Photo
To see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, to draw closer, to find each other and to feel. That is the purpose of life.
The Secret Life of Walter Mitty (2013) dir. Ben Stiller
4K notes
路
View notes
Text
Not always rainbows.
Iya, begitulah hidup.
Semua orang sedang berusaha.
Semua orang punya perjuangan masing-masing yang tidak bisa diukur dari sekelebatan mata.
Semua orang sedang berusaha menutupi kesedihan mendalamnya.
Semua orang hanya ingin secercah kebahagiaan.
Melalui kesuksesan?
Aku jadi teringat diskusi pendek dengan Rara Sekar mengenai definisi sukses.
Bukan selalu tentang uang, bukan?
So, what is the meaning of life?
0 notes
Text
What kind of feeling is this
I feel trembling and my heart beat faster.
When she's screaming to my dad. I am not even included to that fight but I was the one who feels like crying and trembling.
I am afraid.
0 notes
Text
I dont think anyone would understand
Aku disini lagi, masih di tempat yang sama.
Aku bisa gila, sungguh.
Aku ingin lari, dari semuanya. Kepalsuan yang kalian semua bangun, seolah-olah membuatku nyaman. Lalu, kesadaran itu muncul, tidak ada yang mendengarkan. Tidak ada yang benar-benar mengerti, apa yang kurasakan.
Aku bisa gila.
Semua orang yang ku kira bisa menjadi tempatku berlari, tidak mengerti.
Tidak mengerti bahwa yang ku alami sulit. Aku tidak tahan, aku sakit hati, aku gila. Depresi.
Jawaban remeh-temeh kerap ku dengar saat aku berusaha menyampaikan ceritaku. Kalian meremehkan rasa yang sedang aku alami. Kalian tidak mengerti rasanya.
Jangan buat aku semakin gila. Jangan buat aku ingin melarikan diri dari diriku sendiri dan kalian.
Kalian pikir aku tidak pernah memikirkan cara bunuh diri terbaik? Cara bunuh diri yang seolah-olah tampak seperti kecelakaan? Mengerti tidak rasanya? Aku ingin mati, sungguh.
Aku lelah.
Kalian tidak akan pernah mengerti. Percuma, percuma saja kalian bilang untuk sharing dan sebagainya.
Kalian bahkan tidak mendengarkan.
0 notes
Text
Membuka Matamu, Inilah Indonesia Di Era Orde Baru melalui 'Laut Bercerita'
Tidak sekedar novel dengan cerita romansa klise seperti lainnya. 'Laut Bercerita' menggarisbawahi cerita mahasiswa yang memperjuangkan perubahan untuk Indonesia di era orde baru. Di bawah pemerintahan yang represif tanpa kebebasan berpendapat. Siapapun yang berusaha menyampaikan perlawanan terhadap kediktatoran era itu akan hilang. Inilah cerita perjuangan dari mereka yang pernah hilang dan ditinggalkan.
Leila S Chudori rupanya menggarap novel ini dengan research keseluruhan tanpa meninggalkan informan informan pentingnya. Di halaman persembahan terima kasih, ia menyampaikan ucapannya kepada mahasiswa yang dilepaskan setelah 'hilang' kalau itu, yaitu Nezar Patria. Cerita mengenai siksaan yang dialami para mahasiswa ketika disekap, benar adanya, sesuai realita, dialami sendiri oleh Nezar.
Kisahnya tidak berhenti di babak penyiksaan para mahasiswa, tapi perjuangan keluarga dan kawan menghadapi kehilangan itu. Secara mental dan fisik, melalui protes kepada pemerintah yang tidak kunjung didengar. Iya, di akhir cerita, keluarga dan kawan akhirnya menerima kehilangan tersebut. Tapi, tidak ada jawaban dari pihak pemerintah, sampai mana akan diusut? Tidak selesai.
