusan tadi tumbuh jadi muda-mudi yang mulai mengenal ketertarikan terhadap lawan jenis, watak main-main mereka masih terbawa sebagai bekal karakter untuk menghadapi banyak hal baru. “Why so serious? Pacaran kan enggak mesti nikah” pikirnya. Akhirnya pantangan pun terlanggar karena rasa penasaran untuk coba-coba mengalahkan kengerian terhadap larangan tadi.
Dimulailah masa dimana muda-mudi (termasuk saya waktu itu) menggelorakan cinta monyet. Masa dimana semua upaya dikerahkan supaya gelora asmara yang tengah bernyala makin kuat kobarannya. Duile. Tapi ya seindah-indahnya cinta monyet, banyak yang berakhir percuma karena sifat hubungan yang dijalin masih coba-coba dan penuh asas “siapa-tau”. Siapa tau awet, siapa tau cocok, siapa tau memang jodohnya - tanpa ada kesiapan apapun.
Jadi, harusnya enggak perlu senewen kalau mereka yang udah nikah memandang drama romantika cinta monyet yang begitu menyita pikiran, tenaga, uang dan waktu dengan sebelah mata. Enggak heran juga sebetulnya kalau dulu nasihat, “Jangan pacaran kalau enggak mau dikawinkan!” umumnya diucapkan oleh orang yang udah menikah karena mereka telah mengalami sendiri perbandingan antara berpacaran dengan berumahtangga yang bagaikan langit dan bumi. 
Misal waktu seorang laki-laki menyatakan perasaan pada perempuan yang ingin dipacari dengan pertanyaan, “Kamu mau enggak jadi pacarku?”, maka pria yang ingin menikah menindaklanjuti keberaniannya kepada bapak dari perempuan idamannya dengan pertanyaan, “Permisi, pak. Apa sudah ada laki-laki yang melamar anak bapak sebelumnya?”.
Atau saat laki-laki yang ingin berpacaran mengemukakan perasaan, penyampaiannya dilakukan di hadapan pujaannya semata. Lain halnya dengan pria yang ingin berumahtangga, pengucapan ikrarnya harus dilakukan di hadapan orang tua, keluarga juga petugas KUA agar hubungannya bisa disahkan secara hukum. Di saat hakikat dari kasih sayang adalah menemukan keberanian, maka harusnya muda-mudi di luar sana menyalurkan keberanian yang ditemukan pada sebaik-baik muara hubungan.
Wejangan, “Jangan pacaran kalau enggak mau dikawinkan!” belasan taun lalu punya hikmah yang mendalam buat saya setelah berkeluarga. Ternyata, laki-laki dianggap serius menyayangi seorang perempuan dengan menikahinya dan bertanggung jawab dengan dunia-akhiratnya. Kalau ada yang mengaku sayang tapi enggak berani menikahi, jelas dia main-main. Sampai kapanpun, kata “pacaran” enggak pernah cocok disandingkan dengan kata “serius”. Lagipula, siapa yang mau disayangi dengan main-main?
Kalau ingin berkasihsayang secara utuh, dewasalah dan menikahlah. Romansa layar lebar paling indah sekalipun akan terasa picisan saat kita menjalani kisah rumahtangga sendiri yang tingkat keseruannya lebih menakjubkan.
Kalau bayangan suami atau istri teladan mutlak bersumber dari pengalaman pacaran, semua orang tua akan mewajibkan anak-anaknya untuk berpacaran sebelum menikah. Nyatanya, mereka yang enggak pernah pacaran sekalipun dan memilih untuk menjaga debar perasaannya sampai akhirnya menikah, juga bisa menjadi suami dan istri teladan karena enggak ada kaitan yang berarti antara pacaran dengan berumahtangga. 
Hal sederhana ini penting untuk disampaikan seiring terus mewabahnya pemahaman yang salah tentang hakikat hubungan pra-menikah di kalangan anak muda. Dengan gambaran yang sama, di masa depan nanti, saya akan berbicara kepada anak-anak saya, “Waktu muda dulu, Ayah pernah nyoba pacaran dan nyeselnya luar biasa sampai Ayah enggak rela kamu ngulangin kesalahan yang sama. Jangan rugiin orang lain. Jangan main-main dengan perasaan sebelum kamu berani untuk serius. Hidupi hidupmu dan hidupkan mimpimu sebaik-baiknya selagi muda. Pengalaman pacaran enggak akan masuk CV, juga enggak akan layak disebut pencapaian apalagi dibanggakan”
608 notes · View notes
Quote
Jika kehancuran dapat disusun kembali, maka yang terjadi hanyalah kesalahan
Tedea
1 note · View note
Quote
Tak ada keraguan, yang ada hanya ketidakpahamanku tentang makna adil dalam hidup ini
Tedea
1 note · View note
Photo
Tumblr media
[MASAKAN TERBAIK MAMA] Jauh dari orang tua mengajarkan ku arti rindu Rindu pada peluk mereka Rindu pada teguran mereka Rindu pada wejangan mereka Rindu saat saat terbaik dalam hidupku Dan terutama rindu aroma dibalik pintu dapur
0 notes
Quote
Luka lama itu bersembunyi dibalik ketegaran hati dan kembangan senyum ini :)
Tedea
0 notes
Video
undefined
tumblr
0 notes