Sama seperti saat ini, iya, hilangnya 13 mahasiswa tidak diusut sampai saat ini. Ohya, Laut Bercerita juga memberikan penjelasan adanya 13 mahasiswa yang belum ditemukan, sama seperti realitanya. Di tahun 2019 ini, tidak ada yang mau membawa wacana usutan mengenai para mahasiswa pembawa perubahan ini. Mereka berjasa pada Indonesia kini yang bebas, terlampau bebas. Kita menikmati kebebasan ini karena mereka, berhutang budi. Tapi apa yang dilakukan oleh kita dan pemerintahan, tetap diam akan kematian mereka?
Ingatanku terlempar ketika menonton debat perdana pilpres yang membawa isu mengenai Hak Asasi Manusia. Apa yang kuharapkan dari debat tersebut? Ingin mengetauhi apa program mereka untuk mengusut permasalahan mengenai HAM. Tidak, ya, mereka sama sekali tidak mau membahasnya. Menyentuh permukaannya saja tidak, hanya saling menyindir tanpa penyelesaian.
Luar biasa menyedihkan Indonesia-ku ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga, kerabat, kawan 13 mahasiswa yang hilang tersebut merasa miris sekaligus sia sia. Tidak ada yang mau membahas lagi kelamnya Indonesia di kala itu. Mengapa?

0 notes
Text
Tentang Bumi Manusia dan Kaitannya dengan Suara 'Pribumi' Kini

Bumi Manusia, bagian pertama roman tetralogi milik Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan sejarah dari perspektif lainnya. Semuanya berawal dari seorang pribumi, Minke, yang bersekolah di HBS, sangat terpelajar. Ia jatuh cinta dengan Anne, ketika dirinya diajak berkunjung oleh teman Eropa totoknya ke rumah Robert Mellema.
Tidak hanya menggarisbawahi mengenai percintaan di masa lampau, tulisan Pram ini memberikan gambaran betapa nelangsanya bangsa pribumi kala itu. Hidup di tanah sendiri, tapi tidak bisa menikmati, selalu di bawah kungkungan pihak kompeni.
Menariknya, Minke, yang sebenarnya anak dari orangtua dengan kedudukan tinggi di Jawa sama sekali tidak menunjukkan kejawaannya. Malah cenderung skeptis dengan segala hal yang ditinggalkan oleh leluhurnya. Ia cenderung memiliki jiwa Eropa bukan Jawa seperti orang tuanya.
Pada awalnya, ia mengelu elukan Eropa sebagai guru besarnya, memandang miring terhadap Nyai Ontosoroh yang sebagai gundik orang Belanda, dan masih banyak lagi. Namun, ketika cerita mulai perlahan berjalan, semakin lama, ia dihadapkan dengan realita yang ternyata Bangsa Eropa tidak seperti dibayangkan.
Bahkan menuju ke akhir cerita, bagaimanapun perjuangan dirinya dengan Nyai Ontosoroh yang keduanya adalah pribumi dihadapkan oleh Pengadilan Putih, bangsa Eropa. Tidak berguna. Tidak berarti apa apa, begitulah pribumi di mata mereka, kompeni pada masa itu.
"Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tidak ada suara." - Nyai Ontosoroh pada Minke.
Seolah olah, Minke dibukakan matanya yang selalu memuja Eropa lalu disadarkan bahwa Pribumi selamanya tidak memiliki suara. Yang tidak disadari olehnya, sepanjang hidupnya, selama ini, semua Pribumi tidak memiliki suara untuk dirinya sendiri, hidupnya, keluarganya.
Tidak bisa ku bayangkan hidup di era seperti itu, perempuan dipandang sebelah mata, Pribumi tidak punya suara.
Kini kita dianugerahi suara yang mestinya bisa berguna, setidaknya untuk diri, lingkungan, atau bangsa. Namun, bukan suara yang terdengar di Indonesia kini, tapi noise. Berisik. Tidak jelas. Tidak berguna. Tidak berarti. Terlalu banyak bersuara tanpa makna, kebenaran, dan kegunaan yang jelas. Tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecewa sudah para pejuang kita di masa lampau bila melihat suara yang mereka perjuangkan digunakan seburuk ini.
0 notes